Featured Post

LPH #85

Episode 85
Plan B




(POV Bram)



Bugh !

Gue memukul pelan dashboard mobil saat selesai mengisi BBM di SPBU rest area yang berada di tol lingkar luar. Gue parkir mobil sebentar di minimarket yang ada di rest area karena ada yang menelepon.

ASUTOMOKEPARATAIK calling…

Anjrit !! gue kaget karena Tomo menelepon. Ada-apaan nih si Tomo nelpon gue? Gue agak ragu-ragu untuk menjawab teleponnya. Karena urusan sama Tomo gak ada yang enak. Terakhir gue kerjasama dengan Tomo ya saat terjadi tawuran di aula sekolah di malam tahun baru yang sangat fenomenal menurut gue. Hasil akhirnya sebenarnya sesuai dengan tujuan gue dan Tomo, yakni Yandi bisa unjuk gigi kemampuan sebenarnya. Meski ada sedikit twist saat Axel muncul dan mengacaukan pesta. Setelah kekacauan selesai, gue sudah di ancam Tomo agar tutup mulut bahwa gue dan Tomo adalah orang di balik final clash tempo hari.

Tapi karena penasaran kenapa tiba-tiba Tomo nelpon gue, gue angkat teleponnya. Namun sambungan telepon putus terlebih dulu. Gue segera mengirim pesan WA kepada dia bahwa gue sedang nyetir di tol.

Tak lama muncul balasan.

ASUTOMOKEPARATAIK
Tidak usah telepon balik, saya mau pergi. Jam 4 sore temui saya di Villa Permai 7 kamar nomor 7.
Terlambat satu menit, kamu saya DO sore ini juga.
13.06

Gue baca pesan tersebut dari notif di homescreen, sehingga Tomo mengira gue belum membaca WA-nya.

Bangsattttttt, gue di minta datang ke Villa Permai 7 jam 4 sore ini !! itu jauh anjing ! dua jam ke sana kalau gak macet, fucck mana ini hari Minggu !!. Kalau gue gak ada acara, gue bakalan tenang-tenang saja. Lha ini gue lagi OTW ke Casplock, kedai kue dan coklat favorit Rangga. Kalau bukan karena Rangga yang tiba-tiba ingin bertemu sama gue, gue gak akan tunggang-langgang buru-buru menemuinya. Padahal sebelumnya gue lagi nyantai mau nonton HHH Grunge Show, festival musik band beraliran Grunge. Namun cukup sekali telepon dari Rangga dan ia sempat menyinggung nama Boy, suka atau tidak gue mesti menuruti kemauan Rangga.

Karena gue tanpa sengaja mengetahui satu rahasia besar, bahwa salah satu siswa culun di kelas gue 1-E yang sering kena bully karena saat perkenalan di depan semua teman sekelas  mengaku punya hobi memasak, ternyata adalah adik kandung Boy, bajingan legendaris, leader dari Bloody Hell yang menyapu bersih semua grup pentolan bajingan dari setiap SMA maupun STM yang ada Kota XXX hingga tidak ada lagi yang berani sekedar mendongakkan kepala di depan Boy + anggota Bloody Hell, beberapa tahun yang lalu.

Rahasia yang tanpa sengaja terungkap saat suatu hari sifat kepo gue timbul saat melihat Rangga di giring paksa menuju ke gang di belakang sekolah seusai jam pelajaran oleh Toddy, Herlan dan Baskoro. Ketiganya termasuk Rangga adalah teman sekelas gue di 1-E. Gue gak ngerti duduk perkaranya. Yang jelas pemandangan saat Rangga di rangkul oleh Baskoro lalu di apit oleh Toddy dan Herlan terasa janggal. Gue sebenarnya gak peduli dengan Rangga pada saat itu, gue malah ada urusan dengan Baskoro, anak tengik yang kalah taruhan bola Rp 200 ribu sama gue, namun selalu ngeles kalau gue tagih. Gue gak terlalu butuh duit sebenarnya, cuma sikap Baskoro yang menggampangkan hutang, di tambah gue lagi jengah sedang ingin ribut sama orang, membuat gue menguntit Baskoro. Mau gue kasih pelajaran si tengik itu agar tidak main-main sama gue. Kalau Toddy dan Herlan ikut campur ya sekalian gue libas.

