Featured Post

LPH #50

Episode 50
Big Bang Part G



 (POV Feri)


"tumben lo datang duluan," kata gue sambil menarik kursi.

"Sesekali gue on-time lah," jawab si bule gila.

"Ada perlu apaan?"

"Eh, elo pesen dulu minum dulu kek. To the point banget. Ga capek apa abis les."

Bener juga, gue ngrasa lumayan penat abis les selama 3 jam. Butuh yang seger-seger. Setelah meletakkan tas di kursi, gue lalu memesan es caramel frappe cup besar. Dalam waktu 5 menit minuman gue ready. Tapi ngeliat beberapa cake dan pastry, membuat gue laper. Akhirnya gue sekalian memesan sandwich panini tuna and cheese. Axel atau si bule gila biasa gue manggil dia, tertawa terbahak-bahak melihat gue membawa nampan full makanan dan minuman.

"Hahaha laper lo."

"Iya, laper gue. Banget. Tadi pulang sekolah cuma sempat makan indomie terus ke tempat bimbel."

"Lo emang freak banget sih Fer. Ketika anak kelas 3 yang lain pada ngomongin liburan tahun baru dan liburan semester, elo malah ikut les bimbel kedokteran."

"Gue gak bisa santai. Lo tahu sendiri beban gue berat. Bokap nyokap gue Dokter. 3 abang gue Dokter. Gue bakal di anggap najis keluarga kalau gue sebagai anak bontot dari keluarga gagal masuk Fakultas Kedokteran UXXX."

"Anjing, elo kurang pinter apa sih elo ? Lo tu juara umum di sekolahan dari kelas 1 sampai sekarang. Lo terlalu perfeksionis. Liburan akhir tahun kek sama Wanda."

Gue menggeleng.

"Gue ngrasa masih kurang. Juara umum doang gak cukup buat gue. Justru gue malah bersyukur mewarisi sifat nyokap yakni perfeksionis. Kalau gue gak perfeksionis dan  gak punya target masuk Fakultas Kedokteran di Universitas nomor 1 di Indonesia, gue mungkin bakalan jadi kayak elo, tukang berantem dan entot anak orang."

Fuck. Sesaat kemudian gue ngrasa nyesel ngomong kalimat terakhir.Gue kelepasan.

"Eh bro, sorry gue gak-"

"Hahaha santai aja Fer, gak usah minta maaf, ngapain gue marah. Yang elo omongin kan emang benar. Gue tukang berantem, playboy, tukang bolos. Ya segala macam titel anak sekolah sampah melekat ke gue. Im fine with that. Gue suka temenan sama elo karena elo orangnya blak-blakan. A ya A. B ya B. Gue salut sama elo, selain juara umum sekolah lo juga punya gelar lain," ujar Axel sambil menyalakan sebatang rokok.

"Gelar lain? Apaan? Eh gue sambil makan ya. "

"Yoi. Lo gak tahu gelar lo apaan?"

Gue menggeleng sambil menambahkan saos sambal d atas sandwich.

"Bajingan nomor 2 terkuat di sekolah," jelas Axel sambil nyengir.

"Damn. Siapa yang nentuin rangking?"

"Gue lah. Pan gue bajingan nomor 1 di sekolahan. Elo nomor 2. Terus si albino nomor 3."

Albino yang dimaksud Axel adalah Oscar.

"Kok bisa elo nomor 1?"

"Yaelah, amnesia lo. Gak inget waktu kelas 2 lo gue hajar sampai masuk rumah sakit 2 minggu, hahaha."

"Anjing. Lo cuma beruntung waktu itu. Gak usah digembor-gemborin."

"Hahaha, masih penasaran lo sama gue? Gue sih masih buka lowongan 24 jam buat siapapun yang mau ngetes atau balas dendam, heeee."

"Kampret, gue uda gak punya waktu mikirin kek gitu."

Axel tertawa terbahak-bahak.

Gue akui memang Axel ini orang yang paling gila yang pernah gue ajak berantem. Gue berantem sama Axel ketika kami masih kelas 2 awal. Gara-gara dia godain Wanda pacar gue sampai dia nangis-nangis. Ya gue sebagai cowoknya jelas gak terima cewek gue di goda sampai nangis. Singkatnya sepulang sekolah gue duel sama Axel ruko lama disaksikan hampir semua anak sekolahan gue. Playboy bajingan ditantang si kutu buku, itu sebutan perkelahian gue dengan Axel. Waktu kelas 1 emang reputasi Axel itu nonjol banget. Tiada hari tanpa dengar kabar Axel gebukkin si A, si B, si C dan lain-lain. Namun gue juga gak gentar waktu nantang Axel. Teman gue Darma uda memperingatkan gue tentang Axel saat dia tahu gue nantang Axel sepulang sekolah.

"Dia makan nasi, gue juga makan nasi. Apa yang gue takutin?" jawab gue waktu itu menjawab kekhawatiran Darma.

Dan memang sih kami sama-sama makan nasi, tetapi ketika gue ngrasain pukulan kirinya mendarat di rahang gue. Gila, rasanya kena hammer dan gue nyaris roboh dalam sekali pukul !! Tetapi pukulan gue juga gak kalah keras. Setelah baku pukul dan tendang,sikut sampai seragam sekolah sobek. Gue terkapar gak bisa bangkit selain karena kehabisan tenaga, pandangan gue kabur karena kedua mata gue bengkak, mimisan parah, 2 gigi tanggal dan ternyata ada luka dalam yang mengharuskan gue mesti bedrest di rumah sakit selama 2 minggu.

Saat gue siuman dan sadar gue berada di rumah sakit, gue menenegok ke kiri karena merasa ada seseorang yang memperhatikan gue. Yang gue lihat adalah Axel yang nyengir ke gue.

“Sorry gue udah godain cewek lo. Nama lo siapa? Lo sepertinya lebih asyik di jadiin temen daripada lawan, heee,” ujarnya.

Ternyata yang bawa gue ke rumah sakit adalah Axel ketika gue kalah dan pingsan di tengah lapangan parkir ruko lama. Sejak saat itu gue mulai berkawan baik dengan Axel, semenjak kenal Axel kehidupan di sekolah gue lumayan berwarna. Bukan lagi hitam putih namun ada sentuhan warna merah. Warna merah akibat warna darah karena gue jadi sering terlibat perkelahian bersama-sama Axel. Ya lawan Oscar cs lah, lawan anak sekolah lain lah. Menjelang ujian kenaikan ke kelas 3, gue mulai sedikit menjaga jarak dengan Axel karena gue mulai keteteran dengan pelajaran dan nilai gue di sekolah menurun drastic ditambah dengan ultimatum dari bonyok yang gerah ngliat kelakuan dan nilai gue yang parah. Axel sepertinya sadar kalau gue sedikit menjauh darinya. Dasarnya tu anak easy going, seolah dia bisa mengerti perubahan sikap gue ke dia tanpa gue cerita. Itu yang membuat gue makin respek sama Axel. Gue jujur sedih ketika tahu Axel tidak naik kelas alias tinggal kelas akibat dia semakin jarang masuk sekolah. Bahkan di hari ujian pun Axel membolos. Dan ketika kami berbeda angkatan inilah yang membuat gue jadi agak jarang nongkrong sama Axel. Antara beda kegiatan dan yah penyakit bolos Axel makin menjadi setelah ia tahu dia tidak naik kelas.

