Featured Post

LPH #29

Episode 29
Ini Semua Salahku




(pov : Yandi)


Dan perkataan Riko tersebut sepertinya membakar  emosi teman-teman yang lain.

“KITA GAK BOLEH DIAM SAJA! AYO KITA SERANG !” ujar Ari sampai berdiri sambil berteriak.

“IYA GUE SETUJU SAMA RIKO DAN ARI, KITA MESTI BALAS YAN!” Abas pun juga ikut tersulut emosi.

“DASAR MEREKA PENGECUT! SIGIT PASTI DIKEROYOK ! ANJING!” Bagas pun sebelas duabelas dengan Riko dan Ari. Dan kemarahan pun menjalar ke semua orang. Semua teman-teman uda pada berdiri, seakan udah siap untuk maju berperang. Dan kini hanya aku dan Zen yang masih duduk di sofa. Saat aku hendak mengatakan sesuatu, Zen yang terlebih dahulu bereaksi.

“Serang? Mau nyerang siapa?”

“INI PASTI PERBUATAN TEMAN BRAM DAN ALIANSI OSCAR!” Seru Farel yang semakin menambah panas suasana.

“Elo semua sudah siap mati muda belum? Kalau sudah siap, ayo gue anterin ke Cafe Oliver, basecampnya kelompok Oscar. Semua bajingan yang elo maksud hampir setiap malam ada disana.”

Dan mendengar perkataan Zen, membuat semuanya terdiam. Kecuali Riko yang sudah benar-benar emosi karena Sigit teman dekatnya terkapar.

“Maksud elo apaan Zen?” ucap Riko dengan nada tinggi.

Zen tidak menanggapi pertanyaan Riko, tapi ia justru nampak menghitung jumlah orang yang berkumpul disini.

“Ada 14 orang, kalo ditambah gue dan Yandi jadi total 16 orang.  Gue mau nanya ke elo-elo pada yang udah emosi, jawab pertanyaan gue dulu dan jawab jujur. Kalian pernah dikeroyok sama orang ketika berantem? Maksud gue, elo sendirian tapi musuh kalian lebih dari 2.”

Semua terdiam dan aku langsung bise menebak arah pembicaraan Zen.

“Oke, gue tahu elo pada jago berantem dan gue anggep kalau satu lawan satu gue yakin elo tangguh. Tapi pernah gak kalian dikeroyok? Gue pernah menghadapi situasi seperti ini. Gue bisa menang melawan 4 bajingan sekaligus. Mereka bukan orang yang lebih muda lho ya, tapi masih sebaya. Tetapi akhirnya gue bonyok ketika datang ke orang kelima dan mereka menyerbu gue secara bersamaan.  Ada yang sudah pernah menang lawan 2 orang sekaligus? Yang sudah angkat tangan.”

Sekitar 8 orang mengangkat tangannya. Termasuk Riko, Abas, Bagas, Aji dan Farrel.

“Sip. Kalau 1 lawan 3?”

3 orang menurunkan tangannya. Tinggal 5 orang. Riko, Abas, Bagas, Aji dan Farrel.

Wah tangguh juga mereka, batinku.

“1 lawan 4?”

Dengan perlahan-lahan kelimanya menurunkan tangannya.

“Sepertinya lawan 4 orang menjadi batas maksimal ya. Yan, elo paling banyak pernah menang lawan berapa orang sekaligus?” Tanya Zen tiba-tiba kepadaku.

“6 orang.” jawabku santai. “Waktu aku kelas 3 SMP, lawanku 6 orang anak SMA.”

Dan jawabanku sepertinya membuat semuo orang termasuk Zen terdiam. “ Serius lo Yan? “ Zen bahkan bertanya balik kepadaku. “Iya serius. Gara-gara aku dipalak habis menang main remi di belakang pasar. Udah capek-capek taruhan, gertak orang. Eh dipalak. Ya aku emosi dan terjadilah 1 lawan 6.”

Lagi-lagi mereka terdiam. “Kunci lawan orang banyak tuh kuncinya cepat baca situasi dan sigap. Anggap aja kita cuma 1 kesempatan untuk menyerang 1 lawan. 6 orang lawan berarti 6 kali serangan. Dan 1 serangan itu mesti melumpuhkan 1 orang. Kalau seranganmu gak efektif, mereka bisa bangun lagi dan permainan selesai kalau mereka masih bisa bangun dan kita diserang bersamaan.”

Mendengar penjelasanku mereka semua tambah diam.

“Jangan anggap semua orang disini sekuat elo kali Yan. “ Zen kesal sendiri. Saat Zen ingin berkata sesuatu aku langsung berdiri di hadapan semua orang.

“Arah pembicaraan yang dimaksud Zen adalah kita ini semua yang ada di ruangan ini cuma 16 orang. Aliansi Oscar? Mari kita kalkulasi secara kasar. Kelas 1A sampai 1C itu pasti pro Leo. 1 kelas minimal ada 10 orang bajingan. Jadi dari kelas 1 terkumpul 30 orang. Lalu kelas 2 malah jauh lebih banyak. Semua bajingan dari kelas 2 itu masuk kelompok Bram. Ada 6 kelas jadi ada 60 orang dari kelas 2. Di kelas 3, em aku gak begitu jelas. Kelas 3 itu seperti terpecah jadi 2 kubu, Oscar dan Feri. Ya kita ambil saja ada 3 kelas yang tunduk ke Oscar. 3 kelas berarti 30 orang. 30 + 60 + 30 = 120 orang. 16 orang MELAWAN 120 ORANG. Dengan kondisi seperti itu sama seperti 1`orang melawan 6 orang !! Jadi memang benar apa yang dikatakan Zen di awal, apakah kalian siap mati muda ?”

ZINGGG.

Langsung senyap. Beberapa orang yang tadinya berdiri akhirnya terduduk lesu.

“Jadi masalahnya karena kita kalah jumlah ya.” ujar Bagas.

“Sejak awal kalian mendukungku ketika aku datang ke Ruko Lama seharusnya kalian menyadari bahwa kita kalah jumlah.”

“Oh jadi elo nyalahin kami Yan, yang udah ngedukung elo?” sindir Riko.

“Bukan, bukan seperti itu maksudku, justru aku sangat berterimakasih kepada kalian semua yang ada disini. Bergabung ke kelompok minoritas itu butuh keberanian. Dan aku bangga bisa berteman dengan orang-orang tangguh seperti kalian. Tetapi jangan sampai keberanian kita itu dimanfaatkan oleh lawan dan memancing kita untuk bertindak gegabah.”

“Kalau kita kalah jumlah, kita serang diam-diam saja dan satu persatu, sama seperti yang dilakukan Zen ketika mendatangi Gom, Yusuf dan Rudi. Jadi kita me-”

“HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!” Riko yang mencoba memberikan saran, terpotong omongannya saat tiba-tiba saja Zen tertawa keras sekali sampai terbahak-bahak.

“Ada yang lucu Zen dengan perkataan gue?” Riko sepertinya tidak suka omongan terpotong dan ditertawakan pula.

“Itu saran paling brilian yang gue gak sangka akan gue dengar. Elo mau menghabisin satu persatu anggota Oscar? 120 orang berarti 120 hari alias 4 bulan nonstop dalam setiap hari elo bantai orang. Woi anak cerdas, 120 orang itu cuma kroco lho. Belum termasuk Oscar, Budi, Leo dan 5 orang jagoan dari kelas 2. Daripada elo ngasih saran gak masuk akal, lebih baik elo diam deh.” Zen menyindir Riko tajam.

