Featured Post

LPH #4

Episode 4
Hujan Yang Mengakhiri dan Mengawali Segalanya

   

Aku terbangun ketika merasakan percikan air mengenai mukaku. Dari percikan kecil namun lama-lama semakin banyak. Udara juga semakin dingin. Dan suara bising diluar sana bak suara air hujan yang berdesing diteMbakkan dari langit beradu dengan bumi membuatku bangun dalam keadaan terhenyak. Rupanya aku tertidur.

   HUJAN !!

   Aku segera terbangun dan menuju arah jendela, suasana di gelap dan hujan turun begitu deras. Seolah hujan yang deras tidak cukup menakutkan, angin yang begitu kencang menciptakan kombinasi yang memekakkan telinga. Suara air hujan yang turun dan mengenai atap genting sudah begitu keras, namun hal ini diperparah dengan talang air yang terbuat dari bahan seng membuat suara hujan terdengar menakutkan ! Jantungku berdebar keras sekali. Nafasku seolah sesak. Aku seperti berubah menjadi ikan yang meloncat ke darat dan mulai kehabisan oksigen. Aku harus segera menutup jendela kamar! Namun tenagaku seolah lenyap, hal simpel menutup jendela ini rasanya seperti pekerjaan maha berat. Sepertinya hanya ada 2 pilihan untukku. Segera menutup jendela atau aku pingsan di dalam kamar. Aku kemudian berteriak untuk melepaskan ketakutan. Aku tidak peduli teriakanku terdengar sampai luar. Namun dengan cuaca hujan yang begitu deras, aku yakin tidak ada satupun orang yang akan mendengarnya.

   Dengan berteriak aku seperti mendapat tambahan tenaga, dengan cepat aku meraih jendela yang berada di luar dan menutupnya. Wajah dan bajuku lumayan basah karena saat aku menarik pintu, arah angin berhembus ke arahku. Begitu jendela sudah menghalangi percikan air hujan, aku mengunci jendelaku. Dan jendela yangb tertutup tersebut lumayan mengurangi suara gaduh yang ditimbulkan oleh hujan di luar sana. Nafasku mulai kembali tetapi aku masih merasa lemas sehingga aku terduduk bersandar di tembok tepat di bawah jendela. Aku mengusap air hujan yang meMbaksahi wajahku dengan sarung yang ada di ujung kasur. Namun aku heran kenapa wajahku tidak kunjung mengering. Air masih saja mengalir turun di kedua pipi. Aku kemudian memegang mukaku dan merasakan air ini terasa hangat, berbeda dengan air hujan yang begitu dingin.
   Aku kemudian sadar ini bukanlah air hujan, melainkan air yang keluar dari mataku alias air mata. Ya, aku ternyata menangis sesengukan. Tubuhku menggigil bukan karena kedinginan tapi ketakutan. Apakah aku kini takut dengan hujan? Ketakutan ini kemudian membawa pikiranku melayang-layang ke kejadian sebulan yang lalu. Rasanya seperti menaiki mesin waktu, hanya saja mesin waktu ini melemparkanku ke saat-saat terburuk yang sepanjang hidupku

   
                                              ====FLASHBACK 1 BULAN YANG LALU=====


   “Panasnya...”

   Entah sudah berapa kali aku mengeluh tentang cuaca panas sekarang ini. Kipas yang aku hidupkan di ruang tamu sepertinya sia-sia saja. Karena angin yang dia bawa tetap terasa panas. Sudah hampir 6 bulan lebih kampungku ini tidak kunjung mendapat air kiriman dari langit alias hujan. Kampungku benar-benar kering kerontang, Sawah-sawah mulai mengering kehabisan air, tanah-tanah juga retak, pohon-pohon semakin layu. Dedaunan yang jatuh tidak lagi berwarna hijau namun kecoklatan. Sungai yang melintasi kampungku pun seperti mulai kesulitan menjalankan tugas utamanya yakni mengalirkan air dari hulu ke hilir, sumur-sumur di rumah warga bukan lagi menyerupai sebuah sumur tapi seperti selokan. Karena begitu ember diturunkan hingga ke dasar sumur, tidak terdengar lagi suara khas ember ketika bersentuhan dengan permukaan air, “byuur.” Suara itu sudah berganti menjadi suara “bluk”, suara ember menghantam tanah kering di dasar sumur. Namun warga kampung merasa bersyukur karena program air bersih dari PDAM sudah resmi masuk ke kampung tepat setelah kami mulai sadar hujan sudah melupakan kampung kami. Sehingga untuk sekedar memenuhi kebutuhan air minum, kami sudah tertolong dengan adanya PDAM.

