Featured Post

LPH #1

Episode 1
Selamat Pagi, Kenangan




Tok..tok..

   “Yandi, bangun Dek, udah pagi. Siap-siap gih?” terdengar suara Mbak Asih memanggilku dari balik pintu. Seketika itu juga aku terbangun, kuambil ponsel. Sudah jam 5 pagi rupanya. Segera aku bangun dan membuka pintu. Dan Mbak Asih tersenyum melihatku.

   “Bisa tidur nyenyak ga Dek? maaf ya kamarnya pengap dan kecil,” ujar Mbak Asih melihatku bangun tidur dengan mata masih merah, rambut acak-acakan dan hanya memakai kolor, badanku yang tidak memakai baju basah karena keringat, terlihat bahwa aku memang kepanasan tidur di kamar sini.

   “Gak apa-apa Mbak, Yandi bisa tidur kok disini. Nanti juga terbiasa. Yandi yang malah ga enak sudah ngrepotin Mbak Asih dan Mas Sulis,” jawabku lirih.

   “Gak kok Dek, Mas Sulis malah senang punya teman nonton bola di rumah. Lagipula Mbak gak tega kalau Yandi tetap tinggal di rumah sendirian di kampung setelah Bapak dan Ibu meninggal. Yandi Masih sedih ?”

   “Yandi sudah ikhlas Mbak dengan kepergian Bapak Ibu, tapi rasanya masih seperti baru kemarin Yandi ngomongin berita sepakbola sama Bapak sambil ditemani kopi hitam panas dan makan pisang goreng buatan Ibu yang enak,” suaraku mulai lirih dan tercekat saat mengingat pagi terakhirku bersama Bapak dan Ibu sebelum peristiwa tragis itu terjadi.

   Mbak Asih langsung memeluk dan mendekapku.

   “Sudah Yan jangan sedih. Ikhlas dan jangan putus doa untuk Bapak dan Ibu agar semakin tenang disana. Ya sudah cepetan Yandi mandi lalu sarapan. Hari ini hari pertama kamu sekolah. Selagi kamu mandi, Mbak mau buat nasi goreng untuk sarapan,” kata Mbak Asih sambil melepaskan pelukannya ke tubuhku. Aku melihat mata Mbak Asih agak sedikit berkaca-kaca.

   “Iya Mbak. Yaudah Yandi mau mandi dulu,” aku pun berbalik ke dalam kamar menuju ke tas ransel besar, hendak mengambil handuk dan peralatan mandi yang aku simpan di tas itu, satu-satunya tas yang aku bawa dari kampung. Hanya berisi handuk, beberapa potong kaos, kemeja, celana jeans, celana pendek kolor dan celana dalam.

   “Udah ada handuk belum dek?”

   Aku menengok ke belakang, rupanya Mbak Asih Masih berdiri di pintu kamar.

   “Udah ada Mbak.”

   Aku mengubek-ubek tasku, tapi belum juga kutemukan. Sampai-sampai semua isi tas aku keluarkan dan kuletakkan di atas kasur. Sialan, sampai semua isi tas kukeluarkan, tidak kutemukan handuk.

   “Handuknya ketinggalan ya, hehe. Tunggu sebentar, Mbak ambilkan handuk baru ke kamar Mbak.”

   “Iya Mbak,” sahutku sambil nyengir dan garuk-garuk kepala.

   Sambil menunggu Mbak Asih mengambil handuk, aku lalu merapikan baju dan celanaku, melipatnya lalu kumasukkan ke dalam lemari kecil yang nampak masih baru. Semua benda yang ada di kamarku ini sepertinya barang baru semua. Mulai dari lemari ini, meja kecil di pojok, kasur busa dan sprei, hingga bau cat kamar yang masih samar tercium, bau cat yang belum kering benar. Kamar darurat berukuran 3 x 3 yang berada di lantai atas ini aku tahu persis dulunya adalah gudang tempat Mbak Asih menyimpan semua peralatan memasak dan perlengkapan lainnya.

   Mbak Asih membuka usaha warung makan sederhana dan sering mendapat order makanan dari para tetangga dan pelanggannya, membuat Mbak Asih memiliki banyak sekali peralatan dan perlengkapan memasak. Mungkin karena melihat dapur menjadi berantakan, akhirnya Mas Sulis berinisiatif membuat lantai atas sederhana yang akan dijadikan gudang tempat penyimpan peralatan dan perlengkapan. Memanfaatkan langit-langit rumah terutama di bagian dapur yang cukup tinggi, Mas Sulis kemudian membuat lantai atas tepat di atas dapur. Aku bisa tahu tentang hal ini karena tahun lalu saat aku, Bapak dan Ibu datang ke Kota untuk mengunjungi Mbak Asih dan Mas Sulis, lantai atas baru setengah jadi.

   
   
   
====FLASHBACK 1 TAHUN YANG LALU=====

   
   
   Mas Sulis baru selesai membuat tiang pondasi. Tinggal menyelesaikan pemasangan lantainya. Bapak yang awalnya tidak tahu bahwa rumah Mbak Asih sedang ada renovasi kecil-kecilan pun akhirnya turun tangan untuk meMbakntu. Awalnya Mbak Asih dan mas Sulis melarang Bapak agar tidak usah meMbakntu karena takut merepotkan.

   “Bapak kan datang kesini untuk main, jalan-jalan di Kota pak, gak usah repot-repot. Tinggal selesaikan bagian lantainya kok pak.” Bujuk Mas Sulis waktu itu.

   “Lantainya nanti kamu pasang pakai keramik atau papan?” Bapak malah balik bertanya sambil melihat-lihat pondasinya, sambil terus menghisap rokok kreteknya.

