DLF #18
DEEP LYING FORWARD #18
MERRY X-MAS & HAPPY NEW YEAR 2001 !!
Parking lot, Stadio San Vito, Cosenza – Dicembre (Desember) 22, 2000, 19:43 PM
“Fiuh dingin banget,”kata Silvestri sambil meniup udara di kedua tangan yang ia tangkupkan lalu ia gosok-gosok. Padahal dia sudah memakai sarung tangan tebal.
“Iya beberapa hari terakhir salju semakin tebal.” Sahutku.
Sementara untuk menghalau hawa dingin, aku memasukkan kedua tanganku di saku jaket yang tebal. Masih terasa dingin menusuk tulang, padahal dibalik jaket tebal ini aku mengenakan jaket tim Cosenza. Bahkan kami berdua pun memakai topi merah khas Santa Claus.
“Semoga salju malam ini tidak mengganggu jadwal penerbangan. Soalnya besok pagi Ilary akan datang ke Cosenza, dia ingin menghabiskan liburan musim dingin merayakan Natal dan tahun baru disini. Duh, aku jadi grogi.”
DEG.
Langkahku yang semula cepat menembus salju yang kembali turun, tiba-tiba terhenti saat mendengar Silvestri bercerita bahwa besok pagi Ilary akan datang ke Cosenza.
Silvestri yang mendahuluiku beberapa langkah, kemudian menengok ke belakang.
“Woi…Ngapain berhenti? Ayo cepat. Makin dingin inih.!” Serunya.
Mendengar Silvestri memanggilku, aku kemudian bergegas menyusulnya. Dan kami berdua segera menuju ruang makan yang ternyata sudah didekor dengan sedemikian rupa bertema Natal. Aku melihat ada pohon natal yang sudah dihias lengkap berdiri di sudut ruang makan lalu ditambah dengan iringan lagu instrumental Jazz yang diputar dengan tempo pelan tetapi tetap terdengar menambah kental suasana Natal.
Malam ini seluruh pemain Cosenza, staf pelatih dan beberapa telah direktur berkumpul untuk makan malam bersama 2 hari menjelang hari Natal. Kompetisi di seluruh Italia sedang rehat musim dingin, begitu juga kami. Tim mulai besok akan libur panjang selama 2 minggu untuk merayakan Natal dan Tahun Baru 2001. Tim akan mulai berkumpul dan berlatih lagi pada tanggal 7 Januari 2001. Buat kami libur musim dingin akan menjadi sesuatu yang menyenangkan, sebuah jeda yang benar-benar kami butuhkan karena sejak pertengahan tahun kami terus menjalani latihan berat, perjalanan ribuan kilometer, dan pertandingan di liga yang keras tentu saja menguras fisik dan mental kami.
Belum lagi faktor psikologis dalam menghadapi tekanan dan performa tim yang naik turun. Memang kami mengawali kompetisi liga dengan baik, sempat tidak terkalahkan selama 12 pertandingan beruntun di liga, peruntungan kami terhenti justru ketika dalam pertandingan Derby Della Calabria melawan Catanzaro kami kalah 4-2. Sebuah pertandingan yang sangat kontroversial menurut kami dan belum lagi kerusuhan antar tifosi yang dengan skala cukup besar pecah pasca pertandingan, membuat tim ikut terkena getahnya. FIGC menjatuhkan sanksi, baik kepada kami maupun Catanzaro yakni hukuman menjalani 2 pertandingan di kandang tanpa penonton.
Kekalahan justru memacu semangat kami berkali-kali lipat. Di 4 pertandingan berikutnya sebelum jeda musim dingin, kami bangkit. 2 kemenangan kami raih melawan Piacenza dan Pistoise, 1 hasil imbang melawan tim kuat Sampdoria di kandang mereka yang terkenal angker Stadio Luigi Feraris. Dan hasil imbang 2-2 melawan Sampdoria, membuat kami naik peringkat berada di pemuncak klasemen Serie-B di pekan ke 16.
Hanya saja lagi-lagi penyakit inkonsistensi selalu mendatangi kami di pertandingan krusial. Di pertandingan liga terakhir sebelum jeda musim dingin, kami melakoni ill grande partita (pertandingan besar) melawan tim peringkat 2 Chievo di Stadio Marc’Antonio Bentegodi. Bukan hanya memperebutkan posisi capolista (pemuncak klasemen) mengingat kami hanya berbeda 1 poin, tetapi laga ini juga memiliki gengsi tersendiri, siapapun yang menang akan menjadi Campeone D’Inverno (juara paruh musim) yang menurut fakta sejarah tim yang menjadi Campeone D’Inverno Lega Calcio Serie-B tim tersebut akan mendapat tiket promosi ke Lega Calcio Serie-A di akhir musim. Kami sempat unggul terlebih dahulu di babak pertama lewat gol yang aku cetak menuntaskan umpan dari Pelicori dan kemudian permainan lebih kami kuasai hingga babak pertama usai.
Tetapi entah apa yang terjadi, keadaan berubah di babak kedua. Chievo berhasil membalikkan keadaan dan mengalahkan kami 2-1 di akhir lagi. Bukan hanya kehilangan 3 poin, tapi kami juga gagal menjadi Campeone D’Inverno. Meskipun cuma mitos, tetapi dengan menjadi Campeone D’Inverno membuat rasa percaya diri tim akan semakin baik. Kekalahan yang disambut oleh kemurkaan signor Mutti saat di ruang ganti seusai pertandingan. Dia mengkritisi buruknya mental kami yang seolah sudah memenangkan pertandingan saat jeda babak pertama. Tampaknya bayangan liburan musim dingin yang sudah di depan mata membuat kami sudah tidak bisa fokus ke pertandingan. Semoga kekalahan ini tidak kami sesali di akhir musim karena perbedaan poin yang sangat ketat antara peringkat 4, peringkat minimal untuk mendapat tiket promosi, dengan peringkat 8. Bahkan kami yang berada di peringkat 2 hanya berjarak 3 poin dengan tim peringkat 8.
Persaingan ketat yang membuat siapapun tim berada di 4 besar tidak boleh kehilangan fokus karena 4 tim di bawah kami siap untuk mengkudeta siapapun yang lengah dalam kompetisi yang panjang dan sangat melelahkan ini.
Sementara untukku pribadi, aku mulai mendapatkan kepercayaan dari signor Mutti untuk terus mengisi posisi starting line-up berduet dengan Varrichio mengisi skema 2 striker dalam formasi 3-5-2 semenjak 2 gol yang aku buat di pertandingan melawan Catanzaro. Aku dan Varrichio mengisi 2 peran yang berbeda di lini serang Cosenza. Varrichio diplot sebagai Center Forward alias striker murni di dalam kotak pinalti lawan karena memiliki finishing, insting dan ketenangan di depan gawang. Dia hanya “duduk” manis di kotak pinalti menunggu umpan-umpan yang memanjakannya. Sementara aku di plot sebagai striker “kuli” yang diminta untuk terus bergerak untuk memecah konsentrasi bek lawan dan juga diminta untuk membagi bola kepada Varrichio. Bahkan aku juga dituntut menjadi orang pertama yang harus memberikan tekanan kepada bek lawan saat dia memegang bola. Pendek kata, aku diberikan posisi Defensive Forward. Striker bertahan.
Posisi yang menurutku sangat tidak manusiawi karena aku diminta untuk terus bergerak, berlari, men-tackling lawan, mencari ruang seperti orang gila, bahkan sering di instruksikan untuk turun sampai ke lini belakang membantu lini pertahanan. Posisi yang membuatku semakin jauh dari kotak pinalti dan tentu saja membuatku minim untuk sekedar melakukan shooting ke gawang lain. Ini seperti lelucon buatku. Ketika aku ngotot ingin bermain, pelatih tidak memberiku kesempatan. Ketika aku mendapat kesempatan bermain, pelatih justru memasangku di peran yang salah di lini serang. Apakah pelatih tidak mengerti posisi asliku sebagai seorang Center Forward? Tidakkah dia mengingat bahwa 2 gol yang aku cetak ketika melawan Catanzaro, justru ketika aku bermain sebagai Center Forward mengisi peran Varrichio absen?
Kekesalanku bertambah ketika melawan Piacenza, aku diganti di jeda babak pertama karena aku dianggap kurang membantu pertahanan, sudah menerima kartu kuning dan bermain egois. Bazzani yang menggantikanku ternyata bermain baik, dia memberikan 1 umpan di kotak pinalti yang mampu dikonversi dengan baik oleh Varrichio. Semua orang di bench berteriak kegirangan menyambut gol tersebut, kecuali aku yang hanya diam. Seusai pertandingan, Pelicori mendatangiku. Dia rupanya memahami kekesalanku. Pelicori kemudian memberikan satu nasehat singkat.
“Justru pelatih melihat kamu memiliki kemampuan lain yang tidak kamu sadari. Bermain sebagai seorang Defensive Forward, memberikan kamu keuntungan tersendiri. Defensive Forward akan lebih susah di marking oleh lawan karena terus bergerak. Tim lawan tidak akan melakukan man-to-man marking dengan resiko pertahanan akan terekspos, jadi besar kemungkinan lawan hanya akan melakukan zona marking kepadamu. Aku tahu kamu anak yang berbakat dan memiliki visi bermain yang bagus. Gunakan daya imajinasimu, manfaatkan ruang dengan seefektif mungkin, kembangkan terus kemampuan fisik dan teknik. Jika kamu bisa menggabungkan itu semua, kamu akan menjadi pemain yang sangat penting di tim.”
Selama perjalanan pulang naik kereta, aku lebih banyak terdiam memikirkan kata-kata Pelicori. Dari sikap apatisku terhadap keputusan pelatih, aku mulai menerima dan mencoba beradaptasi dengan peran baruku tersebut dengan berlatih sangat keras di pusat latihan. Rupanya pelatih juga menyadari perubahan sikapku, signor Mutti memilihku bermain sejak menit awal melawan Pistoise berduet dengan Varrichio. Dan malam itu semuanaa tampak sempurna, umpan-umpanku selalu tepat sasaran, tacklingku bersih, bahkan aku sering memenangi duel-duel udara dan pergerakanku terasa cair di atas lapangan, beberapa kali aku bisa menemukan ruang untuk mengirim umpan maupun berani untuk menyelesaikan peluang.
Berkat pengalaman bermain yang semakin banyak kudapatkan, aku juga bisa mengidentifikasi kelemahan lawan. Jika kelemahan lawan sudah kita ketahui, sekarang tergantung dengan apa yang kamu miliki untuk memanfaatkan kelemahan lawan secara maksimal. Aku menyadari bek kanan Pistoise mudah terpancing untuk menempelku, beberapa kali aku memamerkan trick di depannya dan hal itu rupanya membuat dia kesal. Tanpa ia sadari, aku membuat dia sering meninggalkan pos pertahanannya. Pada suatu momen serangan, aku melakukan kombinasi umpan pendek 1-2 dengan Pelicori dan berhasil mengelabuinya. Dari sayap kiri aku berlari menuju kotak pinalti. 2 lawan 3. Aku lihat Varrichio dikawal 2 orang sehingga aku memutuskan untuk melewati 1 bek lawan, dengan 1 gerakan feint bek lawan tertipu. Bola langsung aku tembak sekeras-kerasnya.
Gol.
Permainanku semakin baik dari menit ke menit. Aku bisa mencetak gol kedua memanfaatkan kemelut di kotak pinalti seteh sepak pojok. Di saat-saat akhir pertandingan, aku berpeluang mencetak hattrick pertamaku tetapi aku lebih memilih memberikan umpan Varrichio yang berdiri bebas. Kami menang 3-0 di kandang Pistoise. Aku bermain full 90 menit dengan catatan impresif. Dari 4 tendangan ke arah gawang 2 berbuah gol, rataan umpan sukses 86%, 4 tackling bersih, 1 assist, 2 key pas (umpan kepada rekan setim yang berbuah tendangan ke arah gawang), 6 kali menang duel udara. Di akhir pertandingan aku diganjar sebagai Il Protagonista (pemain terbaik). Di dua laga selanjutnya melawan Sampdoria dan Chievo, meskipun tim meraih hasil kurang baik, aku bisa mencetak 2 gol dan 1 assist.
Jadi dari total 5 pertandingan beruntun dimana aku bermain sejak menit pertama, aku sudah mencetak 6 gol dan 2 assist. Cukup bagus untuk pemain berusia 18 tahun. Aku cuma bilang “cukup bagus” karena aku masih sangat jauh dari sempurna. Aku masih gampang terprovokasi, pengambilan keputusan yang seringkali terlambat bahkan salah, terlalu pamer skill olah bola dan yang paling utama, tendangan jarak jauhku masih juga belum mengalami kemajuan berarti.
***
Acara makan malam berjalan dengan penuh suasana hangat dan kekeluargaan. Menu makanan yang disajikan sangat beragam dan menggugah selera. Ada Abacchio al forno scallopine (daging domba panggang dalam bentuk potongan-potongan kecil khas kota Roma), Risotto (nasi berbumbu saffron khas kota Milan), Tiella (rebusan macaroni dengan sayuran), Maccheroni con le sarde (macaroni dengan ikan sarden khas Calabria dimasak dengan minyak zaitun dan bawang putih), Burrida (sup ikan khas Sardinia), prosciutto (ham daging babi dalam irisan tipis), Sfogliatelle (kue khas kota Naples) dan tentu saja tidak ketinggalan ada pula Cuddrurieddri (roti goreng khas Calabria yang hanya dibuat menjelang natal), pizza dan spaghetti. Woah tampaknya Chef Bochetti ingin memanjakan kami dengan makanan-makanan enak dari penjuru Italia.
