Featured Post

LPH #38

Episode 38
Demonstrasi Kekuatan




(Pov Zen)


Jam 13.30 tepat, suara bel pertanda pelajaran sekolah telah usai untuk hari membuat gue merasa lega. Setelah selesai berdoa, gue dan anak-anak F4 langsung menghambur keluar kelas dengan tergesa. Gue melongok ke bawah ke arah lapangan basket dan merasa lega melihat sohib gue Yandi masih berdiri tegak  di tengah lapangan sembari mengangkat meja.

“Guys, Yandi masih bertahan ! Ayo kita semua ke bawah mendukung Yandi !” Teriak Sapi di depan kelas.

“Ayooo dukung Yandi !!” Sambut Wisnu.

Dan serta merta anak-anak 1F berlarian sepanjang lorong kelas menuju ke bawah lalu ke pinggir lapangan. Serombongan anak-anak kelas 1 dari lantai atas yang berlarian tentu mengundang perhatian buat anak kelas 1 yang berada di bawah dan juga anak kelas 2 dan 3. Namun kami tidak memperdulikannya, yang ada di pikiran kami adalah mendukung dan menyemangati Yandi.

Kami berdiri di pinggir lapangan, bersorak dan bertepuk tangan. Ada puluhan orang dimana mayoritas dari anak kelas 1F, 1E dan 1 D. 3 kelas ini boleh dibilang menjadi pendukung utama Yandi. Sontak kami semua menjadi pusat perhatian bukan hanya dari sesama murid baik dari kelas 1, 2, 3 namun juga perhatian para guru-guru yang melihat kami dari depan ruangan para guru.

“Ayo yan, semangatt tinggal 1 jam lagii!” teriak si sapi

Yandi…Yandi…!” seru vinia memberikan suntikan semangat sambil sesekali bertepuk tangan. Teriakan dukungan juga mengalir untuk teman gue yang satu itu bukan hanya dari kami berempat namun juga dari mayoritas anak kelas 1 dan tentu saja ada pasukan berani mati seperti Riko, Sigit, Astra, Bembi dan masih banyak lagi. bahkan ada beberapa teman yang memegang karton putih dengan berbagai tulisan, diangkat tinggi-tinggi.

YANDI OUR HERO, OUR LEADER !!

YANDI = KAMI !!

JANGAN MENYERAH YANDI ! KAMI SEMUA DISINI MENDUKUNGMU !!

Meskipun kami semua mendukung dan mencoba menghibur Yandi dengan teriakan, tepuk tangan atau apapun untuk Yandi, namun kami semua sebenarnya miris dan prihatin dengan kondisi Yandi. Bajunya sudah basah oleh keringat setelah dijemur sembari mengangkat beban sebuah meja kayu meskipun kecil tetap saja mengangkatnya selama hampir 6 jam nonstop bukan perkara yang mudah. Kedua tangan Yandi menegang, urat-urat di kedua tangannya sudah menonjol. Perban yang melilit tangannya bahkan sudah sobek-sobek, terlepas kaitannya, sangat lusuh. Kedua kaki Yandi juga gue lihat mulai gemetaran. Belum lagi masalah dehidrasi yang di derita Yandi . Sesekali Yandi menumpukan meja diatas kepalanya menopang beban meja ketika kedua tangannya sudah sangat letih. Setelah beberapa saat, Yandi mengangkat lagi tinggi-tinggi meja. Meskipun terlihat menderita dan tersiksa terkena hukuman yang begini berat, Yandi tersenyum ke arah kami dan mengangguk kecil. Sinar matanya masih tetap ada, masih terlihat semangatnya. Itu yang ngebuat gue dan teman-teman lain lega. Kami yakin Yandi masih bisa bertahan, sebentar lagi Yan !

Gue melihat sekeliling kami dan mendapati bu Shinta ternyata berada di antara kami. Ia nampak memeluk Vinia yang kembali menangis. Entah kenapa Vinia bisa demikian sedih. Bu Shinta mengelusi rambut Vinia, sesekali ia berbisik-bisik kepada Vinia, mungkin mencoba menenangkan Vinia. Di belakang kami ternyata ada anak kelas 1 yang hanya memandangi kami sembari duduk-duduk di bangku depan. Di antara mereka ada Leo dan Gom yang tengah berbincang. Wah si Gom udah masuk? Ckckck, gue lihat semua jemari Gom masih terbalut perban. Ketika gue beradu pandang dengan Gom, gue tersenyum melambaikan tangan ke arahnya. Reaksi Gom? Dia meludah ke lantai lalu beranjak pergi dengan teman-temannya diikuti oleh Leo.

Hahaha, sepertinya Gom trauma ketemu sama gue.

Gue mengamati ke arah kelas 2. Di lantai atas, ternyata para bajingan anak kelas 2 juga sedang mengamati Yandi dan tentu saja memandang ke arah gue. Tidak ada  Bram. Kabar yang gue dengar, Bram masih dalam tahap pemulihan setelah menjalani banyak operasi tulang dan penyembuhan kulit wajahnya yang dulu terkelupas mulai pulih. Entah apa jadinya kalau nanti Bram sudah bisa masuk sekolah dan ketemu lagi dengan Yosi. Gue lihat hubungan Bram dengan Yosi sedikit rumit. Axel tidak nampak batang hidungnya di atas sana.

“Eh lihat tuh di sana!” kata Yosi sembari menepuk pundak gue. Gue mengikuti arah yang ditunjuk Yosi dan melihat Axel ternyata tengah berbincang dengan Feri, Deka dan Darma di bawah ring basket. Sambil berbincang mereka juga sembari mengamati Yandi. Meskipun mereka tidak menunjukkan suara mereka, tetapi kehadiran anak kelas 3 yang terhitung satu aliansi dengan kami anak kelas 1, sudah menjadi pertanda bahwa mereka juga turut mendukung Yandi dengan cara mereka sendiri. Dan ketika gue melihat ke lantai atas gedung kelas 3, gue lihat Jati, salah seorang anak kelas 3 yang pernah dikalahkan Yandi juga memperhatikan dari atas dengan beberapa temannya. Sikap Jati masih belum jelas, apakah ia mendukung kami anak kelas 1 atau masih bersikap netral dalam perang dingin antara Axel - Feri cs dengan Oscar cs. Namun gue punya feeling bagus dengan Jati.

Dan tiba-tiba gue melihat Oscar, Budi dan beberapa anak buahnya melintasi lapangan basket. Oscar dan Budi berjalan santai mendekati Yandi. Gue dan Yosi langsung berpandangan kemudian maju ke depan barisan. Karena pak Tomo sudah melarang siapapun mendekat dan masuk ke tengah lapangan basket. Gue lihat Oscar bersikap santai hanya memandangi Yandi. Sikap berbeda justru ditampakkan anjing piaran Oscar yakni si Budi. Ia meneguk air mineral di depan wajah Yandi.

“Ahhhhh segar banget panas-panas gini minum air putih dingin, elo mau gak? Oh iya kan elo sedang dihukum, gak boleh minum hahahaha,” katanya kepada Yandi lalu sekali lagi meminum air mineral tepat di depan wajah Yandi.

Bangsat ! Di situasi seperti ini dia masih mau cari gara-gara. Ketika gue dan Yosi hendak maju, tiba-tiba gue melihat Vinia yang terlebih dahulu maju. Dia langsung merebut botol Aqua yang dipegang Budi dan menyiramkan air di dalam botol ke muka Budi sehingga  wajah dan baju seragamnya basah kuyup. Botol Aqua yang sudah kosong pun dilemparkan ke muka Budi. Budi yang tidak menyangka tindakan Vinia, langsung berteriak marah dan hendak memukul Vinia.

“KENAPA ? MAU PUKUL GUE !! AYO PUKUL - PUKUL GUE!!” tantang Vinia yang sudah demikian marahnya ke Budi, ia melotot kepada Budi. Budi sepertinya cukup pintar untuk tidak memukul seorang perempuan, di tengah sekolah disaksikan semua orang. Dia menghentikan pukulannya di udara.

“ANJING BETINA LU!” maki Budi.

“MENDING JADI ANJING DARIPADA JADI COWOK GAK TAHU ETIKA KAYAK ELO ! BISA-BISANYA ELO PAMER DAN MINUM AIR DI DEPAN TEMAN GUE YANG SEDANG DIHUKUM !” balas Vinia.

“CUIH ! PERSETAN SAMA ETIKA !” balas Budi tak mau kalah.

“IYA EMANG! ELO SETAN ! BUKAN MANUSIA ! GUE PENGEN TAHU, ELO MAMPU GAK TERIMA HUKUMAN SEPERTI TEMAN GUE INI??” seru Vinia sambil mendorong tubuh Budi.

Kata-kata Vinia diiringi suara tepuk tangan dari teman-teman, namun gue khawatir melihat wajah Budi yang memerah, dia bisa lepas kendali dan memukul Vinia tanpa memperdulikan akibatnya. Gue yang pernah meraskan pukulan Budi aja nyaris pingsan, apalagi cewek seperti Vinia yang kena pukul. Gue dan Yosi langsung menghampiri Vinia.

“Udah Vin, santai,” bujuk Yosi sambil menarik mundur Vinia.

