Featured Post

LPH #40

Episode 40
Kekhawatiran Yang Menjadi Kenyataan



(pov : Yandi)

Beberapa hari sebelum pertemuan dengan anak SMA SWASTA XXX….


Badanku lemas sekali, lunglai, rasanya tidak ada tenaga sama sekali. Antara sadar dan tidak, aku merasakan tubuhku dibopong seseorang masuk ke dalam mobil lalu dibaringkan di kursi belakang. Setelah 6 jam nonstop berdiri sambil mengangkat meja, kursi mobil terasa sangat nyaman. Enak sekali rasanya bisa berbaring, tubuhku tidak perlu menegang lagi menahan beban. Beberapa wajah yang aku kenali nampak memanggil-manggil namaku, tetapi aku tak kuasa untuk merespon panggilan mereka. Hingga akhirnya aku terlelap atau mungkin pingsan.

Aku terbangun dan pemandangan pertama yang aku lihat adalah langit-langit berwarna putih. Tangan kiriku terpasang infus, botol infus yang tergantung tinggal menyisakan setengah.  Di meja sampingku ada beberapa botol air mineral. Aku haus ingin minum tetapi berat rasanya untuk bangun dan mengjangkau botol. Perban-perban di tangan dan hidung yang sebelunya koyak serta kotor sudah digantikan dengan perban yang baru dan bersih. Aku sudah tidak mengenakan seragam sekolah karena saat ini aku mengenakan piyama bergaris putih biru. Setelah mengalami semacam serangan kebingungan kenapa aku bisa berada di kamar ini, akhirya aku teringat kejadian hari ini di sekolah dan saat ini aku berada di sebuah kamar rumah sakit.

Sendirian, tidak bersama dengan beberapa ranjang pasien lainnya. Sepertinya aku berada di kamar kelas I.

Aku lantas memandang sekeliling. Dindingnya di cat dengan perpaduan warna putih dan biru muda, aku menyukai perpaduan warna tersebut karena menghadirkan perasaan tenang. Ada beberapa lukisan bunga dan pemandangan alam tergantung di dinding, di pojok kanan dekat sofa juga ada vas bunga. Dari bunganya yang nampak segar, aku tahu vas ini selalu diperbaharui dengan bunga asli setiap hari. Aroma kamar ini juga sedikit berbeda dengan bau rumah sakit pada umumnya, ada semacam aromatherapy[  yang membuat siapa saja yang mencium akan merasa rileks. Hawa kamar ini juga dingin namun tidak terlalu dingin, suhunya pas. Tirai di sebelah kiri tertutup rapat, jadi meskipun aku tahu ini jam 11 dari jam dinding yang terpasang di kamar ini dekat pintu, aku tidak tahu ini jam 11 malam atau jam 11 siang.

Aku mencoba menggerakan kedua tangan dan kaki namun masih terasa sangat pegal dan masih gemetaran. Hukuman pak Tomo memang berat, apalagi kondisiku masih belum pulih benar setelah berkelahi dengan Puput. Sebenarnya kalau aku dalam kondisi prima dan ada persiapan sebelumnya, mengangkat meja 6 jam nonstop di tengah lapangan aku yakin bisa menghadapinya meskipun itu sangat berat. Sempat terpikir untuk mengangkat barang 1-2 jam kemudian menyerah dan lebih memilih membersihkan semua toilet di sekolah sepulang sekolah sampai sore selama 6 bulan, namun niatku tersebut sepertinya terbaca oleh pak Tomo. Beliau berkata sesuatu yang membuatku merasa “malu sekaligus sedih” jika menyerah di tengah hukuman.

“Anggap saja yang kamu angkat itu bukan sekedar meja, namun di atasnya berdiri kedua orangtuamu yang sudah bersusah payah membiayaimu untuk sekolah namun kamu mengecewakan keduanya dengan melanggar peraturan sekolah. Kalau kamu tega menjatuhkan derajat kedua orang tuamu, silahkan menyerah dan lempar jauh-jauh meja tersebut lalu pulang.”

Perkataan pak Tomo langsung membuat hatiku terasa perih, karena aku sadar aku sudah lama tidak memikirkan, mengingat dan mendoakan kedua orangtuaku. Jelas aku langsung menepis pikiran untuk menyerah, karena aku tidak akan membiarkan derajat Bapak dan Ibu jatuh. Dengan memikirkan orangtuaku betapa aku merindukan mereka, membuat aku seperti memiliki tenaga berlipat-lipat. Asal aku tetap berdiri stabil dengan mengangkat meja tepat di atas kepal, aku yakin aku akan kuat. Apalagi dukungan dari teman-temanku terutama dari Vinia, Zen, Yosi dan Xavi membuat aku semakin bersemangat untuk terus berjuang menghadapi hukuman.

Dan aku berhasil, melewati hukuman. Bapak, Ibu aku akan tetap menjaga nama baik kalian sampai kapanpun.

KREK

Saat tengah melamun, aku terkaget mendengar pintu kamar mandi yang ada di kamar terbuka dari dalam.

Aku terkejut campur takut juga karena yang keluar dari dalam kamar mandi adalah Mbak Asih. Mati aku, pasti Mbak Asih luar biasa marah kepadaku. Pak Tomo pasti melaporkan kenakalanku di sekolah. Di saat aku tengah mengeraskan mental bersiap menerima omelan, serta makian dari Mbak Asih. Reaksi pertama yang ditunjukkan Mbak Asih saat melihatku bangun adalah tersenyum.

“Akhirnya kamu siuman dek, kamu butuh apa? Haus atau lapar? Demam mu sudah hilang turun ternyata,” ujar Mbak Asih menghampiriku dan memeriksa suhu badanku dengan menempelkan tangannya di keningku.

