Featured Post

LPH #46

Episode 46
Big Bang Part C


(pov : Yandi)


“Penuh gais.” kabar Yosi lesu kepada kami bertiga yang menunggu di luar studio musik AB.

“Wedyan, ini studio kelima yang kita datangin dan full booked semua,” keluh Zen.

“Gak bisa di tunggu ya?” tanyaku kepada Yosi.

“Penuh Yan sampai ntar malam,” tegas Yosi.

“Ini sepertinya studio pada full booked karena banyak di pakai band-band karbitan seperti kita,” celetuk Xavi.

Sepertinya iya, gue tadi di dalam lihat ada beberapa anak kelas 1 yang lagi duduk-duduk nunggu. Pensi kita memang gila sih, wajar kalau banyak yang mau tampil disana pas Hari-H. Giman? mo coba cari tempat lain gak? Distrik X2 sana paling. Soalnya gue yakin studio lain yang daerah sini juga penuh.”

“Males gue Yos kalau sampai kesana,” tukas Zen.

“Jadi gak jadi latihan nih kita ? Gimana Yan?” tanya Yosi sambil menatapku.

“Ya mau gimana lagi, gak jadi latihan hari ini, jawabku dari atas motor Yosi.

“Tapi kalau studio daerah sini full booked terus, masak iya kita ga latihan terus. Padahal udah mulai asyik nih kita main band, terutama si Xavi nih. Udah pinter atur tempo dan nafas. Gini aja, ntar malam gue kontak teman gue yang punya studio langganan gue dulu waktu SMP. Tempatnya memang agak jauh sih, di distrik X4 sono tetapi tempatnya asyik, alatnya juga oke. Gimana?”

“Boleh tuh idemu Yos! Gimana Zen, Xavi? Setuju?” tanyaku.

“Gue ngikut aja, tapi besok aja deh, capek gue,” sahut Zen.

“Iya lah, ga mungkin sekarang. Pokoknya biar ntar gue telpon teman gue dulu itu deh. Kalau udah fix, gue kabarin elo pada,” kata Yosi sambil menaiki motor Maticnya.

“Elo gimana Xav? Setuju gak sama ide Yosi?” tanya Zen ke Xavi yang duduk di belakang jok motornya.

“Ehmmmm....”

“Ehhm apaan?”

“Kalian mo pada langsung pulang nih?” Xavi malah balik bertanya ke kami.

“Ya kalau ga jadi latihan, aku mau pulang,” jawabku.

“Sama, gue juga mau pulang aja. Eh, Xavi, gue gak nganter elo ya. Tar lo naik Go-Jek dari rumah gue aja,” ujar Zen.

“Ya elah, tanggung amat. Ini tinggal lurus 10 km udah sampai rumah gue,” tukas Xavi.

“Iya memang deket, tapi arah rumah elo itu macet.”

“Kalau elo nganterin gue pulang, elo boleh ambil 3 DVD ori bokep gue deh.”

“Gak minat. Koleksi bokep elo kebanyakan bukan selera gue sih.”

“Gue abis beli online banyak kemarin. Ada yang BDSM, Slave. Dan semua yang main aktris kesukaan elo, Mari Rika,” ujar Xavi mencoba membujuk Zen.

“Mari Rika? Deal !”

Keduanya lalu toss.

“Dasar elo pada maniak bokep,” kata Yosi datar.

“Kayak elo bukan maniak bokep aja. 4 DVD Shion Utsunomiya punya gue aja uda 2 bulan belom elo balikkin,” sindir Xavi.

“Hahaha masih inget elo ya? Gue pikir elo udah lupa,” jawab Yosi sambil nyengir.

“Cik, gak mungkin gue lupa. Shion Utsunomiya itu salah satu bintang JAV kesayangan gue nomor 3.”

“Nomor 3? Nomor 1 dan 2 siapa?”

“Shion Utsunomiya nomor 3, Mako Oda nomor 2 dan Momoka Nishina tetap nomor 1 di hati gue,” papar Xavi dengan ekspresi lucu.

“Mako Oda? Sejak kapan elo doyan MILF? Bukannya dulu yang nomor 2 Mei Matsushita?” celetuk Zen.

“Hahaha anjing elo berdua, expert bokep !” ujar Yosi tertawa.

Dan aku juga ikut tertawa. Ah mereka memang teman yang menyenangkan. Dari tema betapa susahnya cari studio musik kini sudah berganti tema membahas tentang bokep. Ini kalau ada Vinia, udah pasti mencak-mencak dia.

“Udah-udah, cabut yuk ah. Panas ini,” kata Zen.

“Yos, elo mau kemana abis ini?” tanya Xavi.

“Gue kemana ya? Gue gak langsung pulang, main ke kosan Dea paling,” jawab Yosi.

“Ke kosan Dea? Cieh, udah jadian lo sama Dea? Kok gak traktiran sih. Kalau gak ada traktiran, masa pacaran elo sama dia gak akan awet loh,” goda Xavi.

“Belum jadian, ga taw sih bakal jadian atau enggak. Gue sama Dea santai sih, ga terlalu ngejar kata jadian, yang pasti gue sama Dea sama-sama nyaman aja,”

Aku cukup surprise ketika kami beberapa hari yang lalu ketika kami berempat sedang bersantai di rumah Xavi, tiba-tiba Yosi bercerita bahwa ia tengah dekat dengan seorang cewek dari sekolah lain. Cewek tersebut bernama Dea kelas 2. Lebih tepatnya anak kelas 2 SMA SWASTA XXX. Aku sih antusias mendengarnya karena aku dan Yosi jadi sama-sama memiliki persamaan, yakni sama-sama punya cewek dari anak SMA SWASTA, hehehe. Namun Zen dan Xavi memperingatkan Yosi agar lebih hati-hati biar kejadian perkelahianku dengan Puput tempo hari gak terulang. Santai saja, jawab Yosi pada waktu itu.

“Gak jadi ding. Nih Dea barusan WA gue, dia lagi gak di kosan, lagi jalan sama teman-temannya, ujar Yosi.

“Haha gak dapat jatah nih ye, udah daripada langsung pulang, elo sama Yandi ke rumah gue aja sekalian. Santai disana, bujuk Xavi.

“Gue sih oke aja, lagi males langsung pulang sih. Elo ikut Yan?” tanya Yosi.

“Ah Yandi mah buru-buru pulang karena mau pacaran sama Dita. Enak banget ya punya pacar rumah depan-depanan. Mau nakal dekat tinggal nyebrang haha” celetuk Xavi.

“Sialan. Dita hari ini gak di rumah, hari ini jadwal les dia sampai malam.”

“Nah tu cocok, pacar kalian mumpung sedang sibuk sendiri. Udah kalian berdua ke rumah gue aja yuk,” bujuk Xavi.

“Kami dikasih apa nih kalau ngikut ke rumah elo? Zen aja dapat kaset bokep,” tanya Yosi.

“Anjir, itungan banget sih elo main ke rumah teman. Sebenarnya gue mau tunjukkin kalian sesuatu di rumah gue nunggu Vinia sekalian, tetapi karena Vinia lagi susah nongkrong sama kita dan hari ini kalian semua sedang ada waktu, yawdah gue mau kasih lihat kalian hari ini,” papar Xavi sambil menatap kami bertiga.

“Apaan dah? Sok misterius elo?” tukas Yosi.

“Paling mau nunjukkin koleksi baru JAV,” kataku.

“Menebak-nebak itu berat. Kalian tidak akan sanggup. Kalian langsung lihat saja sendiri,” sahut Xavi mantap.

“Dasar elo korban Dilan. Ayo Yan, naik. Udah panas banget ini,” kata Yosi. Aku mengangguk lalu menbonceng naik motor Yosi.

“Sippp ! Ayo meluncur ke istana guee! Yihaa!” seru Xavi yang entah kenapa terlihat antusias. Dia punya kejutan apa sih? Penasaran.

***

Sekitar setengah jam kemudian, akhirnya kami sampai di rumah eh bukan istana Xavi. Ketika kami bertiga hendak menuju di gazebo belakang rumah, Xavi meminta kami untuk mengikutinya masuk ke dalam rumah lewat pintu utama. Selama ini kami jarang sekali masuk ke bagian dalam rumahnya. Biasanya setelah parkir motor, kami ke belakang taman melalui area di samping rumahnya. Kami masuk ke kamar Xavi yang berada di lantai 2 pun lewat tangga yang ada di luar dekat kolam renang. Jadi kami biasa ke kamarnya tanpa melewati bagian dalam rumahnya. Sehingga ini akan menjadi kali pertamanya kami masuk lewat pintu utama yang berada di depan. Pintu utama yang sangat besar dan megah laksana pintu gerbang istana menyambut kami. Xavi kemudian mendorong pintu utamanya.

