Featured Post

LPH #6

Episode 6

Kenakalanku Dan Kenalanku​





(pov : Yandi)


Seiring dengan hujan yang mulai reda, akupun mulai bisa menenangkan diri. Aku membuka tas yang tergeletak di samping kasur dan mengambil sebotol air mineral yang aku beli tadi siang di warung burjo milik bang Doni. Botol yang masih terisi setengah dengan mudah aku habiskan sampai licin tandas. Aku benar-benar haus seperti baru saja habis lari maraton saja. Ternyata bukan hanya haus, aku juga merasa lapar karena melewatkan makan siang. Kulihat jam weker kecil berwarna merah yang berada di atas lemari baju. Pantas saja aku kelaparan, sudah hampir jam 7 malam rupanya. Sedari siang aku belum makan. Aku lalu bangun kemudian turun. Di dapur tidak ada orang, sepertinya mba Wati berada di depan sama mba asih.


15 menit kemudian aku selesai mandi dan sudah memakai baju ganti yang baru. Rasanya badan kembali segar. Aku kemudian turun ke dapur dan melihat di lemari kaca, ada semangkuk sayur asem, sambel terasi dan beberapa potong tahu serta tempe goreng. Sepertinya ini sayur asem yang disisihkan mba Wati untukku siang tadi. Memang bukan menu yang mewah tapi buat anak kampung seperti aku, ini sudah lebih dari cukup untuk mengatasi perutku yang kelaparan. Bahkan sebenarnya menu sayur asem ini termasuk sayur yang paling digemari dan paling cepat habis di antara semua menu makanan yang disediakan di warung makan mba Asih. Sampai mesti dua kali masak sayur asem dalam sehari. Biasanya setelah makan siang sekitar jam 2an sayur asem ini sudah habis laris manis. Karena banyak pelanggan mba Asih yang kecewa karena kehabisan sayur asem, biasanya sore jam 3an mba asih masak lagi sayur asem. Bukan hanya masak sayur asem, biasanya mba asih juga masak beberapa menu sayuran lain yang sudah habis seperti sayur lodeh, sayur bayem, tempe orek dan lainnya. Untuk urusan menu masakan sayur Mba Asih sendiri yang buat, kalau untuk lauknya seperti ayam goreng, ikan goreng, telur dadar dan gorengan biasanya mba Wati yang bikin. Apalagi setiap kali gorengan habis, mba wati selalu mengggoreng lagi yang baru sehingga gorengan yang di warung mba Asih juga laris manis.


Kuambil sayur asem tersebut dan kupanaskan sebentar karena sudah dingin. Setelah makanan sudah siap, seperti halnya bagian akhir dari isi teks proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh Bung Karno yang menandakan berakhirnya masa penjajahan oleh kumpeni Belanda, menu makan siang yang baru kusantap di waktu makan malam ini kuhabiskan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Sendawa keras yang kukeluarkan menandai pernyataan kemerdekaan terhadap rasa lapar. Fuahhh kenyang sekali, memang mantap sekali masakan mba Asih. Saat aku masih menikmati masa-masa tenang setelah kenyang, mba Asih kemudian masuk ke dapur membawa beberapa tempat makanan yang sudah kosong.


“Wuih baru selesai makan to?”


“Iya mba.”


“Sepulang sekolah tadi siang kamu ga makan dek?” Tanya mba Asih sambil mulai mencuci beberapa tempat lauk, panci sayuran, gelas dan piring kotor.


“Belum mba, sepulang sekolah aku malah ketiduran. Apalagi diluar hujan jadi makin pules tidurnya.” Untuk bagian ketidurannya aku berkata jujur, tapi di bagian hujan yang membuatku tidur pulas, jelas itu sebuah kebohongan.


“Capek banget ya pulang sekolah.” Lanjut mb Asih sembari menoleh ke arahku dan tersenyum.