Tidak ada pembicaraan tentang sepakbola di meja makan. Yang paling mendominasi adalah pembicaraan seputar destinasi libur natal dan tahun baru. Sebagian besar pemain memilih menghabiskan liburan musim dingin entah dengan pacar, istri maupun keluarga masing-masing dengan bepergian ke negara-negara Eropa lainnya dimana Prancis dan Swiss menjadi tujuan favorit. Ada juga yang memilih tetap di Italia dan pulang ke kota asal. Sementara Fred, satu-satunya pemain asing di tim, lebih memilih pulang ke Brazil karena tidak tahan dengan hawa dingin di seantero Eropa. Dari 23 pemain utama Cosenza, hanya ada 4 pemain yang asli orang lokal kelahiran Cosenza. Aku, Vangioni, Zappa dan Bachini.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, liburan musim dingin kali ini aku dan kakek paling tetap di Cosenza. Kota menjadi lebih sepi, jalanan tidak terlalu ramai karena banyak orang yang pergi berlibur entah keluar kota maupun luar negeri. Toh, disini aku tidak kekurangan hiburan. Aku bisa mengunjungi Camigliatelo Silano yang berada di Il Parco Nazionale della Sila (Taman Nasional Sila) untuk bermain ski ataupun snowboarding. Silvestri yang biasanya juga tidak kemana-mana setiap liburan musim dingin dan menghabiskan waktu pergi bersamaku, tampaknya musim dingin akan menjadi lebih panas karena kedatangan Ilary. Aku tidak tahu sampai sejauh mana hubungan mereka, kadang ketika Silvestri mulai bercerita tentang Ilary, aku hanya menjawab singkat lalu mengalihkan bahan pembicaraan karena entah kenapa aku merasa kurang nyaman membicarakan Ilary. Tetapi entah kenapa, malam ini aku terusik ingin bertanya tentang kabar Ilary.
“Silvestri, tolong ambilkan brokoli.” Pintaku kepada Silvestri untuk mengambilkan brokoli yang berada lebih dekat dengannya.
“Oke.” Jawab Silvestri seraya memberikanku semangkuk brokoli hijau yang segar.
“Grazie (terimkasih). Eh, tadi di parkiran kamu bilang Ilary akan datang besok. Sudah resmi pacaran ya kalian?” Kataku sambil mengambil beberapa potong brokoli yang aku masukkan ke dalam sup ikanku.
“Tumben kamu nanya soal Ilary. Biasanya kalau aku mulai ngomongin tentang dia, kamu ogah-ogahan dengarnya.” Jawab Silvestri santai sambil mengunyah sepotong pizza keju.
Duh, ternyata Silvestri menyadari perubahan reaksiku jika membicarakan tentang Ilary, batinku. Ah aku jadi bingung mau jawab gimana, akhirnya aku cuma bisa nyengir.
“Kalau dibilang sudah resmi pacaran sih, belum. Tapi hampir setiap hari kami telepon-teleponan dan dia juga sudah memanggilku ‘sayang’ gitu. Hehehe.”
“Oh gitu. Mumpung kalian bertemu besok, tembak aja Ilary. Biar semakin jelas hubungan kalian.” Ujarku sok memberi saran.
“Iya, aku lagi memupuk keberanian dan mental. Setelah 5 bulan hanya berkomunikasi melalui handphnoe akhirnya besok aku bisa bertemu langsung dengannya. Fiuh.”
“Haha..Kamu kelamaan single sih, jadi mau ketemu beneran aja malah gemetar. Ilary mau sampai kapan di Cosenza?” Aku berusaha mengatur intonasiku agar tidak terlalu seperti orang penasaran.
“Katanya sih sampai tanggal 9 atau 10 Januari. Dia mau berlibur dulu disini merayakan Natal dan tahun baru bersama keluarga pamannya, sebelum ia pindah ke Bologna.”
“Jadi Ilary keterima masuk ke Culinary Institute of Bologna?”
“Loh, kok kamu tahu dia masuk ke sana?” Tanyanya penuh selidik.
Aku sempat gelagapan mendengar Silvestri bertanya balik.
“Kan kamu yang dulu pernah cerita bahwa Ilary pengen banget masuk ke sekolah masak terbaik di Italia..” Jawabku setenang mungkin.
“Oh aku sudah bercerita sampai sejauh itu ya? Hahaha.”
“Eh gimana sih, kebanyakan nyundul bola lama-lama kamu jadi pikun.”
“Haha sialan. Iya Ilary ketrima disana. Selama setahun dia akan berada di dunia yang sangat ia senangi.”
“Baguslah.” Kataku sambil menandaskan satu suapan sup terakhir. Kenyang banget.
“Daniela natal pulang ya?” Tanya Silvestri sambil mengisi piringnya dengan beberapa lembar Prosciutto.
“Iya rencana besok sore setelah dari kampus, dia pulang ke Milan selama 3 minggu. Eh ngomong-ngomong kamu makan terus daritadi.”
“Hehehe maaf reflek. Soalnya mamaku selalu berpesan untuk selalu menghabiskan makanan di piringku. Karena makanan adalah sumber tenaga dan berkah dari Tuhan.”
“Aku juga setuju dengan nasehat mamamu. Tapi kan beliau berpesan untuk menghabiskan makanan yang ada di piring, bukan seluruh makanan yang ada di meja!”
“Hehe kapan lagi chef Bochetti memasakkan makanan spesial seperti ini. Jangan harap chef akan memberikan kita menu makan seperti ini ketika liga mulai berjalan lagi.”
“Mau ketemu pacar malah semakin rakus.”
“Semakin aku grogi, semakin banyak aku makan. Makanan membuatku tenang, heee.” Jawabnya enteng.
“Bisa-bisa selesai liburan, berat badanmu semakin bertambah.”
Pascetta yang berada tidak jauh dari kami juga juga cuma geleng-geleng lalu menimpaliku.
“Biarkan dia makan banyak Mateo, semakin dia banyak makan, dia akan menjadi berat dan lamban, lalu selamat tinggal tim utama. Hahahaha.”
“Hei..Kalian dengar, aku tidak takut makan banyak karena aku juga suka menghabiskan waktuku berjam-jam fitness di gym. Istilahnya eat hard, work hard,hohoho.” Jawabnya santai.
Aku tertawa mendengarnya, memang Silvestri memiliki massa otot dan tubuh yang besar tetapi dia juga sangat atletis. Kelebihan yang membuatnya di usia 18 tahun, sama denganku, dia sudah menjadi bek andalan tim. Berbeda dengan komposisi lini tengah dan lini depan yang sering di rotasi, pelatih signor Mutti sudah menemukan formula pakem di lini pertahanan. Silvestri, Pascetta dan Pavone selalu menjadi trio pilihan utama di starting line-up.
Aku yang sudah merasa kenyang lalu mengambil puding apel sebagai dessert, lalu kudengar handphone dikantong jaketku berbunyi. Aku lihat Daniela yang menelepon, setelah mengguyur puding apel yang terlihat lezat dengan saus coklat, aku lalu menuju pojok ruangan dekat jendela yang tidak terlalu bising. Sambil memakan puding dan melihat jalanan yang memutih karena salju, kuangkat telepon.
“Buonanotte la bella mio Daniela (selamat malam kekasihku Daniela yang cantik).”
“Tumben, mesra banget jawabnya, hehehe.”
“Lho kan aku memang romantis, hee. Ada apa sayang? Lagi packing ya?”
“Iya, kamu memang romantis tetapi juga nakal. Enggak, aku baru saja selesai nulis paper. Tinggal di print lalu dikumpulkan besok. Packingnya besok saja, toh aku paling cuma bawa 1 koper. Baju-bajuku masih banyak banget di rumah Milan.”
“Dosenmu parah juga ya, orang mau liburan malah diberikan tugas.”
“Sebenarnya tugas paper ini untuk dikumpulkan nanti selepas kami kembali ke kampus setelah liburan sih, tetapi kukebut selesai malam ini juga sebelum aku pulang ke Milan besok sore. Aku kalau sudah di rumah, sedang liburan musim dingin pula, pasti malas banget untuk mengerjakan tugas apapun. Oh iya, acara makan malamnya masih belum selesai?”
Fiuh, beruntung besok sore Daniela sudah pulang ke Milan ketika Ilary datang ke Cosenza. Jadi tidak ada kemungkinan mereka bertemu. Karena aku punya feeling Ilary pasti ingin mengajak bertemu denganku. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya jika keduanya bertemu disaat bersamaan ada aku dan Silvestri, batinku.
“Halo…halo…??” Tanya Daniela.
Suara Daniela membuat lamunanku buyar.
“I..i…ya..sayang. Ini aku tadi sedang ambil garpu.” Jawabku ngasal.
“Garpu, memang kamu belum selesai makan?”
“Ini aku lagi makan puding apel buat penutup.”
“Kamu suka puding apel ya?”
“Sukaa.”
“Nanti kapan-kapan aku buatin puding buah-buahan buat kamu deh.”
“Asyik…gak sabar aku ingin memakan…pudingmu.” Aku sengaja iseng memberikan tekanan suara saat aku menyebut ‘pudingmu’.
“Ihh… Aku tahu puding yang kamu maksud.. haha dasar nakal…kalau pudingku yang satu itu tidak ada bandingannya. Hahaha.”
“Iya…puding dengan toping asin gurih-gurih nikmat, hahaha.”
“Hahaha..kamu tuh makin nakal makin ngangenin. Eh sayang kamu tahun baru jadinya kemana? Masak yang lain pergi berlibur kemana gitu kamu malah tetap di Cosenza sih. Gak bosen apa.”
“Hehe..Kota ini selalu tak pernah berhenti membuatku sangat betah tinggal. Lagipula gak mungkin kan aku pergi berlibur sendirian meninggalkan kakek sendirian di rumah.”
“Sayang…aku punya ide..Bagaimana kalau kamu sama kakek Javier berlibur ke Milan? Kalau natal sih gak mungkin. Jadi mungkin kalian bisa merayakan pergantian tahun baru di Milan bersamaku nanti. Di sini malam tahun baru banyak banget acara yang meriah lho. Gimana…gimana…kamu ga pengen apa melewatkan malam pergantian tahun bersama orang-orang yang kamu sayang. Kita nanti bisa pergi ke Piazza del Duomo menunggu detik-detik pergantian tahun. Sambil melihat pesta kembang api, kamu menggenggam tangan kakek Javier dan tanganmu yang satunya menggenggm tanganku erat..duh romantis banget..gimana gimana seru kan?”
Aku bisa mendengar nada suara Daniela sangat bersemangat melontarkan ide tersebut. Idenya bagus juga.
“Iya..kelihatannya menarik. Besok aku tanya ke kakek Javier dulu ya, soalnya beliau tidak terlalu suka bepergian ke kota-kota besar, karena tidak tahan dengan bising dan padatnya kota. Beliau lebih suka menghabiskan waktu bersama temannya, berbincang sambil minum kopi di showroom mebelnya.”
“Iya..saya tahu. Kebiasaan kakek yang menurun padamu, yang juga tidak terlalu menyukai tempat ramai, lebih suka pergi kemana sendiri, menyendiri entah membaca buku atau minum teh. Atau pergi naik gunung sendiri.”
Aku tersenyum.
“Kan sekarang ada kamu, semenjak punya kekasih sangat cantik sepertimu, tempat yang biasanya sering aku datangi sendirian terasa berbeda ketenangan dan keindahannnya. Seperti ada yang kurang, dan tenyata yang kurang itu adalah kehadiranmu.”
“Ti amo (aku mencintaimu), Mateo...”
“Ti amo anch’io (aku juga mencintaimu).”
“Tetapi entah kamu sadari atau tidak, sosokmu yang pendiam dan penyendiri seakan bisa berubah 180 derajat ketika kamu berada di atas lapangan hijau. Kamu menjadi terlihat sangat hidup, bersemangat, ekspresif bahkan tidak jarang emosional. Stadion menjadi satu-satunya tempat keramaian yang bisa kamu nikmati sepenuhnya. Aku seperti melihat 2 kepribadian yang berbeda dalam 1 tubuh.”
Belum ada setahun, lebih tepatnya 9 bulan aku berpacaran dengan Daniela, tetapi pemahaman dirinya terhadapku bisa sampai sedetil itu, bahkan untuk sesuatu yang tidak aku sadari sebelumnya. Terkadang hal ini juga yang membuatku susah berbohong kepadanya karena Daniela seperti memiliki detektor alami yang bisa mendeteksi perubahan suara, gesture dan eskpresi wajahku ketika aku tidak berkata yang sebenarnya.
“Ketika aku berada di atas lapangan bermain sepakbola, ketika aku bisa sepenuhnya fokus ke pertandingan, sejujurnya suara-suara penonton di stadion menjadi pelan lalu menghilang sampai tidak terdengar lagi. Sekelilingku tampak putih, yang aku bisa lihat hanya diriku bersama rekan setimku dan 11 pemain lawan. Dan ketika aku mengalami transedensi tersebut, adrenalin naik begitu cepat membuat semua ketakutanku hilang, keberanian dan semangat dalam diriku terbakar. Dan itulah sosok yang mungkin kamu lihat ketika aku bermain sepakbola. “
“Mateo…Mateo..!” Aku menoleh ketika mendengar kapten tim, Biagioni memanggilku dari mejanya.
“Cepat habiskan pudingmu dan tutup teleponmu, lalu kembali ke meja. Signor Raimondi ingin menyampaikan sesuatu.” Perintahnya.
“Kamu dipanggil ya sayang?’ Tanya Daniela yang tampaknya mendengar suara Biagioni.
“Iya sayang. Aku tutup dulu ya. Aku mesti kembali ke meja. Nanti kita sambung lagi.”
“Iya.jangan lupa besok kamu tanya kakek Javier tentang ide berlibur ke Milan ya. Kalau kalian setuju datang kesini, cepat kabarin. Biar aku yang mencarikan tiket pesawat ke Milan dan pesan hotel.”
“Iya..Ciao.”
“Cium dulu.”
“Muumumuahhh..”
“Hihihi..mwahh. Ciao.”