Sementara gue langsung berdiri di depan Vinia dan berhadapan dengan Budi.

“Elo sentuh teman gue, elo gue habisin,” ancam gue ke Budi.

Budi tiba-tiba tertawa mengejek gue. “Hahahaha, gue gak salah dengar nih?? Elo amnesia ya sama kejadian dulu waktu elo gue bantai,” tukasnya.

“Mau coba lagi? Ayo gue ladenin , gue gak peduli dengan hukuman dari sekolahan,” kata gue sambil maju satu langkah sehingga gue benar-benar berdiri berhadapan dengan Budi yang tinggi besar. Kedua tangan gue terkepal.

Budi menyeringai, namun tiba-tiba Oscar menarik Budi menjauh tanpa banyak kata.

“Yakin elo nantang gue? Siap terima resiko patah tulang punggung gak lu, hahaha” teriak Budi kemudian berlalu pergi.

Keparat, liat aja nanti pembalasan gue. Kita lihat tulang siapa yang lebih banyak patah, elo atau gue, umpat gue dalam hati.

Setelah Budi dan Oscar pergi, situasi yang sempat memanas kembali kondusif. Kondisi sekolah mulai lengang, meskipun sebagian besar murid-murid memilih untuk pulang, ada juga sebagian kecil murid dari berbagai kelas yang masih duduk-duduk di sekitaran lorong sekolah. Mereka yang masih disini seperti antusias untuk menunggu sampai sejauh mana Yandi bisa bertahan. Gue melihat sudah jam 14.52. 8 menit lagi. Kami semua berteriak semakin keras dan kencang.  Bembi bahkan menyeret tong yang entah ia dapat darimana, lalu ia memukulinya sehingga suasana makin riuh.

“Tinggal 5 menit lagi yaaann!” teriak kami kompak. Kami semua membuat kegaduhan karena kami khawatir melihat Yandi sepertinya sudah mendekati akhir kekuatannya. Dia mulai tidak nyaman lagi berdiri tegak, kedua kakinya bergetar hebar, wajahnya memucat. Tangannya sudah beberapa kali nyaris terlepas saat memegangi meja. Membuat kami semua kadang takut dengan kemungkinan, karena sudah mencapai titik stamina, kapan saja Yandi bisa pingsan dan lalu kepalanya tertimpa meja yang ia angkat. Kalau sudah begitu, bisa gawat. Ketika waktu tinggal 3 menit lagi, gue lihat Yandi sudah limbung kesana-kemari. Dia sudah tidak kuat berdiri tegak, tangannya sudah tidak kuasa mengangkat meja, meja tersebut kini di tahan dengan kepala Yandi, sehingga meja yang dalam posisi terbalik ini seperti dipikul dengan kepala dan hanya dipegangi dengan tangan supaya tidak tergelincir. Kami semua harap-harap cemas, semua murid yang semula duduk-duduk di belakang kini sudah berkerumun di pinggir lapangan. Axel cs juga masih berada disini mengamati dalam diam. Kami semua merasa tegang, takut, khawati jadi satu melihat Yandi sudah sempoyongan kesana-kemari menahan meja tetap berada di atas kepalanya. Ekspresi Yandi susah digambarkan, matanya berkedip-kedip dengan cepat. Kami hanya bisa terus berteriak, mencoba  menjaga Yandi tetap sadar. Karena pasti gregetan sekali jika Yandi pada akhirnya tumbang padahal waktu tinggal beberapa menit lagi.

“SEMANGAT YAN !!! TINGGAL 1 MENIT !” teriak kami sekali lagi. Dan entah siapa yang memulai kini kami bertepuk dengan intensitas cepat. Semua orang bertepuk tangan, dari murid kelas 1 hingga kelas 3 yang tidak gue kenal sebelumnya kini ikut larut dalam upaya memberikan dukungan kepada Yandi. Mereka juga tidak segan untuk berteriak meneriakkan kata-kata yang membakar semangat Yandi yang gue lihat nyaris padam. Dan cara kami sepertinya berhasil membangkitkan kesadaran Yandi. Kini ia bisa kembali berdiri tegak, meskipun tetap dengan kaki yang gemetar, namun posisi berdirinya cukup stabil. Meja yang posisnya sempat miring, sempat nyaris jatuh  kini dipegangi dengan mantap dan berada tepat di atas kepala Yandi. Kami semua berteriak menghitung mundur ketika waktu tinggal menyisakan 10 detik lagi.

10
9
8
7
6
5
4
3
2
1

Tepat di hitungan ke 1 dan penanda bahwa dia sudah berhasil bertahan selama 6 jam, Yandi berteriak keras dan mengangkat meja tinggi-tinggi lalu dengan sisa tenaga ia melemparkan meja tersebut ke samping. Dan kaki-kaki meja tersebut langsung patah. Kami semua langsung menghambur ke arah Yandi hendak memeluk dan menopang tubuh teman kami yang perjuangannya sungguh luar biasa. Namun gue seperti terpental ke samping ketika ada sosok pria bertubuh besar, mengenakan kemeja warna merah menyerobot jalan gue tiba-tiba. Tepat sebelum tubuh Yandi roboh ke depan dan ambruk di lapangan, sosok tersebut berhasil meraih tubuh Yandi dan langsung memanggul tubuh Yandi yang sudah pingsan di pundaknya.

“MINGGIR KALIAN SEMUAA ! PAK HENDRI, SIAPKAN MOBIL, KITA KE RUMAH SAKIT SEKARANG!” sosok tersebut berteriak keras sekali.

Dan selanjutnya gue melihat sosok tersebut dengan langkah tergesa dan setengah berlari  menembus kerumunan murid, membawa Yandi menuju mobil Avanza yang pintu tengah sudah dibukakan. Setelah meletakkan tubuh Yandi yang nampak lunglai, sosok tersebut membuka pintu depan dan masuk ke dalam mobil. Tak butuh waktu lama mobil tersebut sudah melesat pergi.

Kami semua terpana, termasuk gue. Karena sosok yang dengan cekatan membawa Yandi pergi ke Rumah Sakit  adalah Pak Tomo sendiri.


***

“Baik bu Shinta. Baik, kami tunggu kabar dari ibu.”

“Iya, iya kamu tenang saja. Biar kami para guru yang mengurus Yandi. Kakaknya Yandi sudah dihubungi langsung sama Pak Tomo. Kalau semua sudah kondusif, ibu kabari.”

“Yang penting Yandi tidak apa-apa dan sudah mendapat perawatan. Pokoknya kalau semua urusan disana sudah beres, tolong segera kabari kami bu.”

“Oke, bye Vin.”

KLIK. Bu shinta mematikan sambungan telepon yang di set loudspeaker sehingga kami bisa mendengarnya.

Kami berempat menatap ke arah layar hp Vinia yang ditaruh di lantai pendopo. Sebelumnya Vinia berinisiatif untuk menghubungi bu Shinta untuk mencari tahu dimana Yandi dirawat karena kami semua kehilangan jejak mobil yang membawa pergi Yandi. Kami sebagai teman terdekat Yandi tentu khawatir dengan kondisi dia sekarang. Setelah tersambung dengan bu Shinta, kami bisa bernafas lega karena ternyata bu Shinta juga ada di dalam mobil tersebut.

“Fiuhh, lega gue kalau yang kasih keterangan ke kita adalah bu Shinta,” ujar Xavi sambil merebahkan badannya.

Yosi juga mundur dan duduk bersandar di dalam pendopo. “Kita yang nonton Yandi aja ikutan capek, gimana perasaaan Yandi ya,” timpal Yosi.

Vinia masih diam dan mengambil hp nya. Lalu sibuk sendiri masih dalam keadaan bersila. Rok Vinia tersibak menampakkan pahanya. Meskipun Vinia nampak biasa saja duduk begitu seronok, yang risih malah gue. Gue lalu duduk di pinggir pendopo, menatap kolam renang yang berukuran besar. Airnya nampak begitu menyegarkan. Sepulang sekolah, kami berempat menuju ke rumah Xavi yang luar biasa besar dan megah bak istana. Xavi mengajak kami menuju taman belakang yang memiliki pendopo yang muat untuk 5-6 orang. Di dalam pendopo, lengkap sekali peralatan elektronik. Mulai dari PC, TV 32 Inci, Audio dan kulkas kecil. Dan tepat di depan pendopo ada kolam renang yang berbentuk seperti angka 8. Sudah gitu sekeliling kolam renang dan pendoopo banyak dikelilingi pohon yang berdaun lebat, membuat suasana disini begitu asri. Pendopo ini langsung menjadi tempat berkumpul favorit kami.

“Emang tu teman kita yang satu itu, tidak pernah berhenti mengejutkan kita semua. Gue tahu stamina Yandi itu luar biasa, tetapi demonstrasi kekuatan stamina dan mental yang ia miliki dalam menghadapi hukuman edan dari pak Tomo sungguh membuat gue makin respek sama Yandi,”  kata gue menimpali perkataan Yosi sebelumnya.

“Zen, elo belum dapat kabar apa-apa tentang penyebab Yandi bonyok?” tanya Yosi.

