Featured Post

LPH #49

Episode 49
Big Bang Part F

*****
@ rumah Xavi
Setelah Xavi vs Sigit
*****


(Pov Zen)


“Hei, tenang. Masak laki-laki nangis. Malu dong sama status. Bembi Sang Mata-Mata,”

Orang yang dulu pernah menjadi teman gue ini masih tertunduk dan menangis terisak-isak. posisi Bembi saat ini adalah duduk di kursi kecil dengan kedua tangan terikat di belakang.

PLAK !!

Wira yang berdiri di samping Bembi menampar dengan keras belakang kepala Bembi dan akibatnya tangis Bembi makin kencang. Untung tadi Astra menyumpal mulut Bembi dengan kain basah, sehingga tangisan Bembi tidak terdengar. Saat ini gue, Astra dan Wira menyekap Bembi di belakang toilet. Bi Ijah, pembantu Xavi sudah gue wanti-wanti untuk tidak ikut campur dan bertindak bodoh semisal menelepon polisi. Dan Bi Ijah mengangguk cepat dan menutup pintu dapur.

BYUR !!

Astra tiba-tiba menyiramkan seember air dingin di atas kepala Bembi. Dan itu membuat tubuh Bembi menggigil entah karena kedinginan atau ketakutan. Astra lalu memukul wajah Bembi hingga kain yang menyumpal mulutnya terlepas. Badan Bembi hendak terjatuh dari kursi tetapi di tahan oleh Wira.

BUGH !!

Bembi dapat hadiah lagi dari Wira bogem mentah ke perutnya.

“Anjing, jangan nangis lo! Kayak gini yang dirasain Xavi ketika lo memukuli dia di kamar mandi dan lo tambah dengan siraman air !” bentak Astra sambil mengambil kain untuk kembali menyumpal mulut Bembi.

Gue lalu menyalakan rokok sebatang dan sambil menikmati asapnya gue lalu bilang,” lihat gue Bem.”

Namun Bembi masih menangis tersedu-sedu dengan tertunduk. Wira lalu menjambak rambut Bembi dan mendongakkan wajahnya ke atas.

“Sebelum gue nanya serius ke elo, gue minta 1 hal. Gue hitung sampai 5, elo belum berhenti nangis, gue bakal tempelin nih ujung rokok ke jidat elo. Lak-laki pantang nangis!”

“Satu !”

Bembi yang tadinya menangis tersedu-sedu mulai agak tenang.

“Dua !”

Sudah hampir berhenti menangis namun masih sesenggukan, matanya terpejam. Air mata masih mengalir dari ujung matanya.

“Tiga !”

Bembi sudah mulai tenang.

“Empat!”

Dia sudah berhenti menangis. Matanya menatap gue, memerah. Seakan bilang ke gue kalau dia sudah berhenti menangis.

Gue menyeringai,”Lima, hee.”

Gue lalu berdiri di samping kanan Bembi, menjepit lehernya dengan lengan kiriku dan kujejalkan ujung rokok di pipi Bembi kuat-kuat.

NYESSH! Begitu suara desisan abu api saat menempel di pipi Bembi.

“HHHHHHMMMMMMMMMMPPPPPPPPPPP!”

Pasti teriakan Bembi akan terdengar keras sekali kalau mulutnya tidak tersumpal. Kedua kaki Bembi yang berontak langsung di injak-injak oleh Astra dan Wira.

Hohoho..

Gue lalu membuang puntung rokok karena bara apinya sudah padam kena pipi Bembi yang kini memerah.

Gue kemudian jongkok di depan Bembi, “Sebaiknya elo ceritakan semua, semuanya yang elo tahu tentang hubungan elo dengan Sigit dan Leo. Lo bisa cerita semuanya kan?”

Bembi mendongkkan wajahnya menatap gue. Gue ambil kain yang menyumpal mulutnya. Eh bukannya dia bilang sesuatu yang berguna, dia justru meludahi wajah gue sembari mengumpat.“Sakitt anjing !”

“Brengsek!” Wira lalu memukuli Bembi karena ia sudah meludahi muka gue. Astra juga tak mau kalah ikut memukuli Bembi. Gue cuma tersenyum dan mengusap ludah Bembi yang menempel di pipi. “Boleh pukulin Bembi, tapi jangan sampai dia pingsan. Gak asik kalau sampai ia pingsan. Bentar gue mau ambil sesuatu,”

Gue berdiri dan sambil bersiul-siul berjalan menuju gudang kecil di dekat toilet. Seinget gue, gue pernah melihat martil berukuran sedang tergantung di balik pintu gudang.

Ketika Bembi melihat gue balik sembari menenteng martil, dia nampak kaget dan perlahan kembali menangis. Kali ini menangis dengan histeris sampai meronta-ronta namun tubuhnya di pegang dengan kuat-kuat oleh Wira dan Astra.

“AMPUUN ZEEEEN !! AMPUNNNN !! GUE BAKAL CERITAA !! GUE BAKAL CERITAAA SEMUANYAAAA !!! AMPUNNN !!!GUE BAKAL CERITAAAA PASTIII ! JANGAN SIKSAA GUEE PLISSS !!” seru Bembi.

Hohoho, sepertinya Bembi tahu apa yang bakalan gue perbuat dengan martil ini, muehehehehehe.

“Gue tahu, mental pengecut kayak elo gampang buka mulut. Sebelum lo mulai cerita, ini gue kasih DP duluan.”

Gue hujamkan kuat-kuat ujung martil ke arah jempol kaki kiri Bembi.

Dan suara benturan ujung martil yang terbuat dari besi beradu dengan jempol kiri Bembi terdengar sangat enak sekali di telinga gue.

Gue pukul sekali lagi pas di kuku jempol kirinya.

Tapi kok enak ya mukulin jempol, hihihi.

BUG! BUG! BUG ! BUG !

Haha saking keenakannya mukulin jempol kiri Bembi, kini bukan hanya kukunya yang uda hancur, tetapi jempol kiri Bembi juga uda nyaris gepeng dan berdarah-darah. Ketika gue selesai, gue melihat tenyata Bembi pingsan. Sementara Wira dan Astra nampak melotot memandangi gue.

“Kenapa? Lo berdua ga pernah liat jempol gepeng kek gini ?”

Mereka menggeleng bersamaan.

“Hehe, tar lama-lama juga biasa. As, lo siram lagi air ke mukanya si bangsat ini.”

Astra sempat terdiam lalu mengangguk pelan. Ketika Astra menyiramkan air ke muka Bembi, dia siuman dan tergagap. Dia menangis dengan hebat. Gue suka kalau liat orang kesakitan kek gini. Bembi menangis melihat jempol kirinya sudah penyok, gepeng sampai gemeteran.

“Eh lo mau ngapain?” tanya gue melihat Wira membuka sumpalan di mulut Bembi sehingga terdengar tangisan Bembi histeris.