Reaksi Mbak Asih benar-benar diluar dugaanku, aku bingung karena Mbak Asih memperlakukanku dengan lembut tetapi aku jelas bersyukur.

“Yandi...haus Mbak,”

“Ya pasti kamu haus lah dek, kamu ngigau terus. Ini minumnya pelan-pelan,” Mbak Asih menyodorkan Aqua gelas yang sudah ditusuk dengan sedotan plastik.

“Aku ngigau Mbak?”

Mbak Asih mengangguk.

“Aku ngigau apa?”

“Kamu ngigau manggil-manggil Bapak, Ibu. Kebiasaanmu sewaktu kecil kalau sakit demam manggil Bapak Ibu, sepertinya masih gak bisa hilang,” ujar Mbak Asih sembari mengelusi kepalaku.

“Mbak, maaf ya udah ngrepotin mbak terus,” kataku sambil memandang Mbak Asih.

Mendengar penuturanku, Mbak Asih lalu duduk di sofa.

“Mba sebenarnya mau marah sama kamu Dek, waktu Pak Tomo tadi sore menelepon ke rumah dan mengabarkan kamu masuk ke rumah sakit. Mbak langsung bisa nebak kamu masuk ke rumah sakit pasti karena terlibat perkelahian lagi. Mbak itu udah jengkel dengan kamu sedari kemarin sampai pagi tadi berangkat sekolah, kamu sudah kayak berandalan, lebam di sana-sini udah bukan kayak anak sekolah lagi. Ketika Mbak sampai disini, emosi mba udah di ubun-ubun. Kalau saja kamu gak dalam kondisi pingsan dan demam tinggi, mbak udah pasti akan hajar kamu sekalian karena sudah bikin mbak malu dan ngrepotin pihak sekolahan, namun...”

Mbak Asih terdiam sebentar, sebelum melanjutkan lagi penjelasannya. Tatapan Mbak Asih yang nampak sangar membuktikan bahwa dia memang serius dengan perkataannya bahwa ia tidak akan menghajarku kalau saja aku tidak dalam kondisi pingsan.

“Namun penjelasan dari Pak Tomo membuat emosi Mbak langsung reda, belum lagi beliau juga meminta maaf kepada Mbak...”

Aku kaget karena Mbak Asih bilang bahwa Pak Tomo meminta maaf kepadanya. Minta maaf untuk apa? Meminta maaf karena sudah menghukumku?

“Kenapa..Pak Tomo meminta maaf Mbak?” tanyaku.

“Pak Tomo meminta maaf karena sudah menyinggung kedua orang tua kita yang sudah almarhum saat menghukummu. Kemudian berdasarkan informasi dari Bu Shinta, Pak Tomo baru tahu bahwa orang tua kita sudah almarhum karena bencana yang terjadi di kampung dan kamu menjadi satu-satunya korban yang selamat. Dan Pak Tomo juga memujimu karena kamu bisa menyelesaikan hukuman dengan luar biasa. Hanya anak yang benar-benar menyayangi kedua orang tua, memiliki mental keteguhan hati sekuat baja dan juga faktor daya tubuh yang di atas rata-rata orang biasa yang sanggup menyelesaikan hukuman yang ia berikan. Sehingga sebagai salah satu permintaan maaf, beliau yang membawamu langsung kesini dan juga menanggung semua biaya pengobatan dan perawatan. Bahkan Pak Tomo meminta kepada pihak rumah sakit agar kamu dirawat di Kelas I dan ia sendiri yang akan membayarnya dengan uang pribadi. Awalnya Mbak jelas merasa gak enak namun Pak Tomo terus memaksa akhirnya Mba setuju kamu dirawat di sini. Setelah mendengar keterangan dari dokter yang memeriksamu, kamu hanya menderita kelelahan, demam, dehidrasi dan beberapa luka luar. Kalau orang lain butuh waktu mungkin 2-3 hari untuk sembuh benar, namun di prediksi hanya butuh 1-2 hari untuk pulih sediakala karena daya tahan tubuhmu yang cukup di atas rata-rata. Begitu mendengar penjelasan dari Dokter, Pak Tomo, Bu Shinta dan Pak Hendri mohon diri untuk pulang dan mendoakan kesembuhanmu agar kamu cepat kembali belajar di sekolah.”

“Wow.”

Cuma itu yang bisa aku katakan mendengar cerita mbak Asih.

“Kamu beruntung memiliki seorang kepala sekolah yang sangat baik mengurusi langsung siswanya dek. Kalau nanti kamu sudah masuk sekolah, kamu harus menghadap dan berterimakasih langsung kepada beliau,” tukas mba Asih.

“Iya mbak.”

“Perkataan Pak Tomo membuat mbak menyadari memang sedari kecil kamu ini punya sifat bandel. Kamu tuh anaknya waktu masih 2-3 tahun jarang nangis, walaupun kamu kena cubit, jatuh, ataupun di pukul sama teman-temanmu alias gak cengeng anaknya. Tubuhmu kecil tapi tulang badanmu tuh termasuk kuat. Dan kamu anaknya jarang usil, lebih ke reaktif dan malah lebih sering menolong, membela temanmu yang sering di usulin. Mbak gak tertarik dengan penyebab kamu berkelahi dan akhirnya kena hukum di sekolah, namun bukan berarti mbak mentolerir sifatmu ini lho dek. Sekali lagi kamu masuk rumah sakit, mba akan potong uang sakumu jadi 5 ribu sehari dan mba akan kasih bonus ini, Chudan Tsuki,” ujar mbak asih sambil mengepalkan tangan kanannya yang gempal ke arahku.

