Featured Post

LPH #32

Episode 32
 Kisah Kelam



(POV Yandi)


Aku turun menenteng buku Ekonomi ke dapur karena hendak membuat kopi untuk menemaniku menghapal fungsi, tugas dan peran bank sentral berdasarkan UU No 3 Tahun 2004  tentang perubahan UU No 23 Tahun 1999. Aku harus bisa menghapal seluk beluk Bank Sentral karena besok bu Kinar akan mengadakan ulangan mingguan. Aku sebenarnya jarang minum kopi sambil belajar tapi karena aku beberapa kali menguap membuatku susah untuk meyerap pelajaran. Mungkin agak capek karena setelah futsal tadi sore bersama teman-teman, aku langsung pergi ke pasar sore untuk membeli sayuran yang diminta mba Asih. Buku Ekonomi aku letakkan di meja, lalu aku menuangkan air panas dari termos ke gelas kaca kecil yang sudah berisi kopi dengan tambahan 2 sendok gula.

“Tumben kamu minum kopi dek, biasanya kalau belajar minumnya teh.”

Aku sedikit kaget saat tiba-tiba saja mba Asih masuk ke dapur dan duduk di meja makan.

“Duh mba ngagetin aja, untung ga tumpah ni air panas.” kataku sedikit mengeluh karena kehadiran mba Asih yang mengagetkan. Apalagi rambutnya yang digerai terlihat berantakan dan baju tidur yang dikenakan berwarna putih.

“Biar gak ngantuk mba belajarnya, besok ada ulangan Ekonomi, masih ada yang belum hapal nih,” Kataku sambil mengaduk kopi.

“Rajinnya adek mba. Nah gitu baru adek mba yang paling ganteng. Mba suka kalau Yandi rajin belajar, tanpa mba suruh juga punya inisiatif buat bantu-bantu mba jaga warung, belanja sayuran ke pasar dan yang penting jauh dari masalah, tidak pernah lagi pulang dengan muka bonyok.”

Aku cuma nyengir dipuji mba Asih”Belum tidur mba?”

“Belum, gerah banget. AC di kamar mba rusak lagi, jadi cuma pake kipas angin kecil di kamar. Ini mau ambil air putih dingin dari kulkas terus mau mba bawa ke kamar.” jawabnya sambil menyibakkan rambutnya lalu dikuncir. 

“Yaudah mba, Yandi mau balik ke kamar dulu.” Buku Ekonomi gue jadikan alasan gelas kopi yang mengepul panas sambil gue pegangin gelasnya hati-hati.

“Okey, eh dek mau mba buatin pisang goreng gak?”

Pisang goreng dan kopi panas? Wah mantap ! “Boleh mba, kalau gak ngrepotin, hehe.”

“Enggak lah ngrepotin. Dah adek tunggu di kamar saja, nanti mba anterin ke atas pisang gorengnya.” jawab mba Asih sembari berjalan menuju kulkas.

“Siaap, eh mba. Gak usah banyak-banyak yah bikin pisang gorengnya.”

“Iya.”

Aku lalu kembali ke kamar dengan hati riang. Sampai kamar, kuseruput dikit kopi lalu kembali menghapal bahan ulangan besok. Setelah beberapa tegukan, mataku benar-benar terasa terang, tidak ngantuk lagi dan dengan mudah aku bisa menghapal materi pelajaran. Saat aku sedang menulis penjabaran tentang Bank Sentral yang sudah aku hapal luar kepala agar semakin mantap, mba Asih masuk ke kamar dan menaruh sepiring pisang goreng yang masih terlihat panas. “Waduh banyak banget mba pisangnya.” kataku saaat melihat ada banyak sekali pisang goreng di piring.

“Hehehe gak harus dihabisin, kalau gak habis taruh aja di meja makan dek.”