“Gue buka biar dia cepat cerita semuanya Zen, udah pasti dia bakalan cerita, udeh pucat gini mukanya,” ujar Wira.

“Siapa bilang gue uda selesai? Udah jelas 1000% ini anak cuma kita tempeleng juga bakal cerita. Tetapi itu gak cukup buat gue. Dia cerita karena takut dan belum tentu omongan dia bisa dipercaya. Nah satu-satunya cara agar dia takut dan tunduk total bercerita apa adanya, dia mesti merasakan rasa sakit. Rasa sakit yang melahirkan rasa takut akan membuat seseorang bercerita semuanya tanpa kecuali. Sumpal lagi mulutnya.”

Setelah mulut Bembi tersumpal gue melihat Bembi dan teringat sesuatu.

“Ahh gue goblok banget lupa gue, si Bembi ini kan jago maen futsal. Dan punya tendangan kanan yang kencang. Harusnya yang gue bikin penyok tu jempol kanannya, ups sori yak jempol kiri lo jadi korban, hihi!”

Gue langsung mengayunkan martil ke arah jempol kanan dan membuat jempolnya remuk dan penyok hingga kukunya pecah.

“HMMPHH...HHMPHHHH!” Bembi menjerit ketika mulutnya tersumpal sampai urat-urat di lehernya menonjol. Matanya melotot, ia berontak makin keras untuk melampiaskan rasa sakit yang teramat sangat. Gue lalu menendang dada Bembi hingga ia terjungkal ke belakang bersama kursinya.

Gue lihat Wira dan Astra terkejut karena gue udah menghancurkan 2 jempol Bembi di depan mata mereka, reaksi mereka sama, melotot sambil memegangi kepala. Entah mereka ngeri karena melihat 2 jempol Bembi yang penyok atau ngeri melihat tindakan gue barusan.

“Nah, kalau gini dia gak bisa main bola lagi, karena udah gak punya jempol hahahahahha!”

Gue lalu membuang martil dan menyalakan sebatang rokok. Gue lalu mendekati Bembi yang masih setengah sadar.

“Elo sudah siap menjawab pertanyaan gue yang pertama?”

Bembi mengangguk perlahan.

Dia sudah sepenuhnya tunduk sama gue,

Gue lalu menjambak rambut Bembi dan menegakkan badannya sehingga ia kembali terduduk di di kursi. Wajahnya udah pucat. Kedua matanya udah sayu, dia sudah capek menangis karena dia tahu tidak ada yang bisa menyelamatkannya, nasibnya ada di tangan gue sepenuhnya.

“Wir, ambil ponsel lo. Dan rekam semua perkataan Bembi. Ast, lo tunggu Sigit. Kalau dia sadar lo hantam dia lagi sampai pingsan. Kita baru bawa mereka berdua pergi kalau gue udah selesai disini. ”

Wira yang sudah menguasai dirinya, mengangguk dan mengambil ponselnya. Astra diam saja dan berjalan ke arah gazebo.

Sambil menunggu Wira, gue menggeser kursi yang diduduki Bembi hingga menempel di dinding gudang yang berwarna kuning gading agak kusam. Dengan begini tidak akan ada yang tahu lokasi “sesi-tanya jawab” gue dengan Bembi. Gue mengambil kursi dan duduk
berhadap-hadapan dengan Bembi.

“Duduk yang tegak Bem, lo pasti gak mau terlihat cemen di depan kamera.”

Bembi lalu memperbaiki posisi duduknya hingga tegak bersandar di kursi.

“Wir, lo ambil gambarnya setengah badan ke atas. Kasian yang nonton kalau jempol Bembi lo sorot.”

“Kamera siap,” ujar Wira yang mengambil gambar dari sisi samping kanan gue.

Oke, sesi diskusi dimulai.

“Pertanyaan pertama, apa benar kalau elo dan Sigit itu orang suruhan Leo untuk memata-matai kami kelompok anak kelas 1 yang kontra dengannya?”

Wira mengangguk dua kali. Gue gak butuh sekedar anggukan kepala. Gue tampar wajah  Bembi sehingga kain yang menyumpal mulutnya terlepas.

“Lo cerita anjing, jangan cuma angguk doang. Nah, sekarang lo jawab pertanyaan gue tadi dengan jelas. Gue gak mau dengar lo cuma jawab iya dan tidak. Just gimme a good answer…a fucking answer..” kata gue sambil mengarahkan asap rokok yang gue hisap ke wajahnya.

Bembi menatap gue, “I..Iya…Kami berdua diminta Leo untuk masuk ke kelompok kalian, uhuk…uhukkk.”

Gue lalu memberikan rokok yang gue hisap ke mulut Bembi, dia beringsut mundur takut gue sundut rokok lagi. “Ini lo isap biar lo tenang jawab pertanyaan gue.”

Karena tangannya terikat ke belakang, gue memegangi rokok tersebut ketika beberapa kali Bembi menghisap rokok tersebut. Perlahan badannya berhenti gemetaran.

“pertanyaan kedua, apakah elo dan Sigit adalah orang yang sama yang telah menyerang Xavi dan meninggalkkannya di kamar mandi gedung kelas 3 ?”

Bembi langsung tertunduk. “Iya, kami berdua yang sudah menyerang Xavi,” jawabnya setelah beberapa saat diam.


 40 menit kemudian…

Aku mengangguk ketika Bembi selesai menjawab pertanyaan gue yang terakhir. Gue lalu menoleh ke arah Wira yang sedari awal memegangi ponsel untuk merekam pengakuan Bembi. “Udah lo rekam semua kan?”

Wira mengangguk dan mengacungkan jempol. “Jadi semakin benci gue sama Leo. Pengen rasanya gue hajar sampai puas. Bisa ya dia tega mengumpankan anak kelas 1.” ujar Wira geram.

Gue setuju dengan perkataan Wira.

Demi memuluskan ambisi menjadi orang nomor 1 di Sekolah dan menaklukkan semua sekolah lain di Kota XXX. Oscar dan Leo sampai mengatur rencana busuk sedemikian rupa. Gue menatap Bembi yang saat ini tertunduk dan kembali menangis sesenggukan. Meratapi nasibnya ah bukan mungkin meratapi kedua jempolnya yang sudah mati rasa mungkin. Sedari awal gue yakin 100% Bembi bercerita jujur apa saja yang ia tahu dari A hingga Z. Gestur dan tatapan matanya membuat gue yakin. Karena menurut buku psikologi berjudul [i]Born To Be Genius[/i] yang pernah gue baca, orang yang berbohong tanpa ia sadari, kedua bola matanya akan cenderung memandang ke arah kanan atas yang berarti ia sedang mengkhayalkan atau mereka peristiwa yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Dan Bembi gue perhatikan bola matanya dominan ke kiri atas, tengah dan bawah. Pandangan ke kiri atas berarti Bembi mengingat kejadian yang telah terjadi, pandangan ke kiri tengah berarti Bembi mengingat suara atau percakapan yang telah terjadi. Sementara untuk pandangan ke kiri bawah lebih kepada pembicaraan monolog dengan dirinya sendiri. Mungkin percakapan tentang apakah dia harus bercerita sepenuhnya atau tetap menyelipkan kebohongan. Namun pada akhirnya Bembi tahu tidak ada gunya ia menutup-nutupi lagi. [i]Que sera-sera[/i]

“Oke Bembi, terimakasih ya. Wir, uda lo stop rekamannya. Rumah lo sepertinya gak terlalu jauh dari sini kan?”