Saat keempatnya sudah menghilang di balik gang, gue tidak langsung menyusul. Gue habisin rokok yang masih separuh. Ada kali sekitar lima menit gue rokok’an sambil liat-liat Instagram. Setelah rokok habis, nah saatnya cari perkara. Sambil bersiul gue masuk ke dalam sepi yang kiri kanan adalah tembok-tembok tinggi yang membatasi sekolahan gue dengan bagian belakang kompleks ruko.

Namun siul-siul gue menghilang dengan sendirinya saat melihat Toddy, Baskoro dan Herlan tertelungkup di atas jalanan paving, mereka tidak bergerak. Sementara si culun Rangga sedang mengusap-usap kacamatanya dengan ujung baju seragam. Terlihat jelas, bibirnya sedikit lebam.

Apa-apaan ini. Apa yang terjadi? Dari keempatnya belok ke dalam gang ini lalu gue susul mungkin hanya 4-5 menit. Dalam jeda waktu tersebut, sesuatu telah terjadi. Siapa yang sudah membuat tiga anak itu pingsan? Rangga? Kok gak mungkin? Apa jangan-jangan ada orang yang membantunya? Bisa jadi ! karena ujung gang ini menuju jalan yang lebih ramai. Bisa saja saat Rangga di keroyok oleh tiga anak, seseorang melintas dan membela Rangga lalu kemudian ia pergi setelah ketiganya pingsan?

Di saat gue berpikir hal yang logis yang mungkin terjadi, Rangga yang sudah mengenakan kacamata dan memasukkan ujung  baju seragamnya di balik celana abu-abu. Ia menunduk untuk mengambil tas selempangnya yang terjatuh. Ia lalu berjalan santai sambil bersiul menuju gue.

Gue sebetulnya ingin bertanya kepada si culun Rangga, namun tatapan mata Rangga yang langsung melihat ke arah gue, membuat gue seolah kena gendam. Gue diam tertegun saat Rangga menyunggingkan senyum ke arah gue saat ia melewati gue begitu saja tanpa berkata apa-apa. Bahkan sampai Rangga menghilang, gue baru sadar, gue masih berdiri macam orang lingg-lung, badan gue berkeringat, bahkan dahi gue sudah bercucuran peluh. Aura Rangga benar-benar berbeda, namun sukar untuk di gambarkan dengan kata-kata.  

Gue tahu perasaan ini, satu perasaan yang jarang gue alami dalam hidup gue, yakni perasaan takut. Takut dengan kehadiran sesama manusia. Kok sensasinya mirip dengan…..ah, gak mungkin !

Sejak saat itu gue mulai penasaran dengan sosok di balik image culun Rangga. Toddy, Herlan dan Baskoro pun diam seribu bahasa kadang malah menghindar saat gue tanya apa yang terjadi dengan mereka di gang belakang sekolah. Yang ada malah mereka jadi pendiam di kelas, terkesan tidak berani lagi mengejek Rangga. Puncaknya saat di pertengahan kelas 1, ketiganya gak ada angin gak ada hujan pindah dari SMA NEGERI XXX. Bukan cuma pindah sekolah, mereka bahkan angkat kaki dari Kota XXX.

Buat yang tidak tahu, anak-anak di sekolah mengira mereka pindah karena tidak mampu menyesuikan diri dengan standar nilai tinggi yang di terapkan SMA NEGERI XXX.

Tapi tidak denganku, mungkin cuma gue seorang yang pada saat itu tahu ketiganya pindah karena Rangga. Rangga versi misterius bukan Rangga versi culun. Akibatnyaa gue sering mengamati Rangga baik di kelas maupun di sekolah. Bahkan gue pun mencari tahu latar belakangnya mulai dari asal SMP dan alamat rumahnya. Rangga berasal dari SMP NEGERI YYY, termasuk salah satu SMP favorit di Kota XXX. Gue bahkan sempat bertanya ke beberapa teman yang dulu sekolah di SMP NEGERI YYY. Namun hasilnya malah mengejutkan. Tidak ada yang kenal Rangga, bahkan sampai gue kasih foto Rangga yang sekarang pun, mereka malah tidak yakin bahwa Rangga dulu bersekolah di SMP NEGERI YYY.