“Wooow,” begitu komentar kami bertiga bersamaan ketika pintu utama rumahnya yang berdiri tegak dan mewah terbuka dari luar. Jelas saja kami berdecak kagum, karena rumah Xavi memang sungguh luar biasa mewah bak istana. Semuanya nampak mengkilap dan bersih terawat. Jangan tanya deh bagian furniturenya, kelihatan mahal. Eh bukan kelihatan lagi tetapi pasti sangat mahal sekali! Bagian dalam rumah eh Istana Xavi ini terlihat lapang dan lega karena bagian langit-langitnya yang tinggi. Sebuah lampu kristal berukuran besar yang tergantung di atas sana, menegaskan keelokan interior rumah. Agak di belakang, nampak tangga yang berpagar logam berwarna keemasan yang elegan menjadi penghubung ke lantai 2 dan 3.

Dari depan memang kelihatan rumah Xavi itu bergaya Eropa karena terlihat adanya 4 pilar kokoh yang menjulang di teras, tampilan pintu utama yang mewah, balkon di lantai 2 dan 3, jendela besar berbentuk persegi panjang dengan sudut-sudut tegas dengan bagian atas yang melengkung. Dari tampilan eksterior depan memang sudah pasti rumah Xavi ini, bagian interor pasti sangat memukau. Dan memang benar adanya. Jangankan saya anak yang dari kampung, Yosi dan Zen yang notabene besar di perkotaan pun terpukau melihat interior rumah Xavi.

“Eh elo ngapain copot sepatu Yan?” tanya Xavi heran ketika aku menenteng kedua sepatuku.

“Loh, yang namanya masuk rumah, apalagi rumah orang kan mesti copot sepatu. Gak sopan kalau masuk ke rumah orang masih pakai sepatu. Zen, Yosi. Kalian ga copot sepatu?” tanyaku.

Zen dan Yosi saling berpandangan kemudian tertawa terbahak-bahak. Emang ada yang salah atau lucu dengan omonganku barusan ya?

“Ya ampun Yan, pakai lagi sepatumu ! Santai aja sama guee, gak usah lepas sepatu segala.”

“Nanti kotor lantainya gimana?”

“Biarin, ntar ada yang bersihin.”

“Sepatuku kotor lho!”

“Biarin, ntar ada yang bersihin.”

“Tar Ibumu lihat aku masih memakai sepatu di dalam rumah, gimana?”

“Mamah gue lagi gak disini, masih di luar negeri.”

“Aduh sungkan aku rasanya pakai sepatu Xav.”

Xavi menepuk jidatnya, sementara Zen dan Yosi malah tertawa makin keras.

“Pokoknya pakai dulu sepatumu ! Cepetan !” tukas Xavi kesal sampai berkacak pinggang.

“Tapi-”

“Udah lah Yan, pakai saja sepatu elo. Ini yang punya rumah udah ngijinin elo pakai sepatu di dalam rumah, hahaha,” ujar Yosi memutus perkataanku.

Akhirnya aku pun memakai kembali sepatuku.

“Nah gitu. Ayo gais kita ke atas,” ujar Xavi sambil berjalan mendahului kami. Kami bertiga lalu bergegas mengikutinya dari belakang.

“Gile nih rumah elo, gak takut elo tinggal sendirian eh berdua doang dengan nyokap elo di rumah begini besar, apalagi kalau pas nyokap lo sedang gak di rumah, lo pasti sendirian,” celetuk Yosi.

“Ngapain takut ? Masak di rumah sendiri takut. Gue gak sepenuhnya tinggal sendirian di sini meskipun Mamah sedang pergi ke luar kota atau luar negeri. Karena di bagian belakang sana ada sekitar 7-8 kamar yang biasanya ditempati para pembantu, sopir, tukang kebun.

“Gak ada hantunya di sini?” celetuk Zen.

Xavi tiba-tiba berhenti berjalan dan menengok ke belakang.

“Pertanyaan yang sangat jenius sekaligus bodoh. Gak ada hantu di sini ! Pocong apalagi. Bisa kepleset kalau ada pocong lompat-lompat di lantai rumah,” jawab Xavi dengan mimik muka serius, sementara aku dan Yosi malah tergelak mendengar pertanyaan Zen sekaligus jawaban absurd dari Xavi.

“Kira-kira dong Zen kalau nanya. Di rumah mewah bergaya Eropa seperti ini gak mungkin ada pocong, kita yang manusia aja sungkan masuk ke dalam rumah, apalagi pocong. Lagian kalaupun ada hantu, bukan pocong, kuntilanak dan hantu asli Indonesia tetapi hantu khas Eropa seperti zombie, drakula, vampir wahahahaha!” kata Yosi.

“Zombie bukan dari Eropa kali Yos, kasus pertama zombie malah ada di Pulau Haiti, Karibia Amerika Selatan tahun 1850an. Mereka yang jadi zombie bukan sepenuhnya orang yang sudah mati, melainkan orang yang pikirannya sudah dikendalikan oleh seorang Shaman atau dukun dengan ilmu hitam voodoo, pikiran dan akal mereka sudah hilang sama sekali,” papar Zen.

“Loh Zombie ada beneran toh? Gue pikir cuma fiktif doang di film.”

“Ada beneran. Voodoo itu sebagai mantra yang menggerakan dan memerintahkan para zombie disana. Dukun disana malah menggunakan media zat beracun untuk mengambil kesadaran pikiran orang yang akan dijadikan zombie.”

“Media zat beracun? Maksudnya obat-obatan?”

Zen mengangguk.

“Para dukun voodoo menggunakan kulit katak Bufo dan ikan Pufer untuk membuat seseorang menjadi zombie. Kulit katak jenis Bufo itu sangat berbahaya ,terdapat beberapa kandungan kimia yang bersifat racun mematikan didalamnya, yaitu biogenetik amina, bufogenin, dan bufotoksin. Sedangan ikan Puffer dikenal di Jepang dengan nama Fugo. Racunnya disebut tetrodotoksin, racun saraf yang mematikan. Efek penghilang rasa sakitnya 160.000 kali lebih kuat daripada kokain. Memakan ikan jenis ini bisa membuat pingsan seketika karena kandungan racunnya. Di Jepang, banyak orang yang mati setelah menyantap ikan jenis ini, karena tetrodotoksin dengan cepat menurunkan suhu tubuh dan tekanan darah, selain itu dapat menyebabkan orang yang memakannya mengalami koma kalau tidak segera mendapat pertolongan.”

Sambil menjelaskan pemaparan Zen tentang zombie, Xavi membawa kami naik hingga lantai 3.  

Selain menggunakan racun dari kulit katak Bufo dan ikan Puffer, ada ramuan beracun lain yang berasal dari tumbuhan. Datura adalah sejenis rumput Jimson yang memiliki nama latin Brugmansia Candida. Tumbuhan ini mengandung bahan kimia Atropin, Hyoskiamin dan Skopolamin yang apabila dikonsumsi akan menyebabkan seseorang kehilangan ingatan. Jika orang tersebut mengkonsumsinya telalu banyak, bisa berujung dengan kelumpuhan dan kematian. Salut gue sama dukun atau Shaman dari Haiti karena bisa mengetahui khasiat racun tersebut. Karena Shaman bukanlah orang sembarangan, mereka adalah orang terampil dalam mengekstrak racun kimia, mengolahnya sedemikian rupa sehingga menjadi media utama yang mereka pakai untuk menjadikan orang lain sebagai zombie. Seorang Shaman harus bisa memperkirakan takaran secukupnya pada manusia yang mau dijadikan zombie karena kalau dosisnya terlalu banyak meskipun hanya dalam hitungan miligram, calon zombie bisa mati beneran. Bahkan si Shaman bisa ikutan mati kalau secara tidak sengaja terkena racun tersebut,” ujar Zen.

“Bangke lu Zen, lu tahu banget sih masalah ginian, jangan-jangan elo yang memang jenius di bidang Kimia, berniat jadi shaman?” tanya Yosi.