“Iya, rumah gue gak jauh dari sini. 15 menit paling. Kenapa?”

“Lo pulang ke rumah, ambil mobil terus kesini.”

“Mobil buat apa? Oh buat nganterin mereka ke rumah sakit. Aduh Zen bisa gawat kalau kita yang anterin mereka, pasti kita ditanya-tanya.”

“Ngapain kita anterin mereka ke rumah sakit. Udah, lo tenang aja. Ikutin aja perkataan gue.”

Wira menatap gue lalu tertawa, “Haha oke-oke, siap bos! Tunggu ya!”

“Sip, sekalian elo bilang ke Astra, bersiap untuk menyeret tu babi ke mobil.”
“Beres!” sahut Wira sambil berlalu pergi.

“Zen...lepasin gue pliss, bawa gue ke rumah sakit, hiks..hikss...jempol gue...gue udah gak bisa ngrasain ataupun gerakkin kedua jempol kaki gue. Gue mohon, gue gak akan nyebut-nyebut nama lo sumpah demi ortu gue...hikss,” ujar Bembi menangis tersedu sambil menatapi kedua jempolnya yang udah rusak akibat gak sengaja gue bikin penyet dengan martil haha.

Gue cuma tersenyum dan mengusap rambut Bembi bagian atas lalu gue membungkuk untuk mengambil penyumbat mulut.

“Udah cukup Zen pliss !! Gue udah cerita semua yang elo mau tanpa ada yang gue tutup-tutupi! Jangan bungkam mulut gue lagi, gue akan tutup mulut ! Gue jan- hmmpphhhh!!”

Rengekan Bembi berhenti ketika gue kembali menyumbat mulutnya.

“Berisik lo babi, lo cerita semuanya karena elo gue paksa terlebih dahulu, bukan karena elo sendiri yang bercerita tanpa gue minta. Jadi sebenarnya bukan gue yang nyiksa elo, tetapi sejak hari pertama lo memutuskan jadi pengkhianat lo udah nyiksa diri lo sendiri. Oia, jangan khawatir bentar lagi elo dan Sigit gue anterin ke tempat seharusnya elo berada, bukan disini tempat anak XYZ,” kata gue sambil membungkuk sehingga wajah gue dengan Bembi bisa berhadap-hadapan.

Bembi mencoba berdiri dari kursi namun langsung gue pukul perutnya beberapa kali sehingga ia tersedak dan terduduk di kursi kehilangan daya untuk memberontak. Kemudian gue berdiri di belakang Bembi dan memegang kedua pergelangan tangan Bembi yang terikat tali jemuran dan meremas pelan. Reaksi Bembi langsung menoleh dan berteriak kesakitan ketika gue mulai meremasnya semakin keras.

“Gue tahu lo punya pikiran bakalan nglaporin gue ke polisi atas tindakan perbuatan tidak menyenangkan. Gue sih mempersilahkan elo kalau mau lapor polisi, tetapi gue yakin elo tahu sesuatu. Bokapnya Gom yang polisi di Polda aja gak bisa masukkin gue apalagi bokap lo yang cuma pengusaha retail skala kecil. Yang pasti kalau gue tahu elo laporin gue, hohoho. Gue gak segan membakar toko-toko milik bokap elo. Bem, sebelum lo tidur, gue minta lo mulai hitung mundur 1 sampai 4. Mulai dari ....sekarang,” kata gue sambil menepuk pundaknya dari belakang.

Bembi berteriak-teriak dan meronta ketika gue bukan hanya meremas tangannya yang terikat dibelakang kursi, gue juga menekan kedua pergelangan tangannya ke segala arah dan akhirnya gue pegang erat-erat kepalan tangan kanan Bembi yang berada di depan lalu gue puntir ke arah dalam sampai kemudian terdengar bunyi KLIK, maaf maksud gue bunyi..

KRAK

Bunyi tulang karpal yang dislokasi karena gue puntir ke dalam nyaris 360 derajat. Bembi menjerittt keras sekali meskipun mulutnya tersumpal. Gue amati pergelangan tangan Bembi yang sudah agak aneh bentuknya ini. Haha.

Gue lalu memegang pergelangan kiri Bembi, tetapi karena kasihan gue tidak jadi mempelintir pergelangan tangan kirinya....HAHAHAHA GUE BOHONG !! Memang gue gak mempelintir pergelangannya namun gue ambil jempol kiri Bembi dan gue sentakkan dengan cepat hingga tulang ibu jarinya mengalami trauma hebat karena tertekuk ke belakang dan patah.

Puas rasanya bermain-main dengan Bembi, lalu gue memukul tengkuk Bembi hingga kepalanya tertunduk. Dia pingsan. Gue menyalakan rokok dan menghampiri Astra yang sedang duduk-duduk di pinggir gazebo yang juga sedang merokok.

“Giman nih babi, sempet sadar gak?”

“Sempet Zen, namun langsung gue tendang rahangnya dan dia pingsan lagi.”

“Haha bagus.”

“Bembi gimana? Lo apain aja tuh bocah?”

“Yah selain dia gak akan bisa lagi main futsal dengan benar karena jempolnya uda berantakan seperti yang elo lihat, dia juga untuk sementara 6-8 minggu ke depan tidak bisa coli dengan tangan kanan dan mesti coli dengan tangan kiri. Itupun tanpa jempol kirnya yang uda letoy.”

Astra menatap gue entah ngeri entah jijik sebelum akhirya menghisap rokoknya dan bilang, “Anjir kejem banget lu.”

“Kejam ? Kalau gak gue gituin mereka bisa bermasalah di kemudian. Lo liat aja hasilnya kan, Gom, Rudi dan Yusuf sekarang jadi gak banyak bacot di sekolahan. Sama halnya dengan Bembi dia mesti diberikan shock terapi biar gak macam-macam. Oh iya yang ini belum ya. As, pegangin bentar rokok gue.”

Ketika gue turun dari gazebo Astra berteriak “Oi mau ngapain lo?”

Gue menoleh dan bilang, “Itu si babi belum gue kasih terapi. As, enaknya apanya Sigit yang gue patahin ya? Lo pilih kaki atau tangan Sigit nih?”

Astra terdiam lalu ia tersenyum “Lo patahin aja engkel kakinya Sigit.” Tanggapnya dingin.

