Featured Post

LPH #41

Episode 41
Tentang Cinta



(Pov Yosi)


Setelah sampe rumah jam setengah 7 dari rumah Yandi, gue langsung mandi. Setelah mandi gue mengenakan kemeja hitam polos lengan panjang, jeans belel biru tua dan sepatu Vans Old School hitam yang udah sering banget gue pake kalau maen. Sebenarnya sepatu ini udah agak lusuh sih dan warna hitamnya udah agak pudar, tetapi gue nyaman banget sih pake sepatu ini. Mau beli baru ntar-ntar aja.  

“Rapi banget, mau kemana Yos?” tanya Papa yang sedang baca koran di ruang tamu.

“Mo jalan ketemu teman Pa,” jawabku sambil duduk di sofa dan mengencangkan tali sepatu.

“Teman cewek ?”

“Iya heee.”

“Tumben,” celetuknya.

“Hahaha.Pa, Yosi jalan dulu yak,” aku berdiri setelah selesai mengencangkan tali sepatu.

“Masih pegang duit gak?” tanyanya sambil menurunkan koran yang beliau baca dan menatap gue.

“Yosi masih pegang duit Pa, santai.”

“Hati-hati, jangan pulang malam-malam. Apalagi pulang pagi-pagi.” tegas Papa.

“Siap bos !! Sebelum jam 11 malam, Yosi udah mendarat di rumah. Ciao!”

Papa mengangguk lalu kembali serius membaca koran. Heran jaman serba digital gini, kebiasaan Papa yang suka baca koran pagi dan sore gak pernah berubah. Ponsel Papa aja masih Blackberry Bold jadul yang udah gak support Whatsapp. Jadi kalau sama Papa lebih sering BBM-an atau telepon sekalian. Tapi ya sudahlah, mengubah kebiasaan yang puluhan tahun sudah menjadi rutinitas tidak akan mudah.

Sambil bersiul-siul gue mengeluarkan Mio. Gue sempat ingin memakai Satria FU yang baru gue beli seminggu yang lalu. Tampilannya sih memang masih terlihat standar. Spion 2, ban standar, pokoknya dari luar masih norma. Namun untuk urusan mesin, sudah di oprek sama Rio. Ini motor memang bakal gue pakai sebagai motor sehari-hari. Namun STNK dan Plat nomornya masih belum selesai juga. Jadi sementara gue pake motor Mio gue dulu.

Gue lalu mengeluarkan ponsel dan menelepon cewek yang hendak gue jemput. Setelah beberapa saat, doi mengangkat panggilan gue.

“Hai Yos, jadi?”

“Gue sih uda siap mo cabut ke kosan elo. Tapi gimana jadi ketemuan gak? Secara ya elo tahu sendirilah kalau sekolah kita lagi ada masalah. ”

“Ya kalau elo punya nyali, jemput gue gih. Tapi kalau elo khawatir ya cancel juga gak apa-apa.”

Wah nantangin gue nih.

“Haha, bisa-bisa. Kayak elo gak tahu julukan gue aja di arena. De, ada helm di kosan?”

“Ada, cuman tadi di pinjem temen kosan gue. Dia belum balik, sebel.”

“Kalau gitu, gue bawa 2 helm aja.”

“Sip.”

“Okay, see u!”

“Yaa!”

KLIK.

Setelah mengenakan helm, gue ke garasi untuk mengambil 1 helm lagi. Helm udah, ponsel udah, dompet udah, rokok? Ah sialan, abis. Gue lupa belum beli. Ntar aja beli rokoknya. Gue menyalakan motor lalu dalam hati berseru,

Dea, Ipm coming !

