Featured Post

LPH #13

Episode 13
Sungguh Hari Yang Berat dan Menguras Emosi






















(pov : Yandi)


“bu, tolong bu ! tolong teman saya!” aku berteriak panik begitu masuk ke dalam klinik. Ibu yang kupanggil tersebut tengah berbincang dengan seseorang di balik meja pendaftaran. Melihatku yang dilanda panik karena membopong remaja yang masih memakai seragam dalam kondisi kotor dan basah, kedua tangan penuh lecet membuatnya langsung bisa menilai situasi yang tengah kualami.

“baringkan dia di ruangan itu, saya ambil peralatan dulu.” Perintahnya sembari menunjuk sebuah pintu.

Aku segera masuk dan melihat ada ranjang beralas kasur tipis. Xavi segera aku letakkan perlahan. Dalam ruangan yang terang benderang ini aku bisa melihat jelas kondisi Xavi. Xavi rupanya pingsan saat kubopong ke klinik, tapi raut mukanya menunjukkan eskpresi kesakitan, tubuhnya juga mengigil. Mukanya penuh luka lebam, mulut dan hidungnya mengeluarkan darah, dahinya benjol, rambut acak-acakan, kancing seragam bagian sudah tanggal, kantung sakunya sobek, baju seragamnya sudah berwarna kecoklatan, kedua tangannya penuh luka lecet, terutama di bagian siku, jam tangan G-Shock yang ia kenakan kaca covernya retak, celana panjang abu-abu juga kotor basah dan penuh bercak sepatu. Motif sepatunya sudah tidak terlihat jelas karena luntur terkena air. Dalam kondisi seperti itu dalam pikiranku terbayang Xavi yang tidak berdaya, dikeroyok, ditendang, diinjak-injak, dipukuli secara beramai-ramai dalam kamar mandi yang sempit dan setelah mereka puas, mereka mengguyur Xavi yang sudah pingsan dengan air dari bak mandi yang dingin, tapi aku juga yakin Xavi sempat melindungi bagian vitalnya yakni kepala terbukti dengan luka lecet lebam di sekujur lengannya bahkan sampai jam tangannya pecah.

Biadab !! aku berteriak dalam hati.

BUGH !

Kulampiaskan amarahku dengan menghantam dinding. Ini sungguh keji, sangat tidak manusiawi dan aku tidak percaya jika ini adalah perbuatan seorang siswa sekolah.

“tolong lepaskan semua baju dan celana temanmu, kaus kaki dan sepatunya. bajunya yang basah bisa membuatnya semakin demam. Kalau sudah lepas semua pakainnya, keringkan dengan handuk lalu pakaikan dia baju ini. “ perintah dokter yang masuk ke ruangan dan memberikanku baju celana berwarna coklat dan handuk besar berwarna putih.

Ibu yang kuminta tolong tersebut rupanya adalah dokter yang tengah berjaga. Ia sudah mengenakan jas putih.

“Xavi bertahanlah teman, kamu sudah aman , kita sudah ada di klinik dan ada bu dokter yang akan mengobati lukamu.” Sembari melepas seluruh baju Xavi, aku mencoba mengajaknya berbicara. Akut tidak tahu Xavi mendengar perkataanku atau tidak karena matanya tetap terpejam namun kini dia merintih kesakitan.

“sudah dok !” kataku setelah Xavi badannya sudah kukeringkan dan kupakaikan baju bersih.

“minggir.” Bu dokter yang kutaksir sudah berusia minimal 50 tahun ini dengan cekatan melakukan pemeriksaan.

“kamu temannya ?” tanyanya disela-sela memeriksa kondisi Xavi.

“iya bu dokter.”

“panggil saya dokter Lidya. Kalian berdua dari SMA Negeri XXX kan? Siapa namamu? Dan temanmu ini namanya Xavi?”

“iya betul dokter Lidya. Nama saya Yandi dan dia Xavier. Kami sekelas di kelas 1F SMA Negeri XXX.”

“Xavi korban tawuran?”

“bukan bu, dia korban pengeroyokan. Dia menghilang sebelum jam pelajaran usai dan baru tadi sore aku temukan dia pingsan di kamar mandi dengan kondisi terluka seperti ini.”

Dokter Lidya tidak berkata apa-apa lagi. dengan cemas aku terus memperhatikan dokter Lidya bekerja memeriksa kondisi Lidya.

“luka luarnya memang parah tetapi dia beruntung tidak ada luka dalam dan tidak ada tulang yang patah. Hanya saja kondisi tubuhnya terus melemah karena dia mengalami demam tinggi akibat air yang membasahi tubuhnya selama ia pingsan. Klinik ini tidak akan bisa menangani Xavi secara maksimal dia harus di rujuk ke rumah sakit secepatnya. Tetai kamu tidak bisa membawanya begitu saja ke rumah sakit karena pihak rumah sakit pasti meminta orang yang jadi penjamin Xavi. Yan, cepat kamu telepon orang tua Xavi agar cepat kesini.”

aku bingung mesti bilang apa karena aku tidak kenal orangtua Xavi, bahkan rumah dia pun baik aku, zen dan yosi tidak ada yang tahu !

