Featured Post

LPH #86

Episode 86
Berandalan XXX


  (POV TAKA/SAW)

Satu ketukan di pintu membuat gue segera bangkit dari sofa dan membukakan pintu. Tamu yang gue tunggu datang juga.

“Halo Toni…” gue menyapa ramah sang tamu gue yang sudah menyandang satu tas carrier besar warna hitam Eiger di punggungnya. Sepertinya ia membuktikan omongannya tempo hari.

“Yooo brad,” balas Toni sambil melangkah masuk ke dalam apartemen gue. “Untuk seorang tukang corat-coret, not bad juga duit yang lo hasilin,” kata Toni.

Gue terkekeh, “Lu kira bisnis gue cuma jadi kang tato, masih ada beberapa usaha kecil-kecil lainnya,”

“Kecil-kecil tapi kalau di kumpulin gede juga, haha,”

“Ya gitulah, Ton, lu bisa taruh tas lu di sini,” kata gue sambil menepuk-nepuk sofa.

“Gak apa-apa nih gue taruh di atas sofa lu? Kalau lecet gue gak bisa ganti.”

“Anyiing, kita ngobrol di balkon aja yok ah,” ajak gue sambil menggeser pintu kaca yang membatasi balkon dengan ruang tengah. Saat pintu terbuka, hembusan angin malam terasa menggigit kulit, dingin tetapi sangat menyegarkan. “Mo minum apa lo?” gue sekalian menawari minum  Toni.

“Kopi dingin, kalau ada.”

“Ada kayakya.”

Sementara aku ke dapur, Toni sudah menuju balkon. Fiuh di kulkas untung masih ada sekaleng nescaffe dingin. Gue ambil nescaffe tersebut, sementara aku sendiri mengambil minuman Mocha Latte Ice yang baru gue minum sedikit.

Thanks,” ucap Toni saat gue angsurkan sekaleng nescaffe kepadanya.

"Elo jadi cabut?" gue langsung bertanya to the point saat gue duduk di kursi yang ada di balkon.

"Jadi."

Toni seperti ingin menambahkan kalimat lain dari jawabannya yang pendek. Namun ia kemudian memilih diam saja, ia menyandarkan lengannya di pinggiran pagar besi yang membatasi balkon apartemen gue sembari menikmati minuman kopi dinginnya.

"Rokok?" Kata gue sambil membuka sebungkus Dunhill yang masih tersisa tiga atau empat batang.

Toni yang sedang asyik melamun sembari memandangi gemerlap lampu kota dari lantai 17 apartemen gue, menoleh. Ia agak bimbang namun ia lalu tersenyum. Ia mengambil rokok sebatang. Gue lemparkan zippo.

Crash.

"Rokok terakhir dalam hidup gue," gumamnya.

"Nikmati Ton. Enjoy your last day in this fucked up town. Setelah rokok abis, mungkin kita bisa ngobrol satu atau dua hal yang ingin gue tanya ke elo."

"Nggak. Kalau lo mau nanya, ya sekarang. Setelah rokok abis, gue cabut."

Gue tertawa terkekeh dan menghabiskan satu tegukan terakhir Mocha Latte Ice hingga tersisa beberapa es batu yang belum mencair. Lalu gelas plastik gue lempar ke keranjang sampah yang berada di pojokan.

Pluk.

Wah, lemparan gue masih jitu. Gak sia-sia gue dulu jadi ace di tim basket SMA SWASTA XXX dalam hal lemparan tiga angka. Tim kami kalah di partai Final HIGHSCHOOL BASKETBALL LEAGUE  melawan SMA TARUNA XXX sang juara bertahan. Kecewa sih kalah tetapi mencapai final adalah prestasi terbaik sekolahan gue. Prestasi yang sukar untuk di ulangi. Tapi gue optomis, tim basket SMA SWASTA XXX tahun ini di bawah Puput, punya kans bisa menyamai prestasi, syukur-syukur bisa jadi juara.

Kembali ke Toni, gue lalu berdiri di samping Toni sambil menyalakan rokok.

"Jadi apa yang mau lo tanya?" tanya Toni.

"Cuma satu saja. Dan sifatnya bukan pertanyaan, tapi tawaran. Tertarik menggantikan DEAD di LPH ? DEAD alias Dewa resmi cabut dari LPH minggu lalu karena alasan pribadi. Kalau elo menolak, LPH generasi 33 tetap berjumlah empat orang sampai kami menemukan  LPH generasi 34."