“Lo mau ngomongin apaan?” tanya gue.

Hari ini gue ketemuan sama Axel setelah Axel tadi nelpon mau ketemu  karena katanya ada hal serius yang dibicarakan. Karena gue ada waktu setelah pulang les bimbel kedokteran, gue sih oke aja. Lagian gue uda lama juga ga nongkrong bareng sama Axel. Dan nongkrong sama Axel itu seru sih biasanya, cocok untuk mengurangi stress.

Axel menatap gue serius lalu bilang. “ Gak ada apa-apa sih, gue cuma pengen nongkrong sama elo, haha.”

Gue menghela nafas, “Ah gue pikir ada apaan.” Ketika gue pengen bertanya tentang alasan dia berhenti atau keluar dari band Vinia,anak kelas 1 yang juga penyanyi terkenal dari sekolah gue tiba-tiba gue melihat perubahan di raut muka Axel. Yang tadinya santai langsung mengeras dan menatap sesuatu di luar jendela MAXX COFFE.

“Dua jembut kuda itu ngapain ada di Kota ini lagi?” ucapnya dengan rahang mengeras.

“Apaan?” kata gue sambil mencoba melihat keluar jendela kaca dan memandang kerumunan orang yang lalu lalang di Mall. Dan perlahan gue melihat dua orang yang terlihat paling menonjol di kerumunan. Mereka berdua sedang mengobrol. Namun terlihat menonjol selain karena memiliki postur tinggi dan besar mereka juga memiliki aura 'bajingan'.

“Nah sekarang kita punya sesuatu yang serius yang perlu dibicarkan. Gue yakin kehadiran Ander dan Opet di Kota ini lagi ada hubungannya dengan Oscar. Kan kita tahu Opet dan Ander itu anjingnya Boy. Dan Oscar itu cinta setengah mati sama idolanya, si Boy. Oscar, Opet, Ander, Boy. Udah jelas hubungan mereka berempat.”

Tiba-tiba Axel berdiri, karena gue tahu ada history bahwa Axel dulu pernah ditusuk oleh Opet dan nyaris mati kehabisan darah kalau saja Axel telat mendapatkan pertolongan, membuat gue langsung berdiri dan menahan Axel.

“Eh lo mau ngapain?”

“Gue gak kenapa-kenapa kok, gue cuma mau silahturahmi dengan mantan kakak kelas.”

“Stop ! Jangan disini ! ini tempat publik ! bisa panjang urusan kalau elo ribut disini.”

Gue melihat keluar dan mendapati Opet dan Ander masuk ke dalam lift dan hilang dari pandangan. Penampilan mereka sama sekali tidak berubah namun aura mereka masih tetap terasa sama. Bekas luka melintang di wajah Opet masih terlihat jelas, luka akibat perkelahiannya dengan Axel. Sementara Ander tetap dengan rambut gimbalnya yang kini di cat blonde di bagian ujung.


 Ander



 Opet


Begitu keduanya sudah tidak terlihat, serta merta Axel mulai tenang. Ia meneguk minumannya lalu pergi ke toilet. Opet dan Ander adalah kakak kelas kami ketika gue dan Axel kelas 2 dan mereka kelas 3. Opet dan Ander adalah cs nya Boy. Boy adalah bajingan kelas 3 terkuat yang mungkin pernah ada di sekolah (terkuat setelah era Pak Tomo mungkin). Komplotan inti Boy tentu saja dari kawan-kawannya di kelas 3. Selebihnya mereka punya pengikut dari anak kelas 2 dan 1. Aliansi Boy punya nama cukup sangar yakni [B]Bloody Hell[/B]. Dan reputasi Bloody Hell semakin mengerikan ketika Boy berhasil menguasai STM XXX ketika Dewa, anak kelas 3 bajingan terkuat dari STM XXX kalah telak dalam duel satu lawan satu dengan Boy. Jatuhnya STM XXX menjadi penanda bahwa Boy dengan Bloody Hell-nya adalah the strongest group that managed to conquer all the schools in the whole city.

Angkatan kami anak kelas 2 sebenarnya gak ada masalah dengan Boy dan komplotannya. Anak Bloody Hell memang terkenal kasar dan arogan, namun mereka arogan karena punya alasan yang jelas. Singkatnya, Hanya orang geblek yang berani mengusik tahta mereka. Namun ternyata ada satu orang yang sepertinya gerah melihat Bloody Hell menjadi grup terkuat.

Sayangnya, orang idiot yang coba cari gara-gara dengan Bloody Hell tersebut adalah teman gue sendiri, Axel. Dasar bule gila. Gara-gara dia kami para bajingan dari kelas 2 terlibat tawuran dengan anak kelas 3 yang mayoritas anggota Bloody Hell di kantin sekolah di saat jam istirahat kedua.

Penyebab tawuran terjadi bermula ketika Opet entah sengaja atau tidak menyenggol mangkuk berisi soto ayam yang sedang di bawa Axel. Mangkuk tersebut pecah dan isinya tumpah di lantai. Axel yang terjatuh menjadi bahan tertawaan seluruh orang di kantin, menunjukkan reaksi aneh. Karena ia justru ikut tertawa, bahkan ketika semua orang sudah berhenti tertawa Axel justru tertawa makin keras ! Ketika tawa Axel reda ia menatap Opet dengan tatapan yang gue hapal banget. Tatapan perang. Dengan gesit Axel lalu mengambil pecahan mangkuk dan .......

Menyayat muka Opet hingga meninggalkan bekas permanen di mukanya.

Dan perkelahian massal pun terjadi antara kelompok Axel dengan Bloody Hell. Suasana kantin benar-benar jadi medan perang, mangkuk, piring, gelas beterbangan. Pelipis gue bahkan bocor terkena piring terbang yang dilempar ke arah gue oleh salah seorang anak Bloody Hell. Darah segar pun mengucur deras. Gue pengen membalas namun banyaknya darah membuat gue luar biasa pusing sampai gue mau pingsan. Ketika gue dipapah Deka keluar dari kantin dengan susah payah, tiba-tiba terdengar teriakan keras dari dalam.

“AXEL KENA TUSUK !! AXEL KENA TUSUK !!”

Teriakan tersebut diikuti dengan pemandangan Axel yang telentang di lantai memegangi perutnya yang bersimbah berdarah. Dan tidak jauh dari Axel, Opet berdiri memegang pisau yang berlumuran darah. Wajah Opet tidak kalah mengerikannya karena wajahnya juga berdarah-darah akibat sayatan di mukanya. Pisau terlepas dari tangan Opet ketika melihat Axel sudah tersungkur dan Opet tersenyum.

