DLF #17
DEEP LYING FORWARD #17
LA GUERRA DI CALABRIA (THE WAR OF CALABRIA)
4 hari sebelum pertandingan Derby Dellla Calabria yang akan digelar di Stadio Catanzaro, seluruh warga Cosenza dan Catanzaro baik yang menyukai atau tidak menyukai sepakbola mulai merasakan atmosfer panas dari pertandingan tersebut. Pertandingan derby adalah pertandingan yang paling ditunggu tifosi dari kedua tim setiap musimnya. Dan pertemuan pertama kedua tim di musim ini akan di gelar di Stadio Nicola Ceravolo, kandang Catanzaro yang berkapasitas 15.000 orang. Catanzaro dan Cosenza selama sejarahnya sudah bertemu sebanyak 50 kali. Dan Catanzaro sangat jauh mengungguli Cosenza. Aquile Del Sud (Elang dari Selatan) julukan US Catanzaro 1929, mampu meraih 20 kemenangan dengan menciptakan 69 gol. Sementara Lupi Del Sila (Serigala dari Sila) julukan Cosenza Calcio 1914 hanya memenangkan 8 laga dan melesakkan 42.
Jadi secara historis, Catanzaro selalu menjadi favorit dalam Derby Della Calabria dibandingkan Cosenza. Kemenangan terakhir Cosenza atas Catanzaro bahkan terjadi di musim 1997/1998 atau 3 tahun yang lalu dengan skor tipis 2-1 di Stadio San Vito. Tetapi duel kali ini akan diprediksi berjalan lebih ketat karena Cosenza datang dengan catatan mentereng 12 kali pertandingan beruntun tanpa mengalami kekalahan dan kini bercokol di peringkat 2 papan klasemen dengan 22 poin. Sementara Catanzaro berada di peringkat 8 dengan 19 poin. Meskipun lebih unggul dalam hal perolehan poin, Cosenza juga tidak boleh terlalu jumawa, karena Catanzaro memiliki catatan apik selalu meraih 3 poin sempurna ketika bermain di Stadio Nicola Ceravolo dalam 6 pertandingan terakhir di kandang.
Jika Cosenza ingin memperbaiki rekor mereka dalam Derby Della Calabria, mempertahankan tren positif mereka dan terus menghidupkan peluang untuk terus berada di 4 besar maka kemenangan atas Catanzaro menjadi harga mati. Sementara Catanzaro tentu merasa gatal ingin menjajal kemampuan Cosenza yang membuat mereka menjadi satu-satunya tim yang belum terkalahkan sampai 12 pertandingan liga, dan dengan dukungan Ultras Catanzaro mereka semakin bernafsu untuk mencoreng muka Cosenza.
Cosenza boleh saja berbangga dengan menyandang status kuda hitam paling berbahaya di beberapa musim terakhir, hanya saja Catanzaro mempunyai kartu as yang selalu membuat tifosi Cosenza selalu terdiam. Jika Cosenza belum pernah mencicipi pentas Serie-A, maka Catanzaro pernah merasakan ketatnya berlaga di kompetisi kasta tertinggi Serie-A. Musim perdana Catanzaro di Serie-A Catanzaro terjadi pada tahun 1970/1971 tetapi langsung kembali terdegradasi di musim berikutnya. Kesempatan kedua untuk kembali promosi ke Serie-A terjadi di musim 1975/1976 dan lagi-lagi hanya bertahan 1 musim. Prestasi terbaik Catanzaro di pentas Serie-A terjadi di 1977/1978. bisa bertahan selama 5 musim di Serie-A dan bahkan mencatatkan finish tertinggi yang dalam sejarah klub yakni finish di peringkat 9 di musim 1978/1979. Sebuah fakta yang membuat setiap kali terjadi Derby Della Calabria, Ultras Catanzaro sepanjang pertandingan akan meneriakan chant yang membuat setiap pemain maupun tifosi Cosenza panas jika mendengarnya.
COSENZA CALABRIA FIGLIO ILLEGITTIMO (Cosenza is calabria's illegitimate child) !!
COSENZA NON SI SARÀ MAI SALIRE IN SERIE A (Cosenza you will never rise to serie a) !!
SEPOLTO INSIEME AL CASTELLO SVEVO (buried along with Kastil Svevo) !!
CODARDI LUPI CHE NON POTRA MAI VOLARE ALTO NEL CIELO (cowards wolf who will never fly high in the sky) !!
COSENZA COSENZA COSENZA MERDA (Cosenza cosenza cosenza shit) !!”
Chant yang bukan hanya menyinggung tentang persaingan di dalam sepakbola tetapi juga menyerempet ke hal-hal sensitive lainya seperti di bidang ekonomi dan juga historis.
Italia adalah sebuah negara yang terdiri dari 20 wilayah region yang tersebar hingga ke utara ke selatan dan kepulauan, dimana suatu region dipimpin oleh seorang gubernur dan terbagi menjadi beberapa propinsi. Jika dibedakan berdasarkan letak demografis, maka region di Italia terbagi menjadi :
North-West Region : Aosta Valley, Liguria, Lombardy, Piedmont
North-East Region : Emilia Romagna, Friuli Venezia Giulia, Trentino-Alto Adige, Veneto
Center Region : Lazio, Marche, Tuscany, Umbria
South Region : Abruzzo, Apulia, Basilicata, Calabria, Campania, Molise
Islands Region : Sardinia, Sicily
Reggio di Calabria terletak di Italia selatan, pada bagian paling utara berbatasan dengan dengan Reggio di Basilicata dan bagian ujung semenanjung paling selatan berhadapan langsung dengan Pulau Sicilia. Topografi Reggio di Calabria atau cukup disebut dengan Calabria terbentang 3 gunung yang saling membentuk rangkaian pegunungan yang memiliki kekayaan flora dan fauna yang unik. Pegunungan tersebut terdiri dari gunung Polino, gunung La Sila, dan gunung Aspromonte yang menjadi salah satu daya tarik wisata terkenal di Calabria. Selain jajaran pegunungan, Calabria juga terdapat 2 pesisir laut, yakni laut Tirrenia dan Laut Ionia sepanjang 860 km. Calabria mendapat julukan “The Toe of Italian Peninsula” karena wilayahnya yang membentuk seperti sepatu.
Calabria terbagi menjadi 5 propinsi yaitu Cosenza, Reggio Calabria, Catanzaro, Crotone dan Vibo Valentia, dimana ibu kota Calabria terletak di Catanzaro. Calabria sendiri mempunyai 4 tim sepakbola yang berkompetisi di sepakbola professional Italia yakni Reggina, Catanzaro, Cosenza dan Crotone. Keempat tim tersebut secara alamiah saling membentuk afiliasi. Reggina dan Catanzaro memiliki hubungan yang baik karena sama-sama pernah merasakan berkompetisi di Serie-A dan secara geografis keduanya berada di wilayah selatan Calabria yang memiliki tingkat ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang lebih baik dibandingkan wilayah di utara Calabria yakni Cosenza dan Crotone yang keduanya dipandang hanya sebagai klub medioker karena tidak pernah mencicipi Serie-A.
Selain itu Cosenza dan Crotone juga mempunyai reputasi yang kurang baik. Cosenza dikenal sebagai daerah yang sangat rawan gempa dan disinyalir menjadi pusat organisasi sindikat Mafia terbesar Italia yakni ‘Ndrangheta. Sementara Crotone menjadi wilayah paling miskin di Calabria yang jangankan bandar udara, jalur kereta pun tidak ada di Crotone, lebih dikenal sebagai kota yang menjadi pintu akses para imigran baik legal maupun illegal masuk ke Italia lalu menyebar ke berbagai kota di Eropa.
Faktor-faktor kedaerahan, perbedaan tingkat ekonomi yang sangat sensitif dan prestasi membuat Derby Della Calabria akan selalu penuh dengan drama dan insiden-insiden, baik di dalam maupun luar lapangan. Obrolan-obrolan baik di pub, café, kantor, sekolahan, bus umum, taksi, bandar judi, stasiun kereta bahkan di gereja setempat didominasi oleh tema tentang betapa panas dan serunya pertandingan itu nantinya. Koran-koran lokal pun tidak luput menjadikan Derby Della Calabria sebagai tajuk utama berita dengan membuat artikel khusus tentang prediksi pertandingan, sejarah pertemuan kedua tim, ulasan para pemain kunci dari masing-masing tim dan perjalanan kedua tim sampai dengan giornata (pekan) ke 12 Lega Calcio Serie-B 2000/2001.
Jika semua orang nampak antusias dengan pertandingan ini, lain halnya dengan pihak kepolisisian. Potensi kerusuhan akibat 10.000 Ultras Catanzaro dan 5.000 Ultras Cosenza berkumpul di satu tempat sudah membuat pihak kepolisian terutama Kepolisian Catanzaro was-was. Sekitar 5.000 personil keamanan sudah disiapkan untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Perwakilan dari kedua klub bersama dengan pihak dari FIGC sudah dipanggil oleh pihak kepolisian untuk duduk bersama dalam sebuah pertemuan. Dari pertemuan tersebut menghasilkan keputusan bahwa dari kedua klub siap untuk menjaga keamanan tetap kondusif sebelum, saat dan sesudah pertandingan dan memberikan pengarahan kepada para pendukungnya dalam sebuah diskusi internal antara pihak klub dan perwakilan Ultras untuk tetap tenang serta tidak saling memprovokasi.
Jika sampai terjadi kerusuhan baik di dalam lapangan maupun luar lapangan, maka pihak kepolisian dan FIGC siap untuk memberikan sanksi kepada kedua tim. Semakin besar skala kerusuhan maka hukuman yang dijatuhkan juga akan semakin berat. Foto Presiden Catanzaro Lodeiro Cosentini dan Presiden Cosenza Alex Paoletti yang bersalaman di depan Stadio Nicola Ceravolo menghiasi headline koran-koran lokal. Sebuah usaha yang dipandang oleh para pengamat sepakbola sebagai langkah yang sangat baik demi menjaga atmosfer menjelang pertandingan tetap kondusif.
Hanya saja, sebuah peristiwa tidak terduga yang terjadi 2 hari sebelum pertandingan digelar merubah segalanya.
****
Di suatu sore dimana cuaca masih terasa hangat, Mario mengajak Alesio untuk menemaninya membeli sepasang sepatu bola yang baru karena sepatu lamanya meskipun kondisinya baik tetapi terlihat usang. Dan Cisalfa Sports menjadi tujuan mereka. Sesampai disana Mario langsung menuju ke counter Nike tetapi ia tidak menemukan satupun sepatu Nike yang ia cari. Ia kemudian bertanya ke salah satu SPG yang sedang merapikan display, tetapi berdasarkan informasi karyawan tersebut sepatu Nike tipe Mercurial berwarna putih dari berbagai macam ukuran sedang kosong karena sepatu tersebut laris banyak sekali peminatnya dan stok baru akan datang 2 minggu lagi. Setelah SPG tersebut kemudian pergi entah kemana, Mario terlihat sangat kecewa sekali mendengar hal tersebut.
Alesio kemudian mencoba menghibur dengan menyarankan Mario membeli sepatu Adidas yang juga mengeluarkan tipe Tiempo berwarna putih. Tetapi Mario tidak mau karena ia bersikukuh hanya ingin Nike Mercurial Putih. Alesio yang sudah hapal sifat keras kepala Mario, hanya bisa menghela nafas. Tepat ketika ia ingin mengajak Mario pulang, SPG tersebut kembali dengan membawa kabar baik untuk Mario bahwa Cisalfa Sport cabang Catanzaro masih memiliki beberapa pasang sepatu Nike dari ukuran 36 hingga 40. Jika Mario tertarik, SPG tersebut bisa menelpon mereka dan meminta agar sepatu ukuran 36 bisa dikirim besok ke Cisalfa Sport Cosenza. Mario langsung sumringah mendengar hal tersebut, dan ia sudah tidak sabar menunggu besok maka ia meminta tolong kepada SPG tersebut agar menelpon ke Cisalfa Sports Catanzaro agar menyimpan sepatu Nike Mercurial Putih ukuran 36 untuknya karena sore ini juga akan ia ambil kesana.
