Featured Post

LPH #42

EPISODE 42
Apa Cita-Citamu?


(POV Keysha)


Teman-teman gue bersorak senang ketika Bu Yulia, Guru Bahasa Inggris yang seharusnya mengisi jam ke 5 tidak bisa mengajar karena ada keperluan keluarga. Dan Pak Danto, Guru Sosiologi menyampaikan pesan bahwa meskipun tidak bisa masuk, Bu Yulia sudah menitipkan tugas kepada kami semua. Pak Danto lalu menulis di Board bahwa kami di minta mengerjakan soal-soal dari Buku English XI 1A dari halaman 34-39. Dan di akhir jam, tugas tersebut harus di kumpulkan.

Ah ini menyenangkan, gue bisa rileks. Karena halaman tersebut sudah gue kerjakan kemarin-kemarin.

“Keysha, punya elo uda selesai?” tanya Rita teman sebangku gue.

“Udah dong ! Mau nyalin? Nih !” gue menyodorkan buku ke samping.

“Asyik, tahu aja elo! Makasih ya cantik!” ujar Rita sambil mencubit pipi kananku.

“Ihh, pake acara nyubit-nyubit segala sih, gue bales nih!”

Gue lalu merangkul Rita dan menariknya ke arahku dan gue pun bisa mencubit pipi Rita yang sebenarnya sama kayak gue, sama-sama pipi bakpao.

“Hoi, kalem dong, berisik gangguin gue maen ML aja!!” sergah suara teman di belakang.

“Biarin ! Kalau mau tenang, elo main di kamar mandi sono!” balasku ketus sambil menoleh ke belakang dimana ada Omar, si maniak gamer sedang serius main ponsel. Nih anak memang ngeselin, pantas saja dia duduk sendirian. Anak-anak lain juga males duduk sama dia. Cuma Axel saja yang kadang duduk semeja sama dia.

“Di kamar mandi susah sinyal bego !” balasnya tak kalah ketus.

Di saat gue mau bales kata-katanya Omar, Rita memegang pipi gue dan memalingkan ke depan. “Udah gak usah di tanggepin Sha omongan Omar, cuma ngabisin nafas aja ngobrol ma dia,” tukas Rita yang tahu gue orangnya kadang emosian.

“Rita...”

“Apa say?”

“Bisa lepasin tangan elo gak di pipi gue? Tar di kira lesbi gue sama elo.”

“Hihihi, kalau di bilang lesbinya sama elo, gue sih gak nolak ! Nih sekalian biar di katain lesbi.”

Gue terkejut ketika tiba-tiba Rita mencium pipi kanan gue dengan cepat lalu ketawa. Gue langsung mengelap bekas ciuman Rita dan menoleh kiri kanan takut ada yang ngliat, sepertinya aman karena teman-teman sedang asyik sendiri-sendiri. Namun ketika gue menoleh ke belakang, gue lihat Omar melongo memandang gue.

Shit ! Omar sepertinya melihat adegan saat Rita mencium pipi gue.

Gue tidak memperdulikan tatapannya dan memperbaiki posisi duduk sambil mengomel ke Rita, “Dasar elo Rit ! Main nyosor ajaa. Kalau pun gue lesbi, gue masih mikir-mikir kali sama elo,” kataku pelan.

“Hahaha, gue gemes banget asli sama pipi elo sha. Bisa lembut kemerahan gitu. ” jawab Rita sambil tersenyum nakal ke arah gue.