Meskipun aku termasuk tahan pukul, namun pukulan mbak Asih termasuk yang paling sakit. Apalagi Chudan Tsuki, pukulan lurus ke arah ulu hati. Terakhir aku kena Chudan Tsuki dari Mbak Asih, aku langsung bergulingan di tanah sembari meDitagi perut. Rasanya semua tenagaku buyar saat pukulan tersebut mengenai ulu hati.

“Iya mba,” kataku takut-takut.

Mbak asih kemudian tertawa geli melihat reaksiku. “Meskipun begitu, mbak juga bangga sama kamu dek. Bu Shinta lapor ke mbak kalau nilai ulangan-ulanganmu selalu masuk ke 5 besar di kelas. Bu Shinta juga cerita bahwa guru-guru lain memiliki penilaian yang positif tentang sikapmu yang baik di sekolah. Kalau nanti kamu pas ujian kenaikan kelas dapat rangking 5 besar di kelas, mbak akan belikan motor baru.”

“Wahh yang benar mba?” Aku berbinar-binar dijanjikan dibelikan motor baru kalau masuk rangking 5 besar nanti. Di saat aku terbayang pengen motor Ninja, mbak asih bilang.

“Nanti kamu pilih saja, mau motor Beat atau Mio,”

Jauh dari bayanganku, namun aku tetap bersemangat dapat iming-iming motor baru.

Kemudian karena merasa lapar, aku pun meminta makanan ke Mbak Asih. Namun aku tidak mau makanan buatan rumah sakit, jadinya Mbak Asih membelikan nasi goreng yang banyak dijual di sekitaran Rumah Sakit. Aku makan dengan sangat lahap, nasi goreng yang pedas membuatku makan sampe berkeringat. Mbak Asih cuma geleng-geleng lihat cara makanku. Siapa yang gak lapar, setelah pagi cuma sarapan Pop Mie lalu langsung kena hukum Pak Tomo tanpa boleh makan minum jadi ya wajar aku makan kayak gini. Mana kenyang aku “makan” cairan infus hehehe. Kalau cuma demam, dehidrasi  asal banyak makan dan istirahat, besok sore paling aku sudah sembuh dan boleh pulang.

Selesai makan, aku mengobrol dengan Mbak Asih. Mbak asih bercerita kalau Mas Sulis sedang ada kerjaan di luar kota, sehingga Mbak Asih yang akan menemaniku di Rumah Sakit. Sempat kasihan sih kalau Mbak Asih tiduran di sofa, sebenarnya di rumah ada kasur lipat yang bisa dibawa kemana-mana tapi Mbak Asih malas mau ambil jadinya dia memilih tiduran di sofa.

“Gak apa-apa, mbak di sofa saja. Lagian ini sofa mahal jadinya enak nyaman tidur disini hehe, mbak pinjam saja bantalnya 1,” ujar Mbak Asih.

Setelah bantal kuberikan, aku pun mulai menurunkan sandaran tempat tidur ke posisi yang lebih nyaman untuk tidur. Sebenarnya ranjang ini lumayan besar, cukup untuk dua orang.

“Mbak kalau mau, mbak bisa tidur di sebelah Yandi. Ini ranjangnya muat buat kita.”

Mbak Asih yang sedang sibuk dengan ponselnya berkata,”Ya gampang dek. Kamu tidur gih istirahat, nanti kalau mbak gak bisa tidur di sofa, mbak nyusul ke situ.”

“Oke.”

Aku sempat ingin meminta mbak asih mengambilkan ponselku yang sepertinya ada di dalam tas, tetapi melihat posisi mbak asih yang sudah asyik sendiri, membuatku gak enak minta tolong lagi. Sehingga akhirnya aku pun langsung ingin tidur. Kombinasi perut kenyang, perasaan yang baik, ranjang yang nyaman membuatku tidur dengan lelap.

*** 

Aku terbangun ketika merasakan ada sesuatu menindih lengan dan perut. Dalam suasana keremangan lampu yang berpendar lembut, aku melihat mbak asih meringkuk memelukku. Ia berbaring menyamping di tepat di sampingku. Ternyata yang menindih lenganku adalah dada Mbak Asih sementara yang nampak seperti sedang memelukku adalah tangan kanan mbak Asih. Rupanya saat aku tertidur Mbak Asih menyusul untuk tidur d sampingku. Setelah beberapa kali mengerjapkan mata dan menajamkan pandangan ke arah jam dinding, ternyata sekarang sudah jam 4 pagi. Aku sudah merasa cukup istirahat, botol infus masih menetes dan menyisakan sedikit lagi cairan. Dalam posisi sedekat ini, aku bisa mendengar dengkuran halus dari Mbak Asih yang tertidur nyenyak. Sepertinya Mbak Asih benar-benar kecapekan.

Setelah makan siang, Dokter yang memeriksaku memberikan ijin jika aku mau pulang ke rumah sore ini. Karena berdasarkan pemeriksaannya, keadaanku sudah membaik tidak lagi demam dan dehidrasi, hanya perlu memulihkan luka luar di badan.  Aku senang karena sudah diperbolehkan pulang. Rupanya kabar bahwa aku masuk Rumah Sakit sudah di dengar oleh Dita, kemungkinan Mbak Wati yang memberitahu. Sambil terisak Dita meneleponku, aku menenangkannya bahwa aku sudah baik-baik saja. Sore ini sudah boleh pulang. Jadi nanti sepulang sekolah, Dita bisa menjengukku di rumah langsung. Setelah tahu keadaanku sudah baik, Dita mulai tenang dan akan berjanji sepulang dari les bimbel akan langsung merawatku. Aku senang mendengarnya.

Sekitar jam 3 sore ketika aku dan Mbak Wati sedang berkemas, datang beberapa teman dari sekolah. Yosi, Zen, Vinia dan Xavi terkejut melihatku sudah mengenakan baju biasa dan sedang mengemasi barang di kamar.