   Jika saja bencana kekeringan ini terjadi sebelum PDAM masuk, sudah terbayang tugas yang dibebankan kepada kami para pemuda kampung seperti halnya tahun lalu. Tahun lalu kampung kami juga dilanda kekeringan, nyaris 5 bulan hujan enggan menyambangi kampung kami barang setetes pun. Lalu Pak Soleh pada suatu hari sebagai Kepala Dusun mengumpulkan semua pemuda yang sehat dan berbadan kuat di balai pertemuan. Ada sekitar 30an pemuda termasuk diriku yang terkumpul. setiap pemuda kemudian diberikan 2 jerigen plastik yang sudah diikatkan ke kayu pikulan.
   
“Demi kelangsungan hidup warga kampung kita ini, kalian para pemuda adalah harapan kami. Nasib Bapak, ibu, kakek, nenek, anak-anak kecil di kampung ini berada di tangan kalian semua. Wahai para pemuda yang saya sayangi, tugas mulia menanti kalian semua.”

   Selanjutnya para pemuda satu persatu termasuk aku mulai mengambil peralatan. Bersiap menempuh perjalanan hampir 5 kilometer menuju ke sungai yang berada di balik bukit yang mata airnya tidak pernah surut sepanjang tahun, yang sayangnya tidak melewati perkampungan kami dan tidak bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor. Sehingga berjalan kaki kesana adalah satu-satunya cara. Perjalanan ketika berangkat tidaklah berat, medan naik turun bukit dan menyusuri sungai tentu bukan masalah bagi pemuda kampung seperti kami. Dalam 1 jam kami semua sudah sampai di sungai tujuan kami. Nah setelah mengisi penuh setiap jerigen dengan air sungai yang bersih, kami semua lalu loncat untuk bermain berenang di sungai sampai puas. Kami bersenang-senang dahulu karena kami tahu setelah ini “neraka” akan menanti kami semua. Karena pekerjaan berat sesungguhnya dimulai ketika perjalanan pulang. Bagaimana tidak, setiap orang akan memikul 2 jerigen penuh berisi air bersih. 1 jerigen bisa memuat 20 liter air atau beratnya sama dengan 20 x 0,8 kg = 16 kilo. Itu satu jerigen. Kalau 2 jerigen sama saja dengan 32 kilogram. Belum lagi medan jalan yang naik turun membuat misi ini kiat menantang. Hohoho ini baru berasa gregetnya.

   Dari perjalanan berangkat 1 jam berubah menjadi hampir 3 jam perjalanan pulang karena tambahan 30 kilo di pundak kami. Jangan tanya bagaimana rasa lelah yang kami rasakan. Ini lebih dari lelah, pundak malah nyaris mati rasa karena tertekan kayu yang setiap ujungnya terikat jerigen. Namun rasa lelah dan pengorbanan kami serasa lenyap ketika dari para warga mulai bisa melihat kedatangan kami yang berjalan terseok-seok. Raut wajah lesu, kekeringan langsung berubah menjadi binar tawa. Para warga yang menunggu bukan hanya berteriak memberikan semangat kepada kami namun orang tua mulai dari anak kecil akan berlari menyambut kami. Bukan hanya berlari, mereka semua berlari sembari mendorong gerobak-gerobak yang sudah disiapkan untuk membantu kami. Setelah memastikan tidak ada satupun orang yang tertinggal, semua jerigen berisi air bersih nan segar dibawa ke kolam penampungan air yang dibuat di kampung kami. Entah seberapa besar kolam tersebut tetapi berkat kami, kolam tersebut kini nyaris penuh. Lalu Pak Soleh dibantu beberapa warga senior mulai mengisikan jerigen-jerigen, ember milik warga yang sudah berjajar rapi di dekat kolam penampungan air. Tidak ada lagi raut kesedihan yang terpancar ketika mendengar suara gemericik air mengalir dari kolam melewati bambu dan satu persatu semua jerigen terisi penuh. Sementara para orang tua kami mengawasi pembagian air bersih, para gadis-gadis di kampung menatap kami semua dengan pandangan kagum, pandangan para gadis tertuju kepada sekumpulan pemuda yang bertelanjang dada hanya memakai celana pendek, tergeletak nyaris tak bernyawa di tengah lapangan dengan pundak nyaris copot dari bahu.