“Hehe mungkin, seorang Shaman modern yang bekerja di sebuah laboratorium canggih. Cabang ilmu yang mempelajari racun biasa disebut Toksikologi. Mengeskplorasi racun-racun paling mematikan di dunia itu cita-cita gue.”

“Sakit elo Zen, cita-cita kok jadi dukun di lab !” tukas Xavi.

“Hahaha ngeriiii teman gue ini mau jadi seorang ahli racun. Sepertinya kini gue ngerti kenapa elo suka menggambar tengkorak,” ujar Yosi.

Zen cuma tersenyum santai mendengar perkataan Yosi.

Sepertinya baru kali ini Zen menjelaskan ketertarikannya dengan sangat gamblang tentang suatu hal. Dan hal tersebut adalah racun. Bahkan dia bilang ingin menekukin dunia Toksikologi sebagai cita-citanya. Zen serius ketika mengatakan hal tesebut karena saat ia menceritakannya, sekilas matanya nampak menyala-nyala seperti berbinar-binar.

Toksikologi, Tengkorak dan Zen.

Hmmmm...

Saking asyiknya ngobrol, kini kami berempat sudah ada di lantai 3, lantai yang belum pernah kami sambangi. Ujung tangga membawa kami kepada sebuah area minimalis yang cukup lapang. Aku bilang minimalis karena hanya ada beberapa kursi tanpa meja. Selebihnya hanya lantai keramik kecoklatan tanpa alas. Di ujung sana setelah aku perhatikan ada semacam pintu. Aku nyaris tidak bisa melihat ada pintu disana karena pintu tersebut berwarna senada dengan dinding di sekitarnya yakni hitam. Kenop pintu logam dan sebuah jendela kecil di bagian tengah pintunya yang membuatku ngeh bahwa itu adalah sebuah pintu. Ruangan di balik pintu tersebut sepertinya gelap gulita. Entah ruangan apa itu.

Dan kini Xavi serta kami bertiga mendekati pintu tersebut. Xavi memegang knop pintu lalu memandang kami.

“Kejutan untuk kalian ada di balik pintu ini,” kata Xavi dengan nada bangga.

KLIK

Xavi memutar kenop pintu dan mendorong pintu ke dalam. Karena penasaran, kami bertiga melongok ke dalam.

Gelap gulita.

“Ayo kalian masuk,” pinta Xavi sambil meminta kami untuk masuk.

“Eh ada apaan di dalam? Awas kalau elo ngasih prank ke kami dengan hantu-hantuan. Gue potong titit elo!” kata Yosi.

“Yaelah Yos, elo ngebut naik motor 150 km/jam aja berani, ini cuma gue suruh masuk ke dalam ruangan gelap udah jiper. Gak malu lo sama knalpot,” cibir Xavi.

“Masalahnya gelap disana, lo nyalain lampu di dalam dulu kek, baru gue masuk.”

“Yan, masuk yuk ah, capek gue dengan nih dua orang debat gak jelas,” bisik Zen kepadaku.

Aku tertawa sambil mengiyakan ajakan Zen. Kami berdua lalu berjalan santai masuk ke dalam. Dan tak lama kemudian di susul oleh Yosi di tengah suara tawa Xavi. Aku langsung bisa mencium hawa ruangan yang nampak dingin ini. Ini bau khas ruangan yang ber AC. Karpet di kaki juga terasa tebal dan empuk sekali. Ini seperti berada di dalam sebuah ruangan bioskop.

“Anjing, gelap banget sih ini!” ini gudang ya?” teriak Yosi ketika kini kami bertiga berdiri di tengah kegelapan.

“Ini dulu tempat gue menyimpan barang-barang kesukaan gue seperti komik, kaset dan lain sebagainya. Tetapi sejak minggu lalu, ruangan ini sudah di alih fungsikan menjadi..........”

Xavi seperti sengaja menggantung penjelasannya.

“Apaan? Kamar mandi terbesar di Kota XXX?” tukas Yosi tak sabar.

Xavi berdehem, seolah dia sudah mempersiapkan kata-kata yang sebentar lagi akan ia ucapkan kepada kami.

KLIK

Tiba-tiba lampu di ruangan ini berpendar menyala.

“menjadi...sebuah studio musik pribadi.”

Kami bertiga terkejut bukan main karena begitu lampu menyala, ternyata saat ini kami berdiri di tengah ruangan studio musik lengkap dengan segala macam peralatannya. 1 set drum, 3 stand mic dan kotak yang berisi 4 gitar dan 1 bass merk Fender. Seluruh ruangan ini baik lantai maupun dindingnya sudah berlapis karpet tebal berwarna hitam sebagai peredam dengan sentuhan panel yang terbuat dari kayu mengelilingi ruangan. Minimalis, simpel tetapi terlihat sangat keren ! Ini adalah studio musik paling bagus yang pernah aku lihat langsung! Di depan kami ada 1 sofa besar dimana Xavi tengah duduk bersandar dan tersenyum lebar kepada kami.

“Selamat datang di Studio Musik pribadi gue, heeee!”

“Dasar Sapiiiii!”

Kami bertiga berteriak bersamaan dan menghambur ke arah Xavi, ahahhahhahaha!!


***

“Eh rupanya Vinia nelpon gue dari tadi?” ujar Xavi ketika jam 7 malam kami turun ke bawah untuk beristirahat setelah 3 jam lebih kami keasyikan latihan band di studio musik yang ada di rumah Xavi. Gimana gak semangat coba kami latihan karena excited dengan kejutan dari Xavi. Dengan adanya studio musik pribadi di rumah Xavi kini kami tak perlu pusing mencari studio untuk latihan.nDi sini kami bisa main musik sampai puas. Xavi meminta agar setiap sore jam 6 kami berkumpul di rumahnya untuk latihan. Zen setuju. Cuma aku dan Yosi yang agak keberatan kalau setiap hari latihan.

“Sabtu minggu jangan deh, senin sampai jumat saja.” kata Yosi.

Aku sependapat dengan Yosi.

Xavi menatap kami berdua. “Oh iya, itu jadwal kalian berasyik-masyuk dengan pacar ya,” sindirnya.

“Nah itu tahu, haha,” sahut Yosi.

Akhirnya kami menyepakati setiap senin sampai jumat jam 6-8 malam kami berkumpul di rumah Xavi untuk latihan ngeband, sampai hari terakhir sebelum audisi . Sebenarnya aku keberatan sih kalau tiap hari pulang malam terus karena pasti di omelin sama Mbak Asih, tetapi Xavi bilang kita latihan setiap hari di weekday sampai waktu audisi yang berlangsung sebulan lagi. Lolos atau enggaknya, nanti di pikir lagi. Setelah aku pikir memang benar sih penjelasan Xavi. Biar Mba Asih gak ngomel, aku bisa ngerjain PR sebelum ke rumah Xavi atau bantu beres-beres di warung. Oke.

“Eh kalian mau makan apa ? Pizza mau? Kalau mau gue ordet Pizza Hut nih,” kata Xavi ketika kami berempat duduk-duduk di gazebo belakang taman dekat kolam.

“Boleh, lo pesan yang black Pizza aja, enak banget tuh gue kemarin beli. Pesan yang large !” ujar Yosi.

“Gue ngikut aja, yang penting cepat,” kata Zen.

“Sama, aku ikut aja,”

“Biasanya gue order gak sampai 15 menit uda datang bro. Oke deal ya, gue pesan Black Pizza Large 2 boks, French Fries, Garlic Bread dan 4 Coca-Cola,” kata Xavi.

Xavi kemudian turun dari Gazebo dan menelepon Pizza Hut Delivery.

Dan benar perkataan Xavi, belum sampai 15 menit, pesanan kami sudah datang. Dan dalam sekejap 1 Black Pizza Meat Monta ukuran Large yang masih hangat, langsung ludes kami santap bersama-sama karena saking laparnya setelah latihan ngeband 3 jam nonstop dengan penuh semangat. Di saat kami hendak membuka box selanjutnya, tiba-tiba terdengar suara yang sangat kami kenal.

“Aaahhhhh mintaa doonggg !Dasar ih pada makan-makan gak ajak-ajak, di telepon gak ada yang ngangkat !”

Kami menengok ke arah suara dan melihat Vinia yang masih mengenakan seragam Batik mendatangi kami. Ia mengambil potongan Pizza paling besar dan menghabiskan sendiri 1 sachet saos sambal. Sadar kami berempat menatap Vinia yang makan dengan sangat lahap, Vinia cuma nyengir. “Gue laper ! Heee!” Dan box kedua pun ludes lebih cepat karena kini kami berlima memakannya.