“maaf dok..aku tidak tahu bagaimana caranya menghubungi orang tua Xavi, alamat rumah dia pun aku tidak tahu.” Jawabku sambil menunduk.

“handphone Xavi ada?”

“ada dok, Cuma di password.”

Dokter Lidya berpikir lalu bilang,

“yan, kamu hubungi saja salah satu guru di sekolahmu, lebih baik lagi guru yang jadi wali kelasmu. Karena dia pasti punya kontak semua wali murid. Kamu punya nomor guru wali kelasmu kan?”

Aku langsung berbinar mendengar saran dokter Lidya, karena jujur saja aku tidak bisa berpikir jernih saat ini. “punya dok!”

“nah cepat telepon dia.”

Aku segera meraih hapeku di kantong, aku sempat melihat ternyata ada 10 panggilan tidak terjawab dan 66 pesan WA dari 4 chat yang belum aku baca. Tapi aku tidak tertarik membuka pesan-pesan itu sekarang, yang penting aku mesti menghubungi bu shinta, wali kelasku. Aku lega karena nomornya aktif, tapi sampai beberapa panggilan bu shinta belum mengangkatnya, karena hanya bu shinta satu-satunya orang yang bisa membantuku saat ini, aku tetap berusaha menelepon bu shinta sampai beliau mengangkatnya.


******

@ rumah Bu Shinta
Di saat yang bersamaan

******


(pov bu shinta)

“Halo selamat sore.”

“bu shinta ini Yandi bu !”

Kupingku terasa sakit karena orang yang meneleponku berteriak lantang sekali.

“Yandi? Yandi 1F?” aku teringat hanya punya 1 murid yang bernama Yandi.

“iya bu benar, sebelumnya Yandi maaf, maafff banget karena uda ganggu bu shinta sore ini, tapi aku tidak tahu mesti menghubungi siapa lagi.”

“memang ada apa yan?” aku telah terjadi sesuatu yang buruk karena kudengar nada suara Yandi yang panik.

“Xavi bu. Dia dipukuli seseorang dan kutemukan dalam kondisi pingsan serta tubuh penuh memar di kamar mandi atas gedung kelas 3 sore ini. aku langsung melarikan Xavi ke klinik dekat sekolah yang tepat di samping kantor JNE. Saat ini Xavi sedang di periksa, tetapi menurut dokter Lidya yang memeriksa kondisi Xavi mengatakan sebaiknya Xavi segera di rujuk untuk di rawat di rumah sakit dan memberitahu orang tua Xavi. Ibu bisa tolong ke klinik bu lalu telepon orang tua Xavi untuk segera menjemputn Xavi di klinik? Kondisi Xavi benar-benar lemah karena selain luka-luka dia juga demam tinggi.”

Degh

Xavi dipukuli di lingkungan sekolah sampai pingsan? Ini jelas kabar yang sangat buruk. Dan yang lebih buruk lagi adalah kondisi Xavi semakin buruk dan mesti dirujuk ke rumah sakit.

“oh iya ibu tahu. Tunggu yan, ibu kesana jemput kalian lalu kita bawa Xavi ke rumah sakit.”

“baik bu terimakasihh.” Untuk pertama kalinya aku mendengar suara Yandi sedikit lebih tenang.

“oia bu, jangan lupa kabari orangtua Xavi, karena orang tua dia pasti sangat khawatir. Kami teman-teman Xavi tidak ada yang tahu alamat rumah maupun kontak orang tua Xavi.”

“iya gampang, yasudah kamu temenin Xavi dulu. Ibu segera kesana.”

"Kayaknya ada kondisi gawat ya bun.” Tanya suamiku.

“iya pa, muridku pingsan di sekolah dan saat ini sedang berada di klinik dekat sekolah dan kata dokter disana dia mesti segera di rujuk ke rumah sakit. Nah teman membawa anak yang pingsan itu yang barusan nelpon, dia bingung karena tidak tahu kontak orang tua anak yang pingsan ini.”

“halah Cuma pingsan aja kok sampe segitu paniknya, ganggu orang lagi kangen-kangenan saja bunda telepon saja orangtuanya biar mereka yang jemput.

Aku berdiri lalu membenarkan hijab dan bajuku yang sedikit berantakan. “maaf pa, papa mesti lanjut sendiri ya. Karena masalahnya dia pingsan karena habis dipukuli di lingkungan sekolah. Dan yang membuat bunda ga bisa nolak karena bunda tahu orang tua anak ini sudah tidak lengkap. Dia dari keluarga broken home. Anak ini sekarang tinggal berdua dengan mamanya. Papa pernah dengar nama Clara Maria Hehanusa? Papa kan sfaf di Kemenkeu jadi bunda yakin papa pasti tahu siapa dia. ”

Suamiku tampak berpikir sejenak, “Clara Maria Hehanusa..ini Clara Maria yang menjabat Presiden Direktur Freeport Indonesia bukan?”