Here we go again, ganti pertanyaan ah, pertanyaanya lu klitoris sekali, udah jelas banget kan jawaban gue,” tukas Toni.

“Haha klitoris…. Retoris nyet.”

“Sama aja. Eh, itu kenapa Dewa cabut? Gue kira di LPH gak bisa cabut gitu aja,”

“Emang..”

“Emang apaan?”

“Lo tanya aja sendiri ke Dewa, dia lagi di rawat di RS Harapan Indah.”

Toni menoleh ke arah gue dengan wajah kaget. “Hah? Dia di RS? Kok bisa?”

He was beaten to the verge of death against ... his heir…

“Pewarisnya ?? Anton??”

“Ya bukanlah, si bajingan tua itu sudah menghilang bak di telan lubang pantat bencong.”

Toni berpikir sejenak dan kemudian menemukan jawaban. “Elang?”

Gue mengangguk. “Yep, Dewa kalah dalam perkelahian fair satu lawan satu lawan Elang.”

Mata Toni membesar, “No frickin way! si Dewa kalah berantem lawan Elang? Kok bisa mereka berdua berkelahi?”

“Untuk detailnya gue lagi cari tahu, yang jelas mereka berdua berkelahi di depan kami semua.”

“Kami? Kami siapa?”

“Gue, Sadli, Trias, Sindu.”

“Anjir, kok bisa kalian ada di sana?”

“Itu bagian dari permintaan Dewa, dimana ketika ia memutuskan cabut dan kami terima alasannya, ia meminta kami berempat untuk datang di  Vektor 9. Saat kami berempat datang ke sana, Dewa ada di sana dan ia tidak sendiri, melainkan ada satu orang lagi, yakni Elang.”

“Vektor 9? itu apartemen kosong yang di dekat Barak sana?”

“Yep, apartemen kokoh yang baru setengah jadi di X4 sana. Di lantai 9 kami menyaksikan bagaimana Dewa dibantai Elang tanpa ampun, kalau saja Sadli tidak turun tangan, nyawa Dewa bisa saja melayang karena Elang sudah menyeret Dewa hingga ke pinggir lantai 9 yang tidak ada dinding atau pagar.”

“Damn… Lo yakin Dewa kalah benaran sama Dewa? Bukan seperti sandiwara murahan ala Oscar dan Feri?”

“Gue dan tiga sohib gue 1.000% yakin Dewa memang kalah secara fair.”

“Hoho. Elang.. Apakah dia sudah sampai di level Boy?”

Gue menyalakan satu batang rokok dan kemudian menghembuskan asapnya ke atas hingga membumbung tinggi sebelum akhirnya lenyap karena tersapu angin malam.

“Belum, tapi anak itu berada di jalur yang benar untuk menyamai kedigdayaan Boy, bahkan gue antara excited atau ngeri-ngeri sedap, Elang punya potensi untuk melebihi Boy. Lo bayangin dah, Anton itu anjingnya Dewa. Sementara Elang itu anjingnya Anton. Jadi Elang pada dasarnya bisa membantai guru dari gurunya.”

Toni tertawa keras sekali saat gue memprediksi kemampuan dan juga potensi Elang.

“Catat kata-kata gue, gak akan ada siapapun, anak SMA atau STM yang akan bisa menyamai kegilaan Boy. No fucking one. Boy is on another level of bastard. Yang membuat Boy mengerikan itu bukan cuma ototnya, namun otak dalam merancang rencana nya jauh lebih mengerikan. He is a damn monster with hellish brain.”

Giliran gue yang tertawa mendengarnya.

“Elu fanboys-nya Boy ya? Meski yang lu katakan benar banget sih. Tentang Elang, di akui atau tidak, dia anak SMA/STM terkuat di generasi sekarang ini, tanpa terbantahkan, dan adik kesayangan lo beruntung bisa hidup di generasi yang sama dengan Elang.”

“Ya…Ya… Vino sudah tahu, bahkan dia sudah mengaku sudah mengamati Elang jauh sebelum Anton menyerahkan Deadquad kepada Elang.”