“Kamu baru balik dari sekolah Vin?” tanyaku ketika kami berlima terduduk sambil senderan di gazebo karena kekenyangan.

“Iya, meeting OSIS baru kelar jam 5 karena si Akmal itu orangnya ternyata perfeksionis banget nyiapin detail acara. Apalagi setelah kami dapat kabar kurang mengenakkan dari beberapa bintang tamu yang sebelumnya udah oke untuk tampil, tiba-tiba membatalkan perjanjian karena alasan yang kurang jelas. Jadi makin uring-uringan dia.”

“Hah ada yang batal? Pliss bintang tamu luar negeri jangan ada yang batal dong!” ratap Xavi.

“Buset ada yang batal? Jangan sampai Babymetal yang batal nih ! Yang lain gue bodo amat!” tukas Zen.

“Oi Paramore jangan batal lagi donggg !!!” ujar Yosi gak mau kalah.

“Hantaman aman kan?” tanyaku karena aku ngefans banget sama Hantaman. Dari beberapa video Hantaman ketika mereka tampil live yang aku lihat di Youtube, amazing banget atmosfer konser mereka. Terutama di video liveshow ketika mereka main di Fuji Rock Festival. Rasanya ikut bangga bisa melihat ada band Indonesia tampil disana dan mereka memanfaatkan kesempatan besar tersebut dengan total dan luar biasa.

Vinia menatap kami. “Paramore, Babymetal, Hantaman.....done deal. Udah teken kontrak dengan manajer mereka beberapa hari lalu di Singapore.”

Fiuhh, aku, Zen dan Yosi langsung bernafas lega mendengarnya.

“Wuih tuh panitia sampai ke Singapura segala buat teken kontrak. Keren juga anak OSIS sekolah kita,” puji Xavi

“Haha aslinya pada jiper tuh ketemu sama manager band artis sekelas mereka. Karena ada Pak Tomo dan Bu Elsa yang mendampingi, makanya jadi berani. Ah gue padahal pengen ikut kesana, tapi jadwalnya bentrok dengan acara gue syuting video clip gue. Huft,” papar Vinia.

“Bu Elsa ikut kesana juga?” tanyaku. Bu Elsa adalah guru musik sekaligus pengampu ekstrakulrikuler Seni Musik. Beliau terhitung masih baru mengajar di sekolah. Ya hampir bareng masuknya dengan kedatangan Pak Tomo.

“Iya, dia ikut. Rupanya Bu Elsa sebelum memutuskan jadi guru seni musik di sekolah kita, dia pernah bekerja di label Sony Music Indonesia loh. Jadi urusan ketemu manager dan mengurus kontrak konser, Bu Elsa udah jago banget, Ih makin iri gue karena ga bisa ikut kesana,” gerutu Vinia.

“Woah pantes, mantan orang label. Dari awal masuk ke sekolah, Bu Elsa seperti ga punya potongan jadi guru. Terlalu cantik dan seksi. Tapi baguslah jadi pada semangat kalau pas mata pelajaran Bu Elsa haha,” komen Yosi.

“Bener Yos, apalagi kalau pas Bu Elsa lagi menghadap papan tulis. Alamaakk itu pantatnya nonjol banget! Apalagi Bu Elsa sering memakai rok sewaktu ngajar, uihh kadang jadi pengen cepat pergi ke kamar mandi,” celetuk Xavi.

“Itu di spank pantatnya enak banget kali ya,” tambah Zen.

“WOIY ADA PEREMPUAN NIH DI SINI !! DASAR OTAK MESUM LO PADA !” tukas Vinia kesal.

“Yaelah Vin, gue pikir elo uda hapal tema favorit para cowok kalau ngobrol,” sahut Xavi santai.

“Iyaaaa ! Tapi ngomongin hal seperti itu gak di depan gue juga kali, lo dasar Sapi !”

“Yah daripada teman-teman cowok yang elo cintai ini, ngobrolin pantat cowok, mending ngobrolin pantat Bu Elsa kan. Kenapa Vin, pantat elo kalah saing ya dengan Bu Elsa hahahaha!”

Kali ini Vinia bukan cuma ngomel, tetapi langsung menyerbu Xavi dan mencubit pinggangnya keras-keras sampai Xavi berteriak kesakitan. Aku, Zen dan Yosi tertawa terpingkal-pingkal melihat Xavi disiksa Vinia sampai meringis kesakitan.

“Udah-udah. Kalian berantem kayak anak Sapi dengan tukang jagal, haha. Vini, yang batal tampil siapa sih?” tanya Yosi.

Setelah kembali duduk dengan tenang, Vinia menjawab. “Nih yang batal tampil. Dari luar yang batal cuma Luis Fonsi. Yang dari Indonesia yang batal Raisa dan Isyana.”

“Bodo amat sih kalau gue 3 orang itu batal. Gak suka juga gue dengan musik mereka. One hit wonder.” kata Zen.

“Aaaaarrghhh Fonsi batall,” ujar Xavi.

“Raisa, Isyana bukan one hit wonder kali. Musik mereka bagus ! Gue suka banget. Gagal deh ketemu langsung sama 2 penyanyi yang cantik-cantik dan suaranya bagus,” tukas Vinia.

“Hmm Ed Sheeran berarti tetap main kan ya?” tanyaku.

“Jadi, fee nya udah kita kirim. Lusa mungkin tanda tangan perjanjian show si Ed di Jakarta dengan managernya,” terang Vinia.

“Jadi pengganti Fonsi, Isyana dan Raisa siapa?” tanyaku.

“Sepertinya gak ada. Karena keterbatasan waktu. Show di 30 Desember itu banyak artis top yang udah punya jadwal padat. Pak Tomo juga setuju sih, kita gak usah cari pengganti ketiganya. Jadi bintang tamu yang 100% udah pasti tampil tuh dari luar ada Paramore, Ed Sheeran dan Babymetal. Dari Indonesia ada Hantaman, Rich Brian dan Bondan Prakoso feat Fade 2 Black.”

“Wuih mantaap. Gak ada Fonsi, ketemu Rich Brian yang sedang populer di Amrik sana, udah bikin gue semangat latihann ! Eh guys, latihan lagi yuk !” ujar Xavi bersemangat.

“Woi jangan di forsir, kalem aja. Tuh lagu Fight-nya Riff aja lo masih berantakan nafas,” sahut Yosi.

“Maka dari itu mesti rajin latihan!”

“Kalian abis latihan? Main di studio mana?” tanya Vinia.

“Studio musik gue lah !” tukas Xavi sambil menepuk dadanya. Haha sombong.

“Eh uda jadi studio musik elo Xav?” tanya Vinia sambil mengunyah garlic bread. Vinia cuma senyum-senyum karena aku memperhatikannya masih aja ngunyah makanan. “Gue masih lapar Yan, hehe,” lanjutnya sambil makan dengan cuek di depan kami. Aku cuma tertawa saja melihatnya.

“Udah dong. Beberapa hari lalu,”

“Eh Vin, kamu tahu Xavi mau bikin studio musik pribadi?” tanyaku.

Vinia mengangguk.

“Tahu. Beberapa waktu yang lalu nih Sapi minta tolong di kenalin sama salah satu pemilik studio musik. Xavi mo bikin studio musik sendiri karena capek latiha di tempat orang mulu. Karena Xavi bilang, soal budget bukan masalah, jadi ya gue kenalin sama bang Aria, pemilik Grage Music Studio, studio yang biasa gue dan anak-anak biasa latihan. Grage Music Studio kan salah satu studio musik terbaik di Kota XXX ini. Yang desain interor dan eksteriornya bang Aria sendiri karena dia lulusan Sarjana Arsitektur gitu.”

“Yoi, bersyukur gue ,elo ngenalin bang Aria ke gue Vin. Orangnya humble banget, bahkan dia mau gue repotin bikin detail budget untuk membangun studio musik lengkap dengan peralatannya. Ketika budget dari bang Aria di setujui Mamah gue. Gue langsung minta tolong Bang Aria sendiri yang desain interiornya dan hasilnya elo bisa lihat kan guys,” ujar Xavi.

“Woh pantess, Aria owner-nya Grage Music Studio sih yang bantu desain. Minimalis tetapi cakep banget ! Alus!” sahut Yosi.