   Sebenarnya selain menjadi pahlawan bagi kampung kami, ada alasan lain yang lebih prestise atau boleh dibilang alasan primer yang lebih agung dibalik ini semua. Alasan ini tak jauh-jauh dari masalah jodoh. Karena tuntutan misi yang teramat berat, misi pengambilan air bersih juga menjadi ajang pamer kekuatan dan keperkasaan para pemuda di depan para gadis-gadis. Konon dengan menjadi pahlawan kampung, semua kutukan jomblo dari leluhur atau mantan yang tersakiti akan gugur dengan sendirinya. Dan benar saja. Aku yang baru pertama kali mengikuti misi ini mendapati beberapa fakta mengejutkan pasca kesuksesan kami menjadi pahlawan lokal (dibaca : kampung).

   Si Amri teman SMP ku yang seumur-umur belum pernah pacaran, keesokan harinya resmi pacaran dengan Susi. Si Amri dipilih oleh Susi berkat penampilan Amri yang sempurna karena mungkin di mata Susi, Amri terlihat begitu mudah memikul 2 jerigen seberat 32 kilo laksana hanya memikul 2 ember cat seberat 1, 5 kilo.

   Si Burhan, yang setelah lulus SD memilih tidak melanjutkan ke SMP karena merasa tidak cocok dengan dunia pendidikan lebih memilih menjadi penggembala kambing pun besoknya resmi pacaran dengan Zubaidah. Sekedar Info, Zubaidah juga tidak melanjutkan ke SMP karena baginya sudah bisa membaca, menulis dan mahir berhitung matematika dasar sudah lebih dari cukup untuk meniti karir sebagai wanita penjaga toko sembako milik Paklik Basuki. Burhan dan Zubaidah, calon pasangan legendaris yang sudah pasti tidak akan populer di depan Menteri Pendidikan Indonesia.

   Selanjutnya ada Mamat, yang rumahnya bersisian denganku, bisa jadian dengan Santi. Ada cerita menarik tentang si Mamat ini. Mamat dalah pemuda yang rajin bersekolah namun tetap saja menempati rangking terbawah semenjak SD hingga SMP. Namun para guru tetap menaikkan kelas bahkan meluluskan Mamat dari SD karena jiwa rajinnya yang nampak terang benderang di mata guru-guru. Ketika murid lain datang jam 7, jam 6 pagi Mamat sudah selesai membersihkan ruangan kelas. Ketika murid lain pulang jam 1 siang, Mamat masih tinggal di kelas untuk mengerjakan PR lalu lanjut membersihkan ruangan kelas. Bahkan yang lebih legendaris lagi, disaat murid lain libur sekolah karena memang hari Minggu. Si Mamat tetap mandi pagi-pagi, memakai seragam lalu berangkat ke sekolah. Sampai sekolahan dia menyapu halaman sekolah hingga bersih sampai pohon-pohon pun merasa segan jika ada daun mereka terjatuh dan mengotori halaman sekolah. Setelah sekolah bersih, Mamat pulang ke rumah memasang wajah polosnya sambil tak henti-hentinya dia tersenyum. Sudah pasti para guru sangat menyukai Mamat terutama kami para murid yang mendapat giliran piket karena otomatis semua pekerjaan piket tuntas di tangan Mamat seorang.