“Iya gitu lah mba.” Mataku tak sengaja melihat pemandangan menarik saat mba Asih yang sedang menggosok bagian belakang panci kotor. Posisi mba Asih yang berdiri menyamping dari tempat aku duduk, membuatku bisa menatap siluet dada mba Asih dari samping yang tercetak di balik kaos biru yang mba Asih kenakan bergoyang-goyang seiring dengan makin kerasnya gosokan tangan mba Asih di panci. Tampaknya dada mba Asih semakin gede saja setelah menikah, ah kemudian aku membayangkan jika seandainya saja yang sedang digosok mba Asih bukanlah pantat panci tetapi pen...ehhh mikir apa aku ini ! Sama mba sendiri kok sempat-sempatnya mikir yang aneh-aneh. Kalo mikir jorok dengan mba Wati yang pantatnya semok masih normal, lha ini malah kepikiran jorok karena lihat dada mba Asih yang bergoyang. Aku meraih segelas air yang berisi air putih untuk menjernihkan tenggorokan dan juga membersihkan otak kotorku.


“Gimana dek hari pertama sekolah ? Teman-teman sekelasmu bagaimana? Kamu sudah punya teman belum?” Tanya mba Asih yang kini sedang mencuci gelas-gelas kotor dan goyangan dada pun berhenti.


Matih ! Pakai tanya tentang hari pertama di sekolah segala sih mba, batinku. Ini sih sama saja menyuruhku buat bohong karena ga mungkin juga aku bilang jujur tentang apa yang aku alami hari ini.


“Hari pertama di sekolah hari ini? Gak tahu mba. Lha gara-gara aku datang telat, pintu gerbang sudah terkunci dan aku tidak diperbolehkan masuk ke sekolah. Tapi tenang saja mba, aku sudah punya teman baru kok. Dia juga sama sepertiku, gak bisa masuk ke dalam sekolah. Namanya Axel, dia itu kakak kelasku yang harusnya sudah kelas 3 tapi karena tukang bolos dan kayaknya sering main cewek akhirnya dia gak naik kelas dan tetap jadi anak kelas 2. Karena gak bisa masuk sekolah kemudian aku diajak Axel bolos ke warung burjo dekat sekolahan. Di warung burjo milik bang Doni, aku dikenalin dengan 3 murid dari SMA Swasta yang sepertinya juga bolos sekolah. Mereka semua seru sih. Tapi jadi gak seru gara-gara aku ditinggal pergi dan akhirnya mesti aku yang bayarin makan, kopi dan rokok mereka berempat. Dan menurut cerita dari bang Roni sepertinya mereka pergi ke tempat yang disebut Ruko Lama, tempat yang dijadikan tempat buat anak-anak SMA di Kota buat berantem dan Tawuran. Jadi gitu mba cerita tentang hari pertamaku.”


Maka terpaksa aku berbohong dengan menjawab singkat,”baik-baik saja mba. Lancar. Belum hapal sih nama-nama teman sekelas. Lama-lama juga hapal sendiri.”


“oh baguslah kalau begitu.”


Fiuhh lega karena sepertinya mba asih percaya dengan omonganku. Maaf ya mba, adikmu yang ganteng ini bohong. Karena aku yakin 100% kalau aku cerita seperti itu ke mba Asih, dalam hitungan sepersekian detik akan ada piring terbang, gelas terbang, mangkuk terbang, pisau terbang, panci terbang, ufo terbang, bh terbang, kancut terbang dan janda terbang menuju ke arahku !! Aku hapal banget sifat mba ku tercinta ini. Dia paling sadis kalau menghukum kenakalanku. Tingkat hukuman dari mba Asih yang pernah diberikan kepadaku sudah mencapai 4 tingkatan.


Kenakalan tingkat pertama : bolos sekolah pas kelas 1 SMP gara-gara pengen duel dengan Wawan di game Tekken di rental PS2 deket pasar sama Wawan. Ketahuan Paklik Basuki.
Hukumannya ? Sapuan kaki yang di tujukan ke betisku dengan gerakan khas milik Eddy Gordo, karakter yang jago Capoeira dan aku jadikan karakter favorit kalau maen Tekken. Ketahuan Bu Is tetangga depan rumah yang kebetulan abis beol di sungai.


Efek ? Kaki bengkak, susah jalan dan kapok bolos sekolah.


Kenakalan tingkat kedua : Mengambil diam-diam sebatang rokok milik bapak lalu belajar merokok bareng sama Wawan di pinggir sungai.
Hukumannya ? Masih tetap menggunakan tendangan kaki tapi kali ini tendangan yang dipakai mba Asih adalah tendangan berputar milik Marshal Lee. Karakter Bruce Lee kw di game Tekken.


Efek ? Pipi bengkak dan baru belajar langsung berhenti merokok.