Alesio kaget mendengar Mario ingin sekarang juga pergi ke Catanzaro, bukan hanya jaraknya yang cukup jauh sekitar 8-9 kilometer, bersepeda pula tetapi juga daerah sana cukup rawan mengingat Cisalfa Sport berdekatan dengan markas Ultras Catanzaro. Mario meyakinkan bahwa semua aman asal mereka menyembunyikan jersey Cosenza yang sedang mereka kenakan dibalik jaket. Setelah berdebat, akhirnya Alesio mengalah dan akhirnya ikut menemani Mario ke Catanzaro…..naik sepeda. 8 km pergi 8 km pulang total 16 km.
Alesio dengan susah payah mengikuti Mario dari belakang yang terlihat sangat bersemangat sekali mengayuh sepedanya meliuk-liuk di jalan raya yang cukup padat. Sekitar 45 menit kemudian bersepeda di jalan raya dan keluar masuk ke gang-gang kecil untuk menghindari macet, mereka berdua sudah memasuki kota Catanzaro dan berhenti sejenak di minimarket untuk membeli air minum. Sambil mengatur nafas dan beristirahat, Mario memutuskan agar mereka sebaiknya tidak langsung melewati jalan Cortese Vincio karena disana ada markas Ultras Catanzaro, tetapi memutar melalui jalan Nunzio Masi dan tembus ke jalan Viale Papa Pio tempat Cisalfa Sports berada. Memang menjadi sedikit lebih jauh tetapi aman jalurnya.
Setelah memutari jalan Nunzio Masi, akhirnya mereka berdua sampai di Cisalfa Sport Catanzaro. Sementara Alesio lebih memilih duduk di sofa yang tersedia, mengistirahatkan kakinya sambil menikmati udara sejuk dari AC yang ada di dalam toko, Mario dengan bersemangat menuju meja Customer Service mengambil pesanan sepatu Nike Mercurial warna putih ukuran 36 atas namanya. Setelah mengecek isi kotak dan puas dengan sepatu baru yang tak sabar ia kenakan besok latihan, Mario kemudian menuju kasir dan menyelesaikan pembayaran. Alesio melihat sahabatnya tersebut nampak sangat girang seperti anak kecil usia 2 tahun mendapat mainan baru.
Setelah memasukkan kotak sepatu ke dalam tas punggungnya, Mario lalu mengajak Alesio yang hampir ketiduran untuk pulang.
Alesio lalu meminta agar mereka sebaiknya pulang tidak usah buru-buru santai saja. Mario mengangguk lalu keduanya mengambil sepeda mereka masing-masing di parkiran dan mengayuh dengan santai. Alesio yang berada di belakang Mario kaget ketika tiba-tiba Mario membelokkan sepedanya ke jalan Cortese Vincio, jalan yang sedari awal mereka hindari. Alesio segera mengejar Mario dan ketika mereka sudah bersampingan, Alesio marah kepada Mario kenapa ia tiba-tiba berbelok lewat sini. Dengan santai Mario berkata bahwa lewat jalan ini kita bisa lebih cepat dan tenang saja walaupun ada Ultras Catanzaro nanti di depan markas, kita lewati mereka dengan santai tidak usah gugup.
Hanya saja Alesio entah kenapa tetap was-was dan malah mempunyai feeling buruk. Benar saja, ketika mereka melewati sebuah rumah kecil yang bercat kuning dengan sedikit aksen merah, warna khas US Catanzaro, nampak banyak sekali segerombol orang yang berkumpul di teras dan halaman depan rumah, entah apa yang sedang mereka lakukan yang jelas mereka terlihat seram. Dan saat mereka kurang dari 10 meter lagi melewati rumah tersebut, Mario dan Alesio malah terlihat gugup dan tanpa mereka sadari mereka mengayuh sepedanya terlalu kencang.
Salah seorang pemuda yang sebelumnya sedang menikmati sebatang rokok, melihat 2 orang remaja bersepeda yang belum pernah ia lihat sebelumnya, mengenakan jaket hitam dengan tas punggung dan mereka melajukan sepedanya terlalu kencang. Ketika 2 remaja tersebut melintas di depannya tanpa memperlambat laju sepeda bahkan menoleh pun tidak ke arah markas Ultras Catanzaro, pemuda tersebut emosi lalu berdiri dan berteriak kepada Mario dan Alesio,
“Hey ragazzi, solo rallentare la vostra bici come un disabile lupo passeggiata (Hey bocah, pelankan laju sepeda kalian seperti seekor serigala cacat biasa berjalan) !!”
Teriakan tersebut mengundang tawa teman-temannya. Untuk Ultras Catanzaro, mereka sering menjadikan serigala sebagai bahan ejekan karena serigala adalah simbol klub Cosenza. Jadi mereka sebenarnya tidak tahu bahwa 2 remaja tersebut adalah suporter Cosenza. Alesio yang tahu Mario mempunyai emosi yang meledak-ledak lalu membujuk Mario agar ia tidak menghiraukan ejekan tersebut dan tetap melanjutkan perjalanan pulang. Tetapi Mario tiba-tiba mengerem sepedanya dan berputar memutar balik ke arah markas Ultras Catanzaro lalu sesampai di depan segerombolan ultras lawan, ia berteriak sangat kencang,
“CATANZARO MERDAAA (Catanzaro taik) !!”
Dari jarak 30 meter, Alesio yang menghentikan sepedanya lalu menengok ke belakang terperangah sekaligus ketakutan mendengar Mario berteriak seperti itu kepada segerombolan Ultras Catanzaro. Alesio lalu melihat Mario mengayuh sepedanya dengan sangat kencang ke arahnya sambil berteriak kepadanya agar cepat pergi dan segera mengikutinya karena ia tahu jalan-jalan kecil menuju Cosenza. Alesio panik karena ia melihat beberapa orang Ultras Catanzaro mulai bersiap mengejar mereka berdua dengan sepeda motor. Alesio segera mengayuh sepedanya dan ia melihat Mario 10 meter di depannya berbelok dengan tajam ke kanan arah Scuola Agraria di pertigaan. Pada saat yang bersamaan, ada sebuah mobil Ford Mustang berwarna merah yang berbelok ke Cortese Vincio dan tabrakan pun tidak bisa dielakkan.
BRAKKKK !
Tubuh Alesio gemetar saat ia mendengar decitan rem mobil yang beradu dengan sepeda yang tidak sempat mengerem dan kemudian menghasilkan suara hantaman yang keras dan teriakan suara. Ia menyaksikan tubuh Mario terpental ke depan sampai melewati atap mobil hingga 5 meter ke pinggir jalan. Roda depan sepeda Mario sampai terlepas dari bodi dan penyok parah. Sementara Mario tertelungkup di trotoar, tidak bergerak samasekali dan perlahan entah dari tubuh bagian mana, terbentuk aliran darah di sekitar tubuh Mario. Orang-orang yang berada di sekitar kejadian berteriak panik dan mulai mendatangi Mario yang masih terbujur di jalan, sang pengendara Ford Mustang keluar dari mobil sambil memegang kepala dengan kedua tangannya.
Alesio tertegun, tubuhnya tidak bisa bergerak setelah menyaksikan kejadian mengerikan tersebut terjadi tepat di depan matanya. Tidak lama kemudian, bahu tubuh Alesio bergetar hebat, ia menangis karena ia tahu sesuatu yang sangat buruk sedang terjadi menimpa Mario, sahabatnya.
***
Remaja berusia 12 tahun, kritis setelah tertabrak mobil di Cortese Vincio, Catanzaro
By Alberto Langela, Venerdi (Jumat) Novembre 24, 2000
Nuova Cosenza – Remaja berusia 12 tahun tersebut diketahui menderita luka cukup parah dan kini dalam kondisi kritis di ruang ICU Santa Anna Hospital Catanzaro.
Remaja yang diketahui bernama Mario Pasquale, 12 tahun, tertabrak pada hari Kamis pukul 6.30 sore. Berdasarkan keterangan dari salah satu saksi yang menyaksikan kejadian tersebut, Mario terlihat memacu sepedanya dengan kencang saat ia berbelok kanan ke arah Scuola Agraria. Sementara pada saat yang bersamaan ada mobil Ford Mustang yang berbelok ke Cortese Vincio dengan kecepatan sedang. Dan tabrakan pun tidak dapat dihindarkan.
Sang pengemudi Ford Mustang, Gaetano Fichera mengaku bahwa ia tidak melihat sepeda yang melaju ke arahnya saat ia berbelok ke arah Cortese Vincio sebelum tiba-tiba ia melihat korban yang mengendarai sepeda berbelok dengan kecepatan kencang datang ke arahnya.
“Mario Pasquale, bersama temannya Alesio Festa, ke Catanzaro untuk membeli peralatan olahraga di Cisalfa Sports. Korban saat ini berada dalam kondisi kritis dirawat di ruang ICU Santa Anna Hospital. Korban mengalami luka patah tulang paha kiri dan gegar otak. Sementara teman korban, Alesio masih dalam keadaan shock berat dan belum bisa kami mintai keterangan. Sementara adanya laporan yang mengatakan bahwa korban sebelumnya sempat bersitegang dengan beberapa pendukung dari Catanzaro masih belum dapat kami konfirmasi dan masih harus kami selidiki lebih lanjut.” Kata Juru Bicara Kepolisian Catanzaro Umberto Modetti kepada sejumlah wartawan yang menunggu di depan rumah sakit Santa Anna.
Mario Pasquale dan Alesio Festa, belakangan diketahui merupakan pemain Cosenza U-14. Mario berposisi sebagai penyerang sementara Alesio sebagi pemain tengah. Mereka disebut sebagai pemain muda yang sangat menonjol di tim muda Cosenza. Rafael Girodino, pelatih Cosenza U-14 membenarkan bahwa keduanya adalah anak didiknya dan ia beserta semua pemain, pelatih, seluruh pendukung Cosenza akan terus mendoakan Mario agar bertahan dan mampu melewati masa kritisnya. Dan ketika disinggung tentang adanya kabar bahwa sebelum terjadi kecelakaan Mario sempat beradu mulut dengan beberapa pemuda di depan sebuah rumah yang sering menjadi tempat berkumpul para pendukung tim Catanzaro, Rafael tidak memberikan komentarnya.
Polisi mau tidak mau harus bekerja keras dan secepatnya dalam menyelidiki kecelakaan ini karena mereka tidak ingin isu-su bahwa pendukung Catanzaro lah yang menjadi penyebab kecelakaan yang dialami Mario semakin berhembus kencang menjelang pertandingan Derby Della Calabria. Sebuah isu panas yang bisa membuat situasi menjadi semakin tidak kondusif.
Kami semua mendoakan kesembuhanmu, MARIO !!
***
Akibat peristiwa kecelakaan yang dialami salah seorang pemain muda Cosenza dan terjadi di Catanzaro ditambah dengan isu bahwa ini berhubungan dengan Ultras Catanzaro, membuat aroma kebencian menjelang derby yang sebelumnya tercium samar-samar, kini tersiar begitu pekat di udara menyelimuti 2 kota, Catanzaro dan Cosenza. Aroma kebencian diantara tifosi dari kedua tim yang dinilai belum pernah berada di level segawat ini. Melihat perkembangan masalah ini yang semakin mengkhawatirkan, Pihak Kepolisian Catanzaro akhirnya memutuskan untuk membatasi jumlah penonton yang hadir di Stadio Nicola Ceravolo. Dari 15.000 penonton, akan dikurangi menjadi 10.000 penonton. 7.000 tiket untuk tifosi tim tuan rumah dan 3.000 untuk tifosi tim tamu.