   Percayalah kawan, Mamat bukanlah murid yang bodoh atau terbelakang. Karena ketika suatu hari aku bertanya kepadanya apa yang membuat Mamat begitu rajin masuk sekolah dan suka bersih-bersih bahkan sampai hari Minggu pun dia tetap datang ke sekolah, tidak barang satu haripun tidak terlewat olehnya untuk tetap datang ke sekolah. Sungguh sebuah demonstrasi kedisiplinan tingkat raja dangdut. Jawaban yang meluncur dari Mamat sungguh membuatku tercengang bahkan masih terngiang jelas di otakku sampai hari ini, bahkan mungkin ketika aku sudah sangat uzur dan pikun bahkan nama anak istri pun aku lupa, satu-satunya yang kuingat adalah perkataan Mamat berikut ini.

   “Yan, aku ini orang bodoh. Akupun menyadari kekuranganku ini. Mau belajar sampai nanti timnas Indonesia juara Piala Dunia pun aku tetap saja bodoh. Maka ketika Bu Titin mengajari kita tentang pelajaran Bahasa Indonesia tentang pepatah, aku seperti mendapat mukjizat atau wahyu. Berbekal 2 pepatah yang dibacakan Bu Titin, “RAJIN PANGKAL PANDAI” dan “DISIPLIN PANGKAL SUKSES”, aku seperti tercerahkan ! Bahwa siapapun dan sebodoh apapun asalkan dia rajin dan disiplin, suatu hari nanti bisa menjadi orang pandai dan sukses Yan !!!”

   Jadi menurut Mamat dengan datang paling pagi pulang paling akhir dan setiap hari datang ke sekolah untuk bersih-bersih, adalah caranya menjadi orang pandai dan sukses.

   Mamat, kamu adalah teman favoritku sepanjang masa. Teruskan perjuanganmu.

   Selanjutnya ada Mas Rohim, pemuda lajang berumur 29 tahun yang cuma jadi tukang parkir di supermarket samping kantor Kepala Desa, akhirnya bisa menemukan calon istri berkat misi ini. Ya kalian tidak salah baca, Mas Rohim menemukan calon istri bukan pacar. Istrinya adalah Mbak Yayuk yang buka usaha sebagai tukang jahit. Bahkan dari kabar yang kudengar mereka malah berikrar, seminggu setelah hujan pertama turun, mereka akan melangsungkan pernikahan. Dalam hati aku cuma bertanya-tanya, bagaimana seandainya jika hujan tidak pernah akan turun lagi di kampung kamu? Hmmm..beruntung 4 hari setelah mereka jadian, hujan turun hampir setiap hari di kampung kami. Para petani senang, Mas Rohim melepas masa lajang, Mba Yayuk girang.

   Pokoknya dari 30 pemuda yang ikut misi tersebut, cuma 2 orang yang tidak dapat pacar. Salah satunya adalah aku. Bukannya aku tak laku namun aku memilih tidak pacaran dulu karena aku masih trauma setelah putus cinta dengan arum. Meskipun ada Ayu dan Yuni yang jelas-jelas menunjukkan rasa sukanya kepadaku, namun hatiku tetap tak bergeming untuk lebih memilih sendiri dulu. Dan pemuda terakhir yang gagal dapat jodoh adalah Udin. Udin umurnya 19 tahun. Udin mewarisi 19 kambing dan 4 sapi dari Bapaknya. Orangnya juga terbilang ganteng. Singkat kata masa depan udin sangat menjanjikan. Cuma 1 hal yang membuat udin tidak dapat jodoh. Dia sudah menikah muda di usia 18 tahun karena Lia pacarnya hamil duluan akibat kelewatan selama pacaran.

