Featured Post

LPH #20

Episode 20
Masa Lalu Sang Penjagal


(Pov Clara Maria)

“Terimakasih baPak Albert atas usahanya dalam penyelesaian kasus ini. Saya sangat mendukung tindakan preventif pihak sekolah agar kejadian kekerasan yang menimpa anak saya tidak terjadi lagi di masa mendatang. BaPak Albert tidak usah khawatir, saya tidak akan membawa para pelaku yang masih usia sekolah ke pihak yang berwajib. Semoga kasus ini bisa menjadi pembelajaran untuk mereka agar bisa menjadi manusia yang lebih baik, lebih bijak dalam bertindak dan tidak mengedepankan kekerasan untuk menyelesaikan masalah.”

Aku berhenti ketika mendengar handphone ku berbunyi. Aku lihat ID penelepon adalah nomor kantor pusat. Ku-reject panggilan tersebut lalu ku-silent. Aku sempat melihat wajah-wajah lega para guru, Pak Robert dan Pak Albert. Cih kalian pikir setelah kalian mengeluarkan para pelaku pengeroyokan, entah pelaku asli atau bukan, kalian bisa tenang dan menganggap semua ini selesai?

“Memang para pelaku tidak akan saya laporkan, tetapi saya tetap menuntut tanggung jawab dari anda Pak Albert selaku kepala sekolah SMA NEGERI XXX dan Pak Robert sebagai wakil kepala sekolah. Karena bagaimanapun juga ini menunjukkan kegagalan anda berdua dalam memberikan rasa aman bukan hanya kepada anak saya tetapi juga anak-anak yang lain, termasuk anak Pak Robert yang sebenarnya menjadi anak yang diincar. Dan yang lebih saya sesalkan lagi adalah kejadian kekerasan ini terjadi di dalam lingkungan sekolah dan masih dalam suasana belajar!!! Dan dengan mengeluarkan tiga siswa yang menjadi tersangka, memasang 50 CCTV, bahkan jika anda memasang 1.000 CCTV pun saya tidak peduli karena anak saya sudah terlanjur menjadi korban yang nyaris berujung fatal. Xavier bukan hanya menderita secara fisik tetapi juga mental ! Jika Xavier sampai tidak mau kembali bersekolah lagi disini, saya akan menuntut secara hukum sekolah ini dan melapor ke Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan agar semua guru di mutasi ke daerah tertinggal di ujung timur negeri ini. Bapak dan ibu sebaiknya berdoa agar Xavier masih mau kembali bersekolah disini. Dan untuk Pak Albert, Pak Robert....”

Wajah kedua bapak tersebut langsung pucat dan tidak berani menatap saya. Bahkan aku sempat mendengar isak tangis dari beberapa guru di sekolah setelah mendengar ancamanku.

“Mulai Senin depan, saya pastikan anda berdua sudah tidak akan memimpin di sekolah ini lagi karena saya sudah tidak mungkin mempercayakan keselamatan anak saya kepada anda berdua. Bahkan sampai anda berdua pensiun, anda tidak akan pernah memegang posisi tertinggi lagi karena anda berdua meninggalkan sekolah ini dengan status demosi menjadi staf tata usaha. Dan tentu saja bukan di sekolah yang berada di perkotaan. Tetapi anda berdua dimutasi ke sekolah terpencil yang berada di pulau terluar negeri ini.”

Pak Albert langsung memucat, kemeja putih yang ia kenakan langsung basah oleh keringat. Sepertinya dia tidak akan menyangka hal ini akan menimpanya.

“Bu Clara ! Saya tahu anda adalah salah seorang pejabat tinggi di BUMN, Presiden Direktur malah, tetapi anda tidak bisa seenaknya menghukum dan menyalahkan kami dengan hukuman yang sangat berat!” protes sang Wakasek.

Berbeda dengan Pak Albert yang seperti pasrah, Pak Robert nampak emosi protes sampai berdiri.

“Justru saya merasa beruntung karena dengan menjabat sebagai Presiden Direktur Feeport, saya memiliki banyak kolega, kenalan dan teman di lingkungan Kementrian Pendidikan. Bahkan Ibu Anis yang menjadi Menteri Pendidikan saat ini adalah teman baik saya selama duduk di bangku SMA. Asal Pak Robert tahu, saya sudah menceritakan kejadian yang menimpa Xavier kepada beliau. Reaksi beliau? Langsung ingin memecat tidak hormat anda berdua! Tetapi saya masih kasihan dengan anda berdua. Makanya saya hanya meminta beliau untuk mendemosi dan memutasi anda berdua ke sekolahan yang yah berjarak 4.000 Km dari sekolah ini. Saat kita mengobrol seperti ini, staf ibu Anis sedang memproses SK demosi dan mutasi anda berdua. Kalau anda tidak sanggup bekerja disana, ya silahkan mengajukan pensiun dini. Hanya saja, jika anda berdua pensiun lalu membuka usaha baru sebagai mata pencaharian, saya bisa pastikan apapun usaha yang anda rintis... tidak akan sukses. Intinya adalah jika sampai anda berdua mengambil pensiun dini, masa depan anda berdua dan anak istri kalian akan suram, sangat suram...”

Mendengar hal tersebut, wajah Pak Robert yang semula memerah menahan marah kini berganti dengan warna putih karena memucat dan luruh lemas hingga terduduk di kursinya kembali.

Aku melihat jam arlojiku, waktu sudah menunjukkan pukul 9.24.

“Baik saya mohon diri dulu karena ada urusan pekerjaan. Masalah ini saya anggap selesai hari ini namun ingat nasib semua guru ada di tangan Xavier. Jika Xavier memutuskan mau tetap melanjutkan sekolah disini, saya minta anda hal kepada anda semua. Pertama, jangan menganak-emaskan Xavier meskipun dia anak saya, perlakukan dia seperti siswa yang lain. jika dia salah maupun mendapat nilai jelek jangan pernah segan untuk memarahinya. Kalau sampai saya tahu, anda semua mendewakan Xavi, saya tidak segan membuang anda semua tanpa kecuali. Kedua, saya minta Xavi tetap satu kelas dengan Yandi, Yosi dan Zen sampai mereka berempat lulus SMA. Dua Permintaan yang saya rasa mudah untuk dilaksanakan, bukan? Nah sepertinya anda semua mengerti. Terimakasih.”