Aku dan Zen mengamini perkataan Yosi barusan.

“Elo kasih bang Aria fee kan Xav? Gak cuma minta tolong doang?” tanya Vinia.

“Ya iyalah, meskipun bang Aria bilang selalu nolak kalau gue bayar jasanya, tetapi gue paksa terima. Hari ini gini, repotin orang dengan bikin rancangan biaya studio musik dan desain interiornya gak mungkin dengan ucapan terimakasih. Setelah memaksa bang Aria sampai gue capek dan gagal terus, akhirnya Mama gue yang turun tangan dan menelepon langsung bang Aria. Entah apa yang dkatakan yang Mamah yang jelas kemudian bang Aria bersedia mendapatkan persenan dari proyek pembuatan studio musik pribadi gue di rumah. 2 minggu pengerjaan nonstop dan akhirnya baru selesai beberapa hari yang lalu.”

“Sepertinya tidak ada yang bisa melawan permintaan Mamamu yah, hehe. Eh, kita ke atas yuk. Gue penasaran pengen lihat studio mu kayak gimana.”

“Ayok.”

Ketika Vinia dan Xavi sudah berdiri, sementara kami bertiga masih duduk-duduk santai, Vinia meminta kami untuk ikut ke atas. Sebenarnya selain capek dan udah jam 6 sore lebih kami bertiga mau pulang tetapi Vinia terus memaksa kami untuk ikut ke atas. Karena terus di paksa bercampur merengek dan mengancam, akhirnya kami bertiga ikut Vinia dan Xavi naik ke studio musik yang berada di lantai 3 rumah Xavi. Reaksi pertama Vinia ternyata kurang lebih sama seperti kami tadi sore, kaget dan amazing banget. Vinia yang sudah sering latihan di berbagai studio musik saja masih terkagum-kagum.

“Gila ! Ini keren banget ! gue suka minimalis hitam gini nih! Tuh palet kayu di dinding juga membuat tampilan semakin cakep ! Simple yet awesome! Sapi, kalau di rumah gue punya studio pribadi kayak gini, seminggu sekali gue bisa bikin satu lagu nih !” ujar Vinia sambil berkeliling. “Alat ini siapa yang milih Xav?” tanya Vinia sambil mengambil salah satu dari gitar yang diletakkan di box.

“Bang Aria semua yang miilihin. Pokoknya mulai dari alat, efek, ampli termasuk sofa ini bang Aria yang milih dah. Gue terima jadi aja.”

“Dasar enak banget lo jadi raja kecil di sini. Eh btw, kalian udah daftar ke sekre kan?”

“Daftar apa Vin?”

“Ya daftar untuk ikut audisi lah! Jangan bilang kalian belum daftar lho ya?”

“Kami belum daftar sih, santai sajalah masih lama kayaknya masa pendaftaran.” Kataku kalem.

“Iya, kalau gak salah liat tanggal 8 di tutupnya,” ujar Yosi.

“Tuh masih ada 6 hari lagi. Ini masih tanggal 2.”

“Guys, kalian gak tahu kalau beberapa hari lalu ada revisi pengumuman masa pendaftaran?” tanya Vinia.

“Gak tahu, kenapa? Diperpanjang ya masa pendaftaran?”

“IH KALIAN TUH YAA!! BEGO BANGET SIH! JUSTRU PENDAFTARANNYA DIPERCEPAT JADI JAM 3 SORE TANGGAL 2 ALIAS TADI SORE!” seru Vinia.

“Hah? Hari ini dong? Kok elo gak kasih tahu sih Vin?” sergah Xavi.

“Mampus ini udah hampir  jam 7 malam! Kita telat dooonggg !” ujar Yosi panik.

Sementara Zen geleng-geleng kepala, aku mengutuki kebodohan kami semua yang ketinggal berita penting.

“Percuma dong kita latihan seminggu ini tapi gak bisa ikut audisi !” tambah Xavi.

“Gue pikir kalian udah tahu, makanya gue santai ! ih dasar kalian ini !!”balas Vinia lalu cepat-cepat mengambil ponselnya. “Gue telponin Nikita dulu, dia PIC pendaftaran. Semoga dia kasih keringanan dan kalian masih bisa daftar.”

Vinia lalu menelepon dan menyetel suaranya di loud speaker agar kami semua mendengar percakapannya. Dengan harap-harap cemas kami menunggu Nikita mengangkat telepon Vinia.

Tut…tut..tut…tut…tut…

“Halo Vin!”

“Halo Nik.”

“Sori gue lama ngangkatnya. Baru sampai rumah ini. Hedeh hari yang hectic banget! Stress gue ngurusin yang pada daftar telat. Udah jelas-jelas pendaftaran di tutup hari ini jam 3. Tapi masih banyak yang ngotot maksa gue masukin nama grup ke audisi. Salah sendiri telat daftar. Eh sori gue nyerocos. Ada apaan elo nelpon gue?”

Vinia memandang nanar ke arah kami berempat sambil geleng-geleng kepala.

“Ehm gini, gue mau minta tolong sama elo.”

“Minta tolong apaan? Kalau gue bisa bantu, gue bantu deh. Kapan lagi gue bisa bantu artis terkenal kayak elo, heeee.”

“Hehehe bisa aja, Nik. Jadi gini, sebelumnya gue minta maaf karena bakalan ngrepotin elo. Elo….. bisa bantuin gue masukin satu grup gak ke peserta audisi pensi? Ini grup band teman sekelas gue. Karena sesuatu dan lain hal, mereka gak tahu kalau jadwal penutupan pendaftaran di percepat jadi hari ini??”

Nikita yang tadinya tertawa langsung terdiam mendengar permintaan Vinia baru.

Vin, elo serius?”

“Iya serius gue. Gimana elo bisa bantu gue kan? Plis.”

“Vin, asal elo tahu. Setelah tadi pendaftaran di tutup, gue ada kali nolak lebih dari sepuluh peserta karena mereka baru mendaftar setelah ditutup. Dan rata-rata alasan yang mereka pakai sama seperti yang elo bilang barusan, gak tahu kalau penutupan dipercepat. Helooo, uda seminggu yang lalu kali poster pengumuman terbaru di tempel di semua sudut sekolah. Di mading, di kantin, di gedung parkiran, bahkan di mading setiap kelas juga kami tempel. Masih kurang? Di Instagram, Facebook, Twitter OSIS sekolah kita, juga sudah diumumkan.”

Hening.

Vinia speechless.

Aku, Zen, Yosi, Xavi tertunduk lesu. Gagal sudah keinginan kami ikut audisi.

“Jadi...Elo gak bisa bantu ya?”

Tidak ada jawaban dari Nikita.

“Vin, elo bulan depan jadi main di Bali? GEN-X FESTIVAL?”

“Jadi…Kenapa memang?” Vinia sepertinya kaget atas pertanyaan Nikita barusan yang out of topic.

“Gue bisa bantu masukin grup teman sekelas elo. Asal elo bisa kasih gue ID Backstage di GEN-X FESTIVAL.”

“Serius?”

“Yap Elo beruntung telpon gue sekarang, karena ini gue udah dalam posisi tinggal kirim e-mail ke Akmal tentang rekap jumlah dan data tiap peserta audisi. Sebelum gue kirim, gue masih bisa menambahkan 1 peserta lagi. Tapi ya itu tadi, elo mesti bisa penuhin permintaan gue.” 

Vinia yang semula lesu langsung ceria mukanya.

“Bisa-bisa ! Gue bisa masukin elo sebagai crew gue nanti pas show disana. Tar elo bisa puas ngelayap di backstage dan foto-foto bareng band pengisi acara disana.”

“DEAL !!”  seru Nikita.

“DEAL !!” tegas Vinia.

“Sip. Nah sekarang gue minta nama grup teman elo berikut nama anggota grup beserta asal kelas dan nomor teleponnya.”

“Okee tunggu !! makasihh banyak lho Nik!”

“Yoi.”

Vinia lalu memandangku. “Yan, nama band kalian apaan?” tanyanya.

Karena masih dilanda kebingungan karena obrolan Vinia dengan Nikita membuat kami masih belum mengerti situasinya.”Eh nama band kami?” tanyaku.

“Iyaa, apaan?”

Aku lalu memandang Xavi, Zen dan Yosi yang masih nampak bingung. “Kami belum sempat mikirin nama Vin, karena rencananya nama band nyusul aja pas nanti daftar. Jadi kalau sekarang, ga tahu deh.”

