Featured Post

LPH #19

Episode 19
Kebenaran Itu Relatif


******
@ Rumah Sakit Harapan Ruang Lantai 4 VVIP No 1
H-3 sebelum pengumuman, pukul 11.00 siang
******




(Pov Xavi)

Pagi ini ruang perawatan gue nampak ramai sekali. Selain ada mama dan rebbeca, assisten pribadi mama, ada juga dari pihak sekolah yakni Pak Albert (kepala sekolah), Pak Robert (wakil kepala sekolah), Bu Shinta (wali kelas) dan Bu Rini (guru bp). bahkan 2 teman baik gue juga ada yakni Yosi dan Yandi, meskipun yah kondisi mereka masih terlihat kacau karena kepala mereka dililit perban, terutama Yandi yang dari bahu sampai lengan terlilit perban. Rupanya kedatangan pihak sekolah ke rumah sakit untuk menjenguk dan meminta keterangan dari gue selaku korban dan Yandi sebagai orang pertama yang menolong dan menemukan gue. Setelah berbasa-basi busuk menanyakan kabar dan kondisi terbaru gue, Pak Albert mulai bertanya tentang apa yang sebenarnya terjadi kepadaku 3 hari yang lalu. Ya gue menjawab persis seperti yang kemarin gue ceritakan ke Zen. Bagaimana gue pas selesai dari kamar mandi, langsung di pepet oleh 2 orang berjaket hitam mengenakan masker dan di paksa menuju kamar mandi cowok di lantai atas gedung kelas 3.

“kenapa kamu tidak berteriak minta tolong atau berlari saat ada kesempatan?”tanya Pak Robert, wakasek yang juga ayah dari Leo.

“bapak pikir saya tidak berpikiran untuk melakukan itu? Hanya saja karena ada ujung pisau yang menempel di pinggang, saya tidak mau ambil resiko.” Jawab gue ketus.

“pisau? Mereka mengancammu dengan pisau?” Pak Albert seperti terkejut setelah tadi gue bilang bahwa gue di ancam dengan pisau oleh salah seorang pelaku.

“iya pak.”

“kamu yakin itu pisau? Bisa saja mereka Cuma menggertakmu dengan ujung pulpen?” ujar Pak Robert nampak sangsi.

“pak, pisau lipatnya itu dibuka di depan mataku! Misal ada orang yang mengancam bapak dengan menunjukkan pisaunya di depan bapak, terus ujung pisau ditempel di pinggang bapak, apakah bapak masih berani berspekulasi itu Cuma ujung pulpen?” ujar gue dengan nada agak tinggi, kesal rasanya.

“oh..bapak Cuma memastikan saja kok, karena bisa saja mereka Cuma menggertak dengan mengatakan yang menempel di pinggangmu adalah ujung pisau, padahal aslinya ujung pulpen.”

Asli guee sebal banget sama Pak Robert, gak anak gak bapak sama-sama ngeselin.

“oke-oke. Lalu apakah kamu bisa mengenali ciri tertentu pelaku penyeranganmu semisal suara mereka, ya pokoknya sesuatu yang bisa dijadikan petunjuk.” Tanya Pak Albert yang sepertinya bisa membaca nada kesal dariku akibat dipojokkan oleh Pak Robert.

Gue Cuma menggeleng.

“gak, dari bawah sampai ke kamar mandi cowok lantai atas gedung kelas 3, mereka diam tidak bersuara sedikitpun, ya mungkin mereka berkomunikasi meggunakan bahasa tubuh.” Gue sempat ingin menambahkan tentang nada dering yang gue dengar tetapi gue urungkan niat untuk memberitahu mereka.

“menurutmu apakah ada anak di sekolah yang memusuhimu? Atau dendam denganmu? Maksud bapak, apakah kamu bisa mengetahu motif awal penyerangan kepadamu?” tanya Pak Albert.

“enggak pak, selama ini saya merasa tidak memiliki masalah dengan siapapun di sekolah. Bapak bisa tanya ke Bu Shinta selaku wali kelas ataupun Bu Rini, apakah saya pernah bermasalah dengan anak lain di sekolah. Saya orangnya ga suka cari masalah, beda dengan…” gue sengaja menatap Pak Robert. Pak Robert membalas tatapan gue karena sepertinya ia tahu lanjutan kalimat gue, yakni anaknya sendiri alias Leo yang suka cari ribut.

“beda dengan beberapa anak lain yang suka cari masalah dan jadi langganan Bu Rini.”

Lanjut gue singkat sambil membuang muka ke arah lain.

“hmm..sementara cukup kita berbicara dengan kamu xav. Pak Robert, Bu Rini, Bu Shinta ada yang mau lanjut bertanya ke Xavi?”

Ketiganya menggelengkan kepala. Gue lihat ke arah Bu Shinta, dia lebih banyak menunduk hari karena sepertinya ia tertekan sekali. Lalu gue lihat mama gue yang nampak biasa saja mendengar keseluruhan cerita berdasarkan sudut pandang korban. Tapi kok gue merasa sikap rileks mama malah rada aneh. Hello mooomm? Anakmu yang ganteng ini kemarin di todong pakai pisau lho di lingkungan sekolah, padahal gue mengira mama akan marah luar biasa setelah tahu salah satu penyerang mengancam gue dengan pisau.