“Kalau dia memang dulu anak SMP NEGERI YYY satu angkatan sama gue, cuma ada satu kemungkinan,” ujar Gito, alumni  SMP NEGERI YYY yang lanjut sekolah di SMA SWASTA YYY.

“Satu kemungkinan? Apa itu?” gue balik bertanya.

“Dia anaknya terlalu pendiam, introvert, penyendiri dan nilainya standar-standar saja. Tipe anak yang mau masuk ke kelas atau enggak, gak ada yang nyariin.”

Oke, memang banyak tipe anak seperti yang di jelaskan Gito. Terlalu biasa sampai tidak ada peduli bahkan teman satu angkatan tidak ada yang mengenal atau mengingatnya.

Rangga yang di SMA NEGERI XXX pun juga cenderung biasa saja. Mau di bully pun ia tetap diam, no comment. Sampai yang nge-bully mungkin sebal juga karena anak itu seperti gak punya emosi. Secara tampilan fisik pun, Ia tidak tinggi-tinggi amat, standar ya mungkin sama kayak gue 174 -175 cm.

Rangga, apakah  di balik kacamata dengan frame tebal yang ia kenakan, tersimpan satu rahasia?
Namun pikiran gue tentang Rangga lambat laun mulai menguap begitu saja saat menjelang kenaikan kelas, situasi memanas di sekolahan gue saat secara terang-terangan Axel, berandalan anak kelas 2 pamornya gak kalah sangar dengan Boy, secara terbuka menantang Boy.

Duel Axel vs Boy memang tidak bisa di elakkan, saat Axel pada akhirny berhasil mengalahkan Anton, otomatis tinggal tersisa dua bajingan yang sama-sama berasal dari SMA NEGERI XXX. Tinggal tunggu waktu saja, karena tidak ada istilah dua raja dalam satu kerajaan. Susah di tentukan sebenarnya di antara Boy dan Axel siapa yang lebih kental darah bajingan-nya.

Namun sekerad-keradnya Axel, pada akhirnya dia menemukan “unbeatable monster” dalam diri Boy. Rekor Boy yang tidak pernah kalah duel melawan sesama bajingan tetap bersih sampai akhirnya dia lulus dan menghilang dari peredaran.

Banyak orang yang tidak tahu kapan dan mengapa Boy menghilang dari Kota XXX.

Tapi gue tahu, meski tanpa sengaja dan membuat gue terlibat situasi yang pelik.

Perumahan Green Heaven yang hanya memiliki 8 rumah. Tidak sembarang orang di perbolehkan masuk ke kawasan tersebut oleh sekurity yang berjaga di depan perumahan, hanya tamu yang membawa kartu nama khusus milik salah satu penghuni rumah, yang boleh masuk. Gue juga baru tahu hal tersebut ketika satu malam paman gue Jack, mengajak gue mampir ke salah satu rumah yang ada di dalam Green Heaven.

“Lo tunggu di sini saja, gue cuma mau ambil dokumen. Gak sampai 5 menit,” pesan Jack ke gue sebelum ia di sambut oleh salah satu orang berpakaian serba hitam yang muncul dari dalal gerbang.

Gue pun mengiyakan dan tetap di dalam mobil yang terparkir di depan rumah super mewah empat lantai bergaya Romawi. Namun ternyata sudah lebih dari 10 menit, Jack belum juga keluar, sementara mulut gue makin pahit pengen ngrokok. Gue pun keluar dari mobil dan bersandar di sisi mobil untuk merokok. Lagi enak-enaknya ngrokok tiba-tiba terdengar suara gaduh dari dalam rumah nomor 8 yang sedang Jack kunjungi.

Di saat gue mengira Jack kena masalah, tahu-tahu ada orang terjerembap terguling tepat di depan gue. Di susul satu orang yang muncul membawa stik bisbol, lalu tanpa ragu ia memukuli orang tersebut sambil terus memakinya.

BUGH !! BUGH !! BUGH !! BUGH !! BUGH !! BUGH !! BUGH !! BUGH !! BUGH !!