Gue menggeleng. “Belum, bisa jadi kalaupun Yandi berantem di luar sana, dia berantem di jalan. Belain orang asing yang kena palak mungkin. Dia kan orangnya gitu, ga suka liat orang kena bully.”

“Apa kelompoknya Oscar terlibat ya? Kan mereka paling jago provokasi tuh. Bisa jadi Yandi kena provokasi hebat sampe dia naik emosinya.” ujar Xavi tiba-tiba.

Dan gue langsung kepikiran dengan omongan Xavi barusan, masuk akal. “Bisa juga, namun apa motifnya? Secara kondisi  sekolah sedang tenang-tenangnya setelah pak Tomo masuk.”

“Tapi Zen, anak kelas 3 dan kelas 2 yang jadi anak buah Oscar sekilas mereka tadi ada semua, gak ada bekas luka apapun. Gak mungkin Yandi kena serang tanpa membalas para penyerangnya sedikitpun. “ tukas Yosi.

“Bisa aja loh Oscar atau Leo bayar preman untuk gebukkin Yandi. Sekaligus mereka mengetes ketegasan pak Tomo dalam hal pemberian hukuman kepada para siswa yang terlibat perkelahian. Kalau ini misal memang skenario dari Oscar, tujuan mereka tercapai karena selain sudah membuat Yandi babak belur lumayan parah menggunakan jasa preman sehingga tangan mereka tetap bersih, sekaligus membuktikan keseriusan pak Tomo tentang hukuman buat murid yang melanggar hukumannya,” ujar Xavi.

Yosi diam dan nampak kesal. Gue juga diam memikirkan perkataan Xavi barusan. Karena apa yang diutarakan Xavi masuk akal. Namun entah kenapa, gue punya feeling, Oscar cs tidak ada hubungannya dengan apa yang menimpa Yandi. Namun apa yang terjadi di luar sana, masih misterius. Saat kami bertiga tengah terdiam sibuk dengan pikiran kami masing-masing, tiba-tiba Vinia berdiri dan keluar dari pendopo. Ia berjalan lumayan jauh lalu sibuk berbicara di ponsel.

“Eh, eh gue dapat isu nih dari sekolah lain,” pekik Yosi tiba-tiba sambil menegakkan tubuhnya tidak lagi dalam posisi bersandar di bantalan pinggir pendopo.

“Apaan?” tanya gue. Xavi yang tadinya berbaring juga langsung menegakkan badannya.

“Gue dapat kabar kalau, Puput anak SMA SWASTA XXX masuk rumah sakit karena terluka parah. Dia ditemukan salah seorang warga tidak sadarkan diri di belakang pabrik bekas gula. Dari kondisinya ia seperti terlibat dalam suatu perkelahian. Si anjir, Puput kan tangan kanan si Toni, anak kelas 3 SMA SWASTA XXX yang pegang tuh sekolah.”

“Serius lo?”

“Iya nihh, gue barusan baca chat di grup teman gue SMP. Wah pasti heboh nih. Puput itu temannya banyak banget loh. Apalagi dia anak basket. Pasti teman-teman Puput langsung panas nih. Siapa sih orang nekat yang udah nyerang Puput? Setahu gue, Puput orangnya cool, bukan tipe orang rese yang suka mancing emosi orang,” papar Yosi.

“Eh jangan-jangan, Yandi berantem sama Puput? Kan pas banget tuh!” celetuk Xavi tiba-tiba mencoba mereka-reka kejadian yang menimpat Yandi dengan Puput kemarin.

“Yee, gak nyambung kali Puput dengan Yandi. Emang Yandi kenal sama Puput? Lagian kalaupun kenal, gak mungkin mereka sampai berkelahi. Pokoknya dari segi manapun, Yandi gak ada hubungannya dengan Puput deh. Siapa tahu diam-diam gitu Puput itu punya banyak musuh yang dendam sama dia. Lagipula, ada faktor bahwa sekolah kita punya hubungan baik dengan SMA SWASTA XXX. Bahkan gue dengar Toni itu berkawan baik sama Axel,”

“Hehehehe gak nyambung ya, namanya juga orang nebak-nebak.”

Lagi-lagi celetukan Xavi juga ada benarnya, tetapi perkataan Yosi juga lebih masuk akal. Tidak mungkin peristiwa Yandi berhubungan dengan peristiwa yang menimpa Puput. Tidak ada faktor penghubung sama sekali.  Sambil mikir gue melihat ke arah Vinia yang sudah selesai telpon-telpon, kini dia sedang memperhatikan layar ponselnya, namun ekspresi Vinia seperti orang terkejut, matanya nampak membelalak sampai ia menutupi mulut dengan tangan kiri. Ini reaksi lazim seorang cewek yang sedang terkejut oleh sesuatu dalam konotasi perasaan terkejut karena mendapati sesuatu seperti kabar buruk.

Dan feeling gue jadi semakin gak enak, baru juga gue mau manggil Vinia, tiba-tiba ia berlari ke arah pendopo.

“Guys !! Gue tahu ! Gue tahu apa yang terjadi sama Yandi  ! Kalian lihat ini video ini ! ” seru Vinia sembari meletakkan handphonenya dengan posisi landscape ke arah kami. Di tengah suara Vinia yang bernafas dengan terengah-engah, gue, Yosi dan Xavi melihat sebuah video yang merekam ada 2 orang pelajar yang kelihatan dari seragam yang mereka kenakan tengah berbicara serius. Sudut pengambilan video ini sepertinya diambil dari lantai atas, sehingga nampak jelas, apalagi kualitas gambarnya juga sangat jelas. Kami bertiga langsung menahan nafas karena teman kami Yandi ada di dalam video ! Dia tengah berbicara dengan seseorang berbadan gempal dan berambut cepak pendek. Gue gak kenal siapa cowok yang tengah berbicara serius dengan Yandi.

“Anjing, ini khan...Puput..anak SMA SWASTA XXX!!” ujar Yosi terkesiap dan matanya membelalak karena mengenali lawan bicara Yandi.

Apa ? ini yang namanya Puput? Sedang apa mereka berdua ? Apa jangan-jangan...

“TUH KAN BENERRR, YANDI BERANTEM SAMA PUPUT!” seru Xavi.

 “Eh lu diem sapi ! Gak usah teriak-teriak, gak kedengaran mereka ngomong apaan! VIN, TOMBOL VOLUMENYA MANA? GAK KEDENGERAN NIH SUARA MEREKA” sergah Yosi.

“INI SUDAH VOLUME MAKSIMAL! LIAT NIH ! DARI SUMBERNYA VIDEO INI GAK ADA AUDIO!!” balas Vinia sambil menekan tombol volume di samping hp nya. Melihat ketiga teman cowoknya pada tegang, membuat Vinia ketularan tegang dan ikut berteriak-teriak. Membuat suasana di pendopo makin gaduh. Gue langsung menyambar ponsel Vinia, Yosi dan Xavi langsung protes !

“Eh elu ngapain Zen ! Ayo cepat kemarikan ponselnya biar kita tonton !” ujar Yosi.

“Iya Zen ! Rese amat sih lu!” timpal Xavi.

“Gue gak akan meletakkan ponsel kalau kalian berdua ribut sendiri ! Gue juga penasaran tetapi kita mesti tenang. Yang pasti ini video ada teman kita Yandi dan ternyata sedang berbicara dengan Puput dan sialnya video ini non-audio jadi kita tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Yang gue mau, kalian semua tenang, oke? Termasuk elo Vin. “

Ketiga teman gue langsung diam dan mengangguk. Setelah situasi mulai tenang, ponsel Vinia gue letakkan di atas meja kecil. Gue rewind video dari awal dan kami berempat mulai menonton tanpa bersuara sedikitpun dan mencoba tetap tenang

10 menit kemudian.....

Gue mengurut kening, menebak-nebak akar masalah keduanya.

Yosi keluar dari pendopo, lalu menyalakan rokok.

Xavi  keluar dari pendopo, lalu meloncat ke tengah kolam renang dalam kondisi masih memakai seragam sekolah lengkap.

Vinia berbaring, melamun menatap langit-langit pendopo.

Kami berempat sepertinya shock setelah baru saja menyaksikan video berdurasi 9 menit 34 detik paling menegangkan yang pernah kami tonton bareng.  Kami melihat bagaimana Yandi dipukul terlebih dahulu. Yandi bisa menangkis tetapi satu pukulan kiri disusul satu tendangan membuat Yandi terhempas. Puput kemudian menyeruduk ke arah Yandi dan dalam posisi ditindih Puput yang berbadan gempal, Yandi dihajar habis-habisan tanpa bisa membalas sedikitpun, hanya bisa menahan pukulan sebisanya. Namun tenaga Puput sungguh luar biasa dan tanpa ampun terus menghantam Yandi.

Setelah melayangkan serangkaian pukulan keras, Puput kemudian mencengkeram kerah baju Yandi, mengucapkan sesuatu lalu nampak jelas meludahi Yandi. Kemudian Puput meninggalkan Yandi yang tergeletak. Di saat Puput mengira dia sudah mengalahkan Yandi tanpa balas, tiba-tiba Yandi berdiri seperti tidak terjadi apa-apa. Puput kemudian menoleh ke belakang dan terkesiap kaget karena mendapati Yandi masih bisa bangkit, serta tersenyum ke arahnya. Selain gue, ketiga teman gue otomatis memgumpat dan menampakkan ekspresi ngeri saat melihat Yandi membenarkan letak tulang hidungnya yang bengkok, lalu berjalan pelan mendatangi Puput. Ekspresi Puput masih nampak terkejut lalu dia memutuskan untuk menyerang terlebih dahulu untuk menepis rasa “takutnya”.  