   Aku geli sendiri membayangkan pengalaman kami tersebut. Karena tidak tahan di dalam rumah, kemudian aku pergi ke kamar mengambil gitarku lalu membawanya keluar ke teras. Sambil duduk-duduk di teras aku mulai memetik gitar pemberian Arum. Ya Arum memberikan gitar ini sebagai kado ketika aku berulang tahun, tentu saja saat kami berdua masih pacaran. Meskipun hubunganku dengan Arum kandas tahun lalu, aku tetap menyukai gitar Yamaha pemberiannya ini. Sembari memainkan gitar aku melihat-lihat suasana depan rumahku sangat sepi dan lengang. Padahal rumahku ada di pinggir jalan kampung. Di seberang jalan sana ada rumahnya Bu Isti dan beberapa rumah lainnya. Sementara belakang rumahku ada bukit yang mejadi tempat bermain favoritku waktu kecil. Hanya sesekali motor lewat dan memberikan klakson saat melihatku ada di teras. Aku melihat jam dinding di dalam ruang tamu, jam 9 lewat dikit. Biasanya Mamat kalau dengar suara gitarku dia keluar lalu menemaniku main gitar sambil nyanyi gak jelas. Suara Mamat hancur sih cuma lebih seru kalau ada teman. Namun hampir seluruh lagu yang ada di album “Fomat Masa Depan” milik Dewa 19 kumainkan sambil bernyanyi pelan, Mamat tak kunjung keluar padahal lampu depan rumahnya menyala. Tapi yasudahlah.

   Bosan bernyanyi lagu Dewa 19, aku mulai memainkan intro lagu “Stairway To Heaven.” Petikan – petikan gitar yang syahdu terasa menyayat hatiku. Apakah memang ada yang menjual tangga ke surga? Kalau memang ada berapa harganya? Lalu apakah orang yang masih hidup boleh naik tangga tersebut menuju surga? Atau justru tangga menuju surga itu tangga untuk roh-roh yang masih gentayangan di dunia ? gara-gara memikirkan hal yang tidak jelas tersebut, tanpa sadar aku malah memainkan salah satu lagu berbahasa Jawa dan menyanyikannya pelan.

“mmm…lingsirr wengi…
sepi durung biso nendro..
Kagodho mring wewayang..
Kang ngeridhu ati..
Kawitane…mmmmm”

Lagi asyik-asyiknya aku menyanyikan Lingsir Wengi aku merinding sendiri. Suasana panas tiba-tiba jadi lebih sejuk. Angin semilir mulai berubah menjadi hembusan angin yang lebih kuat. Kilatan yang muncul dari langit terlihat jelas di atas sana, kemudian suara gemuruh terdengar dan disusul suara yang sangat keras!!!

   DUARR !!!

   Saking kencangnya bunyi petir, sampe jendela kaca rumahku bergetar hebat dan menimbulkan bunyi.

   Dddrrrrrtttttttt

   Aku sontak berdiri, kuletakkan gitar di meja. Aku tidak merasa takut sama sekali melihat petir menyambar-nyambar di langit sana karena ini tandanya……kedatangan sang tamu agung yang kami nanti-nantikan selama berbulan-bulan akhirnnya datang.

   Hujan.

   Bresssssss!!!!

   Tanpa aba-aba hujan turun deras sekali, rasanya seperti meluapkan kerinduan yang tertahan-tahan dan malam ini kerinduan Bumi akan sentuhan ritmis dari kekasihnya sang Hujan terbayar secara paripurna.

   “Yaaannnn, hujaannnnn Yaaaaannnnn!!!”

   Aku menoleh ke samping karena aku samar mendengar teriakan si Mamat. Aku menoleh dan kulihat Mamat jingkrak-jingkrak di teras. Akupun ikut jingkrak-jingkrak.

   “Yan, cepetan masuk ! angin dan hujannya deras banget.”

   Aku lihat ternyata ibu menegurku agar aku segera masuk rumah.

   “Ya bu. Akhirnya hujan juga ya bu.”

   “Iya akhirnya hujan juga le, semoga hujannya jadi berkah buat semua orang,” ujar Ibu matanya nampak berbinar-binar.

   “Enak banget ya Bu bisa mencium bau tanah yang kena hujan.”

   “Iya, wis cepetan masuk.”