Kumatikan telepon lalu segera kuhabiskan puding dalam sekali lahap lalu segera kembali ke meja. Aku lihat signor Paride Raimondi, Vice Presidente Cosenza sudah berdiri memegang mic.
“Buonanotte (selamat malam) semua. Terimakasih atas kedatangan kalian di acara makan malam ini di tengah cuaca yang lumayan buruk diluar sana. Saya berbicara disini mewakili signor Alex Paoletti yang meminta maaf tidak bisa datang kesini karena beliau sedang berada di luar kota, untuk menyampaikan pesan bahwa kita semua patut berbangga dengan apa yang telah tim capai sampai dengan separuh perjalanan. Siapa yang menyangka tim kecil seperti kita bisa berada di peringkat 2 sebelum jeda musim dingin?
Tidak ada yang menyangka, bahkan mungkin para staf pelatih dan juga para pemain sendiri juga tidak menyangka. Apa yang bisa kita ambil dari sini adalah menunjukkan betapa indahnya sepakbola itu, semua bisa terjadi. Tetapi tanpa kerja keras, dedikasi, buah pikiran, perencanaan yang matang oleh kita semua yang berada di tim saat ini, semua tidak bisa terjadi. Mari kita teruskan perjuangan kita yang tinggal setengah perjalanan lagi, saya yakin bersama-sama kita bisa mewujudkan mimpi kita..apa itu??”
“PROMOSI KE SERIE-A !!!!” Jawab kami semua serempak, dibarengi oleh tepuk tangan penuh semangat.
“Iya, betul sekali. Sebelum saya mengakhiri acara makan malam ini, mari kita berterimakasih kepada Chef Bocetti atas menu makanan yang luar biasa lezat. Mamamia signor Bocetti !”
Chef Bocetti yang mendengar namanya disebut, keluar dari dapur masih dengan seragam memasaknya lalu menaruh tangan kanannya di dada, menunduk sedikit. Dia terlihat sangat bangga sekali makanan yang dia sajikan mendapat pujian. Kami semua memberikan tepuk tangan.
“Signor Monaco, jangan lupa untuk menyiapkan hukuman kepada siapapun pemain yang kembali dari liburan dengan kondisi kelebihan berat badan. Terutama kamu, Silvestri.” Sambil mengarahkan pandangan kepada Silvestri yang duduk di sampingku.
Semua orang sontak melihat ke arah Silvestri yang ternyata masih saja dengan santai makan puding nanas. Merasa namanya disebut dan semua orang yang berada di ruangan melihat kepadanya, membuat Silvestri tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Dan lucunya itu membuat Silvestri yang tengah menyendok sepotong puding ke arah mulutnya, gerakannya terhenti dengan mulut menganga lebar lalu tiba-tiba potongan puding terjatuh ke meja. Hal itu membuat semua orang yang melihatnya tertawa lebar. Tampaknya keganasan Silvestri dalam hal makan, sampai terdengar oleh seorang vice president. Silvestri hanya bisa ikut tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Hahahaha…aku suka anak itu. Ingat tetap jaga kondisi selama liburan dan sebagai penutup kami para Board of Director ingin memberikan hadiah natal kepada staf pelatih dan seluruh pemain utama disini. Tina, silahkan bagikan kadonya.”
Tina sang sekretaris klub dan beberapa stafnya lalu muncul dari pintu lalu masuk ke ruangan membawa bungkusan besar. Lalu mereka membagi-bagikan 1 kotak kecil yang terbungkus kertas kado berwarna merah satu persatu kepada kami. Berapapun umurmu, menerima sebuah kado lalu mulai membukanya dengan tidak sabar adalah suatu hal yang tetap saja mengasyikan. Beberapa orang yang sudah membuka bungkusnya nampak kaget lalu berteriak kegirangan, membuat aku semakin penasaran. Kurobek perlahan kertas kado karena tidak ingin merusak apapun yang ada di dalamnya. Perlahan nampak kotak berwarna hijau, dengan tulisan berwarna emas di atasnya. Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat, di kotak itu ada gambar mahkota raja berwarna emas dan dibawahnya tertulis ROLEX.
Aku semakin terperangah ketika membuka kotak dan melihat isinya. Isinya sebuah jam tangan berwarna perak mengkilat elegan, lalu kubaca kertas kecil yang menyertainya. Itu adalah sertifikat keaslian jam tangan Rolex dan jam tangan tersebut bertipe ROLEX DAYTONA. Aku memang tahu Rolex adalah sebuah merk jam tangan mewah yang sangat mahal tetapi aku tidak menyangka manajemen tim akan memberikan kado jam tangan mewah seperti ini. Aku yakin ini sangat mahal tetapi aku tidak tahu seberapa mahal harganya. Lalu aku kemudian mendengar Mussaco berkata bahwa Rolex Daytona adalah jam tangan Rolex model terbaru yang baru dirilis tahun ini dengan harga 11.800 Euro !!!
Pantas saja semua terperangah kaget, senang, terkejut. Ada yang langsung memakainya, ada juga yang menaruhnya kembali di dalam box dengan perlahan-lahan dengan senyum tersungging. Bahkan ada yang tak sungkan langsung mendatangi signor Raimondi untuk memeluknya. Ini adalah kado luar biasa buat seluruh tim dan ini kado natal paling mahal yang pernah aku terima. Dengan gaji 500 Euro per minggu atau 2.000 Euro per bulan yang aku peroleh saat ini, aku mesti menabung 6 bulan gaji terlebih dahulu baru bisa membeli jam semewah ini.
Aku jadi berpikir, jika seorang presiden sebuah tim kecil yang bermain di Serie-B saja mampu menghadiahkan pemain utama dan tim pelatihnya masing-masing jam Rolex, lalu kado natal seperti apa yang diterima oleh para pemain yang bermain di tim-tim besar seperti Juventus, AC Milan, Inter, AS Roma, Lazio, Bayern Munich, Barcelona, Real Madrid atau tim terkaya di era millennium yakni Manchester United? Itu pun baru kado natal !
Lalu bagaimana dengan bonus kemenangan yang diperoleh jika tim-tim besar tersebut memenangkan juara liga maupun juara Piala Champion ? Tubuhku bergidik membayangkannya dan dari dalam diriku muncul sebuah ambisi, ambisi untuk menjadi pemain hebat lalu bergabung dengan tim-tim besar yang kaya raya. Dan setelahnya mungkin di sepanjang sisa karirku nanti, aku, kakek dan calon istri beserta anak-anak kami nanti, bisa hidup bahagia tanpa perlu lagi mengkhawatirkan tentang yang namanya uang.
“Saya senang melihat kalian semua begitu menyukai kado natal ini dan seharusnya kalian berterimakasih langsung kepada signor Paoletti karena beliaulah yang membelikan kado tersebut menggunakan uang pribadinya. Dan saya masih ada kado lagi dan kali ini untuk tim. Karena performa tim di atas lapangan yang bagus, membuat kondisi finansial tim juga ikut mendapat dampak positif. Beberapa sponsor tertarik bekerjasama dengan kita dan ada yang menjanjikan bonus besar jika kita bisa lolos ke Serie-A musim depan. Maka kami dengan senang hati akan memberikan tim suntikan dana untuk aktif berbelanja di jendela transfer musim dingin Januari 2001 sebesar 1 juta Euro.”
Saya melihat 2 direktur tersenyum lebar mendengar hal tersebut. Direttore Tecnica Luca Sansone dan Chief Scout Massimo Ciumento. Dengan dana belanja 1 juta Euro, tentu mereka bisa lumayan leluasa bergerak di calciomercato (bursa transfer pemain) Januari nanti. Kulihat allenatore (pelatih) signor Mutti tetap terlihat tenang sementara asisten pelatih signor Malusci mengepalkan kedua tangannya di udara lalu bertepuk tangan. Sementara untuk para pemain, ada beberapa ekspresi yang aku tangkap. Para pemain yang menanggapi dengan ekspresi dingin rencana tim akan aktif di Calciomercato adalah para pemain yang jarang mendapat kesempatan bermain, tentu saja berpikir tentang status dan nasib mereka di tim nanti. Sementara ekspresi pemain yang tetap tenang adalah mereka para pemain senior yang tidak terlalu peduli dengan calciomercato.
Tetapi aku bisa melihat kilatan mata mereka menjadi lebih tegas, sebuah keyakinan bahwa mereka layak dipertahankan dan kedatangan pemain baru berarti tim berambisi secara serius untuk menambah kekuatan tim. Sementara para pemain yang tetap gembira bahkan masih saja excited saling memamerkan jam Rolex baru mereka adalah segerombolan pemain muda dengan mental payah yang tidak mengerti psikologi yang dimainkan oleh signor Raimondi. Mereka seakan tidak menangkap maksud perkataan signor Raimondi bahwa tim akan aktif di calciomercato, itu berarti siapa saja yang bermain jelek, kontribusi kecil, bersiaplah angkat kaki dari Cosenza dan bisa saja tahun depan mereka meneruskan karir di klub-klub Serie-C maupun tim yang lebih kecil.
“Ini adalah tahun yang luar biasa buat kita semua, semoga tahun depan akan menjadi tahun kita semua. Angkat champagne kalian ! sebagai penutup, saya ucapkan selamat berlibur, BUON NATALE (Selamat Natal) E (dan) FELICE ANNO NUOVO 2001 (Selamat tahun baru 2001) !! DIO CI BENEDICA (Semoga Tuhan memberkati kita semua) !!
Secara serempak kami berdiri sambil mengangkat champagne. Setelah saling berpelukan mengucapkan selamat natal dan selamat tahun baru, kami semua pulang untuk bersiap karena liburan musim dingin telah resmi dimulai. Malam itu aku pulang bersama dengan Silvestri, dan syukurlah salju sudah berhenti. Ketika melintasi jembatan, aku melihat ke atas ke arah bukit Rende. Seluruh atap rumah-rumah tertutup oleh salju, tetapi justru salju membuat kilatan lampu jalan raya semakin mengkilap cantik. Putihnya salju, lampu-lampu kekuningan berpadu dengan gelapnya malam dimana beberapa bintang masih setia bersinar terang. Aku sungguh menyukai pemandangan ini, pemandangan Cosenza ketika bersalju, ini adalah tanda Natal akan segera tiba.
Orang tuaku berdua meninggal akibat kecelakaan mobil ketika aku berusia 2 tahun. Terlalu kecil untuk anak seusiaku waktu itu, untuk membentuk memori masa kecilku dengan orangtuaku. Aku sama sekali tidak bisa mengingat wajah papa mama dan masa-masa kecilku bersama mereka, hanya foto-foto lama yang tersimpan di album foto kakek dan 1 foto terakhirku bersama mama dan papa yang kugantung di kamarku, yang menjadi pengingatnya.
Selamat Natal, Papa….Mama….Semoga kalian bahagia disana dan semoga malam ini kalian mau datang berkunjung menengokku lewat mimpi. Aku rindu kalian, batinku
Aku kemudian menangis sesengukan. Aku tidak perduli Silvestre melihatku menangis. Sesampai dirumahku dan sesaat sebelum dia pulang, Silvestri memelukku sambil berbisik, "Aku akan selalu ikut mendoakan kedua orangtuamu, Mateo. Buat mereka bangga."
Kubalas pelukan Silvestri lebih erat, betapa baik sekali sahabatku ini.
Pintu rumah terkunci, lalu aku mengeluarkan kunci cadangan rumah yang selalu kubawa. Setelah masuk, kulihat ruang tamu dan ruang keluarga lampunya sudah padam. Ini berarti kakek sudah tidur, kulihat jam di dinding, hampir jam setengah dua belas malam. Aku lalu membuka pintu kamar kamar kakek pelan-pelan,karena aku tidak ingin membangunkannya. Dari lampu baca yang masih menyala di samping tempat tidur, kakek tertidur masih mengenakan kacamata bacanya dalam posisi bersandar di ranjang sambil memegang buku.
Aku mendengar dengkuran halus kakek. Segera kulepas kacamata kakek dan kutaruh di meja. Kuambil buku dari pangkuan kakek dan kuletakkan di meja. Aku tersenyum ketika mengetahui buku yang dibaca oleh kakek, “The Adventure of Oliver Twist”. Kisah petualangan favoritku. Dulu sewaktu aku kecil, kakek sering membacakanku kisah sebelum aku tidur.
Buku ini adalah buku yang sama dibacakan kakek untukku. Masih nampak bagus. Lalu perlahan aku membantu membaringkan tubuh kakek agar lebih nyaman. Kupandangi wajahnya yang semakin menua dia usia 65 tahun. Kakek yang selama 16 tahun membesarkanku dengan penuh kasih sayang. Kucium pipi kakek sebelum aku keluar dari kamarnya.
Aku segera naik ke atas ke kamarku, kulepas jaket merah Cosenza dan kuganti dengan sweater coklat kesayanganku. Kemudian aku juga mengganti celana jeans dengan celana training panjang lalu aku segera beranjak ke tempat tidur. Kulihat dari jendela, salju tipis turun lagi. Aku segera menarik selimut dan menenggelamkan diriku dengan kehangatan.
***
Pukul jam 7 pagi aku terbangun dan kudapati diriku bangun dengan kondisi seperti orang yang habis menangis. Aku kepikiran dengan mimpi yang baru saja kualami semalam dan masih sangat teringat jelas. Semalam aku bermimpi sedang berdiri sendirian di tengah lapangan sepakbola. Di sebuah stadion yang sangat mirip dengan Stadio San Vito, bahkkan stadion tersebut juga memiliki lintasan lari di sekeliling lapangan. Tapi aku seolah tahu ini bukan Stadio San Vito.