Dua pukulan keras Puput masih bisa ditangkis oleh Yandi, lalu dengan gerakan sangat cepat Yandi menendang pundak Puput sehingga dia terhempas ke dinding. Lalu selanjutnya keadaan mulai dikuasai Yandi. Setelah baku pukul, Puput nyaris roboh tetapi berpegangan ke dinding. Satu pukulan kiri Yandi membuat Puput limbung dan jatuh berlutut di tanah. Yandi mendatangi Puput yang sudah tidak berdaya. Setelah mengucapkan sesuatu, Yandi melepaskan uppercut kanan yang sangat tajam dari bawah, telak mengenai rahang Puput. Membuat Puput tersungkur ke belakang, lalu kamera men-zoom kondisi Puput. Ia pingsan terkapar dengan kondisi mulut penuh buih bercampur darah. Sementara itu, Yandi nampak membungkuk di tanah untuk mengambil sebotol air mineral dan jaket dari dalam tasnya. Setelah minum, Yandi menggunakan sebagian air untuk membasuh mukanya, menghilangkan noda darah mengering yang ada di wajahnya. Kemudian mengenakan jaket, lalu berjalan tertatih-tatih sambil memegangi tembok sampai akhirnya Yandi berbelok ke kiri dan kamera berhenti merekam.

Fiuhh, gue udah pernah melihat langsung Yandi berkelahi ketika melawan Nando dan Jati. Namun kedua pertarungan tersebut bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan apa yang baru saja gue saksikan barusan. Satu kepribadian Yandi yang tenang, tahan pukul namun brutal baru saja tersaji di depan mata kami berempat.

“Zen.. Kalau elo abis berantem seperti di video barusan, kemudian esok harinya elo dihukum mengangkat meja 6 jam nonstop di tengah lapangan dalam cuaca yang panas, elo kuat gak?” tanya Vinia sambil menatap gue.

Gue tersenyum lalu gue jawab “Gak tahu Vin, namun gue bisa pastikan hanya remaja bermental baja yang memiliki daya tahan tubuh serta stamina di atas rata-rata orang pada umumnya yang bisa melakukannya. Dan salah satunya teman kita itu, ” jawab gue jujur.

Vinia membalas senyuman gue lalu menegakkan badan dan duduk bersila. “Enak banget kayaknya kalau renang,” kata Vinia. Gue kaget karena Vinia pelan-pelan menanggalkan kancing  baju seragamnya sampai lepas. Di balik seragam, Vinia mengenakan tanktop hitam yang untungnya memiliki potongan dada cukup tinggi. Namun tetap saja gua bisa melihat area di atas dada Vinia yang putih. Belum hilang rasa keterkejutan gue melihat Vinia membuka seragam di depan gue, tiba-tiba Vinia berdiri dan menarik turun rok yang ia kenakan. Rok Vinia meluncur turun dan gue lihat di balik rok, Vinia mengenakan celana legging ketat berwarna hitam. Paha mulus Vinia yang gue akui sangat seksi terpampang jelas.

“Ayo Zen, kita gabung sama Sapi. Kita berenang yuk.” Vinia lalu meloncat dari pendopo, namun gue panggil dia karena sedari tadi ada pertanyaan yang cukup mengganjal ketika Vinia menunjukkan video Yandi vs Puput.

“Vin, elo dapat video Yandi darimana?”

Vinia tersenyum. “Dari Axel. Sebelum elo nanya, gue kenal Axel darimana, ntar gue ceritain.” Vinia kemudian berlari dan melompat ke dalam kolam renang, bergabung bersama Xavi yang masih saja dipake seragamnya. Melihat Vinia dan Xavi di dalam kolam, Yosi yang memakai kaos bebas namun masih pakai celana seragam , membuang puntung rokok lalu meloncat ke dalam kolam renang.

“Ayooo Zennn gabungg!” teriak Xavi.

“Bentar,” jawab gue.

Lalu gue melihat hp gue berbunyi dan serentak ketiga hp gue, Xavi dan Yosi yang tergeletak di lantai pendopo berbunyi secara bersamaan. Gue melihat notifikasi, ada 67 chat dan terus bertambah di grup Wa “YANDI DAN TEMAN-TEMAN”. Gue langsung buka dan melihat ada salah seorang teman yang mengupload video berjudul “SMA NEGERI XXX vs SMA SWASTA XXX” dimana berisi video Yandi vs Puput. Gue berharap versi video ini memliki audio, namun gue kecewa karena video ini juga tidak memilki audio. Gue duduk terdiam sambil memuta-mutar handphone. Saat ini video Yandi gue yakin sudah tersebar dan viral kemana-mana. Dan pasti membuat gempar para bajingan-bajingan di kota XXX dimana Puput yang sudah punya pamor di  Kota berhasil dikalahkan oleh pemuda tak dikenal dari SMA NEGERI XXX tanpa ampun.

Damn, besok pasti akan menjadi hari yang panjang di sekolah gue.

***

Kekhawatiran gue terbukti, dari pagi sampai kami pulang, video Yandi vs Puput langsung menjadi trending topik di sekolah, semua orang membicarakannya saat gue sedang ada di kelas, sedang pergi ke kantin, di toilet bahkan saat gue hendak mencari tempat tenang di perpustakaan sekolah, 2 orang anak kelas 1 yang kelihatan kutu buku dan duduk di sebrang gue juga tengah mengobrol sambil berbisik-bisik tentang video tersebut.

Suasana menjadi panas ketika, di sebrang jalan tepat depan gerbang. Puluhan orang berseragam  SMA SWASTA XXX berdiri seolah menunggu jam pulang anak SMA NEGERI XXX. Mereka memang cuma menatap siswa-siswa dari dari sekolah gue keluar dengan pandangan tidak bersahabat, hal ini membuat beberapa siswa ketakutan dan mempercepat langkah. Malah ada yang nampak takut keluar dari gerbang. Gue, Yosi, Riko, Sigit dan kelompok anak kelas 1 memasang sikap waspada dan tetap keluar dari gerbang. Kami saling beradu pandang dengan mereka. Tiba-tiba ada salah seorang anak SMA SWASTA XXX yang berteriak-teriak dari sebrang jalan.” YANG NAMANYA YANDI, KALAU ELO JANTAN, AYO SINI KELUAR !”

Gue yang biasanya tenang, langsung tersulut emosi mendengar teriakan tersebut. Gue langsung berdiri dan menghadap orang yang berteriak-teriak.

“EH KONTOL !!! ELO NGOMONG TENTANG SIKAP JANTAN, TAPI KALIAN SENDIRI DATANG BERAMAI-RAMAI SEPERTI INI !!” teriak gue.

Puluhan anak SMA SWASTA XXX terkejut karena gue berani berteriak ke mereka. Sontak suasana langsung berubah menjadi panas, kami saling memaki dan menyerang dengan kata-kata. Seolah tinggal tunggu waktu sampai kami saling serang. Jalanan yang tadinya ramai langsung sepi dan banyak motor dan mobil yang berputar arah. Dan suasana menjadi seru ketika serombongan anak kelas 2  disusul para bajingan dari kelas 2 seperti Satya, Heru, Edgar muncul dari dalam gerbang.

“GUE HITUNG SAMPAI 10, KALIAN GAK SEGERA ANGKAT KAKI DARI DEPAN SEKOLAH KAMI, KALIAN BAKAL TERIMA AKIBATNYA!” seru Edgar.

“MAJU SINIIIII !!! KAMI GAK TAKUTTT !” balas anak-anak SMA SWASTA XXX.

“10...9....8...”

Ketika Edgar sudah mulai menghitung mundur, gue dan anak-anak saling berpandangan. “Kalian siap kena hajar pak Tomo guys??” kata gue sambil menyeringai.

“AHAHAHA GUE GAK TAKUT ! DEMI MEMBELA YANDI, GUE GAK PEDULIII KENA HUKUMANN!” Teriakan Riko disambut seruan dari teman-teman yang lain.

“5....4...”

“AHH ELO KEBANYAKAN BACOT GAR! PAKE HITUNG MUNDUR SEGALA ! LANGSUNG SERANG AJA!” ujar Budi dari dalam gerbang. Budi rupanya sudah mengangkat tong sampah kosong di atas kepalanya lalu dengan garang, ia melemparkan tong tersebut ke arah kerumunan anak SMA SWASTA XXX. Lemparan Budi membuat mereka kocar-kacir dan tong tersebut mengenai salah satu motor yang terparkir disitu, hingga kaca spionnya pecah dan roboh terkena hantaman tong. Untuk pertama kalinya gue senang berada di pihak Budi.

“SERAAAAANGGG!” teriak salah seorang dari mereka.