“kalo gak ada yang bertanya ke Xavi, saya lanjut bertanya ke Yandi yang merupakan orang pertama yang menemukan Xavi di dalam kamar mandi. Yan, tolong ceritakan ke kami bagaimana kamu akhirnya bisa menemukan Xavi dan sekalian saya ingin mengklarifikasi langsung tentang kabar bahwa sebelum kamu menemukan Xavi di kamar mandi, kamu sempat berkelahi dengan Nando, anak 3-F dan beberapa temannya, benarkah itu?” tanya Pak Albert kepada Yandi, yang sepertinya agak grogi.

“saya baru sadar bahwa Xavi belum kembali ke kelas bahkan setelah usai doa sebelum pulang. Saya sempat menunggu 10 menit di kelas tetapi Xavi tidak datang juga. Akhirnya saya mulai cari dari seluruh kamar mandi di gedung kelas 1, seluruh kamar mandi di gedung kelas 2 bahkan sampai ke kamar mandi dekat kantin, tetap tidak bisa saya temukan. Karena sudah semakin sore, saya pun makin khawatir. Karena ada 2 gedung yang belum cek, yakni gedung para guru dan gedung kelas 3, maka saya lanjut cari ke gedung kelas 3. Dan saat saya naik ke lantai atas itulah saya bertemu dengan Nando dan beberapa temannya yang masih asyik ngobrol di depan ruang kelas yang sudah kosong. dan ehm iya pak, saya sempat ribut dengan Nando dan teman-temannya karena mereka menghalangi jalan, saat saya berusaha mencari Xavi ke kamar mandi cowok di lantai atas gedung 3.”

“apakah kamu menyebutkan suatu ucapan yang membuat Nando dan temannya tersinggung?” tukas Pak Robert.

Gue lihat Yandi menggelengkan kepala. “saya sudah permisi baik-baik ke mereka, tetapi entah apa alasannya Nando langsung menyerang saya pak. Tetapi saya menghindar lalu langsung berlari sepanjang lorong, di kamar mandi cowok saya melihat ada satu bilik yang masih tertutup dan setelah saya gedor, saya mendengar suara rintihan kesakitan Xavi dari dalam kamar mandi. Saya lega sekaligus khawatir. Tapi ketika saya hendak membuka pintu yang ternyata ditutup dari luar, Nando kembali menyerang saya, saya sudah berusaha menghindari perkelahian tetapi Nando tanpa alasan yang jelas terus menyerang saya. Karena emosi saya terpancing dan harus segera menolong Xavi, saya balas Nando dan teman Nando yang ikut-ikutan menyerang saya. Lalu saya minta ke teman-teman Nando yang lain, bahwa teman saya sedang ada di dalam dan harus segera saya tolong. Beruntung teman Nando yang lain mendengarkan omongan saya sehingga saya bisa membuka pintu dan mendapati Xavi pingsan dengan banyak luka pukulanm bahkan baju dan badannya sudah basah kuyup. Lalau tanpa pikir panjang saya lalu membawa Xavi ke klinik terdekat agar segera mendapatkan pertolongan.” Setelah menjawab panjang lebar, Yandi kembali menunduk.

“jadi luka-lukamu itu hasil perkelahianmu dengan Nando?” tanya Pak Robert tiba-tiba.

Saat gue pengen berteriak bahwa luka-luka di tubuh Yandi akibat pengeroyokan yang dilakukan oleh anak-anak kelas 3, Yosi menatapku tajam, ah sepertinya dia melempar kode agar aku tetap diam. Gue pun tetap diam, menunggu jawaban Yandi.

“iya pak.” Jawab Yandi pelan.

Gue lihat Pak Robert melihat Yandi dari atas hingga bawah kemudian melempar pandangan ke Yosi. “kalau kamu kenapa luka-luka?” ujar Pak Robert ke arah Yosi.

“ini luka karena….dikeroyok anjing pak,” jawab Yosi.

Asli gue pengen ketawa, tapi karena sedang berada dalam situasi yang serius, maka gue coba untuk tetap diam sambil menahan tawa.

“Pak Robert, Bu Shinta, Bu Rini ada yang mau ditanyakan lagi ke Xavi, Yosi dan Yandi?” Tanya Albert.

“Sudah cukup, keterangan dari Xavi dan Yandi sudah saya catat semua.” Jawab Bu Rini.

Bu Shinta masih terdiam, sementara Pak Robert terlihat sedang banyak pikiran.

“Kalau sudah cukup, sebaiknya kita kembali ke sekolah agar Xavi bisa istirahat. ” Pak Albert dan rombongan lalu menyalami gue dan mengucapkan semoga cepat sembuh. Mama sedari tadi diam saja dan sedikit tersenyum saat para guru menyalaminya. Sebelum pergi Mama berbincang dengan Pak Albert, entah apa yang mereka bicarakan karena mereka lanjut ngobrol di luar ruangan.

“Bangsat bener tu Pak Robert, kelihatan jelas betapa dia menyalahkan gue karena gue lemah dan mudah dipukuli!” ujar gue geram setelah di ruangan hanya ada gue, Yandi dan Yosi.

“Yos, kamu Yakin salah satu pelaku penyerangan langsung adalah Bram?” Tanya Yandi.