***

Ya, gue bakal ketemuan sama Dea, anak kelas 2 SMA SWASTA XXX. Cewek yang dulu pernah gue kenal di ROCKSPEED. Cewek yang sebelumnya curi-curi pandang ke gue dan akhirnya berkenalan setelah gue tidak sengaja menyenggol dan membuatnya terjatuh saat gue mencoba mengejar Jack. Perkenalan dengan Dea cukup berkesan sih karena gue dan Rio sempat baku hantam dengan teman-teman Dea. Setelah tahu kalau kami berasal dari sekolah yang memiliki hubungan baik, gue dan anak SMA SWASTA XXX minum bir bareng sampai pagi.

Sebenarnya gue sempat lupa tentang Dea, sampai suatu hari ketika sedang terbaring di Rumah Sakit, Rio yang hampir setiap hari datang jenguk gue menyodorkan nomor Dea.

“Nih nomor Dea dan tepati janji elo,” kata Rio saat itu.

“Dea?Janji apaan?” tanya gue karena benar-benar tidak tahu maksud dari Rio.

“Elo pernah bilang, kalau elo keluar dari event THE DEATHWISH hidup-hidup elo bakal ngedate sama Dea.”

Karena pada saat itu gue masih tahap pemulihan dan agak bosen juga di rumah sakit, maka gue pun memulai kontak dengan Doi. WA pertama gue ke Dea, Dea langsung inget kalau gue adalah Yosi yang ia lihat di ROCKSPEED. Asli, girang juga gue ternyata Dea masih inget gue. Singkat cerita, selama di Rumah Sakit gue jadi makin intens WA dan telpon-telponan dengan Dea. Gue bercerita ke Dea kalau gue kecelakaan motor lumayan berat dan butuh waktu 3 mingguan di rawat di Rumah Sakit. Dan keesokan harinya, pas jam besuk malam. Dea datang sendirian menemui gue, membawa buah tangan buah-buahan dan sebuah novel.

“Gue pernah di rawat di Rumah Sakit juga dalam waktu cukup lama, jadi gue tahu betapa bosannya elo di Rumah Sakit. Nih elo baca salah satu novel favorit gue. Gue yakin novel ini akan membuat pikiran elo sibuk,” ujar Dea sembari menyodorkan sebuah novel bersampul abu-abu dengan lingkaran berwarna merah di tengahnya. Sekilas mirip bendera Jepang. Cover novel dengan siluet suasana di hutan ini berjudul Norwegian Wood.

“Haruki Murakami...” gumam gue saat melihat nama penulisnya di bagian atas buku. Penulisnya orang Jepang dan judul bukunya berarti Kayu Norwegia. Aneh.

“Baca sampai abis! Dah ya, gue pulang. Bye,” ujar Dea cepat. Ia tersenyum ke gue dengan....penuh arti di dekat pintu sebelum akhirnya pergi.

Dang !

Entah gue terpesona dengan senyumannya atau dengan spontanitasnya yang tiba-tiba datang, tiba-tiba ngasih gue novel dan tiba-tiba pergi.

Gue lalu melihat kembali novel yang gue pegang sekarang. Anjir, gue jarang banget baca novel. Sekarang suruh baca ginian. Karena gue bingung juga mau ngapain ini, akhirnya gue mulai membaca novel yang gue tebak pasti isinya novel-novel roman picisan.

10 menit kemudian….

Gue meletakkan novel tersebut ke meja samping ranjang.

Bukan karena gue capek atau ngantuk, tapi gue pusing ! 10 menit gue baca nih novel, kening gue lebih banyak berkerut karena ternyata jalan ceritanya membingungkan ! Dan gue langsung merasakan suasana gloomy, ketika Kizuki salah satu tokoh yang menjadi teman dekat Toru, yang sepertinya menjadi tokoh utama di novel, memutuskan bunuh diri, tanpa meninggalkan pesan apa-apa.

Sebenarnya gue males lanjutin baca novel ini namun sepertinya Dea sudah menduga hal ini. Setelah gue minum obat dan mulai mengantuk, Dea mengirim WA ke gue.