“iya 100. Buat papa. Dan anak yang sekarang sedang pingsan di klinik ini bernama Xavier Tobias di daftar absen. Tetapi nama lengkap dia adalah Xavier Tobias Hehanusa, putra tunggal Clara Maria Hehanusa.”

“oh…”

meskipun suamiku hanya menjawab singkat tapi aku yakin dia tahu betapa besar masalah yang akan kuhadapi sekarang. Bukan hanya jadi masalahku semata tapi juga akan menjadi masalah besar buat pihak sekolah karena putra tunggal dari seorang Presiden Direktur Freeport Indonesia sudah dipukuli mungkin saja salah satu murid di sekolah ini. Bisa saja dia akan menuntut sekolahku dan membawa kasus ini ke pihak kepolisian. Jelas ini masalah besar. aku segera pergi ke kamar mandi untuk sikat gigi, selesai sikat gigi aku mengganti seragamku dengan baju tebal berwarna merah dan rok hitam panjang, hijab coklatku tidak aku ganti karena aku buru-buru. Setelah rapi dan menyemprotkan minyak wangi, mengaca sebentar kemudian pamit pergi kepada suamiku.

“pa, bunda pergi dulu, maaf ga bisa layanin papa sampai tuntas.”

“iya ma. Semoga cepat selesai urusannya ma.”

Aku beruntung memiliki suami yang baik dan pengertian. Meskipun usiaku dan suamiku selisih umurnya cukup lebar yakni 20 tahun dan di usia pernikahan kami yang menginjak 2 tahun di bulan depan kami belum juga dikaruniai seorang buah hati, kami tetap bisa menjaga rumah tangga dengan harmonis. Suamiku Handoyo sayang, maaf ya ninggalin kamu dalam keadaan tanggung, batinku. Tapi saat ini ada masalah besar yang berada di depan mataku dan meningat ini terjadi di lingkungan sekolah, aku mesti memberitahu bapak Albert, kepala sekolah di tempatku mengajar karena dalam pertemuan rahasia antara beliau dengan bu Maria Clara sebelum penerimaan murid baru, pak Albert berjanji bahwa Xavier akan mendapatkan yang terbaik dan identitas aslinya sebagai anak tunggal ibu Clara Maria akan dijaga rapat-rapat sesuai permintaan ibu Maria Clara dan Xavier sendiri. Tapi kenyataannya sekarang, baru 2 minggu sekolah dimulai, Xavier sudah babak belur di pukuli di dalam lingkungan sekolah. Aku ngeri membayangkan reaksi bu Maria Clara yang terkenal luar biasa galak dan tegas, tahu kondisi anaknya sekarang. Sambil berjalan menuju mobil, aku menelpon pak Albert. Butuh waktu beberapa lama sampai akhirnya beliau mengangkat teleponku.

“selamat sore pak Albert maaf mengganggu, bapak sedang sibuk ga? Atau masih seminar di Bali ?”

“sore bu shinta. Saya udah selesai seminar barusan. Nanti malam langsung pulang ke Kota. Ada apa shin?

“ehm jadi gini pak…” aku bingung mau bagaimana menceritakan hal ini kepada pak Albert, “Ada masalah yang gawat, benar-benar gawat.”


******

@klinik
30 menit kemudian


******




















(pov : Yandi)

Aku menemani Xavi yang kondisinya sudah lumayan membaik setelah Dokter Lidya merawatnya. Nafas Xavi sudah teratur dan dia sudah tidur tenang tidak lagi mengerang kesakitan. Wajahnya meskipun babak belur, sudah dibersihkan, Kupegang dahinya, panasnya masih tetap tinggi. Aku benar-benar kasihan dengan Xavi. Sembari menunggu bu Shinta datang, pikiranku melayang-layang memikirkan kejadian ini. Aku tidak tahu siapa pelaku pemukulan Xavi, tapi aku yakin ini ada hubungannya dengan kejadian kemarin ketika aku nyaris berkelahi dengan kelompok Leo cs dan meskipun Leo, Gom tetap berada di kelas selama kejadian berlangsung, aku yakin keduanya terlibat dan menjadi dalang ini semua. Aku marah tapi tidak tahu mesti marah dengan siapa, karena Leo memiliki alibi dia tidak terlibat dalam masalah ini. Tapi aku tidak punya bukti keterlibatan dia. Aku teringat Ipul yang kemarin hampir berkelahi denganku, apa dia pelakunya. Tapi aku merasa ada yang aneh kenapa Xavi bisa terkapar pingsan di dalam kamar mandi cowok yang berada di lantai atas gedung kelas 3? Apakah ada anak kelas 3 yang terlibat. Nando? Ah sialan kenapa dia mesti ikut campur sih dan membuatku terpaksa meladeninya. Dalam kondisi tidak terdesak, jelas aku tidak mau berurusan dengan Nando. Belum lagi ada teman Nando yang kupukul hingga jatuh.Sudah pasti mereka tidak tinggal diam. Aku jadi pusing memikirkan 3 hal sekaligus, memikirkan kondisi Xavi, memikirkan siapa pelaku langsung yang mengeroyok Xavi dan tentu saja memikirkan nasibku di sekolah jika seandainya, ah bukan seandainya, pasti Nando akan balas dendam. Oscar, mampus. Nando kan kelompoknya Oscar cowok tinggi besar berambut blonde. Kalau sampai dia ikut turun tangan, aku yakin nasibku serasa di ujung tanduk. Ya kalaupun Nando dan Oscar berniat balas dendam, aku tidak peduli jika aku yang kalah, yang pasti aku tidak akan kalah tanpa melakukan perlawanan.