“Ya waktu kemarin kita dikeroyok anak kelas 2 dan 3, Bram sempat bilang ke gue, kalau dia adalah salah seorang yang melakukan penyerangan elo di sekolah. Cuma kita gak punya bukti bahwa Bram terlibat. Karena jika kita langsung mengajukan ke pihak sekolah bahwa Bram adalah salah satu pelaku, pihak sekolah akan meminta bukti karena itu adalah tuduhan yang serius. Kalau Bram ditanya pihak sekolah dia bisa dengan enteng mengelak karena kita tidak punya bukti keterlibatan dia.” Ujar Yosi panjang.

“Kita mau menyeret Bram saja susah apalagi Leo sebagai orang yang merancang penyerangan ke gue. Bangsat.” Kata gue sembari meninju ranjang.

“Dua dari tiga pelaku sudah kita ketahui meskipun tanpa memiliki bukti yakni Leo dan Bram, satu lagi kita masih gelap.” Kata Yandi.

“Kita gak usah memperdulikan orang yang ketiga, karena gue yakin dia adalah pengikut sekutu Oscar. Kalau kita bantai semua orang di Oscar cs, termasuk Bram dan Leo tentu saja, gue yakin dia juga sudah kita bantai.” Ujar Gue.

Yandi dan Yosi melihat ke arah gue.

“Kenapa kalian berdua lihatin gue kayak gitu?”

“Dasar Sapi, loe mah gampang bilang bantai-bantai Oscar cs. Cs nya Oscar itu mayoritas para bajingan yang memiliki banyak pengikut. Dari kelas 1 ada Rudi (1A), Yusuf (1C). Sementara untuk kelas 2, dengan bergabungnya Bram (2F), Heru (2A), Satya (2C) ke aliansi Oscar, praktis membuat semua bajingan terkuat di kelas 2 sudah berada dalam genggaman Oscar. Untuk kelas 3, Oscar dipastikan sudah menguasai kelas A hingga C. Total aliansi Oscar bisa ratusan orang. Sementara kita? Kita mah cuma remah-remah roti. Cuma berempat dan belasan anak kelas 1 yang menolak menjadi pengikut Leo.” Ujar Yosi santai.

“Jadi kalian takut sama mereka hanya karena mereka menang jumlah orang? Berdasarkan cerita loe sama Zen yang sempat mendengar Oscar berbicara dengan Feri bahwa Oscar mengincar Feri cs + Axel, kita bisa lho gabung dengan Feri cs toh kita memilliki musuh yang sama.” ujar gue memberikan saran.

“Gak semudah itu Xav kita gabung ke Feri cs meskipun punya lawan yang sama.”

“Gak mudah gimana? Mereka pasti senang punya tambahan kekuatan lawan Oscar cs..”

“Susah buat dijelasin intinya gak akan segampang dengan datang ke Feri dan bilang, ‘permisi kami anak-anak kelas 1 pengen gabung ke grup kalian karena kami juga punya dendam dengan Leo, jadi boleh kan kami gabung?’”

“Jadi kita bakalan diem aja nih gak balas dendam? Setelah Leo dan Bram benar-benar menghabisi sekaligus mempermalukan kita?! Bram lo gak sakit hati setelah di khianati Bram secara frontal? Orang yang selama ini lo anggap teman dan bahkan lo idolakan bisa dengan entengnya menikam elo dari belakang. Yan, loe gak dendam sama anak kelas 3 yang uda ngeroyok loe sampe lo luka parah kayak sekarang? Kalau masalah kurang orang, gue bisa sewa preman sekalian buat kita suruh untuk habisin Oscar cs.” Kata gue emosi karena sikap Yosi sama saja dengan Zen yang menolak ide gue untuk kita merapat ke aliansi Feri.”

Yosi tiba-tiba berdiri dengan wajah memerah.

“Jaga mulut elo Xav...loe gak usah ingetin ke gue masalah Bram. Bram itu urusan gue. Jadi lo gak usah sok emosi kayak pernah di khianati teman sendiri. Gak cuman lo doang yang dibantai sama Oscar cs ! Dan satu lagi, jangan mentang-mentang lo anak orang kaya lo bisa bacot bisa sewa preman untuk habisin Oscar cs. Otak lo sepertinya terpengaruh sama Leo bisa dengan mudah perintah orang untk melakukakn apa yang di minta.!” Ujar Yosi sambil berdiri dan menunjuk-nunjuk muka gue.

Setelah puas membalas perkataan gue, Yosi lalu mengambil tasnya lalu pergi keluar. Sebelum dia membuka pintu dia sempat mengancam gue.

“kalau sampai gue tahu elo suruh orang buat habisin Bram, gue bakal bantai orang suruhan elo itu dan elo? Lo gak usah panggil gue temen lagi. Ingat baik-baik, Bram cuma milik gue.” Yosi mengepalkan tangan kanannya dengan wajah memerah. Lalu dia pergi.

BLAM!

Pintu tertutup dengan keras.

Gue agak kaget melihat Yosi yang begitu reaktif seperti barusan.

“Aku tahu kamu sedang emosi Xav, tapi cara bicaramu juga keterlaluan.” Ujar Yandi buka suara setelah diam saja melihat perdebatan gue dengan Yosi.

“Gak ada yang lebih sakit daripada di khianati seseorang yang sudah kita anggap sahabat, rasa sakitnya jauh lebih sakit daripada dikhianati pacar. Omomganmu ke Yosi itu seperti menabur garam dan merica di atas sakit hati yang dirasakan Yosi akibat perbuatan Bram. Belum lagi kamu juga bilang pakai acara bakal sewa preman segala buat habisin Leo cs. Tolong, jangan sampai kamu berubah seperti Leo yang memanfaatkan kekayaan orang tuanya untuk ambisinya.” Lanjut Yandi.