DEA
Kalau elo udah selesai baca Norwegian Wood, bilang gue. Nanti gue ajak nonton versi filmnya.
22.13

Gue cuma baca WA Dea tanpa sempat membalasnya karena pengaruh obat yang membuat gue mengantuk bekerja dengan baik. Keesokan harinya, hal pertama yang gue lakukan adalah langsung melanjutkan baca Norwegian Wood. Papa dan Rio sampe heran karena tumben gue anteng banget baca novel.

“Sepertinya pada saat kecelakaan motor, kepalamu terantuk trotoar dan membuatmu jadi suka baca. Bagus, nanti Papa belikan novel-novel bagus buatmu.”

“Si anjing baca Novel. Kesambet apaan lo? Suster ngesot yang kutu buku yak ? Hahaha!”

Itu komentar-komentar dari Papa dan Rio. Gue diam dan tidak menggubris komentar mereka karena gue berkonsentrasi penuh karena jalan cerita dan isinya ternyata cukup berat buat ukuran gue yang gak suka baca buku atau novel. Ketika gue rehat untuk makan, gue tersenyum sendiri teringat perkataan Dea yang mengatakan bahwa novel ini akan membuat pikiran gue sibuk. Dan memang benar, membaca novel ini membuat pikiran gue sibuk. Sibuk untuk mencerna dan meresapi alur cerita yang di ceritakan dari sudut pandang Toru Watanabe, si tokoh utama. Selama gue membaca Norwegian Wood, gue jarang banget pegang ponsel. Dan seringkali terlambat merespon WA dari teman-teman yang bertanya tentang proses pemulihanku. Dea? Dia malah tidak pernah lagi WA gue. Dan gue juga gak pernah WA Dea. Sepetinya Dea tahu kalau gue sibuk membaca novel yang dia pinjamkan. Butuh sampai waktu 10 hari gue selesai membaca novel ini, bukan cuma membaca namun juga mencoba mengerti isi ceritanya.

Bunuh diri itu menular.  Pertama, sahabat Toru ,Kizuki yang bunuh diri tepat di hari ulang tahun yang ke 17 tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Kedua, mantan kekasih Kizuki bernama Toru yang sangat kehilangan Kizuki mengalami depresi karena kekasih dan kakaknya meninggal dengan cara yang sama yakni bunuh diri. Naoko ini kemudian menjadi karakter yang disukai oleh Toru apalagi kedua sempat melakukan hubungan seks. Asli gue sempat ngaceng baca adegan seks kedua haha. Lumayan mengobati kebingungan gue. Kemudian di tengah kedekatan Toru dengan Naoko, Toru berkenalan dengan salah seorang mahasiswi periang bernama Midori. Dan hubungan keduanya seperti TTM gitulah. Namun si Toru pada akhirnya ketularan stres karena di hari ulang tahun Naoko yang ke 21, Naoko memutuskan bunuh diri.  Karena terguncang hebat, Toru memutuskan meninggalkan Midori dan Tokyo untuk menenangkan diri. Sekembali ke Tokyo, Toru kedatangan Reiko, teman Naoko seorang guru musik paruh baya, kedekatan mereka pada akhirnya berujung dengan adegan seks. Ending novel asli membuat gue bingung, apakah Toru memutuskan bunuh diri atau berhasil mengatasi kehilangan orang-orang terdekat yang boleh di bilang mengancam kewarasannya. Benar-benar suram ini novel. Oh iya, ternyata judul novel ini diambil dari salah satu lagu milik The Beatles yang juga berjudul Norwegian Wood. Lagu ini dikisahkan menjadi lagu kesukaan Naoko.

Di saat gue hendak menutup novel, gue melihat ada sebuah tulisan tangan.

“Dont feel sorry for yourself. Only assholes do that”

Gue yakin ini tulisan tangan Dea. Dan juga yakin ini adalah salah satu perkataan Nagasawa, playboy kampus yang menjadi teman dekat Toru di kampus. Nagasawa ini adalah tokoh ngehe yang ngebuat Toru jadi cowok yang suka ngentot dengan banyak perempuan di kampus.