“Eh buset, mau kemana elo Yan? Udah sembuh lo?” tanya Xavi.

“Loh, kalian mau jenguk aku toh?”

“Enggak, kami mau ketemu mas-mas petugas kebersihan,” sahut Vinia. “Ya iyalah, mau jenguk elo ihh,” sambungnya.

Aku, Mbak Asih dan teman-teman yang lain tertawa mendengarnya.

“Dasar kamu dek gak sopan, iya Vinia. Kata Dokter, bocah bandel ini sudah boleh pulang,” ujar Mbak Asih ramah.

“Oh gitu Mbak, yakin elo udah sembuh Yan? Kemarin aja udah pucet banget waktu dibopong pak Tomo,” tanya Vinia kepadaku.

“Haha tenang aja Vin, teman kita ini memang kayak Badak, kulitnya tebel. Ya gak Yan?” ujar Yosi sembari memukul pundakku pelan.

“Aduuh, badanku masih belum sembuh benar kali Yos!” aku mengaduh saat Yosi dengan sengaja memukul pundakku.

“Eh, sori-sori. Gue pikir lo udah sehat beneran,” kata Yosi.

“Yang udah sembuh, dehidrasi sama demamnya. Kalau luka di badan belum sembuh benar,” kataku menjelaskan kondisi yang kualami.

“Hahahaa ya baguslah kalau elo uda sembuh. Besok udah masuk sekolah?”

“Sepertinya iya.”

“Ini buah kita apain dong? Orangnya udah sembuh dan malah udah mau pulang,” tukas Zen tiba-tiba sambil menunjukkan parcel yang berisi buah-buahan.

“Ya, dimakan dong Zen, masak dibuang. Tetap kasih aja ke Yandi tuh, terserah mau di apain,” ujar Xavi.

“Oke.”

Zen lalu mendekatiku dan menyerahkan parcel buah-buahan. “Nih, mayan buat bikin rujak.”

“Wah banyak banget,” kataku.

“Gimana kalau dari buah-buahan ini mba buatkan rujak? Lalu kalian makan bareng-bareng,” tukas Mbak Asih memberikan usul.

“Dibikin rujak ?? Mau bangeett mbak!” seru Vinia yang kelihatan paling bersemangat.

“Ya udah, yuk kalian lanjut ngobrol ke rumah Mbak. Mana enak rujakan di rumah sakit hehe,”

Akhirnya setelah selesai mengurus administrasi keluar dari Rumah Sakit, aku, Mbak Asih pulang semobil dengan Vinia menuju rumahku. Sementara Zen, Yosi dan Xavi naik mobil Yosi. Sesampai di rumah, Mbak Asih langsung membuat rujak memakai  bahan  buah-buahan dari parcel yang teman-teman berikan buatku. Sambil menunggu rujak jadi, kami berlima berkumpul lesehan di ruang tamu. Karena mereka sudah biasa main kesini, jadi meskipun rumahku sempit, banyak barang di ruang tamu mereka enjoy aja. Pembicaraan kami tentu saja tentang apa yang terjadi saat aku digiring Pak Tomo ke ruangannya dan tentang hukumanku.

“Yan, kenapa elo gak nyerah aja sih? Berat banget lho 6 jam ngangkat kursi dalam cuaca panas di tengah lapangan tanpa boleh makan dan minum. Itu hukuman sudah level militer,” tanya Yosi.

“Iya, gue setuju sama Yosi. Toh hukuman membersihkan toilet tidak seburuk itu. Pak Tarmiji gue yakin sudah membersihkan toilet-toilet sebelum jam sekolah usai. Jadi kerjaan elo bakal lebih enteng,” sahut Xavi.

“Tapi 6 bulan lho bersihin toiletnya, 6 bulan!” sergah Vinia.

“Iya sih, tapi dari sudut manapun, itu hukuman yang jauh lebih santai dan berat,” tukas Xavi. “Lagipula, hukuman mengangkat meja dari Pak Tomo itu sebenarnya sengaja dibuat Pak Tomo tanpa berpikir akan ada siswa yang mampu menaklukkan hukuman tersebut. Dengan prediksi tidak akan ada yang kuat menanggung hukuman, sudah jelas hukuman aslinya memang membersihkan toilet.”

Zen ? Dia no comment, duduk tenang minum teh sambil baca koran.

Melihat Vinia,  berdebat kenapa aku tidak menyerah saja saat dihukum mengangkat meja, akhirnya aku menjelaskan ke mereka kenapa aku mati-matian bertahan menjalani hukuman dari Pak Tomo.

“Aku juga punya pikiran yang sama dengan Yosi dan Xavi, Vin. Hukuman dari Pak Tomo itu berat, berat banget. Namun perkataan Pak Tomo membuat aku tidak punya pilihan selain tetap bertahan menyelesaikan hukuman hingga akhir.”

Kening Vinia, Yosi dan Xavi mengerut mendengar akhir perkataanku. Zen juga sudah melipat koran dan memperhatikanku dengan penuh minat.

“Pak Tomo bilang apa ke elo Yan?” tanya Xavi.

Aku lalu mengulangi persis perkataan Pak Tomo yang menyinggung tentang orang tuaku.

“Ya ampun, Pak Tomo tega ya ngomong kayak gitu. Dia gak mikir apa kalau orang tuamu sudah tiada,” ujar Vinia.

“Ketika mengatakan hal tersebut, Pak Tomo tidak tahu. Ketika di Rumah Sakit, Bu Shinta yang memberitahu Pak Tomo bahwa kedua orang tuaku sudah almarhum dalam peristiwa tanah longsor dimana aku menjadi satu-satunya korban selamat. Mendengar cerita dari Bu Shinta, Pak Tomo menjadi orang pertama yang menghubungi Mbak Asih dan meminta maaf secara langsung karena secara tidak sengaja sudah menyinggung orang tua kami. Sebagai permintaan maaf, beban biaya perawatan Yandi di Rumah Sakit akan di tanggung secara pribadi oleh beliau, bukan menjadi beban Sekolah.”