TOK..TOK

Aku mendengar pintu diketuk ,aku berharap bu Shinta lah yang datang mengetuk. Pintu segera kubuka dan wow, aku sempat pangling melihat ada wanita muda berhijab yang tampil sangat cantik di depanku. Penampilan bu Shinta nampak berbeda jika ia sedang tidak memakai seragam guru. Tercium aroma parfum yang sering kucium jika ia duduk di meja guru tepat di depanku.

“mari masuk bu Shinta.” Kataku mempersilahkan bu Shinta masuk.

“Halo Yandi.”

Aku reflek mencium tangan bu Shinta begitu ia masuk, ya ampun tangannya lembut dan wangi sekali.

“Dimana Xavi?”

“Sedang tidur bu disana.” aku berjalan menuju ranjang yang tertutup tirai, lalu kusibakkan tirai tersebut.

“ASTAGA!” Bu Shinta berteriak kecil lalu menutup mulutnya dengan tangan melihat kondisi Yandi. Benjolan di wajah Xavi yang membesar membuat bu Shinta menjerit. Kulihat matanya sedikit berkaca-kaca.

“Yan, pindahkan Xavi ke kursi roda. Kita segera bawa dia ke rumah sakit. !”

“Iya bu.”

Aku lalu mengambil kursi roda lipat milik klinik yang ada di pojok ruangan. Setelah kursi roda siap, perlahan aku menurunkan tubuh Xavi. Xavi sempat mengaduh kesakitan ketika badannya kupegang, makanya aku menurunkan Xavi pelan-pelan sampai dia duduk di kursi roda,

“Bu Shinta sudah datang Xav! Kita ke rumah sakit sekarang. Kedua orangtuamu pasti sudah menunggumu disana. Ya kan bu?” Aku mencoba menguatkan Xavi. Bu Shinta hanya tersenyum kecil. Setelah bu Shinta membukakan pintu, perlahan aku mendorong kursi roda. Bu Shinta bergegas membukakan pintu mobil bagian tengah. Mobil Bu Shinta Terios berwarna hitam. Pelan-pelan aku membaringkan Xavi di jok tengah. Bu shinta sempat menaruh bantal kecil di ujung jok agar posisi Xavi lebih nyaman. Setelah Xavi sudah berbaring di jok dalam posisi yang sudah nyaman, aku segera masuk.

“Eh yan, kamu jangan duduk disitu, kamu duduk di depan.”

“I..iya bu.”

Kututup pelan pintu belakang mobil, saat aku hendak membuka pintu depan, Dokter Lidya memanggilku.

“Yan, ini tas kalian ketinggalan. Itu kursi roda lipatnya kalian bawa dulu saja gak apa-apa.” kata Dokter Lidya sembari menyerahkan tas punggung milikku dan Xavi. Setelah mengambil tas, aku menyalami Dokter Lidya dan mencium tangannya.

“Terimakasih banyak dok sudah menolong teman saya.” kataku.

“Iya. Xavi beruntung memiliki teman yang baik seperti kamu Yan.”

“Oh iya bu, berapa ongkosnya?” Aku ingat aku belum membayar biaya periksa di klinik.

“Udah gak usah. Ibu doakan Xavi cepat sembuh. Yan, motormu dititip disini saja dulu gak apa-apa.”

“Eh motor apa ya dok?”

“Kamu bawa Xavi dari sekolah kesini naik motor kan?”

Aku menggeleng.

“Tidak bu, saya panggul Xavi lalu berlari dari sekolah kesini.”

“Eh?” Dokter Lidya

“Dokter, saya permisi dulu. Besok saya kesini lagi untuk mengembalikan kursi rodanya,.”

“Iya.”

Setelah pamitan,aku segera masuk ke dalam mobil dan mobil yang dikemudikan bu Shinta pun melaju menuju rumah sakit.

“Rumah sakitnya jauh gak bu?”Tanyaku.

“Dekat kok, 15 kilometer dari sini. Kita ke Rumah Sakit Harapan.”

“Fiuh.” Aku menghela nafas lega.

“Yandi, tolong ceritakan ke ibu dari awal mula ketika Xavi ijin ke kamar mandi sampai kamu temukan pingsan babak belur di kamar mandi cowok lantai atas gedung Kelas 3.”