“KAKAK TOLOL !!! SETANN !! ENAK AJAAA LO MAU KELUAR DARI RUMAH BEGITU SAJA !!! GUE GAK MAU JADI PENERUS USAHA PAPA !!! PILIHAN PAPA CUMA LO !! GUE PUNYA KEHIDUPAN SENDIRI !! ANJING !!!! MENDING LU MATIII AJA !!! GUE GAK AKAN BIARKAN LO PERGI DARI SINI BEGITU SAJAAA !!”

Di saat gue mengira akan menjadi saksi mata orang di bunuh karena di pukuli dengan stik bisbol. Tiba-tiba orang yang di pukuli, menangkap ujung stik bisbol yag mengarah ke arah kepalanya. Bukan cuma menangkap, ia lalu memuntir stik hingga terlepas dari pegangan si penyerang. Begitu stik terlepas, dengan gesit ia memasukkan pukulan ke arah perut, membuat si penyerang langsung muntah sembari memegangi perutnya.

Orang yang di serang tersebut lalu berdiri dan mengelus pelan rambut si penyerangnya seraya berkata.

“Maaf, gue juga punya jalan hidup gue sendiri. Elo orang yang jauh lebih tepat untuk meneruskan usaha papa, bukan gue. Selamat tinggal.”

BUGH !!

Selesai mengucapkan kalimat yang sepertinya berbau perpisahan, dia lalu menghajar balik si penyerang dengan satu pukulan yang amat sangat tajam. Pukulan tersebut membuat si penyerang  terhempas ke belakang dan menghantam pagar gerbang, ia jatuh merosot terduduk. Setelah menghajar si penyerang, orang tersebut lalu berjalan kaki meninggalkan tempat kejadian. Langkahnya tegap dan mantap, tidak nampak satu keraguan. Seolah ia sudah tahu benar jalan yang ia pilih adalah sebenar-benarnya jalan.

Satu pukulan yang terasa mengerikan namun juga terasa familiar. Namun ternyata ada tiga hal mengerikan berikutnya yang tersaji tepat di depan mata gue.

1. Orang yang barusan pergi ternyata adalah Boy.
2.  Si penyerang ternyata adalah Rangga.
3.  Boy dan Rangga ternyata kakak beradik yang tinggal di rumah nomor 8

Dengan mulut bersimbah darah, Rangga tersenyum lebar ke arah gue. Senyum yang sama ia tunjukkan ke gue ketika ia selesai menghabisi Herlan, Toddy dan Baskoro dalam waktu kurang dari tiga menit.

“Halo Bram… Sepertinya kita perlu ngobrol sebentar. Intinya sih, kalau sampai lo bocorin keluar apa yang lo lihat dan lo dengar barusan, urusan antara gue dengan abang gue yang udah pasti lo kenal, kepala dan badan lo bakalan kepisah. Kepala lo bakal gue jadikan santapan anjing-anjing liar, sementara badan lo bakal gue bakar sampai jadi abu.”

Gue masih ingat dengan jelas untuk pertama kalinya gue ngerokok dengan tangan gemetaran sambil menggumam pelan, [I]“What…the…fuck….”[/I]

Malam itu, sambil di saksikan dan di bantu serta di jamin oleh Jack, gue bersumpah di depan Rangga, gue akan tutup mulut dan bahkan menyimpan rahasia ini sampai gue mampus.

Rangga tersenyum puas, “Oke, gue percaya, lo tenang saja Bram, gue tahu lo punya banyak musuh. Jadi begini saja, selama rahasia dan identitas gue aman, gue akan bantu lo. Dengan tangan gue sendiri, gue akan jadi bodyguard elo, gak akan ada yang bisa macam-macam sama elo. Gimana, [I]win-win solution[/I], bukan? Meski gue ada beberapa permintaan lain sih di luar masalah lo wajib jaga rahasia gue.”

Cuma ada satu hal yang pasti terjadi di malam itu.

Detik itu juga gue resmi jadi anjing jongosnya Rangga, adik kandung Boy !!!

NDLA to the DUK !!

NDLADUK !!!