Setelah menutup novel ini dan gue masukkan ke dalam tas, gue lalu berbaring mengambil headset kemudian memutar lagu Norwegian Wood.



I once had a girl
Or should I say she once had me
She showed me her room
Isnpt it good Norwegian wood?

She asked me to stay
And she told me to sit anywhere
So I looked around
And I noticed there wasnpt a chair

I sat on the rug biding my time
Drinking her wine
We talked until two and then she said
"Its time for bed"

She told me she worked
In the morning and started to laugh
I told her I didnpt
And crawled off to sleep in the bath

And when I awoke I was alone
This bird had flown
So I lit a fire
Isnt it good Norwegian wood?


Selama mendengarkan lagu tersebut gue jadi kepikiran Dea. Kenapa coba dia suka banget sama novel gak jelas dan cuma bikin pusing. Dari sekian banyak karakter cewek di Norwegian Wood, gue jadi menebak-nebak apakah salah satunya mempunyai sifat yang paling mendekati Dea. Apa Dea seperti Naoko yang depresi, pendiam, tertutup? Apa Dea seperti Midori yang periang dan nyentrik? Atau jangan-jangan Dea seperti Reiko, guru musik yang pernah diperkosa oleh seorang cewek lesbian? Entahlah.

Selesai lagu Norwegian Woods, gue lalu WA ke Dea.

YOSI
Novel bangsat
10.21

Selang 5 menit kemudian, Dea membalas.

DEA
haha 
10.26

 Gue tersenyum.

“Udah gak ada barang ketinggalan Yos?” tanya Papa di depan pintu.

“Beres Pa.”

Ah 3 minggu di rumah sakit akhirnya selesai juga, mari kita pulang.


***


“Halo De, gue udah di depan kosan elo nih.”

“Elo masuk aja dulu, tunggu di teras. 5 menit lagi gue turun.”

“Oke.”

Gue lalu masuk ke dalam gerbang kosan Dea yang terbuka. Di parkira ada 3 mobil dan beberapa motor. Luas juga ternyata. Ketika gue hendak duduk di teras, gue lihat ada cowok yang tengah duduk-duduk sambil memegang ponsel dalam posisi landscape. Ini mah kalau gak maen CoC pasti maen Mobile Legend.

“Permisi mas,” sapa gue ketika gue duduk di kursi seberangnya. Gue panggil dia mas karena usianya di atas gue sekitar 2-3 tahun. Anak kuliahan sepertinya.

Dia melirik gue sebentar lalu kembali sibuk menatap layarnya.

Ah autis ni orang. Gue sih gak ada masalah yang penting gue sebagai tamu udah bersikap sopan. Karena ni orang sepertinya sedang tidak ingin ngobrol maka gue pun males negur dia lagi. Gue mengamati dalam kosan Dea. Gue baru kali ini sih masuk sampai teras. Di depan teras ada sepetak taman dan kolam. Di dekat teras ini ada tangga menuju ke atas dimana sepertinya semua kamar kosan berada di atas. Dea itu anak kosan karena dia bukan anak asli sini. Dia satu kosan dengan abangnya seorang mahasiswa tingkat akhir yang tengah menjalani Koas di salah satu rumah sakit swasta. Dea pernah cerita kalau kosan dia campur cowok-cewek dan anaknya gak ada yang rese. Apalagi abangnya termasuk penghuni lama yang lumayan disegani penghuni kosan lainnya. Mungkin makhluk di depan gue ini salah satu penghuni kosan.

“Nunggu siapa?” tanya tu orang ke gue tanpa melihat ke arah gue.

“Dea mas.”

Ketika gue menyebut nama Dea, tuh orang menurunkan layar ponselnya, mengamati gue dari atas hingga ujung sepatu. Kemudian kembali menatap ponselnya.

Njir, aneh banget nih orang.