Kami berpandangan sejenak lalu tertawa bersamaan. Teman gue Rita ini emang bocor orangnya dan suka nyablak kalau ngomong. Kami sahabatan sejak kami sama-sama kelas 1. Waktu kelas 1 kami sudah akrab karena kami sama-sama gabung di ekskul PMR. Dan ketika kelas 2, kami ternyata satu kelas membuat gue dan Rita bisa semakin akrab. Boleh dibilang selain Tania, Rita ini sahabat gue paling dekat. Kami biasa curhat dan saling bergantian menginap di rumah kalau ada hari libur. Gue bisa cocok sama Rita karena orangnya ramai jadi gue yang pendiam ini bisa kebawa enjoy. Rita ini anaknya cantik dan centil, sering gonta-ganti cowok. Dengan paras cantik, dandanan modis kekinian, potongan seragam seksi dan ditunjang dengan tubuh yang montok membuat Rita gampang saja mendapatkan cowok. Tapi untuk yang beberapa bulan ini Rita mengaku ke gue kalau dia sengaja jomblo karena mengincar Axel, playboy SMA NEGERI XXX. Rita mengaku kesengsem berat sama Axel. Gue akui Axel itu memang ganteng, ganteng parah tetapi dia bukan cowok selera gue. Cowok selera gue jelas tipikal om-om tajir hihi. Sedekat-dekatnya gue dengan Rita, dia tidak tahu profesi sampingan temannya yang kelihatan alim ini.

“Eh Sha, gue dengar Pak Tomo manggilin anak-anak kelas 2 yang tahun ajaran kemarin naik kelas dengan predikat 10 besar nilai terbaik lho. Kan elo masuk rangking 6 tuh kemarin, bisa jadi elo bakal di panggil menghadap Pak Tomo,” celetuk Rita menoleh ke arah ku sebentar lalu kembali sibuk menyalin jawaban dari buku gue.

“hah? Serius lo?”

“Iya, Dinda dari kelas 2E kemarin cerita sama gue waktu rapat OSIS.”

“Dinda cerita apa aja ke elo waktu dia di panggil menghadap Pak Tomo?” kata gue dengan nada suara gue buat setenang mungkin, padahal perasaan gue udah gak karuan.

“Kata Dinda, dia cuma di ajak ngobrol santai dengan Pak Tomo. Pak Tomo bertanya tentang hobi, cita-cita, harapan dan sejenisnya gitu. Katanya Pak Tomo ingin mengenal lebih dekat anak-anak terpandai dari angkatan kita. Pak Tomo memberikan motivasi dan wejangan gitu agar tetap mempertahankan prestasi akademiknya. Dinda malah senang katanya karena merasa diperhatikan dan membuatnya makin semangat belajar.”

Gue panik ! Bisa gawat kalau gue di panggil menghadap Pak Tomo ! Gue asli takut sama Pak Tomo karena bisa ketahuan belang gue yang sebenarnya. Selama ini gue menghindari sebisa mungkin bertatapan langsung dengan Pak Tomo ketika ia datang ke kelas dan memperhatikan kami semua ketika pelajaran berlangsung. Bahkan setiap pagi mulai dari jam 6.30 Pak Tomo selalu berdiri di depan gerbang sekolah untuk menyambut dan mengucapkan selamat pagi ke guru-guru maupun para murid yang datang. Hampir semua murid yang disapa Pak Tomo akan mencium tangan beliau. Hal ini yang membuat gue selalu berusaha datang ke sekolah sebelum jam 6.30 pagi karena itu cara gue untuk menghindari bertatap muka langsung dengan beliau.

Kadang gue masih gak nyangka Pak Tomo yang malam sebelumnya membuat gue kewalahan saat gue melayani nafsunya dan kedua temannya, ternyata adalah pria yang sama dengan Kepala Sekolah gue yang baru. Gue akui ada keinginan untuk bercinta lagi kontol Pak Tomo yang sungguh luar biasa, namun keinginan tersebut langsung sirna setelah tahu siapa dia sebenarnya. Gue takut sumpah Pak Tomo akan mengenali gue. Kalau itu yang terjadi, gue bakal malu setengah mati dan entah tindakan apa yang akan di ambil Pak Tomo jika dia lambat laun mengenali gue sebagai Miss White Rabbit. Gue berharap jilbab lebar dan kacamata yang sekarang gue pakai tiap hari akan menyembunyikan wajah gue jika sewaktu-waktu berpapasan dengan beliau di sekolah.

Sampai sejauh ini aman-aman saja, karena frekuensi pertemuan yang sangat jarang dan gue selalu sukses menghindar darinya. Akan tetapi, informasi dari Rita barusan membuat gue berkeringan dingin. Gue gak tahu apakah jilbab dan kacamata ini akan cukup menyamarkan wajah gue seandainya Pak Tomo benar-benar memanggil gue ke ruangannya dan kami bertatap muka langsung dalam jarak dekat.