Aku lalu berjalan meninggalkan ruangan dengan santai, selain suara heels yang aku kenakan saat berjalan keluar, ruang rapat pagi ini terasa sepi dan mencekam bak kuburan, hihihi. Sambil berjalan menuju mobil Mercedes-Benz Maybach S-Class yang disopiri oleh Samuel, sopir pribadiku yang ganteng. Aku hendak menelepon Zen, karena aku ingin mendengar pendapat dia tentang pengumuman sekolah hari ini, entah kenapa anak itu memiliki mata yang dingin dan sedikit kejam, 2 sifat yang aku sukai dari seorang pria. Saat aku menerima kiriman foto WA dari Zen yang semalam ia kirim, aku melonjak kegirangan. Karena Zen mengirimkan tiga foto anak yang menjadi komplotan Leo, otak perencana serangan ke Xavi.

Hanya karena tidak memiliki bukti, Zen tidak bisa mengaitkan kejadian pengeroyokan Xavi dengan Leo. Foto yang sebenarnya mengerikan karena ketiganya pingsan dengan wajah berdarah dan luka tambahan yang cukup sadis. Anak yang bernama Yusuf seluruh jemari di tangan kanannya nampak lemas karena patah tulang, anak bernama Rudi jemarinya masih nampak normal tidak ada yang patah hanya saja posisi sendi lengan tertekuk ke arah yang aneh membuatku ngilu melihatnya dan foto terakhir adalah foto anak bernama Gom yang Zen sebut sebagai orang terdekat Leo. Gom menderita luka paling parah dibanding Yusuf maupun Rudi. Wajahnya belepotan darah dan jemarinya sama seperti jemari Yusuf, patah dan nampak lunglai serta membengkak, yang membuatku takjub adalah Zen dengan sadisnya mematahkan 10 jemari tangan Gom sekaligus! Wow! Xavier, teman kamu yang satu sungguh sangat menarik.

“Halo bu clara, selamat pagi.” Jawab Zen dengan suara sopan begitu panggilanku di angkat Zen.

“Kan uda tante bilang, jangan panggil bu, panggil saja tante. Kalau masih panggil tante dengan ibu, aku patahin lho tanganmu hehehe.”

“Hehehe iya tante.”

“Masuk sekolah gak kamu hari ini?”

“Saya bolos sekolah tidur d rumah teman tante, badan masih capek.”

“Gimana kamu gak capek, tiga malam berturut-turut patahin tulang anak orang.”

Hehehe kan kalau tante gak bantu Zen, Zen gak akan lakuin hal itu tan.”

“Oia, gimana belum ada yang datang ke rumah karena tindakanmu?”

“Belum tante, tapi pasti mereka akan datang.”

“Pokoknya kalau mereka datang dan membawamu, setelah sampai kantor polisi, kamu telepon teman tante, Benny ya. Tante sudah cerita tentang hal ini, dia oke dan siap bantu.”

“Makasih tante. Oia, hari ini kan pihak sekolah mengumumkan tentang hasil penyelidikan mereka terkait insiden yang menimpa Xavi. Lalu siapa tante nama pelaku yang diberikan ke tante sebagai pelaku dan perencana serangan?”

“Tante habis dari pertemuan dengan Pak Albert. Berdasarkan hasil inventasi pihak sekolah, tidak ada nama Leo baik sebagai pelaku penyerangan langsung dan juga perencana serangan. Yang ada malah Leo disebut sebagai korban yang hendak diserang, tetapi karena salah koordinasi antar pelaku malah justru Xavi yang jadi korban atau dengan kata lain Xavi adalah korban salah sasaran.”

“Hahahahahahahahahahahahahahahahaha.”

“Hei kenapa tertawa ?”

“Alasan yang sungguh lucu banget tante, sumpah perut saya sampai sakit akibat tertawa sampai terpingkal-pingkal. Karena hanya orang tolol yang tidak bisa membedakan mana Xavi dan mana Leo. Ya meskipun tidak semua siswa kenal Xavi, tetapi bisa saya pastikan mayoritas siswa disini tahu siswa yang namanya Leo, hahaha. Oh lalu ketiga pelaku yang disebutkan Pak Albert siapa saja tante?”


“Untuk dua pelaku penyerangan langsung bernama Saipul anak kelas 1-C dan Kiko anak kelas 2-D. Sebagai perencana serangan adalah Nando anak kelas 3-D.”

Zen yang kudengar masih tertawa langsung berhenti tertawa saat aku menyebutkan nama ketiga pelaku versi pihak sekolah.

“Saipul dan Nando terlibat? Tante gak salah dengar nih.”

“Iya, tante rekam semua pembicaraanku dengan Pak Albert. Kenapa? Kamu kenal dengan para pelaku?”

“Saipul saya kenal sekali karena dia yang selama 3 hari ini mengantarkan saya mencari Rudi, Yusuf dan Gom. Melihat karakter Saipul yang pengecut dia tidak mungkin tetap tenang saat menyerang Xavi tanpa ampun. Nando saya tahu tetapi tidak kenal, hanya saja saya pikir Nando bukan tipe orang yang mampu merencanakan penyerangan dengan rapi, Nando itu tipe prajurti bukan tipe Kapten. Sementara Kiko, saya tidak kenal bahkan tidak tahu yang mana orangnya. Tante, apakah mereka bertiga dihadirkan?”

“Tidak. Pihak sekolah hanya menunjukkan surat pernyataan pengakuan dari ketiganya yang memang mengaku salah. Bahkan orang tua dari ketiga siswa tersebut juga menandatanganinya. Status ketiga siswanya per 22 Juli atau per kemarin sudah dikeluarkan dari pihak sekolah.”

“DUK!”

Aku mendengar seperti suara dinding yang dipukul.

“Tante, rekaman tersebut apakah boleh saya minta?”