Ketika yang lain tengah terdiam melihat pemandangan seperti scene pembunuhan, Darma bisa berpikir cepat. Ia langsung bergerak menyumbat pendarahan Axel dengan menyumpalkan kain kuat dan 4-5 orang langsung memapah Axel menuju UKS. Namun Bu Andri petugas UKS langsung meminta Axel dibawa ke rumah sakit karena luka tusukan pisau yang teramat parah. Dengan menggunakan mobil operasional sekolah, Axel dilarikan pak Edi ke rumah sakit terdekat dan masuk UGD. Setelah beberapa saat terdengar kabar Axel berhasil melewati masa kritis. Terlambat 30 detik saja, nyawa Axel sudah melayang, begitu salah satu keterangan dari dokter yang menangani Axel.

Akibat peristiwa menggegerkan ini, Opet dikeluarkan dari sekolah bahkan sampai berurusan dengan pihak kepolisian karena usut punya usut pisau yang digunakan Opet untuk menusuk  Axel adalah pisau lipat yang selalu Opet selipkan di kaus kakinya. Opet kabarny sempat masuk ke penjara anak-anak lalu tak terdengar lagi nasibnya (sampai hari ini kami melihat dia di Mall dengan sohibnya Ander). Sementara itu semua anak termasuk gue yang terlibat tawuran di kenai SP2 langsung oleh pihak sekolah.

Axel ? Dia dianggap korban dan tidak mendapat sanksi apapun. Axel mesti di rawat hingga 3-4 minggu di Rumah sakit akibat luka tusuk yang ia derita. Dan ketika ia tersadar dari proses operasi kebetulan gue ikut nengok dan begitu ia melihat gue, ia cuma bilang.

“Dimana Opet?”

Setelah Axel sembuh seperti sediakala, Axel merencanakan aksi balas dendam dengan mengumpulkan anak-anak. Dan ternyata di pihak Bloody Hell, Ander yang merupakan sohib Opet juga bersiap untuk melancarkan serangan balasan demi membalaskan Opet. Perseteruan kami dengan Bloody Hell sungguh melelahkan dan menggemparkan semua orang. Sampai akhirnya Axel bisa berdiri berhadapan satu lawan satu dengan Boy, boss Bloody Hell. Remaja berusia 18 tahun terkuat di Kota XXX yang sudah menaklukkan semua bajingan .

Hasil pertarungan keduanya??

Gue yang nonton ikut gemeteran.

Axel yang sudah kembali dari toilet membuat lamunan gue buyar. Ia menatap gue lalu berkata singkat. “Fer, kumpulin anak-anak di tempat biasa. Dan elo mesti ikut. TITIK.”



*****
@ Ruang Guru SMA NEGERI XXX
Keesokan harinya
*****



(pov : Yandi)


Aku menarik nafas kuat-kuat lalu kuhembuskan perlahan, aku ulangi beberapa kali hal ini agar aku merasa tenang dan tidak terlihat grogi atau gentar ketika menghadap Pak Tomo.

“Yan, kenapa berdiri di depan pintu? Ada apa?”

Aku menoleh ke samping dan melihat Bu Shinta datang menenteng tas laptop. Wajar jika aku ditanya Bu Shinta karena saat ini aku berdiri diam di depan pintu ruang guru. Mungkin ada 5 menit kali aku berdiri diam sementara perasaaanku berkecamuk, antara maju atau mundur mendatangi Pak Tomo. Sama ada perasaan takut juga sih. Mau kabur malahan. Tapi kalau bukan aku yang melakukannya dan tidak sekarang, kapan lagi? Kalau kubiarkan masalah ini terlalu lama bisa semakin membesar masalahnya dan tidak bisa kuhentikan lagi.

“Anu....Mau ketemu..Pak Tomo Bu..” jawabku agak terbata-bata.

“Mau ketemu Pak Tomo? Ada apa?”

“Saya mau..membicarakan...tentang..pensi..iya..tentang pensi Bu,” maaf Bu aku terpaksa membohongi Ibu.

“Yaudah kamu langsung masuk aja, jangan berdiri di depan pintu kayak orang bingung hehe.”

“Hehe iya Bu. Pak Tomo ada gak ya?”

Bu Shinta tidak segera menjawab, ia melongok melihat ke dalam baru bilang, “Beliau ada, tuh lampu di ruangannya menyala. Dah ya Ibu masuk dulu,” ujar Bu Shinta lalu masuk ke dalam ruang guru.

“Iya Bu makasih.”

Nampaknya sudah terlambat untuk mundur. Kupegang tas kecil yang tadi sempat diperhatikan oleh Bu Shinta namun tidak ia tanyakan apa isinya. Untung Bu Shinta tidak bertanya kenapa aku menenteng tas kecil di pundak karena di dalam tas ini aku menyimpan senjata yang akan kupakai untuk menekan dan mengancam Pak Tomo.

Aku menghirup nafas kuat sekali lagi, seolah-olah ini udara terakhir yang aku hirup di sekolah. Bisa jadi. Karena kalau rencanaku tidak berjalan sesuai rencana, bisa jadi ini udara terakhir yang kuhirup disini. Begitu pintu masuk ke ruang guru, pandanganku langsung tertuju ke sebuah ruangan berdinding kaca buram di pojok yang di dalamnya bersemayam monster dari masa lalu. Semakin aku dekat dengan ruangan Pak Tomo, jantungku berdegup semakin kencang. Sialan.

TOK..TOK..

Aku mengetuk pelan pintu ruangan Pak Tomo.

“Masuk.”

Seru Pak Tomo dari dalam.

AKu lalu memutar gagang pintu dan membukanya tidak terlalu lebar.

Aku terkesiap melihat Pak Tomo yang tengah duduk di kursi putarnya sambil memegang gelas kecil. Kacamata yang lensa kacanya berwarna kecoklatan tetap tidak bisa menyembunyikan tatapan matanya yang tajam. Rambut hitamnya yang tersisir rapi ke belakang masih nampak klimis.

“Ada apa Yan??” tanyanya  denga suara baritone-nya yang khas. Beliau masih ingat namaku ternyata.

“Boleh minta waktunya sebentar  Pak? Ada sesuatu yang mau saya bicarakan, penting.”

“Masuk. Dan tutup pintunya rapat-rapat.”

Aku segera masuk dan menutup pintu ruangannya. Lalu aku lihat Pak Tomo bangun dari kursinya dan membuka pintu di belakang.

“Kita ngobrol di luar saja, lebih enak dan tenang. Itu di atas dekat dispenser ada kopi. Kamu seduh kopi sekalian. Gelasnya ada di atas meja.”

“Duh gak usah repot-repot Pak, saya Aqua gelas saja,” jawabku coba menolak halus tawaran Pak Tomo.

Pak Tomo yang berdiri menjulang yang aku taksir tingginya sekitar 190 cm, aku cuma sepundaknya, menoleh ke arahku.

“Seduh kopi hitamnya karena kamu akan membutuhkan efek kopi untuk fokus. Karena Bapak juga ingin bertanya tentang peristiwa yang menimpa 2 anak kelas 1 Sigit dan Bembi. Bapak rasa kehadiranmu sekarang karena ada hubungannya dengan kejadian tersebut, bukan?” ujarnya sambil menatapku.

SKAKMAT !

Itu yang langsung terlintas di pikiranku ketika Pak Tomo bisa menebak maksud kedatanganku.

Sepertinya aku memang harus menyeduh kopi sebelum diinterogasi. Sialan, aku yang niatnya mau mengancam justru kini aku yang merasa terancam !