“Ihh dasar kalian iinii ! Eh apaan nama band kalian? Kalian masih bisa masuk ke peserta audisi! Ditungguin Nikita nih! Ceepett!”

“Jadi kami masih bisa ikut audisi nih?” tegas Xavi.

“Iyaaa. Nama-nama cepetan.”

Aku, Yosi, Xavi dan Zen berpandangan lalu berteriak kegirangan karena masih bisa ikut audisi berkat bantuan Vinia !

“Eh gebleg! Teriak-teriaknya ntar aja! Apa nama band kalian?”

“FOUR KING!” seru Yosi.

“TENGKORAK!” ujar Zen.

“THE JAV!” tukas Xavi tak mau kalah

Aku? Aku diam saja karena benar-benar blank ga ada ide kasih nama band kami.

“Ihh jelek banget sih namanya!” keluh Vinia.

Yosi, Zen, Xavi terus meneriakkan usulan nama band yang semakin ngaco, ngawur gak jelas.

“Vin, temen elo parah ye? Jangankan daftar, mikirin nama grup aja belom,” komen Nikita.

“Sorii ya Nik, emamg parah norak banget ini teman-teman gue.”

“Hahaha, gini aja Vin, kalian rundingan dulu deh, pilih nama grup yang keren. Tar WA ke gue aja nama grup, nama dan nomor telepon anggotanya. Gue tunggu 15 menit lagi. Ini Akmal udah ribut nanyain rekap data peserta yang belum juga gue kirim.”

“Ah iya Nik! Makasih banyak ya sayangg. “

“Iya, eh sekalian elo bilang ke teman elo format audisi deh. Karena ini pesertanya udah lebih dari 60 grup. Lebih tepatnya ada 79 termasuk grup temen elo. Maka format yang kita pake jadinya yang plan B seperti yang kita bahas di meeting.”

“Thank you so much dear !i’ll catch you tomorrow.”

“Sip, gue tunggu ya WA nya. Bye.”

KLIK.

“Elo tadi dengar kan yang dibilang Nikita. Nah sekarang cepat kalian tentukan nama.Plis, jangan nama yang norak. Dan kalau gak salah dengar tadi Sapi usulin nama bandnya THE JAV. Hei Sapi, elo pikir gue gak tahu kepanjangan JAV. Japanese Adult Video. Serius lo mo pake nama porno kayak gitu? Kalau iya, gue ogah daftari kalian,” cecar Vinia.

Xavi yang dicecar Vinia Cuma tertawa garing,”Gue reflek tadi Vin, becanda kali,” elaknya.

“Udah cepetan kalian rundingkan nama band. Gue mau ke kamar mandi. Gue balik ke kamar mandi, kalian harus udah punya nama band dan gue ACC. Sapi, kamar mandi dimana?” tanya Vinia.

“Di dekat tangga,” jawab Xavi.

Setelah Vinia keluar studio, Xavi dan Yosi mulai berdebat tentang nama. Hadeuh.

“Elo gak ikut usul nama Yan?” tanya Zen yang duduk si sampingku.

“Gak ada ide aku. Kamu aja yang usul.”

“Gak ah gue ngikut aja, males gue mau ngusulin nama. Lo liat aja mereka berdua. Debat gak jelas tentang nama band.”

Aku cuma geleng-geleng melihat tingkah Yosi dan Xavi tentang nama band. Yosi kekeh pengen nama band yang kelihatan keren dengan nama ala barat sementara Xavi karena punya banyak kosakata ajaib, dia banyak mengusulkan nama yang malah terdengar aneh. Mulai dari tadi nama The JAV, kini muncul nama PANGERAN, SINGA GURUN, THE KIMO (entah kenapa aku menduga ini maksud sebenarnya adalah kimochi, yang sangat identik dengan bokep jepang), TANK TEMPUR dan istilah asing lainnya.

“Itu nama band atau grup lawak sih?” keluh Yosi.

Sambil memperhatikan keduanya, aku juga mulai iseng sih mikirin nama band kami. Meskipun band kami ini tergolong iseng, tetapi menurutku nama juga mesti keren, simple dan bisa menggambarkan keempat karakter kami. Yosi yang ekspresif, Xavi yang jahil, Zen yang pendiam dan aku yang…Aku gimana? Gak tahu deh.

“Hayooo uda dapat nama belum? Kalau belum sepakat juga, gue yang bakalan kasih nama, namanya LELAKI PEMBENCI HUJAN, haha!”

“Idihhh, mending gue gak ikut audisi deh daripada manggung pake nama gituan,”

“Elo apaan sih Vin, gue setuju ma Yosi, mending kami gak jadi ikut deh kalau elo daftarin kami pakai nama itu.”

“Hahaha kalian sih lama. Kalau susah pilih nama, paling gampang tuh pakai inisial atau nama deh,” celetuk Vinia.

Perkataan Vinia ini langsung memantik ingatanku tentang asal-usul nama band favoritku, DEWA 19. Nama DEWA 19 berasal dari akronim nama depan para pendiri band pada saat itu. Dhani Manaf (Keyboard, Vokal), Erwin Prasetya (Bass), Wawan Juniarso (Drum) dan Andra Junaidi (Gitar). Tambahan “19” muncul belakangan ketika nama DEWA semakin populer di Jawa Timur khususnya di Surabaya. 19 adalah rata-rata umur anggota DEWA. Aku tersenyum karena kemudian aku menemukan nama band yang cocok dan cukup keren dengan menggunakan formula seperti penamaan band DEWA.

“XYZ,” kataku tiba-tiba ketika semuanya sedang berhenti berbicara. Keempat temanku memandangku. Sebelum mereka bertanya, aku langsung menjelaskannya. “XYZ. Xavi, Yandi, Yosi, Zen.”

Perlahan senyum pun mengembang di wajah mereka termasuk Vinia. “Nah itu keren!” katanya.

“XYZ..bagus!” puji Yosi.

“Sound mysterious but i like it,” ujar Zen.

“Yesssss, kita XYZ !!” seru Xavi sambil mengangkat tangannya ke udara.

“Hihi nah gitu, kenapa gak dari tadi sih lo usul Yan. Oke fix, kalian pakai nama XYZ ya, gue WA ke Nikita sekarang.”

Tak lama kemudian, Vinia bilang urusan pendaftaran nama beres ! Lega rasanya.

“Memang menang banyak ya kalau punya teman penyanyi terkenal, makasih  ya Vinn!” seru Yosi.

“Hohoho iya dong. Oia, mumpung gue inget, gue mau kasih tahu tentang format audisinya,” ujar Vinia.

“Format audisi?” aku bertanya.

“Iya, jadi gini kemarin pernah dibahas di meeting tentang format audisi. Kami memutuskan ada 2 plan. Plan A jika peserta audisi gak sampai 60 grup. Plan B jika peserta audisi lebih dari 60 grup. Plan A adalah audisi 1 harian penuh di auditorium sekolah. Plan B adalah audisinya dibagi menjadi 2 sesi. Sesi pertama audisi di auditorium sekolah untuk diambil 15 perfomer terbaik. Sesi kedua, 15 penampil terbaik akan bermain di lapangan sekolah. Nanti akan dibuatkan mini stage untuk mereka yang lolos unjuk gigi di depan semua siswa dan tak menutup kemungkinan di hadapan para penonton non murid sekolah kita alias terbuka untuk umum. Di akhir acara akan di umumkan 5 grup atau band yang akan mengisi acara di pensi nanti tanggal 30 Desember.”

“Wow..” Cuma itu komentarku karena aku kagum dengan persiapan para panitia acara ini.

“Yang menilai siapa Vin?” tanya Zen.

“Juri maksud lo?”

“Iya.”

“Jurinya ada 3. Salah satunya adalah Bu Elsa. Background Bu Elsa uda gue kasih tahu kan tadi, dia pernah bekerja di label rekaman besar. Untuk 2 lainnya Sori gue gak bisa kasih tahu, yang jelas mereka memiliki kompetensi dan punya nama di dunia entertainment. Ketiga juri akan menilai dengan sangat professional. Siapa saja yang lolos nanti, boleh jadi memang punya potensi besar.”

“Jadi makin semangat gue, hoho,” celetuk Yosi.

Sementara Xavi entah kenapa diam saja gak komentar apa-apa.

“Eh guys, kalian belom capek kan?” tanya Vinia kepada kami berempat yang duduk bersandar di sofa.

