Featured Post

LPH #52

Episode 52
Xavi’s Battle : What A Night !!  


(Pov Xavi)


Seminggu sebelum pensi…


“Jadi begini,” ujar Yandi dengan intonasi suara yang agak berbeda. Entah kesambet apa dia sampe bertingkah ganjil. Mau cerita aja bisa gemeteran sendiri.

“Kita kan lolos audisi karena membawakan lagu akustik. Semua orang di sekolahan kita dan juga yang sudah menonton video kita di Youtube pasti berpikiran kita adalah band akustikan. Dan kita akan kembali mengcover lagu akustik. Apa benar asumsiku ini?’ lanjut Yandi sembari mengedarkan pandangan kepada kami bertiga.

“Iya benar. Sebentar Yan, kita masih main akustik, kan?” tanya Yosi.

Yandi tersenyum sebentar lalu menggelengkan kepalanya dengan mantap. Gue dan Zen saling berpandangan. “Terus ? Kita main apa? dangdut?” seloroh gue.

“Kita bakar stage pensi nanti dengan musik keras. Musik death metal. Musik yang mampu menegakkan kuping semua orang yang mendengarnya. Sebuah genre yang tepat bagi kita untuk melampiaskan dan meluapkan segala amarah.”

Hah? Death metal?

“Serius lo Yan?” gue bertanya ke Yandi.

“Iya aku serius. Sekarang aku tanya, apa perasaan kalian setelah kita dimanipulasi habis-habisan oleh Oscar? Oke, Leo berhasil kita singkirkan. Namun kepergian Leo aku rasa tidak akan berpengaruh besar. Karena bagaimanapun juga Oscar adalah penggerak utama. Tanpa kalian jawab pun, aku tahu pasti kalian semua merasa marah bahkan beberapa ada yang tidak setuju ketika aku memutuskan melaporkan Leo ke pihak sekolah. Membiarkan Leo melenggang pergi tanpa terluka sedikitpun.”

Yandi diam sejenak sambil menatap Zen dan Yosi.

“Namun percayalah, mengeluarkan Leo dan 2 ular dari sekolahan kita adalah langkah terbaik jika dibandingkan apabila kita menghakimi Leo. Karena efeknya bisa merambat kemana-mana. Selain kita pasti terlibat perkara dengan Pak Tomo yang bisa saja malah melarang kita tampil di pensi dan kena hukuman tambahan. Belum lagi Oscar yang pasti tidak akan diam saja jika kita menghabisi Leo,” terang Yandi kepada kami.

Ketika Yosi memberitahu gue bahwa Yandi memutuskan melarang kami menghabisi Leo, gue termasuk orang yang menentang keputusan Yandi tersebut karena gue tidak terima Leo bisa bebas begitu saja. Selain melarang, Yandi juga memberikan peringatan keras bahwa jika siapapun di antara kami ada yang menentang keputusannya, ia akan menghajarnya. Setelah sekian lama gue kenal Yandi, baru kali itu Yandi mengancam balik teman-temannya sendiri. Namun begitu kami tahu bahwa Leo, Sigit dan Bembi angkat kaki dari sekolahan, perlahan kami semua mengerti tindakan yang diambil Yandi tersebut memang adalah jalan teraman untuk membalas dendam. Yang kami herankan adalah bagaimana Yandi mengunakan semua bukti untuk meyakinkan Pak Tomo agar setuju mengeluarkan ketiga siswa kelas 1. Terlebih lagi, kami yang terlibat dalam penyerangan dan penyiksaan kepada Sigit serta Bembi, tidak mendapatkan peringatan maupun hukuman dari pihak sekolah.

Damn, you are truly leader bro !

“Jadi kita nanti akan meledak bersama di stage menggunakan musik sebagai cara untuk melepaskan amarah. Bukan itu saja, aku juga berpikir ingin melibatkan semua teman-teman kita. Jadi kita akan membuat sebuah gimmick ketika kita perform nanti.”

“Gimmick ? Gimmick seperti apa?” tanya Zen yang rupanya ikut penasaran mendengar rencana Yandi.

“Gimmick bahwa kita berempat dan juga teman-teman kita tidak takut dengan kelompok Oscar ! Kita bakar semangat dan amarah semua teman kita nanti. Dan aku berpikir untuk membuat kita sedikit berbeda, kita harus menyiapkan sesuatu. Ya katakanlah kita perlu membuat atribut yang teman-teman kita pakai nanti. Tujuan kita melakukan gimmick tersebut adalah agar semua orang tahu siapa kita, kelompok XYZ. Namun, aku tetap menyimpan kekhawatiran jika tindakan kita justru menjadi pemicu kerusuhan jika di pensi nanti kita gagal mengendalikan XYZ. Dan jika memang terjadi pecah kerusuhan antara kita dengan kelompok Oscar, semua orang akan tahu bahwa kitalah provokator yang menyulut kerusuhan. Resikonya gak perlu aku jelaskan, kalian semua pasti bisa membayangkannya sendiri.”

“Ya, bagaimana jika atribut yang anak-anak pakai adalah kaos atau jaket. Kalau perlu kita buat sekalian banner yang dikibarkan anak-anak ketika kita main di stage. Dan kalau gue boleh tambahkan, kita tutup aksi kita di stage dengan destruction act. Kita hancurkan semua alat-alat yang ada.Gimana ?” terang Yosi.

Yandi nampak sumringah mendengar tambahan ide dari Yosi.

Destruction Act?

Menghancurkan semua alat musik, sound setelah selesai main ? Sepertinya menarik dan pas sekali.

“kita buat jaket dan kaos khusus saja. Zen elo buat design satu lagi, selain yang kemarin. Desain yang baru nanti lo kasih tengkorak aja biar seram. Kalau udah jadi serahin ke gue, biar gue bawa buat di cetak ke kaos dan jaket. Untuk destruction act, gue juga suka tuh, kita nanti main pake alat gue. Jadi setelah kita selesai, kalian bebas mau apain tuh alat.”

“Beres, besok gue kasih desainnya. Gue uda ada, tinggal finishing,” sahut Zen.

“Gak di marahin nyokap elo tuh? Kita banting, rusakkin alat-alat elo?” tanya Yosi.

“Santai saja, tar gue beli lagi alat yang baru haha.”

“Oia tentang bagaimana kita bisa mengendalikan semua anak-anak agar biar gue yang atur,” tambah Zen.

Yandi hanya tersenyum sebentar lalu kemudian menunjukkan ekspresi wajah serius, “Bagaimana, kalian berani?"


***

15 menit setelah XYZ tampil…


Gilaa....Gilaaaa.......

Meskipun udah selesai perform dan kami sedang rehat di dalam tenda, tubuh gue masih gemeteran akibat adrenaline yang belum juga surut. Masih terbayang bagaimana kami berhasil “membakar” Big Stage dengan empat lagu super kencang yang pernah kami mainkan. Melihat ratusan orang membentuk wall of death sambil headbang ketika kami bermain, sungguh ampuh bagi kami karena hal tersebut membuat kami tambah bersemangat. Dan hal yang terpenting bagi kami XYZ adalah, semua rencana kami berjalan dengan baik. Kami mengikrarkan perang melawan Oscar cs tanpa terjadi pecah kerusuhan karena kedua pihak masih tetap menahan diri meskipun hawa di udara terasa panas karena tensi yang meninggi.

“Ugh.”

Gue sedikit mengerang ketika memperbaiki posisi duduk di kursi.

“Gimana rusuk lo?” tanya Yosi yang sepertinya melihat gue agak meringis kesakitan.

“Nyeri sih but i’m fine.”

“Pasti nyeri. Nyeri banget malah. Rusuk lo belum sembuh benar tetapi lo drumming rapet banget. Terutama di lagu terakhir, Arise. Gilaa tempo nya men !! Untung meskipun temponya lo percepat 2 x lipat, kontrol pukulan elo tetap on the track, jadi kami semua tetap bisa menyesuaikan tempo lagunya. Jenius emang lo, baru beberapa bulan pegang stik dan mukul drum beneran, skill elo gak kalah sama yang uda lama belajar drum,” puji Yosi sambil menyeka keringat di wajahnya.

Gue jelas merasa bangga dapat pujian dari Yosi. Ketika kami memutuskan memilih 4 lagu metal yang drummingnya gahar, ketiga teman gue khawatir gue bakal keteteran karena rusuk sebelah kanan gue belum pulih 100%. Bahkan bukan cuma keteteran, bisa jadi rusuk gue malah kambuh dan semakin sakit. Namun gue meyakinkan ketiganya bahwa gue bakalan baik-baik saja. Meskipun mereka ragu, akhirnya mereka percaya bahwa gue bisa. Yang mereka tidak tahu, cedera rusuk gue memang bisa rawan kembali cedera. Gue lalu curhat ke Maya dan menceritakan kondisi gue. Maya yang sedang berada di Thailand lalu membagikan tips gimana caranya gue menyembuhkan cedera rusuk. Dan perlahan gue mulai ngrasa rusuk gue semakin membaik. Namun sepertinya gua bermain terlalu semangat tadi di stage sampai cedera gue kambuh lagi. Hanya saja gue gak perduli yang penting gue dan ketiga sohib gue berhasil mengejutkan semua orang. Libur selama 1 bulan ke depan bisa gue manfaatkan buat penyembuhan total.

“Ya gimana gue gak menggila, adrenalin gue kepompa maksimal setelah tiga lagu pertama. Karena gue mulai capek akhirnya yaudah gue bantai sekalian lagu Arise haha. Dan lo tahu gak, selama perform gue gak ngrasa ngilu, nyeri sama sekali. “

“Iya, sama kek orang berkelahi. Kalau adrenalin lo ngalir cepat, lo bakalan gak ngrasa sakit saat adu pukul. Namun setelah selesai, baru lo ngrasa badan lo sakit semua. Kesentuh dikit aja uda langsung meringis.”

Gue mengangguk mendengar perkataan Yosi.

Ketika gue berkelahi untuk pertama kalinya melawan Sigit, tubuh gue seperti dialiri sebuah perasaan meluap-luap yang membuat nafas gue memburu, jantung berdetak sangat cepat. Rasa takut yang biasa menguasai gue seakan menghilang, tergantikan dengan perasaan ingin membalas dendam kepada Sigit, si pengkhianat sekaligus orang yang ternyata menyerang gue di insiden terdahulu. Namun karena kalah pengalaman, satu pukulan Sigit ke arah rusuk membuat semangatku langsung buyar. Karena gue ngrasa rusukku patah dan rasanya luar biasa sakit sampai membuatku sesak nafas. Logika gue menyuruh agar gue tetap berbaring, namun perasaan tidak mau kalah dan amarah membuat gue bertahan dari rasa sakit dan melancarkan serangan terakhir ke Sigit yang rupanya mampu membuat dia roboh.

Kombinasi serangan lutut, siku dan pukulan ala Muaythai hasil didikan Maya.