Aku mengedarkan pandanganku mengelilingi seisi stadion misteius ini. Semua tribun dan tempat duduk terisi penuh, aku melihat tifosi melompat dan terus bernyanyi dengan sebuah bahasa yang belum pernah aku dengar sebelumnya, yang pasti bukan bahasa Italia maupun Inggris. Para penonton memakai sebuah jersey berwarna merah dipadu warna putih. Dan ternyata aku juga mengenakan jersey yang sama. Lagi-lagi aku tidak mengenali itu jersey dari tim mana. Aku merasa sangat senang sekali ketika mengenakan jersey tersebut. Perasaanku juga sangat bersemangat.
Ketika aku melihat ke arah tribun VIP yang tertutup atap berwarna biru, aku bisa melihat dengan jelas kakek Javier tengah melambaikan tangan kepadaku. Dan kakek tidak sendirian, di samping kiri kakek kulihat seorang pria berpakaian rapi yang sangat mirip denganku dari segi postur dan bentuk wajah. Sementara di samping kanan kakek kulihat seorang wanita muda yang sangat cantik dengan rambutnya yang hitam bergelombang.
Ketika wanita tersebut tersenyum, aku seperti sedang melihat diriku sedang tersenyum di depan kaca. Wanita cantik tersebut memiliki senyum yang sama denganku. Keduanya melambai kearahku sembari tersenyum lebar. Aku langsung mengenali keduanya yang berdiri mengapit kakek Javier. Mereka berdua adalah Papa dan Mamaku. Aku merasa sangat bahagia sekali. Dan tampaknya itulah penyebab kenapa aku menangis sampai aku terbangun.
Pertanda apakah ini?
Lalu, jersey dari tim manakah yang aku kenakan tersebut?
Setelah mencuci muka, menyikat gigi, aku segera turun ke bawah, kudapati kakek sudah rapi memakai kaos polo putih dan cardigan berbahan wol hasil rajutan nenek, celana panjang coklat dari katun sedang membaca koran dan menikmati teh hangat di ruang tamu. Rutinitas sebelum beliau pergi ke showroomnya.
“Buongiorno (Selamat pagi) Mateo.” Katanya kepadaku lalu kembali mengarahkan pandangan ke koran Nuova Cosenza yang dipegangnya.
“Buongiorno nono (Selamat pagi kakek)..cup” Kucium pipi kakek lalu ke dapur untuk sarapan pagi. Kulihat di meja dapur ada sandwich, salad dan buah-buahan. Kuambil sandwich isi ikan tuna, sebutir apel dan segelas air putih. Kubawa sarapanku ke ruang tengah.
“Tumben kamu bangun jam segini?”
Aku sempat ingin bercerita tentang mimpiku semalam, tapi aku mengurungkan niat untuk menceritakannya.
“Hehehe hawanya dingin banget semalam, jadi enak buat tidur.” Kataku sambil menggigit sandwich isi ikan tuna yang disiapkan kakek dan seperti biasa rasanya sangat enak.
“Pulang jam berapa kemarin?”
“Sampai rumah jam setengah 12 malam kalau tidak salah. Acara makan malamnya sangat menyenangkan, banyak makanan enak. Apalagi kami mendapat kado natal dari signor Raimondi yang sangat wow.”
“Kado natal yang wow?” Tanya kakek penasaran.
“Jam tangan. Tetapi bukan sembarang jam tangan. Jam tangan mewah Rolex seri Daytona kek! Dan kata Musacco harga jam tangan tersebut hampir 12.000 Euro !”
“Wow… Mahal sekali.. Semua orang dapat?”
“Seluruh pemain utama dan staf pelatih mendapat masing-masing satu.”
“Banyak uang juga Cosenza.”
“Kata signor Raimondi sih, itu kado dari signor Paoletti pribadi. Dan tim juga mendapat kucuran dana segar 1 juta Euro untuk membeli pemain baru. Manajemen sangat total sekali mendukung kami.”
“Iya baguslah, tetapi kalian sebaiknya mulai melupakan posisi kalian di klasemen liga. Fokus saja setiap pertandingan satu demi satu seperti menghadapi pertandingan final, tidak usah memperhatikan hasil pertandingan lain. Dan kamu juga mesti lebih bijak dalam mengambil keputusan, aku lihat di pertandingan terkahir kamu terlalu banyak membawa bola dan pamer skill yang tidak perlu. Bermainlah lebih sederhana dan efektif. Tetapi aku semangatmu ketika bertanding dan finishingmu semakin mematikan.”
Akhirnya muncul juga kritikan tajam dari kakek, beliau adalah kritikusku nomer 1. Tapi aku sangat senang menerima kritikannya karena yang beliau katakan memang benar. Kakek selalu mengajarkan kepadaku untuk mengatakan sesuatu apa adanya. Jika bagus bilang bagus, jelek bilang jelek, benar bilang benar dan salah bilang salah.
“Siap comandante (komandan) Javier Rocco !” Sambil memperagakan sikap hormat ala militer.
Kami berdua lalu tertawa dan mengobrol banyak hal. Tiba-tiba aku teringat pesan Daniela.
“Oia kek.. Daniela punya ide nih soal perayaan malam tahun baru nanti. Dia mengajak aku dan kakek datang ke Milan untuk liburan sekaligus merayakan pergantian tahun baru disana. Aku bilang kepadanya aku tidak mau berangkat jika kakek juga tidak mau ikut.”
Kakek lalu menutup koran, melipatnya lalu meletakkannya di atas meja, menyeruput teh pahitnya.
“Hmmm..Ini ide Daniela atau ide darimu?”
“Ide Daniela. Tapi kalau kakek tidak mau ke Milan juga tidak apa-apa. Kita tetap di Cosenza saja juga tidak masalah.” Sahutku cepat sambil mengunyah sebutir apel merah yang segar dan manis.
“Oke.” Jawabnya singkat.
“Oke? Oke apaan nih. Oke kita berangkat liburan ke Milan atau Oke kita tetap di rumah saja.?” Tanyaku tentang jawaban kakek yang ambigu.
“Oke kita berangkat liburan ke Milan, hehe!!” Katanya tertawa.
“Sii (yess) ! Tumben kakek langsung mau?”
“Kakek mau karena ini ide Daniela. Karena dia pasti punya rencana selama disana nanti. Kalau ternyata ini ide darimu kakek akan menolaknya karena kakek tidak mau seperti orang bingung disana tidak jelas mau kemana, karena kakek tahu kamu seorang perencana liburan yang buruk.”
“Hahaha. Tampaknya Daniela juga tahu, makanya dia bilang kalau kita mau pergi ke Milan, dia akan segera pesan tiket dan booking hotel. Pokoknya dia semua yang mengatur.”
“Baguslah. Jelas Daniela punya agenda yang jelas disana. Oia Daniela sudah pulang ke Milan?”
“Belum. Katanya sih nanti malam dia pulang.”
“Oh iya..Bilang Daniela sebelum dia pesan tiket, kita ke Milan tanggal 31 penerbangan pertama saja. Terus aku pulang kesini tanggal 2 penerbangan pertama, kalau kamu sih terserah mau pulang kapan. Kamu diberi waktu libur sampai tanggal berapa?”
“Siap..Kami harus berkumpul tanggal 7 karena tanggal 16 liga sudah dimulai.”
“Oke..Oh iya, kakek juga jadi ingat sesuatu. Malam Natal kita pergi ke rumah Juan, mereka mengundang kita makan malam disana. Kamu bisa kan?”
“Bisa kek. “ Juan adalah adik kandung kakek yang tinggal di Lamezia di sisi lain kota Cosenza. Paman Juan memiliki 4 anak. Dan sudah memiliki 2 cucu. Pasti ramai dan menyenangkan bertemu dengan Paman, Bibi dan keluarga lainnya.
“Bagus, kakek pergi dulu. Mobil saya bawa, kalau nanti kamu mau pakai untuk mengantar Daniela, datang saja ke Showroom. Nanti kakek pulang bisa bareng dengan Piter.”
Piter adalah karyawan kepercayaan kakek.
“Baiklah.”
Setelah kakek pergi, aku langsung telepon Daniela memberi kabar bahwa kakek mau liburan ke Milan. Begitu mendengarnya Daniela sangat girang sekali. Aku juga menyampaikan permintaan kakek tentang tanggal keberangkatan ke Milan dan tanggal beliau pulang ke Cosenza. Daniel hanya bilang beres, pokoknya kami berdua tenang saja biar dia yang menyiapkan. Daniela juga bilang, aku diminta menjemput dia di kampus jam 5 sore baru kemudian mengantarnya ke bandara. Setelah aku mengiyakan, telepon kututup. Aku memikirkan rencana mau ngapain saja hari ini. Sambil berpikir, aku pergi ke garasi untuk memanaskan mesin motorku yang semenjak salju turun otomatis tidak aku pakai untuk pergi karena jalanan licin lumayan berbahaya jika naik motor.
***
Lamezia Terme Aeroporto, Cosenza - Dicembre (Desember) 23, 2000, 08:43 AM
(POV SILVESTRI)
Aku terus-menerus melirik jam Rolex Daytona yang kupakai di tangan kiri, entah untuk apa. Yang pasti dari jadwal kedatangan yang terpampang di lobi bandara, pesawat dari Perugia yang ditumpangi oleh Ilary sudah mendarat dengan aman 15 menit yang lalu. Aku lega karena penerbangan Ilary tidak ada masalah. Pagi ini cuaca tidak terlalu dingin, tapi badanku menggigil. Bukan karena kedinginan tetapi lebih ke grogi. Ya grogi karena setelah sekian lama janji yang tidak bisa terlaksana karena kesibukanku, akhirnya hari ini aku bisa bertemu dengan gadis yang aku suka.
Untuk menepiskan perasaan grogi, aku kemudian membeli hamburger daging keju dan diet coke. Setelah mendapat tempat duduk yang tidak jauh dari pintu keluar, aku kemudian memakan hamburgerku. Aku tidak peduli jika junkfood tidak baik untuk seorang atlet sepertiku, yang penting aku bisa tenang. Handphone dan Diet Coke kuletakkan di kursi kosong disampingku. Pagi itu suasana bandara belum terlalu ramai, kemungkinan siang ini akan padat karena banyak orang akan bepergian meninggalkan Cosenza sehari sebelum Natal yang bertepatan dengan hari Sabtu. Natal dan Sabtu. Sebuah kombinasi yang sempurna untuk membuat keramaian hari raya semakin meriah.
Saat hamburger masih tinggal satu gigitan, aku mendengar handphoneku berdering keras, kulihat Ilary menelepon. Aku langsung panik dan buru-buru meraih handphone, tetapi tanganku malah menyenggol segelas Diet Coke dan mengakibatkan minuman yang masih penuh tersebut tumpah mengenai handphone. Dan tiba-tiba saja handphoneku berhenti berbunyi alias mati. Aku berteriak seperti orang gila, lalu segera meraih handphone dan mengelap sebisanya dengan bajuku lalu kemudian mencoba menyalakannya, aku lega ketika layar handphone kembali menyala tetapi 5 detik kemudian langsung padam dan aku seperti mendengar desisan dari handphone.
“Aduh, seharusnya anda jangan langsung menyalakan handphonemu, bung. Kemungkinan air cola masuk sampai ke dalam handphone dan membasahi bagian dalamnya.” Sahut seseorang dari arah belakangku.
Kulihat seorang pria yang tidak aku kenal yang duduk dibelakangku memberikan saran.
“Kemungkinan besar suara desisan tadi adalah suara korsleting dari hardware handphone yang basah ketika kamu paksa hidupkan tadi. Segera kamu bawa ke Service Center saja. Ah kakak saya sudah datang. Aku duluan bung.” Lanjut pria tersebut lalu pergi.
“Grazie (terimakasih)..” Kataku lemas melihat handphone Nokia ku mati total akibat keteledoraku. Bukan handphone yang aku tangisi, tapi isi-isi SMS dari Daniela yang tidak ada satupun pesannya yang aku hapus dan aku buatkan folder sendiri. Belum lagi Ilary juga mesti bingung kenapa tiba-tiba handphoneku tidak bisa dihubungi.
Di saat aku tengah kebingungan memandangi handphoneku yang rusak, aku mendengar suara seorang wanita tertawa dan berkata sesuatu.
“Hihihihi…Dasar ceroboh.”
Aku segera menengok ke arah suara dan kulihat seorang wanita cantik berambut pirang memakai kacamata hitam, mengenakan penutup kepala berwarna hitam, memakai jaket hitam, memakai sarung tangan kulit berwarna hitam, sabuk dan celana panjang jeans berwarna hitam yang bermodel ketat dipadu dengan sepatu heels hitam bahkan tas tangan yang ditentengnya pun juga berwarna hitam. Hanya kaosnya saja yang tidak berwarna hitam yakni berwarna putih. Siapa wanita ini? Aku menatapnya dari atas sampai bawah. Dan pahanya yang besar menjadi daya tarik tersendiri.
“Woiy..Silvestri…Kamu kok malah diam sih? Kamu tidak mengenali aku?” Kata wanita tersebut sambil melepas kacamata hitamnya.
Wow…Cantik….mirip Ilary….
Mirip…Ilary?
Itu Ilary !!!! Goblogg !!
Arghhhhh, !!
Terjadi dialog imajiner yang bodoh dikepalaku.
“I….Ilary???” Aku bertanya kepada wanita tersebut.
“Iyaaaa. Payah...Katanya setiap malam kamu ingat aku terus….ah bohong.” Ejeknya.
“Maaf…maaf! Aku tidak langsung mengenalimu..karena….karena….Ilary yang aku bayangkan setiap malam sebelum tidur, tidak bisa menyamai kecantikanmu sekarang, eh?!” Aku terkejut kata-kata tersebut meluncur begitu saja dari mulutku.
“So sweettt.!” Ilary menghampiri dan langsung memelukku. Aku diam mematung, tak bereaksi, tidak membalas pelukannya. Aku tidak menyangka dia akan memelukku. Dada Ilary terasa sekali saat memelukku.
“Lah kok melamun terus sih..Ayooo.!” Katanya sambil menarik satu koper besar. Lagi-lagi berwarna hitam.