“Kalo kaki agak susah nih pake tangan kosong, bentar.”

Gue lalu ke gudang mencari sesuatu dan gue melihat satu benda menarik teronggok di pojokan yang sangat cocok untuk memberikan trauma hebat di kaki Sigit.

Sebuah linggis.

Hohoho.

Sambil bersiul-siul gue mendatangi Sigit lalu mengganjal kaki kanannya dengan pot kecil sehingga posisinya kakinya kini agak terangkat sekitar 5 cm dari tanah. Gue miringkan kakinya agar menghadap ke sisi dalam. Nah uda pas. Gue mendatangi Astra dan mengambil rokok yang ia pegang. Gue hisap kuat karena memang hampir habis batangnya, fyuhhh asap rokok gue hembuskan ke atas dan puntung rokok gue jejalkan di asbak.

“Lihat baik-baik apa yang terjadi jika linggis besi menghajar tepat di pergelangan kaki.” Kata gue kepada Astra yang nampak tegang melihat gue akan mengeksekusi Sigit.

Gue pegang linggis dengan tangan kanan lalu gue ayunkan tepat ke arah pergelangan kaki kanan Sigit.

KRAAAKKK !!

Pergelangan kaki kanan Sigit yang tadinya sedikit terangkat langsung melesak sejajar dengan rumput sementara telapak kaki kanan Sigit tertekuk menghadap ke atas nyaris membentuk sudut siku-siku dengan betisnya. Gue yakin otot tendon dan tulang yang menyambungkan betis dengan telapak kaki kanan patah namun sepertinya patahannya tidak sampai merobek dan mencuat menembus kulit.

Hoho bullseye!

Sigit yang tadinya pingsan langsung sadar tergagap dan berteriak keras sekali, dari jeritan dan ekspresinya yang pucat pasi, kedua mata melotot ini sudah pasti ia merasakan kesakitan yang luar biasa.

“Ini hukuman buat seorang penyusup dan pengkhianat kayak elo njing,” kata gue sebelum akhirnya gue tendang wajahnya sehingga ia kembali pingsan.

Gue melihat Astra menatap gue dengan muka yang hampir sama pucatnya dengan Sigit barusan. Sepertinya dia belum pernah melihat secara langsung seseorang yang kakinya dipatahkan dengan linggis hehehe.

***

“Zen, lo yakin ?” tanya Wira sambil memegang kemudi, ia nampak tegang. Gue maklum sih jika Wira nampak tegang dan grogi. Karena di bagasi belakang mobil Civicnya ada 2 mayat, eh gak, maksud gue ada 2 orang yang tengah pingsan gue jejalkan di bagasi belakang yakni Sigit dan Bembi.

Di depan kami sekitar 200 meter terlihat Cafe Oliver dan berjajar beberapa mobil Mini Cooper yang salah satunya milik Leo. Ya ini adalah basecamp anak klub mobil milik Leo biasa berkumpul.

“Santai aja, gue yang tanggung jawab dan lo pakai aja penutup kepala lo.”

Wira langsung mengambil balaclava warna hitam sehingga hanya terlihat mata dan mulutnya. “Lo gak pakai? Gue masih ada nih 1.”

“Buat apa gue pakai? Justru gue sengaja gak pakai biar Leo bisa lihat gue membuang kedua temannya di depan dia. Pertanda bahwa kedok keduanya sudah kita ketahui. Udah yok jalan aja. Tar lo berhenti tepat di depan jalan masuk ke cafe.”

Ketika mobil Wira berjalan pelan menuju sasaran, gue mengirim WA ke Astra yang berada di belakang mobil.

ZEN
As. Lo berhenti disini aja, spot ini aman, lo bisa lihat situasi tanpa ada yang curiga sama elo
19.12

Tak lama kemudian, Astra membalas.

ASTRA
Beres
19.13


Dan perlahan tapi pasti akhirnya mobil berhenti di depan jalan setapak yang mengarah masuk ke dalam. Gue beruntung karena melihat Leo sedang menghisap vape dengan beberapa temannya di kursi yang tertata di halaman rumput. Ketika Wira udah berhenti, gue langsung keluar dari mobil sambil bersiul-siul. Gue sempat menatap ke arah Leo yang sepertinya bingung melihat gue keluar dari mobil.

“Zen? Ngapain lo?” teriaknya.

“Gue nganterin temen elo nih. Tunggu bentar.”

Gue membuka kap bagasi belakang dan membopong Bembi terlebih dahulu lalu gue letakkan Bembi di atas rumput halaman cafe. Setelah Bembi, gantian gue menarik tubuh Sigit sehingga berdebum telentang di aspal. Karena badan Sigit besar, gue males bopongnya. Jadi gue seret tangan kirinya dan gue posisikan ia terbaring di dekat Bembi. Pergelangan kaki Sigit sebelah kanan yang gue patahin nampak lunglai. Gue lalu kembali ke bagasi mengambil tas keduanya dan gue lemparkan ke arah Bembi dan Sigit yang pingsan.

“Tuh teman elo nyasar ke tempat gue. Tanpa gue jelasin harusnya elo tahu kan mereka siapa dan kenapa kondisi mereka seperti sekarang. Dah ah, sekarang mereka jadi urusan elo. Terserah mereka mau lo diemin atau lo bawa ke rumah sakit, yang jelas elo yang tanggung jawab, oh iya kalau elo mau lapor polisi juga silahkan. Hehe. [i]See you soon, losser[/i],” kata gue santai di hadapan Leo yang gue lihat mukanya langsung pucat pasi. Bukan cuma Leo, beberapa teman Leo juga terdiam melihat kondisi Sigit dan Bembi. Orang yang duduk di dalam juga sudah menengok ke luar namun tidak ada yang berani keluar. Suasana cafe yang tadinya ramai kini langsung sepi haha.

Gue lalu masuk ke dalam mobil dan Wira segera melajukan mobilnya. Gue sempat melirik ke spion kiri dan melihat Sigit serta Bembi dikerubungi banyak orang.

“Gila lo Zen !! Berani banget lo sumpah ! Gue aja gemeteran ini asli, gue khawatir mereka bakal ngeroyok kita!”

“Santai aja, kita unggul dalam 1 hal. Yakni kita sukses membuat Leo luar biasa terkejut sampai lo liat sendiri wajahnya pucat dan Vape yang ia pegang sampai jatuh. Sehingga Leo dan temannya kebingungan dan ngeri melihat 2 babi terkapar di hadapan mereka.”

“hahaha mampusss !! Kita kemana nih nyusul Yandi dan Yosi?”

“Iya kita nyusul kesana tetapi lo puter-puter dulu sebelum ke rumah sakit siapa tahu ada anak buah Leo yang cukup bernyali untuk membuntuti kita.”

“Beresssss!”