Begitu Sigit roboh, saklar dalam diri gue jadi ikut padam. Gue pingsan. Hal pertama yang gue lihat ketika gue tersadar di sebuah rumah sakit adalah Mama. Mama duduk di sofa samping tempat tidur dan tengah sibuk dengan laptopnya. Pikiran gue langsung bakalan di omelin habis-habisan sama Mama. Mama baru ngeh kalau gue udah sadar ketika saat aku hendak memperbaiki posisi berbaring, gue mengerang kesakitan karena rusuk sebelah kanan rasanya sakit, sakit sekali.

Mama menatap ke arah gue tanpa tersenyum sama sekali. Beliau lalu menutup layar laptop dan kini sepenuhnya memandang ke arah gue. Gue udah hapal ekspresi Mama kek gini. Dia pasti sangat marah sekali. Ketika Mama mendatangi dan kemudian berdiri di samping tempat tidur, gue udah pasrah di damprat habis-habisan.

“Zen udah cerita semuanya. Termasuk bagaimana kamu sekarang udah jadi cowok kuat yang berani melawan orang yang sudah menyakitimu dulu. Anak kesayangan Mama rupanya sudah besar. Xavi, mama bangga sama kamu. Mama bukan bangga karena kamu sudah berhasil mengalahkan lawanmu. Tetapi Mama bangga karena perjuanganmu selama beberapa bulan ini. Maya bercerita betapa kamu bersungguh-sungguh berlatih dengannya dan sangat disiplin. Termasuk ketika Maya bercerita ke Mama kalau kamu memintanya untuk diajari beladiri untuk belajar membela diri. Mama bangga samu kamu, nak.” ujar Mama sembari tersenyum dan mengusap rambut di kening gue.

Mama bahkan menunduk untuk mencium pipi kiri dan kening gue dengan lembut. Perkataan dan sikap Mama tersebut membuat gue merasa terharu dan mellow.

“Eh jangan nangis dong, jagoan kok nangis,” kata Mama sambil mengusap air mata yang mengembang di pelupuk mata gue.

“Berdasarkan pemeriksaan Dokter, kamu mengalami luka pukul cukup parah. Terutama di rusuk sebelah kanan. Beruntung tulang rusukmu tidak ada yang patah, hanya 3 ruas tulung rusuk kanan retak dan perlu di kontrol lebih lanjut. Jadi untuk beberapa hari ini kamu harus banyak istirahat dan jangan terlalu banyak bergerak.”

Gue cuma mengangguk dan tersenyum ke Mama.

“Mama, sejak kapan ada di sini?”

“Pagi tadi. Dari airport Mama langsung kesini. Udah 2 hari kamu tidak sadarkan diri. Beruntung kondisimu tidak terlalu parah dan bisa sembuh jika cukup istirahatnya.”

dua hari gue gak sadarkan diri? Buset.

“Mama bersyukur kamu mempunyai sahabat seperti Zen, Yandi, Yosi serta beberapa kawan lainnya. Mereka sangat peduli denganmu. Sahabat seperti mereka sangat susah dicari lho,” puji Mama.

“Iya Ma.”

Selanjutnya hari itu Mama menunggu dan merawatku seharian penuh di Rumah Sakit, dan keesokan harinya dengan terpaksa mesti kembali pergi ke Jakarta karena agenda pekejaan. Dari tatapan mata Mama, ia seperti berat meninggalkanku namun gue meminta beliau untuk tidak usah terlalu khawatir. Setelah Mama pergi, gue ditemeni salah satu personal assistantnya selama beberapa hari. Sampai akhirnya gue boleh diperbolehkan untuk pulang ke rumah.

Lamunan gue buyar saat ponsel di dalam tas gue berbunyi. Gue lihat Yandi mengirim pesan di grup Wa “XYZ SQUAD”.

YANDI
Saya berterimakasih karena kalian semua masih mampu mengendalikan emosi dan tidak merusak pesta hari ini dengan tindakan memalukan.

Kalian sudah lulus dari syarat yang saya tetapkan. Oleh karena itu saya akan memenuhi janji saya.

Besok malam, di ruang Gym. Silahkan kalian semua menuntaskan masalah sampai puas dengan cara jantan. Namun saya peringatkan, jika ada yang bertindak terlalu jauh. Saya sendiri yang akan menggelandang kalian kek kantor polisi + men-DO- siapapun yang nekat melanggarnya.

TOMO.
15.34

Saat gue masih mencoba memahami arti pesan tersebut, Yandi kembali mengirim pesan  berikutnya.

YANDI
Itu adalah pesan dari Pak Tomo. Akhirnya perang besar akan terjadi juga besok.
Aku tidak akan meminta kalian semua untuk datang, karena besok akan menjadi malam yan berbahaya bagi siapapun. Meskipun kita bergabung dengan anak kelas 3, jumlah kita secara keseluruhan 1:2 dengan kelompok Oscar. Jadi yang tidak bisa datang, jangan merasa tidak enak. Aku mengerti apapun alasan kalian.

Buat siapapun yang besok ikut ke sekolahan, jam 8 malam kita kumpul di rumah Zen dan jangan membawa benda apapun. Besok akan menjadi perkelahian massal dengan tangan kosong.
15.35

Tak lama kemudian, salah seorang di grup mereply pesan Yandi yang terakhir.

RIKO
Lo jangan bercanda Yan! Tentu saja kami  semua akan datang tanpa terkecuali !!
15.37

Komentar Riko langsung di tanggapi semua orang yang ada di grup dan semuanya menjawab dengan jawaban yang sama.

HADIR !!!

Gue tersenyum lalu menoleh ke arah Yandi yang duduk di belakang. “Gue siapp tempur besok!”

Gue gak peduli kalau gue masih kepayahan. Namun dengan beristirahat sepulang dari sini sampai besok sore, gue yakin lebih dari cukup untuk mengembalikan kondisi tubuh gue.

Party time!!” sahut Yosi.

“Akhirnya....gue boleh bunuh Budi.” komen Zen singkat.


***

Setelah perlahan rasa nyeri berangsur membaik, gue lalu menyusul anak-anak yang sudah ke depan stage untuk melihat performa selanjutnya. Kalo gak salah, setelah selesai break, 3 bintang tamu khusus dari SMA NEGERI XXX akan perform. Memek Berkontol-nya Bram, DJ embut alias DJ Kevlar alias Kevin yang sok populer lalu terakhir Vinia. Gue sebenarnya suka sama musiknya Memek Berkontol atau kalau yang risih nyebut nama band Bram, lebih suka menyingkatnya dengan MBK. Namun attitude Bram yang udah sama kayak tukang adu domba, membuat gue eneg dengar mereka main. Gue lalu gabung dengan Yandi dan teman-teman yang sedang berkumpul di dekat tenda makanan yang menjual hot dog. Saat gue berjalan sendirian mendatangi mereka, entah kenapa gue ngrasa beberapa cewek, dari sekolahan gue tentu saja, melihat ke arah gue bahkan melemparkan senyum. Haha baru kali ini gue merasa keren, gue pun membalas senyum mereka dan tetap berjalan kali ini dengan menegakkan kepala.

Mungkin mereka tertarik atau flirt ke gue karena penampilan gue yang  garang di balik drum ketika XYZ tampil. Badan gue yang dulu gemuk, kini lebih ramping bahkan gue ngrasa ketika memakai kaos yang pas badan, keliatan banget otot bisep gue. Singkatnya gue memang pendek namun tubuh gue kini mulai ideal dan lumayan berotot. Namun untuk membentuk six pack gue masih jauh. Ya setelah otot trisep dan bisep kebentuk, ntar gue focus ngebentuk perut.

Gue gak langsung mendatangi anak-anak karena gue sempat berkeliling sebentar dan mengedarkan pandangan mencari seseorang yang bikin gue deg-degan saat dekat dengan dia yakni Asha.

Namun gue gak bisa nemuin Asha di tengah kerumunan orang segini banyak, apa dia gak datang ya? Terus kalaupun dia datang, entah apa yang ia pikirkan ketika melihat gue perform tadi? Gue gak bisa menebak sikap Asha karena dia misterius dan cukup tertutup. Beberapa kali gue WA dia basa-basi tentang pelajaran pun jawaban dia singkat, padat, dan jelas. Kalau gue WA semisal nanya dia lagi ngapain, atau hal-hal diluar urusan sekolah, dia cuma nge-read doang tanpa membalas.

Sigh.

Gue coba stalking sosmed dia pun percuma, dari keterangan beberapa teman dekat Asha yang berhasil gue tanya-tanya, kata mereka si Asha ini termasuk cupu karena tidak punya akun Facebook, Twitter, Path, Instagram apalagi akun Tik-Tok. Dia hanya punya Whatssap dengan profile picture gambar bintang. Hedeh.

“Lama amat lu nyusul?” tanya Astra begitu gue uda gabung.

“Karena-”

“Pencernaan dia mah soak. Ke toilet mulu dia abis perform haha,” sambar Yosi sambil menatap gue dan sedikit mengangguk. Gue langsung paham kode Yosi tersebut. Sepertinya dia ingin agar masalah rusuk gue yang belum sembuh benar tidak diketahui banyak orang, cukup kami berempat yang tahu.

Gue tersenyum lalu menambahkan dengan bilang ke anak-anak kalau gue mules setelah perform gila-gilaan di stage.

“Haha gimana lo gak mules, gue juga mules sebenarnya ketika secara terang-terangan kita udah menantang kelompok Oscar,” ujar Riko.

“Eh, udah cukup, Dita datang. Jangan ngomongin masalah Oscar depan dia,” pinta Yandi.

Kami semua mengangguk dan lalu segera mengganti topik pembicaraan. Yandi sebelumnya uda bilang, bahwa Dita tidak tahu konflik di sekolahan dan ia tidak mau Dita tahu. Setelah Dita gabung kami membicarakan tentang acara pensi yang sebentar lagi dimulai lagi dengan penampilan Kevin. Ketika kami sedang asyik mengobrol, tiba-tiba ada seseorang yang mendatangi kami.

“Yan, gue mau ngomong sesuatu sama elo.”

Orang tersebut adalah Jati, anak kelas 3. Yandi lalu berbicara sesuatu dengan Dita lalu ia berjalan menjauh diikuti oleh Jati, sementara Dita tetap bersama kami. Dita nampak rikuh saat bersama kami karena dia memang tidak terlalu akrab dengan anak-anak. Beberapa kali Dita ikut dengan Yandi ketika nongkrong dengan kami, entah pas ke mall saat nonton bioskop bareng ataupun ketika ngopi santai. Dita lebih banyak diam, sibuk dengan ponsel dan hanya berbicara kalau ada yang bertanya. Apalagi kalau pas ada Vinia. Vinia dengan sifat tomboy dan akrab dengan semuanya nampak kontras dengan keberadaaan Dita. Entah apa perasaan gue atau gimana yang jelas kalau ada Vinia biasanya Yandi selalu balik duluan, entah pulang atau lanjut jalan. Gue yakin Dita-nya yang minta cabut duluan. Dita memang cakep sih gue akui, gadis manis berkulit sawo matang dengan rambut hitam panjangnya. Badannya juga bagus, imut tapi montok. Wajar kalau Yandi sampe berantem hebat dengan Puput karena Dita. Namun sifat kurang supelnya ini yang membuat Dita tidak anaknya jadi kurang asyik.