“Ayuk Yos!” ujar Dea tiba-tiba begitu turun dari tangga. Kehadiran Dea membuat mas-mas depan gue menoleh ke arah Dea.

Gue lumayan terpesona dengan gaya Dea berpakaian. Ia mengenakan kemeja kayak Batik berwarna cerah dipadukan dengan celana jeans hitam dan sepatu kets putih. Rambutnya di ikat ke atas. Ia membawa 1 tas kecil. Cantik euy.

Gue berdiri lalu pamitan.

“Mari, duluan mas,” kataku basa-basi.

“Bang, jagain kosan yak! Hehe,” ujar Dea ke orang tersebut.

Orang tersebut menatap gue dengan pandangan yang udah biasa gue terima ketika drag race, yakni pandangan permusuhan. Apaan sih nih orang.

“Eh itu siapa sih? Tadi gue sapa cuma ngliat doang?” tanya gue penasaran.

“Bang Idris. Dia penghuni kosan di sini juga, mahasiswa semester berapa gitu gue gak ngeh. Udah santai, dia emang orangnya rada autis, suka maen game di teras. Karena Wifi di kosan lagi ada masalah, jadi kalau mau dapat sinyal kencang emang mesti nongkrong di teras.”

“Oh gitu.”

“Yos, elo bawa  helm 2 kan?” tanya Dea ketika kami berjalan ke parkiran.

“Bawa 2. Santai. Elo mau makan dimana?”

“Ehm...Elo gak punya bayangan mau ajak gue makan dimana gitu?” tanya Dea ketika ia membonceng di belakang motor gue.

“Gue pikir elo yang mau pilih tempat,” kata gue sembari mengangsurkan helm ke belakang.

“Kan elo yang ngajak gue keluar Yos.”

Gue dan Dea berpandangan sebelum akhirnya tertawa bersamaan.

“Haha, payah ih. Gue lagi pengen makan mie sama roti bakar sih, ke Upnormal aja lah gimana?” ujar Dea.

“Jos.”

Kemudian motor gue melaju dengan kecepatan sedang menuju Upnormal.

***

Makan berdua dengan Dea pada malam itu membuat hubungan gue sama Dea makin lama makin dekat. Hampir setiap hari gue WA dan telpon-telponan dengan Dea dan semakin sering gue maen ke kosannya. Di hari minggu pagi yang cerah ketika gue lagi santai di rumah, sambil ngoprek dikit motor Satria gue yang kemarin akhirnya sudah turun STNK berikut plat nomor polisinya. Onsel yang gue letakkan di meja teras berbunyi, ketika gue lihat siapa yang menelepon ternyat Dea yang nelpon.

“halo Dea ?”

“yos, Main ke The Park yuk. Lagi pengen teriak-teriak nih sambil naik tornado, roller coaster sama mau nyobain wahana sling shot pertama di Indonesia. Asti seru!”

Ya ampun ni anak langsung nyerocos aja.

“the park ya….” gue langsung membayangkan antrian yang mengular di ketiga wahana yang menjadi primadona di sana. Maennya memang seru tapi ngantrinya itu yang gue gak tahan. Apalagi ini hari minggu, pasti ramai banget di sana.

 “iya. Kenapa elo takut?”

“gue takut?”

“iya elo takut main wahana itu.”

“bukan masalah takutnya, gue males ngantrinya de. panjang banget!”

“yaelah, kalau ngantrinya berdua sama gue elo pasti betah deh hehehe. Makanya biar gak terlalu panjang antriannya, kita kesana jangan siang-siang keburu makin ramai. Elo jemput ke kosan jam 9 ya!”

“jam 9? pagi amat. The park kan baru buka jam 10.”

“kita sarapan dulu baru kesana, pas lah itu jamnya. Oke? Oke dong !”

Gue melihat jam di ponsel. Baru jam 8 sih. Masih cukup buat gue siap-siap.

“okeeyy.”

“haha ! good! Elo memang cowok andalan gue paling hakiki haha. See yaaaa!”