Ketika kami juga hendak menyerbu, tiba-tiba 3 mobil patroli Polisi berhenti di tengah jalan, tepat di antara kami. Lalu disusul di belakang rombongan mobil polisi, ada sekitar 5-6 motor trail Polisi meraung-raung. Mereka bergerak ke arah kami, seolah-olah ingin menabrak. Para polisi pengendara trail berteriak meminta kami untuk mundur. Karena kegarangan para Polisi pengendara trail ini membuat nyali kami semua menciut dan memilih saling mundur.  Lalu mobil polisi yang paling depan, pintunya terbuka. Seorang Polisi bertubuh gemuk keluar dari pintu kemudi, dan satu penumpang lagi yang keluar bukanlah pak Polisi tetapi pak Tomo.

Iya, pak Tomo. Beliau keluar dari dalam mobil patroli Polisi. Pak Tomo mengambil TOA lalu berteriak.

“ANAK SMA NEGERI XXX, SEMUANYA MASUK KEMBALI KE DALAM SEKOLAH! YANG NEKAT KELUAR, AKAN SAYA HUKUM ! SEMENTARA BUAT ANAK-ANAK SMA SWASTA XXX, KALIAN CEPAT MEMBUBARKAN DIRI ! KALIAN SEMUA DARI KEDUA SEKOLAH SUDAH MENGGANGGU PENGGUNA JALAN DAN KETERTIBAN UMUM ! 10 MENIT KALIAN SEMUA BELUM BUBAR, JANGAN SALAHKAN BAPAK-BAPAK POLISI BERTINDAK TEGAS.! Teriak pak Tomo.

Jangankan 10 menit, baru juga 5 menit, kami sudah kembali masuk ke dalam sekolah dan anak-anak SMA SWASTA XXX juga sudah membubarkan diri. Dan situasi sudah kembali kondusif. Pak Tomo masuk ke dalam sekolah, gerbang ditutup. Lalu semua murid yang nyaris terlibat tawuran di giring ke lapangan basket, setelah di maki-maki pak Tomo, beliau lalu menghukum kami secara massal dengan cara push-up 100 kali dalam waktu 5 menit. Yang tidak sanggup menyelesaikan push-up 100 kali dalam 5 menit, akan dikenai SP1 dan orang tua akan dipanggil ke sekolah.

FUVK.


2 hari kemudian….


Gue mengikuti Eko dengan jarak 10-15 meter dibelakangnya. Dia mengendarai motor dengan santai tanpa sekalipun menoleh ke belakang, gayanya juga sangat urakan tanpa memakai helm, spion tidak dipasang, knalpot bersuara keras sekali, beberapa pengendara motor lebih memilih mengalah dan menepi ketika Eko meminta dibukakan jalan bukan dengan membunyikan klakson namun menarik-narik tuas gas sehingga suara knalpotnya menggelegar. Lampu merah juga dengan seenaknya diterobos. Gue juga terpaksa menerobos lampu merah agar tidak kehilangan jejak Eko, meskipun diselingi suara klakson mobil dan motor yang jalannya gue potong. Ada untungnya suara knalpot motor Mio yang dikendarai Eko memiliki bunyi keras sehingga gue masih bisa menyusul di belakangnya dan menjaga jarak. Setelah kurang lebih 5 Km berkendara di jalan raya utama, gue melihat Eko berbelok ke jalan yang lebih kecil dimana jalannya mulai berlubang alias tidak mulus. Dari  pengamatan gue, gue sekarang berada di distrik X4 yang memang kondisi jalan kurang bagus.

Niat gue membuntuti Eko sampai ke rumahnya karena gue mau “kenalan” sama Eko, satu-satunya orang yang gue yakin menjadi orang yang merekam dan mengupload perkelahian Yandi vs Puput. Berdasarkan pengamatan dan hasil gue bicara dengan Yandi, gue yakin si perekam video jika ditarik benang merah, memiliki keterkaitan dengan Yandi  dan Puput. Benang merah tersebut adalah Dita. Baik Yandi, Puput dan si X ini memiliki ketertarikan terhadap Dita. Video yang tersebar hanya berupa video tanpa audio sama sekali sehingga hanya Yandi, Puput dan Si X yang tahu apa isi pembicaraan mereka. Sebelum gue bisa minta Yandi terus terang tentang pangkal perkelahian dengan Puput, banyak isu yang mengatakan Puput marah karena Yandi telah menghina SMA SWASTA XXX dan begitu juga sebaliknya, Puput lah yang terlebih dahulu menghina sekolah kami lalu menyerang Yandi duluan.

Namun bagi gue, isu tersebut terlalu absurd dan sukar dipercaya, karena gue tahu Yandi orangnya gak akan memulai keributan terlebih dahulu. Sementara Puput, berdasarkan cerita Yosi, dia juga bukan tipe orang yang gampang emosi dan selama ini jauh dari masalah. Apalagi ditambah fakta bahwa Yandi kenal dengan Puput sebelumnya karena pernah diajak nongkrong bareng Axel. Jadi karena  faktor Axel ini lah yang membuat isu bahwa salah satu dari keduanya dengan sengaja menghina lawan, jadi mentah. Yandi tahu Axel berkawan baik dengan Puput dan Puput juga tahu bahwa Yandi juga berkawan baik dengan Axel. Apalagi adanya hubungan baik antara Axel dengan Toni, bajingan nomor 1 di SMA SWASTA XXX membuat gue makin yakin, bahwa konflik Yandi dengan Puput sama sekali tidak ada hubungannya dengan asal sekolah. Sebodoh-bodohnya mereka berdua, jelas  mereka tidak mungkin merusak hubungan baik antara SMA NEGERI XXX dengan SMA SWASTA XXX untuk alasan sepele.

Namun melihat betapa seriusnya perkelahian keduanya, gue yakin penyebabnya juga bukan masalah sepele, besar kemungkinan menyangkut harga diri. Dari sekian banyak kemungkinan penyebab konflik Yandi dengan Puput, cuma 1 yang masuk akal. Yakni masalah cewek. Setelah menunggu Yandi pulih dan sudah bisa pulang ke rumah, gue temuin Yandi di rumahnya dan langsung to the point ke dia.

“Siapa Yan cewek yang jadi pangkal perselisihan elo dengan Puput?” tanya gue pada saat itu. Dan Yandi yang semula tertunduk  lalu menatap gue, membuat gue langsung tahu tebakan gue tepat, masalah cewek. Yandi yang masih dalam keadaaan tertekan karena merasa bersalah telah menjadi pemicu konflik antara pihak sekolah kami dengan  SMA SWASTA XXX, setelah gue bujuk akhirnya mau bercerita panjang lebar dan entah kenapa gue merasa tertarik dan punya feeling ketika dari cerita Yandi, selain nama Puput juga muncul nama Eko, sahabat Dita dari kecil yang setelah lama pindah  luar kota kemudian kembali  ke Kota ini. Ketika gue tanya ke Yandi apakah Eko ini juga menaruh hati ke Dita, Yandi tidak tahu pasti. Namun Yandi cerita bahwa ia pernah bertemu dengan Eko dan Dita yang jalan berdua sebelum dia dan Dita jadian. Hal inilah yang mungkin menimbulkan ketidaksukaan Eko kepada Yandi. Ditambah dengan fakta bahwa Eko besekolah di STM XXX, sekolah yang menurut Yosi menjadi musuh besar SMA NEGERI XXX dan SMA SWASTA XXX membuat gue semakin  yakin Eko adalah si X, perekam dan penyebar video Yandi vs Puput.

Namun gue gak bisa menebak bagaimana bisa Eko ada di lokasi yang tepat dan pas saat duel keduanya terjadi di belakang sebuah bekas pabrik gula yang memiliki lokasi cukup jauh dari area sekolah. Makanya daripada gue bingung, gue minta tolong sama teman laman Saipul alias Ipul, yang setelah keluar dari sekolah gue lalu melanjutkan pendidikan di SMA SWASTA YYY. GUe meminta Ipul untuk mencari tahu anak STM XXX yang bernama Eko. Setelah menunggu beberapa hari, Ipul lalu menemui gue dan  memberikan informasi yang lumayan lengkap tentang Eko. Ipul mendapat informasi tentang Eko, dari salah satu sepupunya yang bersekolah di STM XXX.

“Eko itu anak kelas 1, dia memiliki reputasi urakan dan sangat bengal di STM XXX. Di hari pertama dia masuk sekolah, dia sudah menantang Anton, bos bajingan nomor 1 di STM XXX. Dan hasilnya? 1 bulan Eko tidak masuk sekolah karena mesti dirawat di UGD rumah sakit akibat mengalami gegar otak ringan dan kabarnya sempat kehilangan ingatan namun kemudian pulih kembali. Sejak saat itu, Eko menjadi anjingnya Anton karena Anton cukup terkesan dengan keberanian dan kenekatan Eko. Eko ternyata juga bukan bajingan sembarangan, dalam kompetisi gila yang diadakan Anton, untuk mencari tahu siapa anak kelas 1 paling kuat, dan di akhir kompetisi Eko menjadi siswa kelas 1 terkuat di STM XXX. Namun sosok Eko rupanya kurang disukai di sekolahnya karena sering memicu keributan dengan anak kelas 2 dan dia bukan tipe orang yang nyaman dalam kelompok besar. Kalau bukan karena dekat dengan Anton, Eko sudah dilenyapkan dari sekolah sana. Singkatnya Eko itu mirip kayak elu bro, serigala penyendiri yang berbahaya. Dan saran gue hatii-hati kalau elu mau berurusan dengan Eko Karena dia  bukan Gom, Rudi maupun Yusuf. Dia culas dan sedikit psiko kalau kata sepupu gue,” jelas Ipul panjang lebar.