“Iya mba, eh pelan-pelan masih panas.” Kata mba Asih memperingatkanku saat aku tiba-tiba mencomot pisang goreng dan benar saja, pisang tersebut masih panas sehingga pisang goreng yang kupegang langsung terlepas dari pegangan tanganku.

“Dih, gak kelihatan apa nih pisang goreng masih panas gini dek.” Mba Asih mengambil tissu lalu menunduk untuk mengambil pisang goreng yang jatuh. Karena posisi mba asih yang tengah menunduk di depanku, aku bisa melihat jelas belahan payudaranya yang nampak menggantung karena bajunya yang sudah molor. Gede banget, putih lagi ! Dan sepertinya mba Asih tidak memakai bra, ugh sayang, kejadian itu berlangsung cepat sehingga aku tidak bisa melihat puting payudara mba asih.

Setelah mba asih berdiri sambil memegang pisang goreng dengan tissue, pelan-pelan mba Asih memakannya. “Mba makan yah, belum ada 5 menit hihi.” katanya.

“Hahaha okey mba.”

“Mba balik kamar dulu dek. Jangn bobok malam-malam, udah hampir jam 12 malam.”

“Iya mba.”

“Jangan dikunci kamarmu, biar besok mba bisa bangunin adek. Kalau udah minum kopi hitam, adek pasti tidurnya bisa dini hari ini.”

“Hehehe tahu aja, besok bangunin jam 5 pagi ya mba. Yandi mau jogging olahraga pagi.”

Mba Asih terseyum lalu mengusap rambutku. Kemudian dia menutup pintu kamarku. Ah mba Asih. Kamu kakak andalanku. Selama aku nurut sama mba Asih, mba Asih bakalan jadi tambah baiiiiiiiik ke aku. Fiuh, ini semua berkat kehadiran pak Tomo di sekolah sehingga segala kekacauan berhenti seketika. Dan kami semua pun bisa kembali belajar dengan tenang tanpa memikirkan ataupun merasa khawatir diserang oleh kelompok Oscar. Pokoknya sekolah benar-benar tenang adem ayem berkat kedisiplinan yang pak Tomo terapkan! SMA NEGERI XXX yang berisi siswa-siswa pintar tapi berjiwa berandalan memang membutuhkan sosok tegas seperti pak Tomo yang bukan hanya bisa mengendalikan namun juga ditakuti sekaligus dihormati. Kisah hidupnya membuat kami semua menaruh respek setinggi-tingginya kepada beliau.

Pada awalnya, setelah kejadian yang menghebohkan di dalam aula sekolah, aku dan teman-teman mencoba mencari tahu kebenaran cerita masa lalu pak Tomo bahwa dia adalah alumnni SMA NEGERI XXX dan pernah menjadi murid nomor 1 di masanya. Dan narasumber terbaik adalah dengan bertanya ke pak Tarmiji, penjaga sekolah kami yang sudah bekerja di sekolah ini  selama kurang lebih 35 tahun. Jika dilihat dari masa bakti pak Tarmiji, harusnya beliau mengenal dan tahu benar sepak terjang pak Tomo muda. Sepulang sekolah, aku, Zen dan beberapa teman lain menemui pak Tarmiji yang sedang asyik membaca koran di kantin sambil menyeruput kopi. Pada awalnya Pak Tarmiji tidak mau banyak berkomentar dan bercerita tentang masa muda pak Tomo karena merasa sungkan. Pak Tarmiji hanya mengakui bahwa awal dia mulai bekerja di sekolah ini berbarengan dengan masuknya pak Tomo muda menjadi murid baru.