“Baguslah, jadi tanpa lo kasih peringatkan, Vino sudah tahu lawan macam apa yang akan mendatanginya. Eh tapi lo bisa bilang ke Vino, bahwa dia bersantai sejenak, karena Elang gak sesempurna itu, dia juga mesti bedrest kurang lebih satu bulan karena meski bisa mengalahkan Dewa, Dewa tetap bukanlah bajingan kaleng-kaleng yang tidak meninggalkan bekas apa-apa ke lawannya.”

Toni terdiam sambil senyum-senyum sendiri, “Sebenarnya selain Elang dan Vino, jangan lupa ada satu nama, siswa didiknya si bule gila Axel.”

“Yandi maksud lu? Yandi bagus, gue akui dia kerad juga sejauh ini bisa ngatasin masalah internal di sekolahnya, tetapi di masih sangat mentah. Dalam hal ambisi, dia masih jauh di bawah Vino atau Elang sekalipun yang sudah mencanangkan ambisi dan meretas jalan menjadi bajingan nomor 1 dan menjadi legenda seperti halnya Boy.”

“Itu gue setuju, gue lihat sendiri bagaimana Yandi bisa lolos dari lubang jarum. Namun ambisi atau motivasinya masih terlalu naif,” papar Toni sembari menjentikkan puntung rokoknya ke bawah.

“Asu, kenapa lo buang rokok sembarangan bego,” keluh gue.

“Ups sorry, yadah sesi tanya jawab selesai, rokok gue udah habis, gue mau cabut.”

“Haha bangke, gue malah belum sempat nanya gara-gara kita malah ngobrol hal yang lain. Oke lah, gue simpan pertanyaan gue, nanti kalau gue ketemu sama elu.”

“Ya kita lihat sajalah, begitu gue pergi, gue sudah gak terlalu peduli dengan apapun yang terjadi di Kota XXX ini.”

“Termasuk kabar adik lo?”

“Dia punya jalan sendiri, begitupun gue, dia sudah cukup dewasa untuk bertindak menurut akal pikirannya.”

“Tenang saja, lu bakal gue kasih update info kejadian di sini terutama kabar Vino,”

Toni menatap gue,” Yakin banget lu bisa nemuin gue ?”

Gue balas menatap Toni, “Ya percuma aja kalau gue gak bisa memanfaatkan kedekatan gue dengan ‘mereka’ untuk bantu gue cari tahu dimana elo,”

Toni tertawa sinis,“Hehehe bajingan, ternyata kabar bahwa lu dekat dengan ‘mereka’ bukan kabar isapan jempol semata, tapi satu yang mesti lu inget, terserah kalau kalian cari tahu dimana gue berada, tapi kalau sampai kalian melanggar area privasi gue, gue gak akan tinggal diam,” tukas Toni sambil meninju pelan lengan gue.

Gue menyeringai sambil mengacungkan jari tengah ke arah Toni, “Fuck you dude.

Gue dan Toni kemudian tertawa bersamaan. Sepuluh menit kemudian Toni pamit dan pergi dari Kota XXX.

Gue bakal kangen juga sama nih anak, tapi apa boleh buat, bokapnya aja ia berani lawan demi cita-citanya, apalagi gue.

 Sampai jumpa lagi Toni !!


*****
@ Rumah Yandi
Satu minggu pasca baku hantam
*****

   (POV Yandi)


Selesai mandi dan ganti baju, aku mematut diri di depan kaca kamar. Wajahku sekarang jauh lebih baik daripada beberapa hari sebelumnya. Kalau kata Mbak Wati, aku udah mirip sama ikan kembung sakit kedua pipi serta kening benjol besar, efek berantem marathon di sekolahan.

Kening masih ada dua plester, sementara pipi kanan yang semalam masih bengkak kini sudah menyusut normal. Aku sedikit mengaduh saat melepas plester di pipi kiri. Sedikit perih. Kuusap-usap, sudah tidak terasa nyeri. Lain halnya dengan pipi sebelah kanan yang masih membengkak. Masih memar merah. Tapi aku yakin besok sudah kempis. Aku sedikit pemanasan dengan cara merentangkan kedua tangan ke atas, namun baru beberapa detik kurentangkan tangan ke atas, rasa nyeri yang menusuk sangat terasa di bagian rusuk kiri. Kutekan di bagian yang menghitam dan aku langsung meringis. Dari sekian banyak luka, luka ini yang paling lama pulihnya. Ini titik di mana aku kena pukulan yang amat sangat keras saat berhadapan dengan orang bertopeng, yang kini kutahu adalah sebiah kelompok bawah tanah Kota XXX yang di sebut LPH.