Wajah Riko memerah karena marah, namun sebelum kami saling bertengkar satu sama lain, aku lalu meminta semua orang duduk. Namun ketika semua orang sudah duduk, Riko masih berdiri dan menatap Zen taja. Dan Zen juga membalas tatapan Riko.

“Rik, sebaiknya kamu duduk.” Namun Riko tidak menggubris omonganku. Asli sikap Riko hari ini sangat-sangat menyebalkan sekali. “Rik, kamu mau duduk sendiri atau aku yang buat kamu duduk sampai gak bisa berdiri lagi?” Ancamku. Dan ancamanmu berhasil karena tak lama kemudian Riko kembali duduk.

Setelah semua orang duduk, giliran aku yang ikut duduk. “Aku ingat pernah membaca sebuah buku dimana salah satu halamannya berbunyi begini ‘Jika dalam keadaan penuh emosi, maka ubahlah posisi tubuh. Jika yang tadinya berdiri maka duduklah, jika duduk maka berbaringlah. Dengan mengubah poisisi tubuh setidaknya aliran darah yang terlalu kuat mengalir ke bagian otak bisa lebih melambat. Dengan begitu emosi yang tadinya memuncak pun akan perlahan turun. Karena sebenarnya reaksi emosi ini dipicu juga dengan aliran darah ke otak yang begitu kuat, sehingga perlu diturunkan dengan mengubah posisi tubuh tadi,’ Aku mencoba menenangkan semua orang yang ada disini karena hawa terasa panas akibat emosi yang menyala-nyala. Dan sepertinya omonganku di dengar semua orang. Suasana yang memanas kini sudah reda berganti dengan suasana muram.

“Terus kita mesti ngapain sekarang Yan?” Tanya Abas.

Aku pun bingung sebenarnya tetapi priorotasku sekarang adalah menemukan Sigit terlebuh dahulu.

“Nomor orang yang mengirim foto Sigit aku tidak mengenalnya sama sekali, tidak tersimpan di kontak ponselku. Coba cek nomor ponsel ini, siapa tahu kalian ada yang tahu ini nomor siapa. Nomornya adalah +6288899xxx,” semua orang nampak mengetikkan nomor ini di ponsel masing-masing tetapi semuanya menggeleng.

“Nihil Yan. Dari kita semua, tidak ada yang tahu itu nomor siapa,” ujar Farrel.

“Nomornya sudah gak aktif,” rupanya Zen mencoba menelepon nomor misterius tersebut.

“Teman-teman, untuk saat ini yang terpenting adalah Sigit. Kita mesti menemukan sigit. Malam ini juga kita mesti berpencar untuk mencari Sigit. Kita ada 16 orang, kita bagi menjadi 4 kelompok. 1 kelompok ada 4 orang. Kelompok 1 Riko yang pimpin, kelompok 2 Farrel yang pimpin, kelompok 3 Zen yang pimpin dan kelompok 4 aku yang pimpin. Bembi, Astra, Dodo kalian ikut kelompokku. Sisanya segera kalian ikuti Riko, Farrel atau Zen. Kelompok 1 ke distrik X1, kelompok 2 ke distrik X2, kelompok 3 ke distrik X3, kelompok 4 kita ke distrik X4. Berhati-hatilah. Aku khawatir kelompok Bram juga berniat menyergap kita. Kalau kalian ketemu kelompok Bram dan kalah jumlah segera lari. Jangan nekat melawan. Zen, peringatan ini juga berlaku buatmu. Kalah jumlah, kalian lari, tidak boleh ada yang sok jadi pahlawan malam ini.  Tetapi kalau keaadaan benar-benar mendesak, segera kirim pesan di grup. Kelompok lain mesti segera merapat untuk membantu. Tetapi misi utama malam ini adalah menemukan Sigit, bukan berhadapan frontal dengan kelompok Bram. Pantang pulang sebelum Sigit kita temukan. Kalau Sigit sudah ketemu, segera kabari kelompok yang lain, Ngerti?”

Semua mengangguk.

Aku lalu berdiri dan diikuti teman yang lain. “Ayo kita berangkat. Minuman aku yang bayar.” Kami kemudian segera pergi, sementara aku pergi ke kasir untuk membayar semua minuman. Saat aku sedang menunggu kasir memberikan uang kembalian, aku menoleh ke samping dan tanpa sengaja aku melihat seorang gadis yang luar biasa cantik melewatiku tanpa menoleh ke arahku. Dia memakai sweater abu berlengan panjang dan memakai rok putih yang pendek, dan membuatku tidak bisa bernafas karena aku bisa menatap pahanya saat ia naik ke atas lewat tangga sampai akhirnya ia menghilang. Tubuhku langsung membeku, sampai si kasir memanggil-manggilku karena aku bengong.

ITU SI GADIS MISTERIUS!!!

Entah di panggilan keberapa aku baru sadar dan aku setelah menerima kembalian dan mengucapkan terimakasih. Aku langsung berniat naik tangga untuk menyusul gadis misterius tersebut tetapi baru melangkah di anak tangga pertama, aku kembali mematung. Sialan, kalau aku naik ke atas menyusul gadis tersebut, terus aku mau apa?

“Yan, ada apa?” Seseorang memanggilku. Aku menoleh ke belakang. Dodo rupanya menyusulku. “Anak-anak yang lain udah berangkat,” Kata Dodo.

Entah kenapa kehadiran Dodo, membuatku gampang membuat keputusan. Mungkin lain kali aku bisa bertemu dengan dia lagi dan saat itu aku mempunyai keberanian. Aku langsung turun dan merangkul Dodo. “Gak ada apa-apa. Ayo kita berangkat dan menyelamatkan Sigit!”

Kami berempat dengan menggunakan 2 motor milik Dodo dan Astra menyusuri distrik X4 yang merupakan area yang didominasi perumahan-perumahan lama yang tidak begitu terawat. Meskipun perumahan tetapi jalannya jelek, bergelombang dan tidak rata,  sudah 1 jam yang lalu kami dan 3 kelompok lainnya berpencar tetapi masih belum ada yang menemukan keberadaan Sigit. Meskipun berpencar kami intens saling memberikan kabar tentang daerah yang sudah disusuri. Tanda - tanda Sigit belum ditemukan tapi untungnya sampai sejauh ini tidak ada insiden apapun. Malam semakin larut, jam 10.12 malam namun belum ada tanda-tanda.

Selain menyusuri jalanann utama, kami juga masuk ke gang-gang kecil dan beberapa kali berhenti di klinik yang kami temui, berharap ada seseorang sesuai ciri seperti Sigit masuk ke klinik tetapi rupanya tidak membuahkan hasil. Dari foto yang dikirim, tidak ada petunjuk apapun selain Sigit yang terkapar di jalanan yang sepertinya minim penerangan. Kalau Sigit dikeroyok orang dan tempatnya agak gelap, aku menduga lokasi Sigit agak jauh dari pemukiman. Jam 11 malam kami memutuskan berhenti sejenak di Alfamart untuk membeli minuman karean perasaan tegang dan putus asa membuat tenggorokan menjadi cepat kering. Kami berempat duduk di atas motor di depan Alfamart sambil mengobrol.