   “Pakai papan kayu pak. Kalau pakai keramik, pondasi seperti ini gak akan kuat,” terang Mas Sulis.

   Bapak diam saja, terlihat menikmati rokoknya.

   “Baiklah. Bapak setuju.”

   “Setuju? Setuju apa ya pak?” Mas Sulis terlihat bingung dengan perkataan Bapak.

   “Bapak setuju untuk meMbakntumu menyelesaikan lantai atas. Biar cepat selesai. Lagipula Bapak pasti cepat bosan seminggu disini cuma jalan-jalan, makan dan tidur.”

   “Ladalah, tapi Pak....”

   Mas Sulis sepertinya masih merasa sungkan dengan Bapak.

   Aku, Ibu dan Mbak Asih yang melihat percakapan tersebut tertawa geli. Kami bertiga merasa geli karena Mas Sulis Masih saja belum hapal benar dengan sifat Bapak yang keras kepala dan paling gak tahan diam di rumah tanpa melakukan apa-apa.

   “Udah lah nak Sulis, turuti saja perkataan Bapakmu. Percuma kamu bujuk-bujuk atau larang-larang. Orang tua yang satu ini memang ngeyel. Lagipula biar cepat selesai, Ibu juga risih lihat perkakas Asih berantakan kayak gini,“ sahut Ibu menengahi sambil melirik ke arah Mbak Asih. Yang disindir dan dilirik ternyata juga ngeh, Mbak Asih pun meringis saja. Kini cuma aku yang tertawa saja.

   “Iya bu. Makasih loh pak,” jawab Mas Sulis sambil garuk-garuk kepala.

   Bapak lalu mengarahkan pandangannya ke arahku. Wah perasaanku jadi ga enak. “Yan, kamu ikut bantuin Bapak dan Mas mu. Kalau bertiga makin cepat selesai.”

   Tuh kan, aku kena juga.

   “Walah Pak, kita ke Kota kan mau jalan-jalan liburan. Lha kok ini malah disuruh ikut nukang?” jawabku.

   “Anak laki-laki mesti bisa nukang. Jalan-jalan disini bisa kapan saja. Wis pokoknya kamu ikut bantu,” tegas Bapak.

   “Sekalinya liburan ke Kota malah disuruh nukang, hadeh,” gerutuku pelan, takut kedengeran Bapak.

   Aku cemberut, Ibu dan Mbak Asih yang disampingku tertawa.

   “Rasain tuh, hihihi,” bisik Mbak Asih gantian mengejekku.

   “Lis, sudah beli papan buat lantainya belum?” tanya Bapak ke Mas Sulis.

   “Belum pak. Rencana besok.”

   “Udah sekarang saja belinya, Bapak temenin.”

   “Bapak ga capek ? kan baru tadi pagi sampai sini.”

   “Justru kalo Bapak kebanyakan istirahat tidur-tiduran terus, badan Bapak malah tambah capek. Toko bangunannya jauh gak Lis?”

   “Dekat kok Pak, kita keluar dari jalan ini sampai depan gang sudah ketemu jalan raya, terus kita tinggal belok kiri sekitar 3 kilo. Kita naik motor saja pak.”

   “Oke, Bapak boncengan sama kamu. Yandi, ayo kamu ikut sekalian. Karena toko bangunannya dekat sini, Yandi, kamu pinjam motornya Mbak mu.”

   Melihatku mau menjawab omongan Bapak, Ibu menyahut.

   “Udah Yan kamu ikut saja sana.”

   Aku pun tidak berkutik lagi dan mengangguk.

   “Wah motorku dipakai ya. Padahal mau aku pakai buat ajak Ibu jalan-jalan sama makan di Mall. Kalau nunggu kalian pasti lama. Bu, kita ke Mall naik angkot gak apa-apa ya? Dekat sih gak terlalu jauh, cuma sekali naik angkot.”

   “Iya sih, gak apa-apa. Yang penting kita jalan-jalan, biar yang laki-laki pada sibuk nukang hehe.”

   Kupingku serasa tegak mendengar Mbak Asih mau mengajak Ibu jalan-jalan ke Mall !

   “Apa ? mau ikut? Kalau mau ikut ke Mall, sana bilang ke Bapak kalau berani,” bisik Mbak Asih sambil ketawa. Dia tertawa karena tahu persis aku tidak mungkin berani bilang ke Bapak. Aku langsung cemberut.

   “Hahaha, nanti Mbak belikan makanan dari Mall sana deh. Mau KFC ?”

   “Wah KFC? Mauu !! Asyik, beneran lho Mbak,” aku kegirangan karena aku jarang banget makan ayam goreng khas dari KFC.

   “Iya, yawis ini kunci motor sama STNK. Hati-hati lho.” ujar Mbak Asih sambil menaruh kunci motor dan STNK di meja.

   “Iya Mbak. Oia, sama belikan es krim dan hamburger ya Mbak hehehe.”

   “Walah ni anak, malah makin banyak permintaannya. Awas nanti Mbak belikan tapi ga kamu habiskan.”

   “Mesti habis, mungkin malah kurang. Adikmu ini badannya kecil tapi kuat makan. Tapi Ibu gak ngerti kenapa badannya masih segini-gini gak gemuk-gemuk cuma tambah tinggi saja,” celetuk Ibu.

   Aku cuma meringis mendengarnya.