Gue cuma bisa diem dan membuang muka.

“Xav, aku pulang dulu ya. Mbak Asih sepertinya hari ini sudah pulang. Hei Xav..Lihat aku.”

Gue memalingkan muka dan kembali menatap Yandi yang sudah berdiri di samping ranjang gue.

“Maaf gue kebawa emosi yan.” kata gue pelan.

“Iya aku ngerti kok. Kita semua sama-sama sedang terluka baik secara fisik maupun emosi. Dan memang benar kita memang kalah jumlah, tetapi kamu tenang saja. Kita akan pukul balik Oscar, Bram, Leo pokoknya semua orang yang udah mengusik ketenangan kita berempat. Hanya saja bukan sekarang, untuk sementara kita diam dulu sampai kita tahu apa tindakan pihak sekolah tentang peristiwa yang menimpamu. Yawdah kamu istirahat saja.” Yandi menepuk pundak gue lalu pamit pulang.

“....loe gak usah ingetin ke gue masalah Bram. Bram itu urusan gue. Jadi lo gak usah sok emosi kayak pernah di khianati teman sendiri......”

“....Gak ada yang lebih sakit daripada di khianati seseorang yang sudah kita anggap sahabat.....”

Kata-kata dari Yosi dan Yandi terngiang jelas di pikiranku tentang perihal pengkhianatan yang dilakukan oleh teman kita sendiri.

Yan, Yos, tanpa elo berdua ingetin, gue juga pernah mengalami sakit hati akibat pengkianatan seorang teman...gue tahu, tahu banget.....Linda pacar gue saat kelas 3 SMP ternyata selingkuh dengan Robi sahabat gue sendiri. Gue pacaran dengan Linda 1 tahun dan ternyata selama 1 tahun itu pula dia juga punya hubungan khusus dengam Robi. Hubungan Linda-Robi bahkan sudah terlampau jauh. Suatu hari gue sengaja ingin memberikan kejutan ke Linda dengan diam-diam datang ke rumahnya dengan membawa iPhone 7 terbaru sebagai kado 1 tahun hubungan kami berdua. Hanya saja, ketika gue sudah di depan pintu kamarnya yang setengah terbuka, gue mendengar percakapan Linda dengan seseorang pria.

“Yang, aku sudah gak tahan dekat sama Xavi, aku udah capek pura-pura jadi pacar Xavi. Aku cuma sayang sama kamu.”

Itu suara Linda.

“Sabar yang, bentar lagi kita lulus kok. Nanti setelah kita lulus SMP, kamu bisa putus dengan Xavi. Sebelum saat itu tiba, kamu sabar dulu sayang, toh Xavi selama ini gak pernah berani sentuh kamu kan, paling jauh cuma gandengan tangan dan cium pipi.”

DEG.

Gue kenal banget itu suara siapa, itu suara Robi sahabat gue sendiri bahkan teman sebangku !

“Hihi iya sih dia cupu banget, pacaran sama dia berasa pacaran sama anak SD."
 
"Eh bukankah hari ini tepat kamu jadian sama Xavi, pasti dia pengen mengajakmu jalan nanti malam.”

“Iya tapi bodo amat! Aku bisa alasan pergi sama bokap nyokap.”

“Kamu minta hadiah apa ke Xavi untuk hadian 1 tahun jadian ?”

“Aku minta iPhone 7 yang, hehe.”

“Wah pinter banget kamu minta hadiah mahal, lalu kamu bakal kasih dia apa? Ciuman bibir?”

“Ihhh ogak aku yank ciuman sama dia. Kalau dia mau cium aku, aku bakal hindar dengan alasan sariawan, hihi.”

“hahahaha...eh yank, kalau kamu dapat iPhone 7, Samsung S8 yang pemberian Xavi waktu kamu ulang tahun minggu lalu, buat aku aja ya, handphone ku lecet nih.”

“Iya sayaaang.”

Reaksi gue? Gue letakkin iPhone 7 depan pintu kamarnya lalu pulang dengan menangis tersedu-sedu. Yosi, Yandi..., gue juga sama dengan kalian , tahu betapa sakitnya dikhianati oleh pacar dan sahabat gue sendiri.....

******
@ Kamar
Waktu : H-3 sebelum pengumuman, sore hari
******

(pov : Yandi)

“Yandi mbak pul.....ang...HEH ADEK KENAPA KOK KEPALA, DADA, LENGAN PENUH PERBAN !! BADAN MU JUGA MEMAR SEMUA!”

Aku tiba-tiba terbangun kaget setelah mendengar teriakan Mbak Asih. Gawat aku lupa melepas perban di kepala dan badanku. Mana aku biasa tidur cuma pakai kolor. Sehingga badanku yang penuh perban dan luka memar di tubuh dan muka pasti kelihatan jelas. Kulihat Mbak Asih yang memakai baju putih dan jaket berdiri di depan pintu kamar, senyumnya yang manis langsung pudar berubah menjadi wajah masam disertai teriakan yang sangat keras.

“Kamu kenapa dek? Kamu kecelakaan atau gimana? Kok wajah babak belur gini..eh babak belur..KAMU BERKELAHI ?”