Aku sempat ingin menjawab oke, tetapi aku punya ide yang lebih menarik.

“jam 11 kamu bisa datang ke apartemen tante? Kamu bisa dengarkan langsung isi rekaman. Lagipula Tante ingin dengar lebih banyak tentang efek pengumuman ini sebelum tante ceritakan hasil pertemuan pagi ini ke Xavi. Setelah saya ceritakan ke Xavi, dia pasti menceritakan hal tersebut ke kamu, Yandi dan Yosi. Zen, saya minta satu hal sama kamu. Jangan sampai ada yang tahu bahwa Tante mendukung penuh rencana aksimu 3 malam kemarin, siapapun termasuk Xavi. Termasuk pertemuan kita siang nanti, bisa?”

“Jam 11 ya tante? Mungkin saya agak telat kesana karena ada urusan sebentar.”

“Oke.Lokasi apartemen nanti tante kirim via send location di WA.”

“Baik tante.”

KLIK.

“Hari ini Ibu mau kemana saja?” Sapa Samuel ramah sambil membukakan pintu mobil untukku.

“Antarkan saya ke kantor Central Sam, lalu jam 11 kita ke balik ke Apartemen. Jam 12 ke Rumah Sakit Harapan menengok Xavier. Selesai urusan dari Rumah Sakit, kita kembali ke kantor karena ada meeting jam 4 sore.” Jawabku setelah aku duduk di kursi belakang mobil.

“Baik bu. Maaf pintu saya tutup.”

“Iya.”

Setelah menutup pintu mobil, dengan cekatan Samuel kembali ke posisi di belakang setir dan dengan gerakan yang halus mobil melaju dengan tenang menuju kantor. Fiuh urusan Xavier ini ternyata tidak sesimpel yang aku kira. Aku khawatir dengan Xavier sebenarnya, malah hendak aku pindahkan Xavier sekalian sekolah di Amerika tetapi Xavier mewarisi sifat keras kepalaku, pasti dia tidak mau aku pindahkan, meskipun begitu aku lega karena di sekolah tersebut Xavier justru mendapatkan sahabat-sahabat yang ia cari selama ini. Saat aku berada di luar negeri atau di luar kota, hampir setiap malam dia melakukan video call denganku dan anakku terlihat begitu ceria dan antusias menceritakan tentang teman-temannya seperti Yandi yang ramah, Zen yang pendiam dan Yosi yang humoris. Malah belakangan Xavier juga cerita mereka berempat mendapatkan teman cewek yang merupakan penyanyi pendatang baru yang sedang naik daun yang tidak segan nongkrong dan jalan bareng dengan mereka, namanya Vinia. Fiuh, Xavier. Asalkan kamu bahagia, mama akan selalu mendukungmu nak.


****

ZEN
Maat Tante, Zen terlambat 30 menit. Zen sudah di lobi apartemen.
11.23

Zen mengirim pesan di WA.

CLARA
Ya gak apa-apa, langsung naik saja. Tante juga baru sampai.
11.25

Aku segera menuju kamar untuk mengganti baju kemeja, blazer dan rok span yang kupakai dari pagi dengan daster hitam yang agak longgar dan nyaman aku pakai. Hanya saja aku sempat ingin mengganti daster tersebut dengan daster lain karena meskipun longgar, bagian dada daster ini cukup rendah hingga lumayan mengekspose belahan dadaku. Tetapi aku sudah mendengar bunyi bel yang terdengar, berarti Zen sudah di pintu. Yasudah lah anggap daster seksi yang aku kenakan ini bonus buat Zen hihihi.


Aku segera ke depan dan sempat aku intip dari lubang pintu melihat siapa yang datang, dan memang Zen yang datang. Aku segera membukakan pintu.

“Halo Zen. Ayo masuk.”

“Ha..lo...Tante...”

Aku tertawa geli karena begitu pintu aku buka, Zen seperti salah tingkah melihat penampilanku.

“Eh ayo cepat masuk.”

“Iya tante.”

“Kamu tunggu di sofa sana. Tante ambilkan minuman. Kamu mau minum apa?”

“Susu tante...ehh bukan-bukan.”

“Hah apa? Susu tante hihihi.”

“Eh maksud saya coca-cola saja tan.”

Aku benar-benar tertawa melihat Zen yang kini salah tingkah. Baru lihat belahan dada tante aja, kamu udah salah tingkah keringetan gini Zen.

“Hayoo, pilih susu atau coca-cola nih? Di kulkas ada dua-duanya soalnya. Susu aja kali ya hehe karena kamu kelihatannya haus banget hehe. Duduk Zen.”

Sambil tertawa aku menuju ke dapur dan membuka kulkas. Ada susu kotak Ultra rasa Coklat dan Vanilla di dalam kulkas. Ah jadi pengen godain Zen lagi. Kuambil dua kotak susu tersebut. Kulihat Zen melihat-lihat seisi apartemen ini. Ya apartemenku ini termasuk paling mewah di antara semua apartemen di gedung ini.

“Zen..pilih susu tante yang kanan atau kiri?” godaku saat Zen tidak menyadari bahwa aku berdiri di dekatnya.

Zen langsung terbatuk-batu melihat dua kotak susu Ultra yang aku pegang tepat di depan dadaku.

“Ehm maksud Tante, Zen mau pilih Susu Ultra rasa Coklat yang tante pegang di tangan kanan atau pilih Susu Ultra rasa Vanilla yang tante pegang di tangan kiri”

“Pil...lih..pilih susu tante yang rasa Vanilla ! Eh maksud Zen Susu Ultra rasa Vanilla tan.”

Kusodorkan susu Ultra rasa Vanilla dan Zen menerimanya denga tangan agak gemetar hahaha. Begitu ia terima Zen langsung mencoblos susu kotak dengan sedotan dan langsung ia minum bak orang kehausan.

“Ya ampun Zen, haus banget ya kamu. Sampe keenakan banget minum susu tante......yang rasa vanilla. Nih Zen masih ada susu tante yang sebelah kanan ..rasa Coklat lohh..”