“Oh gitu,”

“Entah gue mesti bilang Kepala Sekolah kita itu pada dasarnya baik atau kejam,” ujar Yosi.

“Kalau gue kata, Pak Tomo itu kejam. Dia sengaja mempermainkan mental siswa,” tukas Zen tiba-tiba.

“Hah kejam? Kejam darimana Zen? Kalau Pak Tomo kejam, mana mau dia bopong dan nganterin sendiri Yandi ke Rumah Sakit. Belum lagi ia memasukkan Yandi masuk ke Kelas I, semua biaya di tanggung sama dia sendiri pula,” sergah Xavi yang tidak sependapat dengan Zen.

Ketika Zen hendak menjawab pernyataan Xavi, Mbak Asih keluar dari dapur membawa nampan berisi semangkuk besar rujak, 5 mangkuk kecil dan sendok kecil. Ada juga mangkuk kecil berisi  es batu yang dipisah dengan rujak yang ditaruh di nampan. “Kalian serius amat sih ngobrolnya nih makan dulu rujaknya, abisin jangan sampai sisa. Hati-hati, ini rujak selera pedes.”

Mata keempat temanku langsung nampak berbinar dan liur mereka nyaris menetes melihat rujak yang terlihat menyegarkan, aroma saus kacang yang dicampur dengan tumbukan cabe. Sontak keempatnya langsung berebut mangkuk kecil untuk dulu-duluan mengambil rujak. Aku dan Mbak Asih cuma tertawa melihat tingkah mereka berempat. “Ya ampun, kalian pelan-pelan, ntar malah tumpah loh. Yan, ambilin gelas sama sebotol air putih dingin di kulkas yak buat teman-temanmu. Pasti kepedesan soalnya hehe,”

Aku mengangguk dan menuju ke dapur. Saat aku kembali membawa 5 gelas kosong dan air putih dingin, teman-teman berteriak agar aku cepat-cepat memberikan minuman. Karena mereka semua kepedesan dan minta minum, hahaaha. Namun meskipun kepedesan, mereka tetap lanjut makan sampai abis. Aku ikut menemani mereka makan rujak, sementara itu Mbak Asih pamit mau pergi belanja di pasar sore buat kebutuhan warung besok. Setelah Mbak Asih pergi, kini kami bisa bebas mengobrol apa saja, tentu saja setelah rujak habis dan sudah tidak kepedesan lagi.

“Kalian masih tertarik gak dengan penjelasan dari pendapat gue bahwa Pak Tomo itu kejam, bukan baik hati?” tanya Zen.

“Mau-mau, eh tahan dulu Zen, gue mau pipis dulu,” kata Vinia sambil berdiri dan menuju kamar mandi dekat dapur.

Sambil menunggu Vinia, kami merasa kepanasan dan gerah. Hawa panas ditambah dengan selesai makan rujak yang luar biasa pedas membuat kami cepat sekali keringetan. Aku lalu mengambil kipas angin yang ada di kamarku dan kubawa turun karena satu kipas angin seperti tidak cukup untuk mengusir hawa panas. Aku lihat Xavi dan Yosi bahkan udah copot kaos seragam, cuma pakai singlet. Ketika kipas kedua dinyalakan baru terasa mayan enak.

“Eh kalian ngapain sampe cuma pake singlet?” tanya Vinia sekembali dari kamar mandi.

“Kepanasan Vin, gerah campur kepedesan,” sahut Yosi.

“Iya sih, panas,” celetuk Vinia.

“Maaf ya, rumahku yang ber-AC cuma di kamar Mbak Asih,” kataku. Aku merasa gak enak melihat teman-teman pada kepanasan.

“Eh enggak kok, tapi iya sih panas. Ehm, Yan gue boleh numpang ganti kaos gak di kamar Mbak Asih? Gue gak tahan juga nih hawanya,”

“Ganti di sini aja Vin, temenin kita pake singlet hahaha,” celetuk Xavi.

“Ogah keenakan kalian, singlet gue seksi banget. Gue takut kalian lepas kontrol liat gue cuma pake singlet hahaha,”

“Ah elo bilang gitu bikin kami penasaran aja, hahaha,” goda Yosi tak mau kalah.

“Dasar kalian otak mesum berdua, mbo di contoh Zen ini loh, tetap cool meskipun yang lain kepanasan,” ujar Vinia.

“Eh kalau elo mau dengerin pendapat gue, cepetan ganti baju, lama-lama gue kepanasan juga nih,” tukas Zen.

“Hahaha tuh Vin, cowok cool yang elo puji akhirnya kepanasan juga. Woi Zen, mbo di lepas seragammu. Kenapa ? Elo malu cuma pake singlet doang? Singlet elo seksi juga ya, ahahahahaha,” ujar Xavi.

Perkataan Xavi membuat kami bertiga ikut tertawa. Xavi ini kalau masalah meledek teman paling juara.

Zen yang sepertinya enggan membuka seragam akhirnya membuka juga seragamnya. Dan tawa kami bertiga langsung berhenti otomatis ketika melihat di lengan kiri bagian atas Zen terpampang tato bergambar tengkorak yang dipadukan dengan semburat tinta kemerahan menyerupai percikan dan tetesan darah.
  
Damn Zen ! Keren banget tato lu!” seru Yosi.