Mendengar hal tersebut, jelas membuat kami semakin penasaran dan semakin mendesak pak Tarmiji untuk menceritakan masa lalu pak Tomo. Namun beliau tetap keukeuh tidak mau menceritakannya karena bagaimanapun juga pak Tomo itu sudah menjadi masa lalu dan kini ia menjadi orang nomor 1 yang memimpin SMA NEGERI XXX. Saat kami sudah merasa gagal untuk membujuk pak Tarmiji bercerita, tiba-tiba Zen memiliki inisiatif untuk menceritakan apa yang sudah terjadi di aula pagi tadi selepas upacara. Dan reaksi pak Tarmiji adalah tertawa terkekeh-kekeh setelah mendengarnya. Pak Tarmiji lalu berdiri dan berkata sesuatu. “Bapak mau menyapu dan mengunci ruangan-ruangan dulu. Kalau mau dengar kisah tentang pak Tomo, temui bapak di rumah jam 4 sore.”

Setelah pak Tarmiji pergi, kami bersorak kecil dan memuji inisiatif Zen. Kami lalu pergi ke rumah Zen sembari menunggu jam 4 datang. Kami pergi ke rumah Zen karena rumah Zen dekat dengan sekolah dan rumah pak Tarmiji itu terletak tepat di belakang sekolahan kami. Setelah menunggu jam 4 yang terasa lama, akhirnya kami dengan tidak sabar berkunjung ke rumah pak Tarmiji yang sederhana namun nyaman dan rapi. Pak Tarmiji menyambut kami dengan senang di ruang tamu. Karena istri Pak Tarmiji sudah pergi berjualan gorengan di depan sekolahan dan anak semata wayang pak Tarmiji yang sudah kuliah belum pulang, maka kami bisa mengobrol dengan tenang.

“Karena kita sudah berada di luar lingkungan sekolah, bapak akan menyebut pak Tomo dengan panggilan Tomo saja. “ ujar Pak Tarmiji mengawali ceritanya. Kami hanya mengangguk khidmat. “Dengar, ribut-ribut yang kalian lakukan kemarin-kemarin ini kalau dibandingkan dengan keributan jaman Tomo, itu ibaratnya kayak anak TK berantem rebutan giliran prosotan lalu dibandingkan dengan bos preman yang perang rebutan wilayah kekuasaan.”

Pak Tarmiji berhenti untuk menyalakan rokok kreteknya. Setelah beberapa hisapan, pak Tarmiji mulai lancar bercerita. “35 tahun yang lalu, sekolah kalian bukan seperti sekarang ini, sebuah  sekolah elit yang menjadi SMA unggulan terbaik di kota ini. Dulu sekolah ini termasuk sekolah dengan reputasi dan kualitas pendidikan biasa saja, bahkan masuk ke 3 sekolah dengan nilai rata-rata akademik terburuk di seluruh Kota. Hal ini yang menyebabkan jumlah murid baru setiap tahunnya selalu menurun. Puncaknya ketika tahun ajaran baru entah tahun berapa dibuka, jumlah siswa barunya hanya sekitar 120 an siswa atau hanya cukup untuk memenuhi 3 dari 6 kelas baru yang tersedia. Lalu ditambah fakta tingkat kelulusan sekolah kita di tahun sebelumnya hanya 20 %. Dari 10 siswa hanya 2 siswa yang lulus SMA, prosentase kelulusan terburuk bukan hanya Kota XXX namun juga terburuk secara nasional.

Akibatnya membuat reputasi sekolah ini benar-benar berada di titik terendah. Tak lama kemudian salah seorang guru bercerita kepada bapak bahwa pihak sekolah baru saja mendapat kabar buruk dari Dirjen Pendidikan. Kabar buruk yang diwujudkan dalam bentuk surat ultimatum. Ultimatum tersebut mengatakan bahwa pihak sekolah ditargetkan bisa mendapat 240 murid baru untuk memenuhi kuota kelas di tahun ajaran yang baru selanjutnya. Jika pihak sekolah tidak bisa memenuhi kuota jumlah murid, maka murid baru yang sudah mendafatar akan menjadi murid terakhir yang bisa diterima oleh pihak sekolah. Sekolah akan resmi ditutup sampai angkatan tersebut lulus SMA dalam jangka waktu 3 tahun ke depan.”