Maka setelah mendengar penjelasan Saipul dan dia memberikan foto Eko yang diambil oleh sepupunya dengan diam-diam, hari ini gue menguntit Eko. Ketika Eko sudah sampai di rumahnya, gue bakal “kenalan” dengan dia. Saat ini kami melewati jalanan yang cukup sepi, di kiri-kanan kami berdiri tembok-tembok tinggi kokoh. Ini kawasan industri dan gak mungkin rumah Eko berada di sekitar sini karena. Dan gue baru sadar, di jalan  ini cuma kami berdua, dari spion gue melihat jalanan ini sepi. Tiba-tiba gue melihat Eko memutar motornya untuk berbalik arah dan berhenti di tengah jalan, ia menatap gue kemudian menyeringai lebar.

“Udah puas belum elo buntutin gue?” katanya santai.

Bangsat, sejak kapan dia sadar kalau gue buntuti. Karena sudah ketahuan, maka gue pun menghentikan motor di tengah jalan dan membuka helm. Kami berhadapan dalam jarak 10 meter kurang lebih.

“Heeee, awas juga elo punya mata,” balas gue.

“Yah sejak gue bantai Hendi kemarin , gue yakin anak buahnya bakalan balas dendam ke gue. Elo anak buahnya Hendi kan?“

Hendi? Anjing, siapa tuh.

“Gue gak kenal Hendi dan gue bukan anak buahnya Hendi. Gue Zen, anak SMA NEGERI XXX.”

Eko terdiam lalu tiba-tiba tertawa histeris sembari memegangi perutnya, seolah yang gue barusan bilang adalah hal terlucu yang pernah ia dengar.

“PANTESSS! Elo kok ganteng, karena setahu gue, anak sekolah gue gak ada yang ganteng hahaha! Wah gue tersanjung nih sampai dibuntuti sama salah seorang anak orang kaya dari sekolah paling mentereng di kota. Ada yang bisa gue bantu gak nih? Gue sih gak bisa bantu apa-apa selain ngebuat wajah elo yang ganteng itu gue tata ulang pake tinju gue.”

Edan ini orang, batin gue.

“Gue langsung to the point saja, malas gue lama-lama berurusan sama orang gila kayak elo.”

Tawa Eko langsung terhenti mendengar perkataan gue barusan, matanya semakin melotot dan ia turun dari motor, tas selempang yang ia kenakan, dilepas dan dilempar begitu saja di tengah jalan. Auranya langsung berubah. “Barusan elo panggil gue apaan, orang gila?”

Gue juga turun dari motor dan menaruh tas di atas jok motor. “Iya, gue panggil elo orang gila. Orang gila yang telah merekam dan menyebarkan video teman gue Yandi waktu berkelahi dengan Puput, minggu lalu.”

“HAHAHAHAHAHAHHAHAH ! CECUNGUKNYA YANDI DATANG JUGA!  pINTER JUGA ELU BISA TAHU KALAU GUE ADALAH ORANG YANG MEREKAM DUEL KEDUANYA ! TAPI PERCUMA ELO KEREN KARENA SEBENTAR LAGI ELO BAKAL MATI KARENA ELO UDAH MANGGIL GUE DENGAN SEBUTAN ORANG GILA! GAK ADA YANG BOLEH MANGGIL GUE DENGAN SEBUTAN GILAAA !!” setelah berteriak histeris, tiba-tiba Eko mengambil sebongkah batu yang di dekatnya dan dilemparkan ke arah gue. Karena gue udah pasang sikap waspada, gue bisa bereaksi cepat dengan mengelak ke samping.

PRANNNK !!

Lampu depan motor gue pecah terkena lemparan batu Eko dan rusak parah. Mampus, motor mamah rusak, beliau bakal marah besar ini !  Bangsat nih orang ! Batu tersebut berukuran besar dan melesak cukup dalam, tenaga yang luar biasa.

“HEEAAAAAAAA!!”

Eko berteriak dan berlari dengan eskpresi beringas ke arah gue, gue tersenyum dan memasang posisi, gue udah siap meladeni Eko. Cuma dihukum angkat meja atau bersih-bersih toilet sekolah selama 6 bulan akibat hukuman karena berkelahi bukan masalah buat gue. Lagian, kalau gue gak terluka parah hanya menderita luka kecil, gak akan ketahuan.

Tapi mungkin karena sedikit meremehkan Eko, membuat gue kurang gesit untuk mengelak pukulan Eko yang mengenai pipi sebelah kanan, keras dan tajam sekali pukulan Eko. Gue langsung  membalas dengan menghantam dagu Eko dan kena telak. Sesaat kami berdua sama-sama mundur beberapa langkah. Gue mesti serius, tidak boleh lagi meremehkan lawan kalau gak mau kalah konyol seperti dulu dihajar Budi.

Dari sudut  mulut gue, gue mengecap sedikit rasa darah, sepertinya bagian dalam mulut gue terluka karena pukulan Eko.

Begitu juga Eko, ia meludahkan air liurnya yang kemerahan bercampur darah. Pukulan gue juga membuatnya berdarah.

Kami sama-sama sudah terluka, lalu menyeringai  bersamaan. Gue merasakan adrenalin dalam diri gue sudah terpancing naik !

INI AKAN MENYENANGKAN !!!

HIAAATTTTT !

Eko menyerang agresif sekali, pukulannya yang bertubi-tubi sangat bertenaga dan gue akui cukup menyakitkan. 1-2 pukulannya di badan mengenai gue namun selebihnya bisa gue hindari atau tangkis. Karena kebringasan Eko membuat gue belum bisa melancarkan balasan. Karena gue uda mulai terdesak dan lengan mulai sakit, pukulan kanan Eko gue tangkis ke atas dengan tangan kiri gue lalu satu pukulan ke dada dan tendangan gue mengenai Eko membuatnya terhuyung ke belakang. Balasan gue rupanya berefek karena Eko menunduk sebentar memegangi dada serta perutnya. Sementara momen ini juga bakal gue pakai untuk mengambil nafas. Bangsat, berantem di tengah jalan yang berdebu di siang hari yang panas membuat gue ngos-ngosan. Setelah merasa cukup mengatur nafas, giliran gue yang berinisiatif menyerang Eko duluan. Gue berlari lalu meloncat mencoba menendang Eko, namun Eko bisa mengelak dan memukul punggung gue dari belakang. ANJING ! SAKIT TAU! Gue lalu memutar badan ke belakang sembari mengayunkan tangan kiri gue yang mengenai muka Eko. Dengan memanfaatkan putaran badan serta momentum, gue ayunkan pukulan kanan sekuat tenaga ke arah Eko.

BAM !!

Badan Eko terdorong ke belakang, namun pukulan gue tersebut ternyata masih bisa ditahan Eko yang menyilangkan kedua lengan di depan wajahnya membentuk tameng seperti huruf X. Eko menurunkan tamengnya dan menyeringai.

“Kenceng juga pukulan elo, hehehe,” katanya sambil terengah-engah lalu menerjang gue dengan serudukan kepala. Perut gue lumayan sesak terkena serudukan kepala Eko, efeknya membuat gue agak limbung. Hal itu dimanfaatkan Eko dengan mengeratkan pegangannya di badan gue dan gue kaget karena Eko kuat mengangkat badan gue hingga tidak menjejak ke tanah lalu gue dilemparkan ke samping hingga bergulingan di pinggir jalan!

BUK !

Belum sempat gue bereaksi, Eko sudah bertindak lebih dahulu. Dia menindih perut gue dan lalu menyarangkan pukulan keras bertubi-tubi ke arah muka gue, yang dengan susah payah gue blok dengan kedua tangan di atas kepala untuk meredam pukulannya. Ini gawat, kalau gue gak bisa segera lepas dari posisi ini, gue bisa kalah konyol ! Kaki gue yang bebas kumanfaatkan dengan mengayunkan ujung lutut kanan dengan keras dan mengenai punggung belakang Eko. Eko mengerang kesakitan dan reflek menegakkan tubuhnya ke depan sembari memegangi punggungnya yang gue hantam dengan lutut, damn itu pasti sakit banget! Sadar kalau gue punya kesempatan untuk menyerang balik Eko, gue lalu mencekik leher Eko dengan kedua tangan dan mendorongnya ke atas, membuat gue akhirnya bisa lolos dari posisi tidak menguntungkan ini. Eko berontak dengan memegang dan memukuli tangan dan badan gue. Namun daya membunuh gue yang tiba-tiba muncul membuat gue kalap dan malah semakin erat menekan jakun Eko sampai wajahnya memerah dan muncul urat - urat di wajahnya menandakan dia mulai kehabisan nafas. Karena Eko terus melawan, satu hujaman lutut kiri yang mengenai selangkangan Eko, membuat tubuh Eko langsung luruh bak kehilangan tenaga dan matanya mendelik. Sempat ada dorongan untuk mempererat cengkeraman gue di leher eko dan mencekiknya tanpa ampun. Namun kilatan bayangan wajah bokap yang gue bunuh dengan tangan gue sendiri, membuat gue tersadar. Gue gak mau jadi pembunuh lagi !! Setelah mengendurkan cekikan dan melepas leher Eko, badannya melorot ke bawah dan sebelum dia ambruk ke tanah, gue tendang kepala Eko dengan kaki kiri sehingga dia berdebum ke tanah dengan keras dalam posisi tertelungkup.