Tubuh gue menggigil ketakutan membayangkan hal tersebut.

Tiba-tiba Pak Darno yang sedang mengajar di kelas sebelah, masuk dan memberikan pengumuman.

“Keysha Andreass ada?” tanyanya sambil mengedarkan pandangan ke seluruh kelas.

Gue kaget karena nama gue disebut Pak Darno. Gue sebenarnya takut mau angkat tangan cuma beberapa teman langsung menunjuk gue.

“Ah ada. Keysha, kamu di tunggu di ruangan kepala Sekolah ya, sekarang. Cuma 10-15 menit saja kok.”

MATI ! GUE DI PANGGIL PAK TOMO !

“Tuh, baru juga kita omongin sha,” celetuk Rita.

Kalau saja Rita menolej ke arah gue, dia pasti bisa melihat wajah gue memucat dan mata gue mulai berair.

Gue pengen nangis rasanya, hikssss




Gue lalu berjalan gontai dan sepertinya tidak ada yang menyadari ekspresi gue yang bak menuju ke tiang gantungan. Sebelum ke ruangan Pak Tomo, aku ke toilet dulu. Di dalam bilik, aku menenangkan diri. Ayo sha, elo mesti tenang gak boleh grogi. Kalau elo keliatan grogi di luar kewajaran justru akan menarik perhatian Pak Tomo. Gue mesti tenang ! Setelah gue mencuci muka, membenahi jilbab dan sedikit gue turunkan bagian atasnya lalu mengenakan kacamata. Gue sempat berkaca dan mematut diri di kaca besar yang ada di toilet cewe. Tubuh gue yang montok lumayan tersembunyi di balik seragam yang memang di rancang agak kedodoran untuk menyamarkan bentuk tubuh. Secara keseluruhan sih, gue yakin Pak Tomo tidak akan mengenali gue sebagai Miss White Rabbit. Pak Tomo akan melihat gue sebagai Keysha Andreas, siswi berprestasi dari kelas 2F yang berpenampilan sederhana dan tertutup.

Ketika gue mulai menuju ruangan Pak Tomo gue berpikir, meskipun gue yakin 99% Pak Tomo tidak akan mengenali gue, namun bagaimana jika kemungkinan 1 % itu justru yang terjadi nanti. Kalau misal Pak Tomo mengenali gue dan mencoba mengambil keuntungan misalnya dengan mengeskploitasi gue menjadi budak seksnya. Dia bisa saja melakukannya karena mengetahui profesi terselubung gue dan mengancam kalau gue menolak melakukan apa yang ia perintahkan, ia akan memberitahu orang tuaku bahkan kepada teman-temanku.

Namun kalau dia benar melakukannya, gue masih bisa menolak karena dia tidak punya bukti apapun yang membuktikan kalau gue wanita panggilan. Karena dia tidak memiliki nomor ponsel gue. Gue merasa bersyukur karena dengan adanya Miss Pigeon sebagai perantara, para klien hanya bertukar pesan lewat dia, tidak langsung mengontak gue. Bahkan uang hasil esek-esek dari klien pun di transfer ke rekening Miss White Rabbit, bukan ke rekening gue sehingga nama asli gue yang tertera di rekening tidak diketahui oleh klien gue. Namun gue gak bisa tenang begitu saja, karena kuncinya sekarang ada di tangan Miss Pigeon. Bisa saja Pak Tomo menyogok Miss Piegon dengan imbalan uang dalam jumah besar demi mengetahui identitas gue yang sebenarnya. Dalam hal ini gue cuma bisa berdoa Miss Pigeon, siapapun elo sebenarnya, elo tetap bersikap profesional dan tidak membocorkan identitas asli gue ke siapapun.

Gue menghentikan langkah gue ketika terbersit sebuah pemikiran.