   Aku mengangguk. Kulihat Mamat masih ada di terasnya. Aku ingin berteriak tapi hujan malah tambah deras, sehingga sepertinya aku berteriak pun percuma. Kuambil gitar dan kubawa masuk ke dalam rumah. Ibu sepertinya sudah masuk kamar, Bapak tidak kelihatan. Sepertinya semua orang bukan cuma Bapak ibu yang segera naik ke peraduan. Hujan malam ini aku yakin akan menorehkan senyum di wajah semua warga. Bagaimana tidak, melihat hujan yang begini deras, aku yakin besok sungai akan mengalir deras, sehingga saluran air untuk pengairan sawah kembali berjalan, jika irigasi kembali jalan maka sawah dan semua tanaman seperti mendapatkan makanan terbaik. Sumur-sumur yang semula kering pasti kembali terisi. Ah betapa besar manfaat hujan. Aku kemudian masuk ke dalam kamar. Kubuka baju sehingga hanya menyisakan celana kolor. Aku meloncat ke tempat tidur..hmm rasanya sungguh nyaman karena sprei rasanya jadi lebih sejuk. Lagi enak-enaknya baring di tempat tidur, tiba-tiba aku merasakan tetesan air mengenai mukaku. Haduh pake acara bocor lagi, sepertinya hujan membuat genteng di atas sana sedikit bergeser. Aku ke dapur untuk mengambil baskom dan kuletakkan tepat di dimana tetesan air jatuh mengenaiku tempat tidur. Kemudian kuambil bantal dan aku keluar kamar. Aku menuju ruang tamu. Aku melihat genteng di atas sini baik-baik saja tidak ada tetesan. Oke malam ini sepertinya aku tidur di ruang tamu saja. Kupinggirkan meja kayu yang sangat berat ke samping. Aku mengumpat dalam hati, kenapa ada orang yang membuat meja segini berat, lalu kuhampar tikar kemudian kuletakkan bantal. Ah rasanya nyaman sekali, angin malam yang dingin berhembus dari ventilasi membuat segala sesuatu terasa sangat nyaman. Suara gaduh dan bising akibat hujan di luar sana terdengar sangat merdu di telinga. Hoahemm..aku menguap, diiringi suara hujan yang ramai aku pun tertidur. Sebelum benar-benar terlelap, aku sempat melihat jam dinding di ruang tamu.

   9.45 malam.

   Aku terbangun ketika merasa kebelet pipis. sebenarnya aku malas bangun dan bergerak, tapi daripada aku mengompol di ruang tamu, akhirnya dengan sisa nyawa aku berjalan ke belakang menuju kamar mandi. Aku baru menyadari hujan masih saja turun dengan derasnya, bahkan intensitasnya seperti tidak surut sedikitpun. Hujan sepertinya benar-benar rindu menghujani kekasihnya si Bumi. Selesai pipis, aku tiba-tiba mendengar suara seperti gemuruh di belakang rumah. Aku penasaran suara apa itu barusan. Kalau itu suara gemuruh petir kenapa aku tidak melihat kilatan petir terlebih dahulu. Namun akibat rasa ngantuk, aku masa bodoh dan tidak berpikir apa-apa. Saat kembali ke ruang tamu dan berbaring, aku sempat melihat jam dinding.

   4.30 subuh.

   Sudah hampir subuh rupanya. Berarti sudah kurang lebih 7 jam hujan turun dan sepertinya makin deras. Semoga hujan tetap deras sampai pagi jadi kami semua punya alasan untuk tidak usah masuk sekolah. Lagipula siapa juga yang tetap pergi ke sekolah dalam kondisi cuaca seperti ini. Lalu aku teringat si Mamat, aku tersenyum. Aku berani bertaruh, si mamat tetap berangkat ke sekolah, tak perduli seperti apa cuacanya. Jam segini paling dia sudah bangun mungkin juga sedang mandi. Sementara itu aku ingin tidur lagi. Cuaca segini enak, dingin dan sejuk, mending tidur lagi. Ketika aku nyaris kembali terlelap, aku mendengar suara gemuruh yang sangat kencang sekali dari atas. Aku langsung terjaga. Sumber kegaduhan itu berasal dari belakang rumah. Di belakang rumah ada bukit.

   Entah kenapa feelingku merasa tidak enak.

   Dan benar saja.