***

Tepat jam setengah dua kurang lima menit, gue sudah sampai di CAPSLOCK dan sudah duduk satu meja dengan Rangga. Rangga tidak langsung menembak gue dengan pokok permasalahan, ia basa-basi sejenak bertanya gue lagi di mana ketika ia menelepon dan hal-hal lain seputar musik. Baru setelah dua teko masing-masing berisi minuman coklat panas dan teh, serta tiga potong kue Blackforest di sajikan oleh pelayan, raut muka Rangga langsung berubah serius.

"Coba jelaskan ke gue, ‘to the point’ tanpa muter-muter, bagaimana lo bisa sama sekali tidak tahu bahwa seminggu yang lalu, abang gue berkeliaran di Kota XXX..." desak Rangga.

Gue tetap tenang sambil membakar rokok mild. Gue tenang karena gue punya jawaban dari pertanyaan yang wajar saja ia tanyakan. Jawaban gue adalah...

Menggelengkan kepala sambil berkata, "Gue juga gak tahu. Memang tidak ada info dari anak-anak gue tentang kedatangan Boy."

"Jangan-jangan anak buah lo buta dan tidak tahu Boy," sindir Rangga sembari meneguk secangkir teh hingga habis lalu mengisinya kembali dengan menuang teko.

"Gak mungkin. Semua orang tahu Boy dan reputasi yang menyertainya."

Rangga tersenyum.

Splash !!!!

"Arggghhhhhhhjiiingggggg !!"

Gue sontak berdiri dari kursi dan berteriak kaget sekaligus kesakitan saat tiba-tiba Rangga menyiramkan teh panas dari cangkirnya ke muka gue. Gue buru-buru mengambil tisu dan mengelap muka!! Anjinggggggg kena mata guaaaaaaaaa !!!

"Gak usah manja, itu cuma teh hangat. Cuci muka sana lalu kembali kesini dan berikan jawaban YANG MASUK AKAL! Ngerti gak lu omongan gue tadi ?! Gue minta jawaban to the point, tapi lo malah ngarang! Kalau anak buah lo semuanya sudah tahu tentang Boy, bagaimana mungkin mereka tidak tahu Boy kesana-kemari di depan hidung kalian?"

Rangga benar-benar naik pitam. Dan gue asli ngeri. Mana kedua mata gue masih belum pulih karena di siram teh panas barusan. Bajingaaaaaann ! Baru kali ini dalam hidup gue, gue di perlakukan seperti jongos!!

Tapi mau gimana lagi, Jack pun angkat tangan.

"Gue gak bisa dan gak mau ikut campur. Lebih baik lo mulai belajar jadi anjing dan turutin apa katanya. Itu satu-satunya saran terbaik yang bisa gue kasih ke elo. Kalau lo gak mau jadi anjing dari adik Boy, ya resiko di tanggung penumpang..." papar Jack pada saat itu.

Babiiiiii !!!

Gue ke kamar mandi untuk mencuci muka, gue tidak peduli bahwa kaos gue basah kena siraman dari Rangga. Pikiran gue udah panas, terbersit satu rencana, suatu hari nanti gue bakal bunuh si Rangga. Namun rencana tersebut langsung pupus mengingat kemampuan dan status Rangga selepas ia lulus SMA nanti.

Gue dendam sama Rangga, tapi gue lebih sayang sama nyawa gue.

“Ngga, gue benar-benar tidak tahu kedatangan Boy. Semua jaringan gue sudah gue wanti-wanti, jangankan jika ada yang melihat Boy langsung, jika terdengar rumor kedatangan Boy ke Kota XXX pun mesti langsung info ke gue biar bisa langsung gue follow up sendiri.”

Rangga diam sambil menuang minuman cokelat ke dalam gelasnya. Karena Rangga diam, gue bertanya sesuatu ke dia.

“Darimana lo dengar kabar kalau Boy datang ke Kota XXX.”

“Papa,” jawab Rangga singkat.

Shiiiitt, kalau itu sudah pasti info A1, 100 % valid. Boy memang sempat datang lagi ke Kota XXX. Namun untuk urusan apa, menemui siapa, semuanya gelap.Wajar jika Rangga murka hari ini. Ia sama sekali tidak di berikan akses info dari Papanya maupun kuasa untuk mencari tahu keberadaan Boy memanfaatkan jaringan informasi keluarga besarnya. Rangga sepenuhnya bergantung ke gue terkait info tentang Boy.