VAK

Namun setelah aku pikir-pikir lagi sambil mengaduk kopi hitam tanpa gula, memang bukan hal yang mengejutkan jika kejadian yang menimpa Bembi dan Sigit diketahui oleh beliau. Karena luka dan cedera mereka berdua agak sedikit ekstrem berkat ulah Zen. Meskipun begitu, aku yakin Pak Tomo tidak tahu penyebab utamanya. Baguslah, aku jadi tidak perlu basa-basi lagi. Aku lalu membawa  gelas ke luar dimana pak Tomo sudah menunggu. Baru tahu di ruang kepala sekolah ada pintu akses menuju taman di lantai 2. Suasananya enak, terdengar gemericik suara air  mancur kecil di kolam ikan. Suasana ini sedikit banyak membuatku agak tenang. Aku duduk di kursi di hadapan pak Tomo sehingga saat ini kami berdua duduk di meja bundar.

“pakai gula?” tanya pak Tomo saat segelas kopi yang masih mengepul aku letakkan di meja.

“Tidak pak.”

“Great. Sekarang silahkan bicara, saya akan mendengarkan dan tidak akan menyela sampai kamu selesai,” ujar pak Tomo tenang.

Sebelum mulai bicara kutaruh tas kecil di atas meja.

“Saya tidak bisa basa-basi pak, jadi saya akan langsung ke pokok  permasalahan. Bapak pastinya tahu bahwa kepala sekolah dan wakil kepala sekolah sebelumnya yakni pak Albert dan pak Robert lengser dari jabatannya karena  dianggap gagal memberikan rasa keamanan kepada semua murid di sekolah ini ketika Xavier teman sekelas saya dari 1F di aniaya sehingga mengalami luka dan trauma cukup parah. Xavi dihajar dan disiksa di dalam kamar mandi cowok yang ada di lantai 2 gedung kelas 3 oleh 2 orang  siswa bertopeng di lingkungan sekolah ketika jam pelajaran masih berlangsung. Menurut kesaksian Xavi, ia tidak berani meminta tolong ketika digiring paksa oleh para pelaku menuju toilet di gedung kelas 3 karena ia juga di todong dengan pisau. Karena orang tua Xavi tidak terima akhirnya mereka menuntut pimpinan sekolah untuk bertanggung-jawab dengan segera mencari tahu pelaku. Singkat kata, pak Albert lalu akhirnya berhasil mengusut kasus tersebut dan menemukan tiga pelaku.

Nando dari kelas 3 sebagai perencana serangan dan Kiko anak kelas 2, Saipul anak kelas 1 sebagai pelaku penyerangan. Ketiga siswa tersebut mengaku salah sasaran dan akhirnya mereka langsung dikeluarkan dari sekolah. Meskipun kasus tersebut di anggap selesai, tak lama kemudian terjadi pergantian kepala dan wakil kepala sekolah karena buntut kasus tersebut. Karena kedatangan kepala sekolah pengganti yang cukup lama, dan sekolah mengalami vacuum of power menyulut terjadinya kekacauan dan gesekan antara para murid. Karena di kalangan kami para murid ketiga siswa tersebut  tidak mungkin mampu berbuat seperti itu dan motif salah serang juga terlihat konyol. Terutama kami teman Xavi, kami yakin pelaku yang sebenarnya melenggang bebas. Kami mempunyai kandidat tersangka namun karena tidak memiliki bukti valid kami tidak bisa berbuat apa-apa. Ketika konflik di sekolah semakin membesar bapak kemudian akhirnya datang ke sekolah dan berhasil mengendalikan situasi. ”

Aku berhenti sejenak untuk meminum kopi pahit. Aku memperhatikan reaksi pak Tomo yang tetap terlihat santai selama aku bercerita.

“Namun empat hari yang lalu, tanpa diduga kami menemukan fakta yang berhasil mengungkap identitas ketiga pelaku asli perencana dan penyerangan Xavi. Ketiganya masih bersekolah dengan tenang dan bahkan hendak merencanakan sesuatu yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Ketiganya adalah... Bembi dari 1D, Sigit dari 1E. Keduanya sebagai pelaku langsung penyerangan dan satu pelaku sebagai otak perencana serangan adalah Leo dari 1A. Leo adalah anak dari pak Robert wakil kepala sekolah terdahulu. Motif Leo adalah ingin memantik perkelahian skala besar di sekolah ini dengan cara menciptakan tipu muslihat. Dalam hal ini bukan hanya Xavi yang jadi korban, namun Nando, Kiko dan Ipul juga menjadi korban kambing hitam yang saya yakin sudah mendapatkan intimidasi luar biasa sehingga mereka terpaksa mengaku sebagai pelaku,” kataku dengan nada berapi-api.

Karena menceritakan hal tersebut tanpa sadar aku terbawa emosi dan berbicara cukup keras di depan pak Tomo.

“Maafkan saya pak karena sudah berbicara terlalu keras. Dan disini, ada bukti tak terbantahkan yang menjadi dasar penjelasan saya barusan. Saya tidak mungkin menyebut nama ketiganya tanpa memiliki bukti.”

Aku mengeluarkan 2 ponsel dan 1 keping DVD.

“Ini adalah 2 ponsel milik Bembi dan Sigit. Di dalamnya ada banyak notes, pesan dan historis percakapan antara keduanya dengan Leo. Bapak bisa mengecek nomor ponsel yang memberikan banyak perintah dan instruksi jahat dengan data form identitas para siswa. Di hari pertama kami masuk sekolah, wali kelas memberikan form yang harus diisi oleh siswa baru. Form tersebut berisi daftar nama lengkap, alamat lengkap, nomor ponsel pribadi, alamat e-mail baik siswa dan wali murid. Termasuk Leo juga mengisi form ini. Bapak bisa meminta Bu Shinta sebagai wali kelas 1F untuk menunjukkan form yang diisi Leo dan bapak silahkan lihat di bagian kolom nomor ponsel siswa. Saya yakin 100% nomor ponselnya sama, milik Leo. Sementara 1 keping DVD ini berisi pengakuan Bembi tentang keterlibatan dia dengan Sigit dan Leo. Meskipun kondisi Bembi ketika kami tanya dalam keadaan tertekan namun dia telah mengatakan dengan jujur semuanya dengan gambling.”

Aku sengaja berhenti sebentar untuk melihat reaksi pak Tomo. Sialan, tidak ada tarikan raut muka terkejut sama sekali ketika aku beberkan bukti di depannya. Ia hanya melirik sebentar ketiga barang bukti kemudian menyesap pelan kopinya. Aku sengaja tetap diam menunggu pak Tomo berkata sesuatu. Setelah beberapa saat, akhirnya pak Tomo berkata singkat.

“Kamu sudah selesai bercerita?”

“Untuk saat ini cukup.”

Pak Tomo meletakkan gelasnya yang sedari tadi ia pegang, di meja lalu sambil bersedekap ia berkata.