   Akhirnya siang itu kami pergi dengan urusan masing-masing. Ibu dan Mbak Asih pergi ke Mall, sementara aku, Mas Sulis dan Bapak pergi ke toko bangunan. Maka liburanku seminggu di Kota pun justru lebih banyak dihabiskan dengan membantu menyelesaikan lantai atas. Hampir setiap hari kami bertiga menggarap lantai atas. Aku biasanya bantu cuma dari pagi sampai siang. Setelah makan siang biasanya bantuin Mbak Asih dan Ibu jaga serta melayani pembeli di warteg milik Mbak Asih yang selalu ramai. Kepintaran memasak Ibu rupanya menurun ke Mbak Asih.

   Jadi ceritanya setelah Mbak Asih lulus SMA lalu menikah dengan Mas Sulis, Mbak Asih diboyong Mas Sulis ke Kota. Mas Sulis yang sudah punya rumah milik sendiri dari hasil jerih payahnya bekerja di Kota sebagai buruh bangunan lalu naik pangkat jadi mandor bangunan, menyarankan Mbak Asih buka warung makan di rumah buat tambah-tambah penghasilan dan biar gak bosan di rumah. Mbak Asih pun setuju, lalu Mas Sulis pun merenovasi ruang tamu jadi warung makan yang bisa muat 10 orang. Dan rupanya hasil masakan menu khas kampung buatan Mbak Asih sangat digemari dan banyak pelanggannya, apalagi dekat rumah mereka banyak perkantoran, jadi kalau hari kerja terutama siang bisa ramai sekali.

   Lalu sore hari kalau sudah bosan, aku pinjem motor Mbak Asih buat jalan-jalan. Tidak jauh dari rumah Mbak Asih ada Taman Gardena yang luas dan asri karena banyak pepohonan yang terawat. Di tengah taman juga ada air mancur, banyak bangku yang disediakan dan area bermain untuk anak-anak layaknya area bermain yang ada di TK dan Playgroup. Di sekitar Taman Gardena juga disediakan area khusus yang bisa digunakan oleh para penjual makanan. Banyak sekali jenis makanan dan minuman yang dijual. Sehingga otomatis Taman Gardena ini selalu ramai ketika sore hari, ada yang mengajak anaknya main disini, jogging dan nongkrong. Akupun menyukai tempat ini untuk jajan dan sekedar menikmati suasana sore.

   Awalnya paling jauh aku cuma main di Taman Gardena, karena aku gak hapal jalan dan takut nyasar. Namun lama-lama aku berani jalan agak jauh dan ternyata tidak jauh dari Taman Gardena ada Mall yang sangat besar dan terlihat megah. Pokoknya bagus banget ! Sepertinya ini Mall yang tempo hari Ibu dan Mbak Asih kunjungi deh buat jalan-jalan. Aku pengen masuk ke Mall itu yang ternyata bernama Mall Biru tapi aku canggung dan minder pergi ke ke Mall sendirian, maklum orang kampung. Namun suatu hari akhirnya aku memberanikan diri, karena lusa aku, Bapak dan Ibu sudah pulang ke kampung. Kalau gak hari ini kesini, kapan lagi pikirku.

   Tapi memang dasarnya orang kampung, aku mau masuk cari parkiran motornya saja sudah kesulitan dan bingung. Bagaimana gak bingung, daritadi aku nyari lokasi parkir motor tidak kunjung ketemu. Mau parkir sembarangan jelas aku gak berani, takut motor Mbak Asih hilang. Mungkin karena melihat aku tengah kebingungan mondar-mandir depan Mall dan tampak mencurigakan, aku dihampiri oleh salah seorang Satpam yang berpakaian serba hitam. Dia menyapa lalu bertanya apa keperluanku. Setelah aku menjelaskan bahwa aku ingin masuk ke Mall tapi bingung cari parkiran motor, Satpam tersebut lalu menjelaskan bahwa parkiran motor berada di sebelah Timur gedung dan berada di basement. Setelah mengucapkan terimakasih dan mengikuti petunjuk dari Satpam, aku berhasil masuk ke basement menuju parkiran motor, tapi ternyata ada kesulitan tidak terduga lainnya.

   Saat aku mau masuk, lajur motor terhalangi portal. Di dekat portal tidak ada petugas parkir yang biasanya jaga, catat nomor polisi sekalian bayar ongkos parkir. Karena aku mikir mungkin Mas-Mas parkirnya sedang pergi ke toilet atau sedang merapikan motor yang parkir di dalam, maka akupun mematikan motor, duduk di atas motor menunggu Mas-Masnya datang kesini untuk memberikan karcis. Tapi lama-lama kok aku seperti dengar suara klakson dari belakang, aku menengok ke belakangku dan kaget melihat deretan motor banyak mengantri di belakangku. Lalu ada Mbak-Mbak yang pas di belakangku seperti berteriak-teriak. Karena aku pakai helm milik Mbak Asih yang kekecilan dan ngepas banget di kepala, mungkin berpengaruh terhadap daya pendengaranku, aku tidak mendengar jelas perkataannya. Setelah dengan susah payah aku bisa melepaskan helm yang aku pakai.

   “Mas cepetan masuk !!” teriak Mbak-Mbak tadi. Selain teriakan, dari belakang antrian motor makin panjang dan klakson motor sahut-menyahut membuatku pusing.

   Akupun menjelaskan ke Mbak-Mbak yang ternyata cantik tapi judes ini. “Maaf ya Mbak, aku juga gak bisa masuk dari tadi. Yang jaga parkir belum kelihatan dari tadi Mbak, sumpah.”

   Entah kenapa ekspresi Mbak-Mbak seperti orang kaget lalu tertawa geli. “Mas disini ga ada yang jaga, Mas pencet saja tombol hijau di kotak samping kanan Mas, portalnya pasti kebuka sendiri. Ini portalnya otomatis, hihihi,” ujarnya.

   Wuihh aku terpesona dengan betapa cantiknya Mbak-Mbak itu pas tertawa, sehingga aku tidak terlalu menyimak penjelasannya.