Justru keputusan ini dianggap blunder oleh banyak pihak karena justru para Ultras Catanzaro yang tidak mendapatkan tiket akan berkeliaran di sekitar stadion menggelar acara nonton bareng, sementara disinyalir juga akan ada pergerakan yang dilakukan oleh Ultras Cosenza yang tentu tidak mau tinggal diam di kota Cosenza akan nekat tetap datang ke Catanzaro. Sehingga ditakutkan hal ini malah lebih sulit dikendalikan. Tetapi pihak kepolisian Catanzaro sedari awal mengatakan bahwa mereka akan berkoordinasi dengan Kepolisian Cosenza agar tidak terbentuk sekumpulan massa di beberapa titik rawan. Kepolisian Cosenza akan mencegah para Ultras Cosenza membanjiri Catanzaro sementara Kepolisian Catanzaro akan mengawal 3.000 Ultras tim tamu yang menyaksikan pertandingan langsung di Stadio Nicola Ceravolo, dari mereka datang, selama pertandingan dan mengawal hingga mereka pulang menuju Cosenza.
Catanzaro dan Cosenza, dua kota yang saling bertetangga tetapi tidak akur, telah bersiaga penuh 1 hari sebelum pertandingan.
Sasa, leader Ultras Cosenza kemudian berinisiatif mengadakan pertemuan dengan Ulises Petrucci,leader Ultras Catanzaro di sebuah bar dekat markas Ultras Catanzaro. Pertemuan tersebut diadakan karena Sasa khawatir jika kericuhan yang ia takutkan, akan terjadi dan berada pada level yang diluar batas. Sebuah kerusuhan yang pada akhirnya akan merugikan reputasi kedua tim dan tentu saja reputasi ultras baik Ultras Catanzaro maupun Ultras Cosenza.
Roxy Bar, Catanzaro - Novembre 25, 2000, 08:05 AM
Setelah sampai di parkiran Roxy Bar, Sasa mematikan puntung rokoknya lalu membuangnya dari balik jendela mobil yang terbuka. Sebelum ia keluar, Sasa mengedarkan pandangannya kepada 3 orang yang menemaninya datang kesini.
“Dengar, kita kesini bukan untuk mencari masalah. Aku kesini bukan karena aku takut datang sendirian, tetapi aku ingin kalian 3 leader dari kelompok terbesar di Ultras Cosenza. Martin Dino dan Verdy untuk ikut kesini agar kalian bisa mengetahui kejadian sebenarnya yang menimpa Mario kemarin, apakah memang benar Ultras Catanzaro juga turut terlibat, mendengar jawabannya langsung dari mulut Ulises Petruci, leader Ultras Catanzaro. bukan melalui surat kabar apalagi gossip yang simpang-siur kalian dengar.”
“Tapi bisa saja mereka berbohong bahwa tidak ada anggota mereka yang menjadi penyebab Mario kecelakaan. Aku kenal Mario, dia adalah anak yang pemberani tetapi bukan tipe anak yang suka mencari gara-gara jika tidak ada sebabnya.”kata Martin lalu mematikan mobil dan mencabut kuncinya.
“Iya Martin benar, Nuova Cosenza bukan koran sembarangan yang tidak akan menghembuskan isu tanpa ada dasarnya, apalagi isu yang mereka beritakan bukan isu sembarangan.”tambah Dino, seolah mengamini perkataan Martin sebelumnya.
“Sebelum aku menjawab pertanyaan Martin dan Dino, Verdi, apakah kamu juga ingin bilang sesuatu.?” Tanya Sasa kepada Verdi yang duduk di samping Dino.
Tanpa melihat Sasa, Verdi menggeleng. Pandangannya terpaku kepada beberapa orang di luar bar yang nampak mengamati mobil mereka dengan tatapan tidak bersahabat. Verdi kemudian menurunkan kaca mobil sebelah kanan dan membalas tatapan mereka.
“Tadi sore aku menjenguk Mario di rumah sakit. Dan kata dokter yang menanganinya, Mario berhasil melewati masa-masa kritis. Hanya saja akibat benturan keras di kepala yang ia alami, tempurung kepalanya retak, membuat ia belum juga sadar bahkan ada kemungkinan ia mengalami koma. Sepulangnya dari rumah sakit, aku mampir ke rumah Alesio. Alesio sering membeli buku di tokoku dan kami cukup dekat. Jadi ketika aku bertanya apa yang terjadi di Cortese Vincio, Alesio yang sampai hari ini masih enggan ditanya oleh Polisi karena masih trauma, perlahan-lahan mau bercerita kepadaku.
Alesio bercerita bahwa ketika mereka melintas di depan markas Ultras Catanzaro, karena banyak orang disana disana membuat mereka gugup sehingga Alesio dan Mario melajukan sepeda mereka dengan kencang. Tindakan yang menurut Alesio menyinggung orang-orang disana dan salah satu dari mereka kemudian meneriaki mereka….Hey bocah, pelankan laju sepeda kalian seperti seekor serigala cacat biasa berjalan…. dan ternyata membuat Mario yang seperti Martin bilang, adalah anak pemberani yang mungkin tersinggung dengan perkataan orang tersebut. Mario kemudian memutar sepedanya kemudian kembali ke markas Ultras Catanzaro. Di depan puluhan ultras lawan, ia sendirian, seorang anak berusia 12 tahun berteriak, Catanzaro merda. Tepat di depan hidung mereka.
Alesio yang melihat dari jarak 30 meter kemudian melihat Mario segera memacu sepedanya kencang-kencang, saat Mario melewati dirinya, ia menyuruh Alesio agar cepat mengikutinya dari belakang. Alesio yang masih bingung, kemudian melihat beberapa pemuda Ultras Catanzaro yang naik pitam mencoba mengejar mereka menaiki sepeda motor yang terparkir di samping markas. Dan ketika Alesio ingin mengayuh sepedanya, ia kemudian melihat saat Mario berbelok kanan dengan kecepatan kencang dan dari arah berlawanan muncul mobil merah. Tabrakan pun tidak bisa dielakkan. Siapa salah siapa benar sangat abu-abu disini. Kemungkinan orang-orang yang berada di depan markas Ultras Catanzaro, tidak tahu bahwa 2 anak tersebut adalah pemain muda Cosenza karena mereka menggunakan jaket. Dan tindakan Mario saya yakin juga sikap reaksioner.” Papar Sasa.
“Lalu jika kamu sudah tahu kejadian sebenarnya, kenapa kita datang kesini?” Tanya Dino.
“Aku ingin tahu, kejadian kemarin dari versi Ulises. Dia pasti langsung mencari tahu tentang isu yang melibatkan anggotanya.”
“Jika mereka ternyata menceritakan versi lain dimana tidak ada anggota Catanzaro yang terlibat, apa tindakan kita?” lanjut Dino.
“Kita lihat saja nanti. Dan ingat, aku tidak ingin kalian sembarangan bicara yang bisa memperburuk suasana. Selain itu aku ingin membuat perjanjian dengan Ulises.”
“Perjanjian.Perjanjian apa?”Tanya Verdi setelah sekian lama diam.
“Perjanjian bahwa masing-masing dari kedua Ultras bisa saling menahan diri, tidak saling memprovokasi dan mengganggu jalannya pertandingan esok. Karena kita mendapat pemangkasan jatah tiket dari 5.000 menjadi 3.000 maka nanti setelah pertemuan ini, akan kita atur ulang lagi siapa-siapa yang berangkat ke Stadio Nicola Ceravolo. Oke.?ayo kita keluar. Ingat tetap tenang.”
Martin, Dino dan Verdi mengangguk bersamaan.
Keempatnya lalu turun dari mobil, tampaknya kehadiran 4 pentolan Ultras Cosenza kesini sudah diketahui semua pengunjung yang ada di bar karena semua orang menatap mereka berempat dengan tatapan yang tidak ramah sekali. Tetapi pamor keempatnya, membuat tidak satupun dari anggotaUltras Catanzaro yang berani menghalangi jalan. Sasa berjalan menuju salah satu meja di pojok bar. Dan kemudian ia melihat orang yang ia cari berdiri. Pria tersebut tidak terlalu tinggi, ada tindikan di hidung dan berambut gimbal panjang, tersenyum kepadanya. Dia adalah Ulises Petruci, orang nomor 1 di Ultras Catanzaro.
“Sasaa, disini. Hei kalian semua minggir, kosongkan meja-meja disekitar sini. Aku ingin mengobrol secara nyaman dengan tamu-tamuku.” Perintah Ulises kepada beberapa pengunjung yang mengenakan jersey Catanzaro. Sasa menunggu area di sekitar meja tersebut kosong dulu, lalu kemudian duduk di kursi bersebrangan dengan Ulises dan 4 kawan Ulises. Sasa mengenali keempat orang yang duduk bersama Ulises. Yang berambut pendek adalah Luigi, tangan kanan Ulises. Yang berambut cepak blonde adalah Domi leader UC 1973, di samping Domi ada 2 orang yang sama-sama berkepala plontos. Yang satu berperawakan kurus tetapi kedua lengannya penuh tato adalah Raphael, leader Massimo Skinhead. Sementara yang satunya berbadan kekar adalah Julio, tangan kanan dari Raphael. Dibanding ketiga orang tersebut, tatapan dari Raphael dan Julio lah yang paling tidak bersahabat. Tatapan yang membuat orang yang tidak memiliki mental kuat, akan gemetar.
“Silahkan-silahkan duduk, bir sebentar lagi akan datang.”pinta Ulises kepada Martin, Verdi dan Dino.
Setelah keempat tamunya dari Ultras Cosenza sudah duduk dan 4 botol bir sudah di antar ke meja mereka, Ulises membuka obrolan dengan sedikit berbasa-basi tentang pertandingan esok hari. Hanya Sasa yang menimpali perkataan dari Ulises dan begitu juga sebaiknya. Dan kemudian Ulises menghentikan basa-basi dan langsung mempersilakan Sasa untuk menjelaskan maksud kedatangan mereka kesini. Sasa lalu menjelaskan bahwa kedatangan mereka ke Catanzaro karena ingin memperjelas 2 hal yakni meminta klarifikasi tentang kejadian yang menimpa Mario yang isunya sebelum terjadi kecelakaan dia terlibat adu mulut dengan salah seorang anggota Ultras Catanzaro dan terakhir ingin membuat perjanjian dengan Ulises agar besok tidak ada kerusuhan yang melibatkan kedua belah pihak baik di dalam stadion maupun luar stadion.
Sambil meminum birra moretti dan bersandar di kursi, Ulises mendengarkan perkataan Sasa. Setelah Sasa selesai berbicara, ia lalu menjelaskan tentang kejadian berujung pada kecelakaan yang menimpa Mario, pemain Cosenza U-14.
“Saya sudah berbicara dengan beberapa anggota Ultras Catanzaro yang sore itu ada di markas dan melihat kejadian tersebut. Awalnya mereka melihat 2 anak yang melaju sangat kencang dengan sepeda mereka di depan markas kami lalu ada salah seorang diantara kami yang berteriak memperingatkan kedua anak tersebut. Ia meneriaki mereka berdua dengan mengatakan.. ‘Hey bocah, pelankan laju sepeda kalian seperti seekor serigala cacat biasa berjalan..’