“Dit, lo kesini sendirian?” tanya gue untuk memecah keheningan.

“Iya, sendiri.”

“Owh gitu, tetapi gue lihat ada beberapa anak dari sekolahanmu tuh.”

“Iya, tadi uda sempat ngobrol bentar sama mereka.”

Bangke lu Dit, datar amat. Udah gitu, dia jawab sambil melihat ke ponselnya. Di saat gue merasa gak punya bahan pembicaraan lagi dan anak-anak yang lain lebih memilih ngobrol sendiri termasuk Zen dan Yosi, gue lalu teringat ada bahan pembicaraaan seru.

“Eh Dit, lo kenal sama Dea gak ceweknya Yosi? Dia juga anak SMA SWASTA XXX, anak kelas 2 tapi.”

Yosi langsung menoleh ke arah gue saat gue menyebut nama dan nama ceweknya haha.

“Tahu sih, cuma gak begitu kenal. Dia cukup populer di sekolah, anak Teater,” jawab Dita yang kali dengan sikap yang lebih terbuka, tidak lagi menatap ponselnya.

“Eh Yos, Dea kenal ga sama Dita?” tanya gue kepada Yosi.

“Sama seperti jawaban Dita barusan. Dea tahu Dita karena Dita anggota Cheerleaders di sekolahan,” ujar Yosi.

Beda halnya dengan Dita, kalau Dea pacarnya Yosi justru cuma 1-2 kali ikut nongkrong bareng kami. Kata Yosi, Dea gak mau ganggu dan pas selalu ada kegiatan teater jadi gak bisa ikut gabung. Namun kalau pas datang dia asyik anaknya, supel. Dea, ini bodinya seksi abis. Posturnya lumayan tinggi, kutilang kalau orang bilang. Namun tidak terlalu kurus bahkan cukup bohay. Dadanya gede haha.

“Kapan-kapan kita ngopi bareng lagi seru nih, ngopi di rumah gue aja deh.”

Dita cuma tersenyum lalu ia menatap kembali ke ponselnya lalu bilang,” Eh gue tinggal dulu ya. Teman sekelas gue juga ada disini ternyata.”

“Tar Yandi nyariin lho.”

“Gue udah WA dia, tar kalo dia uda selesai bicara dengan temannya, dia bisa nyusul,” jawab Dita sambil berlalu pergi.

“Eh gak apa-apa tuh Dita pergi? Gue khawatir anak buah Oscar macem-macem,” ungkap Astra pelan.

“Iya, sama. Apalagi Leo dan Sigit sempat ada rencana busuk manfaatin Dita,” timpal Wira.

“Kalian santai saja, gak mungkin mereka macam-macam di tengah acara kek gini,” sahut Zen. Dan perkataan Zen membuat kami sedikit tenang, Karena benar juga sih omongan dia. Jadwal “pertandingan” sudah ditentukan besok, jadi tidak perlulah Oscar cs macam-macam sama Dita.

“HEY WORLD.”

Suara dari arah Big Stage membuat kami menoleh ke arah stage. Dentuman suara EDM yang menggelegar menjadi pertanda bahwa Kevin sudah tampil. Langsung saja semua orang memadati depan Big Stage. Meskipun nih orang songong parah, tetapi gue akui sense music Kevin jempolan. Perpaduan dentuman drum electronic, turntables, synthesizer, bit keras dengan line-line simpel membuat gue makin yakin si Kevin ini  terpengaruh total dengan dubstep ala Sonny John Moore alias Skrillex. Namun apapun itu, utk ukuran anak SMA 16 tahun produce musik kek gini tetap keren.

“Eh lo semua ga ikut goyang tuh? Cewek-cewek berkerumunan di depan pada dugem tuh.Guys, maju yuk!” ujar Astra mengajak kami.

“Gak, gue disini aja, ga terlalu suka gue musik ginian,” jawab Yosi menolak ajakan Astra. Begitu juga dengan Zen yang cuma menggelengkan kepala.

“Payah elo ah! Musiknya mah nomor sekian, yang penting ndusel-nduselnya haha!”

Astra, Wira dan Riko kemudian pergi dan menghilang di tengah kerumuman orang yang nampak terbius dengan musik Kevin.

“Xav, ga ikut lo sama mereka? Kan elo paling demen musik ginian,” tanya Yosi.

“Gak. Liat dari sini uda cukup jelas.”

Padahal gue pengen ikut merangsek di tengah kerumunan dan ikut dugem namun gue kondisi rusuk gue yang kadang ngilu kadang engga, membuat gue mengurungkan niat. Sekarang tinggal kami bertiga yang berdiri cukup jauh dari kerumunan. Sepertinya semua anak-anaK XYZ larut dalam kegembiraan di depan stage sana. Yah, wajar jika bukan hanya anak-anak XYZ yang bersenang-senang, gue yakin anak kelas 2 dan 3 juga sangat menikmati hari ini. Sebelum akhirnya besok malam, kami bersama anak kelas 3 dari kelompok Feri dan mungkin juga dari kelompok Jati, akan berhadap-hadapan denga kelompok Oscar.

“Gue mo beli minuman, kalian mo nitip sekalian gak?”

“sekaleng Green Sand dingin,” jawab Yosi. “Rokok  U-Mild.” tambah Zen.

“Beres.”

Gue lalu mendatangi stand makanan dan minuman dan juga 1 stand rokok yang menjadi salah satu sponsor tunggal acara. Gue takjub karena Pak Tomo mengijinkan ada stand rokok di sini. Tapi ya sudahlah. Semua happy. Kapan lagi semua bisa ngrokok dengan santai di depan para guru dan Pak Tomo. Stand makanan dan minuman tidak terlalu ramai jadi gue bisa membeli sekaleng Green Sand dingin, 1 cup besar jus mangga dan sebungkus rokok tanpa berdesak-desakan. Namun ketika gue hendak balik, gue melihat Asha tengah  berdiri di depan stand Es Kepal Milo yang ternyata mayan ramai. Dan untuk pertama kalinya gue melihat Asha pakai baju biasa, ternyata modis juga Asha. Ia mengenakan jilbab krem, baju lengan panjang warna coklat lumayan press badan, jeans warna hitam ketat dan sneaker. Wow, Asha yang biasanya berseragam dan berpenampilan tertutup, kini terlihat makin mempesona. Apalagi kalau dilihat dari samping. Lekukan di bagian dan pantat terlihat sekali. Seksi!

Sepertinya Asha sedang antri nih, duh gue deketin aja kali ya. Just say hai. Di saat gue mendatangi Asha pelan dan tentu dengan perasaaan berdebar-debar, tiba-tiba Asha menoleh ke arah samping kiri dan nampak berbincang-bincang dengan seorang cowok yang berpostur tinggi yang sepertinya dari tadi memang berdiri berdampingan dengan Asha. Dari sini gue bisa melihat Asha mengobrol santai sambil sesekali menunduk dan tersenyum.

Dari kedekatan, keakraban dan interaksi mereka berdua, gue yakin cowok yang setelah gue perhatikan wajahnya tidak terlalu asing, punya hubungan lebih dari sekedar teman. Setelah berpikir, akhirnya gue tahu cowok yang bersama Asha tersebut kalau tidak salah anak kelas 2. Tapi gue gak tahu nama maupun kelas berapa. Namun yang jelas, secara fisik, gue jelas kalah. Si cowok ini tinggi, berkacamata, good looking. Memiliki kesan pintar. Pokoknya kalau dibandingin sama gue, gue uda kayak remahan roti.

Gue langsung merasa patah hati, sakit men. Beruntung gue belum sempat menyapa Asha, kalau enggak, gue pasti malu banget sok akrab sama Asha, padahal ada cowok Asha disampingnya. Gue menatap Asha lekat-lekat lalu gue berbalik arah. And somehow, tepat sebelum gue balik badan, Asha pas menengok ke arah gue.

Kami bertatapan sepersekian detik.

Setelah balik badan, gue diam berdiri mematung sebentar baru kemudian pergi.


****

“Woi, lu ngapa diem-diem bae dari tadi? Gue ajak ke depan malah diam di belakang. Semua anak-anak maju ke depan stage pas Vinia perform, lo malah diem di belakang. Lo kenapa sih? Kesambet lo?” tanya Yosi sambil terengah-engah.

“Iya Xav, kenapa tadi kamu gak ikut gabung. Biasanya kamu paling depan kalau Vinia main,” tambah Yandi.

“Bisa gak sih lo semua diem gak usah gue kenapa. Gue cuma lagi males ngapa-ngapain. Dah ah, gue mau balik tenda. Jangan ada yang ganggu gue, gue mau istirahat bentar. Tar pas Rich Brian main, gue balik kesini lagi,” gue jawab pertanyaan anak-anak dengan ketus kemudian gue berlalu pergi.

Gue sempat mendengar perkataan Zen yang meminta Yandi agar tetap ngebiarin gue sendiri dulu. Sorry guys, gue malu kalau gue cerita ke kalian, kalau gue sedang patah hati. Gara-gara Asha. Suasana pensi yang meriah, banyak hiburan bahkan tidak bisa membuat mood gue membaik. Sampai di tenda, gue lalu duduk bersandar di sofa yang cukup nyaman. Galau gue gegara Asha. Cewek yang fotonya gue tempel di depan meja belajar agar gue semakin termotivasi mengalahkan nilai-nilainya demi merebut perhatian dari dirinya.

Mama dulu pernah bilang, kalau gue berhasil menjadi juara kelas gue bisa membuat Asha penasaran karena ada yang mengalahkan nilainya. Namun gue gagal karena hasil raport kemarin Asha masih jadi juara kelas sementara gue di rangking 2 dengan perbedaan nilai hanya 0,1. Sangat tipis.  Jadi gak aneh kalau gue yang bertampang biasa aja kek gini, ga menarik perhatiannya. Lagipula, Asha itu selain pintar dia juga cantik. Jika cantik saja sudah bisa menarik para cowok, apalagi di tambah dengan status murid kelas 1 terpandai. Gue yakin semua cowok di sekolahan, entah secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan sudah bergerak mencoba menggaet hati Asha.

Dan sepertinya anak kelas 2 yang bersama Asha tadi, menjadi pemenang di antara semua cowok yang berlomba-lomba mengejar Asha. Gue sempat terpikir untuk memanfaatkan nama besar Mama dan juga kekayaan keluarga gue untuk menarik perhatiannya, namun gue masih trauma dapat pacar dengan mengedepankan materi.  Suara gemuruh musik yang terdengar sayup di depan sana terdengar hambar. Dari semangat gue yang berkobar-kobar setelah perform bisa jadi drop secara drastis karena Asha,

Menyedihkan.