Bagaimana jika justru yang terjadi malah sebaliknya, entah bagaimana ceritanya Pak Tomo bisa mengenali gue sebagai salah satu siswi di SMA NEGERI XXX dan gue pun mengenali dia karena sosoknya yang sangat mudah di kenali. Dan yang terjadi adalah Pak Tomo yang khawatir gue akan menyebarkan rahasianya bahwa di balik sosok Kepala Sekolah yang sarat dengan ilmu dan etika justru dia adalah pria yang gemar memakai jasa wanita panggilan. Bahkan bermain gangbang mengajak serta kedua temannya pula menikmati tubuh seorang perempuan belia. Ya, cara ini bisa gue pakai kalau Pak Tomo menyudutkan gue. Hanya saja, posisi gue juga sama seperti Pak Tomo. Gue tidak bisa membuktikan kalau Pak Tomo itu seorang penjahat kelamin.

Kepala gue malah pusing memikirkan hal ini terlalu jauh. Sudahlah, hadapi saja apa yang terjadi di ruang kepala sekolah.

Di depan pintu ruang Kepala Sekolah gue mengetuk pelan. Sampai kemudian terdengar suara dari dalam yang menyuruhku untuk masuk. Gue ambil nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Tangan gue udah berada di atas knop pintu yang bulat.


Fiuhh, Que Sera, Sera.

“Selamat siang Pak,” sapaku seramah mungkin. Gue lihat Pak Tomo sedang membaca sesuatu di meja kerjanya. Dia mengangkat wajahnya ketika mendengarku sudah datang. Ketika untuk pertama kalinya kami saling bertatap muka setelah peristiwa gangbang di hotel, gue gak bisa nafas sama sekali. Ekspresi Pak Tomo? Setelah melihatku, ia hanya tersenyum biasa saja. Senyumannya tanpa disertai kedua ujung mata yang meruncing, layaknya sebuah senyuman yang mengandung 1000 kelicikan.

“Kamu Keysha Andreas dari 2F?” tanyanya.

“Iya Pak.”

“Ah, ayo kamu duduk. Terserah mau duduk di sofa atau di kursi depan meja Bapak. Bebas, yang penting kamu nyaman. Oia, sebelum kamu duduk, tolong tutup kembali pintunya.”

Setelah menutup kembali pintu, aku lalu memilih duduk di sofa yang berjarak sekitar 2 meter dari meja Pak Tomo.

“Kamu biasa di panggil siapa nih? Keysha? Andreas?” tanya Pak Tomo santai.

“Keysha Pak.”

“Oh oke, baik Keysha kamu tahu kenapa Bapak memanggilmu sekarang?”

Lebih baik aku bilang aku tidak tahu saja, maka aku pun menggeleng pelan. “Tidak Pak.”

“Baik akan Bapak jelaskan. Bapak memanggilmu karena 2 hal. Pertama, Bapak ada program dimana Bapak mesti mengenal dengan baik 10 siswa terpandai dari setiap angkatan. Dan kamu adalah siswi yang tahun lalu nilainya masuk ke 10 besar saat ujian akhir. Peringkat 6 ya kalau tidak salah,” katanya sambil melihat ke arah lembaran kertas yang ia pegang. “Ah iya benar. Keysha Andreass di peringkat ke 6,” lanjutnya.

“Keysha, gak usah tegang gitu. Santai saja, Bapak cuma mau mengobrol sebentar saja. Bapak tahu Bu Yuli yang seharusnya mengisi jam ke 5 tidak bisa datang karena pagi tadi beliau ijin cuti mendadak karena ada keperluan keluarga. Meskipun tidak bisa datang, saya yakin Bu Yuli tetap memberikan tugas. Kamu sudah selesai mengerjakan? Kalau Keysha belum selesai, kamu boleh kok kembali ke kelas untuk menyelesaikannya.”

Gawat, Pak Tomo bisa merasakan bahwa gue grogi banget !

Dari yang terus menunduk, akhirnya gue memandang ke arah Pak Tomo. Karena kalau gue terus-terusan menunduk saat di ajak bicara, bisa makin curiga dan malah di cap siswa gak tahu etika.