“Fiuh, nyari jodoh sama nyari Sigit itu sama susahnya ya.” Celetuk Bembi dan itu membuat kami bertiga tertawa.

“Hahaha kampret banget lo Bem.” Dodo tertawa terpingkal-pingkal.

“Kelamaan jomblo sih lo, cepetan dari cowok dah biar ada yang meluk dan ngasih perhatian hahahaha.” ujar Astra ta kalah kocaknya.

“Anjay nyari cowok, ngapain gue cari cowok lain. Kan gue uda punya elo As buat ngocokin peler gua.” balas Bembi santai.

Astra tersedak, aku dan Dodo sampai bengong mendengar jawaban Bembi.

“Wakakakakakkak, gue bercanda kampreettt ! Gue normal man, elo pada ga taw kan kalau gue lagi usahaain Mirna.” Perkataan Bembi sangat menenangkan kami semua.

“Mirna ? Mirna anak 1-D?” tanya Dodo.

“Yoi, teman sekelasnya Sigit. Rena, ceweknya Sigit yang ngenalin ke gue.”

“Eh Sigit uda punya pacar? Si Rena pacarnya?” Tanya Astra.

“ah payah lo ast, elo kan sekelas sama Sigit masak ga tahu. Kenapa? Lo cemburu Rena pacaran sama Sigit.”

“Bukan! Rena teman gue waktu SMP dan rumahnya deket-deket sini. kalau Sigit pacaran sama Rena, bisa aja tadi sore Sigit main ke rumah Rena terus waktu pulang, dia dicegat lalu diserang! Ah !" Seru Astra.

Dan kami bertiga seolah mendapat petunjuk berharga. "Astra, coba lo telepon Rena.Tanyain tadi dia jalan sama Sigit gak? Tapi elo jangan bilang masalah Sigit lho." Dodo langsung Astra untuk segera menghubungi Rena.

Astra langsung meraih hp di saku dan menelepon Rena." Iya, gue ngerti, semoga Rena belum tidur jam segini. Eh kalian diam ya, mau gue loudspeaker." Astra mengangguk ke arah Dodo lalu menyuruh kami diam. Setelah beberapa kali terdengar nada sambung, akhirnya Rena mengangkat panggilan telepon Astra.

"Astraa, ngapain elo telpon gue jam segini! Mau bobo cakep inih. Eh elo mau pinjem duit lagi yaa? Enggak ! Gue ga akan pinjemin elo lagi. Utang lo 100ribu dari jaman SMP aja belom elo bayar sampai sekarang, igh! "

Mendengar hal tersebut kami bertiga langsung menahan tawa dengan cara menutup mulut. Tapi Dodo sepertinya sudah ga tahan untuk tertawa. Dia lari ke pinggir jalan dan tertawa sampai terpingkal-pingkal. Sementara muka Astra merah malu, haha.

"Sue. Besok gue bayar deh. Suer. Ren, sori gue ganggu elo malam-malam. Gue mau nanya. Lo hari ini jalan sama Sigit gak?"

"Bener ya? Besok gue tunggu di sekolah. Napa kok elo tiba-tiba nanya Sigit ke gue?"

"Yaelah, pake sok nanya lagi. Elo kan ceweknya Sigit."

"Hah sue. Tahu darimana lo?"

"Dari ig-nya lambeturah."

"Hahahahahhaha preet ah."

"Eh gimana, Lo ketemu Sigit gak sore ini?"

“Iya. Gue tadi jalan ma Sigit. Eh lo ngapain nyari Sigit? Awas kalau elo ngajak Sigit mabuk-mabukan."

"Sial engga uda gak mabuk-mabukan gue. Ehmm..Gue, gue mau ngajak Sigit maen PS! Iya maen PS."

"Dasar. Lo kan bisa telepon Sigit. Eh ga bisa dink, ponsel Sigit rusak dari kemarin karena jatuh ke bak mandi."

"Oh ponsel Sigit rusak?pantes gue telepon, Wa gak aktif."

"Iya rusak dari kemarin. Tadi jalan ma gue sekalian mo beli ponsel baru, tapi ponsel yang dia cari indent semua, baru ready besok. Jadi dia belum pegang ponsel."

"Oh. Sigit balik tempat lo jam berapa. ?"

"Jam 8an malam dia balik dari tempat gue. "

Yess! Aku merasa senang sekali karena kami mendapat petunjuk tentang Sigit.

"Oke.oke. yadah Rena.makasih ya."

"Ya. Oi awas elo besok d sekolahan, elo ga bayar utang.Gue bakal laporin elo ke polsek atas pasal penipuan!"

"Ya ampun Ren. Segitunya. Yowis makasih ya."

KLIK.

Setelah Astra selesai menelepon Rena, akhirnya kami bisa tertawa lepas. Makin merah muka Astra kena bully Bembi dan Dodo. Setelah uda mulai tenang, aku langsung mengeluarkan kesimpulan yang bisa tarik dari keterangan Rena.

"Sigit balik dari rumah Rena jam 8an dan foto Sigit yang babak belur dikirim ke aku jam 8.33. Berarti Sigit bisa jadi ada di dekat-dekat sini karena ada jeda 30 menitan. Ya kasarnya 10-15 menit dan sisanya Sigit berantem dengan mereka dan sayangnya Sigit kemungkinan besar di keroyok. Lalu ada fakta bahwa ponsel Sigit ternyata mati dari kemarin maka bisa jadi Sigit tidak tahu tentang pertemuan kita di Kedai Kopi malam ini. Gimana ada yang punya pendapat lain?” Aku bertanya tentang pendapat yang lain.

“Wah pinter banget elo Yan. Ya gue juga setuju sama elo. Berarti kita makin dekat dengan lokasi Sigit.!” Seru Dodo.

“Hmm, Kalau kalian jadi Sigit, dari sini terus langsung pulang, kalian bakal lewat jalur mana? Aku tidak hapal daerah sini."

"Rumah Rena tuh. Dari sini lurus 500 meter, tar ada gang Melati 2 di sebelah kiri, nah masuk aja ke dalam. Rumah paling gede di ujung gang, tu rumah Rena. Kalau dari rumah Rena terus Sigit langsung mau pulang, dia pasti lewat jalan depan ini, nglewatin Alfamart ini juga pasti. Karena jalur paling cepat pulang ya lewat jalan ini. Soalnya jalan ini kan tembus ke Jalan Raya Agung. Nah dari Jalan Raya Agung tinggal lurus 5 km, udah masuk daerah rumahnya Sigit," Terang Astra menjelaskan dengan gamblang dan membuat kami mengerti serta memperkuat dugaan tentang jalur yang dilewati Sigit.

"Ayo kita ke rumah Rena. Dari Rumah Rena kita susuri jalan. Soalnya bisa jadi Dari Rumah Rena sampai Alfamart sini jadi lokasi penyerangan."

"Iya, iya. Ide bagus Yan. Apalagi daerah sini masih banyak kebun, lahan kosong, dan tidak terlalu bagus penerangan disini." Ujar Astra lagi.

Kami berempat lalu segera menuju rumah Rena. Pas kami mau belok ke gang Melati 2, ternyata ada banyak remaja yang duduk-duduk di pos kamling depan gang sambil ngrokok. Dan mereka semua menatap kami berempat dengan pandangan tidak suka. Saat Dodo mau belok, aku langsung minta Dodo berhenti."Eh elo mau ngapain turun disini yan? Anak-anak sini sepertinya kurang ramah."