Mau tak mau aku bangun lalu pelan-pelan memakai kaos. Sialan, tubuhku masih terasa nyeri dan sakit, terutama di bahu kanan. Rencanaku adalah aku akan mengaku ke Mbak Asih bahwa aku babak belur karena menjadi korban tawuran salah sasaran.

“Yandi gak berkelahi Mbak, Yandi justru jadi korban salah sasaran tawuran antar anak SMA. Mbak ini pagi-pagi udah teriak depan kuping, berisik tahu !”

“adek jadi korban salah sasaran tawuran? Tawuran dimana? Kapan? Mbak akan cek beritanya di internet! Karena berita tawuran antar sekolah pasti dimuat di berita.”

Matihhh!! Belum apa-apa aku sudah terpojok ! Karena itu jelas karanganku sendiri , udah pasti ketahuan ! Akupun jadi bingung mau jawab apa.

“Kenapa adek diem? Adek bohong kan ke Mbak tentang menjadi korban salah sasaran tawuran. Ada 2 hal yang membuat Mbak bisa tahu kalau adek bohong ke Mbak. Pertama, adek kalau sedang berbohong pasti sambil garuk-garuk kepala dan gak berani menatap langsung. Kedua, sejak kapan adek yang berandalan hobi berantem terus di kampung bisa diam saja digebukkin orang sampe separah ini tanpa melawan balik? Baru kali ini mba lihat kamu luka sedemikian banyak di sekujur tubuh. Mbak tu tahu karaktermu yang emosian, kena pukul orang sekali kamu bisa bales pukul orang itu 10 kali. Jadi ini pasti akibat kamu berkelahi iya kan?”

Aku cuma bisa nunduk karena di skakmat Mbak Asih.

“Adek kan udah janji sama Mbak selama sekolah di Kota, adek harus menjauh dari masalah, gak akan terlibat masalah apapun. Belajar jadi orang sabar, meskipun dikata-katain culun atau karena berasal dari kampung adek harus tetap sabar dan jadi anak baik rajin belajar. INI BARU DITINGGAL BEBERAPA HARI UDAH PULANG BABAK BELUR!” Perkataan Mbak Asih meninggi di akhir kalimat, bahkan dia menepuk keras pundakku yang masih sakit akibat efek dislokasi bahu. Sontak secara reflek aku memegang tangan Mbak Asih dan mengepalkan tinju hendak memukulnya. Tapi aku jelas tidak berniat untuk memukul Mbak Asih , ini hanya murni reflek karena badan ku yang sakit malah ditepuk.

“APA? ADEK MAU PUKUL MBAK? AYO MBA LAYANIN! KAMU PIKIR MBAK TAKUT? GINI-GINI MBAK MASIH MAHIR KARATE! ADEK BELUM LUPA KAN TENDANGAN KIN GERI ?”

Sialan, Kin Geri alias tendangan ke arah selangkangan milik Mbak Asih jelas masih terbayang di benakku. Terakhir aku kena tendang Kin Geri gara-gara berkelahi sama anak kampung sebelah pas kelas 2 SMP, meskipun lawanku udah kelas 2 SMA, tapi dia babak belur kuhajar sampai tangan dan tulang pipi kanannya retak. Alhasil bapak dari lawanku tidak terima dan melabrak kedua orang tuaku, orang tuaku di maki-maki karena sudah membesarkan berandalan. Selain meminta ganti uang pengobatan mereka juga tidak segan untuk melaporkanku ke Polisi. Aku yang tidak terima orangtuaku di maki-maki langsung bilang bahwa anak mereka itu pengecut, sudah SMA tapi suka palak anak SMP. Aku memang menghajar anak itu setelah banyak kawanku yang mengeluh sering dipalak sama anak SMA yang sering nongkong dekat pasar. Bahkan setelah diberi uang pun, kawanku masih dihajar.

“Silahkan bapak mau laporkan saya, tapi saya punya banyak teman yang jadi korban pemalakan anak bapak dan pasti membela saya. Pak No yang ada di pasar juga tahu kebiasaan anak bapak, bahkan anak bapak yang justru pukul saya duluan!”

Muka si bapak anak kuhajar tersebut memerah. Sambil tetapi memaki, bapak tersebut pulang dan tidak sudi menerima uang pengganti obat yang diberikan bapakku. Aku tertawa penuh kemenangan tetapi tiba-tiba Mbak Asih langsung menendang selangkanganku dan ugh...dunia rasanya kiamat karena rasa sakitnya sudah level neraka tingkat awal.Setelah membuatku terkapar memegangi penisku, Mbak Asih mengomeli panjang banget, entah apa yang dia omongkan karena aku sibuk berdoa agar penisku tidak mati duluan sebelum yang punya badan juga mati.....

Kuturunkan pukulanku dan duduk terdiam.

“Mbak tu bawa kamu ke Kota agar bisa dapat sekolah dan pendidikan yang baik, ini malah adek dapet lawan baru.. !”

Aku langsung mengirim perintah ke otak agar memblok semua suara yang keluar dari mulut Mbak Asih agar tidak di proses oleh Neuron dan berhasil karena akhirnya hanya terdengar

bla....bla....bla...bla....bla....bla...bla....bla....bla...bla....bla....bla...bla....bla....bla...