“Lumayan capek sih. Ada apa Vin?”

Vinia tersenyum memamerkan deretan giginya yang tersusun sempurna. Dia lalu mengambil salah satu gitar Fender hijau dan mengenakan strapnya. “Kita ngeband bentar yuk ! ilangin ketegangan bentar gara-gara ngurus pendaftaran kalian barusan. Sekalian gue mau tahu rasanya ngeband sama kalian, gue juga baru sadar belum pernah lihat kalian latihan, padahal udah seminggu kalian ngeband haha.”

“Ayoo !!” sahut Xavi tiba-tiba bersemangat dan segera mengambil stik drum di atas meja kemudian berlari duduk di belakang drum. “Ayooo guys! Bakalan seru nih, kita berlima main music bareng!” bujuknya.

“Yos, Zen. Benar juga kata Xavi, asyik kayanya. Yuk ah, 1 lagu aja terus kita pulang,” kataku kepada Yosi dan Zen.

“Jangankan 1 lagu, mau main 1 album bareng Vinia gue juga jabanin,” seru Yosi.

Sementara Zen tanpa banyak kata langsung berdiri dan mengambil 1 gitar rhythm dan diikuti Yosi yang mengambil bass.

“Yan, elo nyanyi aja, biar yang gitar gue sama Zen. Zen gue yang lead ya!” ujar Vinia.

“Yoi,” jawab Zen.

“Mo main lagu apa nih? Aku belum hapal lagu-lagumu lho.”

“Ah dasar kamu Yan, jahat.”

“Hahaha, maaf belum sempat aja.”

“Yaudah, kita main lagu simple aja. Ehm main lagu apa ya? Kalian seminggu ini latihan pakai lagu apaan?”

“3 lagu. Riff- Fight. Padi-Ketakjuban Hati. Tip-Ex-Song From Distance.”

“Wih main lagu band Indo yah. Lagu Padi dan Riff itu gue tahu. Kalau Tip-Ex gue gak tahu. Yaudah main lagu Padi aja yuk,” ujar Vinia.

“Jangan Padi. Bosen gue makan nasi mulu kalau latihan,”sahut Zen.

“Hahaha apaa sih elo Zen, kocak. Hmm, ah kita main lagu lawas Sheila On 7 andalan gue dulu kalau waktu SMP main di pensi sekolah.”

“Nah ! cocok SO7 ! Salah satu band lejen Indo yang gue suka dan masih sering gue dengerin!” tukas Yosi.

“Boleh juga. Rata-rata aku hapal sih lagu Sheila.”

“Wah Sheila. Gue gak terlalu hapal nih,”ujar Zen.

“Chord Sheila rata-rata simple kok Zen. Gampang.” Jawab Vinia. “Bagaimana kalau kita main Sahabat Sejati ! selain gampang, tuh lagu juga dalam banget. Main lagu Sahabat Sejati dengan sobat-sobat gue, heee.”

“Setuju!”

“Oke.”

“Yuk ah.”

“Eh gue boleh nanya dulu gak?” ujar Xavi tiba-tiba sambil mengangkat tangan.

“Kenapa Sapii?” tanya Vinia.

“Lagu Sheila on 7 yang sahabat Sejati itu yang kayak gimana ya?” tanyanya sambil ketawa garing dan garuk-garuk kepala.

“Astajiiimmm sapiiiiiiiii ! kebangetan banget sih elo gak tahu Sheila On 7 ??!” seru Vinia.

“Eh gue tahu Sheila On 7. Maksud gue, lagunya yang Sahabat sejati itu yang gue lupa yang kayak  gimana.”

“Kebanyakan bokep sih elo. Bentar, ada lagunya di ponsel.” Ujar Vinia.

“Sambungin ponsel elo ke jack itu aja Vin. Itu konek ke speaker,” kataku.

Vinia mengangguk dan menyambungkan ponselnya ke jack audio speaker yang membahana. Lagu ini pun memenuhi studio. Lagu Sahabat Sejati ini membuatku juga teringat dengan teman-teman ngeband di SMP. Ini salah satu lagi favoritku dan mungkin semua orang jika berbicara tentang Sheila On 7. Lagu dengan lirik sempurna yang menggambarkan betapa indahnya sebuah persahabatan dan dibalut dengan music rock ala Sheila On 7, sepertinya juga pas sekali menggambarkan persahabatanku dengan keempat temanku ini. Aku melihat Zen tengah mendengar sekaligus menghapal chord rhythm di lagu ini, sementara Xavi yang request lagu ini, malah memejamkan mata. Mungkin tengah membayangakn setiap ketukan drum di lagu tersebut. Yosi? Dia malah asyik sendiri buka ponselnya. Vinia? Ia tersenyum ketika pandangan kami beradu.

5 menit kemudian lagu tersebut selesai, namun Xavi meminta lagu ini diputar sekali lagi. “Tinggal dikit lagi, gue ngerti semuanya ketukannya,”ujarnya serius. Ketika Vinia hendak meledek Xavi, aku melarangnya. Karena aku tahu daya ingat Xavi terhadap sebuah lagu sungguh luar biasa. Aku sudah hapal dengan gaya Xavi, ketika dia sampai berpikir hingga memejamkan mata tentang sesuatu, sesungguhnya otak jeniusnya tengah bekerja mengolah data.

“Oke, processing done! Udah hapal gue!” seru Xavi mantap ketika lagu selesai.

“Hapal sih iya gue percaya, tapi elo bisa atur tempo gak,” ujar Yosi.

“Makanya ayo Vin! Masuk intro, gue on fire nih!” balas Xavi.

“Hahaha, are you ready guys?! On my count! three..two..one..go !” seru Vinia.

***

Dengan adanya studio pribadi milik Xavi, benar-benar membuat kami semakin kompak. Xavi terus menunjukkan progess yang luar biasa. Perlahan tapi pasti dia mulai pinter mengatur tempo, baik ketukan drum maupun mengatur nafas. Entah latihan apa yang sudah dilakukannya tetapi apapun itu, hasilnya sangat positif. Waktu audisi tinggal seminggu lagi dan 3 lagu yang kami siapkan, yang kami latih hampir tiap hari sudah 99 % kami kuasai. Menurut info dari Vinia, di audisi sesi pertama nanti, para peserta hanya mendapat kesempatan untuk unjuk gigi 1 kali atau maksimal 5 menit. Dengan waktu segitu, berarti hanya 1 lagu saja. Kami belum memutuskan lagu mana yang akan kami bawakan, kami sepakat lusa nanti, kami sudah menentukan lagu mana yang akan kami bawakan. Lolos atau enggak sebenarnya aku pribadi tidak terlalu aku pikirkan. Yang terpenting adalah bisa main musik bareng dengan ketiga sobatku ini sungguh sesuatu yang sangat menyenangkan.

Siang ini aku, Zen, Yosi dan Xavi sengaja melewatkan jam istirahat kedua di dalam kelas saja, karena kami malah tiba-tiba ingin menambah variasi lagu yang ingin kami mainkan. Bosan main itu-itu mulu, kata Zen. Tetap di jalur rock alternatif dari band Indonesia sih. Aku mengusulkan lagu Separuh Nafas-Dewa 19, Yosi usul Anak Nakal-Endank Soekamti. Zen usul Kau Pikir Kaulah Segalanya-Edane. Xavi usul Karma-Cokelat. Haha bagus-bagus euy usulannya, jadi ga sabar kami cepat-cepat pulang dan langsung menuju rumah Xavi untuk mengulik lagu-lagu tersebut.

Di saat kami sedang asyik ngobrol di balkon samping kelas kami, tiba-tiba aku melihat seseorang mendatangi kami. Ia berjalan sedikit terpincang-pincang, melempar rsenyum dan menyapa kami berempat.”Rupanya kalian disini, baguslah ada kalian berempat lengkap.”

Wajahnya terlihat tidak asing tetapi sosoknya terlihat berbeda, siapa ya dia?




“Siapa tuh?” gumam Xavi. Zen mengangkat pundaknya. Sementara sikap mengejutkan justru ditunjukkan oleh Yosi. Yosi yang semula duduk jongkok bersandar di tembok tiba-tiba langsung berdiri dan ekspresi santainya sudah berubah menjadi waspada. Rahangnya mengeras, tangannya nampak terkepal erat.  

“Bram..” ujar Yosi pelan.