Kenakalan tingkat ketiga : Nyobain mimik ciu sama Wawan di kampung sebelah. Ketahuan sama Mamat. Lalu lapor ke mba asih.
Hukumannya ? Dibanting dengan jurus smackdown milik King, karakter pegulat yang pakai topeng Macan di Tekken.


Efek ? Pusing semalaman, gak pernah lagi minum ciu dan sebangsanya. Efek tambahan, berhenti bicara dengan Mamat selama seminggu.



Kenakalan tingkat keempat dan yang tertinggi sampai hari ini : Ketahuan menonton film yang seharusnya tidak boleh kami tonton bareng Wawan pas rumah lagi sepi karena bapak ibu pergi kondangan ke kampung sebelah. Tertangkap basah oleh mba Asih yang ternyata ga ikut pergi kondangan.
Hukumannya ? Tinju Matahari ala Paul Phoenix, karakter Tekken yang jago Mixed Martial Arts.


Efek : teknikal knock out, sampai mesti ijin sehari gak masuk sekolah. Kapok  ? Enggaklah ! Cuma mesti ekstra super duper hati-hati dengan cara memindahkan lokasi pemutaran film di rumah teman yang paling strategis dan paling jauh dari mana-mana.

Reaksi bapak dan ibu ? Mereka cuma melihat dan bahkan memberikan standing ovatian kepada mba Asih karena memberikan hukuman yang setimpal kepadaku. Semua gerakan ala Tekken tersebut mudah saja dilakukan oleh mba Asih karena sewaktu SMP sampai SMA rajin ikut eksul yakni karate. Terakhir mba Asih pegang sabuk biru. Cuma tinggal dua sabuk lagi dia bisa sabuk hitam. Alasan mba Asih kenapa dia sudah puas di sabuk biru karena dia suka dengan warna biru dan tidak suka dengan warna coklat apalagi hitam.

Hedeh.

Lamunanku tentang masa-masa kenakalanku di kampung buyar ketika mba wati masuk ke dapur. Ia membawa sepotong paha ayam dan semangkuk sayur labu dan tempe orek.


“mau makan mba?”tanyaku.


“enggak. Ini tadi dita mau beli lauk. Tapi karena sudah dingin, mba mau gorengin lagi ayam dan panasin sayurnya. Mba suruh dita pulang dulu nant ta anterin ke rumahnya.“ jelas mba wati lalu mulai menggoreng ayam.


Sekilas aku melirik menatap bokong mba wati saat ia melintas di depanku. Wuidih, bokongmu mba..


“dek, kalau pesanan dita udah siap kamu anterin.” Ujar mba asih.


“dita ? dita siapa mba?”


“itu dita yang rumahnya depan rumah kita. Rumah tingkat 2 yang catnya warna kuning gading. Rumah nomor 7.”


“oh. Oke.”


“sini piring, mangkuk dan gelasnya kamu makan. Biar mba cuci sekalian.”


Aku berdiri dan memberikannya ke mba asih.


“ini yan, pesanan dita sudah jadi. Bilang ke dita, piringnya dikembalikan besok saja gak apa-apa.” Mba wati memindahkan sendok, garpu, 4 piring kecil berisi nasi hangat, ayam goreng, sayur labu dan tempe orek ke atas nampan dan memberikannya ke padaku. Lalu nampan tersebut ditutupi plastik bening biar tidak kemasuk debu. Mba wati memang rapi kalau soal ginian.


Segera kuambil nampan tersebut. Kulihat diseberang jalan ada rumah nomor 7. Aku pun menyeberang jalan. Pintung gerbang teralis yang biasanya tertutup kini nampak terbuka separuh. Wuih agak minder juga masuk kesini. Ini rumah paling bagus diantara semua rumah di gang sini. Sampai depan pintu, kuketuk pintu. Tak lama kemudian pintu terbuka dan aku melihat seorang gadis imut berambut panjang hitam memakai daster warna merah keluar. Aduh manis sekali.


“mba dita ya? Ini makanan pesanan mba dita. Dari warung depan.” Kataku sopan.


“oh iya makasih. Masuk mas, taruh di meja sini saja.”


“permisi.” Dengan hati-hati aku memindahkan empat piring tersebut ke atas meja.


“ini mas uangnya 12 ribu.” Katanya seraya memberikan uang.