Kata Dokter Burhan, Dokter langangan kami para siswa bajingan, tidak ada yang retak, patah maupun luka dalam yang membahayakan. Hanya butuh di oles salep khusus sebelum tidur, istirahat serta jangan terlalu beraktivitas yang berat. Aku turuti nasihat Dokter Burhan namun di saat sudah hampir sembuh, aku malah terlibat baku hantam di sasana sekolah. Dan sialnya, satu pukulan Toni kena telak mengenai titik tersebut.

Bangssat, mulai dari nol lagi..

Karena sudah lapar, aku segera mengenakan kaos dan turun ke bawah untuk makan siang.

“Gimana Yan? Udah enakan?”

Mas Sulis yang sedang beres-beres peralatan kerjanya di gudang kecil dekat dapur, menyapaku saat aku turun dari kamar.

“Udah mendingan Mas, jauh lebih enakan sekarang. Meski ya masih ada beberapa luka lebam yang belum hilang. Pipi kanan masih bengkak.”

Mas Sulis tersenyum. “Makan gih.”

“Iya Mas ini aku mau ke depan,makan.”

“Mas, ayo makan bareng,” aku mengajak Mas Sulis makan siang sekalian.

“Yukkk ah. Pas selesai beres.”

Setelah mencuci tangan, Mas Sulis menyusulku ke depan. Karena warung tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pembeli saja yang makan di tempat, aku dan Mas Sulis makan di meja warung. Mas Sulis makan pakai sayur Sop dengan Ayam Goreng, sementara aku makan sayur Asem dengan ati ampela.

“Wuih sayur Asem Mbak Wati makin jos aja nih,” aku memuji masakan Mba Wati saat dia mengantarkan dua gelas es teh untukku dan Mas Sulis.

“Aishh bisa aja, seenak-enaknya masakanku tetap gak akan semantap masakan Mbak Asih, Yo po ra Mas?” sahut Mbak Wati.

“Hehehe ya gitu dah,” jawab Mas Sulis sambil tertawa kecil.

“Yadah makan gih, terutama si anak bandel ini. Kalau lagi sehat kok ya malah cari penyakit, berantem terus. Beruntung Mbak Asih lagi  di kampung, kalau dia tahu kamu babak-belur seperti kemarin, di sunat lagi kamu Yan…” kata Mbak Wati sambil geleng-geleng kepala lalu kembali sibuk dengan mempersiapkan gorengan.

Aku cuma bisa nyengir mendengar sindiran Mbak Wati.

Benar kata Mbak Wati, aku beruntung, Mbak Asih sedang berada di kampung pas aku terlibat baku hantam di sekolah kemarin. Jadi cukup aku kena omel dari Mbak Wati yang di pasrahin warung. Mbak Asih di kampung untuk membantu acara nikahan Mbak Evi, yang terhitung masih sepupu dengan kami berdua.

“Mas, Mbak sampai kapan di kampung?”

“Minggu depan baru balik, kamu tahu sendiri adat nikahan orang kampung itu lama. Di tambah sekalian ada acara nyewu Mbah Diro tiga hari sebelum lamaran Evi.”

“Olaha, ya lama itu Mas. Mas Sulis kok gak ikut balik?”

“Kan kemarin aku baru balik dari proyek di Kalimantan Yan. Tapi rencana nanti malam aku mau nyusul ke kampung, sekalian pulang bareng sama Mbakmu kesini nanti. Mau ikut?”

Kupingku langsung tegak mendengarnya. “Mau, mau Mas ! aku kangen sama teman-teman dan saudara di kampung!”

Mas Sulis tertawa. “Berarti kowe siap nggetih…”

Aku heran mendengarnya. “kok iso?”

“Kamu mau jawab apa pas Mbakmu yang gahar itu lihat wajahmu bonyok? Belum lagi kalau kamu ikut ke kampung, sama saja kamu bolos sekolah. Kamu kan udah sudah gak masuk sekolah seminggu Yan. Bayangkan, sudah wajah bonyok gini, terus mbolos sekolah seminggu lebih, apa reaksi Mbak mu?”