“Wuihh ga nyangka si profesor kita ini bertato!” puji Vinia. Ya akhir-akhir ini kami menjuluki Zen sebagai Profesor karena kecerdasan dia dalam mata pelajaran Kimia, Fisika, Biologi dan Matematika. Bahkan Asha pun mengakui kecerdasan Zen di keempat mata pelajaran tersebut. Hanya saja Zen juga menjadi yang paling lemah dalam mata pelajaran Sosiologi, Ekonomi, Geografi dan Sejarah. Udah pasti calon anak IPA si Zen.

“Serem banget sih tato lu Zen,” ujar Xavi.

“Ya kali Zen mau tatoan gambar anak Sapi,” tukas Yosi menyindir Xavi.

“Mulai..Mulai rasis nih..,” kata Xavi yang paling tidak suka dipanggil Sapi, plesetan dari namanya.

“Lah elu, kayak gak tahu Zen aja. Tuh buku tulis dia penuh coret-coretan gambar tengkorak, jadi gue gak kaget kalau dia punya tato tengkorak,” sambar Yosi.

Memang benar kata Yosi, jika Zen sedang bosan di kelas dia lebih suka diam dan mencoret-coret bagian belakang buku tulisnya dengan berbagai macam gambar tengkorak. Entahlah, kenapa Zen nampak menyukai objek tengkorak yang melambangkan kematian.  Mungkin berhubungan dengan masa lalunya. Dari anak-anak F4 hanya masa lalu Zen yang masih gelap alias tidak pernah Zen ungkapkan. Dia hanya bercerita bahwa dia berasal dari kota PPP yang berada di sebrang pulau dimana begitu lulus SMP, keluarga Zen pindah ke Kota XXX. Jadi aku sama seperti Zen, sama-sama pendatang di Kota ini. Namun ketika terkuak bahwa Zen jago berkelahi, tahan pukul, punya mental dan keberanian di atas rata-rara, membuat aku menduga masa lalu Zen penuh dengan kekerasan. Kekerasan yang seperti apa, kami tidak tahu dan kami tidak berminat bertanya ke Zen selama dia sendiri yang tidak berinisiatif bercerita kepada kamu.

“Ini kamu buat kapan Zen?” tanya Vinia.

Zen terdiam sebentar sebelum kemudian dia bercerita bahwa tatonya dibuat setelah lulus SMP.

“Bonyok lu tahu elo tatoan?” ujar Xavi.

“Tahu kok. Dan mereka gak marah. Selama gue selalu masuk dalam rangking 10 besar, bokap nyokap gak ada masalah,” jawab Zen santai.

“Jadi kepengen tatoan juga gue,” sahut Yosi bersemangat.

‘”Iya ih, gue juga pengen, tangan gue di tato. Tapi belum kepikiran mau di tato apa , hihihi,” tukas Vinia.

“Njir santai banget bonyok elo. Elo pada kalau mau tatoan, jangan ajak-ajak gue deh. Karena kalau gue tatoan lalu Mamah gue tahu, bisa-bisa gue di tendang Mamah sampe Papua sono,” ujar Xavi.

Dan kami tertawa mendengarnya.

“Yan, elo gak pengen tatoan?” tanya Yosi.

“Haduh, enggak ah. Jawabanku sama kayak Xavi, kalau ketahuan sama Mbak Asih, bisa dijadiin sansak hidup aku tiap hari.”

“Hahaha, asyik dapat temen, tos dulu Yan! Elo emang sohib gue paling yahud !”

Gue lalu tos dengan Xavi.

“Wei, kalian jadi mau dengar pendapat gue tentang Pak Tomo gak nih, gara-gara liat tato gue yang keren ini jadi malah ngelantur bahas tato.”

“jadi dong,” kataku karena aku penasaran dengan perkataan Zen sebelumnya.

Tiba-tiba Vinia berdiri membawa tasnya.”Eh bentar, gue ganti baju duluu!” Setelah aku tunjukkan kamar Mbak Asih yang kebetulan kamarnya tidak dikunci, Vinia langsung masuk ke kamar dan berganti baju. Tak berapa lama kemudian, Vinia sudah berganti kaos T-Shirt pendek polos warna kuning. Agak mayan ketat sih kaosnya sehingga terlihat tonjolan dada Vinia yang argggh. Stop Yan! Jaga mata lo!

“Nah udah, ayo Zen mulai cerita, hihihi,” kata Vinia sambil tertawa.

“Yakin udah? Mau minum dulu gak? Mau buka ponsel dulu gak? Mau ke salon dulu gak? Mau nyanyi 1 album dulu gak ? Mumpung Zen belum mulai nih,” sindir Xavi.

“Ihhhhhh, reseeee dasar Sapiiiiii, rasain nih cubitan gueee!” Vinia langsung mencubit lengan Xavi tanpa ampun yang membuat Xavi berteriak kesakitan.

“Woi, udah mau maghrib nih. Gue jam 6 mesti pulang, ada acara. Ayo Zen mulai aja,” tukas Yosi.

Zen terdiam lalu berkata “Ehm, terakhir gue ngomong apaan ya? Kok gue lupa,” cengir Zen.

“Sue bener! Elo yang ngomong, elo sendiri yang lupa. Sampe pendapat elo yang bilang bahwa Pak Tomo itu jahat, bukan baik hati. Woiy kalian berdua tenang napa sih, cubit-cubitan kayak anak PAUD,” ujar Yosi kepada Vinia dan Xavi yang kini malah saling cubit-cubitan.

Aku cuma geleng-geleng kepala melihat tingkah keempat temanku. Ah kalian memang luar biasa ! Setelah mulai tenang, Zen kemudian mulai bercerita.