“ini sudah pas uangnya atau ada kembalian?”


“uang pas kok.”


“oia tadi mba asih pesan, piringnya dikembalikan besok saja gak apa-apa.”


“iya baik. Um mas…kerja di rumah makan mba asih?”


“oh enggak. Saya adiknya mba asih. Nama saya yandi.”


“oh ini yang namanya yandi. Mba asih sering lho cerita kalau dia punya adik cowok yang seumuran denganku.”


“jadi malu hehe.oh mba dita juga kelas 1 SMA?”


“iya tahun ini baru masuk.”
Kami lalu sama-sama tersenyum. Karena canggung, aku pun mohon diri. Tapi ketika aku menutup pintu depan dan sedang memakai sandal yang kulepas di dekat teras. Tiba-tiba saja lampu rumahnya padam. Kulihat sekeliling ternyata semua rumah mati lampu. Hadeh gak di kampung gak di kota masih sering mati lampu.


“massss tunggu jangan pulanggg!!!”


Aku sempat kaget mendengar teriakan dan suara keras pintu yang terbuka. Dan kulihat sosok wanita sedang memegang hape dan menyalakan fitur senter. Sialan si dita rupanya yang berteriak, bikin kaget saja.


“iya mba ada apa?”


“mas sini masuk rumah. Temenin aku sampai selesai makan ! bentar aja aku takut kalau gelap gini. Papa mama sedang pergi. Aku di rumah sendirian.”


“baik.”


Lalu aku menemani dita masuk kembali ke dalam rumah. “ gak punya lilin?” aku bertanya ke dita.


“ada. 2 di pojokan. Tolong bantu nyalain lilin dong yan. Koreknya ada di dekat vas bunga.”


Aku pun berdiri dan mencoba mencari korek.


“uhm maaf mba, boleh pinjam hapenya bentar? Gelap banget, gak kelihatan vas bunganya dimana.”


“oh iya, ini.”


Kuambil hape dan kuarahkan cahaya ke arah vas bunga yang dia maksud. Setelah kutemukan korek, kuarahkan dulu senter ke pojokan mencari lokasi lilin. Kulihat di pojokan ruang tamu ada lilin berukuran besar terpasang di tempat lilin yang ditempel di dinding. Segera kunyalakan dan memang lilin mahal, langsung ruangan terasa temaram namun cukup jelas.


“ini hapenya mba.”


“makasih. Tapi jangan pulang dulu lho, tunggu sampe aku selesai makan. Aku laper banget.”


“iya mba.” Aku pun duduk di sofa ujung dekat pintu. Sementara dita di sofa yang sama dia di ujung yang satunya.


“Ih kok panggil mba sih. Kita ini seumuran lho. Panggil saja dita.”


“ok dit.”


“kita ngobrol tapi aku sambil makan gak apa-apa ya yan.”


“iya santai saja.”


“eh kamu sudah makan?”


“udah kok.”


“oh..oia kamu sekolah dimana?”


“di SMA Negeri. Kelas 1.”


“wuihh di SMA Negeri? Itu SMA favorit disini. Pasti kamu anaknya pinter ya.”


“hehe gak kok. Kamu di SMA Negeri juga dit?”


“ah jangan sok merendah gitu dong. pengennya aku juga masuk ke SMA Negeri tapi kemarin nilaiku gak cukup tinggi buat masuk kesana. Jadi aku sekarang di SMA Swasta.”


Nada suaranya sedikit berubah, wah dia sepertinya agak kecewa gak bisa masuk SMA Negeri. Maka aku pun mengalihkan topik pembicaraan. Dan dita sepertinya juga tidak bertanya-tanya lagi tentang sekolah. Kami berdua mengobrol tentang banyak hal, dita juga sempat mengucapkan turut berduka cita atas musibah yang menimpa kedua orangtua di kampung. Dita juga bercerita bahwa dia suka semua makanan yang ada di warung mba asih kecuali 2 sayuran yakni jengkol dan pete. Haha aku mendengar penuturan dita. Ah dita kamu gak tahu sih betapa nikmatnya makan jengkok hehehe. Tahu aku baru datang dari kota, dita bercerita tentang tempat-tempat asyik buat didatangi, beberapa mall yang dekat sini, termasuk Mall Biru yang dulu aku memiliki pengalaman memalukan. Karena moodku sedang baik dan dita juga anaknya juga enak di ajak ngobrol, aku pun tanpa malu-malu menceritakan pengalamanku di Mall Biru. Dita sampai tertawa sampai tidak sanggup menghabiskan makanan karena mendengar kisah konyolku, kulihat ada beberapa nasi yang menempel dekat dagu tapi sepertinya dia tidak menyadarinya. Aku pun mengambil tisu yang ada di atas meja dan kuberikan ke dita.