“Tuduhanmu kepada Leo, Bembi dan Sigit sangat-sangat serius. Ditambah dengan siksaan yang kalian lakukan kepada Sigit dan Bembi itu sudah menjurus tindakan kriminal. Hal ini sudah cukup buat saya untuk menendangmu keluar dari sekolah dan juga menyeretmu ke kepolisian……….jika kamu tidak memiliki bukti. Karena kamu sudah membawa bukti, saya tidak akan melakukannya…untuk sementara ini. Sampai saya mengecek bukti-bukti yang kamu bawa. Oke, anggap saja bukti yang kamu serahkan ini memang benar dan ketiganya adalah pelaku asli. Apa yang ingin kamu lakukan atau lebih tepatnya hukuman apa yang harus saya berikan kepada mereka? Karena tidak mungkin kamu datang menghadap saya untuk meminta ijin melakukan tindak main hakim sendiri.”

Aku tersenyum, tepat sesuai dugaanku, meskipun ada bukti, dia tidak akan langsung mempercayainya. Dia hendak mengujiku terlebih dahulu, oke saya akan melayani adu strategi dengan bapak. Bapak memang sudah terlebih dahulu skatmat, namun saya masih bisa  lolos karena saya masih punya bidak ratu, bidak terkuat dalam permainan catur. Dan bidak ratuku, bukan sembarang bidak ratu biasa. Aku lalu mengubah gaya duduk dari semula duduk bersandar, kini aku duduk dan kedua tangan bersedeka di atas meja, persis seperti posisi duduk pak Tomo. Terlihat kurang ajar memang.

“Silahkan bapak cek keabsahan bukti-bukti tersebut. Jika saya terbukti mengada-ada, saya siap terima semua resiko yang bapak sebutkan. Namun saya yakin ini adalah bukti tak terbantahkan. Lalu terkait dengan hal yang saya inginkan dalam situasi ini, saya memiliki 2 tuntutan.”

“Tuntutan pertama,saya minta pak Tomo untuk mengeluarkan Leo, Bembi dan Sigit dari sekolah sebelum hari pertama ujian tengah semester alias maksimal 1 minggu dari sekarang. Karena mengeluarkan ketiganya dari sekolah adalah cara paling aman dan tidak akan menyulut perkelahian antara kelompoknya dengan kelompok kami. Poin kedua, pihak sekolah tidak akan memperpanjang masalah tentang bagaimana cara kami mengorek keterangan dari Bembi dan Sigit.  Singkatnya tidak akan ada hukuman yang diberikan. Anggap saja cedera keduanya adalah resiko dari benih jahat yang mereka tebar dari awal.”

“Mengeluarkan ketiganya sebelum ujian dan membebaskan kalian dari hukuman atas tindak penganiayaan? Apa yang membuatmu berpikir aku akan mengabulkan tuntutanmu tersebut.? Mengeluarkan siswa sebelum ujian mid semester jelas akan merusak reputasi sekolah juga membuat siswa yang dikeluarkan akan sangat susah mencari sekolah baru yang mau menerima mereka.  Untuk tindakan penganiayaan itu sudah bukan wewenang sekolah. Aku bisa saja tidak menghukum kalian namun lain halnya jika keluarga Bembi dan Sigit memutuskan melaporkan tindakan kalian ke jalur hukum,” ujar pak Tomo.

Rasa takut dan gentar dengan pak Tomo perlahan bisa aku kuasai. Aku kini merasa jauh lebih rileks karena alur pembicaraan ini berjalan sesuai dengan apa yang sudah aku susun. Dan aku sudah menyiapkan counter atas pertanyaan pak Tomo.

“Saya yakin pak Tomo akan maaf, menuruti tuntutan saya karena rasa kecintaan bapak terhadap sekolah ini yang begitu besar. Jika bapak tidak mengabulkan tuntutanku, aku akan menjadi whistleblower dengan cara membawa barang bukti ini kepada salah seorang temanku yang berprofesi sebagai wartawan. Dan aku akan membongkar semuanya mulai kasus penganiayaan Xavi di lingkungan sekolah, kasus intimidasi terhadap Nando, Kiko dan Saipul dan menutup mata terhadap kebenaran. Tentu ini akan menjadi skandal Sekolah paling menghebohkan yang akan menarik atensi seluruh negeri, SMA NEGERI XXX yang tersohor ternyata menyimpan banyak skandal. Dan akibatnya? Evaluasi luar biasa akan dilakukan oleh Diknas  dan nama baik sekolah ini akan sangat susah sekali dipulihkan, bagaimana pak? Apakah bapak masih berpikir untuk menolak tuntutan saya?” ancamku dengan nada setenang mungkin dan tegas.

Reaksi pak Tomo setelah kulontarkan ancaman tersebut ternyata jauh diluar dugaanku. Aku menduga ia akan marah besar dan memakiku karena aku sudah bertindak kurang ajar dan luar biasa lancang karena sudah mengancam kepala sekolah tempat aku bersekolah.

Namun yang terjadi adalah beliau justru tertawa terbahak-bahak sambil bertepuk tangan dengan heboh.

“SEORANG MURID KELAS 1 BERANI MENGANCAM KEPALA SEKOLAHNYA SENDIRI ?? BRAVOO !! BRAVO !! KARMA TERNYATA MEMANG ADA HAHAHAHA! ” ujar pak Tomo yang masih tertawa dengan suara keras sekali. Ia sampai melepas kacamatanya sejenak dan mengusap air mata yang keluar karena saking terpingkal-pingkal mendengar ancamanku. Jujur selain aku merasa bingung lama-kelamaan aku merasa emosi juga karena merasa diremehkan.

Tawa Pak tomo baru reda ketika ia menghabiskan kopinya.

“Sori Yan. Tindakanmu dengan mengancam bapak membuat bapak teringat pernah melakukan hal yang serupa. Ketika aku seusia denganmu, aku  juga pernah mengancam pak Sobri kepala sekolah disini dengan celurit. Bedanya jika kamu mengancam saya demi keadilan teman- temanmu, maka saya dulu mengalungkan celurit di leher kepala sekolah karena ia hendak melaporkanku ke polisi. Sobri yang ketakutan segera meletakkan gagang telepon sambil kencing di celana haha. Tapi saya akui dulu saya memang murid terbrengsek yang pernah bersekolah disini.  Namun meskipun tujuanmu baik tetap saja, kalau kamu mengusik rasa kecintaan bapak terhadap sekolah ini, kamu tidak akan pernah tahu tindakan apa yang bapak bisa lakukan kepadamu..” ujarnya sambil mengancamku balik.

Seharusnya aku takut diancam seperti itu, diancam legenda hidup bajingan terkuat sepanjang sejarah sekolah ini. Namun, ancaman tersebut juga sudah masuk dalam kalkulasiku.


“Aku bukanlah orang hina yang akan membuat bapak merusak nama baik sekolah ini begitu saja hanya untuk mengabulkan tuntutanku yang pertama pak. Saya punya cara lain agar Leo, Bembi dan Sigit keluar dari sekolah ini tanpa merusak reputasi sekolah. Untuk tuntutan yang kedua, saya hanya perlu janji dari bapak agar tidak menghukum kami, itu saja. Untuk urusan jika keluarga Bembi dan Sigit melaporkan kami ke pihak yang berwajib, bapak tenang saja. Itu tidak akan terjadi, mereka tidak akan pernah berani untuk mencoba hal tersebut. Bagaimana pak?” tanyaku sambil tersenyum.