Klik

Dasar, dia yang nelpon, dia juga yang matiin. Namun mau tak mau, gue harus akui bahwa gue suka dengan kata-kata Dea barusan. Gue cowok andalan Dea paling hakiki. Haha.  


Tepat jam 9 lewat 5 menit gue udah stand by di depan kosan Dea. Setelah gue wa, tak berapa lama kemudian gue melihat Dea keluar pintu gerbang. Outfit Dea serba hitam, bahkan lipstiknya pun berwarna agak gelap namun bukan warna hitam, entahlah itu warna apa yang pasti gue suka tampilan Dea. Ternyata Dea juga membawa kacamata hitam. Love it!

“kenapa yos elo kayaknya perhatiin gue banget. Naksir lo ya ma gue?” tanya Dea ketika ia sudah naik membonceng motor gue. “ eh ini motor elo baru?”

“iya ini motor gue. Baru keluar stnk dan platnya kemarin,” gue sengaja gak menjawab pertanyaan Dea di awal sebelum ia bertanya tentang motor gue.

“cie baru, pantas masih enak banget nih pantat gue di duduk di sini, hehe.”

“iya, pantat elo adalah pantat pertama yang duduk di sini. De, sebelum The park ada McD. Elo mau sarapan McD gak?”

“McD?boleh yuk. Berangkat!”

Karena Dea makannya agak terburu-buru demi mendapat antrian awal, maka gue juga jadi ikutan makan burger dengan tergesa-gesa. Jam 10 kurang 5 menit gue dan Dea udah sampai di depan gerbang the park. Rupanya selain kami, ada banyak juga gerombolan remaja yang duduk-duduk dekat loket pintu masuk. Gue dan Dea lalu ngobrol sambil berdiri tidak jauh dari mereka.

“de, elo mau maen apa dulu?”

“hmm, gue mau nyobain sling-shot duluan. Ini wahana baru jadi pasti pada rame yang mau nyobain.”

“oke, jadi begitu loket dibuka, kita langsung lari ke wahana slingshot yak. Elo kuat lari-larian kan?”

“ngejek lo ye.” Lirik Dea.

Dan gue Cuma tertawa, pengen gue cubit juga tuh pipinya.

“yos! Udah dibukaa! Loketnya.” Seru Dea.

Maka gue pun dengan sigap mengantri di belakang para remaja yang sepertinya satu rombongan yang berjumlah 10-12 anak. Gue minta Dea berdiri di depan gue karena mulai ada dorong-dorongan dari belakang. Gue sebenarnya mau menghardik beberapa orang yang sepertinya memulai aksi dorong-dorongan, namun Dea memegang tangan gue dan berkata,”udah kalem, kita mau senang-senang disini.” Maka gue pun menahan diri sembari tetap mencoba sabar. Ketika kami berdua sudah memegang tiket masuk, gue lalu bilang ke Dea.

“siap?”

“ayoo larii!”

Gue dan Dea berlarian bersama menuju wahana slingshot. Gue sengaja menggandeng tangan Dea saat berlari, haha india banget deh. Dan memang benar yang dikatakan oleh Dea, tujuan orang-orang pasti slingshot duluan. Kami mendapat nomor urut ke 7 karena di depan kami sudah berdiri 6 pasangan. Ya wahana slingshot ini diperuntukkan untuk 2 orang. selama ini gue lihat slingshot dari youtube, terutama kompilasi video lucu ketika orang-orang yang mencoba slingshot berakhir dengan pingsan dan menunjukkan eksresi lucu. Karena mendapat nomor 7 gue dan Dea jadi bisa melihat dari dekat slingshot. Slingshot atau katapel ini mirip dengan bungee jumping. Kalau bungee orang terjun dari ketinggian dan akan memantul-mantul, maka slingshot ini orang justru dilemparkan ke atas sejauh kurang lebih 10 meter. Menarik.