Gue mengamati Eko nafasnya naik turun, tetapi sepertinya dia masih belum kehilangan kesadaran. Alot juga nih orang belum pingsan. Kalau belum pingsan, mungkin 1 atau 2 jari yang patah bisa membuatnya tidur, heeee. Ketika gue mendekati Eko dan meraih tangan kanannya yang terkulai, Eko tiba-tiba membalikkan badan sehingga pegangan gue lepas dan sebuah hantaman yang sangat keras mendarat mulus mengenai mulut gue, kuping gue seperti menguing panjang dan kepala gue pusing sampai terhuyung ke belakang. Saat gue memegangi mulut, selain bibir sobek berdarah, dari mulut juga mengeluarkan banyak darah. Gue merasakan ada yang aneh di mulut gue, lebih tepatnya di gigi bagian atas. Gue membuka mulut dan memasukkan 2 jari ke dalam. Gue mendapati salah satu gigi molar gue bagian atas sudah nyaris lepas dan hal ini menyebabkan mulut gue berdarah. Karena sudah demikian. Gigi tersebut gue tarik lepas sekalian dan gue buang. Sakit namun terasa lega, karena kalau tidak gue tarik giginya sampai lepas, bisa makin sakit dan bahaya kalau terhantam. Darah yang masih keluar dari gusi beberapa kali gue ludahkan. Bangsat, gara-gara Eko. Gigi gue tanggal dan gue mesti pasang implan gigi.

Gue lihat di tangan kiri Eko, ia menggenggam sebuah batu. Oh pantas saja, pukulannya langsung membuat gigi gue tanggal karena gue rupanya dihantam dengan batu, Eko menyeringai melihat kemarahan gue berkobar. “Dasar pengecut,” kata gue ke Eko.

“Dalam pertarungan, apapun boleh dilakukan demi menjadi pemenang,” balasnya. Dan tak lama kemudian giliran Eko yang nyerang gue masih dengan menggunakan batu. Tangan gue sakit ketika mesti menahan pukulan Eko yang menggunakan batu. Kalau begini terus tangan gue bisa retak. Gue lalu melepas sabuk celana gue yang bergesper sederhana. Gue segera melilit tangan kanan gue dengan sabuk dan bagian besi sabuk yang mencuat, gue posisikan menonjol di sela jari gue. Kalau kena pukul ini, gue yakin efeknya bakal menyenangkan. Pasti berdarah-darah dan meninggalkan sedikit lubang di tubuh.

Setelah berhenti sejenak untuk mengatur nafas, kami bergerak bersamaan. Karena gue mewaspadai tangan kanan Eko yang kini memegang batu sebagai senjata, membuat pukulan kiri Eko mampir ke muka setelah gue menunduk untuk menghindari pukulan kanannya. Lalu dari bawah gue pukul lengan kiri Eko dan membuatnya berteriak kesakitan karena ujung sabuk yang gue hantamkan menusuk lengan bawahnya. Eko membalas dengan menendang perut gue hingga gue terdorong ke belakang. Beruntung gue cukup waspada ketika dari jarak 3-4 meter Eko dengan sekuat tenaga melemparkan batu yang ia genggam ke arah kepala gue. Gue berguling ke kanan untuk menghindari batu tersebut. Melihat ukuran batu yang besar, sudah pasti akibatnya bisa fatal kalau mengenai kepala gue. Bisa-bisa gue ketemu bokap di akhirat sana. Kalaupun gue gak mampus, gue pasti menderita gegar otak parah.  

Elo mau bunuh gue? Oke, gue kasih elo sekali lagi sensasi berada di ambang kematian dan kehidupan yang tipis. Gue lalu berlari mendekati dan Eko sudah menunggu gue. Ketika Eko mengayunkan pukulan, gue mengelak dan menunduk sehingga kini gue berada di belakang Eko. Sabuk segera gue longgarkan sehingga memanjang. Lalu dari belakang sabuk tersebut gue kalungkan di leher Eko dan sekali lagi gue kencangkan. Eko sebenarnya hendak menghindar, namun kalah cepat sehingga lehernya tertangkap.  Segera gue puntir sabuk sehingga membuat Eko tercekik. Eko mencoba berontak dengan mencoba meraih sabuk namun sabuk sudah sedemikian ketat mengitari lehernya.

“Hoeeghhhh..eeekkkkkggghhh!!!”

Suara khas orang yang tengah tercekik kehabisan nafas nampak merdu di telinga gue. Gue tarik lilitan sabuk hingga badan Eko menegang dan kakinya agak berjinjit. Kedua tangan Eko mencoba berontak.

“Njing, elo uda ngliat malaikat berdiri di samping elo belum?gue udah bunuh 3 orang termasuk bokap gue sendiri yang gue kirim ke neraka,” kata gue dari belakang. Eko meronta dengan hebat. Lalu gue mulai berhitung 1 sampai 10. Jika dalam 10 detik, lilitan sabuk di leher Eko tidak gue kendurkan, dia akan beneran mati tercekik kehabisan oksigen.

1
2
3
4
5
6
7
8

Sudah cukup.

2 detik sebelum Eko meregang nyawa, gue lepaskan sabuk yang melilit leher Eko. Dan tubuhnya langsung merosot turun ke tanah lalu memegangi lehernya yang memerah dan meninggalkan bekas jeratan tali sabuk.

“Gue bisa ngebunuh elo sekarang juga, tapi gue gak mau mengotori tangan gue dengan nyawa orang gila seperti elo,” kata gue sambil mengamati Eko yang menatap gue sambil terengah-engah. Matanya melotot dan air liur merembes dari sela mulutnya, urat syaraf di kening dan lehernya nampak menonjol. Ini pertanda orang yang sudah gelap mata dan tidak segan untuk membunuh. Ia menyeringai ke arah gue.

“Gue...matiin...elo...mati....matiiiii!” kata Eko berdiri dan meraih sesuatu dari sabuk yang ia kenakan.


Gesper sederhana dari sabuk celana yang dikenakan Eko rupanya gagang sebuah pisau kecil berbilah hitam. Bangsat, jadi selama di sekolah Eko sudah kesana-kemari membawa sebilah pisau kecil yang dikamuflase menjadi tali sabuk celana. Melihat Eko sudah dikuasai hawa nafsu untuk membunuh gue dengan mengeluarkan senjata rahasianya, gue lalu kembali melilitkan sabuk gue di tangan kanan dengan bagian gesper yang mencuat di sela jemari gue sebagai senjata. Kalau gue niat bunuh Eko, gue uda punya 2 kali kesempatan. Daripada membunuh Eko, lebih menarik kalau gue patahin beberapa tulangnya. Gue asli kangen denger derak suara ketika tulang patah atau teriakan ketika persendian tulang yang lepas, hueueue.

“Sini lo maju....dasar ORANG GILA,” kata gue memancing amarah Eko.

Eko akhirnya benar-benar lepas kontrol ketika gue sekali lagi gue memanggil dia dengan sebutan orang gila. Eko menyerang gue membabi buta dengan menghunuskan pisaunya. Gue memasang kewaspadaan lebih tinggi daripada sebelumnya karena kali ini taruhannya nyawa gue. Selain menyerang dengan pisau, Eko berusaha menendang gue. Adrenalin gue seketika naik lagi karena gue bisa merasakan hawa membunuh yang demikian menguasai pikiran Eko, namun gue cuma bisa menghindari serangan Eko karena tak sekalipun Eko memberikan celah buat gue menyerang. Tetapi sepandai-pandainya gue ngelak, satu ayunan pisau berhasil menyayat lengan gue sehingga seragam di bagian lengan sobek dan langsung berdarah.

Gue meringis kesakitan karena rupanya luka tersebut cukup dalam dan panjang. Melihat gue berdarah, membuat Eko semakin kalap dan semakin berbahaya. Karena gue terus-terusan diserang, tanpa sadar gue mundur dan pijakan gue goyah karena gue menginjak sebuah lubang kecil di tengah jalan. Gue yang kaget langsung limbung, hal itu dimanfaatkan Eko dengan sekuat tenaga menghujamkan pisau ke arah perut gue yang terbuka. Reflek gue menjejakkan kaki kiri agar tubuh gue stabil dan gue sebisanya menangkap pergelangan tangan kanan Eko yang menghunus pisau. Namun,

JLEB!