   “Mas ? halo Mas? Ayo cepat Masuk Mas, ini orang di belakang udah ngomel-ngomel semua.”

   Tapi melihat aku yang masih nampak ling-lung, Mbak-Mbak itu turun dari motornya berjalan mendekati, kotak yang ada di samping kanan, menekan tombol hijau, karcis keluar, portal terbuka sendiri.

   “Ini Mas simpan karcisnya, jangan sampai hilang. Nanti pas mau keluar nah baru ada yang jaga pintu, lalu mas kasihkan karcisnya ke petugas parkirnya. Yaudah, mas cepet masuk,” ujarnya.

   Ya ampun ternyata dari tadi ini memang gak ada yang jaga toh. Setelah mengambil karcis parkir dan berterimakasih kepada Mbak-Mbak yang berbaik hati meMbakntu orang kampung ini, aku segera menghidupkan motor dan masuk ke dalam parkiran, sumpah malu banget rasanya ketahuan betapa katroknya diriku. Di parkiran motor aku sengaja cari yang paling ujung, karena merasa malu banget dan ingin cepat-cepat masuk ke Mall. Beruntung ketika lagi-lagi aku bingung cari pintu masuk ke dalam Mall, aku melihat papan tulisan menunjukkan tulisan “PINTU MENUJU MALL”. Akupun mengikuti papan petunjuk tersebut dan melewati lorong lalu naik tangga 2 kali dan akhirnya aku sampai di dalam Mall, aku takjub betapa besar dan ramainya suasana dalam mall, sangat jauh berbeda dengan supermarket paling besar dekat Kantor Kepala Desa di kampungku.

   Mall ini besar sekali sampai aku mendongak ke atas dan memiliki banyak sekali lantai. Aku pun jalan-jalan mengitari Mall, betapa senangnya aku melihat toko-toko yang menjual barang-barang mahal, restoran-restoran mahal dan sebagainya. Belum lagi melihat para pengunjung Mall terutama yang cewek, wihh cantik-cantik banget ! Aku sering terpana melihat baju-baju yang mereka kenakan. Selain cantik dan bertubuh tinggi, ramping dengan kulit putih dan wajah terawat, mereka memakai pakaian yang ketat, rok-rok pendek bahkan ada 1 cewek yang cantik banget dia nampak santai jalan-jalan memakai sandal, celana jeans yang sangat pendek dan ditaMbakh dengan kaos putih yang dia pakai juga ketat sampai-sampai dadanya yang besar terlihat membusung sekali. Dia seperti asyik sendiri jalan sambil main ponsel. Dan yang membuatku makin heran, pengunjung lainnya juga nampak biasa saja melihat penampilan cewek tersebut. Berbeda sekali denganku yang rasanya mata ini serasa mau copot melihat pemandangan indah tersebut.

   Langsung aku merasa haus sekali, aku melihat ada konter kecil yang menjual minuman dingin dan aku meMbakca konter itu menjual es teh. Akupun mendatangi konternya dan yang jaga wah cantik juga, Mbak-Mbak berjilbab. Aku lalu memesan es teh. Sesaat kemudian minuman pesananku dalam gelas sudah dibungkus plastik dan diserahkan kepadaku. Aku merogoh uang di celanaku dan kuberikan dua leMbakr uang, seribu dan 2 ribu jadi 3 ribu. Namun Mbak yang jaga malah bingung dan berkata.

   “Maaf mas, harga minumannya sepuluh ribu.”

   Apa?! Segelas es teh di Mall harganya 10 ribu? Batinku dalam hati.

   “Oh..oh..iya Mbak, sebentar,” aku pun merogoh lagi kantong belakang, mengambil selembar uang 10 ribu dan kuberikan ke Mbak nya.

   “Silahkan ini minumannya, terimakasih.” ujar si Mbak dengan sopan sembari tersenyum. Kubalas senyumannya, kuambil minumanku dan pergi. Setelah agak jauh, aku meminum es teh tersebut. Rasanya hampir sama dengan es teh yang ada di warteg Mbak Asih yang harganya 3 ribu. Memang sih gelas ini lebih besar dan isinya lebih banyak. Tapi kok ya bisa jadi 10 ribu disini. Aku jadi ingat cuma bawa uang 20 ribu, kurogoh lagi uang sisa di kantong celana. Dan ternyata aku hanya membawa uang tidak sampai 20 ribu, karena setelah 10 ribu aku pakai untuk membeli minuman ini, kini tinggal selembar uang 2 ribu dan 5 ribu alias 7 ribu. Aku jadi agak panik, karena uang tinggal 7 ribu di kantong sementara aku gak tahu ongkos parkir di Mall. Jika es teh 3 ribu bisa jadi 10 ribu di mall, berapa tuh ongkos parkirnya. Aku segera menghabiskan minumanku, membuangnya di tempat sampah dan segera pulang. Sudah cukup cuci mata di Mall kali ini, saatnya pulang. Tapi kini entah aku berada di lantai berapa, aku tidak sempat menghitung karena aku asal naik terus lewat tangga berjalan otomatis. Arah keluar jelas aku bingung. Namun aku senang karena aku melihat banyak Satpam di sekitar sini, karena aku tidak mau mengulang kebodohanku dan nyasar gak bisa pulang, aku bertanya kepada setiap petugas Satpam yang aku temui dimana arah keluar Mall yang menuju parkiran motor.

   “Mas bisa turun pakai lift yang dekat Ace Hardware disana, itu liftnya bisa langsung sampai basement,” jawab salah seorang Satpam dengan sopan.