"Dah gak apa-apa. Justru kalau kita nanya, mungkin kita dapat petunjuk. Kalau ada orang dikeroyok disini, pasti beritanya cepat nyebar. Siapa tahu orang-orang ini dengar sesuatu." setelah Dodo berhenti dan aku langsung mendatangi sekumpulan remaja yang sepertinya seumuran denganku.

"Permisi bang. Maaf ganggu. Mau numpang tanya." Aku bertanya kepada seseorang yang mengenakan topi dan yang bertubuh paling besar. Pria itu menatap gue lama sambil menghisap rokok sebelum akhirnya dia berkata sesuatu.

"Nanya apaan?"

"Tadi malam di daerah deket sini ada ribut-ribut gak bang?"

"Ribut-ribut gimana maksud elo?"

"Ribut orang berantem bang."

"Gak ada. Lo orang mana? Terus maksud elo nanya gituan kenapa emang?"

"Saya lagi nyariin teman saya bang. Dia kemungkinan jadi korban pengeroyokan di dekat-dekat sini."

Orang itu diam dan nampak berbisik-bisik dengan teman di sebelahnya.

"Kalau dengar ributnya sih engga, cuman orang sekitar sini tadi pada rame gara-gara di gang sebelah ada yang nemu orang pingsan babak belur di dekat tanah kosong ujung gang."

Itu pasti Sigit!! Aku langsung mengeluarkan ponsel terus menunjukkan foto Sigit.

"Orang yang pingsan kayak begini  gak bang ciri-cirinya?" Kuserahkan ponselku yang sedang menampilkan foto Sigit tengah terkapar.

Orang itu mengambil ponselku lalu memperhatikannya dengan seksama. "Gue sih gak sempat lihat orangnya kayak gimana. Bentar, bray pada kesini bentar, lihat nih foto. Tadi ada yang sempat lihat orang yang pingsan di gang Mawar ga?Ni fotonya."

Beberapa temannya lalu berkerubung dan melihat dengan seksama. Mereka berbisik sampai salah satu remaja berbaju merah bersuara.

"Ah iya bang! Ni orang yang tadi ditemuin sama mpok Leha !"

"Yakin lo?" Tanya salah seorang di antara mereka.

"Yakin! Orang gue ikut bopong nih orang ke rumah mpok Leha. Kondisinya parah bang babak belur ampe berdarah-darah mukanya. Awalnya dikira jadi korban perampokan tapi motor dan tas tu orang masih ada di sekitar situ!"

Aku langsung memburu remaja tersebut dengan banyak pertanyaaan. "Terus teman saya tersebut ada dimana bang? Masih di rumah mpok Leha.? Kami udah nyari dari tadi jam 9 malam belum ada kabar dari dia juga. Teman kami itu jadi korban pengeroyokan soalnya bang."

"Gak bang, dia sama warga situ langsung di bawa ke Rumah Sakit Agung. Tapi motor dan barang-barang lainnya masih ada di rumah mpok Leha."

Aku langsung memanggil Astra, Dodo dan Bembi untuk mendekat. "Sigit uda ketemu! Dia ditemuin warga sini dalam kondisi pingsan babak belur. Motor dan tasnya Sigit ada di salah satu rumah warga. Sementara Sigit dibawa ke Rumah Sakit Agung!"

“Yan, ayo kita langsung ke Rumah Sakit! Gue tahu lokasi rumah sakitnya.” Seru Astra.

Aku mengangguk lalu menyalami satu persatu orang yang ada disitu. Mungkin karena sikapku yang ramah, mereka menyambut uluran tanganku dengan santai.

“Bang, makasih banget ! Ini ada sedikit uang buat beli rokok.” Bembi mengeluarkan selembar uang 100 ribuan dan memberikannya ke orang yang pake baju merah.

“Duh gak usah bang! Selow aja!” Rupanya mereka menolak pemberian uang dari Bembi tetapi Bembi terus memaksa karena kami tetap ingin mengucapkan terimakasih. Sampai akhirnya orang yang memakai topi menerima uang tersebut dan mengucapkan terimakasih. “Bang, besok kalau mau ambil motor sama tas teman abang, datang aja ke rumah mpok Leha. Tu rumahnya di gang Mawar, abang masuk aja. Ada warung kelontong dan jualan es kelapa muda, nah itu rumah mpok Leha.” Orang tersebut memberikan informasi lainnnya.

“Duh makasih banyak bang. Nama abang siapa? Gue Bembi, yang pake baju biru Astra, yang pake hijau Dodo dan yang pake jaket hitam bos gue namanya Yandi. Kami dari SMA NEGERI XXX. Kelas 1. Abang namanya siapa?” Tanya Bembi.

“Nama gue Abdul, Wah seumuran dan sekolahan kita tetanggaan dekat Bem. Gue kelas 1 SMA SWASTA XXX. Gak jadi deh gue terima duit lo. Nih gue balikin." Orang  yang bernama Abdul lalu menyerahkan kembali uang yang ia terima. Namun Bembi juga nolak. Sampai akhirnya Abdul bilang,"Gini aja. Lo ada rokok ga? Kalo ada kasih gue rokok elu. Tapi duitnya lo bawa."

Bembi merogoh kantung celana." Ah kebetulan tadi gue baru beli dan gue ambil sebatang. Ni ambil aja sebungkus. "

"Ah rokok selera gue ini. Nah kalo rokok gue ga bisa nolak."

Setelah Bembi menyerahkan sebungkus rokoknya dan menerima kembali uang 100 ribu, kami lalu pamit ke Abdul dan teman-temanny. Tanpa buang waktu lagi kami langsung meluncur ke Rumah Sakit Agung. 15 menit kemudian kami berempat sampai di parkiran motor Rumah Sakit. Aku sempat melarang Bembi yang berniat memberikan kabar keberadaan Sigit di grup WA. “Jangan, nanti saja kalau udah pasti kita ketemu langsung dengan Sigit, baru kamu kabari teman-teman yang lain,” kataku.

“Siap bos!”

"Bem, panggil Yandi aja lah. Jangan bos."

Bembi cuma nyengir. Kami berempat kemudian sampai di lobi Rumah Sakit. Dodo lalu bertanya ke salah satu petugas jaga dan bertanya tentang pasien bernama Sigit Hermawan yang masuk malam ini. Setelah mengecek nama pasien, petugas perempuan berusia paruh baya bernama Bu Susi lalu mengkonfirmasi memang ada pasien atas nama Sigit Hermawan usia 16 tahun yang masuk malam ini.

"Kalian siapa?" Tanyanya.

Dodo menjelaskan bahwa kami adalah teman sekolah dari Sigit. Bu Susi lalu menjelaskan bahwa Sigit dibawa ke Rumah sakit diantar beberapa warga gang Mawar. Pak Bagja ketua RT daerah sana bahkan mau berbaik hati menjadi penjamin Sigit dan mengurus administrasi sehingga ia bisa langsung mendapat perawatan. Namun Pak Bagja tidak bisa menunggu Sigit di Rumah Sakit karena mesti kerja malam.

"Untungnya pasien hapal dengan nomor telepon rumahnya. Tadi pihak Rumah Sakit sudah menghubungi orang tua Sigit dan mereka sedang menuju kemari." Terang Bu Susi.