“I.iiya.” Aku segera mengantongi handphone ke dalam kantong saku celana.
Kulihat Ilary agak kesulitan menarik koper yang terlihat berat tersebut.
“Biar aku yang bawa.” Sambil meraih pegangan koper. Sempat terpegang tangannya yang tertutup sarung tangan.
“Makasih..Hehhehe..” Jawabnya sambil menepuk lengan kananku.
“Eh …Silvestri…Aku lapar…kita sarapan dulu yuk kesitu.” Katanya sambil menunjuk salah satu tempat makan fast food yang berada tidak jauh dari kami.
“Yuk..” Kataku.
Kami berjalan beriringan, Ilary menggamit lengan kananku saat kami berjalan bersisian. Aku lihat banyak pria yang menatap ke arah kami, ehmm, bukan kami. Lebih tepatnya ke arah Ilary. Penampilan Ilary memang terlihat sedikit tomboy, tetapi dengan wajah secantik dan tubuh seindah Ilary, laki mana sih yang tidak suka .melihatnya. Aku merasa bangga dan senang sekali. Ini gadisku, kalian jangan macam-macam dengannya, batinku. Tubuh tinggi besarku membuat beberapa pria yang hendak menggoda Ilary mengurungkan niatnya.
Kami sarapan dulu sebelum aku mengantar Ilary ke rumah pamannya di Rende. Meskipun aku sudah sarapan 2 hamburger tadi, aku akhirnya ikut memesan makanan. Selama kami sarapan, dia menjelaskan waktu dia keluar dari pintu kedatangan, dia sudah melihatku tetapi takut salah orang. Makanya dia meneleponku. Akhirnya dia yakin bahwa pria yang menunggunya tersebut adalah aku karena waktu dia menelpon ke handphoneku, handphoneku pria tersebut bunyi. Dan yah adegan aku yang panik saat mau mengangkat telepon, menumpahkan coke, membasahi dan merusak handphoneku, Ilary telah melihatnya sejak awal. Ilary bilang ternyata aku orangnya kocak banget. Aku hanya bisa tertawa sambil salah tingkah.
Selesai makan, kami menuju parkiran. Sampai di mobilku, ehm mobil ibuku lebih tepatnya, kumasukkan koper besar tersebut ke bagasi belakang. Setelah kami masuk mobil, kutanya dimana alamat lengkap rumah pamannya, jawaban Ilary membuatku kaget.
“Kita ke hotel saja.” Katanya santai.
“Ho…ho…tel?” Aku tergagap.
“Iya. Hotel. Terserah hotel mana. Kamu saja yang pilih.”
“Nga…pain?”
Ilary melihatku dengan tatapan heran.
“Istirahatlah. Aku ngantuk dan capek banget.”
“Kan bisa tidur di rumah pamanmu.”
“Gak ah. Kalau di rumah paman, aku kan tidak bisa tidur sama kamu.” Katanya santai sambil merapikan rambut.
Glek.
“Ti…tidur…sa…ma…aku?” Lagi-lagi aku tergagap.
“Iya…masak sama pamanku.!”
Glek.
“Kamu tidak di tunggu oleh pamanmu di rumah?”
“Aku bilang ke paman, aku ambil penerbangan malam, jadi kita masih punya banyak waktu samapi sore,hehehe.” Katanya sambil membuat tanda V dengan tangan kanannya dan menjulurkan lidahnya ke arahku. Menggemaskan sekali.
“Udahlah, ayo jalan. Capek nih abis terbang 2 jam.”
Aku kemudian melajukan mobilku sambil berpikir dimana sebaiknya aku mencari hotel. Hotel di Cosenza sih banyak. Tapi aku tidak mau memilih hotel yang dekat rumah, karena bisa ketahuan sama keluargaku bisa panjang urusan. Aku kemudian ingat ada sebuah hotel bintang 3 ke arah Rende tetapi belum masuk ke daerah Rende. Italiana Hotel. Yak itu tujuanku. Aku berharapa ada kamar kosong untuk semalam. Semakin dekat dengan tujuan, pikiranku semakin aneh-aneh. Apa ini kode dari Ilary? Kode apa coba? Meskipun kami sering bercanda tentang hal-hal yang intim dan sifatnya pribadi, tetapi begitu bertemu langsung, jangankan bercanda yang menjurus ke aneh-aneh, yang ada aku malah grogi dan panik saat bersamannya.
15 menit kemudian kami sampai di hotel. Aku lihat parkiran di depan lobinya sudah penuh, jadi mau tak mau aku mesti parkir dulu di basement. Sampai di basement aku meminta Ilary untuk menunggu di mobil, biar aku yang turun dan bertanya apakah ada kamar kosong. Sampai di resepsionis, aku bertanya apa ada kamar yang kosong, Resepsionis cewek tersebut bilang untuk menunggu sebenar. Tak lama kemudian, resepsionis bilang hampir semua kamar sudah full booked. Yang tersisa hanya kamar kelas suite, 200 Euro per malam untuk single bed + 1 x sarapan.
Ah sial.. Mahal sekali, tapi kemudian aku teringat kata-kata Ilary.. ‘Kalau di rumah paman, aku kan tidak bisa tidur sama kamu’..Aku langsung setuju untuk mengambilnya. Setelah melakukan pembayaran dan meninggalkan data dan kartu identitas, si resepsionis menyerahkan 1 kunci kamar no 507. Berarti kamarnya berada di lantai 5 dan tidak jauh dari lift. Aku kemudian menyusul Ilary. Ilary aku lihat sedang menelpon seseorang ketika dan ketika aku mendekat, Ilary tersenyum kepadaku lalu mematikan handphonenya.
“Ada kamar kosong?”
“Ada. Di lantai 5.” Aku hendak menambahkan kata ‘kamar kelas suite” tetapi aku urungkan karena aku takut Ilary akan berpikir yang macam-macam.
Setelah mengeluarkan koper besar dari dalam bagasi mobil, aku mengajak Ilary ke lobbi. Aku lihat tadi liftnya berada di dekat meja resepsionis. Seorang petugas hotel langsung sigap membawakan koper Ilary setelah melihatku membawa 1 koper besar dan bertanya berapa kamar nomerku. Saat kami bertiga berada di dalam lift, dia bertnya kamar no berapa, kujawab kamar 507. Dia mengangguk dan memencet tombol 5 di lift. Setelah kami sampai lantai 5 dan menunjukkan kamarku, aku tahu dia pasti minta tips. Aku ingat ada uang 1 Euro di saku kiriku. Aku langsung merogoh kantungku dan tanpa melihatnya berapa yang aku keluarkan, segera aku berikan kepada petugas hotel.
“Wow…besar sekali tips dari anda. Ini serius.?”
Aku kaget saat dia bertanya seperti itu dan kulihat di tangan petugas, dia memegang selembar uang 20 Euro.
Aku langsug merogoh uang di saku kananku, kulihat dari atas, ada uang 1 Euro. SIALAN !! aku salah ambil ambil uang !!. Aku hendak menukar uang tersebut dengan 1 Euro. Tetapi karena ada Ilary yang menungguku membuka pintu, aku malu dan gengsi untuk meminta tukar uangnya. Maka dengan nada sok cuek, aku bilang ke petugas hotel, iya ambil saja. Dia semakin girang dan mohon pamit dengan muka sangat ceria.
Sialan…uang 20 Euro ku melayang begitu saja, rutukku dalam hati.
Aku lalu segera membuka pintu kamar dan Ilary masuk lebih dahulu membawa kopernya. Kulihat dia berjalan ke arah jendela dan dia meyibak sedikit tirai, melongok ke pemandangan sekitar lalu merapatkan lagi tirainya. Setelah kututup pintu, kutaruh kunci kamar ke dalam slot. lampu kamar langsung menyala terang. Kubuka jaket dan kugantung di tempat pakaian di dekat pintu. Aku kemudian masuk ke kamar mandi karena ingin buang air kecil.
Begitu keluar dari kamar mandi, aku melihat pemandangan yang membuat mataku melotot. Aku melihat Ilary duduk di ranjang, entah kapan dia mengganti jaket hitam dan celana panjang jeans ketatnya dengan jaketnya dengan baju tidur berwarna putih tanpa lengan bermotif renda di bagian dada dan panjang baju tersebut yang hanya sedikit menutupi pahanya.
“Silvestri, ayo kesini.” Katanya sembari menepuk ranjang.
Glek
Aku masih mematung.
“Malah bengong, ayo kesini. Temanin aku bobok siang sebentar, aku ngantuk banget karena semalam teman-temanku disana mengadakan acara perpisahan sampai malam. Udah gitu, aku mesti bangun pagi-pagi karena jadwal terbang ke Cosenza ambil penerbangan pertama.” Kata Ilary sambil membaringkan badannya di ranjang.
Akhirnya aku bisa menggerakkan tubuhku dan menghampiri Ilary di tempat tidur.
“I..i..iya..” Suaraku terdengar terbata-bata.
Begitu aku ikut berbaring di samping Ilary, dia langsung memeluk tubuhku dan memejamkan matanya. Aku tidak berani bergerak selama beberapa menit. Kemudian aku mendengar suara nafas Ilary mulai teratur. Ilary sudah terlelap. Tapi tangan kanan Ilary yang terjulur memeluk dadaku, justu aku takut malah membuatnya terbangun karena bunyi degup jantungku yang begitu kencang. Untuk menghilangkan perasaan berdebar, aku menengok ke kanan dan kini bisa kulihat wajah Ilary dengan leluasa.
Dia begitu cantik dengan rambut pirangnya yang bercampur dengan warna kecoklatan. Membuat kulitnya yang putih tidak terlihat pucat. Alis matanya yang hitam, hidungnya yang mancung dan bibir bagian bawah yang sedikit lebih tebal dibandingkan bibir atasnya. Entah jenis lipstick apa yang dipakai olehnya tetapi warnanya sangat natural dan pas menghiasi bibirnya. Aroma parfum yang menempel di tubuhnya juga tercium olehku sangat wangi. Kuhirup kuat-kuat aroma tersebut. Hmmm…susah untuk diungkapkan.
Kulihat juga tali bra yang dikenakan berwarna hijau muda menyembul keluar, dadanya juga menempel di perutku. Posisi pahanya yang menyamping, membuat bagian bawahnya tersibak. Betapa pahanya sangat putih dengan dan membentuk gugusan sempurna dengan pinggul dan pantatnya yang menjadi fantasiku. Pantat Ilary yang besar dan kencang juga terlihat dari cetakan bajunya. Uh ingin rasanya aku tepok-tepok.
Kami tidak berubah posisi selama 15 menit dan leherku mulai kram karena terus menengok ke arah Ilary. Sementara aku rasakan degup jantungku sudah kembali normal karena sudah terbiasa dengan kehadirannya. Saat aku sedang menatap kembali wajahnya, Ilary bergumam pelan tanpa membuka matanya.
“Peluk aku.” Katanya sambil mengeratkan pelukannya di tubuhku.
Tanpa terlalu banyak berpikir, aku memiringkan tubuhku ke kanan membalas pelukannya. Kini kami saling berbaring menyamping berpelukan sempurna. Tangan kiriku berada di belakang punggungnya yang tertutup sebagian baju tidurnya. Aku dapat merasakan tipisnya baju tidurnya Ilary. Lama-lama aku mengelus pelan punggungnya naik turun, saat naik, telapakku mengenai kulit punggungnya yang tidak tertutup baju. Ilary nampaknya suka dengan elusanku, karena dia semakin meringkungkkan badannya ke tubuhku. Membuat kepalanya tepat di depan leherku, karena dapat kurasakan hembusan nafasnya naik turun dengan teratur mengenai leherku. Dan itu membuatku merinding.
Kucium lembut kepalanya dan kuelus-elus juga rambutnya. Aku tidak ingin beranjak dari sini, Aku ingin terus merengkuh Ilary. Suasana kamar yang dingin sekaligus nyaman membuatku ikut mengantuk. Ternyata aku cukup lelah dari semalam akibat grogi dan susah tidur menyambut hari ini sampai kekacauan kecil pagi tadi di bandara. Tak lama kemudian aku tertidur sambil memeluk Ilary. Pukul 3 sore aku terbangun karena lapar. Kulihat Ilary masih tidur di sampingku, dalam posisi telentang. Aku bisa melihat betapa indahnya cetakan tubuh Ilary. Sangat sempurna.
Aku kemudian menelepon resepsionis, memesan 1 kopi capucinno,1 jus jeruk dan sekotak pizza mozzarella. Resepsionis memintaku menunggu, paling lama 20 menit pesananku datang. Aku ingin mandi lagi sebenarnya tetapi pesanan akan datang sebentar lagi, Kuputuskan untuk berbaring lagi. Sambil melihat pemandangan yang sangat menggoda di depan mataku. Tapi akhirnya aku mengambil selimut dan menutupi tubuh telanjangnya karena kamar terasa semakin dingin. Tak lama kemudian, pintu kamar ada yang mengetuk. Aku segera memakai baju dan celanaku lagi. Setelah kubuka pintu kamar, pesananku datang. Kuberi pelayan tersebut tip 1 Euro. Saat aku membawa nampan berisi sekotak pizza yang masih hangat dan mengeluarkan aroma yang harum ke meja yang berada di samping tempar tidur, Ilary terbangun.
Dia mengeliat dan rupanya cukup terkesan dengan sikapku yang tadi menyelimuti tubuhnya. Dia turun dari tempat tidur, melilit badannya dengan selimut.
“Aku minta ya sayang..Lapar.hehehehe.”
“Iya..sini duduk..kita makan berdua.”
“Sayang, nanti sebelum mengantarku ke rumah paman, kita dinner dulu yuk.” Kata Ilary tiba-tiba.
“Wow…sudah lapar lagi?Hahhaha.”
“Ya engga. Biar nanti sampai rumah paman, aku tinggal tidur.”
“Iya…iya….”
“Ajak Mateo dong.” Katanya.”