Apa gue balik duluan aja kali. Gue udah gak peduli lagi nonton Rich Brian perfom. Pikiran dan mood gue benar-benar memburuk. Ah sepertinya gue mesti balik awal, gue butuh menenangkan diri. Karena gue gak bisa terus-terusan kek gini, apalagi besok XYZ punya hajat besar di sekolah. Dan gue mesti wajib ikut. Lebih baik gue memang pulang dan istirahat, hitung-hitung pemulihan.

Gue langsung mengemasi barang-barang dan gue jejalkan ke dalam tas punggung.

DRRTTT.

Gue melihat ponsel yang ada di saku celana bergetar sekali. Ada pesan masuk. Mungkin WA, Line atau BBM. Namun gue biarkan dulu, karena gue sedang mengikat dan mengencangkan tali sepatu.  Setelah tas udah menempel di punggung, barang sudah masuk ke tas semua, gue merogoh ponsel dan membukanya. Hal pertama yang gue baca adalah 1 pesan masuk di WA dengan nama kontak ASHA berada di list paling atas.

OMG !!

ASHA nge-WA gue duluan!

OMG!! OMG !!

Untuk pertama kalinya, Asha nge-WA gue duluan.

Saking terkejut dan girang, gue sampai kembali terduduk lalu melepas tas. Wait, gue gak boleh senang dulu. Bisa jadi isi pesan dia mengabarkan kalau cowok yang bersamanya adalah pacarnya.

Hiks..hikss..

Eh sebentar, kalaupun iya itu pacarnya, kenapa Asha sampai repot-repot ngasi tahu gue? Apa urusannya sama gue. Duh makin senewen gue. Tapi mau buka WA Asha, gue malah deg-degan keringatan ! Astaga, ini badan gue sampe gemeter, bahkan lebih gemeter sekarang daripada ketika gue berantem dengan Sigit.

Setelah mondar-mandir di dalam tenda untuk menenangkan diri, akhirnya terkumpul keberanian untuk membuka isi WA Asha. Gue ambil ponsel yang gue letakkan di meja. Dan mulai menghitung mundur dari 10. Ketika hitungan gue sudah sampai 2, gue sampai berteriak dan membuka WA Asha dan bersiap dengan segala kemungkinan.

ASHA
Penampilan kamu di belakang drum ketika XYZ main, keren bgt.
17.03

OMG ! OMG ! OMG ! OMG ! OMG !

Gue sampai meletakkan ponsel di meja dan memegangi kedua kepala karena ngrasa gak percaya membaca WA dari Asha ! Dia menyukai penampilan gue bersama XYZ siang tadi? Apakah dia menyaksikannya dari awal?

DRRTT

ASHA
Ian sudah menceritakan semuanya tentang tensi panas yang terjadi setelah kalian XYZ main. Bahkan Ian juga menunjukkan kepada ada sebuah pesan berantai yang beredar di grup-grup WA anak SMA NEGERI XXX, bahwa besok akan terjadi sesuatu peristiwa besar di sekolah. Ian memprediksi kamu juga akan terlibat
17.15

OH MY....


ASHA
Aku memang bukan siapa-siapa kamu. Namun tetap saja aku khawatir kamu kenapa-kenapa besok.
Tapi mau dilarang kayak gimana pun, aku yakin kamu tetap akan ikut pergi bersama Yandi dll.
Jadi aku cuma bisa bilang, jaga diri baik-baik.
17.18

THIS. IS. SO. UNREAL.
SO. FUCKING. UNREAL.
I’M I DREAMING?

Asha WA gue dan tiba-tiba bilang dia khawatir sama gue? Gue baca berulang-ulang. Bahkan gue cek ini memang nomor Asha. Asha yang biasanya cuek dan bersikap dingin ke gue ternyata sampai segini perhatiannya? Sebentar-sebentar, kenapa tiba-tiba Asha begitu jujur? Meskipuin hanya lewat WA. Lalu siapa cowok yang sama dia?

DRRTTT.

Asha kirm pesan lagi.

ASHA
Oia, btw.
Ian itu anak kelas 2 yang nemenin aku nonton pensi dan mungkin kamu sudah melihatnya.

Ian itu sepupu aku.
17.22

Gue benar-benar speechlees. This is too good to be true.

Anjir, gue sampai nangis kek gini hanya gara-gara WA Asha. Otak gue gak bisa berpikir yang aneh-aneh lagi. Gue mesti ketemu langsung

XAVI
Kamu dimana sha?
17.23

Pesan gue langsung bertanda centang 2 berwarna biru. Yang berarti Asha langsung membaca pesan gue.

ASHA
Dekat box cameramen Bang Stage,.
17.25

Gue langsung bergegas keluar dari tenda, tentu saja untuk ketemu Asha. Namun wow semakin sore semakin ramai ! Gue sampai susah untuk sekedar lewat. Karena di Bang Stage, Bondan Prakoso sedang menyapa para penonton kemudian ia memainkan intro lagu dengan pattern bass yang siapapun pasti tahu.

Hysteria milik Muse !!



Sontak semua penonton langsung bertepuk tangan, termasuk gue. Gue sampe berhenti dan sejenak menikmati cover dari Bondan yang sungguh ajib. Keren, dengan pattern sesusah itu, dia sambil nyanyi pula. Suara Bondan juga bagus.

Penampilan Bondan membuat semua penonton seperti terhipnotis dan di pertengahan lagu gue kembali menyelinap dan sampai di sisi kanan pagar pembatas box yang berisi cameramen yang berdiri di atas stage kecil setinggi 4 meter. Dan ketika gue menoleh ke kiri hendak mencari Asha, gue langsung menemukannya. Di samping ada Ian, sepupu yang gue kira pacarnya. Sama seperti penonton lain, mereka juga sedang terpukau menonton Bondan yang sedang menggila di atas Bang Stage. Gue coba memanggil dia namun ia jelas tidak mendengarnya karena suaraku kalah dengan lautan suara. Posisi dia berdiri di samping kiri pagar pembatas box, sementara gue di sebelah kanan pagar pembatas. Jarak kami sekitar 5 meter namun gue udah gak bisa mendekat karena banyak orang yang bersandar di pagar depan.

Gue lalu mengirim WA ke Asha.

XAVI
Noleh ke kanan
17.34

Setelah beberapa saat gue perhatikan, Asha nampak menunduk dan tiba-tiba menoleh ke arah gue.

Ia langsung menebar senyuman ketika melihat gue.

Duh Gusti, baru kali ini Asha senyum segitu cantiknya ke gue. Sampai-sampai gue mesti pegangan ke pagar. Hilang sudah semua rasa sakit di hatiku, kini terganti dengan perasaan berbunga-bunga. Sampai gue udah gak merasakan nyeri lagi di rusuk gue. Ketika semua penonton menghadap ke arah stage, kami berdua terus berpandang-pandangan. Kalau gue terus menatap Asha, dia sesekali tertunduk dan seperti tersipu malu kemudian membalas tatapan gue. Apa ini nyata? Saat ini gue tengah saling beradu pandang dengannya. Asha suka sama gue? Kok bisa? Selama ini sikap dia di sekolah biasa aja ke gue.

Suara tepuk tangan penonton ketika Bondan selesai membawakan lagu Muse, membuat kami sadar kami tengah berada di sebuah konser.  Tak beberapa lama kemudian, kembali penonton bertepuk tangan saat Bondan memainkan intro sebuah lagu yang membuat nama Bondan Prakoso feat Fade2Black dikenal semua orang dan semua penonton pun ikut bernyanyi. Gue senang karena bagian reff lagu “Bunga” sesuai dengan perasaan gue saat ini. Dan gue menunggu bagian tersebut dengan perasaan berdebar-debar. Karena malam ini gue akan mengungkapkan semuanya tentang perasaaan gue ke Asha yang sudah gue pendam dari awal pertama gue melihatnya.



Daaaaaan tepat sebelum reff dimulai, gue menghadap ke sisi kiri lebih tepatnya menatap Asha, berpegangan di pagar lalu selanjutnya gue menyanyikan bagian reff bersama dengan Bondan dan juga para penonton, dengan sekeras-kerasnya untuk Asha. Dan ajaibnya, sebelum gue  mulai bernyanyi, Asha juga pas memandang gue.

1..2..3..!!

“SEAKAN MATAKU TERTUTUP..KU INGIN CINTA INI DAPAT KAU SAMBUT..HARAPKAN PERASAAN INI KAU TAHU..SUNGGUH KU INGIN KAU JADI MILIKKU !!”

Part yang menjadi part terindah di lagu “Bunga” yang seharusnya di nyanyikan dengan slow, justru gue nyanyikan dengan penuh semangat sampai berteriak-teriak.

Reaksi Asha.

Ia tersenyum namun kali ini sampai menutupi mulutnya dengan kedua tangan. Entah apa artinya, karena gue paling gak tahu pikiran perempuan, kecuali pikiran Mama gue yang udah hapal. Namun yang jelas gue lega luar biasa bisa mengatakan perasaan gue ke Asha dengan cara seperti barusan. Pokoknya di setiap part reff, gue ikut bernyanyi untuk Asha yang kini sepenuhnya juga udah menghadap ke gue, tidak lagi menghadap ke stage. Sepertinya perasaan gue benar-benar tersampaikan.

Sebuah kejutan manis dilakukan Bondan karena tepat setelah reff terakhir menjelang lagu selesai, ia menyambung dengan reff lagu lama yang gue cukup familiar.

“What if God was one of us?
Just a slob like one of us
Just a stranger on the bus
Tryin' to make his way home?”

Reff dari lagu Joan Osborne berjudul “One Of Us”.  Mas Bondan menyanyikannya dengan cara yang sangat mengesankan.

Tepuk tangan yang sangat meriah bergemuruh ketika Bondan selesai bernyanyi. Gue ikut bertepuk tangan menghadap ke stage. Baru juga selesai, salah seorang rapper dari Fade2Black berdiri di tengah panggung, lalu berinteraksi dengan para penonton.



“Gue bilang BON ?...lo bilang NDAN !”

“BON ?...” mic di arahkan ke penonton yang langsung menyahut keras “NDAN!”

“BON ?” .....”NDAN!”

“Gue bilang FADE TWO ?...lo bilang BLACK !”

“FADE TWO ?”.....“BLACK!”

“FADE TWO ?”.....“BLACK!”

Setelah berinteraksi dengan penonton, dia langsung menampilkan beatbox dan disusul gebukan drum ringan dan rythm. Wah mereka mau perform lagu “TETAP SEMANGAT” yang sangat enerjik!

Ketika semua orang mulai melompat-lompat terbuai lagu edan ini, gue menoleh ke arah Asha dan gue kaget karena tidak mendapati dia tidak ada di tempatnya semula. Yang gue lihat cuma Ian yang berjingkrak-jingkrak. Namun kemudian gue ngrasa ada tangan halus yang menggenggam tangan kanan gue. Ketika gue menoleh, gue lihat Asha berdiri di samping gue dan gue lihat tangan Asha yang memegang tangan gue.