Aku segera bangun, pakai celana jeans dan menyambar jaket lalu ngeloyor pergi tanpa berusaha memperdulikan serentetan omelan yang meluncur dari Mbak Asih dan meninggalkan Mbak Asih begitu saja. Aku langsung keluar dari rumah. Kesal juga, badan masih pada sakit gak dipijitin atau dibikin enak gitu biar cepat sembuh kayak mba wati kemarin. Eh apa aku mesti ke rumah mba wati lagi aja ya? Aku sempat benar-benar ingin pergi ke rumah wati untuk menunggu emosi Mbak Asih reda, tetapi aku juga takut kalau mba wati kasih perawatan yang jauh lebih enak daripada kemarin, waduh keperawanan penis gue bisa kandas di tangan jandi nih. Akhirnya aku jalan saja menuju Mall Biru, mayan jalan kaki 3 kilo sambi lihat lihat jalanan. Berutung sore ini cuacanya enak, gak terlalu panas. Kulihat jam di hapeku jam 5 sore.

Pantas saja hawanya enak.

Saat aku menyusuri trotoar jalan, aku iseng melihat ke dalam sebuah cafe yang kutahu cukup ramai kalau ramai dan memiliki teras space outdoor yang terlihat dari luar. Hanya saja aku kemudian tertegun melihat seorang gadis duduk sendirian di pojok dekat dengan pagar. Dia cantik sangat cantik, gadis tercantik yang pernah aku lihat. Memakai kaos bergaris hitam putih dan membiarkan rambutnya yang panjang tergerai ke depan, membuat paras wajahnya semakin ayu dan misterius. Karena kaos yang ia pakai pendek di bagian lengan membuat kulit lengannya yang putih terlihat. Sungguh ini adalah perpaduan hitam putih tercantik yang pernah aku lihat.

Gadis tersebut seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat, bahkan saat hendak tersenyum pun sepertinya itu hal yang sangat berat. Ingin rasanya aku berhenti dan memandang kecantikan yang sangat paripurna bagiku. Hanya saja rasanya pasti malu kalau aku tiba-tiba saja berhenti berjalan dan menatap ke arahnya, maka dari itu aku pun memperlambat langkahku. Tetapi tak sekalipun ia memalingkan muka melihat ke arahku, pandangnnya tetap lurus ke depan. Sampai akhirnya aku pun melewati sang bidadari. Ini aku kenapa sih? Masak iya aku tib-tiba jatuh cinta sama gadis yang sama sekali asing. Pikiran-pikiran dan bayangan tentang gadis tersebut membuatku secara tidak sadar sudah sampai depan Mall Biru. Aku pun masuk lewat lobi depan. Aku berniat untuk nonton film saja, film apapun yang diputar yang penting aku bisa menenangkan pikiranku, dari omelan Mbak Asih yang memberondongku tanpa henti tentang betapa kecewanya dia kepadaku karena sifatku yang sepeti tidak bisa jauh dari yang namanya perkelahian bahkan sampai aku sekolah di kota, dan tentu saja pikiran tentang gadis misterius yang bakalan membuatku susah tidur.
Sial! Aku jadi kesal sendiri.

Saat aku sudah sampai di lantai 3 lewat elevator, dari kejauhan aku melihat sepasang cowok cewek yang tengah asyik pegangan tangan,rangkulan berjalan ke arahku juga. Aku langsung terbayang bahwa aku adalah si cowok tersebut dan si cewek yang kugandeng tangannya tersebut adalah gadis berkaos hitam yang tadi kulihat di cafe. Ah sepertinya aku kelamaan jomblo. XXI sudah dekat dan kedua orang yang seperti tengah dimabuk asmara tersebut sepertinya juga berniat nonton. Hanya saja aku merasa kok seperti kenal dengan cewek tersebut yang tengah gandengan tangan. Dari posturnya, gaya rambut dan juga wajahnya...sialan....cewek itu ternyata Dita yang tengah jalan dengan cowok plontos! Rasanya gimana gitu, aku langsung berbelok ke arah kamar mandi agar tidak papasan karena rasanya pasti aneh. Aku berharap Dita tidak sempat melihatku, tapi tadi sesaat sebelum berbelok, pandanganku dengan pandangan Dita saling bertemu, Dita seperti agak kaget melihatku dan langsung melepas gandengan tangannnya. Semoga Dita tidak mengenaliku! Saat aku berjalan di lorong arah kamar mandi, tiba-tiba terdengar teriakan.

“Yandi!”

Itu suara Dita !


******
@ Jalan Dermaga
H-2 sebelum pengumuman, sore hari
******




(Pov Yosi)

BRUM !!!! BRUM!!!!!!! BRUM!!!!

Gue geber kencang-kencang motor Satria FU andalan gue yang sudah lama cuman gue parkir di garasi, motor yang memiliki banyak kenangan sekaligus kebanggaan saat gue merajai balapan liar drag race semasa gue SMP. Gue bawa jalan malam selain memanaskan mesinnya, sekalian gue mau ke tempat biasa gue melepas penat ketemu kawan-kawan lama di Jalan Dermaga, jalan yang dari gue SMP sudah sering dijadik tempat favorit balapan liar. Di jalanan gue benar-benar menikmati deru motor gue dan angin malam. Sejenak gue bisa merasakan ketenangan saat menaiki motor kesayangan gue ini.