Pak Tarmiji diam sejenak untuk memperhatikan reaksi kami. “Maksudnya kalau tahun depan sekolah hanya dapat 100 murid baru, setelah ke 100 murid ini lulus SMA, sekolah akan ditutup?” ujar Zen mencoba memperjelas perkataan pak Tarmiji. Pak Tarmiji mengangguk.

“Iya, anggap saja hanya ada 5 murid yang mendaftar. Begitu kelima siswa itu naik kelas 2, sekolah tidak diperbolehkan menerima murid baru. Sehingga di sekolah hanya ada murid kelas 2 dan 3. Lalu setelah kelima siswa naik kelas 3, mereka akan menjadi siswa terakhir yang aktif. Ruang kelas 1 dan 2 kosong melompong sepanjang tahun. Begitu kalian lulus SMA. Berakhir sudah sejarah sekolah kita.”

Kami semua benar-benar terdiam mendengar penuturan pak Tarmiji mengenai sejarah sekolah kami 35 tahun silam. Gak terbayang rasanya menjadi murid terakhir yang bersekolah disini.

“Tapi sampai hari ini sekolah kita tetap berdiri tegak, berarti di tahun berikutnya pihak sekolah berhasil mendapatkan 240 murid baru ya pak?” tanya Astra.

Pak Tarmiji hanya tertawa terkekeh lalu menggeleng. “Keadaan justru semakin memburuk. Di akhir tahun kalendar akademik, tingkat kelulusan anak kelas 3 semakin parah. Jika tahun sebelumnya berada di angka 20 %, di tahun berikutnya menurun menjadi 10%. Dari 200 murid kelas 3, ada 180 siswa yang tidak lulus. Dan begitu pendaftaran murid baru dibuka sampai dengan 3 hari sebelum penutupan, hanya 30-40 siswa baru yang mendaftar. Kepala sekolah pada waktu itu langsung stress berat dan terpaksa pensiun dini karena alasan kesehatan mental. Satu persatu guru disini juga kalau gak resign ya dimutasi. Sehingga dari 30 guru hanya tersisa 10-11 guru yang mesti merangkap staf adminitrasi sekolah. Suram benar-benar suram.”

“Pasti terjadi sesuatu, terjadi sesuatu yang luar biasa kan pak sampai akhirnya sekolah kita tetap diperbolehkan berdiri hingga sekarang ini meskipun tidak lulus syarat dari Dirjen Pendidikan?” Aku lansung bertanya ke pak Tarmiji. Dan pak Tarmiji mengangguk. “Kamu betul Yan, terjadi sesuatu luar biasa yang merubah keaadaan sekolah kita.”

“Apa yang terjadi pak?” tanyaku.

“Di saat yang bersamaan, muncul isu luar biasa yang terjadi di dunia pendidikan kita pada waktu itu. Mayoritas sekolah-sekolah memberlakukan aturan yang sangat ketat terhadap calon siswa barunya. Para calon siswa yang namanya pernah masuk ke catatan kepolisian karena tindak kekerasan dan kriminal akan di blacklist, tidak akan diteima tanpa memperdulikan catatan akademis si siswa. Hal ini dilakukan karena ketidakstabilan ekonomi dan politik pada masa itu membawa dampak tingkat kriminalitas yang sangat tinggi di hampir semua propinsi di negara kita. Dan mayoritas para pelakunya berada di kisaran 14-17 tahun.

Tren ini yang melahirkan kebijakan setiap sekolah untuk memperketat seleksi calon siswa baru. Hal ini lalu menimbulkan aksi demo besar-besaran dari para orang tua murid yang anaknya masuk dalam blacklist karena merasa polisi salah tangkap, jadi korban kambing hitam dan berbagai alasan lain. Mereka menuntut kesetaraaan dalam hal pendidikan tanpa ada pembeda-bedaan. Namun mayoritas sekolah tetap tidak bergeming dengan keputusan mereka dengan alasan demi dunia pendidikan yang lebih baik. Untuk para orang tua murid yang kaya raya, mereka bisa menyekolahkan anaknya ke luar negeri. Sementara ribuan anak dari keluarga biasa saja, terancam putus sekolah dan rawan terjerumus serta terlibat ke dalam geng-geng yang mendominasi Kota.”