“Menurut gue Pak Tomo itu jahat karena dia berpikir tidak akan ada 1 siswa yang akan mampu mengangkat meja selama 6 jam nonstop di tengah lapangan, logika siswa yang gak kuat pasti lebih memilih menyerah ketika baru 5-10 menit mengangkat meja. Toh kalau gagal atau menyerah di hukuman tersebut hanya diganti dengan hukuman membersihkan semua toilet di sekolah selama 6 bulan setiap pulang sekolah. Namun Pak Tomo tidak ingin murid yang dia hukum menyerah tanpa perlawanan saat mengangkat meja. Caranya? Dengan memberikan beban mental tambahan seperti yang ia lakukan ke Yandi, menyinggung tentang perjuangan orang tua. Anak manapun pasti bakalan luluh kalau di singgung tentang orang tua. Sudah pasti, anak yang dihukum akan terbakar motivasinya dan bersedia berjuang mengangkat derajat orang tua dengan cara bertahan selama mungkin mengangkat meja di tengah lapangan sampai 6 jam lamanya.”

Kami berempat terdiam mencoba menyerap perkataan Zen yang aku langsung tahu ujung pendapat Zen.

“Nah, Pak Tomo pasti menduga tidak akan ada siswa yang kuat bertahan mengangkat meja sehingga mereka gagal, meskipun mental mereka sudah coba dinaikkan dengan cara yang seperti gue bilang tadi. Karena siswa gagal menjalani hukuman pertama, maka hukuman berubah menjadi membersihkan semua toilet di sekolah setiap pulang sekolah selama 6 bulan. 6 bulan itu lama. Bayangkan jika kita jadi siswa yang dihukum seperti Yandi lalu gagal atau menyerah menjalani hukuman pertama? Capek fisik sudah pasti, namun kita juga bakal menyesal secara mental karena sudah gagal menjaga nama baik orang tua. Sudah capek fisik dan menderita secara mental belum lagi jadi tontonan semua murid, masih kena hukuman lain. Membersihkan Toilet. Buat mayoritas murid disini yang berasal dari keluarga kaya, membersihkan toilet itu bukan pekerjaan mudah bahkan cenderung memalukan. Dan waktunya juga lama, 6 bulan. Dengan kata lain 6 bulan dijadikan cleaning service itu bisa membuat siswa tertekan bahkan stres karena malu. Yang gak kuat menahan perasaan malu ke teman-temannya, udah pasti langsung minta ortunya buat dicarikan sekolah baru.”

“Terkadang siksaan mental secara psikis itu jauh lebih berat daripada siksaan fisik, karena yang menderita adalah pikiran....” ujar Zen mengakhiri penjelasannya. Nada suara Zen nampak berat di akhir kalimatnya.

Perkataan Zen langsung aku amini karena aku juga pernah merasakan langsung ketika aku menjadi satu-satunya korban selamat sementara kedua orangtuaku meninggal dalam bencana longsor hebat yang menimpa kampungku. Aku memang hanya mengalami luka-luka ringan namun pikiran dan mentalku yang menderita sekali. Bahkan aku nyaris gila dan sudah tidak memiliki keinginan untuk hidup pada saat itu. Berkat perhatian, kesabaran Mbak Asih dan “wejangan” dari orang tua dari alam sana bahwa belum waktunya aku menyusul mereka, membuat aku sadar dan bisa menyembuhkan mentalku perlahan-lahan.

Namun tanpa seorangpun yang tahu bahwa, sejak saat itu aku menjadi takut dan membenci suasana hujan karena aku masih menderita trauma terhadap hujan yang sangat lebat. Hujan yang dulu selalu aku nantikan karena membawa kesegaran dan kehidupan kini justru membuatku lemas dan menggigil ketakutan karena teringat akan kematian kedua orangtuaku yang terkubur hidup-hidup dan akhirnya meninggal dan momen ketika aku juga terjebak, terkubur dalam timbunan longsor dalam keadaan bingung, takut, basah dan gelap.....

“Sepertinya, gue mesti meralat perkataan gue bahwa Pak Tomo itu baik, karena tindakannya membawa Yandi ke rumah sakit, bahkan membiayai sendiri pengobatan Yandi hanyalah sikap reaktif karena dia tidak pernah menyangka akan ada siswa yang bisa bertahan hingga akhir menjalani hukuman tersebut,” ujar Yosi.

“Elo makan apa sih Zen ? Kok pinter banget bisa berpikir sejauh itu,” puji Vinia sambil meninju pelan pundak Zen.

Zen cuman nyengir.

“Hahaha dan Pak Tomo pasti tidak menyangka bahwa Yandi akan bertahan dan kuat menjalani hukuman hingga jam 3 sore. Elo emang gila Yan. Padahal elo kan masih belum pulih benar setelah berantem lawan Puput anak SMA SWASTA XXX....Eh!” tiba-tiba Xavi menutup mulutnya.

Reaksi Zen, Vinia dan Yosi yang langsung melotot ke arah Xavi membuat aku sadar bahwa Xavi telah mengucapkan sesuatu yang seharusnya aku tidak boleh tahu.

Darimana teman-teman tahu kalau kemarin aku berkelahi dengan Puput? Aku tidak menceritakan hal ini kepada siapapun karena takut masalah pribadi akan merembet ke persoalan antar sekolah. Apa Puput yang menyebarkan berita ini? Tapi lucu rasanya jika orang yang kalah justru menyebarkan berita tentang kekalahannya. Apa Puput sengaja menyebar berita ini untuk membalas dendam dan melibatkan teman-temannya? Aku langsung menatap keempat temanku lalu aku sengaja menatap ke arah Xavi yang nampak tidak berani membalas tatapanku.

“Darimana, kamu tahu kalau kemarin aku berkelahi dengan Puput, Xav?” tanyaku tegas.

“Ehm...Dari...dari...” Xavi nampak salah tingkah dan terlihat bingung.