Gue memang masih sempat untuk menangkap dan menahan tangan Eko tetapi ujung pisau kecil ternyata sudah menusuk perut gue dengan kedalaman 1-2 cm. Kalau saja gue terlambat sepersekian detik bereaksi, nyawa gue pasti melayang saat ini juga. Tusukan tersebut belum fatal namun tetap saja otak mengirim pesan ke indra perasa tubuh gue untuk berteriak melampiaskan rasa sakit, tetapi berkat dorongan adrenalin yang sudah menderu kencang, membuat “pikiran” gue belum sepenuhnya kesakitan. Gue langsung memundurkan perut gue sehingga ujung pisau terlepas dari pertu gue, tetapi darah segar merembes membasahi seragam putih gue. Eko yang tahu gue terpojok menekan pisaunya dengan kedua tangan dan gue jelas mati-matian menahan pergelangan tangan Eko. Kini kami berdua beradu kekuatan, Eko mendorong maju sementara gue bertahan.

“MATII LUUUUU !” Teriak Eko kencang.

BUGH !

Karena terlalu fokus memperhatikan tangan Eko yang menghunus pisau, membuat gue terkena telak hantaman kepala botak Eko yang menanduk muka gue. Kepala gue tersentak ke belakang dan langsung terasa darah segar mengalir dari lubang hidung, gue mimisan. Dan Eko yang mencium kesempatan emas, mendorong lagi pisau sekuat tenaga. Karena gue kalah tenaga akibat akumulasi rasa sakit yang gue derita akibat gigi tanggal 1, sayatan pisau di lengan, tusukan pisau di perut dan kini hidung berdarah akibat tandukan Eko membuat gue kehilangan momentum. Pegangan gue terlepas dan pisau mengarah cepat ke perut, tetapi gue masih sempat mengelak dengan memutar badan ke kanan sehingga Eko terhuyung ke depan. Sekali lagi gue berada di belakang tubuh Eko dan hal itu gue manfaatkan dengan menjejak sekuat tenaga bagian lutut belakang kaki kanan Eko.

BUGH !

Eko melolong kesakitan.

Tubuh Eko langsung meliuk ke kanan, karena lututnya tertekuk seakan kehilangan daya pijak. Gue lalu melompat dan menendang kepala bagian kanan Eko dari belakang. Tendangan gue membuat Eko langsung terpelanting ke kiri dan menabrak pohon di pinggir jalan. Eko terjerembap karena kepalanya terantuk batang pohon cukup keras. Tapi anjingnya, Eko langsung bangun dan menghadap ke gue namun tubuhnya goyah untuk sekedar berdiri.  Tangan kanannya berpegangan ke pohon karena kakinya gemetar efek tendangan gue yang mengenai lutut belakangnya. Pelipis di sebelah atas kanan Eko sobek dan berdarah, membuat wajah Eko yang mulai memar juga berdarah-darah. Tangan kiri Eko kosong, rupanya pisau yang ia pegang sudah terlempar entah kemana. Gue yakin kombinasi tendangan ke arah lutut dan tendangan yang mengenai kepala sampingnya membuat kepalanya pusing luar biasa diselingi suara ngiiiinggg panjang di telinga. Nafasnya tersengal-sengal. Terlihat ia berusaha keras bertahan agar tidak pingsan.

Ini sebenarnya kesempatan gue buat menyerang Eko, tetapi rasa sakit juga semakin menguasai tubuh gue seiring dengan adrenalin yang mulai surut karena faktor tenaga yang mulai habis. Gue membungkuk sembari memegangi luka tusuk. Sebisanya gue menekan bekas tusukan Eko dengan tangan kiri karena darah masih merembes. Sementara tangan kanan gue memegangi memegangi lutut kanan. Gue juga sama seperti Eko, berusaha keras agar tidak pingsan. Kami berdua hanya bisa saling menatap tanpa bisa mengucapkan sepatah kata pun, karena sepertinya kami sudah sama-sama  terluka parah dan kehabisan tenaga.

Sebuah bunyi klakson panjang dari sebuh truk membuat kami menoleh ke jalan.

“WOIIIII, MINGGIRIN MOTOR ELU BOCAH, KALAU ENGGAK SEGERA MINGGIR, GUE TABRAK MOTOR KALIAN DI TENGAH JALAN! EH KALIAN BERDUA KOK BERDARAH? ABIS BERKELAHI YA ELO BERDUA?” Teriak sang sopir truk sembari menatap ke arah kami berdua. Rupanya kedua motor kami yang berada di tengah jalan menghalangi sebuah truk yang mau lewat.

Tanpa menggubris pertanyaan si sopir truk yang seperti kaget melihat kami berdua sama-sama berdarah, gue dan Eko saling menatap sebentar.

“Sampai jumpa lagi di ronde kedua, titip salam buat Yandi. Karena setelah gue habisin elo, gue bakal datangin dia,” seru Eko

Gue meludah lalu gue bales, “Gue akui elo kuat, tetapi elo gak punya kesempatan menang sama sekali melawan Yandi.”

“Haha, justru itu menariknya, melawan orang yang lebih kuat itu lebih greget hahahaha !!! Uhuk..uhukkk,” Eko terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya.

Dasar orang gila, batin gue. Gue udah gak malas berbalas kata dengan eko. Gue memilih berjalan tertatih-tatih dan terbungkuk-bungkuk menuju motor gue, gue melihat Eko juga susah payah berjalan. Dia malah menyeret kaki kanannya, sesekali melompat-lompat kecil menuju motornya. Gue meraih tas dan mengambil sweater lalu gue mengikatkan sweater tersebut di sekeliling perut untuk menghentikan pendarahan. Setelah mengambil batu yang masih berada di bagian lampu depan motor, kemudian menyeka keringat dan darah yang keluar dari hidung dengan tangan, gue lalu mengenakan helm dan menghidupkan motor. Eko juga sudah menghidupkan motornya, sebelum ia pergi dia masih sempat mengacungkan kedua jari tengahnya ke arah gue. Lalu memutar balik motornya dan berlalu pergi. Gue pun juga segera pergi, mengacuhkan pandangan si sopir truk yang terheran melihat dua anak SMA terluka parah. Tujuan pertama gue tentu saja mencari klinik terdekat. Karena luka di perut dan lengan mesti segera dibersihkan dan dijahit agar tidak terinfeksi.

Mata gue udah berkunang-kunang sampai nyaris jatuh dari motor setelah 10 menit an gue berkendara motor sembari memegangi perut. Gue gak menduga bakal sesakit ini kena tusuk meskiun hanya ujung pisau yang masuk. Namun gue bertahan jangan sampai collapse di jalan karena bakalan panjang urusan. Gue senang luar biasa ketika akhirnya gue menangkap samar baliho di pinggir jalan bertuliskan Klinik Umum Medika tidak jauh dari posisi gue sekarang.

Fiuh, gue selamat. Kekuatan anak STM XXX memang gak bisa di anggap remeh, batin gue.


3 hari kemudian……

Gue terbangun ketika hp gue berdering terus-menerus. Dengan menahan nyeri di perut karena bekas jahitan yang belum kering, gue lihat siapa yang udah ganggu istirahat gue.

YANDI CALLING…

Yandi nelpon gue? Sepertinya penting.

“Hallo Yan.”

“Ini Zen?”

Ini bukan suara Yandi, sekali lagi gue cek ID Penelepon, memang ini nomor Yandi. Siapa yang nelpon gue pake nomor Yandi. “Iya, gue Zen. Elo siapa? Elo bukan Yandi.”

“Gue Axel. Elo di rumah kan?”

“Eh Axel?”

“Iya, woi elo dimana sekarang, cepetan jawab.”

“Gue di rumah.”

“Nah bagus, coba elo buka jendela kamar, terus liat keluar. Ada mobil Honda CIVIC putih, berhenti di sebrang jalan. Itu gue sama sama Yandi.”

Hah? Mereka ada di luar? Tanpa menjawab, gue segera membuka tirai jendela dan melihat ada mobil Civic warna Putih di sebrang jalan. Tak lama kemudian, Axel dan Yandi keluar dari dalam mobil. Yandi melambaikan tangan ke arah gue.

“Nah, sekarang elo gue kasih waktu 10 menit, buat siap-siap. Kalau 10 menit elo belum kesini, gue sendiri yang akan seret elo keluar.”

“Hei, apa-apan nih? Bisa tolong jelaskan dulu?”

“Gue jelasin di mobil. Cepat 10 menit.”

Bangsat, gue yang baru tidur, jelas ga akan sempat untuk mandi. Gue lalu cuci muka, pake jaket tebal bertudung, pake celana jeans, sepatu. Setelah mengambil hp gue mengunci pintu lalu keluar rumah. Bokap dan nyokap untung sedang pergi. Setelah menyeberang jalan, gue langsung membuka pintu belakang dan masuk. Di dalam mobil, gue langsung bertanya kepada Yandi yang duduk di kursi penumpang di bagian depan.

“Mau kemana kita Yan?” tanya gue.

“Elo gue ajak ke tempat pertemuan. Malam ini ada pertemuan dengan Toni dan Puput. Bakal gue selesaikan masalah Yandi dengan Puput malam ini sebelum masalah tidak makin membesar dan tidak terjadi tawuran yang tidak perlu,” sambar Axel.

“Lah kok gue diajak?”

“Karena elo dan Yandi, bakal jadi penerus gue nanti,” ujar Axel sambil menengok ke arah gue.


= BERSAMBUNG =  

8 comments for "LPH #38"

Post a Comment