“Menarik, coba ceritakan. Anggap saja, bapak akan mengabulkan tuntutanmu yang kedua jika penjelasanmu tentang tuntutan pertama masuk akal, win-win solution.”

Gotcha !

“Jadi begini pak, memang benar jika sekolah mengambil keputusan mengeluarkan ketiga siswa sebelum ujian mid semester bisa menjadi preseden buruk bagi sekolah. Namun lain halnya jika ketiga siswa tersebut yang memutuskan memilih keluar dari sekolah ini. Nama sekolah akan tetap terjaga tanpa ada drama. Dan aku mendapatkan apa yang saya mau.”

“Hohoho, mana mungkin mereka mau secara sukarela keluar dari sekolah? Jika murid yang memutuskan keluar dari suatu sekolah karena kasus berat seperti ketiganya, sudah pasti mereka akan susah mendapat sekolah baru skala swasta menengah sekalipun. Kalaupun ada yang menerima, sudah pasti itu sekolah swasta dengan reputasi ecek-ecek dengan uang pangkal yang besar. Dan bapak tahu sekolahan semacam itu hampir tidak ada di Kota XXX. Mereka mesti mencari sekolah tersebut di luar kota sana.”

“pak Tomo tenang saja, tidak usah khawatir. Saya yang akan memastikan sendiri Leo, Sigit dan Bembi yang akan keluar dari sekolah sini secepatnya. Bapak hanya perlu menunggu mereka bersama orang tuanya masing-masing datang ke sekolah menghadap pak Tomo sembari membawa surat mengundurkan diri dari SMA NEGERI XXX dengan berbagai macam alasan. Bapak terima saja apapun alasan mereka pindah sekolah. Intinya bapak hanya perlu duduk manis, biarkan aku yang mengatur semuanya.”

Pak Tomo tersenyum sambil menunjuk-nunjukku. “Brilian !”

“Jadi apakah kita sepakat pak? Ini adalah satu-satunya cara dimana kita semua senang.”

“Sabar dulu anak muda, sabar. Itu kan hanya asumsi JIKA bukti yang kamu bawa sekarang adalah bukti otentik dan tidak terbantahkan.Bapak akan pelajari dulu bukti tersebut siang ini. setelah jam sekolah usai hari ini, kamu datang lagi ke ruangan saya dan Bapak akan memberitahumu keputusan akhirnya.”      

Aku tersenyum dan meneguk sisa kopi yang di gelas yang mulai dingin. “Baik, sepertinya saya sudah mengatakan semuanya. Saya mohon diri untuk kembali ke kelas pak. Barang bukti ini saya tinggal untuk bapak pelajari. Oh iya pak, demi kepentingan semuanya, saya masih memiliki salinan data yang ada di ponsel dan copy DVD. Untuk berjaga-jaga seandainya saja….Bapak memusnahkan barang bukti tersebut lalu mengeluarkanku dari sekolah karena sudah mengancam reputasi sekolah. Semua salinan data dan master video baru saya musnahkan jika ketiga siswa tersebut resmi keluar dari sekolahan dan kami terbebas dari segala macam hukuman.”

Pak Tomo hanya tertawa sambil geleng- geleng.

“Saya mohon kembali ke kelas dulu pak, sekali lagi maaf atas kelancangan saya.”

Saat aku akhirnya keluar dari ruangan Pak Tomo, gila langsung lemess badanku. Aku tak menyangka hanya berbicara dengan beliau akan menghabiskan energy dan juga…keberanian. Kini yang aku lakukan hanya bisa menunggu 2 jam lagi.

Menanti vonis,

aku yang dikeluarkan dari sekolah atau mereka yang angkat kaki dari sekolah ini.


***

2 jam kemudian….

Begitu bel sekolah berbunyi, aku langsung bergegas menuju ruangan pak Tomo dengan berdebar-debar. Namun aku bingung mendapati lampu di ruangan beliau padam.

“Cari siapa?” tanya Bu Resti, salah seorang staf administrasi.

“pak Tomo kemana ya bu?”

“Oh pak Tomo tadi jam 1 udah pulang karena ada acara pertemuan di balaikota. Kamu yang namanya Yandi Raharjo?”

“Iya bu.”

Bu Resti mengeluarkan sebuah amplop dari laci mejanya dan diserahkan kepadaku. “Ini ada titipan surat dari pak Tomo untukmu.”

“Baik bu terimakasih. Oh iya bu, saya boleh numpang duduk di kursi bentar ya?”

“Silahkan.”

Aku segera duduk di sofa yang ada di ruangan guru dan dengan perasaan berdebar-debar aku perlahan membuka amplop yang berisi sebuah kertas yang terlipat.


Kamu menang (kali ini).
Lakukan apa yang harus kamu lakukan.


Yeahhh !!!.

Tuntutanku dipenuhi oleh pak Tomo. Namun aku sedikit bingung dengan kata bertanda kurung yang mengikuti kata “kamu menang”. Kali ini? ah sudahlah, itu gak penting.

FIRST MISSION ACCOMPLISH !!

Get ready for the next mission, tonight !

***

Malam harinya….

Jam 9 malam aku melenggang masuk sendirian ke dalam oliver café tanpa ada yang memperhatikanku. Mungkin karena kebanyakan pengunjung café bukan bagian dari kelompok Leo sehingga tidak ada yang mengenaliku. Karena kulihat hanya ada 1 mobil Mini Cooper putih milik Leo. Aku segera menuju ke kebun belakang, yang setahuku jadi tempat favorit Leo ketika terakhir kali aku berkunjung di sini. Ketika aku sudah ada di kebun belakang, aku mencoba mencari tahu keberadaan Leo. Ah itu dia, tengah duduk di antara 5 orang yang mengelilingi 1 meja bulat. Aish, di samping Leo ada abangnya si Oscar. Di samping Oscar ada Budi. Sementara di depa mereka ada 2 orang yang bertubuh besar duduk membelakangiku. Sepertinya mereka sedang mengobrol serius sampai tidak ada yang menyadari aku mendekati mereka.

“Selamat malam,” sapaku saat aku menghampiri mereka.

Jika Oscar dan Budi menampakkan eksresi kaget lalu tetap tenang, berbeda halnya dengan Leo yang tadinya termenung langsung berdiri dan berteriak sambil menunjuk mukaku.

“ANJING ! BERANI LHO DATANG KESINI ! OPET, ANDER ! HAJAR SI BOCAH KAMPUNG INI !! DIA ORANG YANG SUDAH MENGACAUKAN RENCANA KITA!” seru Leo.

Dua orang yang tidak kukenal segera menoleh ke arahku. Dari aura mereka, sepertinya mereka bajingan juga. Ketika 1 orang yang berambut kuncung dengan muka penuh luka sayat hendak berdiri, Oscar langsung meminta cowok bertampang menyeramkan ini duduk. Dan ajaibnya dia langsung duduk kembali dengan tenang.

“Halo Yandi. Eh sebentar, gue minta pelayan untuk ambilin lo kursi,” ujar Oscar

Namun aku langsung menolaknya.