Hah orang ini Bram? Kalau memang benar orang tersebut adalah Bram, penampilannya sudah sangat jauh berbeda dengan imej Bram sebelumnya. Rambut mohawknya yang kemerahan sudah tidak nampak. Rambutnya kini dibiarkan agak panjang dan disisir ke belakang. Piercing di atas mata kiri sudah hilang, deretan piercing di kedua daun telinga sudah hilang namun berganti dengan piercing besar di bagian ear lobe-nya. Ciri khas Bram yang tidak bisa hilang adalah senyumnya yang mengesankan kelicikan.

Perkataan Yosi ini sontak membuat kami jadi ikut berdiri. Aku berdiri di samping Yosi, sementara Xavi dan dan Zen di belakang kami. Balkon ini terhitung sempit hanya cukup untuk 2 orang berdiri bersisian. Sebenarnya aku bukan mewaspadai Bram, tetapi aku justru lebih mencemaskan reaksi Yosi. Pertemuan terakhir keduanya aku tahu benar, mereka beradu nyawa di lintasan drag race. Dan malam itu aku menjadi saksi kemenangan Yosi dan Bram yang kalah pada akhirnya mengalami kecelakaan hebat, beruntung dia tidak tewas di tempat namun kabarnya dia menderita luka yang sangat berat sampai harus menjalani beberapa kali operasi. Akibatnya, Bram diperkirakan akan absen lama 4-5 bulan. Dan kini rupanya ia sudah kembali. Ketenangan di sekolah kami sepertinya akan kembali memanas dan bergejolak dengan kehadiran kembali Bram. Salah satunya dengan mendatangi kami seperti sekarang ini.

“Mau apa elo kesini?” tanya Yosi.

“Santai dong Yos, gue kesini cuma say hai aja ke kalian. Gak usah tegang gitu lah.”

Yosi meludah di lantai. “Jijik gue dengar omongan elo.”

“Hahaha. Elo tegang banget sih bro. Uang hadiah Deathwish sepertinya gak bisa membuat elo happy-happy.”

“Bangsat lo!”

“Hoho, sepertinya gue tetap membuat elo emosi ya Yos. Padahal elo kan sudah sukses ngalahin gue dan jadi raja di Deathwish, yang sayangnya tidak akan di selenggarakan lagi oleh Jack.Oke, gue langsung to the point aja. Tujuan gue kesini karena selain say hay, gue mau memperingatkan kalian.”

“Memperingatkan kami? Tentang apa?tentang bos elo? Oscar?”

“Oscar bukan bos gue. Bos gue adalah diri gue sendiri hoho.”

“Dasar anjing licik lo.”

“Terserah elo mau bilang apa Yos. Sepertinya gue gak bisa mengobrol dengan asyik lagi sama elo. Jadi gue mau sampaikan hal ini ke bos elo Yos, yakni Yandi. Apa kabar elo Yan? Makin keren aja lo. Demi seorang Dita, elo bantai tu Puput like a fucking nothing haha. Awesome…”

Perkataan Bram barusan menarik perhatianku. Aku tidak menyangka nama Dita akan meluncur dari mulut Bram. Aku tidak merasa heran kalau Bram tahu aku pernah duel dengan Puput, bisa jadi dari video yang tersebar. Hanya saja cuma segelintir orang yang tahu kalau duelku dengan Puput itu berhubungan dengan Dita.

“Hehhe perkataanku barusan sepertinya berhasil menarik perhatian elo Yan. Memang gue gak masuk sekolah selama 3-4 bulan tetapi tidak ada satupun berita tentang sekolah yang luput dari perhatian gue. Termasuk dengan peristiwa yang memancing kedatangan Pak Tomo ke sekolah kita.”

“Peristiwa yang memancing  kedatangan Pak Tomo? Bukannkah itu karena tindakan pengecut elo yang sudah mengeroyok Xavi!” kataku kesal.

“Yah tindakan gue dulu termasuk trigger sih. Cuman bukan itu maksud gue. Peristiwa yang gue maksud adalah peristiwa membuat teman-teman elo masuk rumah sakit dalam waktu yang bersamaan dan kalau tidak salah hal itu dimanfaatkan Oscar untuk mengintimidasimu ketika kalian berbicara secara 4 mata di warung burjo Bang Roni. Elo dihadapkan situasi dimana semua teman-teman elo dibantai anak buah Oscar dan elo diminta mundur oleh Oscar, kan?”

“Darimana kamu bisa tahu semuanya?” tanyaku tajam. Banyaknya hal yang diketahui Bram membuatku semakin mewaspadai kelicikan Bram.

“Haha. Elo gak usah pusing memikirkan darimana gue bisa tahu semuanya. Seharusnya elo bertanya ke gue, darimana Oscar bisa tahu keberadaan dan setiap gerak-gerik elo dan teman-teman elo. Dan kemudian hal tersebut dimanfaatkan Oscar untuk menggerakkan rencananya memulai pertarungan dengan Axel. Oscar tidak mungkin bisa memprediksi apa yang elo dan teman-temanmu lakukan, kecuali dia mendengarnya langsung dari orang yang pada saat yang sama juga dekat dengan elo. Lebih gampangnya adalah begini, di antara teman-temanmu ada yang menjadi-“

“Mata-mata,” ujar Zen memotong perkataan Bram.

“Yap ! 100 buat elo Zen !” seru Bram sambil mengacungkan jempol.

“Mata-mata?” kataku.

“Mata-mata tersebut ada di dekat elo Yan, dia masih bersembunyi menunggu momen yang tepat untuk menghancurkanmu dari dalam.”

“Siapa dia ? katakana?”

“Ah sayang sekali, gue juga tidak tahu siapa orangnya. Makanya gue memperingatkan elo. Namun satu yang pasti, dia bukan orang sembarangan. Bahkan gue berani bertaruh, si mata-mata ini adalah orang yang sama yang telah menjadi tandem gue saat maaf, menyiksa Xavi. Xavi, dia adalah orang yang menodongkan pisaunya ke elo. Gue sumpah tidak tahu siapa orang yang menemani gue menculik Xavi, begitupun juga dia tidak mengenali gue.”

“Bangsat…” ucap Xavi lirih, aku lihat wajah Xavi memerah.

TEEETTT…

Bunyi alarm panjang terdengar, menjadi penanda bahwa jam istirahat siang telah usai.

“Well, sepertinya gue harus menyudahi ramah-tamah gue disini. Gue cabut dulu deh. Kalau masih ada yang kalian tanyakan ke gue, tanya Yosi saja. Dia tahu tempat gue biasa nongkrong.”

Seiiring dengan kepergian Bram dengan langkah terpincang-pincang, rasa pusing menyergapku. Begitu banyaknya informasi dari Bram membuatku tertekan. Ada mata-mata di antara anak kelas 1? Dia juga orang yang sama yang telah menyerang Xavi??

“Yan, gak usah terlalu elo ambil pusing omongan Bram. Omongan dia itu penuh racun! Tujuan dia memang mengacaukan pikiran kita, mind fuck.” ujar Yosi sembari merangkulku ketika kami kembali ke kelas.

“Biar gue yang cari tahu kebenaran perkataan Bram,” ucap Zen.

“Woi! Elo juga jangan kepancing gitu aja! Bram pasti tahu elo itu orangnya suka apa-apa sendirian!” Yosi memperingatkan Zen. Namun Zen tetap diam saja, matanya nampak menyala-nyala.

Selama sisa pelajaran aku sama sekali tidak bisa konsentrasi, pikiranku melayang kemana-mana memikirkan kembali ucapan Bram. Ketika bel alarm tanda jam pelajaran telah usai, aku langsung bilang ke teman-teman, sebaiknya hari ini kita gak usah latihan band dulu. Karena sepertinya, bukan cuma aku saja yang kacau, ketiga temanku sepertinya juga teralihkan pikirannya. Dan mereka semua juga setuju.

Jujur saja, aku paling tidak menyukai orang seperti Bram dimana perkataan dan kelicikannya jauh lebih berbahaya dari sekedar pukulan maupun tendangan, namun sebenarnya dalam hati kecilku bilang, perkataan Bram siang tadi juga mengandung kebenaran. Dan itu yang membuatku benar-benar gundah antara harus mempercayai sepenuhnya, sebagian atau hanya sebagian kecil??

Bangsat kamu Bram…. !!!



= BERSAMBUNG =


1 comment for "LPH #46"

Post a Comment