Gue sempat ingin bilang, tugasku belum selesai aku kerjakan namun yang keluar dari mulutku malah. “Sudah Pak, Keysha sudah selesai mengerjakannya.”

Rambut Pak Tomo yang terlihat klimis semakin mempertegas bahwa dia memang Pak Tomo yang sudah pernah menikmati tubuh gue.

“Bagus, Bapak yakin murid rajin sepertimu pasti cepat menyelesaikan tugas tersebut sehingga sekarang Bapak bisa mengobrol denganmu tanpa mengganggu waktu belajarmu. Keysha, cita-citamu apa?”

Pertanyaan Pak Tomo di akhir perkataannya membuat gue sedikit terkejut. Cita-cita gue? Sudah lama gue gak memikirkan cita-cita dan masa depan gue sendiri karena terlalu asyik bersenang-senang. Bersenang-senang ketika menjadi Miss White Rabbit tentunya. Gue dulu sewaktu SD bercita-cita menjadi penulis setelah hampir setiap minggu cerpan yang gue buat selalu di tempel di mading sekolah. Baik teman-teman dan para guru memuji cerpan gue yang katanya seru, meskipun alurnya sederhana namun mengandung pesan positif yang kuat. Bahkan ada seorang guru yang tanpa sepengetahuan gue mengirimkan tulisan-tulisan gue ke salah satu penerbit buku yang spesialisasinya adalah menerbitkan buku cerita anak.

Dan ternyata mereka suka tulisan gue ! Kemudian singkat cerita, gue ditawari untuk menerbitkan buku berupa kumpulan cerpan yang selama ini gue tulis untuk mading sekolah. Orang tua dan para guru mendukung gue 100 % hingga akhirnya gue setuju dan menjelang gue lulus SD, buku pertama gue terbit dengan judul “Kumpulan Cerita Pelangi Keysha”. Buku tersebut memuat 8 cerpan yang di anggap paling bagus yang pernah di muat di mading dan ditambah dengan 4 cerpan baru khusus untuk buku tersebut.

Dan buku gue tersebut ternyata cukup laris di pasaran dan selama beberapa minggu selalu menempati rak buku anak terlaris di toko-toko buku. Rasanya senang banget. Melihat kesuksesan buku gue, dari pihak penerbit mendorong gue untuk terus produktif menulis bahkan mereka bersedia menerbitkan 5 buku gue selanjutnya. Padahal gue belum memiliki materi baru. Orang tua gue setuju namun kemudian menolak dengan halus dan tidak mau membuat gue terikat kontrak karena tidak mau membuat gue terbebani.

Karena gue yang saat itu sudah masuk SMP Favorit benar-benar disibukkan dengan berbagai macam tugas di sekolah membuat gue agak susah mendapat waktu senggang untuk menulis cerita. Pihak Penerbit bilang mereka tetap bersedia menunggu gue sewaktu-waktu gue udah punya cerita baru. Kesibukan sebagai siswa baru ditambah dengan perkenalan gue dengan Tania yang liar di SMP membuat gue pada akhirnya “melupakan” minat gue terhadap dunia penulisan yang gue suka sampai detik ini dan pertanyaan Pak Tomo membuat gue kembali teringat cita-cita masa kecil gue.

“Cita-cita saya...jadi penulis Pak,” jawab gue.

“Wow penulis? Penulis fiksi atau non fiksi?” tanya beliau.

“Fiksi Pak, buku cerita.”

“Wah buku cerita, novel cinta-cintaan ini pasti,” goda Pak Tomo.

Gue cuma tersenyum.

“Keysha, kenapa kamu bisa memiliki cita-cita menjadi penulis? Pasti ada sebabnya.”

Setelah berpikir sejenak kemudian akhirnya gue menceritakan tentang hobi gue sedari kecil dalam dunia tulis menulis dan mengarang sampai bisa buku gue diterbitkan dan menjadi salah satu buku terlaris pada masa itu. Bahkan gue bercerita dengan alasan kesibukan belajar, gue tidak sempat lagi untuk kembali menelurkan sebuah karya. Setelah gue bercerita panjang lebar, gue sendiri heran kenapa bisa menceritakan begitu banyak tentang masa-masa tersebut kepada Pak Tomo, gue bisa menangkap ekspresi kagum dari beliau saat gue bercerita.