Kami berdua lalu muter-muter sekitar pusat kota kurang lebih selama setengah jam dan setelah merasa tidak ada yang menguntit kami, gue meminta Wira untuk langsung menuju ke Rumah Sakit Medika tempat Xavi dirawat. Dari kabar di grup, Xavi pingsan karena kelelahan, luka lebam di wajah dan badan. Namun ternyata ada indikasi beberapa tulang rusuknya yang entah retak atau patah yang mesti segera di rontgen untuk mengetahui secara spesifik luka dalam yang dialami Xavi.

PIP.

Ada WA dari Astra.

ASTRA
Zen, setelah kalian pergi langsung gaduh suasana cafe hahahaha! Dan mereka langsung membawa 2 anjing itu ke rumah sakit daerah X3. Gue bisa pastikan tidak ada mobil yang ngikutin kalian. Ini gue kirim foto-fotonya, sori agak gelap dan kabur.
19.46

Gue lalu melihat foto-foto suasana di Cafe Oliver setelah gue pergi dan foto dari depan rumah sakit daerah X3.

ZEN
Good job. Gue sama Wira ke medika. Ketemu disana saja
19.50

Sekitar jam 8 malam, kami sampai di rumah sakit. Gue minta Wira dan Astra yang sudah sampai untuk masuk duluan. Gue mau menelepon seseorang.  Fiuh, gak ada cara yang lebih baik ngomong ke beliau selain terus terang dan to the point. Gue lalu mencari tempat yang tenang di samping rumah sakit dan mengetikkan satu nama di kontak.

Tante Clara alias mamanya Xavi.


***
3 hari kemudian
@J.Co
***



(pov : Yandi)


Setelah berbasa-basi membicarakan kondisi Xavi yang beruntung hanya mengalami retak 2 tulang rusuk sebelah kiri dan mesti istirahat 1- 2 minggu, akhirnya kami mulai membicarakan alasan utama pertemuan malam ini.

“Apa yang kamu dapat dari Bembi dan Sigit ?”

“Setelah mengorek keterangan dari Bembi dan membaca semua petunjuk yang ada di ponsel Sigit dan Bembi mulai dari histori chat di Whatsapp, SMS dan notes, kepingan itu satu satu persatu mulai membentuk sebuah gambaran yang terlihat jelas. Gambaran yang berisi rencana busuk Leo dan Oscar dalam usaha mereka menjadi grup yang menguasai sekolahan. Lalu selanjutnya mencaplok satu persatu sekolah lain dan terakhir menjadikan STM XXX sebagai target utama.”  

“Dan ini semua sesuai dengan hipotesis yang dulu pernah kita bicarakan Yan, bahwa Leo ingin mengumpankan anak kelas 1 untuk menyulut perkelahian dengan anak kelas 3. Dan orang yang ia pilih adalah elo. Namun perhitungannya meleset karena ia tidak menyangka elo bisa mengalahkan Nando dalan kondisi terdesak. Ditambah dengan fakta bahwa Xavi adalah anak tunggal dari seorang yang sangat berpengaruh yang pada akhirnya membuat bokap Leo bernasib tragis terusir dari sekolah, membuat rencana Leo runyam. Oscar langsung bertindak dengan mengatur dan memilih 3 orang untuk dijadikan kambing hitam pelaku penyerangan Xavi, cara tersebut rawan namun mereka merasa unggul karena tidak ada bukti valid yang mengarahkan ke mereka. Dan memang benar kan, kita hanya punya keyakinan bahwa pelaku asli masih melenggang bebas termasuk Leo sebagai perencana serangan. Namun kini situasinya berbalik, semua bukti yang mengarah ke Leo semua ada di sini,” ujar Zen sambil meletakkan 2 ponsel di atas meja dan sekeping DVD yang terbungkus kotak kaset plastik.

“Ini adalah ponsel Bembi dan Sigit. Sementara di DVD ini ada video pengakuan Bembi tentang peran Leo, Sigit dan dirinya.” Papar Zen tenang.

Zen memang benar, sejak awal aku tidak memiliki keraguan bahwa Leo adalah otak jahat dibalik penyerangan Sigit berdasarkan insting dan hasil percakapanku dengan Leo ketika aku mendatanginya sendirian ke sebuah café tempat ia biasa berkumpul dengan teman perkumpulan mobilnya. Secara tidak langsung atau entah slip lidah, Leo mengaku bahwa dia memang terlibat dalam penyerangan Xavi, namun aku tidak bisa menuntut keadilan dan membalas Leo karena kami tidak memiliki bukti kuat untuk menuduhnya. Hingga akhirnya konspirasi busuk tersebut bisa terkuat dengan adanya barang bukti valid ini.

“Terus peran Sigit dan Bembi seperti apa? Apakah memang benar keduanya adalah pelaku bertopeng yang meyekap dan menghajar Xavi?”

Zen mengangguk.

“100 % merekalah tersangkanya. Hal ini dipertegas dengan pengakuan Bembi ketika gue interogasi. Bembi juga mengaku bahwa dialah yang sudah menodong Xavi dengan pisau ketika ia memaksa Xavi untuk mengikuti perintah mereka.”

“Iya Yan, gue udah nonton video pengakuan Bembi,“ tegas Yosi yang sedari tadi diam.

“Apa alasan mereka mau menjalankan rencana kotor tersebut?”

“Ya gak jauh-jauh dari masalah selangkangan dan duit Yan.” Ujar Yosi.

“Maksudnya?”

“Mereka mau melakukan perintah Leo karena diiming-imingi imbalan uang sekitar 5-10 juta plus mendapat akses untuk tidur dengan beberapa cewek yang sering dipake oleh anak klub mobil Leo.”

Aku cuma menggeleng-gelengkan kepala mendengar perkataan Yosi tersebut. “Gila, hanya karena demi uang puluhan juta dan cewek, mereka mau saja melakukan perintah Leo. Menyerang Xavi dan juga berpura-pura menjadi teman kita.”

Zen tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Itu dua hal yang berbeda Yan. Rencana awal Leo memang hanya menggunakan jasa Sigit dan Bembi untuk menghajar Xavi. Tugas selesai. Kedua pihak sama-sama mendapatkan apa yang mereka inginkan. Namun ketika elo berhasil mengalahkan Nando, Leo langsung memberikan misi lain kepada Sigit dan Bembi. Yakni misi untuk menjadi mata-mata sekaligus penyusup yang berpura-pura sebagai pendukung elo. Agar tidak ada yang curiga, keduanya turut serta ketika kita berkelahi melawan para pendukung Oscar di ruko lama bahkan agar semakin menyakinkan, Bembi dan Sigit rela untuk ikut babak belur bersama kita saat dikeroyok.”