Aku menelan ludah saat terbayang aku kena berbagai macam serangan karate dari Mbak Asih. Mbak Asih kalau sudah marahnya sudah di ubun-ubuh, mulutnya diam tapi tangan dan kakinya beraksi, gebukkin adiknya.

Aku menggelengkan kepala cepat. Aku memang kangen dengan suasana kampungku yang jauh lebih sederhana, ada sih satu atau dua musuh di sana tetapi masih gak seberapa di bandingkan tekanan dan beban masalah yang kuhadapi di sini, di Kota XXX.

“Sabar Yan, nanti pas liburan tengah semester, kamu bisa pulang nengok kampung,” Mas Sulis mencoba menghiburku.

Aku mengangguk saja. Karena lebih banyak melamun, Mas Sulis lebih dulu menghabiskan makanaannya.

“Makan kok sambil melamun. Yan,kalau Mas boleh kasih saran, Mas tahu kalau kamu itu bukan anak yang suka cari masalah. Justru sebaliknya, masalah yang datangin kamu. Karena kamu terlalu setiakawan. Asih sudah cerita ke Mas, apa yang terjadi di sekolahmu. Tetapi yo gak mesti temanmu ada masalah, kamu ikut langsung bantu paling depan. Kalau masalah hanya di sekitaran pelajaran di sekolah, itu gak masalah, malah bagus kalau kamu bisa bantu temanmu yang kurang paham. Lha ini masalahmu selalu berhubungan dengan perkelahian jhe. Kasian Mbak mu, dia ikut stress kalau kamu terlibat masalah model kayak gitu terus.”

Aku diam saja mendengar nasihat dari Mas Sulis, aku diam karena yang di bilang Mas Sulis memang benar, bahkan sama persis dengan nasihat dari Mbak Asih tempo hari. Ingin aku menampik atau sedikit membantah nasihat Mas Sulis dengan mengatakan.

“Jadi kalau lihat temanku di hajar, dikeroyok, di pukuli beramai-ramai, aku mesti pura-pura tidak tahu gitu? Atau aku mesti membuang muka, diam saja saat wajah temanku yang sudah tidak berdaya, mengiba meminta pertolongan ? Teman macam apa itu yang membiarkan temanny dalam kesusahan atau bahaya?”

Namun aku urungkan niat karena aku sedang tidak ingin debat atau adu pendapat dengan Mas Sulis. Meski dalam hatiku bergejolak, apakah prinsip atau etika yang menurutku adalah hal yang benar tidak sepenuhnya benar?

Kesalahan atau  kelemahanku memang aku tipe orang yang akan maju pertama kali membantu teman tanpa pikir panjang, urusan di belakang di pikiran nanti. Kalau menolong teman mesti ngitung dulu untung-rugi, manusia macam apa aku ini? Beruntung sih Mas Sulis tidak berkata hal-hal yang mengguruiku.

“Buruan di habiskan makanannya, makan kok ngelamun. Mas mau istirahat dulu di kamar sebelum nanti malam pergi,” kata Mas Sulis sambil membawa piring serta gelas bekas ia makan.

“Iya mas,” kataku.

Setelah Mas Sulis pergi, aku melanjutkan makan meski tidak selahap biasanya. Makanannya sih enak, cuma selera makan agak berkurang selain karena lagi banyak pikiran, aku tidak bisa mengunyah dengan gigi di sebelah kanan karena nyeri.

“Makan kok sambil melamun sih Yan?”

Aku kaget karena tiba-tiba Dita menyapa dan ia sudah duduk di hadapanku membawa sepiring makanan. Ia masih memakai seragam sekolahnya.

Ini aku mimpi ? Dita….

“Aku numpang duduk sini ya, udah laper banget aku,” lanjut Dita.

Aku sedang loading lama sehingga malah bingung mo jawab apa.

Dita yang tadinya hendak menyendok makanan ke mulutnya, tiba-tiba menaruh sendoknya dan memegang kedua sisi piringnya. “Aku pulang sajalah, selera makanku hilang liat kamu kayak orang ling-lung,” sindirnya.

Dita sudah hendak berdiri namun segera kupegang tangan kanannya. “Maaf Dit maaf, Aku masih gak percaya..” aku tak melanjutkan lagi perkataanku. Dita menatapku dan kemudian ia kembali meraih sendok dan garpunya.”