Oh God...

Gue sampai tak bisa berkata apa-apa, yang gue lakukan cuma membalas menggenggam tangannya. Ketika gue mau berkata sesuatu, meskipun gue gak tahu mau ngomong apa, Asha tersenyum, mengangguk dan kemudian berkata.

“Tanpa kamu bilang, aku sudah tahu.Kita nikmati lagu ini bareng yuk!”

Asha lalu melompat dan ikut bernyanyi. Tak butuh waktu lama, kami berdua larut dalam alunan musik Bondan yang beraroma ska. Kami meloncat bersama, tertawa bersama, bernyanyi bersama. Dan itu semuanya kami lakukan tanpa sekalipun melepaskan genggaman tangan.

Ini adalah momen terindah dalam hidup gue.


***

Keesokan harinya, beberapa jam sebelum Final Clash…

ASHA
Nanti malam sebelum km pergi sama yang lain, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama kamu. Penting.
Ini aku share loc rumah aku.
18.17

Sepanjang perjalanan menuju rumah Asha naik motor, mengikuti GPS yang ia berikan, di pikiran gue masih teringat jelas pesan yang Asha kirim. Gue mencoba bertanya dengan membalas WA nya namun tidak ia balas. Hanya dibaca. Bahkan ketika gue coba telepon, tersambung namun tidak di angkat. Oke, sepertinya Asha memang ingin berbicara langsung. Meskipun  gue gak tahu apa yang ingin ia bicarakan, tetapi mengingat  momen kedekatan kami semalam di pensi dimana kami menonton hingga selesai, bisa jadi Asha ingin memperjelas hubungan kami.

Dari cara ia menatap gue, memegang tangan gue, berbicara dengan gue. Gue yakin Asha entah bagaimana juga memiliki perasaan yang sama dengan gue. Hanya saja, hati kecil gue mempertanyakan perubahan sikap Asha yang begitu drastis. Dari sikapnya yang begitu dingin, cuek ke gue tiba-tiba berubah menjadi Asha yang perhatian, terbuka bahkan sedikit agresif. Apa karena Asha tahu kalau gue anak dari seorang Clara Maria Hehanusa? Sehingga dia sama seperti cewek kebanyakan yang memiliki sifat matre.Wajar kalau gue memiliki prasangka kepada Asha. Sepertinya apapun yang hendak Asha bicarakan, gue harus menanyakan hal ini.

Setelah menembus kemacetan lalu-lintas yang mulai padat 4 jam sebelum malam pergantian tahun baru, gue sampai di depan sebuah rumah bernomor 7 yang sepertinya sesuai dengan lokasi yang diberikan Asha. Gue perhatikan rumah ini paling besar jika dibandingkan dengan rumah-rumah di sekitar sini. Oke dia anak orang kaya. Setelah gue foto depan rumahnya, gue kirim WA ke Asha.

Tak berapa lama kemudian, gue melihat pintu depan terbuka. Karena pagar depan cukup tinggi, kurang jelas siapa yang membuka pintu.

“Hei, ayo masuk,” sapa Asha ketika membuka pintu pagar yang juga tinggi. Oh ternyata Asha sendiri yang membuka pintu. Dan gue langsung deg-degan karena ketemu lagi sama Asha. Asha mengenakan baju terusan warna biru dan hijab berwarna biru tua.

“Ha..halo Sha..” jawab gue gugup.

“Halo..iEh itu motornya di masukkin ke dalam, tar hilang loh, hihi.”

Haduh saking groginya, gue sampai memparkir motor di luar. Setelah Asha membuka pintu pagar cukup lebar, gue lalu menuntun motor gue masuk dan gue parkir di depan garasi yang tertutup. Asha mempersilahkan gue masuk ke rumahnya dan sebelum gue duduk, dia menawari gue minum apa. Dan gue sempat heran ketika Asha menutup pintu depan. Yang bikin gue agak gimana, tirai rumahnya ternyata juga tertutup dari tadi.

“Susu ada gak?”

Asha sempat diam langsung seperti menahan tawa, “Susu apa?”

“Eh maksudku susu coklat. Milo, Ovaltine, Indomilk bebas. Pakai es kalau bisa hehe.”

“Sepertinya masih ada 1 kotak susu coklat fullcream. Bentar ya.”

Gue mengamati ruang tamu Asha yang nampak nyaman, rapi dan bersih. Di ruang tamu ada lukisan seorang gadis kecil berambut panjang tengah memeluk seorang perempuan berambut pendek. Gue langsung mengenali siapa gadis kecil di lukisan tersebut. Itu Asha. Gue kagum dengan pelukisnya, karena dia bisa menangkap keindahan senyuman Asha lalu di tuangkan ke canvas. Dan gue kini juga tahu dari siapa Asha mewarisi senyuman seperti itu.

“Itu fotoku dengan Mama. Saat aku kelas 6 SD,” jelas Asha yang datang membawa nampan berisi 1 kotak Susu coklat fullcream Ultramilk, 2 gelas kosong dan 1 mangkuk berisi potongan es-es berbentuk dadu.

“Oh..”

Saat gue mencoba melihat beberapa foto yang berukuran lebih kecil, semuanya berisi foto Asha dengan Mamanya. Kok gak ada-

“Kamu lagi nyari foto Papa ya?”

Gue mengangguk.

Asha terdiam. Dengan menggunakan sendok, ia memasukkan beberapa potong es batu ke dalam gelas lalu ia menuang susu ke dalan gelas tersebut. Lalu gelas berisi susu coklat segar itu di angsurkan di depanku. “Ini.” Begitu katanya.

Gue meminum sedikit es susu coklat tersebut. “Kamu gak minum?” tanyaku.

“Nanti saja, masih kenyang.”

Canggung. Karena kami sama-sama terdiam. Gue grogi banget sampe bingung mo ngomong apa. Saat gue memandang Asha yang tertunduk, gue baru menyadari bahwa wajah Asha masih penuh riasan, cukup tebal menurut gue terutama di bibirnya yang merah sekali.

“Kamu mau pergi?”

“Enggak, kenapa memangnya?”

“Menor.”

“Ih, ini bukan menor tauk,jawabnya sambil memasang wajah cemberut.

Gue ketawa karena wajahnya jadi lucu. Tahu gue mentertawakan dirinya, Asha mendekati gue lalu mengeluarkan jurus cubitan paha.

“Duh, sakiit.”
“Rasain, huh!” katanya cemberut lalu kemudian tertawa memamerkan deretan giginya yang putih.

Gue pun ikut tertawa bersama Asha. Setelah tawa kami berdua reda. Ekspresinya berubah menjadi lebih serius. Sepertinya ini saatnya ia akan membicarakan sesuatu yang serius dan penting.

“Aku memintamu datang kesini langsung karena ini bukan sesuatu yang bisa aku ceritakan lewat telepon maupun WA. Ini ada hubungannya dengan masa laluku, termasuk kenapa tidak ada foto papa tergantung di sini. Setelah kamu mendengar ceritaku dan melihatnya langsung, semua terserah kamu. Apakah kita…..”


***

3 jam kemudian, di rumah Zen…

Kami semua berdiri dan menatap Yandi yang entah kenapa masih terlihat tenang, duduk di sofa teras rumah Zen, membaca koran sambil sesekali menyeruput teh panas.

Dari awal gue datang dan disusul kedatangan anak-anak XYZ ke rumah Zen yang menjadi titik kumpul sekitar 1 jam yang lalu, sepertinya Yandi belum berkata apa-apa. Padahal gue, Yosi bahkan Zen sibuk ngomong tentang berbagai kemungkinan yang terjadi nanti di aula sekolah. Di saat semua orang tengah menghabiskan malam tahun baru dengan teman, keluarga justru kini kami, anak XYZ bersiap untuk baku hantam. Tidak ada yang tidak datang. Bahkan kini anggota XYZ berjumlah 30an anak yang mayoritas berasal dari kelas 1.

Kami yang sebelumnya berbicara dengan nada pelan, takut kedengaran orang tua Zen, akhirnya bisa bebas berbicara setelah sekitar jam 23.15 kedua ortu Zen jalan-jalan keluar rumah. Setelah mereka berdua pergi kini perhatian kami terpusat kepada Yandi.

“Woi Yan, diem aja lu dari tadi? Udah mau jam setengah 12 nih,” Seru Yosi.

Namun Yandi cuek, wajahnya tenggelam tertutup Koran. Aneh juga nih Yandi. Santai banget. Padahal rata-rata semua anak disini pasang wajah tegang. Terlihat dari paras wajah dan kepulan rokok yang makin tebal karena banyak juga yang merokok. Merokok untuk meredakan ketegangan, lebih tepatnya. Hanya Zen, Yosi, Wira dan Riko yang terlihat tenang.

Gue ? gue tegang. Namun gue tegang bukan karena takut namun karena teringat tadi saat ke rumah Asha.

“Kamu ribut amat sih Yos. Ganggu orang lagi baca Koran aja.”

Begitu perkataan Yandi malam ini sambil melipat Koran dan ia taruh di atas meja teras.

“Jadi gini, aku mau tanya sesuatu kepada kalian semua. Dan aku harap tidak usah malu untuk menjawab jujur. Seperti yang kalian tahu, malam ini kita berkumpul di sini bukan untuk merayakan malam tahun baru dengan cara biasa saja. Kita berkumpul karena sebentar lagi di di dalam sana, kita akan terlibat baku hantam dengan kelompok yang sangat kuat dan memiliki jumlah pengikut yang lebih banyak dari kita. Bahkan jumlah XYZ digabung dengan teman-teman Jati, Feri dan Axel pun masih 1 banding 2. Alias masing-masing dari kita akan melawan 2 orang sekaligus.”

Yandi terdiam sejenak.

“Jadi udah kebayang kan apa yang akan kita hadapi di sana. Bukan ucapan selamat tahun baru yang kita dapat ! kita kesana juga bukan untuk bertukar ucapan selamat tahun baru !! namun kita akan kesana untuk bertukar pukulan ! aku mau tanya, siapa disini yang belum pernah ikut tawuran?” tanya Yandi.

Karena gue uda lawan Sigit kemarin, gue pikir uda masuk hitungan tawuran. Namun Yandi menatap gue, aish. Maka gue pun mengangkat tangan. Selain gue ada beberapa wajah baru yang gabung ke XYZ yang mengangkat tangan. Ada sekitar 10an anak. Ketika kami hendak menurunkan tangan, Yandi menyuruh kami untuk tetap mengangkat tangan.