“Karena akting keduanya yang luar biasa, tidak ada yang menyangka bahwa ternyata selama ini ada 2 ular di antara teman-teman seperjuangan kita. Ular haram jadah yang rutin melaporkan apapun yang kita lakukan kepada Leo. Sehingga Leo bisa selalu selangkah di depan kita. Termasuk rencananya hendak menyerang dan menyergap kita semua ketika kita berpencar mencari Sigit…”

Aku terkejut mendengar ucapan Zen tersebut. Aku terkejut karena aku tahu yang dimaksud Zen adalah malam dimana kami semua berpencar untuk mencari Sigit karena ada nomor misterius yang mengirimkan foto Sigit yang tengah terkapar di jalan dalam kondisi babak belur.

“Leo sudah tahu karakter elo Yan, dia tahu lo paling gak tahan liat ada teman yang dianiaya dan hal itu hendak ia manfaatkan. Makanya dia mengatur sebuah rencana yang tidak mungkin bisa dilaksanakan tanpa ada keterlibatan serta bantuan si ular di dalam kelompok kita. Sebuah rencana untuk menghabisi kita semua dalam 1 malam dan sekaligus menghentikan perlawanan kita agar tidak turut campur dalam konflik Oscar dengan Feri. Eh Yos, lo lanjut cerita, perut gue mules.”

“Makanya kurangin tuh makan pedes- pedes,” tukas Yosi ketika Zen pergi.

“Gue lanjutin Yan. Jadi setelah elo nemenin gue battle di Deathwish, elo berinisiatif mengadakan pertemuan dengan anak-anak dengan tujuan untuk memperingatkan mereka semua agar meningkatkan kewaspadaan karena efek Bram yang nyaris mati di tangan gue, jelas bisa memantik serangan balasan dari anak buah Bram dan anak buah Oscar lainnya karena bagaimanapun, Bram adalah orang penting di aliansi Oscar. Rupanya berita kekalahan Bram langsung menyebar dengan cepat dan Leo yang sepertinya sudah bisa ngebaca tindakan elo, langsung meminta Sigit untuk mematikan ponsel seharian, sementara ponsel Bembi tetap on.”

Aku langsung terbayang betapa girangnya Leo ketika WA ku di grup yang meminta agar semua orang berkumpul di café, di forward Bembi kepadanya. Ia pasti tertawa karena tindakanku terbaca olehnya.Emosiku perlahan naik namun aku mencoba untuk tetap tenang.

“Karena pertemuannya malam, maka Leo dan kedua ular itu punya cukup waktu untuk merencanakan sesuatu. Berdasarkan pengakuan Bembi, Leo mengatur agar Sigit yang menjadi satu-satunya orang yang tidak datang dan tidak bisa di hubungi seolah menjadi korban pengeroyokan. Dan foto Sigit itu memang asli, dia sengaja dipukuli oleh beberapa temannya Leo agar lukanya tampak serius. Begitu foto Sigit dikirim ke elo langsung semua pada panik kan dan ingin mencari Sigit. Dan disini peran Bembi, dia memanaskan suasana agar semua orang naik emosinya. Dan ia berhasil ketika elo memutuskan untuk membagi semua orang menjadi 4 kelompok dan dewi fortuna berpihak kepada Bembi karena ia masuk ke dalam grup elo, Astra dan Dodo. Perlahan Bembi mengarahkan kalian menuju lokasi dimana Sigit “dikeroyok”. Karena akting Sigit, kita semua percaya bahwa Sigit adalah korban pengeroyokan sehingga hal itu membuat posisi Sigit dan Bembi semakin nyaman di kelompok kita.  Sebenarnya Leo hendak menyergap keempat grup tersebut, 50-60 orang sudah disiapkan namun Bembi yang intens komunikasi dengan Leo secara diam – diam, memberikan rekomendasi kepada Leo untuk menunda penyerangan karena kita semua sudah memasang kewaspadaan tinggi. Sehingga unsur serangan kejutan tidak akan berhasil.”

Zen yang sudah kembali dari tadi menyimak perkataan Yosi, membuka ponsel Bembi dan menunjukkan sebuah pesan SMS yang dikirim ke nomor tanpa nama.    

BEMBI
Jangan serang malam ini, kalian serang besok saja sepulang sekolah ketika kewaspadaan mereka menurun. Gue akan berikan posisi semua orang disini, karena biasanya di grup WA mereka semua saling menginformasikan lokasi. Oh iya, rata-rata mereka bepergian bergerombol 2-3 orang jadi bawa minmal 7 orang untuk menyerang mereka secara serempak besok. Btw, besok jangan pukul gue keras-keras ya.hahah.
20.48

“Ini pesan yang dikirm ke Bembi kepada seseorang yang mengakibatkan kita diserang secara serentak keesokan harinya,” terang Zen.

Aku jadi teringat kembali ketika momen dimana semua temanku diserang pada waktu yang bersamaan.

Aji dan Riko dibantai di dekat Stasiun Kota. Aji tangannya patah, Riko kepalanya bocor.

Farrel, Bagas, Ari dibantai setelah pulang futsal. Ketiganya mengalami patah tulang hidung.

Guntur dibantai saat dia pulang sekolah. Tulang rusuk retak.

Wira dan Jimi diserang di belakang Mall Merah. Keduanya bisa lolos tetapi motor Jimi dibakar orang.

Dodo, Bembi  diserang setelah pulang dari menjenguk Sigit di Rumah Sakit tetapi mereka bisa melawan namun akhirnya lari karena kalah jumlah. 2 gigi Bembi tanggal, Kaki kanan Dodo terkilir.

Astra mengabarkan dia sempat diserang sepulang dari les namun dia berhasil meloloskan diri. Tidak terluka.

Zen yang rumahnya dekat dengan sekolah menjadi sasaran empuk, kaca di rumahnya habis pecah semua dilempari batu segerombolan orang. Tidak terluka.


Ketika pada saat itu aku benar-benar putus asa melihat teman –teman terluka parah. Dan disaat aku sedang terjepit, Jati mendatangiku untuk menantangku berkelahi. Aku menang lawan Jati namun aku tidak merasa senang sama sekali. Lalu aku semakin tejepit ketika Oscar mengajakku bertemu dan berbicara empat mata. Yang intinya adalah aku diminta untuk mundur dari konflik dan tidak akan ikut campur dengan menyerang balik. Namun ketika keadaan makin genting dan aku mengalami dilematis antara berdiam diri atau membalas serangan, pak Tomo muncul dan langsung berhasil mengendalikan situasi tepat sebelum perang besar terjadi di sekolah.

Oke, peran dan dosa Sigit dan Bembi udah jelas sekarang. Motif mereka melakukan ini semua karena faktor uang dan cewek. Demi hal tersebut mereka rela berbuat hal sehina ini. Namun ada hal yang cukup membuatku terganggu, yakni tentang pengakuan palsu Bram bahwa ia adalah salah seorang pelaku penyerangan Xavi. Ketika aku bertanya kepada Zen dan Yosi, keduanya terdiam.