“Hah, ajak Mateo? Kenapa?”
“Ya biar seru aja kalau makan rame-rame.”
“Ah , paling dia sedang ada acara nanti malam dengan pacarnya. “
“Ya gak apa-apa. Kita double date sekalian. Biar seruuu. Ya…Ya?”
“Iya..” Aku segera merogoh handphone di saku celana dan tiba-tiba aku baru ingat, handphoneku kan sedang rusak.
“Pakai handphoneku saja. Tuh ada di dalam tasku.” Kata Ilary.
Aku lalu mengambil tas Ilary di meja dan kuberikan kepadanya. Aku merasa sungkan untuk langsung mengambil handphone dari tasnya langsung.
“Nih.” Kata Ilary seraya menyodorkan handphone.
Aku yang sudah hapal di luar kepala nomor handphone Mateo, segera menekan nomornya dan tak butuh waku lama, Mateo mengangkat dan menjawab.
“Selamat sore. Halo? Ini siapa?”
“Halo..Mateo..Ini aku, Silvestri.”
“Oii..Silvestri…Apa apa?”
“Eh kamu lagi dimana?”
“Lagi di kampus Ilary.. Eh..bentar-bentar. Kamu lanjut ngobrol dulu sama Daniela ya. Perutku mules.”
Aku lalu mendengar suara kresek-kresek.
“Haloooo…Silvestri…!”
Ku dengar Itu suara Daniela
“Haloo Daniela…udah mau Natal juga masih ke kampus aja sih. Kamu balik ke Milan kapan?”
“Aku balik besok pagi. Sebenarnya sih nanti malam tapi gak jadi karena masih ternyata ada tugas tambahan kampus yang belum selesai huhuhu. Mau libur malah ditambahin tugas.”
“Wah kebetulan sekali kalau begitu. Kami ingin mengajak kalian berdua makan malam nanti. Bagaimana?”
“Kami…Hayo kamu mau ngenalin pacar baru ya..hehehe”
“Hehehe. Ya gitu deh. Bagaimana kalian bisa kan?”
“Bisa dong. Aku sama Mateo juga tidak ada acara khusus nanti malam. Mau makan malam dimana?”
Aku berpikir sebentar memikirkan restoran untuk nanti malam. Lalu berrpikir tentang masakan lokal Calabria dimana Ilary pasti juga tertarik merasakannya. Dan aku terpikir satu nama restoran yang menyajikan menu makanan khas seperti itu.
“Bagaimana kalau di Callabria Bella Restaurant??”
“Iya…iya…aku setuju. Aku juga sudah lama tidak makan disana. Pengen makan Local Spigola yang enak itu..”
“Hahaha…oke..disana saja ya. Jam 7 kita ketemu ya.”
“Sip.”
Setealah telepon kututup , aku segera meminta tolong kepada resepsionis hotel untuk membooking meja untuk 4 orang disana. Tak lama kemudian resepsionis hotel menelpon bahwa meja sudah dibooking untuk 4 orang pukul 7 malam atas nama Christian Silvestri. Aku senang mendengarnya.
Lalu aku bercerita kepada Ilary nanti kita makan malam jam 7. Dia mengangguk senang. Lalu dia bilang ingin mandi duluan. Setelah melilit tubuhnya dengan handuk, dia bertanya kepadaku apakah mau mandi bareng, sontak aku senang mendengarnya. Begitu aku mau bangkit dari tempat tidur, buru-buru Ilary masuk ke kamar mandi lalu bilang dan sebelum menutup pintu kamar dia bilang dia bercanda karena kalau mandi bareng pasti bisa lama banget. Kami tertawa karena dia berhasil menggodaku. Aku melanjutkan menonton TV.
Aku tidak bawa baju ganti, gak mungkin aku memakai baju seperti ini untuk makan malam. Lalu aku bilang kepada Ilary bahwa aku mau pulang sebentar untuk ganti baju terus menjemput dia. Ilary mengangguk sambil membuka koper besarnya. Aku lihat sudah jam 6 sore. Aku segera bergegas pulang. Sampai di rumah, orang-orang rumah pada bingung memilih melihat tingkahku yang seperti dikejar orang gila. Aku segera memilih pakaian terbaikku, menyemprotkan parfum. Setelah aku berkaca penampilanku sudah ganteng, aku segera keluar.
Saat berpapasan dengan mama, aku mencium pipinya cepat dan berkata aku pergi makan dengan Mateo. Aku segera melesat ke hotel. 15 menit kemudian aku sampai dan memparkirkan mobilku di dekat lobi dan bilang ke security aku cuma parkir sebentar. Saat aku hendak menuju lobi, kulihat Ilary keluar dari lift. Dan hampir semua mata terutama laki-laki mengarah kepadanya. Bagaimana tidak, Ilary terlihat sangat cantik. Dia mengenakan dress lengan panjang model terusan yang panjangnya hanya sedikit di atas lutut.
Dia meneteng jaket yang tadi dikenakannya. Yang membuat Ilary terlihat semakin seksi adalah sepatu model boot yang panjang hingga di bawah lutut. Sehingga memperlihatkan lututnya yang putih kontras dengan pakaian yang dia kenakan yang lagi-lagi berwarna hitam. Kuhampiri Ilary dan mencium pipinya. Dan itu sukses membuat semua laki-laki yang memandang Ilary nampak iri kepadaku. Kami lalu segera menuju mobil dan berangkat ke Callabria Bella Restaurant.
***
Callabria Bella Restaurant, Cosenza - Dicembre (Desember) 23, 2000, 08:40 AM
(POV MATEO)
Aku tak berani menatap langsung ke arah Ilary. Cuma sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Ilary dan Daniela cepat sekali akrabnya. Sementara Silvestri serius menyimak dan menimpali obrolan mereka berdua. Karena yang Ilary dan Daniela omongkan adalah sesuatu yang sangat menarik minat Silvestri. Bukan tentang sepakbola, tetapi tentang makanan. Sementara aku hanya mendengarkan mereka saja.
“Wah kamu diterima di Cibo ya?Selamat!” Tanya Daniela sambil meyendok dessert berupa es krim Panna Cotta dengan toping caramel.
Cibo adalalh Culinery Institute of Bologna, sekolah masak terbaik di Italia saat ini yang tidak sembarang orang bisa masuk karena ada proses seleksi karena saking banyaknya peminat.
“Hehe makasih.”
“Kamu mau fokus di makanan apa? kuliner khas Italia, Eropa, Amerika, China atau Timur-Tengah.”
“Bukan kuliner yang komersil. Aku akan fokus ke makanan untuk kesehatan.”
“Loh bukanya semua makanan itu menyehatkan?” Timpal Silvestri.
“Iya semua makanan memang sehat. Tetapi yang aku maksud sehat disini adalah makanan sehat untuk atlet atau olahragawan atau siapa saja yang ingin merasakan menu makanan yang benar-benar terkontrol kadar nutrisi, kandungan protein, lemak dan sebagainya.”
“Wuihh keren banget idenya !” Puji Daniela.
“Grazie (Terimaksih) Daniela. Hampir 2 tahun saya bekerja sebagai assisten chef di sebuah kompleks latihan yang hampir setiap hari penuh, terutama di musim panas dan musim dingin ketika tim-tim sepakbola menjalani pusat pelatihan di Pontevaleceppi. Dari situ saya mulai tertarik ingin belajar lagi mendalami menu makanan sehat. Saya ingin mengubah stigma bahwa makanan sehat itu tidak selalu lezat. Beberapa sayuran memang sengaja tidak diolah agar tidak menghilangkan atau mengurangi kandungan gizi di dalamnya. Padahala ada teknik-teknik racikan bumbu olahan yang bisa menambah nikmat tanpa menghilangkan gizi justru malah menambah gizinya. Ini yang ingin saya pelajari disana. Chef Tedesshi yang menjadi mentor saya di Pontevaleppi sangat mendukung saya untuk menuntut ilmu di CIBO.”
“Luar biasa..berapa lama nanti di CIBO?”
“Saya ambil program yang 1 tahun. Kelas pertama akan dimulai akhir Januari tahun depan.”
“Hahahaha…ada yang baru jadian langsung di tinggal nih ye.” Goda Daniela.
“Apaan sih.” Jawab Silvestri yang tahu Daniela sedang menyindirnya.
“Gak apa-apa kok. Bologna ke Cosenza hanya 2 jam naik pesawat. Kalau salah satu diantara kami ada waktu, bisa saling mengunjungi.”
“Paling Silvestri yang akan lebih banyak kesana, mana tahan dia punya pacar secantik kamu tapi hubungan jarak jauh, hahahaha.”
Aku sedikit tertawa mendengar jawaban Daniela yang keluar jiwa isengnya terus-terusan menggoda Silvestri yang aku lihat wajahnya merah karena malu.
“Nah gitu dong, senyum. Masak daritadi cuma diem aja kayak orang sakit gigi, Biasanya kamu yang suka becandain Silvestri.” Kata Daniela kepadaku setelah sekian lama aku diam saja.
“Mmm…hehe..Engga kok..Aku diem karena….karean perutku mulai sakit lagi.” Kataku beralasan.
“Ya ampun belum sembuh juga dari tadi. Kamu salah makan atau apa sih. Habis ini kita periksa saja yuk.” Kata Daniela dengan nada sedikit khawatir.
“Gak usah. Nanti pulang mampir ke apotek buat beli obat sakit perut saja cukup. Aku ke kamar mandi dulu ya.” Kataku sambil ijin ke toilet.
Aku sempat melirik ke arah Ilary dan pada saat yang sama dia juga sedang menatapku dengan pandangan….menusuk.
Toilet pria terlihat kosong tidak ada orang. Sebenarnya perutku sudah tidak apa-apa. Aku hanya beralasan saja. Aku ingin menenangkan pikiranku sebentar. Karena kebohongan-kebohongan yang terpaksa kulakukan dari awal pertemuanku dengan Ilary sangat melelahkan. Apalagi ada 1 orang yang tahu benar bahwa yang aku omongkan adalah omong kosong yakni Ilary. Kemarin ketika aku selesai buang air besar saat berada di kampus bersama Daniela, Daniela bilang Silvestri mengajak kami berdua makan malam karena ingin mengenalkan pacar barunya yang bernama Ilary. Dan Daniela langsung mengiyakan ajakan Silvestri. Aku langsung pucat pasi mendengarnya.
Entah kenapa aku merasa Ilary-lah yang mempunyai ide untuk mengajak kami ketemuan. Dan sialnya Daniela juga menunda kepulangannya malam itu karena ada sesuatu yang belum selesai, membuat dia bisa ikut makan malam. Aku, Daniela, Ilary dan Silvestri dalam satu meja. Ini gawat. Kalau sampai aku salah omong atau malah Ilary yang membongkar rahasia kami, habis sudah riwayatku. Kepalaku sampai sakit karena mesti bersiap melempar kebohongan demi kebohongan untuk menutupi fakta bahwa aku nyaris menyukai Ilary dan berselingkuh dengannya.
Hanya saja dari mulai ketemu sampai kita mau selesai makan malam, aku bersyukur Ilary tidak melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Atau jangan-jangan Ilary mempunyai rencana lain??Otakku jadi panas membayangkan skenario-skenario jahat yang mungkin sedang disusun oleh Ilary.
Ketika aku sedang menunduk untuk membasuh muka dari air yang keluar dari kran, tiba-tiba aku merasa orang yang menarik tanganku ke belakang hingga masuk ke dalam salah satu bilik kamar mandi lalu mendorongku sampai terduduk di toilet.
Di saat aku sedang mengalami hari yang berat, malah ada orang yang tiba-tiba saja mencari gara-gara dengangku. Tapi emosiku yang sudah memuncak langsung hilang menguap tak tersisa, ketika tahu yang menarikku masuk ke bilik toilet adalah Ilary !!
Nyaliku menciut seketika melihat Ilary berdiri di depanku. Wajahnya yang tadi tenang, sering menebar senyum kini menatapku tajam. Apalagi ketika dia menutup pintu toilet sehingga kami berdua berada dalam bilik toilet yang sempit.
“Kenapa..kenapa malam itu kamu berbohong kepadaku bahwa kamu tidak mempunyai seorang pacar?” Tanya Ilary pelan dengan pandangan menusuk.
“Kenapa kamu tidak berterus terang saja dan malah membuatku berharap sama kamu?”
Aku tidak bisa menjawab, hanya terdiam sambil menunduk.
Kemudian Ilary menjambak rambutku sampai terdongak.
“Tetapi aku menikmati makan malam ini melihatmu menciut ketakutan di depan pacarmu dan Silvestri. Bahkan untuk menatapku langsung pun kamu tidak berani.” Ejeknya.
Aku merasa malu sekali, lidahku terasa kelu.
“Kayaknya akan terjadi drama yang menarik ketika aku bercerita kepada pacarmu bahwa di malam pertama kita bertemu saat kamu mengikuti pusat pelatihan di Pontevaleceppi, kamu sudah melecehkanku.”
“Melecehkanmu?Apa maksudnya” Kataku setelah terdiam cukup lama.
“Malam itu, ketika aku tengah membelakangimu sedang mencuci piring dan gelas di wastafel, aku tahu kamu diam-diam onani sambil menatap bagian belakang tubuhku. Jangan mengelak, aku tahu karena di depanku ada cermin kecil di dekat wastafel sehingga aku bisa tahu apa yang kamu lakukan saat itu.” Sergahnya ketika aku hendak membela diri.
Satu lagi momen memalukan dalam hidupku saat aku ketahuan onani di belakang gadis yang baru kutemui saat itu.
“Aku saat itu diam saja karena aku tidak mau memperpanjang masalah. Lagipula kamu adalah salah satu tamu di penginapan saat itu. Selama kamu tidak berbuat macam-macam denganku, aku akan pura-pura tidak melihatnya. Pada awalnya aku berpikir kamu salah seorang pemain sepakbola yang cabul yang harus aku hindari. Tetapi setelah kita berkenalan lebih jauh, ternyata kamu sopan dan lucu, enak untuk diajak ngobrol.