Ternyata slingshot memang cukup mengerikan karena dari ke 6 pasangan yang sudah mencoba slingshot, selalu berakhir dengan salah satu dari mereka pingsan ketika bola yang tergantung di ketinggian berhenti di udara lalu diturunkan. Dan mayoriitas yang pingsan adalah cowok. “hahaha cowok-cowok pada pingsan, lo takut gak yos. Kalau takut atau mau pingsan nanti, pegang tangan gue aja, haha.” Ejek Dea. Gue Cuma tersenyum. Ketika giliran kami tiba, kami diminta melepas sepatu, ponsel, dompet, kacamata, gelang, kalung atau benda  apapun yang sekiranya bisa saja terlempar ketika kami berada di udara nanti.

“bang, berapa lama ini nanti?” tanya Dea.

“kurang lebih dua menit,” jawab salah satu petugas yang mengecek tali pengikat dan besi penahan yang sudah terpasang untuk menahan badan kami. Gue menempati di sebelah kiri, sementara Dea di kanan. Saat ini kami sudah duduk manis di sebuah kerangkeng berbentuk bola yang akan dilontarkan ke atas dengan kecepatan tinggi.  

“2 menit lagi akan terbukti, apakah sang daredevil akan menjerit, berteriak bahkan pingsan di wahana ketapel raksasa hahaha.”

“sialan,”

Daredevil, lama juga gue tidak dipanggil dengan sebutan itu. Bola ini kemudian secara perlahan terangkat sedikit di udara. Kemudian bola di berotasi sehingga kini kami berdua menghadap ke atas alias menghadap ke langit biru. Backsound yang dimaksudkan untuk menambah ketegangan pun terdengar dan asap  putih juga sudah keluar berarti sewaktu-waktu bola ini akan dilontarkan ke atas dengan kecepatan tinggi sehingga membuat bola ini akan berputar dan perayun-ayun dengan bebas di ketinggian.

Tiba-tiba gue merasakan Dea menggenggam tangan  kanan gue. Tangannya dingin.

“ini akan menyenangkan!! Wohoo!” seru Dea.

Dan tanpa ada aba-aba, bola kami terlempar ke atas dalam kecepatan yang luar biasa dalam posisi kami menatap langit biru !!!! gue langsung merasakan sensasi terbang, barang tak sedetik pun gue memejamkan mata bahkan gue sengaja mengangkat kedua tangan gue, tidak berpegangan ke besi, membiarkan tubuh gue seperti terayun ke sana kemari seperti hendak dilemparkan dari tempat duduk. Sementara  itu Dea berteriak dan tertawa dengan keras sembari berpegangan ke besi penahan badan. Tubuh kami berdua terayun-ayun dalam hingga berputar menghadap ke bawah, lalu ke atas lagi. hingga akhirnya bola kami berhenti berayun-ayun dan kini kami tergantung puluhan meter dari tanah. Untungnya posisi kami dalam 90 derajad sehingga kami berdua bisa melihat pemandangan kota dari atas sini.

“wohhooooo, seruuuuuu bangetttttt!!” teriak Dea.

“iya seruu,” kata gue datar.

“ahh yosii gak seru ah elo masak gak teriak sama sekali Cuma ketawa senyam-senyum doang! Ihh !”

“hahaha kalau cowok lain memang ini serem, gue akui. Cuma ini masih gak sebanding ketika gue maen drag race,hehe.”

“dasar. Woah indah banget tuh pemandangan pantai dari sini. Ah ponsel disuruh ninggal sih, padahal kalau kita foto selfie dari sini pasti keren banget sumpah!”

Gue lihat mata Dea nampak berbinar-binar memandang bentangan laut biru nan luas!

“ngelihat elo tertawa lepas kegirangan seperti barusan, itu pemandangan yang jauh lebih indah menurut gue,”

Dea lalu menatap gue, ia tersenyum dan menggenggam tangan gue.

“kalau gak ada penahan ini, elo udah gue cium yos, haha!”