Kuletakkan Susu Ultra rasa Coklat di meja depan Zen dalam posisiku berdiri sehingga aku yakin sekali belahan dadaku yang menggantung dan cukup kelihatan karena daster yang longgar ini. Ah sudah lama rasanya aku tidak menggoda cowok sedemikian rupa, kamu beruntung Zen karena sudah puluhan laki-laki yang coba mendekati tante entah karena jatuh cinta dengan Tante atau karena tergiur dengan kemolekan tubuh seorang janda kaya raya usia 45 tahun namun masih memiliki tubuh seperti gadis berumur 20 tahun. Berkat hobi nge gym dan memang memiliki keturunan payudara besar dari mama dan omaku, saat para laki-laki melihatku, pandangan mata mereka akan selalu tertuju ke arah dadaku baru melihat wajahku. Sepertinya sudah cukup aku menggoda Zen karena aku kasian melihat Zen yang sudah benar-benar salah tingkah karena kugoda terus.

“Sambil kamu minum susu, tante putar ya rekaman percakapan tadi pagi di sekolah.”

Kuletakkan handphone di meja dan kuputar rekaman pembicaraanku dengan pihak sekolah. Saat mulai kuputar, aku mengamati Zen yang begitu mendengar rekaman suara di putar, ia letakkan susu kotak yang sudah habis lalu duduk diam memandang ke arah handphone. Dari Zen yang salah tingkah dia sudah berubah menjadi Zen yang serius benar-benar serius, matanya seolah mengkilat melihat handphoneku. Sementara jempol kanannya mengosok-gosok punggung tangan kirinya. Sepertinya Zen sedang memproses isi percakapanku tadi pagi dengan pihak sekolah lalu disambungkan dengan informasi yang ia tahu. Aku terkesan bagaimana begitu cepat sikap Zen berubah, anak ini seusia dengan Xavier tetapi dalam hal fokus dan keseriusan, anakku jelas kalah bahkan untuk anak seusia mereka, Zen nampak jauh lebih dewasa bahkan menyerang orang lain dan mematahkan jari mereka seolah bukanlah sesuatu yang luar biasa buat Zen bahkan terlihat biasa saja. Keras, anak ini memiliki masa lalu yang penuh kekerasan. Aku jadi semakin tertarik dengan sosok Zen yang sebenarnya.

Melihat Zen yang begitu serius, membuatku berhenti menggodanya dan ikut mendengarkan percakapanku dengan Pak Albert dan Pak Robert mulai dari mereka mengumumkan hasil investigasi versi sekolah dan bagaimana aku menghukum keduanya sebagai pihak yang paling bersalah dalam hal ini. Sekitar 20 menit kami terdiam sampai akhirnya rekaman selesai.

“Sepertinya minggu depan sekolah kami memiliki Kepala dan Wakil Kepala yang baru nih heee.” Zen tertawa sendiri.

“Bukan sepertinya, tapi pasti. Sore ini surat pemanggilan keduanya akan dikirim dan besok mereka harus menghadap ke Dirjen Pendidikan untuk menerima keputusan demosi jabatan sekaligus mutasi.”

“Haha keren.”

“Terlepas dari hukuman yang tante berikan kepada Pak Albert dan Pak Robert, bagaimana pendapatmu tentang hasil investigasi versi pihak sekolah?”

Zen memandang ke arahku dengan tatapan mata yang teduh tetapi justru terlihat menyeramkan, wow Zen.

“Omong kosong tante, ketiga siswa yang dikambing hitamkan oleh Pak Albert justru menjadi korban pemerasan dan pemaksaan, ketiganya membuat surat pengakuan bersalah dalam kondisi tertekan dan tidak punya pilihan lain. Para pelaku sebenarnya masih duduk dengan tenang.”

“Ketiganya korban pemerasaan dan membuat surat pengakuan dalam kondisi di bawah ancaman?Kamu tahu darimana?”

“Setelah tadi telepon saya, saya langsung mencari keberadaan ketiganya. Memang status mereka sudah dikeluarkan dari sekolah SMA NEGERI XXX tetapi masih tinggal di Kota ini jadi masih mudah untuk menanyakan apakah benar mereka pelakunya. Pelaku pertama yang saya datangi adalah Saipul, saya 100% yakin dia tidak terlibat. Asal tante tahu,Ipul adalah teman yang mencari tahu keberadaan Yusuf, Rudi dan Gom dan menemaniku selama 3 hari terakhir ini. Saat tadi saya mendatanginya di tempat biasa ia bolos sekolah dan mengkonfrontasi tentang surat pengakuan bersalah yang ia buat yang menyatakan bahwa dia adalah salah satu pelaku, Saipul menangis sambil bersimpuh di kaki ku. Sambil menangis Ipul bercerita bahwa dia di ancam Leo untuk menandatangani surat pernyataan bersalah karena kalau tidak video bokep Ipul yang bercinta dengan seorang PSK Waria akan disebar Leo di internet dan grup-grup WA semua anak sekolah di kota ini.”

“Tante gak salah dengar nih? Video bokep Ipul dengan PSK Waria? Si Ipul ini homoseks?” Jelas aku kaget mendengar hal tersebut.

“Leo pernah mengajak Saipul main ke Alexa dan mentraktirnya ML dengan salah seorang wanita disana. Ipul mengaku dicekoki minuman keras dan sepertinya juga diberikan obat perangsang jadi ketika Leo memanggil salah seorang wanita, tanpa pikir panjang Ipul langsung maen hajar itu wanita. Ipul baru sadar bercinta dengan Waria ketika posisi WOT, si waria memasukkan kemaluan Ipul di lubang belakangnya dan akhirnya titit si Waria kelihatan oleh Ipul.

Ipul ngakunya sih langsung berontak tetapi kalah tenaga karena mabuk berat dan mungkin keenakan juga akibat kena obat perangsang hingga dia pasrah diperkosa Waria sampe nangis. Yang membuat Ipul shock ternyata pada saat itu Leo dan teman-temannya justru merekam adegan tersebut. Jadi ya aku cukup mengerti jika Saipul lebih memilih jadi kambing hitam dan dikeluarkan dari sekolah daripada aib terbesar dalam hidupnya diketahui semua orang. “

“Wah gila juga Leo jebak temannya sampe seperti itu. Kalau dua orang yang lain bagaimana?”