Aku lalu menceritakan ke Bu Shinta dari awal sampai aku bisa menemukan Xavi. Tapi tidak semua aku ceritakan terutama di bagian bagaimana aku sempat berkelahi dengan Nando di kamar mandi cowok, karena bisa menambah rumit saja.

“Kamu tahu pelaku yang kira-kira melakukan ini ke Xavi.”

“Tidak bu, saya tidak tahu.”

“Xavi punya musuh di sekolah?”

Aku bingung menjawab pertanyaan ini karena aku yakin Xavi tidak punya musuh, justru aku yakin Xavi dipukuli karena dia teman dekatku selain Yosi dan Zen di kelas. Dan sepertinya aku mesti ngomong jujur ke bu Shinta tentang perseteruanku dengan Leo, karena cepat atau lambat Bu Shinta akan tahu. Maka akupun bercerita dari awal bagaimana aku bisa berseteru dengan Leo karena sama-sama saling membela teman. Aku membela Vinia dan Leo membela Kevin. Aku juga bercerita bagaimana aku nyaris berkelahi dengan Ipul dari kelas 1B jika saja tidak ada yang memisahkan kami berdua, tapi aku tidak menceritakan keterlibatan Jati dan Bram.

“Dasar kalian ini!” Bu Shinta nampak kesal.

“Kalian yang sok jago, justru malah membuat teman kalian yang tidak ikut campur kena batunya!”

Aku cuma bisa menunduk karena bu Shinta benar-benar marah kepadaku.

“Maaf yan kalau ibu malah memarahi kamu.”

“Gak apa-apa bu memang, aku yang salah.”

“Yan, selain kita berdua ada yang tahu Xavi dipukuli di dalam lingkungan sekolah ?”

“Tadi waktu aku membopong Xavi keluar dari kamar mandi, aku melewati beberapa anak kelas 3 yang masih nongkrong di depan kelas bu. Aku yakin mereka melihat kondisi Xavi. Waktu di bawah juga pak Sobri sempat meneriakiku saat melihatku melewati pos Satpam sambil membawa Xavi yang terluka.”

“Kamu sudah cerita ke teman yang lain?Kalian berdua kan ibu perhatikan cukup akrab dengan Yosi dan Zen.”

“Belum bu, keduanya tidak masuk sekolah hari ini. Yosi hari ini tidak masuk sekolah karena sakit, kalau Zen saya kurang tahu. Oh iya bu, kedua orang tua Xavi sudah ibu kabari? Mereka pasti khawatir karena Xavi belum juga pulang.”
Bu Shinta terdiam, ia nampak berpikir sesuatu.

“Yan, Xavi hanya tinggal dengan mamanya. Kedua orang tua Xavi bercerai beberapa tahun yang lalu. Papanya pindah ke Belanda. “

“Ibu tinggal telepon mamanya saja kan bu?”

“Ibu sudah mencoba meneleponnya tapi belum di angkat juga. Tapi kalaupun mama Xavi sudah ibu kabari, beliau tidak akan bisa langsung kesini.”

“Loh kenapa?”

“Karena mama Xavi sedang tidak berada di Indonesia, dia sedang ada di New York karena urusan pekerjaan. Ibu tahu setelah ibu menelepon asisten pribadi mama Xavi yang tidak ikut pergi ke New York.”

“New York? Mama Xavi sedang ada di New York?”

“Iya. Mama Xavi bukan orang sembarangan. Mama Xavi bernama Maria Clara Hehanusa yang menjabat sebagai Presiden Direktur Freeport Indonesia. Yan, kamu pasti tahu Freeport kan?”

“Tahu bu.”

“Dan Xavier ini adalah putra tunggal dari ibu Maria.”

Otakku langsung terbayang perusahaan tambang emas asal Amerika yang mengeksplorasi kekayaan alam tanah Papua dan mama Xavi menjabat sebagai Presiden Direktur disitu. Gila. Ternyata Xavi anak orang kaya, luar biasa kaya, anak tunggal pula!

“Tapi kenapa..kenapa Xavi tidak memberitahu hal ini kepada kami teman-teman dekatnya bu?”

“Xavi anak baik, dia sendiri yang meminta ibu untuk merahasiakan siapa mamanya. Di sekolah selain kepala sekolah, wakil kepala sekolah, saya dan beberapa guru saja yang tahu identitas mama Xavi. Kalau dia mau pamer kekayaan, dia bisa tapi dia tidak mau. Tidak ada orang tua murid di sekolah ini yang bisa menandingi kekayaan mama Xavi. Tapi ibu bersyukur meskipun Xavi berasal dari keluarga broken home dan kelurga yang sangat kaya raya, dia memilih untuk rendah diri. Tidak pamer, bahkan dia ke sekolah pun naik ojek online kan.”