“Dari ini Yan,” ujar Zen memecah kebekuan seraya menyodorkan ponselnya ke arahku.

Lalu aku melihat sebuah video yang memutar adegan perkelahianku kemarin melawan Puput. Aku terhenyak kaget karena tidak menyangka ada rekaman ini.

“Maaf Yan, kami sebenarnya sepakat tidak menyinggung masalah ini sampai elo pulih benar. Namun karena Xavi keceplosan, ya terpaksa gue tunjukkan video ini. Kami tidak menyangka bahwa elo akan terlibat perkelahian melawan Puput Yan. Kami tidak tahu apa penyebabnya dan kami tidak bertanya apa penyebabnya karena video ini tidak memiliki audio, kecuali elo yang bercerita ke kami apa pasal perkelahian kalian. Yang jelas, ada orang lain yang melihat perkelahianmu, merekamnya dari awal hingga akhir lalu menguploadnya ke Youtube dan kemudian menjadi viral. Dan gue yakin, setiap bajingan, murid SMA seluruh Kota XXX sudah menontonnya, termasuk anak SMA SWASTA XXX,” papar Zen.

Astaga, kalau video ini sudah viral kemana-mana, sudah pasti akan menimbulkan masalah besar. “Zen, ada peristiwa apa yang terjadi di sekolah hari ini?”

“Fiuh, sepulang sekolah, segerombolan anak-anak SMA SWASTA XXX menunggu di depan sekolah mencari elo. Kemungkinan besar mereka adalah teman dan para pengikut Puput. Suasana menjadi panas karena kami dan juga anak kelas 2, 3 tidak terima dengan cara mereka mendatangi sekolah. Nyaris terjadi tawuran kalau saja Polisi dan pak Tomo tidak datang tepat waktu untuk membubarkan semua siswa. Anak SMA SWASTA XXX diminta untuk membubarkan diri, sementara kami diminta Pak Tomo untuk masuk ke dalam sekolah. Dan di lapangan sekolah, semua siswa yang nyaris tawuran dihukum push-up 100 x dalam waktu 5 menit. Gue dan Yosi ikut keciduk jadi akhirnya ikut push-up. Setelah gue dan Yosi sukses melewati hukuman push-up dan situasi sudah kondusif, kami berempat lalu menjenguk elo ke Rumah Sakit.”

Sialan, kekhawatiranku tentang cinta segitiga antara aku, Puput dan Dita yang bisa berefek ke konflik antar sekolah akhirnya menjadi kenyataan.

Dita.

Aku langsung kepikiran dengan Dita, entah apa reaksinya saat melihat video rekaman yang tengah viral memperlihatkan aku berkelahi dengan Puput.

 *** 

Ketika aku tengah berbaring di kamar memikirkan kembali pembicaraanku dengan keempat sahabatku di ruang tamu sore tadi, tiba-tiba pintu kamar ada yang mengetuk. Sudah jam 8 malam, itu pasti Mbak Asih yang memintaku untuk turun makan malam. Namun aku belum lapar.

“Aku belum lapar Mbak, bentar lagi Yandi turun,” jawabku tanpa berusaha bangun dan membuka pintu.

“Ini aku Yan... Dita.”

Dita? Aku langsung bangun dan mengenakan baju panjang agar perban di lenganku tidak terlihat. Perban di hidung segera aku lepas, memang masih nampak lebam, tapi ya udahlah. Setelah berpakaian dan merapikan sebentar kamarku, aku lalu membuka pintu kamar.

Aku melihat Dita tersenyum, senyuman yang agak dipaksakan. Dia mengenakan baju biru tanpa lengan, rambutnya nampak di model dengan bergelombang.
  
Cantik.

Aku tersenyum lalu berkata,” Halo yang.”

“Ternyata memang itu kamu yang ada di video., hiks.”

Senyuman Dita langsung berubah menjadi isak tangis dan ia langsung menghambur ke arahku, Dita memelukku. Aku lalu membalas pelukan Dita.

“Hikss, maafin aku yang, ini semua gara-gara aku, huu,” semakin aku peluk, malah tangisan Dita semakin kencang, beruntung ia menangis di dadaku sehingga tidak terlalu terdengar ke luar, karena posisi kami masih ada di depan kamarku dan aku merasa gak enak kalau Mbak Asih melihat kami sekarang, sambil tetap memeluk Dita aku membawanya masuk ke dalam kamar lalu pintu aku tutup.

“Pssstt, aku gak apa-apa sayang,” aku mencoba menenangkan Dita sembari membelai rambutnya. Sesekali keningnya aku cium.

“Gara-gara aku kamu terluka sampai masuk rumah sakit, gara-gara aku kamu berkelahi, semua gara-gara aku, huuuuuuuu,” derai Dita sambil memelukku semakin erat.

Aku lalu memegang wajah Dita hingga ia tengadah menatapku, matanya sembap karena air mata. “Lihat aku yang, aku gak apa-apa. Aku justru khawatir sama kamu karena bagaimana pun juga kamu satu sekolah dengan Puput. Dan kini Puput dan teman-temannya membenci dan akan membalas dendam kepadaku. Aku tidak takut kalau mereka mencariku, yang penting mereka tidak mengganggumu di sekolah. Kalau mereka berani ada yang mengganggumu, aku ak-”

Perkataanku terhenti karena Dita meletakkan jari telunjuk kanannya di bibirku.

“Psst, aku gak apa-apa. Kamu tidak usah khawatir yang,” kata Dita.

“Kamu juga tidak mengkhawatirkan aku yang, aku cuma butuh istirahat saja. Kalau gak besok yak lusa aku sudah masuk sekolah.”

Dita memelukku.

Rasanya sungguh menyenangkan bisa memeluk dirinya..



= BERSAMBUNG =

No comments for "LPH #40"