“Kalau Nando saya tidak berhasil menemukannya karena setelah keluar dari klinik dan menandatangani surat pengakuan dia susah ditemukan, besar kemungkinan dia sudah pindah keluar kota 2 hari lalu. Lalu berkat bantuan teman, saya bisa bertemu dengan Axel yang pernah 2 tahun 1 kelas dengan Nando. Beruntung Axel sedang kumat penyakit bolosnya jadi dia bisa saya temui di tempat tongkrongannya. Waktu saya ceritakan ke Axel tentang Nando yang menandatangani surat pengakuan bersalah bahwa dia adalah pelaku perencanaan dan meminta pendapat Axel tentang sifat Nando, Axel malah tertawa terbahak-bahak.

Karena menurutnya otak Nando itu sudah geser karena terlalu sering berkelahi jadi tidak mungkin Nando bisa merancang penyerangan serapi yang menimpa Xavi. Berkat keterangan Axel tersebut saya jadi 100% yakin Nando juga dipaksa untuk mengaku mungkin dengan cara ancaman tetapi dengan cara yang seperti apa saya kurang tahu. Kalau Kiko? Keberadaannya misterius, saya belum bisa memastikannya. Tapi menurut saya ini tidak penting lagi karena jelas ada campur tangan Leo dan kakak tirinya Oscar sehingga ketiga orang ini mengakui perbuatan yang jelas-jelas tidak mereka lakukan.”

“Leo...Oscar..sepertinya mereka benar-benar mempunyai otak kriminal. Enaknya tante apaian ya mereka?”

“Biarkan mereka berdua tante, biarkan kami yang menghukum keduanya, tentu saja dengan cara kami sendiri. Dengan tante bisa memindahkan Pak Robert keluar dari sekolah ini, ditambah dengan cara tante membuat Pak Robert miskin, sudah pasti kekuatan utama Leo yakni uang dan kekuasaan sudah hilang. Hal itu saja saya yakin membuat Leo dan Oscar sangat terpukul karena kekebalan hukum sekolah yang mereka nikmati saat ini sudah hilang. Kalau sudah seperti ini, maka cara terbaik untuk menghukum mereka adalah dengan membantai keduanya saat pecah perang antara kelompok kami dengan kelompok Oscar-Leo. Tentang Xavi, saya yakin 1000% tidak akan ada seorangpun yang akan berani menyentuh Xavi, jadi dia aman. Biarkan Xavier bersekolah dengan tenang tante, masalah pembalasan serahkan kepadaku, Yandi dan Yosi. Heee”

Aku tidak menyangka anak berusia 16 tahun sudah bisa berpikir, bertindak sedemikian cermat. Entah pembalasan seperti apa yang akan mereka bertiga lakukan, yang pasti ini membuatku cukup terkejut dengan pola pemikiran ketiga teman Xavi, demi seorang sahabat yang disakiti orang lain, mereka bersiap menanggung semua akibatnya asal balas dendam bisa dibayar tunai.

“Dasar kalian bertiga, kelihatannya saja dari luar pendiam dan biasa saja, tetapi nyatanya punya jiwa berandalan juga.”

“Oia tante, apakah tante juga serius dengan mengancam memindahkan semua guru di sekolah jika Xavier tidak mau kembali bersekolah di SMA NEGERI XXX?” Tanya Zen.

Aku mengangguk.

“Yakin, tante serius.”

“Termasuk bu Shinta?”

“Iya, semua tanpa kecuali.” kataku mantap.

Zen lalu nampak menghela nafas.

“Tapi kalian tenang saja, karena saya juga yakin setelah Xavier sembuh dia akan tetap mau masuk sekolah karena dia tahu punya sahabat-sahabat yang luar biasa seperti kalian bertiga dan Vinia yang menunggunya di sekolah.”

Zen tersenyum menatapku, manis juga ni anak kalau lagi santai. Tuh kan cepat banget kepribadiannya berubah. Aku jadi penasaran pengen bertanya tentang masa lalunya.

“Zen, tante mau nanya sesuatu.”

“Apa tante?”

“Dari bagaimana kamu dengan santainya menghajar ketiga teman Leo sampe menderita patah tulang, apakah kamu sebelumnya pernah terlibat sesuatu yang seperti ini? Kamu tuh baru anak 16 tahun lho.”

Zen mengalihkan pandangannya dariku, lalu dia duduk bersandar di sofa dan memandang langit-langit.

“Oh tante mau tahu masa lalu saya ya, masih 16 tahun tapi bisa berbuat hal sesadis seperti yang kulakukan ke teman Leo?” Tanya Zen sambil menatapku dingin. Gila, sepertinya Zen ini berkepribadian ganda. Senyumnya yang hangat terkembang manis saat kusinggung tentang persahabatan dia dengan Xavier dan 3 teman yang lain, tetapi langsung menghilang tidak berbekas dan ekspresinya menjadi dingin ketika kutanya tentang masa lalunya.

“Yakin tante mau dengar?” Tanya Zen dingin.

Aku mengangguk, sialan entah kenapa malah aku yang gemetaran.

“Aku dibesarkan oleh seorang ayah yang otoriter dan disiplin tante, semenjak kecil aku dididik dengan sangat keras oleh ayah kandungku. Kalau aku salah sedikit, entah dapat nilai jelek, tidak menuruti perintahnya, melanggar peraturan rumah yang beliau terapkan, tendangan dan pukulan akan melayang terlebih dahulu, kalau aku sudah tidak berdaya, ibu saya nangis-nangis mohon ampun ke ayah, baru beliau berhenti. Dan siksaan fisik berubah menjadi siksaan verbal, aku dimaki-maki sebagai anak nakal, anak tidak tahu di untung, malu-maluin orang tua. Belum puas sampai disitu, ibu pun juga kena makian karena melahirkan anak laki-laki yang lemah dan kurang ajar. Saya mengalami hal tersebut dari SD kelas 1 sampai SMP. 