   Lift ?? haduuhh, aku belum pernah naik lift ! takut makin keliatan kampungan aku pun bertanya arah tangga saja.

   “Tangga? Maksud Mas elevator ya. Dari sini Mas lurus saja, nanti ketemu sama elevator. Itu ikutin elevatornya di tiap lantai, nanti bisa turun sampai ke hall. Dari hall, ada pintu yang menuju tangga menuju basement. Pintunya ada di dekat Hypermart Mas.”

   Aku mengangguk lalu mengucapkan terimakasih. Setelah Satpam tersebut pergi, aku mencoba mengingat-ingat lagi perkataannya tapi arrrgghh ! AKU SUDAH LUPA ARAH PETUNJUK YANG DIBERIKANNYA !!! ARGGHHH !! yang aku ingat cuma bagian arah elevator. Pada akhirnya aku bertanya kepada setiap Satpam yang aku jumpai di setiap lantai agar aku tidak nyasar dan kini aku bisa sampai ke parkiran motor yang berada di basement, hore. Tapi kegembiraanku lenyap ketika menemukan parkiran motor ternyata penuh sekali. Aku bingung motor Mbak Asih aku parkir di sebelah mana, hedeh. Karena rupanya pintu yang barusan aku masuki menuju basement, ternyata berbeda dengan pintu dimana aku keluar menuju mall. Akupun menyusuri deretan motor untuk mencari ujungnya karena aku ingat motorku berada di ujung parkiran. Namun sampai di ujung deretan, ternyata berbeda. Sepertinya bentuk parkiran disini tidak cuma berderet memanjang, namun bentuknya arhhh entah apalah bentuknya yang pasti aku bingung!

   Aku kemudian bertanya kepada salah seorang petugas parkir yang tengah merapikan motor. Aku pun bertanya dimana parkiran motor yang dekat dengan pintu bertulisan Masuk mall, awalnya dia menunjuk ke arah pintu dimana aku keluar tadi, namun aku bilang bukan pintu yang itu, tapi yang satu lagi. Lalu dia menunjuk ke arah lain. Setelah mengucapkan terima kAsih, aku pun mengikuti arah yang dia tunjukkan. Tak berapa lama, hatiku lega luar biasa karena bisa melihat papan “PINTU MENUJU MALL” yang aku lewati pas masuk tadi. Lalu akhirnya aku bisa menemukan lokasi motor Mio kuning milik Mbak Asih.

   Namun aku masih deg-degan karena ada ujian terakhir buatku untuk keluar dari mall ini, yakni mencari arah pintu keluar dari basement. Aku mencoba melihat-lihat papan petunjuk keluar yang tergantung di langit-langit tapi hasilnya aku malah tambah bingung, namun akhirnya aku memiliki ide bagus, lebih baik aku mengikuti para pengunjung yang sama-sama mau keluar dan caraku tersebut berhasil ! Setelah melewati beberapa belokan yang membingungkan, akhirnya aku sampai di portal yang ada petugas parkir yang berjaga di loket yang kebetulan kosong. Dengan keringat dingin aku menyerahkan karcis parkir, aku melirik ke dalam bilik loket saat si Mas penjaga pintu mengetikkan sesuatu lalu muncul tarif parkir terpampang di layar komputer.

   “6 ribu.”

   Rasanya lega luar biasa uangku masih cukup untuk meMbakyar ongkos parkir. Setelah kubayar lalu menerima uang keMbaklian berikut struk parkir, aku pun keluar dan pulang dengan hati gembira. Sampai di rumah, aku menceritakan pengalamanku main ke mall barusan kepada Ibu dan Mbak Asih yang tengah asik menonton TV, semua aku ceritakan mulai dari Masuk ke mall sampai keluar kecuali tentu saja bagian dimana aku terpesona melihat gadis-gadis cantik dan seksi para pengunjung mall. Setelah aku ceritakan, reaksi Mbak Asih cuma satu

   Dia tertawa terbahak-bahak, sampai menangis sambil memegangi perutnya.

   Reaksi Ibu?

   “Hadeh, dasar wong ndeso,” tukas Ibu sambil tertawa.

   Rasanya sebal sekali namun dalam hati aku sangat senang karena besok-besok aku sudah gak bingung lagi kalau pergi ke mall. Kalau aku dan Ibu sempat jalan-jalan di kota meskipun cuma ke mall, lain halnya dengan Bapak. Dia masih asyik berkutat ikut menyelesaikan pemasangan papan untuk lantai di bagian atas. Bapak dan Mas Sulis bekerja hampir seharian, dari pagi sampai siang mereka terus bekerja, setelah istirahat makan siang mereka lanjut kerja lagi sampai malam. Kerja sampai malam itupun berhenti karena Mbak Asih minta Mas Sulis dan Bapak minta untuk berhenti setelah jam 7 malam karena ga enak sama tetangga sebelah, malam –malam kedengaran suara tak-tok palu, takut mengganggu istirahat. saking asyiknya mereka berdua bekerja bisa sampai lupa waktu, serasa gak ada capeknya Bapak dan Mas Sulis. Aku yang Masih SMP kelas 3 pada saat itu tentu saja masih ga kuat jika ikut irama kerja Bapak dan Mas Sulis yang terbiasa nukang, apalagi Bapak yang terlihat sangat detil dan teliti sekali dalam penyelesaian lantai atas ini.