Dita menatapku, “Yadah, kamu juga makan dong, segera habiskan makanannya.”

Aku tersenyum dan mengangguk. “Iya.”

Dita yang biasanya selalu mengajak bicara jika kami makan berdua, kali ini tidak membuka pembicaraan apapun. Ia lebih banyak makan sambil menunduk. Aku agak pun jadi ikut canggung mau bicara apa. Padahal di pikiranku ada banyak sekali pertanyaan yang ingin aku tanyakan.  Di saat makananku sudah habis, sementara makanan Dita tinggal tersisa separuh, aku membuang rasa canggung dan membuka percakapan.

“Sekolah gimana Dit, lancar?”

Dita mengangkat wajahnya, “Capekk, aku banyak ikut bimbel. Sampai rumah jam tiga sore, istirahat bentar terus jam empat berangkat lagi ke tempat les.”

Aku ingat kalau Dita punya cita-cita jadi seorang Dokter. Sudah pasti perlu usaha keras di mulai dari sekarang. Dita berasal dari keluarga yang berada dan sangat mampu membiayai Dita hingga kuliah kedokteran bahkan sampai ke luar negeri sama seperti kakaknya, Mbak Ratna yang kuliah di Sydney Australia. Jadi semuanya tergantung dengan usaha Dita mengejar cita-citanya. Tapi aku yakin Dita bisa karena aku tahu ia mampu.

“Australia? Kamu mau kuliah kedokteran di Australia?”

Dita menggeleng,“Jepang. Aku ingin kuliah kedokteran di Universitas Tokyo. Jadi selain les untuk persiapan tes FK, aku juga les bahasa Jepang.”

“Luar biasa. Semangat ya! Jaga kondisi dan kesehatan Dit.”

“Iya. Aku sudah sedia vitamin seabrek tuh.Btw rasanya lucu yah..” balas Dita sambil berhenti sebentar untuk meneguk es jeruk kesukaannya.

“Lucu? Lucu gimana?”

“Kamu nasihatin aku agar jaga kondisi dan kesehatan, sementara kamu sendiri gak bisa jaga diri sendiri. Bonyok gini sampai gak masuk seminggu. Kamu masih gak berubah Yan, masih sering terlibat masalah yang merugikan dirimu sendiri.”
Rasanya bagaikan kena hantam pukulan tak kasat mata, telak ke ulu hati. Aku tidak sanggup menjawab sindiran Dita. Aku diam saja sambil meminum teh hangat yang sudah hilang hangatnya. Sama seperti Mas Sulis, aku sedang tidak ingin berdebat tentang prinsip hidupku. Melihat aku diam saja tidak merespon komentarnya, Dita melanjutkan dua-tiga suapan makanannya hingga habis. Aku diam menatap Dita. Setelah hampir dua bulan aku tidak bertegur sapa dengan Dita semenjak kami putus, Dita secara “luar biasa” memilih bahan pembicaraan yang sangat sensitif buatku. Sadar aku perhatikan terus, Dita mengambil tisu dan mengelap mulutnya seusai makan.

“Yan, kamu sudah menentukan kamu mau lanjut kuliah dan ambil jurusan apa? Jauh lebih baik jika kamu sudah menentukan pilihan di mulai dari sekarang, di semester I saat kita kelas 2.”

Aku mengumpat dalam hati, ini kenapa Dita seperti sengaja membuatku tertekan sih? Dita tahu benar, aku sama sekali belum punya bayangan cita-cita. Dita bahkan pernah mentertawakanku dulu saat aku kebingungan ditanya, aku punya cita-cita apa. Dita sepertinya sengaja mengetesku apakah aku ada perubahan semenjak kami putus. Fiuh, sayangnya, tidak ada perubahan. Bagaimana aku bisa berpikir jernih dan memikirkan cita-cita jika aku terjebak konflik dan pusaran masalah yang seperti tidak ada habisnya.Dengan sedikit kesal, kujawab dengan sedikit ngawur dan asal.

“Cita-citaku? Aku mau jadi petarung UFC, sesuai dengan bakat dan keahlianku.”