Entah apakah saya mesti berterimakasih atau tidak kepada ayah saya, karena terbiasa hampir setiap hari disiksa fisik dan mental, membuatku tumbuh jadi anak yang tahan ejekan dan tahan pukulan. Di sekolah saya menjadi korban bully hanya karena aku menjadi anak paling pendiam, paling rajin di kelas dan selalu juara kelas. Dan dianggap kurang setia kawan karena aku tidak pernah mau memberikan contekan kepada siapapun. Mana mau saya memberikan contekan PR atau pada saat ulangan karena bisa saja yang mencontek mempunyai nilai sama bahkan lebih tinggi dariku karena satu-satunya cara untuk membuat ayah berhenti memukuliku adalah dengan memperlihatkan angka 100 di semua ulangan dan menjadi juara kelas. Jika ada satu pelajaran yang mendapat nilai di bawah 100, bahkan mendapat nilai 99 sekalipun, ayah tetap menghajarku seperti aku mendapat nilai 20...”

Zen diam sejenak dan lalu menunduk. Ya ampun, menuntut anak untuk selalu mendapat nilai 100 di semua mata pelajaran itu gila namanya! Batinku, tapi aku sengaja tetap diam karena kalau aku potong perkataan Zen, dia bisa defensif dan berhenti bercerita.

“Saat di SD aku tidak mempunyai teman dekat satupun tante karena aku dianggap anak yang aneh. Bully yang aku terima dari SD berlanjut hingga SMP. Teman-teman sekelas sering meminta uang jajanku, kalau uang yang kuberikan kurang atau terlalu sedikit mereka akan menghajarku. Namun aku tidak merasa sakit sedikipun saat dipukuli, karena pukulan dan tendangan mereka tidak ada apa-apanya jika dibandingak pukulan ayah saat menghukumku. Hanya saja di SMP ini aku beruntung karena ada 1 teman yang mau berteman denganku, namany Rulia. Dia baik dan menjadi satu-satunya orang yang membelaku jika aku dibully para anak nakal di kelas. Saat aku terluka lecet, Rulia akan berlari ke UKS sekolah dan membawa kapas serta betadine untuk mengobati lukaku. Hampir setiap hari di sekolah Rulia akan mengajakku belajar bareng, makan bareng di kantin bahkan saat naik ke kelas 2, Rulia duduk di sampingku. Karena kedekatan kami, banyak yang mengira kami sudah pacaran. Saat Rulia yang cantik di ejek karena mau pacaran dengan anak aneh sepertiku, dia hanya cuek bahkan lalu menggenggam tanganku di kelas bahkan di lorong sekolah.

Karena hal tersebut pelan-pelan aku mulai bisa membuka diri. Rulia menjadi tempatku berkeluh-kesah dan Rulia akan menangis sambil mengobati luka di tubuhku ketika dia melihat lebam-lebam di badan akibat siksaan dari ayah. Rulia sering memintaku untuk melapor ke guru tentang kekerasan yang dilakukan ayahku tapi menolak karena jika ada orang tahu, aku takut ayah akan kalap dan bisa menyakiti ibuku. Karena semenjak aku SMP, ayah juga mulai ringan tangan dengan ibu karena masalah sepele. Aku tidak pernah melawan maupun marah jika ayah menyiksaku tetapi aku tidak tahan jika ayah juga memukuli ibu. Aku akan memeluk ibu dan rela menjadi tameng hidup agar pukulan dan tendangan ayah tidak mengenai ibu. Justru hal itu malah membuat ayah semakin marah dan menghajarku sampai aku pernah masuk rumah sakit karena gegar otak ringan, jemari dan lengan patah. 2 bulan aku tidak masuk sekolah.

Dan saat polisi turun tangan, ayah dengan santai bercerita aku bisa sampai terluka sedemikian parah karena memergoki maling yang mencoba masuk rumah dan menghajarku lalu pergi,. Polisi percaya dengan keterangan ayah karena diperkuat dengan keterangan ibu. Ibu jelas-jelas terpaksa berbohong mungkin karena ayah mengancam akan membunuhku jika bilang ke polisi tentang kejadian yang sebenarnya. Selama 2 bulan di rumah sakit, selepas pulang sekolah Rulia akan menemaniku di rumah sakit sampai ibuku pulang dari tempat kerja. Tubuhku sakit, tetapi hati dan perasaanku luar biasa senang. Karena untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa aku menyayangi Rulia. Hal tersebut membuatku pulih lebih cepat karena aku ingin cepat masuk sekolah, belajar dan makan bersama Rulia lagi. Tepat hari pertama aku masuk, entah dapat keberanian darimana aku menyatakan perasaanku ke Rulia. Rulia menjawab pernyataan rasa sayangku dengan mencium bibirku seusai pulang sekolah di ruang kelas yang sepi menyisakan kami berdua saja. Tante Clara, itu adalah momen terbaik yang pernah aku alami sepanjang hidupku..hanya saja..momen indah itu lalu berlalu menjadi mimpi terburuk..”

Zen berhenti bercerita dengan nafas tercekat, sepertinya setelah ini dia akan menceritakan hal terkelam yang ia lalui dan mengubahnya menjadi Zen yang kejam.

“Saat kami pulang sekolah bergandengan tangan dan keluar dari gerbang,ada beberapa teman sekelas yang terkenal nakal dan suka membullyku mulai mengejek. Karena aku sudah kebal terhadap semua ejekan, mereka mulai mengejek Rulia dengan nada yang sangat melecehkan bahkan sampai ada yang memanggil Rulia dengan sebutan Cantik-cantik kok Lonte, Rulia yang tomboi langsung menghampir mereka dan menampar anak yang mengatainya Lonte. Anak yang di tampar Rulia tidak terima dan membalas dengan menendang Rulia hingga terjengkang ke jalan raya. Dan kemudian melintas truk bermuatan berat dan melindas tubuh Rulia. Rulia meninggal seketika akibat luka parah kepala pecah dan tubuh tergencet, hampir semua tulangnya remuk. Tante, aku melihat pemandangan tersebut dengan mata kepalaku sendiri, perempuan yang paling aku sayangi selain ibuku, meninggal tepat di depan mataku....dia meninggal tepat di depan mataku tante..tanpa pamit Rulia pergi tante..”