Dan hampir setiap malam, kamu selalu datang menemuiku. Kita bercerita banyak hal. Sampai akhirnya tim kamu selesai mengadakan training camp dan kembali ke Cosenza. Dan saat itu pula, kamu tidak mau lagi membalas telepon dan pesan-pesanku. Saat itu aku bertanya-tanya kepada diriku. Apakah ada yang salah denganku atau kamu memang tipikal pemuda playboy yang hanya memanfaatkan waktu dan keadaan. Apakah hanya aku yang merasa malam-malam yang kita lewatkan bersama adalah sesuatu yang spesial.”
Ilary menceritakan kembali apa yang kami lalui pada saat itu.
“Dan akhinya semuanya terjawab. Ketika sahabatmu, Silvestri mencoba mendekatiku. Pada awalnya aku tidak berniat untuk meladeninya, tetapi aku penasaran ketika tahu dia adalah rekan satu tim kamu di Cosenza. Dan dari beberapa obrolan melalui telepon, akhirnya aku tahu bahwa kalian berteman sangat dekat. Silvestri bercerita bahwa kamu sudah memiliki pacar yang cantik, berbeda dengan dirinya yang tidak mempunyai pacar.
Dan ada hal satu lagi, kamu juga sudah berbohong kepada Silvestri. Kamu mengaku kepadanya bahwa kamu hanya bertemu sekali denganku di Pontevalecepi. Tanpa menceritakan kepadanya malam-malam yang kita habiskan berdua secara rahasia di ruang makan. Termasuk di malam terakhir kita bertemu, dimana kita nyaris berbuat sesuatu yang lebih jauh jika saja tidak ada orang yang datang.
Sekarang kita lihat, apa yang terjadi jika aku menceritakan ini semua kepada Daniela dan Silvestri. Yang pasti setelah aku ceritakan itu semua, kamu pasti akan kehilangan 2 orang sekaligus. Pacarmu Daniela dan sahabat terbaikmu, Silvestri.” Ancamnya.
Aku ketakutan ketika tiba-tiba Ilary hendak keluar. Aku segera berdiri dan memegang lengannya, mencegah agar dia tidak keluar.
“Tolong jangan lakukan itu, Ilary.”
“Lepaskan!” Katanya setengah berteriak.
Dan itu membuatku semakin panik, karena jika dia meronta dan berteriak makka habislah aku.Tertangkap basah sedang berduaan dengan wanita di dalam bilik toilet pria, aku bergidik membayangkan apa akibatnya. Lalu aku sayup mendengar ada beberapa orang yang masuk ke dalam toilet dan bercakap-cakap. Aku segera membungkan mulutnya dengan tanganku, dengan bahasa tubuhku aku memohon kepadanya agar dia diam.
Kurang lebih 5 menit orang-orang tersebut berada di toilet, sebelum kudengar pintu kamar mandi tertutupr dan suasana kembali tenang, kulepaskan bekapan tanganku menutupi mulutnya.
“Apa mau kamu? Apa yang harus aku lakukan agar kamu tidak menceritakan hal ini kepada Daniela dan Silvestri.” Aku memohon kepada seorang wanita dan itu sangat menyedihkan.
“Selesaikan sesuatu yang tertunda di antara kita.” Jawabnya sambil menyeringai.
“Apa mak-“ Kata-kataku terpotong ketika tiba-tiba Ilary menciumku
Aku yang masih shock dengan apa yang dilakukan oleh Ilary, sehingga aku diam tidak membalas ciuman-ciumannya. Melihat aku seperti orang bingung, dia melepaskan ciuman lalu berkata.
“Kita selesaikan saat ini juga apa yang nyaris terjadi antara kita malam itu. Mateo, Facciamo l'amore (ayo kita bercinta). Jika kamu diam saja, aku akan berteriak dan berlari keluar, dan semuanya akan menjadi semakin rumit!”
Antara kesal dan terbawa perasaan, aku langsung mencumbu Ilary sambil memangku dirinya. Tanganku menjelajahi tubuhnya.
“Mateo!! woi…lama amat di kamar mandi..sakit perut ya?” tiba-tiba seseorang berteriak dari luar bilik kamar mandi. Kudengar suara gemericik air dari kran wastafel.
Itu suara Silvestri !!
Aku berpandangan dengan Ilary, tetapi dia terlihat cuek dengan suara tersebut. Kalau tidak salah, aku dan Ilary berada di bilik paling ujung. Tepat di depan kami adalah wastafel panjang. Dan sepertinya suara tersebut berada tepat di depan bilikku!
“I..ii..yaa..Iya…aku sakit perut..uhhh..!” Aku tiba-tiba melenguh karena Ilary malah menggerak-gerakkan badannya..
“Sakit perut?? Aneh banget suaramu. Kamu lagi masturbasi ya! hahaha !!”
BECIA MI (MATI AKU) !!
Keringat dingin langsung menyerangku. Aku bingung mau menjawab apa, kupegang badan Ilary agar ia tidak banyak bergerak dan kubekap mulutnya dengan tangan kiri. Aku beruntung karena pintu kamar mandi hanya menyisakan sedikit ruang di bawah pintu, sehingga bayangan kami berdua tidak terlihat oleh Silvestri dari luar.
“Hahahahha..Becanda..Makanya jangan makan yang pedas-pedas. Lagian, khusyuk banget kamu di toilet.”
HAH, Sialan. Ternyata Silvestri hanya bercanda. Kuatur nafas agar tidak terlalu mencurigakan.
“Iya..dari kemarin aku makan cabe dan paprika terus. Bentar lagi selesai kok.” Kataku dengan intonasi suara kubuat setenang mungkin. Ah Ilary lagi-lagi mulai menggoyang-goyangkan badannya dan menahan tawa melihatku pucat pasi takut ketahuan. Aku tidak berani bereaksi.
“Eh..mumpung toilet lagi sepi, gak ada orang. Aku mau bilang sesuatu. Tadi pagi aku bercinta lho dengan Ilary di hotel! Argghh nikmatnya luar biasa. ! Aku benar-benar mencintainya... Kamu kapan bercinta dengan Daniela? Jangan lama-lama jadi perjaka, gak baik bagi kesehatan loh, hahahaha!! Buruan selesai buang hajat. Daniela sudah cemberut tuh nunggu kamu lama banget.” Lalu kudengar langkah kaki menjauh dan suara pintu tertutup.
Maaf Silvestri….maaf, aku tak kuasa menolak ajakan seks Ilary.
Ilary yang sebelumnya menahan tawa melihat eskpresi tegangku tiba-tiba menghentikan goyangan pinggulnya. Ia nampak terkejut mendengar kata-kata dari Silvestri. Entah karena dengan gampangnya Silvestri bercerita bahwa dia telah bercintanya, kata-kata bahwa dia sangat mencintai Ilary atau karena baru tahu persetubuhan ini adalah yang pertama bagiku.
Ilary menatapku.
“Ini..ini..pengalaman bercintamu dengan seorang wanita ya Mateo?” Nada suaranya seperti sedikit merasa bersalah.
Aku hanya diam dan menatapnya.
“Iya. Dan kita mesti cepat menyelesaikannya ! Karena pacarku sudah menunggu lama di luar!” Kataku sedikit emosi.
Kemudian selanjutnya aku bercinta dengannya dengan kasar hingga aku selesai, aku puas. Pengalaman bercinta pertamaku sungguh gila !
“JANGAN PERNAH SEKALI LAGI KAMU MENGANCAMKU!” Kataku tegas sambil merapikan celana. Dari orang yang diancam kini berbalik menjadi orang yang mengancam.
Tanpa memperdulikan Ilary, aku lalu keluar dari bilik perlahan. Aku bersyukur ternyata kondisi kamar mandi kosong. Bilik toilet juga terbuka, menandakan tidak ada orang. Situasi aman!
Aku segera kembali ke meja makan. Aku tidak melihat Silvestri. Yang ada hanya Daniela yang melihatku datang dengan tatapan cemberut.
“Lama banget sih.” Gerutu Daniela saat melihatku kembali. Kulihat jam tanganku, ternyaa lebih dari setengah jam aku pamit ke kamar mandi.”
“Maaf sayang.”
“Tapi kamu jadi lebih terlihat lebih baik. Kamu sudah tidak terlihat tegang.” Kata Daniela sambil memegang tanganku.
Aku sudah tidak tegang lagi, karena aku baru saja bersetubuh dengan seorang wanita…sayang. Dengan pacar sahabatku sendiri, batinku.
***
Malpensa Aeroporto, Milano - Dicembre (Desember) 31, 2000, 7:33 AM
Setelah mengambil koper di raung kedatangan, aku dan kakek segera keluar. Kulihat banyak di luar lobi, masih sepagi ini tapi tampak ramai sekali. Banyak sopir-sopir taxi yang mendatangi aku dan kakek menawarkan jasanya. Tapi aku segera menolak halus. Di saat aku kebngungan mencari Daniela yang bilang akan menjemput kami berdua, aku mendengar seseorang seperti memanggilku.
“MATEO !! KAKEK JAVIER !!” Aku menengok ke kiri dan kulihat Daniela tidak jauh dari kami di tempat yang tidak terlalu ramai. Daniela segera berlari kecil mendatangi kami berdua.
“Kakekk..!!” Seraya memeluk kakek.
“Hehe..Grazie (terimakasih) sudah menjemput kami.” Kata Kakek sambil membalas pelukan kakek.
“Halo sayang…” Setelah memeluk kakek, Daniela memelukku erat. Dan aku bisa merasakan tonjolan kedua dadanya saat ia memelukku. Daniela mengenakan kaos berwarna hijau muda yang tampaknya terlalu pas di badannya sehingga membuat payudaranya terlihat besar dan sangat menonjol. Dan celana jeans kesukaannya.Dia lalu mengajak kami ke mobilnya di areal parkir dan saat aku melihat sebuah mobil Daniela, aku terpana.
Kulihat sebuah mobil sedan berwarna hitam mengkilat sangat mewah sekali denagan grill depannya perak mengkilat tanpa cacat dengan sebuah logo seekor hewan meloncat.
Gila…Mobilnya Daniela Jaguar..Entah kenapa aku merasa minder melihatnya. Sangat berbeda jauh dengan mobil Fiat kami yang ada di rumah Cosenza.
“Ini mobil kamu? Tanyaku.
“Iya..Ini mobil hadiah ulang tahun dari Papa untuk ulang tahunku yang ke 17 tahun. Sayang, koper kalian taruh di bagasi mobil ya.” Katanya santai.
Aku segera memasukkan 2 koper kami di bagasi. Kakek duduk di jok belakang. Aku duduk di jok depan kanan. Daniela di belakang kemudi mobil.
“Sayang..kamu mau yang nyetir?” Tanyanya.
Belum sempat aku menolaknya, kakek sudah mencegah terlebih dahulu.
“Kamu saja yang menyetir. Aku takut dia akan menggores mobilmu. Ini lagipula kamu yang lebih tahu jalan disini kan. Ini pertama kalinya bagi Mateo datang ke Milano. Kalau aku sih sudah beberapa beberapa kali kesini. Tapi sudah lupa sama sekali dengan jalan-jalan disini.” Kata kakek.
Daniela tertawa mendengarnya, sementara aku cuma bisa nyengir.
Sepanjang perjalanan, kakek yang lebih banyak mengobrol dengan Daniela. Sementara aku lebih banyak terdiam memandangi jalanan kota Milan yang ramai. Pikiranku melayang kemana-mana. Jika papa Daniela saja mampu memberikan mobil begini mewah kepada putrinya saat berusia 17 tahun, sudah pasti Daniela keluarganya sangat kaya sekali. Daniela memang pernah bercerita bahwa papanya adalah seorang hakim wilayah Milan dan mamanya seorang fashion designer. Tapi baru lihat mobil Daniela saja, aku sudah minder. Apalagi jika disuruh untuk bertemu dengan papa mamanya.
Hadeuh.
Tiba-tiba, Daniela menghentikan mobilnya di suatu jalan yang lebar. Saat aku hendak turun untuk mengeluarkan koper, Daniela bilang nanti saja. Kita jalan-jalan dulu. Lalu kami bertiga turun dari mobil. Aku berjalan mengikuti Daniela dan kakek yang tampaknya tahu tempat kami berhenti saat ini. Lalu di depanku aku melihat sebuah halaman atau lapangan yang luas sekali. Di tengah lapangan kulihat dari kejauhan ada patung seorang pria yang tengah menunggang kuda berukuran sangat besar dan menghadap ke arah bangunan. Pandanganku mengikuti arah patung dan kulihat sebuah bangunan yang sangat megah, dan sangat mengintimidasi, terlihat menyeramkan dengan banyak patung-patung dan arsitekturnya yang runcing-runcing. Aku tahu ini bukan sekedar bangunan biasa. Inilah Gereja Katedral Milan yang termashyur dengan gaya gothic yang selama ini aku lihat di TV.
“Mateo..Benvenuti a Milano (Selamat datang di kota Milan) atau lebih di Piazza del Duomo Milano.” Kata Daniela semangat.
“Patung di tengah lapangan itu adalah Monument Vittorio Emanuele II. Raja Vittorio Emanuele II yang sedang menunggang kuda. Jika kamu perhatikan baik-baik, di bawah patung terlihat banyak patung orang-orang yang menopangnya. Itu adalah simbol bahwa kemenangan sang raja tidak terlepas dari perjuangan seluruh rakyat.
Lalu disana kamu lihat kan bangunan yang memiliki gerbang besar itu? Itu adalah Galleria Vittorio Emanuele II. Itu adalah ‘katedral suci bagi para wanita’. Pusat perbelanjaan fashion paling elite di Milano bahkan juga di dunia. Di situ banyak butik-butik kelas premium seperti Louis Vuitton, Prada, Furla dan masih banyak lagi. Tempat yang akan membuat para suami berkeringat dingin jika dia memiliki istri yang gila belanja, hahaha.”