“Gue gak bisa menebak jalan pikiran Bram dan apa motivasinya dengan mengaku sesuatu justru merugikannya dan malah nyaris merenggut nyawanya sendiri,” ujar Zen sambil melirik Yosi.

Yosi yang tahu Zen tengah menyindirnya tidak bereaksi apa- apa. Aku tahu apa yang tengah dirasakan Yosi karena ia memiliki histori panjang dengan Bram. Selain pengakuan palsu dan pengkhianatan Bram ketika di ruko lama ia dan teman-temannya malah membantu aliansi Oscar, berujung dengan adu nyawa di lintasan Deathwish. Hasilnya? Yosi menang dan bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Bram sekarat dan tanpa diduga ia muncul kembali di sekolah. Menginformasikan kepada kami bahwa kemungkinan besar ada mata- mata Leo di dalam kelompokku.

Dan memang terbukti.

Orang seperi Bram yang memiliki sikap bak bunglon dan mempunyai banyak topeng dan aku yakin juga menyimpan banyak rencana, adalah tipikal orang yang tidak aku suka dan sangat sukar sekali untuk dipegang segala perkataannya.

Apa motivasinya. Apa tujuan utamanya. Apa lagi yang hendak ia rencanakan..entahlah.

“Gue kemarin mendatangi Bram dan gue bertanya hal yang sama seperti yang lo tanya Yan. Tapi si bangsat itu justru berkata dengan santai bahwa ia tidak pernah mengaku sebagai salah satu penyerang Xavi. Kalian mungkin salah dengar, begitu katanya. Gue hapal sifatnya. Dia tipikal orang yang susah untuk ditekan untuk mengatakan kebenaran. Dia itu ular berbisa yang sudah untuk dipegang perkataannya,” ujar Yosi.

Aku dan Zen terdiam mendengar penuturan Yosi tersebut. Setelah beberapa saat Zen bertanya kepadaku.

“Yan, sekarang kita mesti bagaimana? Bukti sudah ada di tangan kita.”

Aku mengetuk-ngetukkan jariku di meja setelah mendengar penjelasan Zen dan Yosi tentang Sigit, Bembi ,rencana keseluruhan Leo dan sikap misterius Bram. Tepat seperti dugaan kami semua bahwa Leo adalah otak dibalik penyerangan Xavi. Kami cuma bisa menduga karena tidak ada bukti valid yang menunjukkan keterlibatan Leo. Ipul, Nando dan Kiko menjadi kambing hitam yang dikorbankan Leo dan Oscar agar masalah Xavi di anggap selesai.

Tentu saja kami juga tahu ketiganya hanyalah "korban". Ipul menjelaskan kenapa dia mau saja dikorbankan namun tidak cukup berani untuk menjadi saksi. Sementara Nando dan Kiko entah mereka pergi melanjutkan sekolah dimana, tidak ada yang tahu, membuat kami tidak bisa mengejar alasan mereka "mau" dikorbankan.

Aku menatap bergantian kedua temanku ini. Dari sorot mata dan ekspresi tegang mereka, aku tahu mereka sudah sekuat tenaga untuk tetap tenang dan tidak berbuat bodoh dengan langsung mengejar Leo. Karena kami tahu, kubu Leo dan Oscar juga berpikiran kami akan langsung mengambil tindakan begitu Bembi dan Sigit ketahuan. Beruntung, kedua temanku ini, terutama Zen punya pemikiran panjang. Karena menyerang Leo bisa mengakibatkan efek domino yang merugikan banyak pihak. Salah satu efeknya adalah mempercepat datangnya pertarungan terakhir aliansi Oscar melawan aliansi Feri dan Axel.

Meskipun aku dekat dengan Axel dan kami punya musuh yang sama, tidak etis jika justru kami yang memantik perkelahian terlebih dahulu. Sepertinya dalam waktu dekat aku mesti berbicara dengan Feri. Karena bagaimanapun juga dia adalah seniorku di sekolah yang banyak disegani dan dihormati karena statusnya sebagai siswa terpandai di sekolah kami dan juga bajingan yang memiliki 50-60 siswa pengikut bersama dengan Deka dan Darma.

Namun sebelum berbicara dengan Feri, aku mesti memutuskan sesuatu apa yang mesti aku lakukan dengan bukti valid di hadapanku ini.

Ponsel Sigit, Bembi dan sekeping DVD berisi pengakuan Bembi sepanjang 33:45. Aku kasian dengan Bembi setelah apa yang sudah dilakukan oleh Zen terhadapnya. Namun aku juga tidak bisa menyalahkan Zen.

"Zen, Yosi. Kalian temanku kan?" Kataku sambil bersedekap di atas meja.

"Aneh banget sih Yan perkataan elo? Ya jelasn lah elo bukan cuma teman, tetapi elo tuh pemimpin kami. XYZ Supreme leader !! Ya gak Zen?" Tegas Yosi sambil melihat ke arah Zen.

Zen mengangguk dan berkata, "You're the man Yan. I'll follow your path with blindfolded."

Aku tersenyum. Pemimpin.

Aku jadi teringat terakhir kali aku dipanggil sebagai pemimpin geng. Yakni ketika Sa13lenx , geng anak nakal bentukanku bersama Wawan, memutuskan menyerang dan menyerbu Kobra, geng anak-anak nakal kampung sebelah yang mayoritas sudah STM. Pangkal masalahnya sih sepele, gara-gara Deden adik dari Evi pacar Wawan yang masih kelas 1 SMP dipukuli sama anak-anak Kobra setelah menolak menyerahkan uang SPP yang hendak mereka rampas. Sambil menangis Evi mengadu ke Wawan tentang nasib adiknya yang mengalami patah tulang tangan kiri setelah dipukuli anak Kobra. Dan Wawan yang sudah berapi-api lalu mendatangiku ke rental PS dan meminta ijin karena ia mau mengerahkan beberapa anak Sa13lenx menyerang Kobra.

Aku yang sedang kesal karena kalah taruhan main Winning Eleven lebih dari 20ribu langsung menanggapi perkataan Wawan.

"Kamu mau nyerang geng Kobra? Kalau gitu jangan setengah-setengah nyerangnya. Ndro, panggil semua teman-teman. Setengah jam lagi kumpul di belakang pasar. Aku juga udah lama ngincer Sugeng, ketua Kobra. Dia pernah godain Arum sampai Arum takut berangkat sekolah. Cuman dia sering lolos kalau aku datangin," begitu perintahku kepada Condro, salah seorang teman yang menemaniku main di rental PS.

"Siaaap bos!!" sahut Condro cepat.

Wawan yang dasarnya memang berjiwa bajingan langsung tertawa terkekeh sambil mengepalkan tinjunya. Dan sore harinya aku, Wawan dan puluhan anak Sa13lenx mendatangi tempat anak Kobra biasa nongkrong. Meskipun kami mayoritas anak kelas 2 dan 3 SMP, kami tidak gentar melawan Kobra. Dan tawuran besar pun terjadi di lapangan bola. Itu tawuran paling edan yang pernah aku alami karena banyak banget orang yang kepalanya bocor kena lemparan batu dan pentungan kasti.