“Bram, tolong lo berusaha lebih keras cari tahu dimana Boy. Waktu gue, waktu lo tinggal 6-7 bulan lagi. Gue jamin, hari dimana gue resmi jadi penerus usaha keluarga gue, sekaligus akan menjadi hari terakhir lo di dunia. Memang sih setelah gue resmi jadi penerus ke 7, sekali telepon, gue bisa langsung tahu dimana keberadaan Boy, namun buat apa? Semua pasti sudah terlambat.”

Glek…anjir, ini gue udah kayak kena vonis mati.

Rangga mengisi gelas kosong dengan minuman coklat lalu meletakkan gelas tersebut di depan gue.

“Minum dulu gih, biar gak tegang,” kata Rangga sambil tersenyum.

Minuman Hot Chocolate di sini memang nikmat, tapi berasa minum Hot Shit mengingat situasi yang gue alami sekarang. Pilihan gue cuma satu sekarang, mencari Boy. Hal ini merubah rencana-rencana pribadi gue.

Akan tetapi, gue juga sudah mempersiapkan skenario terburuk ini. Gue juga masih punya Plan B. Sebuah rencana dimana THE DESTROYER dengan sedikit modifikasi bisa searah dengan jalan singkat untuk mencari info A1 keberadaan Rangga.

Ini akan sangat sulit dan waktunya terlalu mepet, namun dalam waktu 6-7 bulan tersisa mesti gue maksimalkan.

“Oke gue akui gue kecolongan, namun gue akan bekerja keras mencari tahu, melacak siapapun yang sempat melihat, bertemu bahkan mungkin terlibat kontak langsung dengan abang lo. Gak mungkin gak ada yang tahu Boy datang, ada berapa tempat yang mungkin di datangi Boy dan satu atau dua orang yang bisa gue tanya tentang Boy. Dari situ gue bisa dapat petunjuk tentang Boy selanjutnya.”

“Kapan lo bisa kasih update informasi tersebut?”

“Hmm, kira-kira satu minggu dari sekarang. Gue sudah mengantungi kabar terbaru tentang abang lo.”

“Gak minta bantuan om lo tercinta, Jack?”

Gue menggeleng. “Gue hafal benar sifat Jack, minta bantu ke dia mesti ada hitungan untung-rugi. Bahkan di saat ia tahu bahwa elo dan Boy bersaudara, ia tidak memberi tahu gue. Karena itu tadi, gak ada benefitnya. Mencari keberadaan Boy, sejauh ini gue belum memiliki benefit yang bisa gue tawarkan ke Jack. Mungkin di momen-momen tertentu gue akan meminta bantuan Jack. Tapi itu opsi terakhir.”

“Mantap !! Nahhh itu baru Bram yang panjang akal yang gue kenal! Ayo di minum coklatnya mumpung panas !”

Oke untuk sementara, gue bisa ambil nafas sejenak. Sambil meminum pelan coklat dan memakan sepotong kue blackforest yang manis sekali - gue gak berani menolak pemberian Rangga -, gue mulai gelisah karena ini sudah jam dua kurang lima menit. Jam dua tepat gue mesti sudah jalan, ganti acara mendatangi Tomo.

“Lo kenapa Bram? Kok kelihatannya lo gelisah, dikit-dikit liatin jam tangan mulu,” tanya Rangga yang mulai menyadari sikap gue. Dalam hal ini gue mesti terus-terang kepada Rangga. Gue keluarkan ponsel, membuka chat gue dengan Tomo dan menunjukkannya kepada Rangga, agar tidak di kira beralasan untuk menghindar dari Rangga.

“Jam 4 gue mesti sudah ketemu dengan Tomo, karena lokasinya di kabupaten XXX, gue mesti jalan jam 2. Kalau telat, gue bisa kena DO beneran. Kalau gue kena DO, akan mempersulit rencana gue.”

“Tomo ? tumben? Mungkin dia punya project lagi buat elo. Mungkin dia puas melihat acara di aula secara keseluruhan berjalan sesuai rencana meski ada beberapa hal tak terduga di sana-sini.”

“Entahlah, I have no fucking idea..oh wait! sepertinya acara yang di gelar Indra hari ini di sekolah, tidak berjalan sesuai rencana.”