Kalian jangan tersinggung, tapi di kalangan kami, kami sering bercanda menggunakan kata serigala cacat, serigala ompong dan sebagainya. Dan kami tahu simbol klub kalian adalah serigala, maka kami sengaja menggunakan kata-kata tersebut. Lagipula, saya tahu bahwa di kalangan Ultras Cosenza kalian juga sering menghina atau melecehkan simbol elang kebanggan kami. Tetapi buat saya, itu sesuatu yang wajar, asal hanya digunakan di kalangan sesama anggota bukan dipakai untuk saling mengejek ketika kita bertemu di stadion.”
“Hahaha Ulises perkataanmu lucu sekali. Kalian menerapkan double standar disini. Kamu bilang ejekan-ejekan yang berhubungan dengan simbol klub lawan hanya untuk konsumsi anggota internal saja bukan untuk dipakai ketika pertandingan derby, tetapi kalau saya tidak salah ingat, kalian selalu mempunyai chant yang ada bagiannya berbunyi seperti ini.. codardi lupi che non potra mai volare alto nel cielo (cowards wolf who will never fly high in the sky)…Apakah saya yang salah dengar atau memang seperti itu bunyinya?” sindir Verdi tiba-tiba.
“Haha itu bukan ejekan Verdi, tetapi itu fakta. Bedakan antara ejekan dengan fakta. Sang elang akan selalu terbang tinggi, sementara serigala cukup di dataran atau pegunungan saja. Tetapi saya salut karena kamu mempunyai pendengaran yang tajam, saya sebagai pencipta chant tersebut merasa sangat tersanjung” Sahut Raphael bermetafora membandingkan elang dengan serigala, lalu menyalakan rokok dan menghembuskan asapnya ke arah Verdi.
Sasa langsung menengok ke arah Verdi karena ia tahu Verdi orang yang cepat emosi dan pasti akan langsung meledak amarahnya. Tapi Sasa terkejut melihat Verdi yang tetap tenang dan tersenyum.
“Ah suatu kehormatan bagi saya bertemu dengan Raphael, pencipta chant yang legendaris tersebut, ternyata untuk ukuran seorang skinhead fasis sepertimu, kamu memiliki pengetahuan flora dan fauna yang bagus. Saya yakin guru TK-mu pasti bekerja sangat keras mengajarkan tentang flora fauna. Luar biasa.” Balas Verdi sopan sambil tetap menyunggingkan senyum.
Lalu Verdi dan Raphael tertawa bersamaan, nada tawa yang mengandung getaran emosi begitu tebal.
Suasana yang semula tenang kini mulai memanas. Baik Sasa maupun Ulises meminta kedua orang tersebut untuk diam dan berhenti bertukar sindiran.
“Sasa, boleh saya lanjutkan.” Tanya Ulises.
Sasa mengangkat botol birnya.
“Oke, saya lanjutkan. Lalu setelah mendengar teriakan tersebut, anak yang bernama Mario tersebut langsung berbalik dan berteriak di depan markas kami, Catanzaro merda. Tentu saja, anggota saya yang mendengarnya kaget dan emosi ketika anak tersebut meneriakkan kata-kata itu di depan muka mereka. Memang ada yang berniat mengejar anak itu, bukan untuk memukuli atau mengeroyok tetapi lebih ke reaksi spontan. Dan belum sempat kami menyalakan motor, anak tersebut terlibat kecelakaan. Anak yang malang. Dan keesokan harinya dari pemberitaan di koran, kami baru tahu bahwa anak itu adalah salah satu pemain Cosenza U-14. Oh iya bagaimana keadaan anak itu sekarang?”
“Mario sudah melewati masa kritis, hanya saja ia masih belum sadar akibat benturan keras di kepala saat ketika ia terjatuh di aspal, membuat tempurung kepalanya retak. Belum lagi tulang paha kanannya yang patah.”
“Anak yang malang, beruntung ia mendapat perawatan yang terbaik di rumah sakit ibu kota. Selain ia tidak bisa menyaksikan pertandingan seru besok, ia harus melupakan mimpinya menjadi pemain sepakbola di usia yang masih begitu muda karena tidak mungkin ia bisa bermain sepakbola lagi. Ah itupun kalau ia masih bisa sembuh dan tersadar dari kondisi koma.” Ratap Ulises.
Martin yang mengenal Mario langsung naik pitam, ia lalu berdiri dan menunjuk ke muka Ulises.
“HEY ULISES, JAGA OMONGANMU!! APA MAKSUDMU DENGAN RUMAH SAKIT DI IBUKOTA?? DAN SIAPA YANG BILANG BAHWA MARIO TIDAK AKAN PERNAH BISA BERMAIN SEPAKBOLA LAGI?” Martin yang biasanya berpembawaan tenang, amarahnya tiba-tiba meledak.
Domi yang terpicu emosinya karena Martin menghardik Ulises, hendak bangun dan bersiap mengayunkan pukulan ke arah Martin, tetapi gerakannya ditahan oleh Ulises.
“Tenang Martin tenang. Aku tidak bermaksud untuk menyinggunggmu. Percayalah. Ah birmu sudah habis, aku pesankan lagi ya. Sisca, bawakan kami 5 botol birra Moretti lagi kesini. Cepat.!” Perintah Ulises kepada Sisca, salah satu pelayan di Roxy Bar.
Sementara itu Sasa, langsung menarik tangan kiri Martin agar ia tenang dan duduk lagi.
“Ulises..Domi..Maafkan sikap dari Martin yang kasar.”
“Ah sudahlah. Perdebatan itu wajar. Jadi apakah klarifikasi dariku sudah tentang kejadian kemarin sore, bisa kalian terima?” Tanya Ulises.
“Iya, kini kami mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Kecelakaan kemarin adalah murni kecelakaan lalu lintas, seandainya Mario mengenakan helm tentu lukanya tidak akan separah ini. Klarifikasi anda kami terima dan akan kami beritahukan ke semua anggota Ultras Cosenza agar tidak lagi terjadi kesalahpahaman di kemudian hari. Grazie (Terimakasih).”
“Ah kami justru yang berterimakasih kepada anda, 4 orang hebat dari Ultras Cosenza menyempatkan diri datang langsung kesini. Untuk permintaanmu satu lagi bahwa kita harus bisa saling menahan diri, tidak menimbulkan kekacauan yang bisa mengganggu jalannya pertandingan, kami juga sangat setuju. Kita semua ingin menyaksikan pertandingan seru besok malam dengan tenang. Kami akan menjamu Cosenza, tim papan atas yang tidak terkalahkan dalam 12 pertandingan. Kali ini tentu tim pujaanmu yang lebih dijagokan, karena tim kami cuma tim papan tengah yang setiap musimnya hanya memiliki 2 target, target pertama adalah bersaing untuk tetap bertahan di Serie-B dan target kedua adalah sekuat tenaga untuk tidak kalah dalam Derby Della Calabria. Domi, Luigi, Raphael dan Julio, angkat botol bir kalian dan beri salam untuk perdamaian dan tentu saja untuk para tamu terhormat kita malam ini. FORZA ULTRASS !!”
Sasa lalu mengangkat botol bir dan diikuti oleh Martin, Dino, Verdi. Lalu Sasa dan kawan-kawan mohon diri untuk pulang karena apa yang menjadi tujuan mereka kemari telah mereka sampaikan dan mendapat respon baik dari Ulises. Sebelum pulang, Verdi pergi ke toilet dulu untuk buang air kecil, selesai buang air kecil ia menuju ke wastafel untuk mencuci tangan. Lalu kemudian ia melihat Raphael masuk ke dalam toilet dan tersenyum lebar kepadanya. Verdi menaikkan kewaspadaannya, bersiap jika sewaktu-waktu Raphael berbuat sesuatu.
“Tenang Verdi, aku kesini ingin buang air kecil. Oh iya, tentu kamu tahu kan bahwa yang Ulises katakan tadi tentang perdamaian antara Ultras Catanzaro dengan Ultras Cosenza hanyalah sekedar lip service alias omong kosong belaka. Meskipun dia adalah pemimpin Ultras Catanzaro tetapi ia tidak mungkin bisa mengatur semua anggotanya untuk tetap tertib. 1 hal sepele bisa rmemicu kericuhan dengan skala besar. Jadi simpan saja misi perdamaian kalian.” Kata Raphael tenang sambil buang air kecil.
“Tenang saja, kami juga tahu bahwa perkataan Ulises hanyalah bualan semata. Karena seingatku, Ulises adalah orang paling brutal dari Ultras Catanzaro. Jadi nampaknya setelah minum beberapa botol birra Moretti menjadi jinak seperti seekor burung parkit rumahan. Sampai jumpa besok di medan perang.” Balas Verdi sebelum ia keluar dari toilet dan sebelum ia membuka pintu, ia melihat ke arah Raphael yang menyeringai kepadanya sambil berkata pelan dengan nada berat dan tatapan tajam.
“Fate attenzione, domani sarai morto in mano (Bersiaplah, besok kamu akan mati di tanganku).”
Verdi tersenyum, lalu membalas dengan singkat,
“Persone possibile mai avrebbe ucciso l'angelo della morte (Manusia seperti dirimu tidak akan pernah bisa membunuh seorang malaikat kematian).”
Kerusuhan besar nampaknya akan susah untuk dielakkan lagi, 2 kelompok garis keras dari kedua belah Ultras akan segera berhadapan. Ghetto Boys di pihak Ultras Cosenza dengan Massimo Skinheads di pihak Ultras Cosenza.
***
Dressing Room - Stadio Nicola Ceravolo, Catanzaro - Novembre 26, 2000, 19:30 PM
30 menit sebelum kick-off pertandingan Derby Della Calabria, di ruang ganti pemain Cosenza, pelatih Bartolo Mutti menyampaikan beberapa hal kepada 18 pemain Cosenza.
“Saya tidak akan membahas tentang taktik lagi, karena saya yakin kalian sudah cukup jelas dengan apa yang mesti kalian lakukan di pertandingan ini. Yang mau saya sampaikan sekarang adalah aku ingin kalian semua melupakan catatan 12 pertandingan tanpa kekalahan. Saya tidak ingin kalian menjadi besar kepala, jangan pernah meremehkan siapapun lawan kita, entah kita mau melawan tim papan atas maupun tim juru kunci sekalipun. Saat ini justru kita menjadi tim yang paling ingin diincar oleh lawan karena kita menjadi satu-satunya tim yang belum terkalahkan. Terlebih lawan kita hari ini adalah Catanzaro dalam sebuah partai derby.
Terlepas dari apapun yang terjadi menjelang pertandingan ini yang aku yakin cukup mengganggu konsetrasi kita, aku ingin kalian bermain seolah-olah ini adalah partai final. Semua pertandingan di liga akan kita hadapi layaknya pertandingan final. Dan seperti halnya partai derby, tensi pertandingan akan jauh lebih berbeda, tuntutan meraih kemenangan lebih tinggi. Para tifosi kita di luar sana, tidak akan menerima kekalahan dalam partai derby dengan mudah. Karena kalah dalam sebuah partai derby nilainya melebihi sekedar kehilangan 3 angka tetapi juga menyangkut harga diri. Dan 1 hal lagi, saya mengirim 11 pemain ke pertandingan dan saya juga ingin kalian mengakhiri pertandingan dengan tetap bersebelas, bukan 10 atau bahkan 9 pemain.