Xavi teman, kamu ternyata orang yang sungguh luar biasa. Kamu bisa dengan mudah pamer kekayaan di sekolah ini dan tidak ada yang bisa menandingimu tapi kamu memilih merendah. Berbeda dengan segelintir anak yang bersikap sombong karena merasa anak orang kaya, anak orang berkuasa, pergi ke sekolah naik mobil mewah, pamer benda-benda mahal pemberian orang tua mereka. Aku selama ini juga merasa sedikit aneh dengan Xavi. Karena dari kami berempat, dia yang paling menutup diri jika ditanya tentang orang tua. Bahkan kalau kami ingin sekali-kali main ke rumah dia pun, Xavi selalu menolak dengan alasan rumahnya jelek.

Aku menengok ke belakang dan melihat Xavi masih tertidur. Beberapa saat kemudian kami sudah sampai di rumah sakit. Aku lansung keluar dari mobil dan minta beberapa perawat untuk membantuku. Seorang petugas rumah sakit lalu membawa ranjang rumah sakit. Dibantu beberapa perawat pria, Xavi dibaringkan ke ranjang tersebut lalu segera dibawa ke dalam.

“Yan, kamu temani Xavi. Ibu akan mengurus administrasi dan sebagainya.”

“Baik bu.”

Saat aku mendatangi Xavi yang terbaring di atas ranjang, aku ditanya salah satu suster mau dibawa ke ruang apa. Karena aku tidak tahu, salah seoarang perawat mendatangi bu Shinta dan mereka sempat berbicara lalu suster tersebut berlari dengan sedikit tergopoh-gopoh.

“Bawa pasien ini ke lantai 4 ruang VVIP nomor 1. Ayo cepat! Kamu temannya pasie? Ayo ikut kami ke atas.”

Kami naik melalui lift yang berukuran lebar. Begitu lift terbuka, ranjang Xavi di dorong dengan sigap menuju kamar yang tidak jauh dari lift. Begitu kamar terbuka, aku hanya mengangga melihat kamar yang akan ditempati Xavi sungguh luar biasa bagus! Kamar ini malah lebih seperti kamar hotel mewah.

“Kamu tunggu di luar. Dokter akan merawat dan memeriksa pasien lalu akan segera diberikan tindakan medis.” perintah salah seorang suster.

Aku lalu keluar ruangan dan duduk di sofa empuk yang disediakan di luar kamar. Aku lega sekali karena aku yakin Xavi akan segera pulih karena dia pasti mendapatkan perawatan yang terbaik di rumah sakit ini. Huh dasar kamu anak orang kaya, kataku dalam hati sambil tersenyum lega. Aku mengambil hapeku dan melihat ada 99 pesan WA belum terbuka. Di Grup F4 ada 76 pesan, aku buka dan berisi obrolan antara Yosi, Vinia dan setelah beberapa obrolan Zen muncul di grup. Obrolan mereka juga sepertinya panik, karena setelah aku mengirim pesan di grup bahwa Xavi menghilang, mereka langsung bertanya banyak hal. Mereka semakin penasaran karena baik aku maupun Xavi saat di hubungi tidak ada yang menjawab. Aku juga membaca bahwa Yosi mendengar dari salah satu grup WA di sekolah bahwa hari ini terjadi perkelahian di lantai atas gedung kelas 3 sampai ada salah satu siswa yang dibopong keluar dengan kondisi luka parah. Fiuh, kabar ternyata cepat sekali beredar di sekolahan.

YANDI
Maaf teman baru sempat baca.
18.07

Tak lama kemudian muncul 3 pesan baru.

YOSI
FAAAK!! Lu kemana aja!!! Gue dengar kabar ga enak di sekolah. Ada yang berantem sama anak kelas 3 sampai ada yang luka parah. Bener yan?
18.08

ZEN
Yan, Xavi lagi sama elu kan.?
18.09

VINIA
Plis, Yan. Kalian berdua baik-baik aja kan.
18.09

Aku menghela nafas , mulai mengetik pesan lalu ku kirim.

YANDI
Xavi hilang beneran baru kutemukan jam 3 sore di kamar mandi cowok lantai atas gedung kelas 3. Dia pingsan dalam kondisi luka parah seperti habis dikeroyok banyak orang. Saat ini kami sedang ada di rumah sakit. RUMAH SAKIT HARAPAN LANTAI 4 VVIP NOMOR 1. Tenang kawan Xavi sedang diperiksa dokter.
18.11

Tak lama kemudian

VINIA
ASTAGAA SAPIII
T_T18.13

ZEN
Keparat.
18.14

YOSI
ANJINGGGGGG !!!!!!! BANGSATTTTTTTTTTT !!!!
YAN, TUNGGU GUE !! GUE NYUSUL ELO KE RUMAH SAKIT SEKARANG!
18.15

ZEN
Gue juga kesana sekarang.
18.16

VINIA
Argggghh gue masih di luar kota. Pliss kabari gue kondisi Xavi.
18.17

YANDI
@ZEN @YOSI iya. @VINIA tenang vin, akan kuberikan kabar kondisi Xavi.
18.18

Fiuh Zen dan Yosi saat ini sedang menuju kemari. Aku buka pesan lain. Ada pesan dari Mba Asih yang menanyakan keberadaanku dan aku pulang jam berapa. Kubalas pesan mba Asih singkat

YANDI
Maaf mba baru bales, aku lagi di rumah sakit. Jenguk temanku yang sedang sakit. Bentar lagi pulang.
18.23

Aku baru sadar ini sudah maghrib. Aku lalu membuka pesan WA yang lain, wah ada WA dari Dita jam 4 sore tadi.