   Berdasarkan cerita dari Mbak Asih, Bapak di kampung sebelum jadi petani, masa mudanya dihabiskan jadi buruh bangunan bahkan sempat jadi mandor karena keahlian bertukang dan ketelitiannya. Setelah menikah dengan Ibu lalu setahun kemudian Mbak Asih lahir, tak lama kemudian Bapaknya Bapak atau kakek meninggal dan memberikan warisan berupa sawah seluas 2 hektar yang dibagi berdua dengan paklik Basuki, adiknya Bapak. Kalau paklik memutuskan menjual tanah warisan tersebut lalu uangnya dipakai untuk mendirikan toko seMbako yang kemudian ramai pembelinya karena termasuk besar dan lengkap di kampung kami, Bapak memutuskan tidak menjual tanah bagiannya malah berubah haluan dari mandor bangunan menjadi petani meneruskan sawah milik kakek. Meskipun lama menjadi buruh bangunan, darah petani masih mengalir deras di nadi Bapak, tanpa canggung Bapak bisa menjadi petani yang ulet. Dibantu dengan beberapa petani yang biasa dipekerjakan kakek untuk meMbakntu menggarap sawah, berkat kesabaran dan kerja keras di musim panen berikutnya hasilnya selalu memuaskan.

   Di hari ke 6 liburan kami di rumah Mbak Asih, akhirnya lantai atas di dapur jadi juga. Kerja keras dan ketelitian mandor dan mantan mandor memang bagus. Meskipun beralas kayu papan dan, tapi saat menginjakkan kaki di atas, terasa mantap. Lantai kayupun ditutup dengan alas karpet yang tipis sehingga tidak berbunyi jika ada orang di atas. Lantai atas memiliki luas setengah dari ukuran dapur di bawah, ya kira - kira luasnya 4 x 4 meter dan tingginya 2 meter, pinggiran lantai atas juga dibuatkan pagar. Sementara Bapak dan Mas Sulis istirahat, aku meMbakntu Ibu dan Mbak Asih menaikkan peralatan memasak yang sedang tidak terpakai. Lalu bukan hanya untuk menyimpan peralatan milik Mbak Asih, barang-barang tidak terpakai namun sayang untuk dibuang pun juga dipindahkan ke atas.

   “Nah kalau gini kan rapi enak, yang di bawah keliatan plong.” Ujar Bapak yang menyusul kami ke atas.

   “Hehehe makasih ya pak!!” Ucap Mbak Asih yang kelihatan senang sekali sambil mengacungkan kedua jempolnya kepada Bapak.

   Di hari ketujuh atau hari terakhir di Kota, kami berlima akhirnya bisa jalan-jalan bareng. Saat pergi di mall dengan bangga aku menunjukkan arah pintu masuk kepada Bapak , menjelaskan isi toko-toko di setiap lantainya. Haha. Di mall kami diajak makan di semacam kantin yang memiliki banyak kursi dan meja. Di samping berderet konter penjual makanan. Setelah puas makan, Mbak Asih dan Mas Sulis mengajak kami jalan-jalan di pantai yang berada di pinggir Kota. Dan besoknya kami bertiga pulang ke kampung karena lusa aku sudah masuk ke kelas baru yakni kelas 3 SMP.
====FLASHBACK SELESAI =====

   
   
   Itu adalah salah satu momen kebersamaan kami berlima yang berkesan untukku dan momen yang tidak akan bisa aku ulangi lagi karena sebulan yang lalu terjadi bencana alam berupa tanah longsor yang menimpa kampungku, 5 rumah roboh tertimpa bukit yang ada di belakang rumah setelah dari sore hingga dini hari kampung kami diguyur hujan yang sangat lebat. Kejadian yang merubah segalanya, kejadian yang membuat aku dan Mbak Asih menjadi anak yatim-piatu. Dan sekarang aku pindah dari kampung untuk tinggal bersama dengan Mbak Asih kakak perempuanku satu-satunya dan Mas Sulis, kakak iparku di Kota.

   Dan karena kehadiranku, lantai atas yang semula hanya untuk menyimpan barang kini hampir ¾ nya sudah diubah menjadi kamar untuk aku tempati. Aku memakluminya karena memang setelah ruang tamu dijadikan warung makan dan di rumah Mbak Asih hanya mempunyai 1 kamar tidur. Maka sebelum aku berangkat kesini, Mbak Asih menelponku dan meminta maaf karena nanti aku akan tidur di lantai atas dekat dapur, Mbak Asih bercerita bahwa mas Sulis merenovasi lagi lantai atas dengan membuat kamar tidur baru untukku yang berukuran 3 x 3 dan gudang penyimpanan diperkecil tepat di samping kamarku. Aku mengiyakan saja. Justru aku malah senang karena lantai atas ini adalah salah satu karya terakhir yang Bapak kerjakan. Jadi aku merasa lantai ini mempunyai banyak sekali kenangan untukku.

   Aku mengedarkan pandangan melihat seisi kamar dan aku baru ngeh ternyata di pojok kamarku tepat di atas meja, ada jendela. Semalam karena saking capeknya baru sampai dari kampung setelah 7 jam naik bus, begitu masuk kamar aku langsung menaruh tas ransel yang berat, melepas baju dan celana panjang hingga menyisakan celana kolor dan langsung tertidur. Hanya dengan mengenakan celana pendek, aku lalu menuju jendela dan membukanya, huaaahh rasanya lega begitu udara pagi masuk ke dalam kamarku. Udara pagi yang segar membuat kamarku tidak terasa pengap. Aku melihat-lihat pemandangan dari jendela, Tepat di depanku ada rumah 2 lantai yang berjarak kurang lebih 4 meter, jendela yang berada di lantai 2 Masih tertutup rapat, akupun melongok ke bawah, rupanya dibawah sana sudah lumayan ramai orang berlalu lalang. Aku melihat ke kejauhan nampak bangunan-bangunan tinggi yang menjulang, mentari pun mulai meninggi meski malu-malu.