Saya akan memberikan sanksi kepada siapa saja yang terlibat keributan dengan pemain lawan apalagi sampai mendapat kartu merah, dinginkan kepala kalian karena emosi akan membuat pikiran kalian menjadi pendek dan berujung kepada tindakan-tindakan bodoh. Jangan mudah terpancing provokasi lawan dan para tifosi lawan yang akan meneror kalian sepanjang pertandingan. Ini akan menjadi salah satu pertandingan sekaligus ujian mental terberat yang akan kita hadapi. Jadi masuklah ke lapangan, ke medan pertempuran. Tegakkan kepala kalian, tunjukkan kepada mereka apa itu kerja keras, bermain dengan hati, pantang menyerah dan yakinkan mereka bahwa kita akan terus berjuang membawa mimpi mereka menuju pentas tertinggi sepakbola. Jadilah serigala-serigala yang selalu lapar, lapar akan kemenangan. FORZA COSENZA !!”
Lalu tim ruang ganti penuh dengan suara teriakan penuh semangat dari para pemain Cosenza. Satu persatu pemain kemudian meninggalkan ruang ganti dan bersiap menuju lapangan. Signor Mutti menepuk punggung salah satu pemain Cosenza bernomor punggung 27. Nomor punggung Mateo Rocco. Mateo menoleh ke arah Mutti dan mengangguk. Mutti melihat sinar mata Mateo begitu menyala-nyala, tampaknya ia sudah sangat siap untuk turun pertama kalinya sebagai starting line-up musim ini.
Mateo hari ini akan berduet dengan Bazzani di lini depan Cosenza. Mutti akhirnya menurunkan Mateo dari menit pertama di pertandingan sebesar ini karena ia tidak punya piliha lagi. Striker andalannya Massimo Varrichio tidak bisa diturunkan karena terkena akumulasi kartu kuning, sementara tandemnya De Francesco malah mengalami cedera hamstring pada saat latihan 2 hari sebelum pertandingan. Sehingga hanya menyisakan 3 striker muda yakni Fabio Bazzani, Mateo Rocco dan Danilo Savoldi.
Setelah berdiskusi dengan Malusci tentang siapa yang akan mengisi 2 slot di lini depan, akhirnya ia memutuskan memilih duet Mateo dengan Bazzani. Mutti sengaja tetap bermain dengan formasi 2 striker karena setelah melakukan evaluasi, formasi striker tunggal akan berjalan dengan baik ketika ingin mengandalkan pola serangan counter attack. Di pertandingan ini, Mutti ingin tim tampil menyerang dan menguasai pertandingan untuk memupuk rasa percaya diri para pemainnya di tengah terror tifosi Catanzaro yang dikenal cukup militan.
Bazzani dan Mateo memiliki karakteristik permainan yang berbeda. Bazzani memiliki badan yang kokoh, tangguh dalam duel-duel fisik dan memiliki finishing klinis di dalam kotak pinalti meskipun dari sisi mental ia masih inkonsisten. Dari 8 pertandingan dan sebagain besar sebagai pemain pengganti, ia sudah mengemas 2 gol. Sementara Mateo Rocco, striker muda yang mendapatkan penilaian sangat bagus dari para staff pelatih.
Sekilas Mateo memiliki karakter permainan yang rajin bergerak, tidak ragu untuk turun jauh memulai serangan dari bawah dan disaat-saat kritis ia bisa membuat peluang-peluang untuk rekannya. Kecerdasan dan visinya mampu menutupi kekurangannya dalam hal fisik. Jika saja Mateo mampu meningkatkan kemampuan fisiknya lalu bisa memadukannya dengan teknik dan mental yang kian matang, ia akan menjadi pemain, pemain paling hebat yang pernah dimiliki oleh Cosenza Calcio 1914.
***
Calcionews.com/Serie-B/Giornata-13/2000-11-26/Catanzaro-Cosenza/Match-Report
DERBY DELLA CALABRIA EDISI KE-5I MENJADI MILIK CATANZARO !!
Catatan positif Cosenza tak terkalahkan dalam 12 pertandingan akhirnya terhenti di Stadio Nicola Ceravolo setelah kalah dalam Derby Della Calabria melawan Catanzaro yang dibumbui dengan banyak insiden dan sebuh keputusan kontroversial dari wasit. Cosenza kalah dengan skor telak 4-2.
Sebelum pertandingan Derby Della Calabria yang ke-51 digelar, seluruh pemain dari kedua belah tim secara bersama-sama memegang banner panjang bertuliskan “GUARISCI PRESTO (GET WELL SOON), MARIO!” sebagai bentuk dukungan kepada Mario Pasquale, pemain muda Cosenza yang mengalami kecelakaan di Catanzaro 3 hari lalu dan dilaporkan masih belum sadar sampai saat ini.
Babak Pertama
Cosenza yang menjadi tim unggulan di Derby Della Calabria kali ini, secara mengejutkan bermain gugup dan sering melakukan kesalahan elementer seperti salah mengumpan dan koordinasi yang buruk antar lini dan hal ini bisa dimanfaatkan dengan baik oleh Catanzaro. Tampaknya kehilangan seorang bek tangguh dalam diri Pascetta di lini belakang, akibat kartu merah yang ia terima di pertandingan sebelumnya, menjadi salah satu faktor penyebab kekalahan pertama Cosenza musim ini. Tuan rumah Catanzaro sudah mampu memecah kebuntuan ketika laga baru menginjak menit ke-6. Sundulan kepala Marcioni yang kurang sempurna dalam menghalau umpan silang dari pemain sayap Catanzaro Tomaso Folino, mengarah pada Delvecchio, dan ia dengan cerdik mengirim bola kepada Gagliardini di dalam kotak pinalti dan tanpa ampun bola ia hujamkan dengan keras ke gawang Cosenza dari jarak dekat.
1-0 Catanzaro mampu memimpin terlebih dahulu.
Stadion yang hanya terisi 10.000 penonton tetap terdengar sangat riuh menyambut gol tersebut. Flare berwarna kuning mulai menyala di Curva Nord. Skuat asuhan Bartolo Mutti tampak terpukul dengan gol cepat tersebut, dan malah nyaris melihat gawang mereka kemasukan untuk kedua kalinya lima menit berselang setelah sepakan Felicao menghantam mistar.
Layaknya pertandingan derby, sampai dengan menit ke-30, wasit sudah mengeluarkan 2 kartu kuning untuk Catanzaro dan 3 kartu kuning untuk Cosenza. Para pemain Cosenza terlihat sangat frustasi menghadapi pressing man to man marking yang diterapkan oleh tim tuan rumah dengan sangat disiplin. Lini tengah Cosenza yang biasanya tampil atraktif kini terlihat minim kreasi. Umpan-umpan panjang yang diperagakan Cosenza akibat kesulitan dalam mengalirkan bola-bola pendek, menjadi sangat gampang dipatahkan dan kualitas umpan tersebut juga terbilang buruk.
Permainan Cosenza baru mulai nampak membaik di 10 menit terakhir, striker muda Cosenza Mateo Rocco beberapa kali mampu menunjukkan skillnya dan menjadi motor serangan. Salah satunya ketika Mateo Rocco melakukan gerakan cut-inside dari sayap kiri dan diakhiri dengan tembakan placing kaki kanan. Sayang tembakannya masih bisa dihalau oleh kiper Di Dio. Dan beberapa peluang Cosenza lainnya masih belum juga bisa menggetarkan gawang Catanzaro. Il Aquille mampu mempertahankan keunggulan 1-0 hingga jeda pertandingan.
Babak Kedua
Pada paruh kedua, Cosenza berusaha bangkit dengan memasukkan winger kanan Imbriani yang lebih agresif menggantikan Mussaco. Namun, lagi-lagi Catanzaro yang mengawali pertandingan paruh kedua dengan sempurna.
Sepuluh menit usai jeda, wingback kiri Cosenza Rukavinna melakukan kesalahan fatal dengan menjatuhkan Gagliardi di kotak terlarang, beruntung wasit hanya memberikan kartu kuning kepada Rukavina. Gennaro Delvecchio yang menjadi eksekutor pinlati tanpa kesalahan menaklukkan Pantanelli untuk menggandakan skor.
2-0 Catanzaro menambah keunggulan. 3.000 tifosi Cosenza yang menyaksikan langsung tampak terdiam, tidak mempercayai permainan tim kesayangan mereka yang tampil sangat di bawah form.
Pelatih Cosenza kemudian melakukan 2 pergantian pemain sekaligus. Pelicori dan Marcioni yang seperti menghilang di babak pertama digantikan oleh bek tengah dan striker. Sehingga Cosenza bermain dengan formasi 3-4-3. Perubahan strategi yang membuahkan hasil, kemelut yang terjadi di kotak pinalti Catanzaro berbuah pinalti setelah tendangan Fred dianggap mengenai tangan salah satu pemain Catanzaro. Wasit Cristante mendapat protes keras dari para pemain Catanzaro karena mereka menganggap bola mengenai bahu bukan tangan. Tetapi ia tidak bergeming, pinalti tetap diberikan kepada Cosenza.
Tifosi Catanzaro ikut bereaksi dengan beberapa diantaranya melemparkan koin logam yang mengenai pelipis hakim garis dan membuat pelipis sang hakim garis robek dan mengucurkan darah. Polisi yang berjaga di pinggir lapangan langsung memburu supporter Catanzaro ke tribun yang dianggap melakukan pelemparan. Pertandingan sempat terhenti 15 menit karena tifosi Catanzaro terlibat bentrokan dengan polisi yang masuk ke tribun untuk menangkap beberapa orang dan setelah polisi berhasil membawa paksa pelaku pelemparan dan provokator keributan keluar dari tribun.
Setelah Polisi mulai bisa mengendalikan situasi, hakim garis yang terluka kemudian digantikan oleh wasit cadangan, wasit Cristante lalu melanjutkan pertandingan. Eksekutor pinalti di ambil oleh Mateo Rocco dan dengan sangat tenang ia melakukan tembakan pinalti chip ala panenka yang membuat kiper Di Dio tertipu bergerak ke kiri.
2-1 Cosenza menipiskan ketertinggalan dan masih tersisa 20 menit untuk mereka mengejar ketertinggalan.
Cosenza yang berada di atas angin mengurung pertahanan Catanzaro yang lebih memilih bermain bertahan. Wasit beberapa kali meniup peluit karena Mateo Rocco yang menjadi inspirator serangan Cosenza menjadi sasaran tackle para pemain belakang Catanzaro. Bahkan di menit-73 satu foul keras akibat sikutan bek muda Catanzaro Di Vicino membuat Mateo tersungkur. Dan hal tersebut memicu aksi dorong antar pemain dari kedua belah tim.
Mateo Rocco yang sebelumnya terguling di tanah, dengan keadaan hidung mengeluarkan darah ia tampak sangat emosional, memburu Di Vicino. Beruntung Kapten Cosenza Biagioni menahan Mateo Rocco lalu mendorongnya ke pinggir lapangan untuk mendapatkan perawatan di pinggir lapangan. Ketegasan Wasit Cristante nampaknya mulai goyah karena setelah berunding dengan hakim garis, ia lalu hanya mengeluarkan kartu kuning untuk Di Vicino. Sebuah keputusan yang membuat pelatih Cosenza Bartolo Mutti bertepuk-tangan dari pinggir lapangan.
Cosenza lalu mendapatkan tendangan bebas. Imbriani yang mengambil tendangan bebas mengirim crossing ke kotak pinalti Catanzaro dan gol !!
Lagi-lagi Mateo Rocco menjadi pembeda bagi Cosenza. Ia mampu memenangi duel udara melawan Ascoli yang berpostur lebih tinggi dan dengan heading sempurna ia membawa Cosenza menyamakan kedudukan. Mateo merayakan gol tersebut dengan berlari ke arah bench Cosenza. 2-2 !! Gol kedua Mateo Rocco di partai Derby Della Calabria dan kali ini giliran tifosi Cosenza yang menyalakan flare berwarna merah di Tribun Barat.
GAME ON !!