“Keysha, kamu luar biasa. Kamu memiliki bakat Key!” puji beliau.

Pujian Pak Tomo membuat gue senang dan tersipu-sipu, yang kemudian tanpa gue sadari bisa mengikis perasaan tegang. Gue udah gak peduli Pak Tomo mengenali gue sebagai Miss White Rabbit atau tidak karena gue merasa lega bisa bercerita banyak kepada beliau.

“Bapak menyayangkan dengan bakat yang kamu miliki, karena kesibukan dan tuntutan berprestasi dari orang tua dan juga dari pihak sekolah, membuatmu tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan sesuatu yang menjadi passion-mu. Bapak atas nama pribadi dan sebagai seorang Guru meminta maaf jika sistem pendidikan dan pengajaran di sekolah ini cukup memberatkan. Karena dalam keadaan dan waktu yang kurang mendukung, seorang penulis pasti susah sekali untk menuliskan ide-idenya secara maksimal. Harapan dan doa Bapak, kamu bisa kembali berkarya lagi Keysha karena menjadi seorang penulis itu sebuah profesi yang buat Bapak sangat Bapak apresiasi. Semua orang bisa menulis namun tidak semua orang bisa membuat tulisannya tersebut hidup dan meninggalkan kesan.”

TETT..TEETT

Kemudian terdengar bel yang menjadi tanda jam pelajaran ke 5 sudah selesai. Namun di luar itu, perkataan Pak Tomo benar-benar membuatku tersentuh dan gue nyaris menitikkan air mata. Baru kali ini ada guru yang meminta maaf kepada muridnya karena dirasa sudah memberikan tuntutan yang tinggi kepada muridnya agar berprestasi dan mencetak nilai akademis setinggi-tingginya. Gue gak bisa berkata apa-apa cuma bisa mengangguk mendengar wejangan Pak Tomo.

“Yawdah Keysha, jam ke 5 sudah selesai dan masuk jam ke 6. Terimakasih ya kamu sudah membagikan cerita yang luar biasa dan membuat Bapak jadi memikirkan kembali tentang sistem pendidikan dan beban menjadi murid di Sekolah ini. Omong-omong, kamu masih punya buku ‘Kumpulan Cerita Pelangi Keysha’ ? Kalau masih punya Bapak pinjem, eh bukan pinjem tapi Bapak beli deh. Bapak penasaran nih sama tulisanmu pas SD, hehe.”

Aku tertawa mendengarnya. Aku sepertinya masih menyimpan 9-10 buku tersebut di salah rak di lemari yang ada di kamar gue.

“Masih ada sih Pak, cuma saya malu kalau Bapak membaca buku saya itu, hihihi.”

“Haha kenapa mesti malu, katamu buku tersebut laris berarti ya bagus isinya.”

“Yasudah Pak, besok saya bawakan buat Bapak kalau ketemu bukunya. Oia, kalau ada, gak usah beli, gratis deh Pak, tapi jangan diketawain ya setelah selesai di baca, hehe.”

“Wah, kalau dikasih gratis dari penulisnya langsung malah lebih bagus. Sekalian kamu tanda tangan ya Key!”

Setelah kami tertawa bersamaan, aku kemudian pamit karena mau kembali ke kelas dan Pak Tomo mempersilahkan. Aku merasa lega dan luar biasa senang, entah gue senang karena bisa bercerita banyak dengan beliau atau karena beliau tidak mengenali gue sebagai perempuan panggilan yang pernah ia pakai. Ketika gue hendak membuka pintu dan sudah memegang kenop pintu, Pak Tomo berkata sesuatu.

“Suatu hari nanti, kalau novelmu sudah terbit, kabari Bapak !”

Gue berhenti dan hendak menoleh namun gue tertegun, tubuh gue gemetar saat mendengar kalimat selanjutnya dari Pak Tomo.