“Acara di sekolah?” tanya Rangga sembari mengangkat satu alisnya, pertanda ia tidak tahu tentang hidden event yang di lakukan Indra, bekerjasama dengan Tomo tentu saja.

“Entah teknisnya seperti apa, yang jelas ada lima belas siswa bajingan terkuat di sekolah kita yang di kumpulkan di sasana sekolah, satu angkatan di wakili lima orang siswa. Gue gak ngerti detailnya, yang jelas di akhir event, pemenang akan melawan Toni.”

“Toni..Toni Who?” tanya Rangga.

“Toni  alumni SMA SWASTA XXX. Satu angkatan sama Axel, Oscar, Anton.”

“Oh Toni yang pegang SMA SWASTA XXX dulu.”

“Iya, gue udah cerita belum ke elo kalau Toni itu anaknya Indra?”

“Oiaaa, seru juga. Tapi bodoh amat, gak peduli gue sama urusan perbajingan di sekolah. Selama gak ada yang nyenggol gue, mo pada perang atau tawuran, masa bodoh! Taik kucing! Just bring my damn bastard brother to me! And I’ll kill him…”

Gue gak heran kalau Rangga tidak begitu tahu tentang siswa-siswa bajingan dari sekolah lain. Dari awal Rangga bilang ke gue kalau ia tidak tertarik dengan kompetisi “bajingan nomor satu” baik di sekolah kami hingga beer. Yang di pikirkan oleh Rangga cuma ada dua. Pertama, mencari Boy dan yang kedua, menekuni serta belajar jadi chef khusus masakan Jepang. Ia tidak ambil pusing dan repot ikut campurdengan konflik perebutan pengakuan siapa yang terkuat. Padahal, jujur saja, Rangga bukan orang sembarangan. Selain gue yakin Rangga punya kemampuan di atas rata-rata  dalam hal duel, dia juga punya ketahanan fisik mumpuni. Cuma sedikit, bisa di hitung dengan Jari, bajingan yang masih bisa bangkit setelah kena hook kiri dari Boy. Secara de jure, Yandi adalah siswa terkuat di SMA NEGERI XXX saat ini. Banyak anak kelas 1 yang punya potensi mengejutkan seperti Dejan atau Goku, namun mereka masih belum selevel dengan Yandi.

Namun secara de facto, tidak ada yang tahu bahwa ada hidden beast yang kalau mau bisa mengubah peta persaingan. Jangankan Yandi, Oscar, Feri, Toni atau malah Anton sekalipun akan shock jika tahu seperti apa sosok Rangga yang sebenarnya. Karena Rangga memiliki darah dan DNA yang sama dengan abangnya, Boy. Levelnya bisa saja 11-12 dengan Boy.

Ngeri cogh.

Sepertinya kalau gue nemu kesempatan atau celah, membuat Rangga menunjukkan sosok aslinya, bakalan seru! Tapi gue mesti hati-hati, kalau Rangga ngamuk, sepertinya gak ada yang bisa memadamkan bara api-nya.

Wajah polos tapi kalau sudah marah, ekspresinya bisa langsung sama dengan Boy!

“Yaudah lo cepat pergi sana,” kata Rangga.

“Iya, sebelum mood gue memburuk dan gue siram muka lo dengan coklat panas.”

Bajingan… gue lalu buru-buru pergi ! setan memang si Rangga!

Gue agak lega saat masuk tol ke arah Kabupaten XXX, ramai padat namun tetap lancar. Tidak stuck berhenti. Gue lega luar biasa ketika mobil gue masuk ke area parkir Villa Permai 7, jam 4 kurang 10 menit.

Gue langsung menelepon Tomo dan di angkat setelah beberapa saat.

“Sore Pak Tomo, saya sudah di parkiran Villa Permai Pak. Bungalow nomor 7 ya Pak?”

“Sore. Kita ketemu d resto-nya saja. Saya kesana sekarang.”

“Baik Pak.”