Cosenza semakin bernafsu untuk membalikkan keadaan setelah skor sama kuat 2-2. Hanya saja hal tersebut membuat mereka lengah mengantisipasi serangan balik sang elang. Setelah bek Alfieri berhasil mencuri bola dari kaki Imbriani ia langsung mengirim umpan lambung kepada Gagliardini dan ia berhasil lolos dari jebakan off-side. Setelah mengecoh Pantanelli dalam situasi satu lawan satu, Gagliardini melepaskan tembakan keras ke gawang Cosenza yang kosong.
Menit ke-81, skor 3-2 Catanzaro lagi-lagi memimpin. Gol kedua Gagliardini disambut dengan luapan kegembiraan pemain Catanzaro.
Tanpa membuang waktu yang tersisa, Cosenza segera menyusun serangan balasan. Sebuah kerjasama one-two apik Mateo Rocco dengan Rukavina, membuat Mateo mampu lepas dari penjagaan Di Vicino dan mengirim umpan mendatar ke kotak pinalti dan Bazzani menyambut umpan tersebut dengan satu sontekan manis yang membuat jala gawang Catanzaro bergetar. Saat pemain Cosenza hendak merayakan gol tersebut dan menyangka mereka kembali bisa membuat keadaan imbang, wasit Cristante mengangkat tangan ke atas.
Ia tidak mengesahkan gol tersebut karena ia melihat Di Vicino terkapar di lapangan sambil memegangi wajahnya. Ya, wasit menganggap Mateo melakukan pelanggaran dengan menyikut wajah Di Vicino sebelum ia mengirim umpan ke dalam kotak pinalti. Sontak hal tersebut membuat para pemain Cosenza mengerubungi wasit dan melakukan protes keras. Mateo Rocco yang disangka melakukan pelanggaran memegang kepalanya tampak tidak percaya dengan keputusan yang wasit ambil.
Di pinggir lapangan, asisten pelatih Cosenza Alberto Malusci sampai-sampai terlibat adu mulut dengan salah satu staf pelatih Catanzaro. Dalam tayang ulang terlihat bahwa Mateo Rocco memang mengayunkan tangan kirinya ke arah Di Vicino tetapi hanya mengenai bahu Di Vicino. Di Vicino yang kalah langkah nampaknya mencoba mengelabui wasit dengan berpura-pura jatuh sambil memegang mukanya dan aksi teatrikalnya berhasil menipu Cristante.
Wasit Cristante tidak bergeming, gol tetap tidak disahkan dan Catanzaro mendapatkan tendangan bebas. Catanzaro yang melihat para pemain Cosenza masih terlihat kesal dan masih mencoba protes, memanfaatkan ketidaksiapan mereka dengan langsung mengirim umpan panjang ke sisi lapangan.
Delvecchio yang bermain luar biasa bagus hari ini kemudian mengirimkan umpan crossing kepada 2 pemain Catanzaro yang sudah berada di kotak pinalti sementara hanya ada 1 pemain Cosenza di dalam kotak pinalti. Silvestri melompat untuk menjangkau umpan crossing tersebut tetapi gagal. Gelandang serang Catanzaro Chimenti yang masuk di pertengahan babak kedua menanduk bola dan masuk. Pantanelli terlihat sangat marah dan berteriak-teriak kepada rekan-rekannya yang terlambat turun mengantisipasi serangan balik.
4-2 Catanzaro memperlebar jarak di menit ke-87, lagi-lagi memanfaatkan kelengahan pemain Cosenza.
Konsentrasi para pemain Cosenza yang semakin kacau pada akhirnya tidak mampu memberikan perlawanan di sisa waktu hingga pertandingan berakhir, meski injury time selama 7 menit, sehingga keunggulan 4-2 untuk Catanzaro menjadi hasil akhir laga yang penuh drama ini.
Hasil membuat Catanzaro melesat ke peringkat 4 klasemen menyamai raihan poin Cosenza yakni 22. Sementara kekalahan ini membuat Cosenza turun 1 strip menjadi peringkat 3. Meskipun poin kedua tim sama, Cosenza lebih unggul dalam hal produktivitas gol. Menarik untuk ditunggu bagaimana respon Cosenza setelah menelan kekalahan pertama di musim ini dan ironisnya mereka takluk di tangan Catanzaro musuh terbesar mereka dalam partai Derby Della Calabria yang kontroversial.
***
Suasana pertandingan yang panas tampaknya menjalar hingga selesai pertandingan dan terjadi di luar Stadio Nicola Ceravolo. Ratusan orang UC 1973 terlibat perkelahian dengan Fedaayn, salah satu kelompok Ultras Cosenza yang tidak mendapatkan tiket menonton pertandingan. Fedaayn yang kalah jumlah kemudian terdesak lalu berlarian menyelamatkan diri. Kabar bahwa Fedaayn pimpinan Martin diserang oleh UC 1973 di luar stadion menyebar dengan cepat termasuk oleh ke 3.000 Ultras Cosenza yang berada di dalam Stadion, dan sontak membuat emosi mereka semakin tersulut. Kekalahan 4-2 Cosenza di pertandingan derby tampaknya membuat Ultras Cosenza sudah tidak peduli jika pecah kerusuhan dan terjadi perkelahian massal.
Sasa dan Dino yang berada di tengah rombongan Ultras Cosenza yang hadir di Stadion mencoba menenangkan tetapi keduanya tidak mampu menahan amarah semua orang dan pada akhirnya ikut larut dalam lautan manusia. Kerusuhan yang lebih besar kemudian terjadi, polisi yang kalah jumlah mencoba menghalau dan membubarkan tetapi terdesak dan mereka malah terjepit dalam pertempuran. Pukulan, tinjuan, tendangan, sikutan melayang, lemparan benda apa saja yang bisa diraih melayang ke segala arah. Dan kali ini UC 1973 yang kalah, lari berhamburan. Ultras Cosenza yang masih dikuasai emosi akhirnya terpecah-pecah karena banyak dari mereka yang mencoba mengejar anggota UC 1973 yang berlarian masuk ke gang-gang kecil.
Sasa mencium sesuatu yang tidak beres. Ia lalu mencegah Dino dan beberapa orang lainnya yang nampak ingin ikut berlari mengejar lawan.
“KALIAN JANGAN TERPANCING LAWAN. TETAP DISINI!!” perintahnya. Dan sekitar 200 orang Ultras Cosenza yang tersisa berkumpul bersama Sasa, Martin dan Dino.
Sasa mencium sesuatu yang mencurigakan. Kenapa 7.000 Ultras Catanzaro masih tetap berada di dalam stadion? Apa yang membuat mereka semua tertahan di dalam? Padahal jika mereka semua ikut bergerak terjun dalam perkelahian ini, sudah pasti kami bisa disapu dengan mudah.
Sementara Sasa berpikir, Ratusan Polisi datang beberapa dari mereka membantu rekan mereka yang terluka dan segera membawanya pergi, sementara lainnya mendatangi Ultras Cosenza yang tersisa.
“Kaliah jangan bertindak bodoh. Ingat polisi bukan lawan kita hari ini. Kendalikan diri kalian,” kata Sasa memperingatkan kepada anak buahnya karena ia melihat raut muka tegang di wajah mereka.
Sasa lalu melihat salah seorang di antara polisi meraih megaphone dan berkata sesuatu.
“KEPADA SEMUA TIFOSI COSENZA. KAMI MOHON KALIAN TETAP TENANG. KAMI AKAN MENGAWAL KALIAN SAMPAI KE STASIUN KERETA. KITA AKAN LONG MARCH. SAYA MINTA KERJASAMA DARI KALIAN SEMUA. KAMI JUGA AKAN MENGADAKAN PENYISIRAN DI SELURUH KOTA DEMI MENGHINDARI KERUSUHAN LANJUTAN.”
Selesai berkata, Polisi tersebut lalu memakai helmnya dan diikuti anggota kepolisian yang lain. Sesuai perkataan polisi tersebut, kini Ultras Cosenza dikelilingi oleh ratusan polisi membentuk barikade.
“Bastardo (bajingan)…Ini adalah saat-saat paling memalukan dalam hidupku, kita pulang dikawal oleh polisi. Polisi-polisi ini memperlakukan kita seperti segerombolan anak mami.” Keluh Dino kepada Sasa.
“Untuk saat ini, ini adalah solusi paling baik.” Jawab Sasa singkat.
Baru sekitar 15 menit mereka berjalan dikawal oleh polisi menuju Stasiun Kereta Catanzaro yang sudah tidak jauh lagi, ketika mereka sampai di persimpangan jalan Palanca XI samar-samar mereka mendengar segerombolan orang menyanyikan sebuah chant dan suara tersebut nampaknya menuju arah mereka. Dan benar saja, dari jalan Valli Montero yang berada di sisi kiri mereka muncul ratusan pria bertelanjang dada bertubuh kekar berjalan ke arah mereka, sambil meneriakkan chant yang penuh dengan kebencian.
“Favanculo (Keparat)..akhirnya muncul juga mereka….Massimo Skinhead..”kata Martin.
“Aku merasa ini seperti sudah diatur sebelumnya. Bangsat Ulises.” Sahut Dino.
Sasa diam.
“KALIAN CEPAT MUNDUR, BUBARKAN DIRI ATAU KAMI AKAN MENGAMBIL TINDAKAN TEGAS DAN MEMASUKKAN KALIAN SEMUA KE DALAM PENJARA. BEGITU JUGA KALIAN ULTRAS COSENZA, KALIAN JUGA AKAN KAMI TANGKAP JIKA TERLIBAT KERUSUHAN” Terias salah satu polisi menggunakan megaphone.
Tetapi bukannya berhenti, tetapi anggota Massimo Skinhead justru tertawa dan semakin mengencangkan teriakan chant.
“Cih. Kalian bilang ke anak-anak untuk bersiap menghadapi kemungkinan yang terburuk.” Kata Sasa pelan kepada Martin dan Dino
Saat gerombolan Massimo Skinhead semakin dekat, sementara Polisi, Sasa dan teman-temannya bersiap untuk menghadapi benturan fisik, tiba-tiba dari arah kanan rombongan muncul ratusan orang memakai jaket hitam lengkap dengan balaclava menutupi wajah menyanyikan chant balasan Massimo Skinheads
“Damn..belum pernah aku merasa sesenang ini melihat rombongan Ghetto Boys datang.” Kata Dino senang karena merasa mendapat bala bantuan.
“Justru ini akan malah semakin buruk. Dan saat ini kita berada di tengah jalan bersama dengan polisi, terjebak di antara 2 kelompok orang-orang sinting.”keluh Martin.
KRING…KRINGG…KRINGGG
Martin dan Dino menoleh ke arah Sasa. Sasa mendengar ponsel yang ia kantongi berbunyi dan bergetar-getar, ada panggilan masuk. Sasa meraih ponsel di dalam saku celananya dan melihat identitas penelponnya.
ULISES CALLING
Sasa menerima panggilan tersebut dan ia diam menunggu. sang penelpon berbicara.
“Sasa, sekarang coba kamu lihat gedung La Escafetti 10 meter di sebelah kirimu, di samping gedung ada jalan kecil. Di situ nanti ada pintu kecil berwarna coklat, itu adalah pintu masuk ke dalam gedung. Saya tunggu di lantai 3. Ajak 4 orang bersamamu. Last Man Standing. 5 vs 5. Kita selesaikan urusan kita yang tertunda musim lalu. Jangan sampai kamu diikuti oleh Polisi. Saya tunggu sekarang.”
Klik.
Telepon terputus.