“Bapak berharap nama penulis yang tertera di Novelmu nanti adalah nama aslimu Keysha Andreas, bukan nama dari sisi lain dirimu yakni……Miss White Rabbit.”

Tubuh gue menegang, nafas gue tertahan beberapa detik. Mata gue langsung berair.

TERNYATA PAK TOMO MENGENALI GUE SEBAGAI MISS WHITE RABBIT !!

Gue gak sanggup menengok ke arah Pak Tomo. Gue lalu memaksa tubuh gue bergerak dan dengan cepat memutar kenop pintu. Gue langsung menghambur setengah berlari. Setelah keluar dari gedung Guru, gue langsung berlari menuju toilet cewek dekat parkir motor yang sepi. Di dalam salah satu bilik kamar mandi gue menangis sejadi-jadinya tanpa bersuara. Gue gak peduli seragam gue yang berlengan panjang menjadi basah oleh air mataku. Perasaan gue campur aduk antara perasaaan malu dan sedih. Hal yang gue takutkan kini menjadi kenyataan. Bayangan-bayangan ketika gue bercinta dengan Pak Tomo secara liar kini bertambah dengan bayangan ketika lima menit yang lalu gue bercerita banyak kepada Pak Tomo layaknya seorang murid yang bercerita tentang mimpi dan cita-cita masa kecilnya kepada seorang guru yang ia percaya.

Tangisan gue semakin menjadi-jadi.

***

Ketika pelajaran ke 6 yang di isi oleh Pak Danto sudah dimulai selama 10 menit, gue kembali ke kelas. Semua teman-teman gue sedang serius mengerjakan sesuatu di lembar buku mereka. Pak Danto yang tahu gue sebelumnya di panggil Pak Tomo, mengangguk ketika gua minta maaf karena terlambat masuk. Setelah mengucapkan terima kasih, gue akhirnya kembali duduk di kursi gue.

“Lama amat elo ketemu Pak Tomo,” bisik Rita ketika gue sudah duduk.

“Kita di suruh mengerjakan apa?” tanya gue tanpa berusaha menjawab pertanyaan Rita.

Rita kemudian menjelaskan halaman yang harus kami kerjakan. Setelah tahu mana yang harus dikerjakan, gue lalu mengeluarkan buku tulis khusus untuk Sosiologi.

“Eh Sha, mata elo kok sembap, elo habis nangis ya say?” bisik Rita sambil menatap gue.

Fiuh, padahal gue udah susah payah cuci muka berkali-kali untuk menyamarkan wajah gue yang sembap setelah menangis tersedu-sedu di dalam kamar mandi. Teman sekelas yang lain boleh saja tidak memperhatikan, namun Rita mengetahuinya. Gue diam dan fokus untuk menjawab beberapa soal.

“Say, cerita dong...Elo di marahin Pak Tomo? Atau elo sakit?” bisiknya.

“Nanti pas jam istirahat gue ceritain,” jawab gue asal, berharap Rita untuk sebentar saja dia diam dan bertanya apa-apa lagi ke gue. Yang jelas cerita bohong, bukan cerita sebenarnya.

Rita sepertinya bisa menangkap maksud perkataan gue, dia memandangi gue sebentar sebelum akhirnya melanjutkan pekerjaannya. Meskipun gue susah fokus selama pelajara, akhirnya jam istirahat kedua datang. Saat Rita mengajak gue ke kantin, gue menggeleng. Gue bilang gue sedang gak enak badan. Saat Rita bilang sebaiknya gue ke UKS, gue menyetujuinya, dari niat pura-pura sakit sepertinya gue sakit beneran. Badan gue demam dan kepala mulai berat. Rita mengantar gue ke UKS dan menemani sampai jam istirahat selesai. Setelah tertidur 10 menitan setelah minum obat penurun demam yang diberikan oleh petugas UKS, gue mulai enakan dan bisa kembali ke kelas. Selama sisa pelajaran gue lebih banyak melamun sampai akhirnya jam sekolah usai.