“Tahan tangan kalian. Oke kalian aku anggap sudah pernah atau mungkin berkelahi sebelumnya. T api tawuran nanti itu beda, karena kita kalah jumlah sudah pasti di antara kita akan sibuk dengan urusan masing-masing. Akan sangat susah untuk saling membantu. Suasana akan benar-benar chaos. Kalian akan berkelahi dengan keberanian dan mental kalian masing-masing. Jangan berharap ada yang langsung membantu kalian ketika terdesak. Bergantunglah kepada kepalan tangan kalian sendiri!! Bagaimana, kalian masih ingin lanjut?”

Hahaha sialan lo Yan, sejak kapan lo jadi pinter ngebakar semangat kek gini sih. Gak mungkinlah kami mundur ! maka dengan lantang gue berteriak “LANJUTTTTTTTTT LAAAAAHHHHH!!”

“Oke, sebelum kita berangkat sekarang, ada beberapa hal penting yang mau aku sampaikan. Pertama, jangan ada yang membawa benda atau senjata apapun. Kalau masih ada yang membawa, keluarkan dan buang.  Sekarang juga. Jangan sampai aku tahu, salah satu di antara kalian ada yang membawa senjata. Senjata hanya untuk para pengecut.”

Tidak ada yang bereaksi berarti kami semua memang tidak memiliki pikiran untuk membawa senjata, nice. Yandi pun terlihat senang.

“Kedua, seperti yang aku bilang di awal, posisi kita sudah kalah jumlah. 1 lawan 2. Akan sangat susah untuk memikirkan keadaan teman yang lain. Adrenalin kita semua akan terpacu kuat sekali. Namun aku harap, setelah bisa mengalahkan 2 orang lawan, coba lihat sekeliling. Kemudian bantu teman yang kewalahan atau terdesak. Namun ingat semuanya tergantung dengan situasi dan kondisi. Jangan sampai karena ingin buru-buru membantu teman, justru malah lengah dan kehilangan kewaspadaan. Kalau kalian sudah kehabisan tenaga atau kalah dan tidak kuat untuk bertarung lagi, tidak usah malu langsung minggir ke samping. Jangan diam di tengah pusaran. Bahaya. Dan yang terakhir, aku harap kalian semua mengerti apa tujuan kita, sehingga sampai kita ikut terjun ke dalam konflik anak kelas 3. Kita ikut bukan karena kita gila kekuasaan ataupun mendapat pengakuan sebagai yang terkuat. BUKAN ! BUKAN ITU! KITA BERKUMPUL MALAM INI DEMI HARGA DIRI, PERSAHABATAN DAN TENTU SAJA UNTUK MEMBALAS PERBUATAN MEREKA YANG SUDAH MEREMEHKAN KITA!”

Anjing, baru dengar kata-kata Yandi, gue udah gak sabar mau mukulin anak buah Oscar!

“Mari kita berangkat.”

Yandi berjalan melewati kami semua. Ketika Yandi melewati gue, gue terkesima melihat ekspresi dan tatapan mata Yandi. Ia berjalan dengan badan tegak mendahului kami, ekspresinya terlihat tenang namun sorot matanya tajam. Seolah-olah situasi seperti sekarang ini adalah situasi yang sering ia hadapi.



Bangsat lo Yan ! HAHAHHAHA !!! dan bagaikan pasukan perang menuju medan tempur, kami semua berjalan kaki menuju sekolah mengikuti pemimpin kami,

YANDI !! SUPREME LEADER OF XYZ AND THE FUTURE LEADER OF SMA NEGERI XXX MOTHAFUCKA !!!

***

“Xavi, lo jangan jauh-jauh dari gue,” bisik Yosi yang berdiri bersisian di dekat gue, sambil menghisap rokok dan matanya menatap ke depan saat kami semua sudah berada di aula

“Gue bisa jaga diri,” jawab gue.

“Rusuk lo gimana?”

“Udah pulih, berkat salep mujarab pemberian Maya.”

“Oh baguslah. Gue tahu elo yang sekarang beda sama yang dulu, namun kali ini situasinya beda. Apalagi buat elo yang baru pertama kali mau ikut tawuran.”

Yosi memang benar sih, di saat seperti ini gue gak usah berlagak sok jagoan. dibandingkan ketiga teman gue. Gue memang yang paling cupu. Ekspresi Yosi masih tetap santai sama seperti Yandi. Mereka berdua gue yakin udah veteran masalah ginian. Lha gue? Memang gue sekarang menguasai sedikit teknik muaythai, namun itu untuk pertarungan satu lawan satu di arena. Sementara sekarang ini, 10-15 meter di depan gue ada gerombolan Oscar yang jauh lebih banyak jumlahnya. Memang benar kata Yandi, meskipun jumlah anak XYZ digabung dengan kelompok Jati dan Feri kami masih tetap kalah banyak. Satu orang dapat jatah 2 lawan.

“Oke. Eh btw, ini pada diem-dieman, malah membuat semua orang jadi grogi,” kata gue pelan.

Saat ini ratusan anak sudah berkumpul di aula. Lampu menyala terang benderang. Meskipun kami dan kelompok Oscar sudah berhadap-hadapan, namun belum ada yang bergerak. Justru malah kami sama-sama diam dan beradu pandang. Gue ngrasa udara di aula terasa sesak oleh hawa panas. Padahal hawa di luar cukup dingin tadi.

“Justru ini pertanda bahwa ini bakalan jadi tawuran yang berbahaya. Terakhir gue tawuran dimana kedua kelompok diam ga ngebacot, hasilnya epic karena emosi yang tertahan meledak sekeras-kerasnya.”

“Lalu....sampai kapan kita diem-dieman?”

“Tunggu saja, momennya sebentar lagi,” kata Yosi sambil melepas jaket dan penutup kepala. “Gerah juga lama-lama.”

“Momen apaan sih, gak ngerti gue?” sambil sama seperti Yosi, melepas jaket hitam Adidas yang gue pakai.

“Pasang telinga baik-baik, sebentar lagi.”

Akhirnya gue pun diam dan menatapi satu persatu lawan gue di depan sana. Anjing, benar kata Zen. Oscar pake orang luar, dua orang yang menyeramkan. Sampai berpikir, gue belajar muaythai 3 tahun nonstop pun bakalan tetap knockout kalau lawan gue seperti mereka. Oscar, Feri, Axel, Yandi, Zen dan Yosi. Perbedaan gue dengan mereka ada  di masalah mental dan pengalaman, entah sudah berapa banyak perkelahian yang mereka lalui. Sesuatu yang tidak bisa di ajarkan bahkan oleh Maya sekalian.

Arggh, masak belum apa-apa mental gue uda drop duluan. Tenang-tenang gue harus tenang. Biar gue tenang, gue harus memikirkan sesuatu yang menyenangkan.

Asha.

Nama Asha langsung terlintas dan bayangan apa yang terjadi di antar kami berdua saat di rumahnya membuat gue bukan cuma tenang, namun gue juga meleleh. Cowo mana yang gak meleleh kalau berada di posisi gue seperti tadi malam?

Sebelum gue gabung sama anak-anak XYZ, gue ke rumah Asha dan Asha menceritakan semua tentang dirinya, termasuk rahasia yang ia simpan rapat-rapat.

Asha ternyata sama seperti gue, berasal dari keluarga broken home. Bedanya Papa gue masih sering nelpon, kirim e-mail bertanya kabar gue. Dan gue dengan senang bercerita panjang lebar. Sementara Papa Asha? Dia masuk ke penjara karena dilaporkan Asha ke kantor Polisi setelah 5 tahun terakhi melakukan kekerasan di dalam rumah tangga. Dari Asha kelas 5 SD hingga kelas 3 SMP, ia selalu melihat Mamanya dipukuli oleh Papanya. Semenjak usaha properti Papanya bangkrut, ia menjadi sering marah tidak jelas, mabuk-mabukan. Aset perusahaannya habis untuk menutup hutang, rumah Asha ini menjadi satu-satunya rumah tersisa. Mama Asha selalu melarang Asha yang seringkali bilang ingin melapor ke Polisi karena ia merasa Papa Asha sedang mengalami periode sulit.

Namun kesabaran Asha habis ketika suatu hari ia melihat Mamanya tengah menangis di depan pintu kamar, wajahnya bersimbah darah akibat luka pukul di kepala. Di dekatnya nampak pecahan vas bunga. Sementara Papanya terus berteriak dari dalam kamar, mendobrak dan menendang-nendang. Asha yang panik langsung meminta tolong kepada tetangga terdekat yang kemudian melapor ke Polisi.

Setelah Polisi datang, mereka langsung menangkap Papanya, usut punya usut, Papa Asha hendak menjual sertifikat tanah dan rumah. Mama Asha mencegah dan memohon karena kalau rumah dijual, Mamanya khawatir ia dan Asha akan terlantar di jalanan. Akibatnya Papa Asha murka dan memukul kepala istrinya dengan vas bunga. Saat ia masuk kamar, menggeledah isi lemari untuk mencari sertifikat dan surat berharga, Mama Asha dengan sisa tenaga dan di tengah rasa sakit, bangun dan kemudian mengunci pintu kamar dari luar. Karena jendela kamar semua berteralis besi, otomatis Papa Asha terjebak di kamar. Setelah Polisi datang dan menangkap Papa Asha, hari-hari berikutnya di isi dengan sidang perceraian sekaligus sidang kasus KDRT. Papa Asha di vonis 5 tahun penjara, kehilangan hak asuh atas Asha dan dilarang mendekati mantan Isti dan anaknya. Jika ketahuan, akan langsung di gelandang ke kantor polisi.

Kemudian Asha dan Mamanya hidup dengan tenang. Mama Asha yang memiliki jabatan cukup tinggi di sebuah Bank tentu saja bisa menghidupi Asha.

Selesai cerita? Belum. Justru ini baru akan masuk ke inti pembicaraan sebenarnya.

Asha yang tertekan secara emosional menjadi anak yang pendiam di sekolahnya saat SMP. Jika remaja kebanyakan akan lari ke hal negatif dan mungkin pergaulan bebas di kondisi seperti  itu, Asha tidak, Ia dewasa sebelum waktunya. Di tengah tekanan dan masalah keluarga, dia masih mampu berprestasi dan menjadi juara kelas.

“Satu-satunya yang membuat aku tetap kuat dan waras adalah dengan turut merasakan sakit seperti yang di alami Mama. Dan ini lah cara yang aku pilih untuk melampiaskan semua rasa sakit,” ujar Asha sebelum ia tiba-tiba berdiri di depan gue dan melepas satu persatu baju panjangnya.

Di depan gue.

Gue jelas bingung ! Apa-apaan ini. Hingga akhirnya terjawab ketika ia menanggalkan baju panjangnya dan juga jilbab yang ia kenakan.

Asha telanjang? Bukan ! Bukan. Ternyata di balik baju panjang dan jilbab yang serba tertutup, Asha masih mengenakan kaos tanpa lenga dan celana pendek. Rambutnya panjang lurus, namun bukan baju atau celana yang menjadi perhatian gue. Perhatian gue tertuju kepada tato yang menghiasi sekujur kedua lengannya.