Pada akhirnya geng Sa13blenx memenangi tawuran. Dan malam harinya semua anak yang terlibat tawuran masuk ke sel di polsek, termasuk aku dan Wawan dengan perban melilit kepala yang cuma tertawa-tawa dimarahin pak polisi. Tawa kami baru reda ketika melihat orang tua menjemput kami. Ketika Wawan diinjak-injak sama bapaknya di kantor polisi karena marah besar, Bapakku cuma diam melihatku.......digebuk, ditampar, dijambak Mbak Asih sampai lilitan perban di kepalaku terlepas dan kembali berdarah karena jahitan di kepalaku terbuka akibat dihajar Mbak Asih yang benar-benar murka.

Situasi yang aku hadapi sekarang sangat mirip dengan dulu. Jika aku dulu termasuk anak yang cepat naik darah dan tanpa mikir panjang setuju ikut tawuran menyerang geng lain, maka kali ini aku tidak boleh mengambil keputusan konyol seperti dulu yang hanya mengedepankan emosi.

Aku berdehem lalu menghabiskan minuman Coklat panas yang tinggal sedikit.

"Oke, kalau kalian menganggapku sebagai teman dan pemimpin, aku akan memberikan keputusan sekarang. Namun aku yakin keputusanku ini akan membuat kalian sama sekali tidak senang. Namun keputusan ini sudah aku pikir matang-matang dan 100 % kalian mesti menyetujui dan sampaikan ke teman-teman yang lain untuk mengikutinya. Yang tidak setuju bahkan melanggar aturanku, aku tidak akan segan-segan menghajarnya dengan tanganku sendiri, termasuk menghajar kalian berdua jika kalian tidak menyetujuinya."

Zen dan Yosi nampak terkejut mendengar perkataanku barusan. Reaksi yang sudah kuperkirakan sebelumnya. Karena keputusanku ini memang mengharuskan semua anak XYZ 100% mentaatinya. Jika ada 1 % saja ada yang melanggar, rencanaku akan berantakan.

"Jadi keputusan dan tindakanku adalah. Jangan sentuh Leo barang sedikitpun."

“Yan, apa maksud lo? Lo ngebiarin Leo gitu aja?” sergah Yosi.

“Lo serius?” tambah Zen.

Aku tetap diam tidak bergeming mendengar rentetan pertanyaan mereka berdua yang tidak puas dengan keputusanku.

“Kalian yang menganggap aku sebagai pemimpin kalian, bukan aku yang mengikrarkan diri sebagai pemimpin di depan kalian. Seperti yang aku katakan, kalian berdua mesti menyetujui keputusanku. Tetap tenang dan jangan bertindak bodoh. Kalau kalian berdua belum puas, atur aja waktu kalian mo menantangku. Aku akan menghajar kalian sampai kalian 100% mengikuti perintahku, tanpa kecuali. Bahkan jika ada yang sampai melanggar keputusanku dan menyerang Leo. Aku akan mengirim nya ke rumah sakit.”

Jika Zen tetap terlihat tenang, lain halnya dengan Yosi yang justru bereaksi keras dengan menggebrak meja sambil berdiri. Membuat beberapa pengunjung melihat ke arah kami.

“Jangan ngelunjak lo Yan! Udah jelas Leo setannya! Masak kita diam saja!”

Aku lalu mengambil kedua ponsel,1 keping DVD dan kumasukkan ke dalam tas kecil yang kubawa. AKu lalu berlalu pergi dan ketika melewati Yosi, aku bilang.

“Kalau kamu gak terima, ayo selesaikan di luar,” kataku sambil menuju pintu keluar.

Aku menunggu keduanya di pelataran parkir. Namun yang muncul cuma Zen. “Yosi gue minta tetap disana untuk menenangkan diri. Tuh anak kalau ngomong tentang Bram bawaannya jadi cepat meledak emosinya. Btw, lo gak serius kan nantang Yosi?”

“Aku serius Zen. aku belum bisa cerita banyak saat ini, namun yang aku minta dari kalian saat ini adalah percaya denganku sepenuhnya.”

“Santai Yan. Gue sih percaya aja sama elo. Gue gak tahu apa yang elo rencanakan Yan, tetapi apapun itu gue harap rencana lo keren.”

“Thanks bro. Tolong kamu kasih tahu ke teman lainnya tentang keputusanku.”

“Beres. Lo tenang aja.”

“Aku balik duluan, barang bukti aku bawa ya.”

“Oke.”

Zen kembali ke dalam J.Co sementara aku mematikan ponsel dan langsung pulang ke rumah.

Maaf teman, untuk hal ini aku tidak mungkin melibatkan kalian. Namun kalian tenang saja, Leo akan mendapatkan hukuman. Kalian yang sudah menganggapku pemimpin, maka aku harus melakukan sesuatu untuk kalian. Sesuatu yang memiliki resiko tinggi dan hanya aku yang bisa melakukannya.

Tidak mungkin aku mengajak kalian semua untuk mengancam Pak Tomo.

Ya benar, besok di sekolah aku akan mengancam dan memaksa Pak Tomo untuk menuruti tuntutanku tanpa ada negosiasi.

Penuhi permintaanku atau aku akan bongkar semuanya.

Fiuh, besok akan menjadi hari yang……entahlah. Baru memikirkan aku besok akan mengancam Kepala Sekolahku sendiri yang mantan bajingan nomor 1 membuat badanku menggigil.

Ayo Yan ! kuatkan mentalmu !!



= BERSAMBUNG =

10 comments for "LPH #49"

  1. Wkwkwk mau ngamcem The Tank dia
    Wkwkwk
    Btw itu anak2 kobra bentukan kobra bigbosnya BC bukan ya?
    Hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. bukan... itu kobra, kebetulan sama dg gengk2an di kampung yandi, gak ada hubungan sama BC

      Delete
  2. Maaf kalau komen ane oot,,,ada yang bisa akses forum semprot Ndak?soalnya tiba2 sejak kemaren sore tu forum kaga bisa ane akses dari chrome android

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama ane juga ga bisa buka dr kemeren sore..

      Delete
  3. Semprot lg upgrade server dri kemaren

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oalah,,,oke,,berarti bakal bisa baca lagi kalau sudah selesai upgrade.soalnya ada beberapa cerita yang juga siap ditunggu seperti LPH ini

      Delete
  4. Di lanjut lg suhu @serphant 50 dst

    ReplyDelete
  5. Om panth,,nama panjang yosi sama zen brubah kah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya kah? lupa gue..ya anggap saja yang benar , spt di ep 47..karena jarang nyebut nama lengkap mereka sih

      Zeno Prakasa

      Yosi Setiawan

      Delete

Post a Comment