Rita yang tahu hari ini gue gak bawa mobil karena mobil di pake nyokap, langsung meminta gue agar pulang bareng sama dia. Gue nurut aja dan gue pun di antar Rita sampai ke rumah gue. Rita sempat mau mengantar gue mampir ke klinik namun gue menolak, gue bilang gue udah baikan. Gue cuma butuh istirahat. Sesampai di rumah, Rita tidak langsung pulang, namun ia bilang akan menemani gue sampai nyokap gue pulang.

“Elo baik banget sih Rit.” kata gue saat gue berbaring di karpet lembut yang di hampar di kamar gue, masih dalam berpakaian seragam lengkap.

Rita yang berbaring di dekat gue lalu menoleh. “Karena gue tahu elo bakal nglakuin hal yang sama kalau gue sakit sha.”

Reflek gue pun memeluk sahabat gue ini. “Makasih ya say.”

“Iya,” jawab Rita yang membalas pelukan gue sehingga kini kami berpelukan menyamping. “Seragam elo basah sha, ganti baju bersih gih.”

Iya juga, badan gue gerah karena seragam yang agak kebesaran ini cukup panas ditambah agak kotor dan lusuh karena keringat dan bekas tangisan gue. Gue lalu berdiri dan membuka lemari.

“Panas banget sih kamar elo sha,” keluh Rita sambil mencopot kancing seragamnya sehingga ia hanya mengenakan tanktop mini tanpa lengan berwarna putih. Kalau tinggal pake tanktop gini, tubuh seksi Rita jadi makin kelihatan seksi. Toketnya kelihat membusung.

“Hehehe sorry, AC gue rusak belum sempat di benerin. Nyalain aja kipas anginnya,” kata gue meminta Rita untuk menyalakan kipas angin.

Dan hawa panas lumayan berkurang saat Rita menyalakan kipas gue cukup kencang.

Sambil membelai rambut panjang Rita, gue jadi berpikir, setiap orang yang terlihat sempurna dari luar sebenarnya memilliki cela. Pak Tomo yang bijak sebagai Kepala Sekolah pada dasarnya adalah seorang pria pemangsa perempuan muda, Rita yang periang, cantik ternyata menyimpan lara dalam keluarganya.

Gue?

Demi mengejar kenikmatan seks sepuasnya, gue sampai melupakan mimpi dan passion gue. Dan entah kenapa gue malah bersyukur, karena orang pertama yang mengetahui bahwa di balik pakaian yang serba tertutup ini ada cewek liar dengan panggilan Miss White Rabbit, adalah Pak Tomo. Karena bisa saja keadaan menjadi lebih buruk jika yang menemukan identitas gue yang sebenarnya adalah orang lain. Dari percakapan gue dengan Pak Tomo gue mempunyai firasat bahwa Pak Tomo bagaimanapun juga memandang gue sebagai salah satu siswi berprestasi dan terasa bahwa ia tulus mendorongku untuk kembali menekuni tulis-menulis yang gue sukai.

Gue tersenyum dan mempererat pelukan gue ke Rita


***

Keesokan harinya, jam 5.45 pagi gue mengendap-endap di ruang guru, belum ada satupun guru yang datang. Perlahan gue menuju ruang kepala sekolah. Gue berharap pintunya tidak terkunci.

KLIK

Saat gue puter kenopnya, pintu terdorong ke belakang. Ruangan Pak Tomo lengang. Gue lalu menuju meja Pak Tomo dan mengeluarkan sebuah buku yang sudah gue bungkus ulang dengan kertas kado polos berwarna coklat dari dalam tas. Dan di atas buku tersebut, gue sengaja menempelkan selembar kertas kecil yang bertuliskan.

For : Mr. Tomo
From : Miss White Rabbit Keysha Andreas

Gue gak tahu apakah Pak Tomo bisa mengerti pesan gue ini, namun yang jelas gue merasa lega. Lega sekali, makasih Pak Tomo.

Kemudian gue pergi dan menutup pintu Pak Tomo. Gue lalu menuju ke kantin dan melihat Rita yang sedang meminum Fanta dengan sebuah sedotan warna kuning, tersenyum lebar saat melihat gue datang.





= BERSAMBUNG =

No comments for "LPH #42"