Kami berdua lalu tertawa bersamaan dan bola ini pun mulai bergerak turun.

Dan begitu kami sampai bawah, besi penahan tubuh sudah diangkat, Dea dengan gerakan cekatan mencium pip i gue dan itu membuat gue terkejut karena Dea mencium pipI gue di depan para engunjung dan petugas yang membantu kami melepaskan ikatan. Dea Cuma nyengir saja. Setelah mengenakan sepatu dan mengambil barang-barang yang sebelumnya kami titipkan, kami berdua lalu menuju wahana tornado dan selanjutnya roller coaster. Sama dengan di wahana slingshot, ketika Dea berteriak kegirangan saat menaiki wahana ekstrem, reaksi gue tetap santai merasa biasa saja. Hanya tertawa lebar tanpa berteriak sedikitpun.

Selesai menaiki roller coaster, bertepatan dengan waktunya jam makan siang, lalu kami berdua pun makan siang di food court yang tersedia di dalam the park sambil beristirahat. Setelah kenyang, Dea yang gue pikir akan mengajak pulang karena ketiga wahana paling ekstem di the park sudah kami lalui, namun ternyata Dea mengajak gue melanjutkan naik wahana lain yang lebih sepele seperti komedi putar, bom-bom car hingga ayunan putar.

Wah ini sih bakalan bisa sampai sore kalau Dea mencoba semua wahana. Dan benar saja, Dea seperti tidak kenal lelah berpindah dari satu wahana ke wahana yang lain. ini gue capek bukan karena kecapekan maen namun capek karena ngikutin Dea. Jam 4 kurang dikit, akhirnya Dea mengajak pulang karena semua wahana sudah ia coba. Di parkiran motor, dia berbisik.

“ke pantai yuk. Tadi ngliat pantai dari atas slingshot membuat gue pengen minum air kelapa sambil bersantai duduk di pinggir pantai sambil menikmati angin yang sejuk.”

“siap  tuan putri,”

Gue mengaduh kesakitan ketika terasa pinggul gue dicubit Dea cukup keras.”

Maka gue pun mengarahkan motor menuju ke pantai yang berada tidak jauh dari the park. Sesampai di pantai, kami membeli 2 butir kelapa yang masih segar yang langsung kami minum dari batok kelapanya. Setelah menghabiskan minuman, kami berdua lalu berjalan menyusuri pinggir pantai. Selama berjalan, kami berdua bergandengan tangan dengan mesra, sesekali Dea malah menggelayut manja di pundak. Dan di satu titik, kami berdua duduk berdekatan tanpa melepaskan genggaman tangan saat momen matahari terbenam hadir. Karena saking asyiknya ngobrol, foto-foto sambil jalan membuat kami berada di salah satu sudut pantai yang cukup jauh dari lokasi wisata bahkan cenderung sepi. kegelapan pun mulai terasa seiiring dengan matahari yang sudahtergelincir dengan sempurna.

Namun kegepapan total setidaknya tidak menaungi kami karena ada bulan yang mendapat giliran jaga memantulkan cahaya bulan yang temaram.



= BERSAMBUNG = 

5 comments for "LPH #41"

  1. Ayo bro @serpanth di up lagi...lagi dan lagi ..bongkaaar!

    ReplyDelete
  2. Ahhh sayang banget ga ada SS nya lagi, but it’s ok 😄

    ReplyDelete
  3. Hmmm...scene yosi sama dea dipantai kena cut ternyata..
    Nyahaha

    ReplyDelete
  4. masa SMA emang paling bergelora, nyusu dikit ama dea bisa kali, hehehe, es kelapa campur susu maksudnya. tetap semangat ngedit dan nulisnya, master. keep the faith. have a nice weekend.

    ReplyDelete
  5. Ayo bro serp... Dilanjut lagi episode 42 dst..
    Tetap epic ..gahaaaaar

    ReplyDelete

Post a Comment