Dari awal Ulises memang sudah berniat merancang hal ini, terlepas dari kunjungan kami kemarin. Oke. 5 vs 5. Saya juga sudah muak dengan permusuhan yang semakin lama membuat kami seperti segerombolan gangster, batin Sasa lalu melihat ke lantai 3 gedung La Escafetti yang dimaksud oleh Ulises. Gedung yang nampak tidak terawat, jendela-jendela kacanya tertutup oleh koran dari dalam dan temboknya yang bercat biru terlihat memudar.
Sasa lalu berbalik badan dan berbicara kepada Dino, Martin dan anggota lainnya.
“Teman-teman maaf, membuat kalian terjebak disini. Saya akan menyelesaikan ini secepatnya. Saya membutuhkan kalian. Bantu saya menerobos keluar dari barikade polisi ini. Martin, Dino kalian ikuti saya. Dan jika terjadi kerusuhan, saya minta kalian jangan sampai terpisah-pisah, bantu teman yang terdesak entah itu sama polisi maupun Massimo Skinhead. Kalian segeralah berlari menuju stasiun dan cepat pergi dari kota ini. Mengerti?”
Semua orang memandang Sasa lalu mengangguk mantap.
“Oke. Tunggu aba-abaku.”
Selesai berkata, Sasa lalu memencet nama Verdi di kontak telepon. Dan dengan cepat, Verdi mengangkat telepon dari Sasa.
“Hallo Sasa, kami datang untuk membantumu.”
“Verdi, aku tahu kamu dan Brady berada di antara gerombolan Ghetto Boys saat ini. Dengar, di sisi kiriku ada gedung La Escafetti, gedung tidak terawatt berwarna biru. Saya akan menembus barikade polisi dan masuk ke gedung tersebut. Saya tunggu kalian berdua disana, tunggu tandaku. Dan ini terakhir kalinya aku akan meminta sesuatu kepada Ghetto Boys”
“Apa?”
“Buatlah kerusuhan, buat keadaan sekacau mungkin, tetapi jangan melewati batas. Buatlah polisi sibuk sehingga perhatian mereka teralihkan dan mereka tidak bisa mengikuti kita. Bilang anak-anak Ghetto, setelah kita berhasil keluar dari kerumunan, agar mereka cepat pergi dari tempat ini. Masalah kita dengan Ultras Catanzaro akan kita selesaikan di dalam gedung tersebut. Dengan cara lama. Last Man Standing. 5 v 5. aku yakin Luigi, Domi, Raphael, Julio bersama dengan Ulises di atas. Kalian bergeraklah ketika kami sudah bergerak.”
“Dengan senang hati.”
KLIK.
Sasa mematikan telepon. Ia menghembuskan nafas, lalu berkata kepada anggota
Ultras Cosenza.
“Teman-teman. Sekarang!!”
Sasa lalu berbalik badan dan berlari, diikuti oleh Martin Dino dan beberapa puluh orang. Sisanya mereka bergerak menyebar ke segala arah barikade polisi yang sedang menghadap ke kerumunan Massimo Skinhead. Dan gerakan Sasa tersebut membuat Ghetto Boys bergerak, mereka berlari menghantam barikade polisi. Di sisi lain anggota Massimo Skinheads juga berteriak beringas dan bergabung dalam kegilaan. Polisi yang sebenarnya unggul dalam jumlah, terjepit. Dari sisi kiri ada Massimo Skinheads dan sisi kanan ada Ghetto Boys.
Dan tubrukan ketiganya pun pecah. Suasana menjadi sangat tidak terkendali, batu bertebaran di udara, tong-tong sampah dijadikan senjata, tongkat-tongkat melayang mencari sasaran pukul, sementara polisi yang bersenjata baton juga bergerak agresif. Sementara Sasa, Dino, Martin sudah bergerak dan berpapasan dengan beberapa anggota Massimo Skinhead, tanpa kesulitan mereka bertiga melewati lawan, meninggalkan beberapa orang Massimo Skinhead terkapar pingsan. Setelah sampai di dalam gedung, mereka menunggu Brady dan Verdi. Dan tak lama kemudian, 2 orang yang mengenakan balaclava muncul. Keduanya lalu membuka balaclava, Brady dan Verdi menyeringai.
“Hohohoho, akhirnya kita akan menyelesaikan urusan dengan bajingan-bajingan Catanzaro dengan Last Man Standing. Can’t wait.” Seru Brady.
Sasa bersama keempat orang tersebut lalu naik tangga menuju lantai 3. Setelah sampai di lantai 3, mereka melihat sebuah pintu dengan tanda X menyilang di depan. Sasa segera masuk dan ruangan tersebut cukup luas. Beberapa perabotan menja dan kursi berada di pinggir ruangan. Di sebelah kiri ada jendela yang mengarah langsung di jalan. Sasa melihat 5 orang sedang menatap pemandangan kekacauan di bawah mereka.
“Indah sangat indah sekali, kita manusia bergerak berdasarkan insting membunuh satu sama lain. Dalam kekacauan manusia tak lebih dari seekor hewan, yang kuat yang menang.”kata Ulises pelan lalu ia dan 4 orang lainnya membalikkan badan.
Dan kini musuh bebuyutan saling berhadapan satu sama lain.
“Bukan, kita bukan binatang. Kita manusia memiliki akal dan kecerdasan yang membuat kita bisa memilih tindakan. Tetapi hari ini, aku ingin memperjelas sesuatu. Tampaknya dari awal kamu memang menghendaki kekacauan ini terjadi. Aku tidak mau mereka, anggota Ultras lainnya yang hanya ingin mendukung kesebelasan kesayangan mereka bertanding terlibat kekacauan lebih jauh lagi.
Sebuah permusuhan turun-temurun dan sekarang di generasi kita, sudah mencapai taraf sudah tidak masuk akal. Jadi aku setuju denganmu, kita selesaikan hari ini. Tim yang kalah hari ini, di pertandingan derby pertemuan kedua di Stadio San Vito. Tidak akan datang. Satupun. Jika sampai ada yang datang, maka saya anggap itu sebuah tindakan pengecut sebagai bentuk lemahnya fungsi leader ultras.” Kata Sasa sambil menatap dingin ke arah Ulises.
“Hahaha. Deal. !!! Pasti menyenangkan mengalahkan kalian di dalam dan luar lapangan hari ini. Dan di pertandingan derby selanjutnya, Stadio San Vito akan kami penuhi dengan warna kuning-merah. Derby Calabria menjadi milik kami sepenuhnya.” Sahut Ulises.
“Sasa, kamu serius??Ini pertaruhannya sangat besar, besar sekali.”kata Dino pelan kepada Sasa.
“Hei Dino, apakah kamu pikir kita akan kalah melawan mereka.” Sergah Verdi.
“Oh iya Sasa, agar siapapun nanti pihak yang kalah tidak menyebarkan berita bohong, maka kita perlu ada saksi.” Kata Ulises.
“Saksi?”Tanya Verdi.
Blak.
Pintu terbuka. Lalu muncul 2 orang dari balik pintu. 1 pria bertampang misterius dengan rambut panjang berantakan menutupi sebagian wajahnya memakai kaos singlet putih, bercelana jeans mengenakan sepatu kets. Sambil merokok ia lalu bersandar di tembok. Sementara yang satu lagi, berambut Mohawk dan berpenampilan gotik serba hitam dan ia mengenakan lensa mata berwarna putih, membuat ia semakin seram.
“Mauro Morosini, leader Ultras Reggina dan Erik Beneditto, leader Ultras Crotone. Selamat datang kawan.”
Gila, 4 leader Ultras terbesar di region Calabria berkumpul di satu ruangan. Kalau dengan Erik kami sudah sangat mengenalnya, ia menjadi kolega kami karena hubungan Cosenza dengan Crotone yang baik. Dan ternyata ini sosok Mauro, leader Ultras Reggina yang terkenal itu. batin Martin.
“Tenang, mereka berdua hanya akan menjadi saksi mata. Jadi Sasa..apakah kamu sudah siap?”Tanya Ulises sambil mengepalkan tangan.
Sasa menatap Ulises lalu melepas kacamata dan menaruhnya di meja sampingnya.
Sementara ke delapan orang lainnya saling mencari lawan masing-masing. Verdi dan Raphael tentu saja sudah saling menatap semenjak beradu pandang. Brady menatap Julio, orang dengan postur paling besar di kubu Ultras Catanzaro lalu ia melepas jaketnya dan mulai merenggangkan badannya. Ia akan menjadi lawan paling tangguh yang pernah kulawan, batin Brady. Sementara Martin yang kemarin sudah terlibat adu mulut dengan Domi di Roxy Bar bahkan sudah terlibat saling ejek. Dino akan berhadapan dengan Luigi, orang yang terlihat paling kalem disbanding 4 temannya di Ultras Catanzaro.
“Dino, hati-hati. Luigi bukan orang sembarangan.”kata Sasa kepada Dino.
“Ya, aku sudah mendengar reputasinya. Ia kabarnya memiliki hubungan yang dekat dengan Cosa Nostra.”
Udara di dalam ruangan yamg pengap menjadi kian panas dengan hawa permusuhan. Last Man Standing adalah cara yang dulu biasa dipakai oleh 2 Ultras yang bersitegang untuk menyelesaikan masalah sekaligus, daripada terus menerus terlibat bentrokan yang melibatkan ribuan orang.
Last Man Standing adalah metode pertarungan tangan kosong dimana para leader antar ultras saling berhadapan, satu orang dinyatakan kalah jika ia menyerah maupun pingsan dalam perkelahian atau jika sama-sama saling bersikeras tidak mau menyerah, dia yang masih kuat berdiri di akhir pertarungan, dia yang menang. Biasanya memang melibatkan pihak ketiga sebagai saksi sekaligus menjadi penengah jika salah satu pihak ada yang bertindak melebihi batas sampai ingin membuat lawannya terbunuh.
Dalam kasus Ultras Cosenza vs Ultras Catanzaro mereka menggunakan 5 lawan 5. Mereka akan bertarung bersamaan, biasanya setiap orang sudah mempunyai “pasangan musuh tersendiri”. Jika ada 1 orang yang menang, ia akan membantu rekannya sehingga bisa situasi berubah dari 1 lawan 1 menjadi 2 lawan 1 bahkan 3 lawan 1 dan begitu seterusnya sampai semua lawan tumbang dan pemenang berdiri di akhir pertarungan. Maka dari itu siapa saja yang tumbang terlebih dahulu, ia akan membuat kelompoknya dalam posisi sulit.
Semuanya masih berdiri terpaku saling memandang lawan mereka masing-masing, belum ada yang bergerak seakan menunggu aba-aba. Dan begitu terdengar suara pintu yang tertutup karena tertiup angin seolah menjadi pertanda pertarungan dimulai.
Kedua kubu bergerak bersamaan dan pertarungan pun pecah.
Dino yang berhadapan dengan Luigi langsung menyarangkan pukulan kanan ke arah Luigi, tetapi Luigi bisa menghindar dan menunduk. Dino yang meleset menyarangkan pukulan menyadari posisi tidak menguntungkan. Dari bawah Luigi melepaskan uppercut tajam, Dino berusaha mengelak tetapi pukulan Luigi lebih cepat dan bammm dagu Dino bergetar menerima hantaman. Tubuh Dino langsung merosot tidak sadarkan diri.
Martin yang melihat Dino pingsan tak sempat khawatir karena ia sendiri sedang sibuk bertukar pukulan dengan Domi. Mereka berdua secara frontal saling jual beli pukulan tanpa berusaha menghindar ataupun menangkis. 5 menit kemudian mereka melepaskan cengkraman dan mengambil nafas sejenak, “Hei…Luigi kamu jangan ikut campur ke pertarungan saya,”kata Domi kepada Luigi sambil terengah-engah.
“Lihat ke depan, bodoh.” Kata Luigi singkat.