   Suara gemuruh itu seperti membuat lantai rumahku bergetar., brak !!!!! Terjadi sesuatu di belakang rumahku ! Belum sempat aku bereaksi untuk membangunkan Bapak Ibu, aku melihat atap rumahku roboh ! reflek aku berguling ke samping untuk menghindar, aku menarik kakiku dan meringkuk berlindung di bawah meja. Selanjutnya semua gelap. Aku seperti tertimbun tanah dan material. Dalam keaadaan takut, panik, basah kuyup, aku menangis karena aku teringat nasib Bapak dan ibu yang tidur di dalam kamar. Aku berteriak memanggil Bapak ibu, tapi lumpur mulai masuk ke sela-sela bawah meja. Aku tidak bisa bernafas. Selanjutnya aku pingsan karena shock.

Aku baru tersadar ketika aku merasakan ada seseorang dengan susah payah berhasil menarik tubuhku keluar dari timbunan dan membopongku.

    “YANDI !! YANDI !! SYUKUR LE KAMU SELAMAT!!” Orang tersebut membersihkan mukaku yang kotor karena tanah lalu memelukku. “Bu Is, tolong jagain Yandi, aku masih mau evakuasi cari masku dan Mbakyu.!” Aku langsung tersadar mendengar suara paklik ku basuki yang sangat panik! Aku berteriak sambil menangis !

Bu is sempat ingin menahanku tapi aku mengibaskan tangan bu is dan melesat keluar dari rumah bu is. Aku terpana menyaksikan suasana gelap, namun kegaduhan terasa sekali, di tengah hujan yang masih saja turun dengan lebat. Orang-orang berlarian kesana-kemari sambil berteriak-teriak dan menyorot senter. Suara kentongan yang dipukul bertalu-talu beradu dengan teriakan orang. Aku mendongak ke atas dan menyaksikan bukit di belakang rumah nampak lebih tinggi, akar-akar pohon tercerabut. Rumah ! dimana rumahku !! kenapa rumahku tidak kelihatan ! kenapa ! aku lalu melihat orang-orang datang membawa perlengkapan pacul dan mulai menggali timbunan. Sebagian lagi ada yang menyikirkan pepohonan dan bergerak cepat seolah berpacu dengan waktu. Aku bergerak mendekati mereka namun tiba-tiba terdengar suara gemuruh lagi, suara gemuruh yang sama yang aku dengar.

   “AWASSSSS MUNDURR SEMUAAAA !!!! LONGSOR SUSULAN !!”

   Aku melihat tanah di atas bukit bergerak lalu luruh ke bawah. Pepohonan, bebatuan, lumpur, menjadi satu menimpa semua apa yang ada di bawah, hampir meratakan semuanya. Tunggu timbunan itu seharusnya rumahku !! ya itu rumahku !!!

   “Bapak !!! IBUU!!”

    Ketika orang-orang berlarian menuju ke arahku, namun aku justru mencoba merangsek maju. Aku tidak perduli aktu nyaris terjengkang. Namun aku terus melawan, sampai aku mulai dekat dengan timbunan. Tiba-tiba ada orang yang mengangkat tubuhku dari belakang dan membawaku menjauh. Aku berteriak histeris, aku berusaha menggapai-gapai ke arah timbunan namun tenaga orang ini sangat kuat, aku tidak melawannya.

   “Bapak !!! IBUU!! Huaaaahhhhhhh,” aku menangis sejadi-jadinya melihat rumahku tidak terlihat lagi, yang ada hanya timbunan tanah, lumpur, bebatuan dan pohon.

    Orang itu kemudian meletakkanku di teras rumah, aku mencoba berontak namun orang-orang memegangiku. “Sabar yan sabarr !!” aku menoleh ke samping. Orang yang membopongku tersebut adalah Wawan, sohibku. Wawan memelukku sembari terisak. “Sabar Yan sabar.”

   Tubuku lemas, tak tersisa sama sekali menyaksikan bencana tanah longsor terjadi menimpa rumahku, bukan hanya rumah. Rumah tetangga di kiri kananku juga rata tertimbun tanah. “bapp…ak…iibb..u” aku menangis tanpa suara, lalu semuanya gelap.
   