“Pak Bagja juga sempat mau menghubungi kepolisian melaporkan peristiwa ini tetapi pasien menola karena tidak ingin memperpanjang masalah,” tambahnya.

Kami berempat saling berpandangan. Bisa jadi Sigit mengenali salah satu penyerang dan langsung tahu bahwa penyerangan ini berhubungan dengan konflik yang terjadi di sekolah. Melibatkan kepolisian akan membuat situasi menjadi semakin runyam. Kalau benar memang seperti itu yang dipikirkan Sigit, aku mesti angkat topi karena ia bisa dengan cepat membaca situasi.

"Boleh kami melihat kondisi Sigit?" Aku bertanya ke Bu Susi. "Sebentar, saya telepon perawat yang bertugas malam ini."

Setelah bercakap-cakap dengan seseorang di telepon, beliau mempersilahkan kami menuju kamar tempat Sigit dirawat. "Kelas III Ruang Zamrud nomor 2." Setelah diberikan arah petunjuk ruangan Sigit, kami segera menuju kesana. Sampai di depan pintu ruangan ada seorang suster yang baru keluar dari ruang Zamrud dan ia langsung bertanya saat melihat kami berempat. “ Kalian teman pasien yang bernama Sigit Hermawan?” tanyanya.

Kami mengangguk.

“Pasien sudah tidur dan beristirahat. Kalian kembali saja besok.” Katanya.

“Bagaimana kondisinya sus?” Tanya Astra.

“Wajah serta beberapa bagian tubuhnya memar-memar, tetapi beruntung tidak ada luka dalam maupun tulang yang patah. Karena fisik pasien yang memang kuat membuat luka-lukanya tidak berefek lebih parah. Setelah istirahat kurang lebih seminggu, dia bisa pulih, ” terang sang suster.

“Syukurlah.” Kataku dan diikuti hembusan nafas tanda kelegaan ketiga teman yang lain, karena Sigit tidak mengalami luka parah.

“Kalau kami melihat sebentar saja boleh gak Sus? Cuma melihat kok.” Bujuk Astra.

Suster tersebut sempat ingin menolak tetapi kemudian memperbolehkan. “Tetapi hanya boleh 2 orang yang masuk dan tidak lebih dari 2 menit karena takut mengganggu pasien yang lain. Cepat masuk, saya tunggu disini. 2 orang dan 2 menit. Pasien Sigit Hermawan ada di ranjang sebelah kiri yang pertama dari pintu,” kata sang suster.

“Ah makasih sus.” balas Astra

“Yan, elo sama Astra aja yang masuk. Gue sama Bembi disini saja.” ujar Dodo.

Aku mengangguk, lalu aku dan Astra dengan pelan-pelan menggeser pintu untuk membuka dan kemudian menutupnya kembali dengan perlahan. Ada 8 ranjang yang tertutup tirai. Aku menuju ranjang sebelah kiri yang pertama dan perlahan aku membuka tirai. Dan terlihat kondisi Sigit yang sepertinya sudah tertidur. Wajahnya penuh dengan plester untuk menyembuhkan luka memar, bibir bawahnya terlihat sobek. Kedua tangannya ternyata juga diperban.

KLIK.

Terdengar suara klik pelan, rupanya Astra memfoto kondisi sigit.

“Buset, Sigit ngorok ya?”

Memang terdengar dengkuran halus dari Sigit.

“Berarti itu pertanda bagus, Sigit baik-baik saja. Udah yuk keluar.”

Astra mengangguk dan kami kemudian keluar sepelan mungkin. Rupanya suster tersebut memang benar-benar menunggui kami. Melihat kami berdua sudah keluar ruangan, suster tersebut lalu pergi.

“Fuah di dalam memang fix Sigit guys.” Terang Astra. “Yan. Gue kabarin ke grup ya bahwa Sigit udah ketemu.?” lanjutnya.

“Ya kabarin aja dan sekalian kamu bilang ke teman-teman langsung pulang tidak usah menyusul ke sini. Udah hampir tengah malam ini soalnya.” kataku.

“Oke.”

“Yan, lo sama Dodo balik aja, biar gue sama Astra yang tunggu disini sampai kedua orang tuanya datang.”  ujar Bembi. “Gue sama Astra uda mayan kenal baik sama bokap Sigit. Jadi pasti enak dan diterima penjelasan dari kami. Lo tenang aja, hal-hal yang tidak perlu diceritakan pasti tidak kami ceritakan kok. Nanti kami bilang bahwa Sigit ribut sama orang di jalan terus dikeroyok. Tidak ada embel-embel kelompok Oscar maupun Bram. “

“Oke aku balik, makasih teman-teman. Awas malam-malam di Rumah Sakit...banyak yang ngesot,” bisikku ke Astra dan Bembi.

“Yaelah, masih pakai acara nakut-nakutin pula.”

Aku tertawa namun kutahan agar tidak mengganggu pasien. Setelah bersalaman, aku pun diantar Dodo pulang sampai rumah karena rumah Dodo searah denganku. Aku lega dan bersyukur Sigit sudah bisa ditemukan dengan kondisi yang tidak seburuk dugaanku. Dan tidak ada inisiden penyerangan lainnya dari kelompok Bram maupun Oscar saat kami semua berpencar mencari Sigit.

Fiuh semoga besok suasana di sekolah bisa lebih kondusif.


***

Dan sepertinya harapanku semalam sepertinya terkabul karena tidak ada insiden apa-apa. Pagi tadi aku mengirim pesan ke grup meminta teman-teman untuk waspada, jangan mudah terprovokasi dan hindari keributan, jangan kemana-mana sendirian. Dan sepertinya anjuranku dilaksanakan oleh teman-teman. Meskipun yah saat ke kantin saat istirahat 1, kami ketemu dengan anak-anak kelas 1,2,3 yang menjadi anggota aliansi Oscar. Gila, suasananya tegang dan panas banget. Kami saling balas menatap seolah menjadi tanda bahwa kami mengetahui perbuatan mereka semalam. Beruntung semua pihak bisa saling menahan diri. Di grup teman-teman saling berkomentar tentang peristiwa Sigit dan suasana mencekam yang ada di sekolah, seolah-olah tawuran bisa terjadi setiap saat. Aku hanya menyimak mengikuti pembicaraan mereka tanpa berkomentar.

“Yan, apa perlu gue telpon mama gue?” Ujar Xavi di kelas saat pergantian pelajaran. Hari ini aku duduk dengan Xavi. Zen duduk sendirian di belakang kami karena Vinia ijin tidak bisa masuk sekolah karena ada kegiatan dengan labelnya.

“Hah buat apa?”

“You know lah mama gue bisa apa aja. Bahkan mengeluarkan Oscar, Bram, Leo . Ya pokoknya elo tinggal sebut aja namanya, besok paling uda dikelurkan dari sekolahan. Gak usah pusing mikirin gimana caranya deh, yang penting hasil akhirnya. Kalau para bajingan itu dikeluarkan, kita bisa bersekolah dengan tenang disini. Hei Zen, gimana lo setuju gak sama pendapat gue?”

Zen menatap ku dan tanpa aku menjawab Zen sudah bisa tahu apa jawabanku.