Tendangan kaki kanan Dino melayang ke arah Domi yang lengah dan tendangan tersebut mengenai samping leher Domi membuatnya terlempar dan pingsan tertelungkup dengan mulut berbusa.
“Wow tendangan yang luar biasa.”kata Luigi lalu merangsek maju ke arah Martin. Martin mewaspadai rentetan pukulan dengan berusah menghindar, dan 1 tendangan dengan susah payah ia berhasil blok. Lengan kiri Martin langsung nyeri. Sialan..jago banget dia, batin Martin.
Martin lalu berganti menyerang. Kombinasi pukulan cepatnya rupanya cukup merepotkan Luigi dan kemudian 1 pukulan kiri Martin tepat mengenai pipi kanan Luigi. Luigi kemudian terhuyung. Tak mau melepaskan kesempatan emas, Dino lalu melepaskan tendangan ke arah perut Luigi. Tetapi tendangannya berhasil ditahan oleh Luigi, bahkan kini kaki kanan Martin dijepit dengan tangan kiri Luigi. Martin dalam posisi berdiri dengan 1 kaki sadar ia dalam masalah besar. Dan benar saja, Luigi menekuk tangan kanan dan mengarahkan sikunya ke wajah Martin. Martin reflek menghindar ke kiri sehingga sikut Luigi berada di samping lehernya. Martin yang pernah belajar sedikit teknik bertarung lalu melompat dengan 1 kaki kiri dan tangan kanannya menarik tangan kanan Luigi.
Kaki kiri dan kaki kanannya yang sudah lepas berhasil menjepit tangan kanan Luigi. Keduanya kini jatuh berdebam di lantai dengan posisi Martin berhasil menangkap tangan kanan dan kedua kakinya menjepit lengan kanan Luigi. Dengan sekali puntiran ke 90 derajat ke kiri, terdengar suara bunyi persendian lengan kanan Luigi bergeser dan ia berteriak kesakitan. Martin segera berdiri lalu mengayunkan tendangan kaki kanan ke arah wajah Luigi. Luigi pingsan dengan hidung dan mulut berdarah serta sendi lengan kanan bergeser. Martin lalu jatuh terduduk ia tidak sanggup untuk berdiri lagi, wajahnya semakin lebam akibat luka bertukar pukulan dengan Domi sebelumnya.
Sementara ia beristirahat, Martin melihat 3 pertarunga lainnya masih berjalan semakin brutal. Ia melihat Brady yang berhadapan Julio, nampak wajahnya babak belur tetapi ternyata Julio lah yang memiliki luka lebih parah di wajah, bahkan pipinya membengka parah sampai membuat matanya kanannya sedikit tertutup. Martin tidak menyangka Brady rupanya cukup menguasai teknik tinju. Julio yang semakin kalap, melayangkan pukulan membabi buta ke arah Brady. Tetapi Brady dengan gerakan footwork lincah mencoba mengindar dan bergerak ke kiri.
“Cerdik sekali Brady, ia mengincar titik blindspot Julio yang mulai susah melihat ke arah kanan,” guman Martin.
Dan inilah saatnya!
1 pukulan Julio menyamping ke kanan dan ia bingung ketika Brady seperti menghilang dari pandangannya. Ia tidak menyadari jika Brady berada di sisi kirinya. Julia kemudian merasakan ada 2 tangan yang memegang kedua kepalanya dan menarik ke bawah. Hal terakhir yang Julio lihat adalah tempurung lutut kanan Brady beradu dengan wajahnya.
Julio terkapar pingsan dengan wajah yang mengenaskan penuh darah. Martin yang melihat finishing Brady takut lawannya mati. Tetapi ia lega ketika meskipun pingsan, Julio masih bernafas naik turun.
Brady lalu bergabung dengan Martin yang bersandar di tembok.
“Good move. Kenapa kamu tidak membantu Verdi?”
“Fuck man. My body is damn well beaten. Aku tadi terkena pukulan telak di rusuk kiri, bangsat. Tampaknya ada tulang rusukku yang patah.” Kata Brady terengah-engah, sesekali berbahasa inggris karena ia blasteran Irlandia- Italia.
Martin melihat rusuk kiri Brady bengkak kebiruan.
Keduanya lalu mengalihkan perhatian kepada 4 orang yang masih belum selesai bertarung.
Verdi menghadapi Raphael. Sasa berhadapan dengan Ulises. Tetapi tampaknya klimaks dari pertarungan ini sudah mencapai akhir. Verdi dan Brady sama-sama jatuh berlutut sambil mengatur nafas setelah saling bertukar tendangan. Verdi menyeringai dan terlihat giginya dipenuhi oleh banyak darah lalu ia meludah air ludahnya yang bercampur dengan darah. Sementara Raphael dari kedua lubang hidungnya juga mengucur darah yang banyak, ia menyeka hidungnya. 1 menit kemudian keduanya lalu berlari untuk saling memberikan serangan terakhir.
Raphael yang terlebih dahulu melayangkan pukulan ke arah Verdi. Sebelum pukulan tersebut terentang sempurna, Verdi menahannya dengan menyeruduk ke arah pukulan. Jelas saja Raphael yang lebih berteriak kesakitan karena tulang telapak tangannya retak karena kalah beradu keras dengan tulang cranium (tempurung). Verdi langsung berputar 360 derajat, tinju kirinya mengenai tulang hidung Raphael dan membuat ia limbung, disusul dengan tinju kanan menghajar pipi kanan Raphael, rentetan pukulan tersebut membuat Raphael terhempas membentur dinding.
Raphael sempat ingin bangkit tetapi kemudian roboh karena kehilangan kesadaran. Melihat lawannya telah tumbang, Verdi melihat ke arah Martin dan Brady yang bersandar di dinding. Dan Verdi melihat Sasa masih belum selesai berduel dengan Ulises. Dari samping, Verdi lalu melepaskan pukulan ke Ulises, Ulises yang tahu bahwa Verdi mencoba menyerangnya lalu menunduk kemudian menendang Sasa tepat di ulu hati yang membuat Sasa tertunduk sambil memegang perutnya.Setelah melumpuhkan Sasa sejenak, dengan tangan kiri Ulises melesakkan uppercut tajam ke arah perut Verdi, yang membuat ia otomatis menunduk. Ulises lalu menahan kepala Verdi dengan kedua tangannya.
“Kita lihat, mana yang kebih keras tempurung kepalamu atau tulang lututku.” Seringai Ulises.
Verdi yang masih kesakitan mencoba berontak tetapi ia masih kesakitan dan kehilangan banyak tenaga setelah berkelahi dengan Raphael.
BUK…BUK…BUKKKK.
Sasa melihat pemandangan mengerikan ketika Ulises 3 kali membenturkan ujung lutut kanannnya ke wajah Verdi yang kini berlumuran darah, beberapa giginya bahkan sampai copot dan berceceran di lantai yang bercampur darah. Verdi yang kehilangan kesadaran lalu jatuh merosot ke lantai.
“VERDIII…YOU FUCKING BASTARDDD..I KILL YOUUU !!”teriak Brady, melihat Ulises secara brutal menghabisi Verdi. Brady mencoba bangkit tetapi luka di rusuknya semakin bengkak.
“Tetap disitu, Verdi. Cepat telpon ambulan atau siapa saja, untuk membawa mobil kesini dan segera ke rumah sakit. Sebelum seseorang ada yang mati sia-sia di tempat ini.” Kata Sasa.
“Dan kau Ulises, sebaiknya juga segera meminta bantuan untuk membawa 4 temanmu ini. Dan sebaiknya kita hentikan pertarungan ini.”
“APA ??KAMU MAU MENGHENTIKAN PERTARUNGAN DI SAAT PUNCAK ADRENALIN SEPERTI INI. IDEALISMEMU SUNGGUH MEMBUATKU MUAK.” Teriak Ulises lalu menerjang ke Sasa. Sasa yang telah bersiap, meliuk-liuk menghindari pukulan-pukulan Ulises yang tajam. Ulises yang kesal karena pukulannya tidak ada yang kena, lalu menendang ke atas, Sasa lalu menunduk dan terasa ayunan kaki Ulises melesat di atas kepalanya.Entah apa yang terjadi jika aku terkena tendangan ini, batin Sasa.
Sasa melihat kesempatan untuk menyerang balik, Sasa mengayunkan kaki kirinya ke arah kaki kiri Ulises yang terbuka, sapuan kaki Sasa membuat Ulises limbung hendak jatuh sambil. Sasa segera berdiri dan tanpa ampun melepaskan tinju kanan dari arah atas ke wajah Ulises yang menengadah.
BUK..BUKK.
Dan 1 pukulan terakhir menekan wajah Ulises hingga ia terhempas dan terdengar suara benturan yang sangat keras. Ketika Sasa mengangkat tinjunya dari wajah Ulises, kulit-kulitnya terkelupas dan banyak darah. Darah yang berasal dari Ulises, yang mengerang pelan, berusaha bernafas karena tulang hidungnya bengkok dan patah.
“Apakah bajingan itu mati?”Tanya Brady, sambil menahan rasa sakit di rusuknya ia menghampiri Verdi.
Sasa yang pucat melihat luka yang ia timbulkan nampak khawatir. Ia lalu berteriak kepada Eric untuk segera menghubungi ambulan. Sementara Mauro tanpa ekspresi tampak gemetar, bukan karena gemetar ketakutan. Tapi gemetar karena adrenalinnya terpompa, darahnya menggelegak panas, melihat duel Ultras Catanzaro melawan Ultras Cosenza.
“Sasa..kita akan bertemu…cepat atau lambat.” Kata Mauro lalu menghilang.
“Dasar brengsek, main pergi begitu saja.”Kata Eric, lalu ia menelpon ke rumah sakit terdekat memberikan alamat gedung. Sementara bantuan dari anggota Cosenza sudah datang, Ivan datang bersama beberapa orang dan ia merasa ngeri melihat 7 orang menggeletak dengan kondisi mengenaskan dan 3 orang yang masih sadar juga sudah setengah sadar menahan sakit. Akhirnya mereka segera menggotong Dino dan Brady ke dalam mobil dan juga memapah Verdi dan juga Martin.
“Sasa, ayo cepat pergi. Sebelum polisi curiga dan ambulan datang.!!” Teriak Ivan kepada Sasa.
“Iya, Sasa dan kalian semua sebaiknya cepat pergi dari sini. Saya akan menunggu ambulan datang kesini lalu menyelinap pergi. Kerusuhan antara Ghetto Boys dan Massimop Skinhead juga sudah selesai. Banyak yang terluka baik dari pihak polisi, dan kedua belah kelompok. Polisi anti huru-hara datang tepat waktu dan menangkap para ultras. “ papar Ivan.
Dengan bimbang akhirnya Sasa segera masuk ke dalam mobil dan Ivan segera melajukan mobilnya kencang menuju rumah sakit di Cosenza.
Kita ini sebenarnya manusia atau hewan berwujud manusia….batin Eric setelah melihat hasil akhir duel yang mengerikan antara 2 kelompok Ultras yang saling menbenci satu sama lain. Sayup-sayup Eric mendengar suara ambulan, ia lalu membuka pintu ruangan lebar-lebar dan bergegas keluar karena ia tidak mau dijadikan saksi. Eric bersembunyi di gedung seberang dan melihat 3 ambulan datang, dan melihat para petugas paramedis yang panik tetapi tetap cekatan menggotong 5 orang secara bergantian masuk ke dalam mobil ambulan.
“Rage, Rage Against The Dying Of The Light”
-Dylan Thomas-
---------------------------------
Bersambung
Next Chapter:
Deep Lying Forward #17
Merry XXX-Mas & Happy-Fucking-New Year 2001
No comments for "DLF #17"
Post a Comment