Saat gue kelas 2 SMP dan dapat rangking 1 saat tengah semester, bokap kasih hadiah motor yang gue idam-idamkan yakni Suzuki Satria FU 150. Begitu motor di antar ke rumah oelh pihak dealer rasanya luar biasa senang. Sebelum bokap pergi dinas ke luar negeri selama beberapa bulan, bokap berpesan ni motor jangan dibawa pergi ke sekolah sebelum dapat STNK dan nomor polisi. Gue menyeringai saat bokap bakalan pergi beberapa bulan. Begitu besoknya bokap berangkat, Motor Satria hadiah dari Bokap langsung gue bawa ke bengkel teman gue Mas Karjo dan langsung di modif habis-habisan hanya menyisakan sasis bodi, jok tipis lalu di air brush orange-kuning. Gak percuma 2 bulan ni motor gue kandangin di bengkel bang Tejo. Rasa sakit akibat dihajar bokap setelah tahu motor yang dibelinya dari dealer masih kondisi lengkap dan 2 bulan kemudian berubah menjadi monster kurus kering tapi ganas, tidak ane rasakan karena puas dengan hasilnya. Hampir setiap malam gue bawa motor ni tanding drag race. Pertama kali liat drag race, gue benar-benar terkesima. Berbeda dengan balapan liar yang perlu “sirkuit liar”, balapan drag race hanya perlu menggeber gas sekencang-kencangnya dalam trek lurus kurang lebih 402 meter. Benar-benar gaspol, tidak perlu teknik belok hanya perlu ngabut lurus dimana dibutuhkan kendali motor mumpuni dan tentu saja rem pakem. Salah ambil timing injek rem, dari sekian banyak resiko yang ditimbulkan jika terlalu mendadak menekan rem, terpeleset dan bergulingan di trotoar adalah resiko paling “aman” jika dibandingkan resiko terlempar dari motor saat top speed.

Nyawa taruhannya.

Makanya begitu motor Satria gua sudah siap mengaspal untuk pertama kalinya, gue langsung bawa tanding !! Tanding bukan sembarang tanding karena selalu dibarengi taruhan paling kecil 1 juta. Uang 2 juta yang gue dapet dari hasil menjual PS2 milik gue, gue jadiin modal. Musuh pertama gue dia sepertinya berumur lebih tua ya mungkin anak SMA, sementara gue dianggap bocah SMP ingusan kelas 2 SMP. Musuh gue motornya Ninja Kawasaki yang uda kurus kering 11-12 sama kayak motor gue, seram banget suarnya kencang, seperti hendak meneror mental gue. Untuk menghilangkan rasa grogi, gue juga geber kencang-kencang. Lalu ketika Santi, salah satu cabe-cabean yang berdiri di tengah-tengah kami sembari membawa sapu tangan, itu tandanya balapan segera dimulai!!! Gue lalu menunduk sedekat mungkin dengan stang motor dan meringkukkan tubuh sedekat mungkn dengan bodi motor agar secara aerodinamis motor lebih stabil dan lebih enak saat melesat.

Saat Santi mengibaskan sapu tangan, langsung gue gaspol ! Saat itu gue merasakan sesuatu yang belum pernah gue rasaain, melaju hingga kecepatan lebih dari 160 km/jam dalam trek lurus sejauh beberapa kilo, gue seperti terbang membelah udara, segala sesuatu yang ada di sekeliling gue nampak seperti siput. Hanya ada gue, motor gue dan suara desingan !

GUE TERBANG !!!

Malam pertama gue nge-drag race, gue kalah jelas baik secara pengalaman maupun motor sehingga gue kalah 1 juta. Tetapi malam itu secara resmi gue kecanduan adrenalin yang terpacu saat lomba drag race. Ini bukan masalah menang kalah ini adalah bagaimana gue mengalahkan rasa takut dan tidak perlu berpikir apa-apa lagi. Karena keberanian, kenekatan dan umur gue yang paling muda diantara semua rider, nama gue terkenal di Jalan Dermaga. Sampai pada tahap dimana dalam selama ane bisa pulang bawa duit 10 juta karena menjadi yang tidak terkalahkan! Di saat gue naik kelas 3 SMP dan lagi jaya-jayanya, gue terpaksa vakum mengikuti drag race liar karena bokap sudah keluar dari pekerjaannya sebagai crew kapal pesiar yang berkeliling dunia lalu membuka usaha rental mobil dan toko perlengkapan aksesoris mobil, bokap mengancam akan membakar motor kesayangan gue kalau nekat tetap ikut drag race. Makanya bokap meminta gue menemaninya jaga toko setiap malam hingga pukul 11 malam. Bahkan bisa lewat tengah malam kalau sedang ramai. Gue yang tinggal berdua doang dengan bokap setelah nyokap meninggal akibat sakit kanker saat gue kelas 1 SMP, membuat kecanduan gue dengan dunia balap drag race liar semakin surut. Perhatian dan kasih sayang bokap benar-benar membuat gue jinak dan jadi anak baik. Segala ajakan dan tantangan untuk kembali mengaspal bisa dengan mudah gue tolak.

Hanya saja, saat ini setelah peristiwa pengkhianatan Bram dan dipicu oleh omongan Xavi di rumah sakit, membuat gue galau luar biasa dan saat gue galau gue ingat satu-satunya cara untuk menghilangkan rasa penat adalah dengan kembali berdansa di atas motor Satria milik gue.  Apalagi bokap sedang pergi dengan kolega bisnisnya di luar kota selama seminggu. Asalkan gue kembali masih hidup, bokap gak akan curiga.