“Gak usah, jangan libatin mama mu di urusan ini. Bisa makin runyam keadaan, bahkan dengan mengeluarkan mereka pun tidak akan menjamin sekolah ini akan tenang, yang ada justru mereka bisa kalap dan bertindak nekat. Dan mempercepat konflik lebih besar yang terjadi yakni aliansi feri vs aliansi Oscar. Sampai saat ini kedua kubu belum saling bergerak karena ada sesuatu yang membuat mereka untuk tidak gegabah untuk memulai perkelahian.” Terang Zen.

“Benar Xav perkataan Zen, sudah cukup keterlibatan mamamu dalam masalah ini. Oke?”

“Oke lah. Eh Yan, elo kan sepertinya kenal dekat dengan Axel tuh, kenapa elo ga minta bantuan Axel aja. Bahkan kalau elo bisa bujuk Axel meminta Feri untuk membantu kita, udah pasti teman-teman Bram bahkan Oscar akan berpikir matang jika mereka hendak menyerang kita lagi.” Xavi lagi-lagi memberikan pendapat ngawur sampai Zen menghembuskan nafasnya.

“Xav, kalau kamu jadi Axel ataupun Feri, ketika ada anak kelas 1 yang tiba-tiba mendatangimu dan mengajukan permintaan agar kamu bersedia membantu mereka menghadapi musuh yang kebetulan musuh elo juga, elo bakal mau bantu gak?” Aku berbalik bertanya ke Xavi.

“Ya pasti gue mau lah! Kan ada istilah [I]”the enemy of my enemy is my friend”[/I]. Mayan kan dapat teman baru yang punya musuh sama dengan kita. Kekuatan kelompok bakal menjadi makin besar.”

“Entah kenapa aku punya feeling baik Axel maupun Feri cs sudah mengetahui perseteruan kelompok anak kelas 1 dengan kelompok Axel. Kalau mereka sudah tahu, kenapa tidak ada yang kesini dan menawarkan bantuan ke kita?Toh musuh kita dengan mereka sama, yakni aliansi Oscar.”

Xavi nampak berpikir keras lalu menjawab memakai logika yang sepertinya sedikit menyindirku. “Mereka tidak datang dan menawarkan bantuan karena elo gak minta bantuan mereka Yan! Apalagi seperti yang gue bilang tadi, elo kan udah kenal Axel dan Axel berkawan baik dengan Feri. Mungkin dengan elo mendatangi Axel dan Feri dan sedikit menundukkan kepala, mereka akan dengan senang hati membantu kita ! Dan kita tidak perlu ketakutan atau terus merasa tercekam seperti sekarang.”

Sialan Xavi. Dari perkataannya menyiratkan permasalahan akan selesai sendiri kalau aku minta bantuan Feri dan Axel. Bukan begitu cara permainan ini berjalan Xav! Batinku.

“Xav, mereka anak kelas 3 ! Anak senior ! Terutama Axel ! Meskipun punya musuh yang sama, bukan berarti mereka bersedia membantu kita? Buat apa mereka membantu kita dan beresiko membuat perang besar terjadi semakin cepat? Gak ! Aku tidak mau minta ataupun ngemuis bantuan dari mereka atau siapapun. TITIK.”

Xavi sepertinya agak terkejut melihat reaksiku yang agak keras. “Gue harap keputusan elo tidak mau meminta bantuan siapapun tidak membuat kita semua celaka Yan.” ujar Xavi lirih. Xavi mengambil bukunya dan kemudian duduk dibelakang bersama Zen.

Sory teman, aku bukan tipe orang yang suka melibatkan pihak lain. Egoku sebagai seorang laki-laki membuat gue enggan mendengar nasihat Xavi. Karena aku memiliki keyakinan bahwa kami anak-anak kelas 1 bisa kuat menghadapi tekanan !


Hari itupun berakhir dengan perasaan dingin di antara kami bertiga. Tetapi aku tetap bersyukur karena hari ini bisa dilewatkan tanpa terjadi insiden apapun.

***

Tetapi keadaan berubah di sore harinya. Grup WA “Yandi dan teman-teman” ternyata bergejolak. Aku meninggalkan ponsel di kamar karena setelah sepulang sekolah aku langsung membantu mba Asih dan mba Wati baik melayani, membersihkan meja, mencuci piring gelas kotor bahkan sampai belanja ke pasar untuk beli sayuran, bumbu masak, buah untuk di olah siang hari. Aku sengaja membantu mba Asih karena aku ngrasa gak enak juga beberapa hari ini mba Asih ngomel terus karena kelakuanku yang pulang pagi lah, pulang dini hari. Ya rupanya aksiku pulang pagi hari setelah mengantar Yosi ketahuan mba Asih . Eh belum reda rasa marah mba Asih, hari minggunya aku pulang sampe rumah jam 1 pagi.

“Sekali lagi adek pulang lebih dari jam 10 malam, mba akan meminta mas Sulis untuk mengganti kunci rumah biar adek gak bisa masuk, tidur di luar aja sana!” Ancam Mba Asih karena mendapatiku mengendap-endap pulang jam 1 pagi. Makanya hari ini aku full membantu mba Asih untuk merebut hatinya kembali haha. Karena kesibukannku ini membuatku baru sempat membaca Wa di ponsel jam 9 malam dan aku langsung panik menyadari ada ratusan pesan tidak terbaca, dan puluhan panggilan tidak terjawab. Terutama di grup “Yandi dan Teman-teman” ada 600 pesan ! Aku lalu membaca dan keringat dingin langsung turun ketika membaca satu persatu pesan diselingi foto-foto yang mengagetkan.

Aji dan Riko dibantai di dekat Stasiun Kota. Aji tangannya patah, Riko kepalanya bocor.

Farrel, Bagas, Ari dibantai setelah pulang futsal. Ketiganya mengalami patah tulang hidung.

Guntur dibantai saat dia pulang sekolah. Tulang rusuk retak.

Wira dan Jimi diserang di belakang Mall Merah. Keduanya bisa lolos tetapi motor Jimi dibakar orang.

Dodo, Bembi  diserang setelah pulang dari menjenguk Sigit di Rumah Sakit tetapi mereka bisa melawan namun akhirnya lari karena kalah jumlah. 2 gigi Bembi tanggal, Kaki kanan Dodo terkilir.

Astra mengabarkan dia sempat diserang sepulang dari les namun dia berhasil meloloskan diri. Tidak terluka.

Zen yang rumahnya dekat dengan sekolah menjadi sasaran empuk, kaca di rumahnya habis pecah semua dilempari batu segerombolan orang. Tidak terluka.

Xavi ? Sangat aman.

Gawat. Ini benar-benar gawat. Berarti di kelompokku hanya tersisa aku,  Zen, Astra, Wira, Jimi dan Xavi. 6 orang tetapi nama Xavi aku coret dari urusan perkelahian seperti ini. Sehingga menyisakan 5 orang. Perasaanku benar-benar kacau. Saking kacaunya aku sampai tidak bisa berkomentar apa-apa di grup dan tidak kuasa membaca pesan lainnya serta mengecek siapa saja yang sudah meneleponku. Ini semua kesalahanku karena sudah mengindahkan saran Xavi agar aku mencari bantuan dengan menemui Axel dan Feri. Aku marah, sangat marah! Tetapi aku tidak marah kepada Oscar namun kepada diriku sendiri, kepada egoku!