“Pak Wahid, yang sebelumnya menjadi wakasek dan kemudian naik menjadi kepala sekolah baru, melihat ini sebagai peluang. Ratusan remaja usia produktif terkatung-katung dari berbagai tingkat ekonomi membutuhkan pendidikan. Pak Wahid yang seperti berada di ujung tanduk karena baru mengantongi 30-40 nama, lalu mengeluarkan kebijakan yang banyak orang menilainya dengan kebijakan nekat yakni menyediakan 200 kursi untuk para calon siswa yang membutuhkan pendidikan dan orang tua murid yang bisa membayar uang pendaftaran dan melunasi SPP untuk 1 tahun ke depan, tanpa memperdulikan nama siswa tersebut berada di dalam blacklist. Setelah kebijakan tersebut diumumkan, sekolah yang mulanya sepi lalu kebanjiran para pendaftar. Dari  kuota 200 kursi yang tersisa, yang mendaftar bisa sampai 2 kali lipatnya.

Bahkan yang lebih gila lagi, ada satu guru yang bercerita bahwa ada 20 siswa baru itu berstatus residivis karena baru beberapa minggu keluar dari lapas Anak. Ke 20 siswa tersebut terlibat kasus kejahatan yang lebih serius seperti pembunuhan, perampokann, pengedar narkoba dan prositusi. Bapak sampai nyaris pingsan mendengarnya. Sampai akhirnya masa pendaftaran murid baru sudah ditutup, sekolah kita bisa lolos dari lubang jarum karena bukan hanya memenuhi 240 murid baru, tetapi pak Wahid sampai memutuskan menerima 300 murid baru. Meskipun begitu siswa baru yang masuk disini tidak semuanya bodoh atau bebal, beberapa murid bahkan sangat pandai dan menonjol di bidang akademik semasa SMP.”

“Wah gila juga, lulusan Lapas anak juga diterima? Parah-parah. Giman tuh ngatur kelasnya?secara ada 60 murid yang over kuota. Kan cuma ada 6 kelas. 1 kelas untuk 40 siswa. Belum lagi ada 180 anak kelas 3 yang tidak lulus. ”

“Entahlah, yang pasti beberapa bulan kemudian Pak Wahid datang ke sekolah naik mobil Timor terbaru dan terdengar kabar beliau membeli rumah mewah di pusat kota. Bapak tidak mau menuduh apa-apa, namun kalian bisa menyimpulkan sendiri kan kenapa akhirnya dari 200 kursi yang tersisa bisa naik menjadi 260 kursi.”

Tanpa pak Tarmiji menjelaskan secara gamblang kami semua tahu dengan sendiri. Kalau bukan karena faktor uang “bonus” dari orang tua murid, apa lagi?

“Masalah membludaknya jumlah murid karena over kuota penerimaan murid, ditambah dengan 180 anak kelas 3 yang tidak lulus pada akhirnya ditemukan solusi. Angkatan kelas 1 sebelumnya hanya ada 3 kelas. Jadi begitu mereka naik ke kelas 2, hanya ada 3 ruangan kelas yang ditempati di gedung kelas 2. 3 ruang kelas yang tersisa diperuntukkan untuk kelas 1 dan kelas 3. 2 ruangan untuk murid baru dan 1 ruangan untuk murid kelas 3. Untungnya juga yang naik ke kelas 3 juga tidak banyak hanya 3 kelas atau sekitar 120 anak. Jadi dari total 300 anak kelas 3, mereka dibagi menjadi 7 kelas. 6 ruang kelas di gedung kelas 3 dan 1 ruang tambahan di gedung kelas 2 yang tadi bapak sebutkan. Maka lengkap sudah susuan tiap kelas, suasana sekolah yang tadinya sepi tiba-tiba berubah ramai sekali ! ”

“Lalu apa yang selanjutnya terjadi pak? 260 murid baru yang masuk dalam blacklist polisi ditambah dengan 180 murid kelas 3 yang bermasalah tidak lulus SMA berada dalam 1 sekolahan yang sama? Pasti sekolah kita dulu jadi seperti coloseum tempat para gladiator bertarung.” Tanya Zen.