“kenapa?” dita tiba-tiba menyadari aku memberikan tisu kepadanya.


“itu ada nasi di deket dagu. Bukan di situ sebelah kiri bawah.” Aku memberikannya petunjuk ketika mengusap dagu dengan punggung tanganya tapi belum pas.


“masih ada ya..ih yadah sini yandi tolong ambilin.” Dita kemudian pindah duduk dekat dengaku. Tidak duduk pas bersampingan karena ada siku-siku sofa di antara kami berdua.


Aku yang tidak menyangka dita memintaku untuk mengambil nasi yang menempel di dagu terbawah, agak grogi. Apalagi dalam dia sedikit mendongak. Meskipun dalam temaram lilin aku tanpa sengaja melihat belahan dadanya yang sebelumnya tidak kelihatan karena tertutup rambut panjangnya. Wow besar juga dada si dita. Takut ketahuan ngintip, aku segera mengambil beberapa nasi yang menempel di dagu sebelah kanan.


“uda bersih?” tanyanya.


“ud…udahh.” Aku grogi dita masih saja mendongak. Mataku pun menyusuri leher dita yang menarik.


“makasih.” Ucapnya.


Lalu bahan obrolan kami tiba-tiba habis. Aku terdiam dia pun juga diam. Aishh..


Byar !


Sama halnya dengan lampu yang tiba-tiba padam, lampu juga tiba-tiba menyala. Dan melihat dita sebegini dekat dengan ku, aku merasa ser-seran juga.


“yeeaaaahhh nyaaalaa.” Ujar dita bersemangat sembari mengangkat kedua tangannya. Hal itu membuat lubang daster di lengannya terlihat wow, ketiaknya mulus.


“udah selesai makannya?” aku bertanya karena melihat masih tersisa makanan.


“belummm!! Kamu sih tadi cerita lucu banget sampe aku mau tersedak. Aku lanjut makan dulu ya.”


Dengan cepat dita menghabiskan makanannya, aku sengaja tidak mengajakanya ngobrol agar dia cepat selesai menghabiskan makanan. Setelah dia kenyang, aku pun bilang kepadanya biar piring kotornya sekalian aku bawa balik biar besok tidak repot balikin piring. Setelah piring kotor, sendok dan garpu sudah berada di atas nampan aku pun pamit pulang. Dita mengantar sampe depan pagar teralis depan rumah. Ketika dia menutup pintu, dita bertanya.


“yan, minta nomor hape kamu dong.”


“oh. Nomor hapeku?”


“iyaa. Boleh kan?”


Akupun menyebutkan nomor handphoneku dan dita langsung men-save nomorku di hape yang ia pegang.


“aku gak bawa hape.” Kataku.


‘Iya nanti aku miscall. Ini nomor ada whatsapp nya?”


“ada.”


“oke,”


Aku sempat ingin bertanya kenapa dita meminta nomor hapeku. Tapi kuurungkan niat tersebut takut dita berpikir gimana gitu. Aku kemudian pulang sambil senyum-senyum sendiri membayangkan punya tetangga sekaligus teman yang manis seperti dita. Sampai rumah, aku membantu mba dita dan mba wati menutup warung. Setelah semua beres, aku memberikan uang dari dita dan segera naik ke kamar. Aku segera mencari hapeku, mengecek siapa tahu dita sudah miscall atau wa aku. Tapi aku baru sadar hapeku mati total sedari pagi belum aku charge. Hah ini hape butut kalo ngecharge lama banget. Aku pun mencharge hape dan mulai berbaring. Aku tiba-tiba terbayang betapa manisnya senyuman dita, Aku bersiap-siap ingin tidur dan bangun pagi, memulai hari pertama sekolah yang tertunda.


Semoga sekolah baruku menyenangkan dan aku bisa cepat akrab dan punya banyak teman.


= BERSAMBUNG =

No comments for "LPH #6"