***

Aku tidak bisa tidur semalam sehingga hari ini aku berangkat dengan wajah muram dan kantung mata menghitam. Zen juga bercerita dia tidak bisa tidur karena serangan di rumahnya membuat mamanya trauma dan mesti menginap di rumah neneknya. Aura Zen terasa berbeda sekali hari ini, auranya terasa kelam dan pandangan matanya menjadi lebih tajam. Dan juga membuat Zen lebih banyak diam entah apa yang ia pikirkan tapi aku yakin dia merencanakan sesuatu untuk balas dendam. Xavi juga lebih banyak diam karena menyadari dia menjadi satu-satunya orang yang tidak diserang karena faktor mamanya.

“Zen, tolong jangan bertindak gegabah, aku tidak mau kehilangan teman lagi yang mesti masuk rumah sakit.” Zen diam saja mendengar omonganku tersebut. Dengan susah payah kami mencoba mengikuti mata pelajaran dan segara aku langsung mengumpulkan Zen, Xavi, Astra, Wira dan Jimi. Dan rupanya Bembi yang 2 giginya patah juga tetap masuk. Meskipun dia terlihat kacau sekali. Kami bertujuh lalu berkumpul di lantai 3 gedung parkiran ketika jam istirahat pertama. Sejujurnya aku tidak tahu mesti berkata apa lagi karena lidahku terasa kelu melihat teman kami satu persatu dihabisi.

“Maaf, ini semua salahku.” Aku menunduk di hadapan teman-temanku.

“Elo minta maaf ke siapa Yan?” ujar Astra.

“Ke kalian semua! Karena egoku yang terlalu tinggi dan enggan untuk meminta bantuan, membuat teman-teman kita terluka.”

“YANG HARUSNYA MINTA MAAF ITU PARA BAJINGAN YANG SUDAH MENGEROYOK TEMAN-TEMAN KITA YAN, BUKAN ELO !” Tukas Jimi dengan nada tinggi.

“Lo apa-apan sih Yan? Kita semua tidak ada yang menyalahkanmu! Dari hari pertama kita memutuskan untuk berdiri di belakang elo, kita semua sudah tahu resikonya ! Tetapi kami tidak takut !  Karena elo jadi inspirasi kami Yan ! Elo orang paling berani yang pernah gue temuin !” ujar Wira dengan nada tak kalah tingginya.

Xavi dan Zen tetap diam. Entahlah.

tiba-tiba dari arah tangga muncul suara ribut-ribut lalu muncul seseorang diikuti segerombolan temannya. Orang yang sepertinya menjadi pemimpin mereka menatapku dingin. Jumlah mereka puluhan dan langsung mengepung kami bertujuh. “Anjing, Jati dan gerombolannya. Jati anak kelas 3E. Dan dia adalah...kawan dekat Bram.” bisik Astra. Kami bertujuh langsung berdiri.

“Kalian bersiaplah. Xavi, tetap di belakang gue. Akan gue bukakan jalan agar elo bisa lari.” ujar Zen dingin. Kulihat Xavi wajahnya pucat dan segera berdiri di belakang Zen.

“Gila nekat banget mereka ! Mereka mau menyerang kita disini? Di lingkungan sekolah?” bisik Wira.

“Anjiing ! Guys, kita kalah jumlah ! Bersiap untuk menyambar helm yang terdekat dan gunakan sebagai senjata, proritas kita adalah lolos dari sini.” ujar Jimi.

Orang yang bernama Jati dan gerombolannya tidak berkata apa-apa. Mereka hanya menatap kami. Jati lalu mendekatiku hingga kami berdiri berhadapan. Dan dia sedikit lebih tinggi daripada aku. Mata Jati yang sayu menatapku tanpa berkedip.

"Suruh teman elo mundur. Gue gak ada urusan sama mereka. Selama teman elo tetap tenang dan tidak ikut campur, teman-teman gue juga gak akan macam. Mereka disini hanya memastikan tidak ada siapapun yang mengganggu."

"Teman-teman, mundur." Aku menoleh ke belakang. Dan Zen langsung paham dan menarik mundur yang lain. Setelah mereka mundur, kini aku dan Jati berada di tengah-tengah lingkaran. Sepertinya Jat-

BAM !! BAMM!!

2 pukulan bersih dari Jati tiba-tiba masuk mengenai dada dan rahangku tanpa sempat kuelakkan hingga membuatku terhuyung ke belakang. Sakit ! Pukulan dari senior memang beda! Jati benar-benar memanfaatkan kelengahanku. Seperti sekarang ini saat badanku tertunduk dan membuatku hampir muntah saat ulu hatiku terkena tinju yang dilepaskan dari bawah. Saat pikiranku terfokus ke rasa sakit, satu rasa sakit yang baru menyusul dan berasal dari kepalaku yang entah dihantam dengan apa.

"Uagh!" Aku berteriak kesakitan karena kini aku jatuh tertelungkup. Sakit di kepala serta ulu hati yang we membuat pandangan mataku berkunang-kunang dan nyaris membuatku kehilangan kesadaran. Saat aku berusaha bangkit,alaku diinjak dengan keras sehingga kepalaku beradu dengan lantai.

NGIIIIIIIIING

Kendang telinga kananku ypang diinjak Jati berdenging keras dan membuatku kesakitan. Saking kerasnya dengingan di kuping, membuatku tidak bisa mendengar teriakanku sendiri ! Belum reda rasa sakitku, Jati menjambak rambutku ke atas sehingga mau tak mau aku mesti berdiri.

"Kayak gini doang kemampuan elo? Cih gue rasa level Nando semakin turun karena besar kepala. Jadi ia bisa keok lawan bocah ingusan macam elo."

"YAN ! LAWAN YAN! LO APA-APAN DIAM SAJA !!"

Samar-samar terdengar teriakan dari Xavi. Bukannya aku diam saja tetapi sepertinya aku memang pantas mendapat siksaan seperti ini, ini adalah hukuman untukku akibat ketidakbecusanku.

Jati melepaskan jambakannya di rambutku dan dengan gerakkan memutar, tendangan kaki kanannya mengenai wajahku. Aku terlempar hingga menabrak motor yang terparkir kemudian terperosok dan terjepit di antara 2 motor. Sebenanya aku bisa menangkap dan melihat serangan Jati, namun aku tak kuasa atau mungkin tepatnya tidak memiliki hasrat untuk melawan. Emosi yang biasanya meletup-letup juga buyar entah kemana!

"Bangsat !! Elo sengaja ya gak memberikan perlawanan!! Oke , kita lihat sampai sejauh mana elo bisa menahan rasa sakit!! MAKAN NI BABI!!!"

BUGH !! BUGH !! BUGH !! BUGH !!

Jati menginjak-injak muka dan badanku yang terjepit motor. Hidungku berdarah-darah karena terasa ada darah yang masuk ke mulut
. Aku sebenarnya pasrah tetapi reflek kedua tanganku selalu melindungi bagian kepala. Maka dada dan perut menjadi sasaran Jati.

"Sudah cukupp lo anjinggg!" Seru seseorang entah siapa yang berteriak.

"Jika salah satu dari kalian ada yang bergerak, mencoba membantu Yandi, teman-teman gue akan langsung membantai kalian semua tanpa terkecuali." Tubuhku kesakitan tetapi aku masih sadar dan dengingan di kuping mulai reda sehingga aku bisa mendengar ancaman yang dilontarkan Jati.