Ya Tuhan.. Aku terkejut mendengarnya. Itu cerita yang bukan hanya menyedihkan tetapi juga tragis melihat orang kita sayangi meninggal dengan cara mengerikan tepat di depan mataku. Duh Zen menangis tersedu pelan, aku segera duduk mendekati Zen dan memeluknya. Kepala Zen bersandar di pundakku kanannku. Kuusap-usap kepalanya seolah Zen adalah anakku sendiri.

“Lalu apa yang kamu lakukan Zen.”

“Saat itu aku langsung pingsan tante. Saat sadar, aku berharap pemandangan yang terakhir kusaksikan cuma mimpi. Tetapi tangisan ibu yang duduk disampingku dan membisikkan kalimat agar aku tetap sabar seolah membawaku kepada kenyataan bahwa Rulia memang sudah meninggal dunia siang tadi. Rupanya aku pingsan tidak sadarkan diri sampai keesokan harinya dan melewatkan prosesi pemakaman Rulia yang dimakamkan malam itu juga. Aku merasakan seperti ada yang hilang dalam diriku dan tidak mungkin bisa satupun orang yang mengembalikannya karena bagian tersebut sudah dibawa oleh Rulia. Di saat aku dirundung kesedihan yang amat sangat aku mendengar suara ayah yang tiba-tiba berkata,

‘ dasar cowok cengeng! cuma gara-gara lihat orang mati dilindas truk langsung pingsan, buang-buang duit ayah saja buat bayar rumah sakit ! Coba seandainya teman cewekmu itu tidak dekat-dekat denganmu, pasti dia masih hidup, jadi secara tidak langsung kamu yang sudah membunuh temanmu sendiri’,

belum pernah aku merasakan amarah yang luar biasa pada saat mendengarnya tante. Tubuhku bergetar dan menegang! Aku langsung meloncat dari tempat tidur dan menendang wajah ayahku sampai dia terjatuh di lantai. Aku yang sudah kalap langsung mengambil vas bunga di atas meja dan kuhantamkan ke kepala ayah sampai kepalanya bocor berdarah, belum puas melihat ayahku berlumuran darah, kursi besi yang ada di dekatku kuambil dan kuhantamkan ke tubuh ayahku berulang-ulang! Kudengar ibu berteriak histeris dan memanggiil para perawat. Kemarahan yang tertumpuk dari kecil benar-benar meledak saat itu juga! Para perawat perempuan yang berdatangan jelas tidak bisa menghentikan kegilaanku sampai beberapa security datang dan menangkapku. Aku terus memberontak, kupukuli semua orang yang ada disana.

Pecahan vas yang terbuat dari gelas, kusabet-sabetkan membuat tidak ada yang berani mendekat. Saat itu ayah sudah tidak sadarkan diri berlumuran darah dan mungkin beberapa tulang patah karena aku hantam dengan kursi yang dari besi sekuat tenaga! Saat ada kesempatan aku langsung melesat pergi dari rumah sakit! Tidak ada yang bisa mengejar binatang yang tengah terluka. Aku berlari dan bersembunyi ke area terminal bus dekat rumah sakit yang ramai sehingga orang-orang yang mencari dan mengejarku tidak bisa menemukanku. Aku bersembunyi di salah satu bus yang teronggok di belakang terminal karena rusak. Aku tidak bisa tidur sama sekali sepanjang malam karena tubuhku gemetaran akibat emosi yang meluap-luap. “

“Begitu pagi datang, aku mendatangi sekolahku dan kembali bersembunyi di halaman rumah kosong yang dekat sekolahku, dari balik pagar rumah kosong, aku mengawasi setiap murid yang masuk ke sekolah hingga akhirnya aku menemukan beberapa orang yang kemarin menggangguku kelihatan. Bahkan anak yang menendang Rulia hingga jatuh di jalan raya juga masuk sekolah dengan santai, tertawa-tawa seperti biasa. Aku sampai menggigit tanganku sendiri karena kemarahan luar biasa yang menguasai tubuhku. Tidak kurasakan sakit sama sekali darah yang keluar karena luka gigitan. Aku bagaikan seekor anjing gila yang meringkuk di tanah karena sudah tidak sabar ingin mencabik-cabik tubuh mangsaku.

Akhirnya jam sekolah pun usai, aku sudah sangat hapal kebiasaan mereka yang telah membuat Rulia meninggal, yang nongkrong di warung dekat sekolah. Saat melihat ada beberapa mangsaku tengah duduk di atas motor dengan santai, kuambil batu yang tergeletak di dekat dan melesat bagaikan seekor hyena yang mencium bau bangkai. Anak pertama yang aku serang adalah anak yang memanggil Rulia dengan sebutan Lonte dan dia pula yang sudah menendang Rulia yang secara tidak langsung menjadi penyebab Rulia meninggal. Aku hantam kepalanya dengan batu yang kuayunkan sekuat tenaga, begitu dia tersungkur kembali kupukuli belakang kepalanya dengan batu sampai kepala anak tersebut banjir darah, seragam yang ia kenakan berwarna merah akibat darah begitu juga dengan baju putih dari rumah sakit yang kukenakan. Setelah anak itu sudah tidak bergerak, aku langsung menyerang temannya yang juga suka membullyku.Dia mencoba lari tetapi langsung kulempar dengan batu yang kupegang tepat mengenai kepalanya, begitu dia terjatuh aku langsung menindih punggungnya, menjambak rambutnya lalu kuhantamkan wajahnya ke aspal sekuat tenaga, sampai dia tidak bergerak.