Kalimat tersebut meluncur begitu saja tepat di hadapan Dita dan aku langsung menyesal mengatakannya. Aku ingin bilang bahwa yang kukatakan itu cuma bercanda, tetapi terlintas satu pemikiran, yang baru kusadari. Bahwa sedari awal, memang ada jarak tak terlihat antara aku dengan Dita. Masalah putus, cepat atau lambat akan terjadi juga. Perbedaan pandangan kami jauh, Dita sama seperti Mbak Asih selalu menuntutku agar menjadi “Anak Baik” di sekolah.

Aku ingin dan selalu berusaha bukan hanya menjadi “Anak Baik” tetapi juga seorang “Teman Baik”, namun sayangnya jalan mesti yang kutempuh berbeda dengan jalan yang mereka inginkan meski aku yakin tujuannya sama, “Being a good boy, being a good friends”. Kilasan pemikiran ini secara luar biasa mengangkat sedikit beban di pundakku, terutama penyesalan tentang bagaimana hubunganku dengan Dita berakhir dengan cara yang kurang baik.

Dita mengerutkan dahi saat mendengar jawabanku, ia mungkin mengira aku akan mengatakan kalimat susulan seperti, “Enggak  kok, aku bercanda,” sehingga ia diam seakan memberiku jeda untuk mengatakan hal tersebut. Namun aku tetap diam dan memasang ekspresi tenang, menyiratkan bahwa perkataanku serius. Dita kemudian menggeleng-gelengkan kepala.

“Entah kamu bercanda atau tidak, tapi aku yakin kamu bisa lebih baik daripada kamu yang sekarang ini. Teman-temanmu hanya menyusahkanmu saja,” ujar Dita, meneguk minumannya hingga habis kemudian pergi begitu saja.

Aku masih berdiam diri.

This is our final goodbye as a lovers.

Ini memang jalan yang terbaik buat kami berdua,

Tidak ada yang perlu di sesali sekarang, Dita kini terlihat lebih baik, tanpa aku, ia sudah fokus dengan cita-citanya. Jika aku terus bersamanya, aku bisa membawa pengaruh buruknya. Bahkan ia mengatakan sesuatu yang sudah jelas menyinggungku, Dita percaya bahwa teman-temanku yang sekarang ini hanya menyusahkan. Perbedaan kami semakin kentara. Menyinggung teman-temanku sama saja mengatakan bahwa aku memilih jalan yang salah, prinsip hidup yang salah.

Setelah menaruh piring di tempat cucian, aku segera kembali ke kamar dan dengan sengaja menyalakan speaker bluetooth dengan volume nyaris full. Kututup pintu kamar dan kuputar lagu di ponsel yang sedikit banyak mewakili kegusaranku tentang prinsip hidupku yang banyak di kritik oleh orang-orang terdekatku.


Superglad - Berandalan Ibukota
kami bukan penjahat jalanankami hanya terlihat garang dari penampilanmereka menilai dari luarmereka tak mengenal hati kami yang liarooo ooo melangkah dengan pasti tak peduli orang beropiniooo ooo kami serigala malam yang tak kenal diamberandalan ibukota, berandalan ibukotatato yang mereka takuti lebih baik daripada mereka yang korupsihari demi hari kita berdiri angkat gelas tuang air suciberandalan ibukota, berandalan ibukotaooo ooo ooo kami bernyanyiooo ooo ooo sesuka hatiooo ooo ooo kami bernyanyikami di sini berdiri sesuka hatikami di sini bernyanyi sesuka hati kami

Adrenalin sedikit naik saat mendengar lagu mood booster seperti ini, aku tidak peduli jika Mas Sulis mendengarnya. Sambil mendengarkan lagu ini, kuketik satu pesan singkat lalu ku kirim ke grup XYZ.

YANDI
Malam ini kita semua merapat jam 10 malam di rumah Xavi.
Pertarungan belum usai kawand.
13.56

Tak lama setelah pesan kukirim, satu persatu teman-temanku membalas dengan jawaban mereka siap untuk merapat termasuk Yosi, Xavi dan Zen

Kulemparkan ponsel, menikmati lagu-lagu keras yang tersimpan di ponsel.

Pertarungan memang belum usai, justru ending event di sekolaj seminggu lalu menghasilkan berbagai macam skenario baru yang sayangnya tetap saja akan menjadi kerikil dalam perjalanan hidupku dan ini perlu kusampaikan kepada teman-teman tentang potensi bahaya laten lanjutan.



= BERSAMBUNG = 

1 comment for "LPH #86"

Post a Comment