DITA
Hei, besok libur tanggal merah mau kemana ? Nonton film THOR yang baru yuk.
18.25

Aku hanya membacanya tapi bingung mau jawab apa, karena ini hari yang lumayan menguras tenaga dan pikiranku. Akhirnya kumasukkan kembali hapeku tanpa membalas pesan Dita.

Tak lama kemudian aku melihat Yosi datang dengan Zen. Zen seperti biasa tetap tenang berbeda dengan Yosi yang nampak menahan amarah. Aku meminta mereka berdua mengikutiku menuju teras balkon yang berada di lantai 4 yang lebih tenang dan bisa langsung menatap matahari yang nyaris tenggelam dengan sempurna.

“Kita ngobrol disini aja, biar gak ganggu Xavi dan pasien yang lain.” Kataku sambil bersandar di pagar pembatas menghadap mereka berdua.

“Bagaimana kondisi Xavi saat elu temuin?” Tanya Yosi tanpa basa-basi.

“Ya babak belur kayak orang abis dikeroyok. Mukanya lebam, hidung dan mulut mengeluarjan darah, tangannya banyak luka lecet. Seragamnya banyak bekas injakan. Beruntung tidak ada tulang yang patah. Hanya saja dia kena demam tinggi karena setelah dipukuli, Xavi diguyur air sampai semua baju seragam dan celananya basah, lalu dikunci dari luar.”

“ANJINGGG !!!” Teriak Yosi di tepi balkon, “Ini pasti perbuatan Leo atau Gom!” Lanjut Yosi geram.

“Mereka berdua ada di kelas dari Xavi keluar dari kelas sampai jam pulang sekolah. Dalam hal ini mereka bersih.” kataku.

“Yan, Leo itu punya banyak sekutu! Mereka tinggal duduk manis, nyuruh orang lain melakukan tindakan kotor. Sasaran mereka Xavi yang penakut. Siapapun pelakunya babi banget ! Xavi pasti sudah tidak berdaya begitu sekali kena pukul, ini malah dipukuli dan diinjak!” FUUUUCCKK!! GUE MESTI BALAS !!!”

“Tenang dulu Yos, gue tahu ini ada hubungannnya dengan perseteruan kita kemarin dengan Leo dan Gom. Tapi untuk saat ini kita gak punya bukti bahwa Leo yang menjadi dalang pengeroyokan, kita hanya punya keyakinan kalau ini semua ulah Leo.” Papar Zen.

“Tapi gue tadi dari rumah kesini mikir, kenapa kok Xavi bisa dihajar di kamar mandi cowok di gedung kelas 3 ? Kenapa Xavi bisa sampai sana. Apakah ada anak kelas 3 yang terlibat. Setahu gue, sekutu Leo cuma sampai kelas 2. Tidak ada anak kelas 3 yang menurut sepengetahuan gue mau jadi sekutu Leo.”

“Aku juga memikirkan keanehan itu juga Zen. Karena ga mungkin Xavi sampai pergi sendirian ke kamar mandi cowok di lantai atas gedung kelas 3. Demi apapun itu gak mungkin terjadi.”

“Kecuali Zen dipaksa pergi kesana dengan cara kasar.” Tukas Zen.

“Bajingan..kenapa jadi ribet begini sih. Ah mana besok sekolah libur sehari lagi gara-gara tanggal merah. Belum pernah gue merasa gak sabar ingin pergi ke sekolah.” Timpal Yosi.

“Iya, sama.” Sahut Zen.

“Aku penasaran pengen cari tahu di sekolah, pas kejadian apakah ada murid yang lihat Xavi pergi ke gedung kelas 3 dengan siapa, karena gak mungkin Xavi sendirian kesana.” Gumamku.

"Ah iya bener!! Daripada kita lusa kesekolah maen bales tapi gak tahu mau bales ke siapa, mending kita cari info, siapa tahu ada yang lihat kejadian ini! Kalau kita bisa nemu saksi mata, minimal kita tahu ciri-ciri orang yang mengajak Yosi ke naik ke atas gedung Kelas 3.” Ujar Yosi nampak semangat.

“Ide bagus. Yos, kan elu punya banyak temen di kelas 2, elu cari tahu dari anak-anak kelas 2 ya. Gue yang bakal cari info dari anak kelas 1. ”Tanya Zen.

“Oke gue setuju ! Untuk saat ini kita fokus ke kelas 1 dan 2 saja. Kita anggap kelas 3 tidak ada yang telibat atau minimal mereka nanti saja kita cari belakangan.”