   “Yan, ini handuknya cepetan man sana uda mau jam 6 lho,” Kata Mbak Asih seraya menyerahkan handuk baru berwarna hijau.

   “Iya, oia Mbak, aku baru tahu di kamarku ini ada jendela. Pantas saja aku bangun tadi kayak orang mandi keringat, orang jendela ketutup,” kataku sambil mengambil handuk pemberian Mbak Asih dan mengalungkannya di leherku.

   “Woo ya pantes kamu kepanasan. Jendela ga kamu buka.”

   ‘”Hehe maklum Mbak, semalam sampai sini langsung tidur.”

   “Yadah cepat mandi sana. Abis kamu mandi, pakai seragam lalu sarapan. Nasi gorengnya ada di meja maka deket TV.“

   “Oke.”

   Mbak Asih lalu pergi tapi kemudian balik badan dan bilang, “Dek, kamu masih suka tidur ga pakai baju cuma pakai celana kolor?” tanyanya di depan pintu kamar.

   “Iya Mbak, udah kebiasaan sih. Secapek-capeknya aku seperti semalam, aku mesti sempat untuk buka baju cuma berkolor ria, hehe.”

   “Dasar laki-laki. Yawis, Mbak mau lanjutin masak-masak buat warung dulu,”

   Aku dan Mbak Asih selisih umurnya terpaut 5 tahun. Saat ini aku berusia 16 tahun dan Mbak Asih 21 tahun. Mbak Asih orangnya cantik putih, rambutnya pendek, matanya agak-agak sipit dan punya badan yang mesti aku akui sangat aduhai montok. Dulu saat Mbak Kak Asih masih sekolah di kampung, boleh dibilang dia menjadi kembakng desa karena selain cantik, tubuhnya juga sangat molek. Entah Sudah berapa banyak laki-laki di kampung yang mencoba mendapatkan hari Mbak Asih, bukan hanya mau menjadi pacar Mbak Asih tapi banyak juga pemuda yang nekat tiba-tiba datang ke rumah bersama orang tunya dengan maksud untuk melamar Mbak Asih.

   Salah satunya bahkan Mas Hendro anak sulung dari Pak Ruslan Kades di kampungku, yang terpincut dengan Mbak Asih. Mas Hendro adalah kawan SD hingga SMP nya Mbak Asih. Setelah lulus SMP, dia melanjutkan SMA di Kota hingga kuliah di Universitas Negeri di Kota mengambil jurusan Hukum. Lamaran itu disampaikan 1 bulan setelah Mbak Asih lulus SMA. Pak Ruslan adalah salah satu orang terkaya di kampungku. Jadi saat mereka datang ke rumah dan jika lamaran dari mas Hendro diterima, pihak Pak Ruslan siap menanggung semua biaya pernikahan dan menggelar pesta besar-besaran belum lagi mas kawin yang ditawarkan berupa uang tunai 70 juta.

   Tapi kami beruntung memiliki orang tua seperti Bapak dan Ibu yang tidak gampang silau oleh harta kekayaan dan titel, dengan halus Bapak menyerahkan keputusan apakah lamaran dari Mas Hendro diterima atau tidak kepada Mbak Asih karena orang tua kami menempatkan kebahagiaan anak-anaknya lebih dari apapun. Kalau gadis lain di kampung kami saya yakin tidak akan bisa menolak lamaran tersebut, karena selain anak orang kaya Mas Hendro orangnya terbilang ganteng dan pintar. Namun itu semua tidak bisa menggoyahkan keputusan Mbak Asih untuk tegas menolak lamaran dari Mas Hendro dengan alasan dia sudah mempunyai calon pilihan dia sendiri. Beberapa bulan kemudian kampung kami geger ketika tersebar undangan pernikahan Mbak Asih dengan calon suaminya yakni Mas Sulis yang diadakan 1 bulan. Banyak yang tidak menyangka jika selama ini Mbak Asih pacaran dengan Mas Sulis, anak petani miskin yang setelah lulus SMP memutuskan merantau ke Kota dan menjadi buru bangunan. Bagaimana bisa gadis keMbakng desa lebih memilih seorang buruh bangunan anak seorang petani miskin daripada seorang yang terpelajar calon Pengacara anak seorang Kades?

   Seminggu sebelum pernikahan, suatu hari aku pergi berdua dengan Mbak Asih untuk beli bakso di warung bakso kesukaan kami berdua sejak kecil. Disana aku menceritakan tentang berita kabar pernikahan Mbak yang membuat para pemuda patah hati, apalagi tahu bahwa calon suami Mbak adalah Sulistyo, anak tunggal Pak Rajiman seorang petani miskin.

   “Mas Sulis itu orangnya sebenarnya pintar, ulet banget, pekerja keras dan sangat mandiri. Dia memang tidak ganteng tapi dia baik dan sopan. Mbak sudah kenal dengan Mas Sulis dari kecil. Sejak SD pun Mbak sudah suka sama Mas Sulis, tapi Mbak pendam perasaan suka Mbak. Bagaimana pun Mbak kan seorang perempuan, jadi gak mungkin bilang suka duluan. Sampai akhirnya setelah kami lulus SMP, suatu hari Mas Sulis cerita kalau dia tidak melanjutkan ke SMA karena sudah tidak punya biaya dan memutuskan ikut merantau ke Kota menjadi buruh bangunan bersama saudara sepupunya. Mbak sedih banget, bahkan nyaris nangis lalu tiba-tiba Mas Sulis pegang tangan Mbak, erat banget dan mengaku bahwa dia menyukai Mbak dari dulu dan akhirnya menyatakan cintanya ke Mbak. Mas Sulis sebenarnya ga nembak cuma menyatakan perasaan sebelum dia pergi merantau biar plong, karena dia menyadari kekurangannya. Namun daripada Mbak yang menyesal karena gengsi akhirnya Mbak juga mengungkapkan perasaan Mbak. Akhirnya kami jadian dan pacaran. Bapak dan Ibu tahu lho kalau Mbak pacaran dengan mas Sulis, tapi mereka tidak mempermasalahkan karena kenal dan tahu banget sifat Mas Sulis.”