“Bangsat lo!” Leo masih saja berteriak ke arahku.

“Santai gak usah ngegas. Ini orang nyalinya gede lho datang kesini, kasih respek,” ujar Oscar.

“Lo mau ngapain kesini.. Sok jagoan lo?” tanya Budi dengan nada kurang bersahabat.

“Aku kesini karena mau bicara 4 mata dengan Leo,” jawabku singkat.

“Mo bicara sama gue? Ngomong aja disini,” sahut Oscar.

“Dengerin, lo di datengin Yandi dengan jantan dan dia cuma mau bicara sama elo, bukan ngajak elo berantem. Yan, lo duduk sini aja. Guys, kita pindah tempat duduk,”

Oscar lalu berdiri dan pergi diikuti oleh Budi dan kedua bajingan misterius. Siapa mereka berdua? Feelingku mengatakan sepertinya mereka akan turut campur dalam konflik di sekolah.Bangsat si Oscar, dia sampai mengajak orang asing untuk membantunya.

“Mau apa lo?” hardik Leo tegang.

Santai, aku cuma mau membicarakan sesuatu. Sesuatu yang berhubungan dengan masa depanmu di sekolah.”

Leo langsung terdiam mendengarnya.

“Seperti yang kamu tahu, identitas Sigit dan Bembi sudah terbongkar dan sekarang aku juga mempunyai bukti valid yang menunjukkan bahwa kamu adalah orang dibalik penyerangan Xavi.”

“Hei jaga bacot lo ! paling lo cuma gertak gue dan gak punya bukti sama sekali!”

Aku tertawa karena melihat Leo mulai panik. Aku mengeluarkan dua lipatan kertas yang aku print sore tadi di warnet dekat rumah. Kertas tersebut aku letakkan di meja, kubuka dan kuposisikan menghadap ke arah Leo. Lembar pertama adalah hasil scan form data pribadi Leo ketika ia isi di hari pertama masuk sekolah. Leo mengisinya dengan tegas, rapi, tanpa coretan, jelas dan lengkap, termasuk di bagian isian nomor ponsel. Lalu lembar selanjutnya adalah print dari hasil screenshot chat di Whatssap di ponsel Bembi. Di screenshot tersebut terbaca jelas sebuah nomor ponsel yang menginstruksikan Bembi untuk segera memberitahukan lokasi keberadaan kami semua karena ia sudah merencakan serangan serentak. Dan Bembi membalas dengan kalimat beres bos leo!. dan nomor tersebut lal umembalas singkat good.

“Nomor ponsel yang kamu isi di form, sama dengan nomor ponsel yang memberikan instruksi kepada Bembi. Jadi katakan kepadaku sekali lagi, bahwa aku cuma menggertakmu. Bukan hanya isi ponsel Bembi dan Sigit yang berisi banyak rencana jahat yang sempat terhapus, namun aku juga sudah merekam pernyataan Bembi.”

Aku mengeluarkan ponsel dan kuputarkan sebuah video yang sudah aku simpan di ponsel lalu kutunjukkan kepada Leo.

“Leo membenci kalian semua terutama kepada Yandi, makanya dia merencakan itu semua, termasuk rencana menyakiti pacarnya Dita menjelang pensi,uhuk- uhuk.”

Terdengar jelas suara Bembi mengatakan semuanya. Kulihat wajah Leo semakin pucat, bibirnya tampak gemetar. Dia sudah tidak bisa berkelit lagi.”

“Apa mau elo anjing…”

Permintaanku simpel. Lusa kalian bertiga, kamu, Bembi dan Sigit harus keluar dari sekolah SMA NEGERI XXX. Jika kamu belum mengundurkan diri secara sukarela, aku akan menyerahkan semua bukti ini kepada Pak Tomo dan mamanya Xavi. Tentu kamu tahu apa yang bisa mereka lakukan kepadamu. Pak Tomo yang akan menendangmu dari sekolah dengan tidak hormat dan bisa dipastikan kamu akan sangat-sangat  susah mencari sekolah baru. Lalu setelah kamu tidak berstatus pelajar SMA elit, Mama Xavi bisa segera melaporkan tindakanmu yang mengarah ke kasus kriminal. Dan penjara anak-anak akan siap menantimu. Coba kamu tanya ke dirimu sendiri, apakah kamu bisa bertahan di linkungan keras para remaja pelaku kriminal di lapas sana?

“Gue…gue…mesti bilang…apa…ke nyokap….gue…..” katanya sambil terbata-bata.

“Itu bukan urusanku, kamu pikir saja sendiri, kamu kan pinter nyusun strategi.”    

Leo langsung duduk bersandar di kursi, pandangan matanya kosong.

“Percayalah, dengan kamu keluar dari sekolah itu jauh lebih baik daripada semua orang tahu rencana busukmu dan efeknya akan semakin besar.Oke, sepertinya aku sudah selesai berbicara denganmu.”

Aku lalu berdiri dan aku teringat sesuatu yang perlu aku tegaskan kepadanya.

“Oia satu lagi, mumpung aku inget. Soal Dita, kalau aku tahu kamu masih berniat menyakitinya. Aku tidak perduli kamu bersembunyi dimana, aku akan mencarimu dengan bantuan kekuatan finanisial tante Clara dan pasti menemukanmu. Dan ketika aku bertemu denganmu, aku akan memukulimu sampai kamu lumpuh permanen, sampai untuk bunuh diri pun kamu tidak akan bisa melakukannya. Ingat itu baik-baik. Jangan kamu remehkan ancaman anak kampung sepertiku. Selamat malam..”

Aku lalu meninggalkan Leo yang terlihat makin pucat dan lemas. Ketika aku berjalan menuju ke dalam, aku melihat Oscar dan ketiga temannya menatapku dengan tatapan dingin. Sepertinya mereka melihat gestur menyedihkan dari Leo setelah aku selesai berbicara dengannya. Ketika akhirnya aku melewati mereka berempat yang duduk di kursi depan barista,Oscar tidak berkata apa-apa. Sesaat aku merasakan adanya ancaman bahaya ketika melewati teman Oscar yang berambut gimbal.

PANK !!

Cowok berambut gimbal tersebut rupanya hendak memukulku dengan sebuah botol bir kosong namun Oscar langsung menahan ayunan botol dengan tangannya. Sialan, cepat sekali gerakan si gimbal. kalau saja Oscar tidak menahan botol tersebut, sudah pasti kepalaku bocor.

Kalau sampai kepalaku bocor, mereka akan berhadapan dengan Yandi The Destroyer, julukan yang diberikan Wawan ketika aku berhasil mengalahkann sekaligus membantainya sampai ia menderita gegar otak cukup parah. Untungnya daya tahan Wawan juga cukup mengerikan dan bisa pulih dalam waktu 2 minggu saja.

“Simpan tenagamu.” ujar Oscar kepada si gimbal lalu menatapku.

“Cih..” respon si gimbal lalu pergi ke dalam café.

 “Bersiaplah,” kata Oscar tajam.

“Kapan saja aku siap,” balasku.

Saat aku hendak pergi dari sana, si rambut kuncung yang sedari tadi diam mengucapkan sesuatu.