“Setiap kali aku merasa depresi dengan situasi di rumah, aku akan pergi ke studio dan merajah tubuhku dengan tato. Inilah yang aku maksud dengan kenapa aku mau bicara langsung dengan kamu. Tubuhku sudah tidak suci, penuh tato dari lengan hingga ke punggung belakang. Paha dan kakiku juga penuh dengan rajah. Hasil dari rasa depresiku selama 3 tahun terakhir.”

Lidah gue benar-benar kelu dan gue bingung mau ngomong apa.

“Aku tahu kalau kamu menyukai aku. Perhatianmu bisa aku rasakan. Ketika cowok lain menyerah dengan sikapku yang serba tertutup, judes. Kamu tetap memberikan perhatian. Aku tahu bahwa setiap pagi kamu menyelipkan ucapan selamat pagi di post it dalam laci mejaku . Mungkin karena kamu tahu aku tidak akan membalas ucapan tersebut, namun kamu masih melakukannya setiap hari. Dan jujur aku merasa kehilangan dan sedih ketika tahu kamu dirawat di rumah sakit karena terlibat perkelahian. Harus aku akui, aku mulai menyukaimu. Namun aku merasa minder karena tubuhku udah kotor, kamu akan jijik melihatku. Ternyata di balik penampilanku yang serba tertutup dengan hijab, ragaku kotor. Dan semalam ketika melihatmu perform, aku bisa bilang aku benar-benar jatuh cinta sama kamu, Xav. Sekarang kamu sudah tahu semuanya tentang aku. Kalau setelah malam ini, kamu menjauhiku karena ini semua, silahkan aku tidak akan marah.”

Ah ternyata Asha tahu. Asha, entah bagimana tahu bahwa gue selalu sengaja datang ke kelas paling awal, menuliskan sekedar ucapan selamat pagi, selamat belajar dan sejenisnya di post it lalu gue tempal di dalam lacinya. Tindakan yang gue pikir sia-sia ternayta…..Gue langsung berdiri dan memeluk Asha erat.

Gue bukan cowok seperti itu Sha. How could i leave you after hear your story? Justru gue bahagia karena cewek yang gue cintai, juga merasakan hal yang sama kayak gue. Momen bersama lo semalam adalah momen terindah dalam hidup gue,” bisik gue di telinga Asha.

Dan pundak Asha bergetar, ia menangis tersedu dan membalas pelukan gue. Gue lalu memegang kedua pipi Asha dan dalam jarak yang begitu dekat, gue mengungkapkan semuanya.

I Love You, i love your tattos, i love everything about you, Sha...”

Asha lalu mengecup bibir gue, rasanya mau pingsan karena gue barusan di cium sama Asha.

“Jaga diri baik-baik, kabari aku kalau kamu sudah pulang,” begitu katanya setelah ia mencium gue. Asha tahu gue akan ikut keributan di sekolah, ia tidak mencegahku sama sekali. Dan ini yang ngebuat gue makin sayang ma dia.

Gue memejamkan mata sejenak dan menghirup nafas dalam untuk menangkan pikiran. Dalam kondisi seperti ini, gue bisa mendengar suara bising di luar sana. Suara terompet, petasan terdengar bersahut-sahutan. Dan kemudian terdengar suara orang beramai-ramai menghitung mundur..

“TIGAAA...DUA...SATU!!!!! HAPPPYYYYYYY NEW YEAAAARRRRRRRRRRRRR !!”

DUARRRRRR !!!! DUARRRRRRRR !!!! DUARRRRRRR!!

Gue langsung membuka mata dan akhirnya gue tahu momen yang dimaksud Yosi. INI SAATNYA !!!

Setelah lama hanya saling menatap, akhirnya kedua kelompok berteriak sekeras-kerasnya, gue juga ikut berteriak lantang untuk melepas ketegangan.

“Siap-siapp Sapiiiiii !! WOHOOOOOOOOO !!! AYO SERANGGGGG !!!!” teriak Yosi bersemangat kemudian berlari ke depan.

Dan gue pun langsung berlari ke arah pusat kerusuhan, dalam hitungan detik kedua kelompok akan saling bertubrukan, saling serangg !!

Sambil berlari gue fokus memandang depan ke arah lawan juga berlari tepat ke arahku. Gue gak kenal siapa, yang pasti siapapun dia, gua akan serang !!! Adrenalin gue uda naik setinggi-tingginya !

Dannnnnn

BOOOM !!!!

Kontak pertama pun terjadi. Banyak orang dari kedua kelompok yang terjatuh akibat saling terjang. Gue gak sempat membantu teman di samping gue yang ambruk kena tendangan, karena lawan di depan gue juga sudah melakukan hal serupa.

Ia meloncat sambil mengarahkan tendangan, namun gue sudah waspada dan konsentrasi penuh.Gue mengelak ke samping, memang gue gak kena tendangan namun gue terkena pukulan entah dari mana. Sakit ! karena kuping gue sampai berdenging. Namun masa iya gue langsung ciut nyali. Dalam posisi perkelahian jarak dekat kek gini, gue gak perlu keluarin teknik aneh-aneh. Gue langsung melakukan serangan kombinasi ke dua orang sekaligus. Orang yang tadi menendang dan memukul gue.

BUGHH !! BUGHH !! BUGH !! BUGH!!

Kombinasi pukulan cepat kiri kanan dan elak, berhasil mengenai wajah dan pundak. Namun keduanya masih belum roboh. Ya iyalah !

“Anjing !!!!” ujar keduanya serempak. Karena terlalu rapat dan chaos gue sengaja mundur beberapa langkah. Dan mereka mengikuti gue. Keduanya mengira gue mau kabur padahal gue sengaja mencari area yang agak lapang. Karena di tengah terlalu sumpek. Gue bisa kena bogem dari siapapun.

Ketika gue berada di area yang lumayan lega, gue bisa konsen. Kedua lawan gue saling melihat dan mengangguk. Sepertinya keduanya akan menyerang bersamaan.  Dan benar! Mereka berdua menerjang bersamaan. Lawan di sebelah kiri melakukan sapuan kaki, lawan di sebelah kanan memukul ke bagian tengah. Sialan. Gue gak mungkin menangkis keduanya sekaligus. Pilihan yang gampang. Gue memasang kuda-kuda lalu merendahkan pinggang.

BUK! Sapuan kaki mengenai betis kiri, nyeri tetapi tidak mungkin bisa merobohkan gue. Karena sapuan kaki Maya jauh lebih keras daripada ini. Sementara gue membiarkan betis gue terkena sapuan, gue focus ke pukulan. Karena posisi gue rendah, pukulan tersebut sejajar ke arah kepala. Dan itu memang tujuan gue.

BET!!

Pukulannya mengenai udara kosong, karena gue mengelak dengan memiringkan kepala ke kanan.

Sekarang giliran gue. Orang yang memukul gue nampak terkejut karena pukulannya meleset dan lamban bereaksi. Hal itu gue manfaatkan dengan menerjang, menanduk dagunya. Sangat telak sampai ia terhuyung lalu roboh sambil memegangi dagunya. Melihat temannya terkapar, satu orang lagi bernafsu menyerang gue. Kalau satu lawan satu gue layanin !! sebelum ia meloncat ke arah gue, gue tendang perutnya dengan telapak kaki kanan, sehingga terdorong ke belakang kehilangan keseimbangan sambil memegangi perut. Kesempatan !! pukulan jab kiri langsung gue tambahin dengan straight kanan membuat hidungnya mimisan.

Sialan, dia belum roboh setelah kena combo. Namun karena terburu nafsu ingin segera mengalahkannya, gue lengah. Pukulan gue melebar dan satu pukulan bersih mengenai pipi kanan. Anjing perih, bahkan gue sampai merasa pusing. Di saat gue khawatir terkena pukulan susulan, lawan gue limbung ketika melangkah ke depan. Gue lihat kakinya gemetar, ah udah kesakitan rupanya lawan gue. Maka gue langsung secepatnya mengumpulkan kesadaran, mundur beberapa langkah dan kemudian berlari 2 langkah ke depan, lutut kanan gue tekuk dan terjangan gue tidak bisa ia elakkan.

BUGH!

Dia mencoba menangkis namun ia sudah kehabisan tenaga. Lutut gue mengenai dadanya. Akhirnya lawan gue bergulingan di lantai sembari memegangi dada.

Gue berhenti sejenak untuk mengambil nafas, anjing capek ngos-ngosan berantem lawan 2 orang. Tetapi gue gak boleh bersantai. Gue lihat ada  1  anak XYZ yang belum lama bergabung tengah jadi bulan-bulanan lawannya. Gue langsung mendatanginya untuk membantu. Gue menendang punggung orang yang sedang memukulinya dari belakang membuat ia terjerembab, dan pingsan. Karena kepalanya sempat terbentur ke lantai. Memang gak fair, karena gue uda menyerang dari belakang tetapi dalam ituasi seperti sekarang rasanya sah-sah saja. Ketika gue membantu Adi, teman yang gue tolong bangkit, Adi berteriak, “AWAS XAV! BELAKANG LO !”

Belum sempat gue bereaksi, punggung gue terkena pukulan dari belakang. FUCK !!! SAKITTTT BANGET!!

“Dasar lo anak orang kaya, bisanya nyerang dari belakang,” ejek seseorang yang menyerang gue barusan.

Gue menoleh dan di depan gue berdiri bertubuh tinggi. Gue langsung mengenalinya, David. Salah seorang bajingan dari kelas 2. Anak buah Bram. Dia jelas akan jadi lawan yang tangguh.

David – 2B

Gue langsung berdiri. Dan langsung menyerangnya, BUGH !! Satu pukulan gue mengenai perutnya namun ia nampak santai saja. Ia tersenyum sinis. Gue reflek langsung mundur. Gue akui tubuhnya kekar, terlihat dari pakaian pas badan yang ia kenakan.

“Itu tadi yang lo sebut dengan pukulan? Itu tadi geli doang! Nih gue kasih tahu pukulan yang sebenarnya!”

WUT !!! WUT!! WUTT!!

Beberapa pukulannya berdesing saat gue menghindar, beruntung gue masih punya cukup tenaga sehingga gue masih bisa main footwork. Sensasi ketika pukulan David membelah udara dekat muka, terasa tajam sekali. Gue gak tahu apa gue masih bisa sanggup berdiri kalau ada 1 pukulan seperti ini mendarat telak mengenai wajah gue. Jangankan kena muka, kena perut bisa melintir gue. Oke, keunggulan David jelas, dia powerfull, sementara gue masih cukup lincah bergerak.

David berhenti sejenak ketika pukulannya berhasil gue elakkan. Saat gue sedang focus ke David, gue melihat dari samping kiri kanan beberapa anak buah Oscar mendekat, kampret ! mampus gue! Gue rada panik dan mencoba melihat sekeliling. Sialan, Yosi yang katanya mau nge-backup malah gak kelihatan. Di saat gue khawatir bakal kalah konyol karena dikeroyok, David tiba-tiba bersuara lantang.