Lalu Jati kembali menghujani perut dan dadaku dengan injakan. Jati baru berhenti ketika ia nampak ngos-ngosan. "Keparat ni bocah, tahan pukul juga elo."

"Pukulan mbak ku jauh lebih keras daripada pukulanmu bos." Balasku lirih. Mendengar jawabanku, Jati menjadi tambah beringas. Tiba-tiba saja kepalaku dihajar dengan helm berwarna hitam.

BUGH ! BUGH ! BUGH!!

Aku merasakan ada cairan yang mengalir dari atas kepala lalu turun ke wajahku. Cairan kental itu bergumpal di dagu lalu membentuk untaian. Aku teringat saat pertama kali mengenal sensasi cairan yang merembes turun dari kepala lalu ke wajah. Darah,  ini adalah darah.  Pertama kali aku duel  sampai berdarah kepala bocor ketika dulu aku melawan bajingan tengik bernama Wawan di kampung, musuh terbesarku lalu setelah aku mengalahkannya dia berbalik menjadi sahabat terbaikku.

"Kalau darah dari atas kepalamu sudah keluar, itu artinya kamu mesti serius ! Kalau tidak kamu akan mati konyol dan tidak akan lagi orang yang membela teman-temanmu !

Itu seruan dari Wawan saat dia menjadikanku bulan-bulanan.

Darah ! Teman-teman !

Disaat aku semestinya semakin kesakitan karena kepalaku bocor setelah dihajar dengan helm, justru aku merasa semakin kebal dan rasa sakitnya telah hilang! Ini pasti akibat adrenalinku yang terpacu! Kesadaran tentang keberadaan teman-temanku menjadi pemicu kemarahan yang mulai terbakar.

"Lo ngecewain gue Yan. Gue berharap lebih dari elo sebenarnya. Tinggal tunggu waktu teman-temanmu yang masih tersisa ini dijadikan sasaran utama kelompok Oscar." Kata Jati lalu melemparkan helm yang ia pakai untuk menghajarku dengan sembarangan. "Ayo kita pergi!" Ujarnya.

Nafasku yang semula tenang kini semakin memburu, dadaku naik turun dengan cepat, aku menjilat darah yang turun melewati samping mulut. Tanganku yang sebelumnya hanya setengah terkepal, kini terkepal keras sekali hingga otot tanganku tercetak jelas! Aku mencoba meraih jok motor agar aku memiliki pegangan untuk bangkit. Saat aku sudah bangkit dan berdiri dengan sempurna. Jati sudah berbalik badan hendak turun tetapi beberapa teman Jati menatapku dengan pandangan ngeri!

"Ja..jat..anak itu..berdir lgi.." ungkap salah satu teman Sigit.

Aku menyeringai ke arah Jati yang sepertinya terkejut luar biasa saat melihatku berdiri tegak dengan wajah diselimuti darah, baju kotor karena di injak-injak. Aku langsung melesat ke arah Jati. Jati sempat berusaha memukul namun kali ini aku menunduk dan mengirim pukulan ke bagian ketiak Jati yang terbuka karena pukulannya hanya mengenai udara kosong.

"Arrggghhh!" Teriakan kesakitan Jati mendorongku untuk kembali menyerangnya. Kupegang kepala Jati dan kuadu dengan keningku !

"Uggmhhh"  darah mengucur dari pelipisnya yang sobek. Dan pukulan uppercut kiriku membuat tubuhnya sedikit terangkat lalu ambruk. Tak sadarkan diri. Seiring dengan  kekalahan Jati, perlahan adrenalinku pun ikut surut lalu diikuti dengan sakit di sekujur tubuh. Aku nyaris ambruk kalau saja tidak ada Zen yang menahan tubuhku.

"Cepat bawa teman kalian pergi dari sini!" Hardiknya.

Kemudian 2 teman Jati langsung memapah tubuh Jati. Akibat pelipisnya yang sobek, darah pun mengalir membasahi sebagian wajah Jati.

***

3 hari aku tidak masuk sekolah. Dan 3 hari itu pula aku bak berada di neraka. Bagaimana tidak, mbak Asih benar-benar marah besar melihatku untuk kesekian kali terlibat dalam perkelahian dan membuatku mengalami luka cukup banyak. Aku mendapatkan 6 jahitan di kepala, selebihnya memar-memar.

"Dek, emang seberapa susah sih menjadi anak baik?" Hardik mba Asih.

Aku diam. Dan diamku ini membuat mba Asih semakin murka! Cacian mengalir bak hujan deras. Dan akhirnya aku pun sudah tidak tahan mendengarnya.Maka di hari keempat, aku memutuskan masuk sekolah. Lebih baik berkelahi di sekolahan daripada diomelin mba Asih di rumah!

Vinia, Xavi dan Zen tertawa melihatku masuk meski belum sembuh benar. Mereka tertawa karena mereka mengetahui siksaan psikis dari mba Asih. 3 hari aku terkapar rupanya juga membuat keadaan menjadi lebih tenang. Tidak ada serangan apapun ke teman-teman kelas 1. Apakah pelaku serangan berasal dari kelompok Jati? Karena semenjak aku mengalahkannya, tidak ada serangan apapun.

"Zen, menurutmu kenapa Jati menyerangku tempo hari?" Aku mengobrol dengan Zen di kelas saat istirahat 1 dimulai. Aku dan Zen tidak turun karena masih kenyang.

"Dia mengetesmu Yan."

"Hah? Mengetesku?"

"Sehari setelah elo berkelahi melawan Jati. Aku langsung menemui Yosi dan menceritakannya. Karena Jati memiliki kedekatan dengan Bram. Dan Yosi juga sepertinya mengenal Jati."

"Apa kata Yosi?"

"Itu pertanda baik."

"Kok bisa?"

"Yosi bercerita bahwa Jati itu sangat membenci Oscar dan ketika Bram memutuskan ikut Aliansi Oscar, hal itu membuat Jati kecewa dan marah dengan keputusan Bram. Faktor Nando yang dibuang oleh Oscar menjadi keuntungan bagi Jati. Karena semua teman Nando kini beralih dan bergabung dengan Jati. Sehingga Jati kini memililki 20-25 pengikut."

"Kenapa Jati tidak bergabung dengan Feri cs? "

Obrolanku dengan Zen terputus ketika ada orang yang berdiri di dekat meja kami dan aku langsung mendongak ke atas.

Oscar !!

Bosnya para bajingan di SMA NEGERI XXX kini mendatangiku.

"Mau apa lo?" Tanya Zen memasang sikap waspada.

"Selepas pulang sekolah hari ini gue mau berbicara 4 mata dengan elo. Tempat elo yang milih. Dan santai saja, gue datang sendiri"

Oscar ingin berbicara denganku? Tempat aku yang milih? Aku langsung teringat dengan lokasi netral dekat dengan sekolah.

"Jam 2 di burjo bang Roni." Kataku.

Oscar menyunggingkan senyum lalu berlalu pergi.

Aku menatap Zen lalu bertanya, "Kamu bisa menebak gak kenapa tiba-tiba Oscar ingin berbicara 4 mata dengank?"

Zen menghela nafas. " Gak tahu gue Yan.pusing gue.konflik d sekolah ini benar-benar rumit."


= BERSAMBUNG =


3 comments for "LPH #29"

Post a Comment