“Bilang kepada Axel, gue akan membunuhnya.”

Si kuncung yang wajahnya penuh codet ini mengenal Axel?


***

2 hari kemudian….

Bel tanda istirahat pertama terdengar, fiuh banyak sekali tugas menjelang ujian mid semester minggu depan. Yosi ngeloyor pergi duluan, sepertinya dia masih ngambek kepadaku karena tempo hari aku menantangnya. Aku sendiri juga bersikap diam, karena memang belum ada peristiwa besar di sekolah yang menjadi pertanda bahwa aku sebenarnya sudah berbuat sesuatu untuk mereka.

“Yan !! ada berita !! nyokap Leo,Bembi dan Sigit ada di sekolahan ! ketiganya pergi sambil nangis. Dan juga ada Leo. Si pengecut itu sepertinya pindah dari sekolahan ini! dasar brengsek !” ujar Riko yang berteriak di depan kelas.

Zen menatapku dan kami berdua mendengar suara sorak sorai di pinggir tembok balkon. Aku segera keluar kelas dan berdiri di pinggir di balkon dan melihat ke bawah. Leo berjalan di belakang ibunya, sementara sang ibu yang mengenakan kacamata hitam berjalan dengan cepat.

Pergi lo kontol !!”

Pengecut !!”

Banci !”

Teriakan dan makian kepada Leo dilontakan oleh Wira, Riko,Bagas dan masih banyak lagi. Mereka benar-benar tidak peduli jika teriakan mereka terdengar oleh para guru dan siswa lain. Teriakan ini jelas mengundang perhatian anak kelas 2 dan 3 yang berjajar di balkon melihat Leo seperti seorang pesakitan.

Leo lalu memandang ke atas dan tatapannya berhenti ketika kami beradu pandang. Leo menatapku dengan pandangan yang sangat penuh dengan aroma kebencian dan dendam. Kami tetap beradu pandang tanpa berkedip sampai akhirnya ia menghilang dari pandanganku.

Fiuh, berkurang 1 musuh.

Zen tiba-tiba menghampiriku dan bertanya.

“Leo dikeluarkan dari sekolah ini? ini pasti ada hubungannya denganmu.”

“Zen, kumpulin teman-teman di rumahmu sepulang sekolah, termasuk Yosi. Ada banyak hal yang harus kujelaskan kepada kalian semua,” jawabku tegas.


***
@ depan kelas 2F
Di saat yang bersamaan
***



(Pov Bram)


“Dasar lo emang bangsat, kebukti beneran omongan lo soal umur Leo yang singkat di sekolahan ini,” puji seseorang dari belakang.

Gue menoleh dan menyeringai.

Si bocah manja itu menyangka dirinya jenius namun ia masih terlalu hijau dalam hal menyusun konspirasi. Terlalu mudah untuk gue manipulasi. Perasaan yang merasa superior dari siapapun, membuatnya mudah masuk ke dalam jebakan gue.”

Gue lalu teringat percakapanku dengan Leo di markas setelah dia panik setelah tahu bahwa Xavi ternyata anak tunggal dari salah seorang tokoh berpengaruh di Indonesia. Dia khawatir Yandi dan teman-temannya akan memanfaatkan pengaruh Mama Xavi untuk membalas dendam kepadanya selaku otak penyerangan Xavi. Namun gue segera menenangkan Leo dengan sebuah dusta.

 “Hehehe kalian tenang saja, gue naruh salah seorang orang kita di kelompok Yandi cs. Jadi kita bisa tahu apakah mereka akan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki nyokap Xavi atau tidak,” tukas gue.

“Lo taruh mata-mata di kelompok Yandi ? Wah keren juga ide lo!” puji Leo.

“Yoi, di antara kita semua yang ada disini, cuma gue yang tahu siapa mata-matanya.”

Hahaha Leo dan semua orang percaya gue sudah menaruh mata-mata di kelompok Yandi, padahal itu hanya bualan gue saja. Ngapain gue naruh mata-mata di kelompok Yandi. Karena logikanya, jika Yandi cs memanfaatkan pengaruh mama Xavi dengan benar, sudah pasti kami semua yang ada di markas sudah di berangus orang bayaran mama Xavi. Kebohongan gue sebenarnya pancingan buat Leo, karena gue tahu ni bocah paling tidak suka ada seuatu hal yang tidak ia ketahui.

Pujiannya ke gue sebenarnya menandakan betapa ia iri dan tidak menyukai gue merahasiakan nama si mata-mata. Dan aku menangkap kesan Leo juga ingin menaruh mata-mata pribadi di kelompok Yandi yang hanya melapor kepadanya. Gue semakin yakin Leo sudah melakukannya ketika ia selalu membanggakan memiliki informasi penting tentang aktivitas kelompok Yandi.

Karena kelompok Yandi semuanya adalah anak kelas 1 dan gue juga memiliki kesimpulan mata-mata yang dipake Leo adalah orang yang sama yang telah ia rekrut untuk menyerang Xavi, maka gue yakin 99% mata-mata leo di kelompok Yandi juga anak kelas 1. Untuk identitasnya gue sama sekali tidak tahu dan gue tidak tertarik untuk mencari tahu. Namun gue yakin info tentang adanya mata-mata di kelompok Yandi ini bisa gue manfaatkan untuk mengambil simpati mereka.

Dan entah bagaimana caranya, mereka pada akhirnya meningkatkan kewaspadaan dan berhasil mengungkap identitas ketiga pelaku dan otak penyerangan.

Dan hari ini gue lihat Leo memilih untuk keluar dari SMA NEGERI XXX., hahaha.

Ah hari yang indah sekali
Gue sempat melihat ada kejadian menarik ketika Leo nampak beradu pandang dengan seseorang di atas. Dan aku melihat rupanya ia sedang beradu pandang dengan Yandi. Haha Yandi, secara tidak langsung elo udah membantu gue menyingkirkan Leo.

“Mau kemana lo?” tanya gue ke teman sekelas yang tadi memuji gue karena prediksi gue yang tepat.

“Kontol gue gatel pengen ngentot, Indah lagi kosong gak ya? Gue samperin ah sapa tahu doi juga lagi pengen dan kangen kena garuk kontol gue lagi,” jawabnya santai.

Parah lo.”

 “Ikut gue aja yuk, sapa taw Indah bisa di ajak threesome.”

“Enggak, gue lagi bosen ngentot.”

“Dasar lo aneh, yaudah lah, Leo uda gugur, Yosi udah lo buat stress, sekarang saatnya lo cari mangsa baru untuk lo manipulasi.”

“Hoho, sepertinya gue udah punya sasaran yang lebih menarik,” kata gue sambil melihat ke arah Yandi.

“Haha lo mau nyoba Yandi? Good luck deh, dia bukan orang yang mudah lo manfaatin.”

“Iya gue tahu, justru ini yang membuat gue semakin tertantang hahaha. Gak sabar gue jadiin dia orang nomor 1 di sini, muehhehehee, ”

New target : Yandi.
Status : confirmed.
Code name : Destroyer



 = BERSAMBUNG =


3 comments for "LPH #50"

Post a Comment