   Mbak Asih menghela nafas sejenak sebelum kembali bercerita.

   “Setelah Mbak menolak lamaran dari Mas Hendro, Bapak memanggil Mas Sulis di kota untuk segera datang ke rumah. Di depan kami Bapak dan ibu bertanya tentang keseriusan hubungan kami berdua dan menyarankan jika memang sudah sama-sama serius, lebih baik kami segera menikah. Tentu saja Mbak kaget mendengar penuturan Bapak, tapi Mbak lebih kaget karena tahu-tahu Mas Sulis bersujud dan mencium kaki Bapak dan Ibu sambil menangis. Bapak lalu bilang ke Mas Sulis tidak usah mempermasalahkan biaya pernikahan karena Bapak bilang dia sanggup membiayai pernikahan kami berdua. Tetapi Mas Sulis menolak lalu bilang bahwa dia sudah mempunyai cukup tabungan untuk biaya pernikahan, lalu Mas Sulis bercerita bahwa yang dia tidak punya selama ini adalah keberanian untuk melamar Mbak di depan Bapak Ibu.”

   Mendengar jawaban itu, entah kenapa aku jadi ikut terharu. Biarlah orang mau berkata apa, yang penting aku iku senang karena Mbak Asih mempunyai calon suami yang luar biasa pilihan dia sendiri. Namun entah kenapa setelah 2 tahun menikah Mbak Asih dan Mas Sulis belum juga dikaruniai buah hati bahkan sampai orang tua kami meninggal. Aku tahu ini adalah hal yang sangat sensitif, jadi aku tidak boleh sembarangan bertanya tentang hal ini.

   Aku lalu menuju kamar mandi yang berada di dekat dapur. Selesai mandi aku kembali ke kamar dan menemukan 1 set seragam SMA terlipat rapi di atas tempat tidur. Ini pasti Mbak Asih yang menyiapkannya. Dengan cekatan aku memakai seragam SMA yang bisa pas banget di badan baik baju maupun celana panjangnya. Bukan hanya seragam, di dekat kasur juga kardus. Aku buka dan isinya sepasang sepatu sekolah berukuran 41 dan sepasang kaus kaki baru. Mbak ku memang joss. Segera kupakai sepatu tersebut, setelah sisiran dan mematut diri di kaca, rasanya tidak menyangka aku hari ini resmi kelas 1 SMA. Seandainya Bapak dan Ibu melihatku memakai seragam ini dia pasti bangga sekali.

   Aku segera turun ke bawah, menenteng tas ransel lamaku yang berisi beberapa buku tulis kosong dan alat tulis yang juga dipersiapkan Mbak Asih di meja kamarku. Bau sedap nasi goreng buatan Mbak Asih membuatku lapar. Aku segera duduk di meja dan mulai makan. Luar biasa enak banget.

   “Sarapan yang banyak dek,” ucap Mbak Asih sambil mengusap rambutku. Kemudian dia duduk di depanku sembari meletakkan segelas teh hangat. “Ini tehnya,” setelah meletakkan teh, Mbak Asih menarik kursi dan duduk di sampingku.

   "Makasih Mbak."

   "Gimana sepatunya pas ga? Mbak ngira-ngira aja lho ukuran sepatumu."

   "Pas kok Mbak. Oia Mas Sulis pergi berapa hari?"

   "Biasanya seminggu. Dia sedang ngawasin proyek di luar kota. Setelah jemput kamu di terminal kemarin, dia langsung pergi."

   "Oh. Mbak gak ikut sarapan?"

   "Nanti saja, Mbak belum lapar. Dek, kamu berangkat ke sekolah naik bus umum. Naik yang nomor 17. Kamu bisa tunggu busnya di halte depan gang sana. Itu nanti bus nya lewat depan sekolahmu. Ini uang untuk naik bus dan ini uang jajanmu."

   Mbak Asih meletakkan selembar uang 10 ribu dan 50 ribu.

   "Wah kebanyakan Mbak uang jajannya."

   "Gak apa-apa, kalau lebih kamu simpan saja."

   "Makasih Mbak."

   "Iya. Eh mau nambah lagi gak? Mbak ambilin," Mbak Asih hendak berdiri mengambil piringku yang sudah licin tandas.

   "Cukup, cukup Mbak. Gak enak kalau kekenyangan."

   "Dah tinggal aja dek piring kotornya."

   Mbak Asih kemudian mengantarku sampai pintu depan.

   "Hati-hati dek, belajar yang rajin dan semoga hari pertamamu di sekolah hari ini lancar, dapat banyak teman baru."

   "Baik Mbak," Aku menyalami Mbak Asih dan kucium punggung tangannya.

   Langkah pertamaku terasa berat, karena aku tidak pernah menyangka akan masuk sekolah SMA Negeri di Kota. Pergaulan di Kota dan di Kampung jelas berbeda. Namun aku tidak takut atau merasa minder ! Aku mesti semangat ! untuk mengobarkan semangatku aku mempercepat langkah, dari lari-lari kecil kini aku kemudian semakin mempercepat langkahku. Kini aku berlari !
Hei masa depan ! Aku akan datang menyambutmu dengan berlari untuk merayakan kehidupan dan masa muda !


= BERSAMBUNG =

14 comments for "LPH #1"

Post a Comment