“Terus aku ngapain?” Aku bertanya memandang ke arah mereka berdua.

“Udah elu sekolah yang rajin aja, jagain Vinia ahahahaha.” Celetuk Yosi.

“Kampret!”

“Elu istirahat aja Yos, itu loe kelihatan berantakan banget kucel gitu. Eh itu lho berdarah?” Tanya Zen sambil menunjuk pundakku yang kotor berwarna kemerahan.

“Oh ini darah yang keluar dari mulut Xavi waktu aku membopong dia dari sekolahan ke klinik.”

“Bopong Xavi dari sekolahan ke klinik? Klinik mana?”

“Klinik Media dekat sekolahan, itu yang deket JNE.”

“Itu jauh bego! Serius elo bopong Xavi? Sekecil-kecilnya Xavi pasti beratnya minimal di atas 40 kg! Kenapa gak naik taxi aja sih.”

“Gak kepikiran, aku kalut dan bingung banget! Lagian daripada naik taxi terus kena macet lama, ya mending aku bopong sambil lari.”

“Gile lu ndro !” Sahut Yosi sambil geleng-geleng sambil memegang pundak kiriku. ‘’Ini pundak atau papan cucian sih, kuat amat.”

Aku mengaduh ketika Yosi tiba-tiba meremas pundak kiriku.

“Duh sakit!”

“Eh kenapa? Baru berasa sakit setelah gendong sapi?”

“Ini bekas pukulan Nando berasa sakitnya.”

“hah? Nando? Lu berantem sama Nando! Kapan?”

“Tadi pas aku mau naik ke lantai atas, aku ketemu Nando yang masih nongkrong di depan kelasnya. Dia emosi karena aku dianggap kurang ajar anak kelas 1 kok berani-beraninya naik ke gedung kelas 3. Aku udah jelasin, aku cuma cari temen. Tapi Nando yang gak mau dengar alasanku, main pukul. Untung aku waspada jadi aku sempat menghindar lalu lari sepanjang lorong menuju kamar mandi cowok yang ada di ujung. Sampai di kamar mandi cowok aku melihat ada 1 bilik yang terkunci dan setelah aku gedor-gedor, aku dengar suara Xavi merintih kesakitan. Eh pas mau buka pintu, Nando sama teman-temannya uda ngepung di kamar mandi. Nando yang uda kalap main pukul, aku coba hindar tapi kena juga pukulannya di pundak kiri. Karena aku juga emosi dan terdesak, aku balas dengan meninju tepat kena pipi kanan. Setelah Nando jatuh lalu pingsan, temannya ada yang nyerang langsung reflek aku tinju perutnya sampai dia guling-guling di lantai megangin perutnya. Sebelum yang lain ikut nyerang, aku langsung sujud minta ampun, aku bilang bukan aku yang memulai, aku cuma pengen cari teman. Dan begitu aku diperbolehkan buka bilik kamar mandi dan kulihat Xavi pingsan di kamar mandi, aku lansung bopong Xavi dan teman-teman Nando minggir untuk membukakan jalan.”

Yosi dan Zen saling berpandangan lalu melihat ke arahku.

“Lu jatuhin Nando lewat sekali pukul?” tanya Zen.

Aku mengangguk.

“Bangsat lu yan ! Lu gak berhenti bikin gue takjub.!” Ujar Yosi semringah.

“Tapi ini akan membuat semuanya jadi runyam, ga mungkin Nando diem aja lu kalahin sekali pukul. Dia pasti balas dendam, belum lagi lu juga mukul salah satu teman Nando. Budi sama Oscar jelas bakal ikut campur. Parah banget situasi yang bakalan kita hadepin lusa. Belum kelar urusan dengan Leo cs, belum lagi kita mesti cari tahu siapa pelaku langsung pengeroyokan Xavi, kini tambah lagi musuh, Oscar cs...”

“Urusan Nando itu urusanku, kalian gak terlibat.”

“Woi, kita ini F4, satu dipukul kita balas, satu terlibat masalah semua ikut! Ya gak Zen!”

“Yoi. Kita gak bakal diem aja kalo elo diserang Oscar cs.”

“Sorry ya.”

“Tenang kawan, lu jadi pahlawan hari ini karena uda selametin dedengkot distributor bokep jepang terbesar di kota ini haha.” timpal Yosi.

Kami bertiga tertawa bersamaan.

“Tapi anjing, musuh kita Oscar, Budi, Nando..begundal sekolah paling serem..fuhh gak kebayang kita jadi musuh mereka, siap mampus babak belur bareng ini mah.” ucap Yosi pelan dan samar-samar aku melihat keringat dingin Yosi keluar dan tangannya yang memegang hape agak gemetar
Zen? Dia sedang membakar sebatang rokok dan pandangan matanya menerawang jauh menatap malam yang sudah menggantikan siang.

Kami bertiga mesti bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk.


= BERSAMBUNG =

No comments for "LPH #13"