Pikiran gue yang kalut, emosi dan flashback tentang masa-masa gue jadi jagoan drag race membuat tanpa sadar gue sudah hampir sampai jalan Dermaga. Gue lihat jalan Dermaga sudah ramai dan beberapa rider bertanding. Gue sempat dengar beberapa orang yang berbisik saat melihat gue datang menaiki motor gue yang legendaris. Sampai akhirnya gue melihat kawan lama yang terus meminta gue kembali mengaspal, mengetahui kedatanganku. Dia terseyum senang lalu mendekati gue. Kami salaman dan berpelukan sebentar.

“selamat datang kawan!!” Kata teman gue, sebangsat dan setan-nah air dalam hal balapan liar, Rio.


RIO - KLS 2 (SMA NEGERI YYY)


“Yoi.”

“Tumben banget elo kesini bro, apakah sang juara ini akan kembali turun mengaspal malam ini?”

Gue berpikir sejenak lalu tersenyum.

“CARIIN GUE LAWAN !! 10 JUTA CASH !!!! KARENA MALAM INI RESMI Yosi “DAREDEVIL” HUTOMO SIAP KEMBALI MENGASPAL DAN MENGASAPI SEMUA PARA PECUNDANG!!! AMBILIN GUE BIR !!” Gue berteriak saking semangatnya.

Welcome back, my fucking Daredevil,” Ujar Rio mengangkat botol birnya ke arah gue.


******
@ Ruang Meeting SMA NEGERI XXX
Hari H Pengumuman
******


(Pov Clara Maria)

“Saya ucapkan terimakasih kepada bu Clara atas kedatangannya ke sekolah ini. Mengingat agenda penting hari ini, saya sebagai pimpinan sekolah akan mengumumkan hasil investigasi kami untuk mengusut kasus penyerangan dan penganiayaan yang menimpa putra anda Xavier Tobias Hehanusa dari kelas 1F. Berdasarkan penyelidikan setelah mewawancari puluhan saksi mata yang kami lakukan secara intensif selama 3 hari, akhirnya kami mendapatkan titik terang tentang pelaku penyerangan. Saya memastikan bahwa pelaku penyerangan Xavier pada hari Kamis, tanggal 17 Juli jam 13.30 di lingkungan sekolah adalah memang benar murid kami yang berjumlah 3 orang. 2 orang sebagai pelaku penyerangan dan 1 sebagai orang yang merencanakan serangan. Ketiga siswa tersebut adalah.

1.Saipul (16 tahun), siswa kelas 1B, bertindak sebagai penyerang 1.
2.Kiko (17 tahun), siswa kelas 2D, bertindak sebagai penyerang 2.
3.Nando (18 tahun), siswa kelas 3D, bertindak sebagai perencana serangan.

Ketiganya sudah mengakui tanpa ada paksaan dan membuat surat pernyataan di depan Saya selaku kepala sekolah, BaPak Robert (Wakil Kepala Sekolah), Bu Rini (Guru BP) dan disaksikan para wali orang tua dari ketiga siswa. Para pelaku dan orang tua mereka turut menyesal dan menyampaikan maaf sebesar-besarnya. Motif dibalik penyerangan ini adalah motif balas dendam yang salah sasaran dimana Nando meminta Saipul dan Kiko untuk menyerang Leo dari 1-F.

Hanya saja karena kesalahan komunikasi antar pelaku, putra anda Xavier yang menjadi korban. Status ketiga siswa tersebut sudah kami keluarkan dari sekolah per tanggal 22 Juli. Demikian kami sampaikan pengumuman investigasi dari sekolah. Secara pribadi dan secara instansi sekolah sekali lagi kami meminta maaf atas peristiwa ini dan mengakui kelemahan kami dalam hal sisi keamanan di sekolah. Untuk mencegah kemungkinan hal ini terjadi di masa mendatang, per kemarin kami sudah memasang 50 CCTV yang tersebar di seluruh penjuru sekolah untuk mencegah dan mengantisipasi peristiwa ini terjadi. Kami memohon juga bu Clara untuk mempertimbangkan ulang keputusan untuk membawa para pelaku di laporkan ke pihak kepolisian karena bagaimanapun juga mereka masih sangat muda dan masih memiliki kesempatan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi,” Pak Albert meminum air putih setelah mengakhiri pengumumannya yang cukup panjang dan mengusap keringat di dahinya.

Setelah mendengar hasil pengumuman investigasi dari pihak sekolah, Aku lalu teringat ucapan Zen 3 hari yang lalu...

“Sebaiknya tante tunggu tiga hari ini dan melihat bagaimana pihak sekolah menyelesaikan masalah ini dan siapakah ‘pelaku’ yang diajukan oleh pihak sekolah. Jika tidak ada nama Leo, sudah saya pastikan pihak sekolah mencari kambing hitam dan mengorbankan orang lain demi kepentingan mereka sendiri. Kalau sudah begitu, terserah tante mau apain semua guru dan pimpinan karena mereka jelas berbohong dan menyodorkan pelaku ‘palsu’. Tapi saya mohon jangan libatkan Bu Shinta, hukum saja kepsek dan wakasek kami.”

Ada nama Leo tetapi dia dianggap sebagai siswa yang diincar oleh para pelaku dan Xavi menjadi korban salah sasaran.

Oke fix, pihak sekolah berarti membohongi saya dan mungkin menyembunyikan pelaku sebenarnya. Anda semua telah mengambil keputusan yang fatal, sangat fatal bapak-bapak....


= BERSAMBUNG =

2 comments for "LPH #19"

Post a Comment