   
                                                   ====FLASHBACK SELESAI =====

   
   Mesin waktu kemudian membawaku kembali di tempatku sekarang. Terduduk di pojok kamar sembari menangis. Satu bulan yang lalu. Tanah longsor menimpa kampungku. Bermula dari kekeringan yang menyebabkan retakan-retakan di tanah ternyata merembet hingga tanah di perbukitan di belakang rumahku. Jadi ketika hujan turun sangat deras 7 jam nonstop malam itu, membuat tanah bergeser. Akar-akar pohon yang seharusnya menjadi penopang juga tidak mampu menahan desakan tanah. 5 rumah yang paling dekat dengan perbukitan rata dengan tanah. 13 orang meninggal di tempat karena tidak bisa diselamatkan. Kedua orangtuaku masuk ke dalam korban yang meninggal di lokasi kejadian. Saat ditemukan oleh tim SAR dari Kota, Bapak dan Ibu meninggal dalam posisi berpelukan. Ibu meringkuk dalam lindungan Bapak. Satu-satunya orang yang bisa diselamatkan hanya aku yang hanya mengalami luka kecil berupa lecet- lecet di sekujur tubuh. Aku beruntung bisa diselamatkan karena kebetulan aku sempat berlindung di bawah meja kayu dari Jati yang sangat kuat sehingga bisa melindungiku dari timbunan tanah. Dan posisi rumahku yang paling menjorok keluar dekat dengan jalan raya, membuat aku bisa diraih dan diselamatkan oleh Paklik Basuki. Beliau adalah salah satu orang pertama yang datang ke lokasi.

    Setelah kejadian, Paklik basuki menceritakan apa yang terjadi malam itu. Paklik Basuki mengaku gelisah semalaman karena hujan turun deras, amat sangat deras. Hanya saja Paklik Basuki tidak tahu apa sumber kegelisahannya. Setelah mencoba tidur beberapa kali, Paklik Basuki terbangun jam 3 pagi dan memutuskan tidak tidur lagi karena lagi-lagi merasa gelisah. Apalagi mendapati hujan yang tak kunjung reda. Jam 4 pagi lalu Paklik duduk-duduk di teras rumahnya. Rumah Paklik Basuki berada di sebarang jalan dengan rumahku namun tidak pas bersebrangan. Jadi sambil menyeruput kopi hitam, paklik mengamati suasana sekitar. Matanya tertuju kepada perbukitan di depan sana.

   Dan penyebab kegelisahannya terjawab ketika dia melihat dan mendengar suara bergemuruh dari arah perbukitan. Tanpa pikir panjang Paklik Basuki langsung berlari menembus hujan deras menuju rumahku mencoba memberikan peringatan namun semuanya terlambat. Hujan akhirnya reda jam 7 pagi, meninggalkan lokasi kejadian porak-poranda. Aku terdiam menatap dan meratapi tanah yang dulu di atasnya berdiri rumahku. Rumah dimana ada aku, Mbak Asih, Ibu dan Bapak tinggal. Aku terus mengutuk dalam hati, kalau saja aku boleh memilih, aku lebih memilih ikut meninggal bersama Bapak dan ibu. Oh iya, selain kehilangan kedua orangtuaku. Aku juga kehilangan teman dekatku, yakni Mamat. Saat ditemukan oleh tim SAR, jenazah mamat ditemukan terkubur di dapur. Dalam kondisi masih memakai baju seragam sekolah. Mamat meninggal seketika karena terhantam batang pohon yang meluncur dari atas dan menembus atap dapur lalu mengenai kepalanya. Bukan hanya Mamat, seluruh keluarga Mamat yakni Bapak, Ibu dan kedua adiknya juga meninggal di tempat. Selamat jalan Mat, meskipun kamu meninggal, kamu beruntung karena setidaknya kamu bisa “pergi” bersama dengan seluruh keluargamu….

Hujan diluar sana masih terus turun dengan deras, seakan mengungkit semua luka yang kurasakan. Luka mental yang nyaris membuatku gila, depresi kalau saja Mbak asih terlambat sedikit saja menolongku.

Hujan….dulu aku sangat menyukaimu..tapi sejak peristiwa itu, aku jadi sangat membencimu…


=BERSAMBUNG=

No comments for "LPH #4"