Kami lalu berjalan-jalan di sekitar Piazza del Duomo, foto-foto bertiga sampai tak terasa perut mulai lapar. Dan beberapa lokasi dibatasi karena sedang dipasang stage cukup besar untuk pertunjukkan musik dan hiburan tengah malam nanti.
“Daniela…check-in di hotel dulu yuk.” Kataku.
“Tenang saja, nih kita sedang berdiri di depan hotel.” Katanya sambil tersenyum lebar.
Aku mendongak melihat bangunan yang berada di kompleks katedral.
“Hotel…?? ini hotel??”
“Iya..tuh…Townhouse Duomo Milano..Kalian akan menginap di satu-satunya hotel bintang 5 di Piazza del Duomo…hihihi”
Aku dan kakek terkagum-kagum saat melihat bahwa bangunan ini adalah hotel karena memiliki arsitekur yang sama dengan Galleria. Selain kagum, aku juga kembali minder. Hotel bintang 5 di Piazza del Duomo di malam tahun baru?? Ini pasti luar biasa mahal.
“Yuk masuk, kita makan siang di rootop.”
“Rooftop?”
“Hehehe..iya..Keren banget tempatnya. Kita bisa makan sambil melihat pemandangan katedral.”
Saat kami bertiga masuk, penjaga pintu hotel dengan sigap membukakan pintu, sekilas aku melihat tarif sewa per malam hotel yang tertera di dekat pintu masuk. Harga kamar per malam yang berlaku dari tanggal 24 Desember sampai dengan 2 Januari 2001 adalah,
450 Euro…450 Euro per malam…Dan kami menginap disini selama 3 hari..450 Euro dikali 3…1,350 Euro..Itu lebih dari ¾ gajiku sebulan !
“Oh iya..Nanti kamar kakek dan Mateo bersampingan ya. Di lantai 2.”
“Berdampingan??”
“Iya..aku pesankan 2 kamar. Biar kakek bisa istirahatnya enak disini. Iya kan kek?” Kata Daniela santai sambil menggandeng tangan kakek. Saat kami menunggu di depan lift.
Aku lemas mendengar Daniela memesan 2 kamar untuk kami selama 3 hari di hotel bintang 5 !!! Itu sama saja denga 1,350 Euro dikali 2….2,700 Euro !!! Gajiku sebulan bahkan tidak cukup untuk membayarnya. Aku mengingat-ingat rekening yang ada di tabunganku. Aku menelan ludah. Kalau tidak salah rekeningku ada sekitar 6000an Euro. Jadi 6,000 Euro dikurangi 2,700 Euro = 3,300 Euro…Tahun baru nanti aku akan jatuh miskin…,pikirku.
Kami lalu sampai di restoran hotel, Daniela memilih meja yang berada di balkon. Aku yang sudah lemas mengkalkulasi biaya liburan di Milan hanya bilang “samain saja dengan kakek.” Ketika Daniela bertanya aku mau pesan makan apa. Daniela mengangguk lalu memanggil pelayan dan memesan makanan. Aku melihat pemandangan sekitar. Gila, memang keren banget view-nya. Ini lumayan menghibur bahwa uang yang aku keluarkan setara dengan apa yang kudapat. Apalagi melihat kakek bisa tertawa dan terlihat senang sekali, aku akhirnya bisa ikut senang.
Setelah makan siang, kakek merasa capek dan ingin tidur dulu agar nanti malam bisa kuat bergadang. Setelah mengantarkan kakek ke kamarnya.
Aku dan Daniela jalan-jalan lagi di sekitar Piazza Del Duomo, masuk ke katedral dan naik ke rooftopnya yang antriannya panjang sekali. Dan mencoba melihat-lihat isi Galleria, aku seperti bukan apa-apa melihat harga yang terpampang di butik-butik di dalamnya. Tak terasa sudah pukul 5 sore. Aku merasa sangat capek sekali. Setelah mengambil koper yang ada di bagasi mobil, Daniela akan pulang dan juga istirahat. Daniela akan datang nanti jam 9 malam untuk makan malam dan menikmati malam tahun baru 2001. Sampai di kamar, aku merebahkan diriku dan tempat tidur ini luar biasa empuk. Tak lama aku kemudian tertidur.
Tepat jam 9 malam, Daniela datang dan kami bertiga makan malam bersama di restoran yang tidak jauh dari Piazza dengan berjalan kaki. Kami disana sampai pukul jam 11 malam. Ketika kami di Piazza Del Duomo, suasana sudah semakin ramai. Hiburan musik yang berisi band-band dan penyanyi Italian bergantian mengisi acara di panggung membuat suasana semakin meriah.
Kami bertiga akhirnya mendapat tempat yang strategis karena dekat dengan katedral dan pohon natal yang besar. Semakin mendekati jam 12 malam, semakin ramai. Piazza del Duomo sudah seperti lautan manusia. Kami yang tidak bisa bergerak karena sudah padat, akhirnya duduk bersama ratusan orang di Piazza del Duomo. Menunggu saat-saat pergantian tahun yang tinggal beberpa menit lagi. Kami ikut berdiri ketika orang-orang sudah berdiri untuk menghitung mundur. Aku berdiri di tengah, memegang tangan kakek di sisi kiri dan memegang tangan Daniela di sisi kanan. Dua orang yang paling aku cintai ada bersamaku untuk menikmati momen pergantian tahun.
2000.
Tahun yang sangat luar biasa. Tahun dimana karir sepakbola profesionalku dimulai, Daniela menerima cintaku. Dan tahun dimana aku melepas keperjakaan dengan seorang wanita. Apapun itu, ini tahun yang baik untukku. Terimakasih atas tahun yang luar biasa ini. Semoga tahun 2001 akan menjadi semakin baik.
10…!!
9…!!
8..!!
7..!!
6..!!
5..!!
4..!!
3..!!
2…!!
1…!!!
FELICE ANNO NUOVO 2001 !!!
Langit Milan sangat indah, bermandikan cahaya warna-warni dari pesta kembang api. Aku mencium pipi kakek lalu mencium bibir Daniela dan kami bertiga berpelukan, menikmati momen pergantian tahun yang sangat luar biasa.
***
Kulihat jam tanganku, pukul 2: 49 pagi. Aku yang sudah merasa lelah lalu mengajak Daniela kembali ke hotel untuk beristirahat. Kugandeng tangannya menembus Piazza del Duomo yang masih padat, meskipun tidak seramai tadi. Setelah sampai lobi hotel, aku hendak melepaskan tangannya tetapi Daniela tidak mau dia malah menggelayut manja di lenganku. Kucium kepalanya. Sambil mengobrol ringan tentang betapa meriahnya pesta kembang api saat detik-detik pergantian tahun yang kami lewati bersama kakek tadi.
Aku melewati kamar kakek yang berada bersampingan denganku di lantai 2. Kulihat dari bawah pintu, kamarnya gelap. Berarti kakek sudah tidur. Ini pasti hari yang melelahkan untuknya. Setelah masuk ke dalam kamarku, Daniela melepas jaketnya. Sementara aku menuju kamar mandi dahulu untuk mencuci muka dan menyikat gigi. Kulepas celana panjang dan jaket, kugantungkan di belakang pintu kamar mandi. Aku keluar memakai kaos hitam santai dan celana pendek buluk favoritku. Kulihat Daniela sedang berdiri di depan jendela yang mengarah langsung ke Piazza del Duomo di bawah. Aku menghampiri dan memeluk pinggangnya dari belakang, Daniela tersenyum dan menyenderkan tubuhnya kepadaku.
“Aku senang banget bisa melewati malam pergantian baru denganmu,” Katanya.
“Aku juga senang.”
Kueratkan pelukanku dan dia juga merapatkan tubuhnya. Aku lihat Piazza del Duomo sudah mulai berkurang keramaiannya. Panggung musik juga sudah mulai dibongkar oleh para kru. Kulihat Gereja Katedral Milan berdiri gagah, sangat indah sekaligus artistik dengan gaya gotiknya. Ini akan menjadi tahun yang ke 615 gereja tersebut menjadi ikon terbesar kota Milan. Kuputar tubuh Daniela hingga ia menghadap ke arahku. Kupegang kedua pipinya, sementara dia melingkarkan tangannya di pinggangku.
“Ti amo…bella (aku mencintaimu….cantik).”
Daniela memejamkan matanya dan bibirnya setengah terbuka. Kucium lembut bibirnya, tepat ditengah di antara kedua belah bibirnya. Daniela membalas ciumanku dengan tak kalah lembutnya. Di atas kamar kami yang bersampingan dengan Duomo Piazza kami berciuman pelan tetapi terasa berbeda dibandingkan kami berciuman dengan penuh nafsu. Lebih manis, lebih lembut. Membuat kami bisa merasakan tekstur masing-masing bibir. Lidah yang biasanya ikut meramaikan suasana percumbuan, bertindak pasif. Benar-benar murni ciuman bibir dengan bibir yang sangat romantis,tidak ada yang merasa terburu-buru. Aku sengaja terus menatap matanya yang terpejam ketika menciumnya. Kulepas pelan-pelan sehingga terbentuk untaian air ludah yang menghubungkan bibir kami berdua.
“Masuk yuk.” Kataku.
Daniela berteriak kecil lalu merangkul leherku ketika aku tiba-tiba mengangkat badannya dan membopongnya ke tempat tidur. Aku letakkan dia di ranjang perlahan-lahan. Daniela mengecupku ketika aku membaringkannya. Aku menuju balkon, menutup jendela dan tirainya. Kuganti lampu kamar yang terang dengan lampu yang lebih redup lalu aku menyusul Daniela ke tempat tidur. Daniela berbaring menyamping, tersenyum memandangku sambil menahan kepalanya dengan siku kanan bertelekan tempat tidur. Tatapannya seakan menyiratkan sesuatu.
Aku balas senyumannya dan segera menindih tubuhnya, tetapi aku tetap berusaha menahan sedikit berat badanku dengan bertumpu menggunakan kedua siku. Kuciumi wajahnya yang cantik. Dari kening turun ke kelopak matanya yang terpejam, kuciumi bergantian sambil kuusap alis matanya yang tebal. Dari kelopak mata, aku turun menuju ujung hidungnya mengecupnya sampai membuatnya tertawa geli, lalu ciumanku beralih menyamping mencium kedua pipinya yang menggemaskan. Kulihat pipinya mulai merona merah. Bibirku menuruni pipinya menuju dagu yang membuatku sangat gemas. Puas membuat wajah Daniela basah, kembali kuciumi bibirnya. Daniela juga membalas pelan, kami seakan ingin menikmati percumbuan tanpa terburu-terburu. Sesekali lidahku bermain dengan lidahnya.
“Sayang…” Katanya pelan saat dia mengangkat wajahku.
“Aku rasa….ini momen yang tepat untuk…” Lanjutnya dengan nada menggantung.
“Apa….?” Tanyaku dengan nada parau.
“Kamu ingat ketika aku pernah bilang bahwa aku tidak keberatan untuk menyerahkan keperawananku kepadamu jika momennya tepat?”
Aku mengangguk.
“Sayang..aku bahagia sekali hari ini. Ini adalah malam pergantian tahun yang paling menyenangkan yang pernah aku lewati…Mateo…Kalau kamu mau, aku siap untuk memberikannya kepadamu sekarang.” Katanya sambil menggigit bibir bawahnya.
Aku masih belum mengerti arah pembicaraannya.
“Maksudmu..?”
“Sayang….ambil keperawananku sekarang, kalau kamu mau…” Katanya malu-malu lalu memalingkan mukanya, mukanya memerah.
Aku terkesiap mendengarnya.
“Ja..jadi..kamu mau memberikan virginmu malam ini kepadaku?”
Daniela mengangguk cepat.
“Kalau kamu mau sih….” Katanya tersipu-sipu.
“Tentu saja aku mau !” Kataku hampir berteriak saking senangnya.
“Pssstt..jangan keras-keras…Kakek Javier ada di kamar sebelah..hihihi.”
Kami berdua tertawa, kemudian kami pun mulai...
***
Selesai bercinta dengan Daniela untuk yang pertama kalinya, aku kemudian berbaring menyamping di sisi kanan Daniela, kupeluk tubuhnya hingga dia menempel erat di tubuhku. Kubelai rambutnya yang hitam panjang dan kusut. Kucium keningnya.
“Sayang…aku ngantuk.” Bisiknya.
“Tidur sayang..tidurlah dalam pelukanku..”
Daniela menata posisi kepalanya di bawah daguku. Beberapa saat kemudian, nafas Daniela mulai terdengar teratur. Aku tertawa kecil ketika mendengar Daniela mendengkur pelan. Kupeluk belakang kepala Daniela. Kulihat jam tangan Rolex ku di tangan kanan, hampir pukul 5 pagi. Ternyata 2 jam lebih aku bercinta dengan Daniela. Kupandangi kamar hotel bintang 5 yang mewah ini, jam Rolex mahal yang kupakai dan tubuh bagian belakang Daniela yang telanjang. Dan membuatku teringat pengalaman bercinta dengan Ilary di sebuah bilik toilet. Dalam seminggu aku sudah melakukan hubungan seks 2 kali dengan 2 wanita yang berbeda pula.
Muncul kesadaran baru dalam diriku.
Memiliki banyak uang, mengenakan aksesoris mahal dan bercinta dengan seorang perempuan cantik dan seksi adalah kombinasi yang benar-benar luar biasa. Dan setiap wanita memiliki ciri khasnya tersendiri saat bercinta.
“ There Are Two Things People Want More Than Sex And Money…Recognition And Praise ”
-Anonymous-
---------------------------------
Bersambung
Next Chapter:
Deep Lying Forward #19
Inaspettata Chiamata (Unexpected Call)
No comments for "DLF #18"
Post a Comment