“Hahahaha, tepat sekali ! Benar-benar kacau total. Hampir setiap hari bapak mesti ganti kaca kelas yang pecah, bu Darni bolak-balik menelepon rumah sakit untuk dikirimkan ambulan, polisi setiap hari datang ke sekolah untuk menggelandang beberapa murid yang terlibat lagi tindak kriminal, motor yang terbakar di parkiran, kursi dan meja pada rusak, ruang kelas benar-benar berantakan, dinding penuh piloks berisi kata-kata kotor dan gambar kelamin, perkelahian di setiap sudut sekolah pada saat jam sekolah, botol miras berjajar rapi di dinding belakang kelas, tong sampah isinya  puntung rokok dan suntikan bekas putaw, toilet sekolah bau cimeng. Waktu Bapak itu seperti bukan berada di sebuah sekolah tetapi serasa di sarang penjahat. “ ujar Pak Tarmiji dengan tatapan menerawang.

Gila. Kami berenam yang mendengarkannya benar-benar terhenyak, sungguh gila sekali masa lalu sekolah kami. Tak terbayang rasanya kalau aku menjadi salah satu murid di sekolah ini pada jaman tersebut.

“Pak Wahid dan guru-guru lain gimana pak? Mereka tinggal diam melihat kekacauan di sekolah dalam skala masif seperti itu? “ Tanya Wira.

“Mereka tidak bisa apa-apa. Para guru jarang mengajar di kelas karena merasa takut dengan muridnya sehingga lebih banyak memberikan tugas. Belum lagi keterbatasan  jumlah guru yang membuat mereka lebih sibuk mengurusi hal administratif. Hal ini membuat sekolah ini sudah seperti sarang kemaksiatan. Dan gedung kelas 2 yang ditempati oleh 3 angkatan sekaligus menjadi sarang dan sumber dari segala sumber kejahatan, kemaksiatan, tempatnya para bajingan berkumpul. Anak kelas 1 dua ruangan, kelas 2 tiga ruangan dan kelas 3 satu ruangan. Ke enam kelas ini mengendalikan semuanya. Dan dari sinilah, legenda The Tank dimulai.”

“The Tank?” kami bertanya secara hampir bersamaan kepada pak Tarmiji.

“The Tank itu julukan untuk Tomo. Julukan itu di dapat ketika Tomo berhasil mengalahkan Roma, bajingan anak kelas 3 yang paling ditakuti bukan hanya oleh anak sini tetapi juga anak sekolah lain pada waktu itu.” ujar pak Tomo lalu mengambil sesuatu dari dalam laci yang ada di bawah rak TV. “Ini adalah album foto yang berisi banyak foto bapak dengan anak-anak SMA angkatan Tomo dan juga beberapa foto anak kelas 2 dan 3.”

Kami tanpa diminta langsung mendekati meja tempat pak Tarmiji menaruh album fotonya. “Meskipun bajingan, pada dasarnya mereka suka difoto haha. Kalian mau tahu foto Tomo waktu kelas 1 berusia 16 tahun? Bapak cukup akrab dengan Tomo pada waktu itu. Ya boleh dibilang, bapak jadi tempat curhatnya Tomo tentang sekolahan.” Pak Tarmiji lalu menunjuk sebuah foto seorang remaja berbadan gempal dengan rambut tegak hanya memakai kaos dalam, mengenakan kalung rantai perak dengan pose menyeringai ke arah kamera.