“Kalian jangan mengganggu! Sana cari lawan lain!” hardik David.

Tanpa banyak kata, mereka langsung bubar. Sialan, itu pertandan buruk ! kalau sampai ada lawan yang nganggur, bisa jadi kelompok kami terdesak karena kalah jumlah.

“Nah sekarang lo gak usah khawatir, karena musuh lo Cuma gue. Come on, jangan bikin gue kecewa. Gue mau buktiin kabar kalau lo udah ngalahin Sigit,”

Sambil berbicara, David berjalan santai mendekati gue. Hal ini membuat gue mundur hingga akhirnya gue baru sadar berada tepat di pojokan aula. Sialan gue terpojok, tidak bisa mundur,  juga tidak bisa ke samping kanan karena ada dinding.Fuck !!

“Hahahaha, uda terpojok lo ya. Lo persis kayak tikus yang terpojok gak bisa lari lagi.”

Fush, gue menghembuskan nafas. Dia benar, gue gak bisa menghindar lagi. Kalaupun gue kalah, gue gak akan berikan dia  kemenangan yang mudah, namun konyol kalau gue meladeni David adu pukul secara frontal. Gue bukan Yandi yang tahan pukul. Gue adalah Xav yang…….wait.

Gue lalu mengamati sebentar, dan gue tersenyum. Bisa, gue bisa dan gue ada kesempatan mengalahkan David. Tetapi kalau gagal, gue bakal bonyok. Parah. Tapi gak ada cara lain. Harus gue coba !

Mata David menatap gue tajam dan ia kembali menyerang gue.

BUGH !! Ia menendang ke depan, gue mengelak ke kanan. Sehingga kakinya menghantam dinding di belakang gue. Gila, dia pake sepatu bot Doc Martin yang berat! Astaga kalau kena dada gue, bisa sesak nafas iniiiiii. Gue merespon dengan menendang tulang kering David dan surprise, ia terlihat kesakitan. Saat gue hendak mengulangi serangan serupa, kaki gue tertangkap! Lalu gue di dorong hingga punggung gue terhempas ke dinding, cukup keras dan membuat gue meringis kesakitan. Hook kiri David bisa gue hindari dengan merunduk dan memukul cepat kombinasi pukulan ke bagian ulu hati David. Hanya saja, perutnya yang keras six pack memang kuat sekali. Ia tidak bergeming sama sekali. Setelah sekian kali gue bisa menghindar, satu tendangan David akhirnya membuat gue bergulingan ke belakang.

Kedua lengan yang gue pakai untuk menahan tendangan David, langsung nyeri kemerahan. Buat ngepal juga sakit, bangsat. Sambil berpegangan di tembok gue mencoba berdiri meskipun terhuyung. David yang sepertinya sudah tidak berminat berbicara, kembali menyerang. Tiap 3 pukulan yang bisa gue hindari, 1 pukulan masuk. Entah kena ke wajah maupun badan. Dan gue benar-benar dalam kondisi gawat, karena tak sekalipun gue bisa ngebales. Mulut gue terasa asin, saat gue ludahkan ternyata bagian dalam mulut gue berdarah. Pandangan gue udah gak focus alias kabur.

“Cih, gue uda bosen main sama lo. Mengecewakan.”

INI SAATNYA !! Mungkin karena mengira gue udah lemah dan patah semangat, dia agak lamban membuka serangan. Hal itu gue manfaatkan. Ini satu-satunya kesempatan. Tubuh gue yang mulai mendekati batas stamina, gue paksa untuk bergerak. Gue berlari, meloncat kemudian menjejakkan kaki kiri ke dinding. Pijakan kaki kiri di dinding menghasilkan gaya dorong. Dan gaya dorong tersebut gue manfaatkan untuk menendang ke arah kepala David.

BUGH !!

Tendangan gue memang mengenai bagian samping kanan kepala David sehingga membuatnya terhuyung ke samping, namun tidak telak. Karena entah bagaimana David masih sempat melindungi kepalanya dengan lengan kanan. Gue beringsut mundur dan ngos-ngosan. Gerakkan barusan sungguh membuat gue kelelahan. Di saat gue mengira serangan gue tadi tidak berhasil, rupanya dugaan gue salah. David yang hendak maju, berjalan seperti orang mabuk ! ya ia sempoyongan ! sampai ia berteriak kesakitan memegangi telinga sebelah kanan.

KESEMPATAN KEDUA MUNCUL !!

Gue langsung menerjang ulu hatinya dengan hantaman lutut kiri dan membuat badannya mengeliat menekuk ke depan, pertanda ia merasakan kesakitan.

KESEMPATAN KETIGA MUNCUL !!

Gue lalu mengayunkan uppercut ke arah dagu yang terbuka karena kedua tangan David tengah memegangi perutnya. Uppercut gue bukan sembarang uppercut karena gue lakukan dengan ujung tulang siku tangan kanan.

TELAK !! sampai kepala David terdongak ke atas dan hal selanjutnya adalah gue melihat David pingsan dengan tubuh berdebum di lantai. Gue menang…gue menang melawan salah satu pentolan bajingan anak kelas 2.  Namun badan gue sakit semua, nafas sudah tersengal-sengal. Gue duduk bersandar ke dinding mencoba mengatur nafas. Baru juga gue ambil nafas barang sebentar, gue melihat beberapa orang yang berada di pihak Oscar seperti tidak percaya melihat David tumbang.

“Bangke !! David kalah! Ayo kita hajar si bangsat itu!” seru salah seorang di antar mereka sambil menunjuk ke arah gue.

Hoi, gue uda habis tenaga, masa kalian tega mo ngehajar gue, ratap gue dalam hati. Ketika gue melihat 3 orang mendekat dengan wajah garang, gue Cuma bisa pasrah.

BUGH !! PLAK !!! BUGH !!

Tiga orang yang tadinya ingin mengeroyok gue, tersungkur ke lantai sembari memegangi mulut dan hidung.

Yosi rupanya datang menyelamatkan gue. 3 orang masing-masing kena pukul Yosi langsung menyerah dan merangkak menjauh.

“Sori gue sibuk tadi di sana, gimana lo masih hidup kan?” ujar Yosi sambil memyeringai ke gue. Di sekitaran kerah bajunya nampak bercak darah, samping mulutnya seperti ada darah yang mengering. Wajahnya sedikit memar terutama di bagian mata sebelah kiri, kulit di sekitar buku-buku jari kedua tangannya pun memerah dan terkelupas. Sepertinya dia baru saja menghadapi perkelahian yang cukup berat.

“Gue baik-baik saja,” sahut gue sambil mengangkat tangan.

Yosi mendatangi lalu memapah gue.

“Kalau udah gak kuat, lo jangan di situ. Rawan di serang.”

Rupanya Yosi memapah gue dekat beberapa anak XYZ yang kondisinya juga 11-12 alias babak belur dan udah gak kuat untuk berkelahi.

“Yandi dan Zen, dimana mereka.”

“Entahlah, terakhir gue lihat Yandi sedang battle sama si codet, sementara Zen lagi bunuh-bunuhan sama Budi.”

“Serius Yos? Yandi lawan si codet yang dulu pernah masuk penjara anak karena menusuk Axe? Zen bunuh-bunuhan sama Budi?”

Yosi mengangguk, wajahnya menyiratkan rasa khawatir. Gue lihat memang di bagian tengah aula, masih ada beberapa perkelahian sekaligus, Cuma saking chaos dan pandangan mata gue yang mulai kabur karena bengkak, membuat gue tidak bisa mengamati dengan jelas.

“Gila, bangga banget gue sama elo bro,” pujinya.

“Kenapa?”

“Jarang-jarang gue lihat David terkapar kalah, haha. Dan luar biasanya dia kalah sama elo.”

Bangga juga gue di puji sohib sendiri.

“David kuat sekali, ngeri.”

“Iya dia memang kuat, namun jika dibandingkan dengan kelima bajingan dari kelas 2, David itu yang yah, paling inferior.”

Si anjir, David yang gitu aja menempati urutan terbawah jika dibandingkan dengan semua pentolan bajingan anak kelas 2, gimana yang lain.

“Lalu siapa anak kelas 2 yang paling kuat. Bram?”

Yosi menggeleng.

“Bram tidak datang malam ini. Dia sepertinya serius dengan ucapannya bahwa ia akan mundur dari konflik Oscar vs Axel. Setelah Bram mundur, kini anak kelas 2 yang terkuat adalah Heru dari 2A. Terakhir gue lihat, Riko sama Bagas kalah di tangan Heru. Udah lo tenang aja disini, biar gue cari si Heru.”

Kemudian Yosi pergi.

Saat gue tengah memperbaiki posisi duduk bersandar yang lebih enak, Abas yang berada tidak jauh dari gue nyeletuk.

“Gila si Yosi, tenaganya badak juga dia. Padahal tadi dia adu pukul sama Satya. Masih ada tenaga dia buat cari musuh.”

“Satya?”

“Anak kelas 2 yang sering pakai masker disekolahan. Bajingan yang pegang kelas 2C.”

“Dia kuat? Satya maksud gue.”

“Kuatlah. Dia sama Heru kan anjingnya Bram. Pokoknya orang terkuat kedua dari kelas 2, setelah Heru adalah si Satya.”

“Kalau ngliat omongan Yosi tadi yang mencari Heru, sepertinya ia menang lawan Satya.”

“Xav, coba liatt, arah jam 11 !!OH MY GOD….” seru Abas menampakkan ekspresi terkejut.

Gue langsung melihat ke arah yang dimaksud Abas dan setelah susah payah memicingkan dan menajamkan pandangan, akhirnya gue bisa melihat dengan jelas.

Zen.

Ia sedang berdiri tegak dalam kondisi wajah bersimbah darah, sambil memamerkan seringai yang nampak.....menyeramkan.

Aww....shit..


= BERSAMBUNG =

  


13 comments for "LPH #52"

  1. Woww.. Akhirnya sampai juga pada final clash.
    Next POV Yosi.

    Thanks suhu update nya.

    ReplyDelete
  2. Lanjuuuuut.. adrenalin naik ni..
    Bangsaaat

    ReplyDelete
  3. Wkwkwk part Xapi pas lagi jatuh cinta feel e dapet banget wkwkwk

    ReplyDelete
  4. Uhuy... Mayan bikin anget, suwun om🙏

    ReplyDelete
  5. Rame euy,,
    Lanjut lg suhu,jangan kasih kendor.
    Mumpung ini Adrenalin msh full,,,,,

    ReplyDelete
  6. We want more,,,
    Yuk lah,
    Dimainkan final clashnya.

    ReplyDelete
  7. Habis ini part e zen apa yosi ya???

    ReplyDelete
  8. Update lagi dong, udah 1 Minggu nih. Update eps 89 boleh, eps 53, 54, dst juga boleh 😂🤣

    ReplyDelete
  9. Om, kapan rencana mau up??
    Hehehe

    ReplyDelete

Post a Comment