Kudengar teriakan orang-orang disekitarku mereka berlari ketakutan melihatku berdiri dengan baju dan tangan berlumuran darah. Lalu ada 1 orang yang juga suka membullyku menyerangku dengan pisau yang ia ambil dari warung. Saat ia hendak menusukku, aku mengelak tetapi lenganku terluka, langsung kupegang dan kupuntir hingga pisau tersebut jatuh. Setelah pisau jatuh, kupatahkan lengannya sampai terdengar bunyi krak, kemudian 5 jemari kanannya aku patahkan sama seperti aku mematahkan jemari Yusuf dan Gom. Saat anak itu terguling-guling kesakitan,aku ambil pisau yang jatuh dan kudatangi anak itu. Saat pisau hendak kutusukkan ke perut anak itu, ada merasa ada yang menghantam tengkukku dengan keras sehingga aku jatuh pingsan.”

Zen sudah tidak lagi tersedu-sedu, suaranya kini berubah menjadi tegas dan dingin, dia masih tetap bersandar di pundakku.

“Lalu apa yang terjadi selanjutnya Zen.”

“Apakah tante pernah membaca berita tentang seorang anak SMP yang menyerang ayah kandungnya hingga meninggal di rumah sakit lalu keeseokan harinya menyerang tiga teman sekelasnya di depan sekolah?”

Aku coba mengingat-ingatnya dan dengan mudah teringat berita yang sangat menghebohkan negeri ini, berita 2 yang lalu. Berita yang membuatku kaget, marah sekaligus ngeri karena kok bisa ada anak kelas 2 SMP bisa berumur 14 tahun bisa sampai tega membunuh ayah kandungnya sendiri, lalu keesokannya menyerang 3 temannya. 1 siswa meninggal dunia akibat kepala bagian belakangnya luka sangat parah karena hantaman dengan batu, 1 korban lain sekarat nyaris meninggal tetapi beruntung bisa tertolong dan 1 korban lagi mengalami patah tulang jemari dan lengan. Gilaa, jadi anak yang tengah bersandar di dekatku saat ini adalah anak yang oleh para media nasional dijuluki Sang Penjagal. Karena perbuatan sadisnya, Zen ditangkap polisi. Tetapi karena dia masih di bawah umur dan hasil tes kejiwaan menunjukkan dia mengalami gangguan jiwa, Zen dibawa ke rumah sakit jiwa yang lokasinya di rahasiakan dan diisolasi di ruangan khusus. Lalu berita tentang Sang Penjagal kemudian menghilang seiring waktu.

Tetapi aku tidak merasa takut karena setelah mendengar cerita dari Zen secara langsung aku kurang lebih mengerti neraka dunia yang ia alami sedari kecil.

“Iya tante ingat.”

“Tante gak takut dengan saya?” Zen memperbaiki posisi duduknya dan menatapku.

Aku menggeleng. Kuelus pipi Zen.

“Tidak, tante tidak takut dengan Zen. Tante justru kasihan dengan Zen. Zen, apa yang terjadi selama di rumah sakit jiwa dan bagaimana bisa akhirnya kamu bisa sekolah di Kota ini?”

“Sejujurnya tante, pada saat itu aku baik-baik saja dan pura-pura gangguan jiwa agar tidak masuk penjara remaja. Akibat didikan keras mendiang ayahku, aku menyukai membaca buku apa saja termasuk buku psikologi yang ada di perpustakaan sekolah. Sehingga berkat buku tersebut, aku bisa memanipulasi hasil tes seolah-olah aku gangguan jiwa.Ya selama di rumah sakit jiwa aku merasa tenang karena amarahku sudah pergi bersama dengan 2 nyawa yang kuhilangkan. Selama di rumah sakit, aku mendapat pengawasan khusus dari Dokter Aji. Berkat Dokter Aji aku semakin tenang dan bahkan dianggap bisa sembuh alias waras. Karena tahu aku suka membaca, dokter Aji memberiku banyak buku. Tetapi aku meminta buku pelajaran kelas 2 karena saat itu aku masih kelas 2. 1 tahun aku di rumah sakit jiwa, Dokter Aji dan semua dokter kagum dengan kepintaranku bahkan pihak RSJ sampai menguji IQ ku. Dan berdasarkan tes IQ, ternyata di usia 14 tahun aku sudah memilki IQ 139, hehehe.

Lalu Dokter Aji meminta agar aku diikutkan program home schooling. Setelah proses lobi yang sangat panjang ke Kementerian Pendidikan, aku bukan hanya di setujui untuk mendapat home schooling tetapi juga bisa ikut ujian kenaikan ke kelas 3 SMP. Tentu saja aku dengan mudah lulus ujian. Dan 1 tahun berikutnya aku kembali lulus SMP lewat proses homeschooling dan aku juga melewati tes kejiwaan dimana hasilnya aku dianggap sudah sembuh dan normal kembali. Setelah melalui proses panjang dengan pihak kepolisian dan hakim yang menangani kasusku, aku diampuni karena 2 tahun ini aku bersikap tenang pokoknya jadi anak baik. Akhirnya aku bisa keluar dari rumah sakit jiwa, Dokter Aji yang merawatku lalu menikah dengan ibuku kemudian kami bertiga pindah kesini 6 bulan yang lalu hingga akhirnya aku bisa mendaftar masuk ke sekolah SMA NEGERI XXX di Kota yang berjarak ribuan Kilomoter dari tempat asalku. Semua proses tersebut benar-benar dirahasiakan agar aku bisa berbaur kembali ke dalam masyarakat dan bisa mengikuti pendidikan di jalur formal. ”

“Wow kamu sungguh luar biasa Zen..” Pujian meluncur dari mulutku begitu saja.

Zen tersenyum

“Seperti itulah masa laluku Tante. Tante tenang saja, aku yang sekarang jauh lebih bisa mengontrol diriku sendiri. Aku tidak akan sampai membunuh Leo atau siapa saja yang sudah menyakiti Xavier, hanya saja mereka tetap akan kuhajar sampai yah.....berpikir untuk lebih baik mati saja daripada menanggung rasa sakit karena perlahan tulang mereka kupatahkan pelan.....pelan....” Ujar Zen menyeringai.


= BERSAMBUNG =

No comments for "LPH #20"