“Ii....ni...Tomo....maksud saya ini foto Pak Tomo waktu kelas 1 pak?” Tanya Jimi dengan terbata-bata.

“Iya, ini foto Tomo kalau gak salah setelah dia berhasil mengalahkan Ilyas, pentolan gerombolan anak kelas 1 residivis lapas Anak dalam duel hidup-mati di tengah lapangan basket setelah selesai upacara 17 agustusan.

“Duel hidup mati?” tanya Zen.

“Bapak sebut sebagai duel hidup mati karena mereka duel menggunakan pisau lipat. Dan mereka duel sambil disaksikan oleh semua murid, semua guru, dan pak Wahid. Saking ngerinya membuat para guru hanya terdiam, mematung menyaksikan pertarungan berdarah mereka.”  Pak Tarmiji membuka beberapa halaman ke belakang lalu menunjuk ke sebuah foto, “Ini foto Ilyas, lawan Tomo kalau kalian mau tahu, dia juga gak kalah seram dengan Tomo. Bahkan boleh bapak bilang, Ilyas adalah remaja 16 tahun dengan ekspresi dan tatapan mata paling menyeramkan yang pernah bapak temui. ”

Setelah melihat foto Ilyas, kami harus mengamini perkataan Pak Tarmiji tentang keseraman yang dimiliki Ilyas. Entah sudah berapa kali kami berenam terdiam sambil melongo mendengar masa lalu sekolah kami. Duel  pakai senjata tajam selepas upacara 17 agustus di depan semua murid dan guru?? Ini bukan lagi gila tapi brutal !

“Kalau melihat ekspresi pak Tomo di foto ini, sepertinya dia menang ya pak lawan Ilyas?” tanya Zen.

“Iya Tomo menang, tetapi sejatinya lengan kanannya berdarah-darah akibat terkena tikaman pisau dari Ilyas. Dasar orang gak normal, setelah dia menang lawan Ilyas dan dalam keadaan pisau lipat masih tertancap di lengan, dia berjalan santai ke UKS minta pisaunya dicabut dan lukanya dijahit oleh Bu Endang, petugas UKS. Setelah pendarahannya berhenti dan lukanya selesai dijahit kemudian diperban, Tomo pergi ke kantin menghabiskan 1 porsi nasi goreng dan 2 mangkuk bakso. Ckckc.” ujar Pak Tarmiji.

“Gile benerrrr kepala sekolah kita cuy.” puji Astra. “Eh pak, Ilyas gimana keadaaannya tuh?”

“Ilyas pingsan karena dihajar habis-habisan setelah ambruk. Sebenarnya Ilyas bisa saja mati hari itu seandainya saya dan beberapa temannya tidak melerai dan menjauhkan Tomo dari Ilyas. Ilyas ambruk dan tidak bisa memberikan perlawanan lagi setelah hujaman pisau lipat Tomo tepat menancap di tengah paha sebelah kanan Ilyas. Ilyas segera kami larikan ke rumah sakit karena kehilangan banyak darah. Namun nahas, nyawanya tidak tertolong setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit.”

“Ilyas, mati akibat luka yang ia derita hasil duelnya dengan pak Tomo?” Tanyaku.

Namun pak Tarmiji menggeleng pelan. “Ilyas ditemukan perawat meninggal dunia di dalam kamar mandi rumah sakit dengan kondisi mulut mengeluarkan busa dan ada sebuah jarum suntik tertancap di lengan kirinya. Setelah dilakukan autopsi, Ilyas meninggal akibat overdosis putaw yang ia konsumsi di dalam kamar mandi rumah sakit. Remaja 16 tahun meninggal akibat overdosis narkoba....bapak merasa prihatin sekali.” ucap pak Tarmiji lirih.



= BERSAMBUNG =

3 comments for "LPH #32"

Post a Comment