Gue lalu menuju ke resto yang ada di dekat lobi. Asyik juga sih ini Villa Permai. Restonya berada di tepian tebing, sehingga hamparan hutan pinus, membuat udara terasa begitu segar dan suasanan benar-benar tenang. Gue lalu memesan kopi item pahit karena bersama Rangga, gue udah eneg makan dan minum yang manis-manis. Karena asyik menikmati udara sore yang menyegarkan paru-paru gue gak sadar saat tiba-tiba depan gue sudah duduk pria paruh baya berbadan tambun dengan rambut khas tersisir licin rapi ke belakang.

“Sore Pak.”

Gue menyalami Pak Tomo karena gimana pun dia Kepsek gue.

“Udah pesan?”

“Sudah Pak, pesan kopi saya.”

“Cuma minum kopi, gak makan?”

“Masih kenyang saya Pak.”

“Oke.”

“Apa yang bisa saya bantu Pak?” kali ini gue yang to the point.

“Santai saja Bram, gak usah buru-buru. Tunggu sampai minuman kita datang, baru kita bicara.”

“Baiikk Pak. Omong-omong, sepertinya Pak Tomo suka menginap di sini ya?”
“Iya. Sumpek di Kota terus, macet, polusi. Di sini semuanya tenang, tidak ada yang buru-buru, slow. Gue malah mau beli bungalow nomor 7, yang letaknya paling belakang namun juga paling di atas, view-nya mantap!”

“Wuihh Mau Beli bungalow sini? Memang di jual Pak? Kalau di jual, pasti mahal nih.”

Pak Tomo tertawa sambil mengeluarkan sebungkus rokok Mild dan di taruh di atas meja beserta Zippo.

“Di jual kok cuma Rp 100 Juta, Bram, ambil aja rokoknya kalau mau, gak usah sungkan.”

“Wah gak kemahalan itu Pak?bagi satu ya pak Rokoknya,” kata gue sambil mengambil rokoko sebatang.”

“Ambil-ambil. Gak lah, itu murah banget. Pasarannya bisa Rp 1 Miliar per bungalow kalau di jual.”

“Wahhh kok bisa dapat diskon sampai 90 % sendiri Pak??”

Tomo tersenyum sambil mengisap dalam-dalam rokoknya. “Masih ingat dengan teman saya Pak Joni? Joni Lukman Hakim?”tanya Tomo.

“Ingat saya Pak.” Tentu saja gue ingat, salah satu teman lama Tomo yang dulu satu sekolah dengan Tomo di SMA NEGERI XXX, puluhan tahun yang lalu, satu dari sekian teman Tomo yang iku menonton live final clash haha.

“Dia owner Kompleks Villa Permai ini, malah saya sempat mau di kasih gratis, namun saya paksa mesti beli. Pas gue tawar Rp 100 juta, langsung di kasih haha.”

“Hoki, hoki benar Pak.”

Di saat itulah minuman serta cemilan pesanan kami berdua sudah di antar dan sudah terhidang. Ketela goreng yang masih mengepul panas, membuat selera makan gue timbul.

Kopi pahit, rokok, ketela goreng panas serta suasana adem khas pegunungan, kombinasi santuy maksimal!

Setelah gue menghabiskan ketela goreng yang gue santap, gue sesap kopi dan mematikan puntung rokok.

“Nah, mari kita langsung ke pokok Pak. Ada apa nih Pak Tomo memanggil saya?”

Pak Tomo duduk menyandarkan punggungnya.

“Ada project buatmu.”

“Hohoho, sepertinya project ini berhubungan dengan event yang ada di sekolah pagi ini ya Pak?” gue langsung tembak dengan telak si Tomo.

“Ya boleh di kata demikian, ada twist yang sedikit merepotkan dan di luar rencana.”

“Memangnya apa yang terjadi Pak?”

“Saya tidak akan menjelaskan apa yang terjadi di sekolah hari ini, kamu bisa cari tahu sendiri. Yang jelas, saya ada project atau misi buatmu.”

Gue memajukan badan. “Apa itu Pak? Sepertinya menarik.”

Tomo tersenyum.”Ini jelas menarik karena sesuai dengan keinginanmu.”

“Wow keinginan saya.”

“Akan saya katakan dengan singkat, padat dan jelas. Bawa Yandi menuju puncak piramida. Jadikan ia siswa nomor satu di kawasan Kota XXX sebelum ia naik ke kelas 3 alias tahun ini juga. Waktumu 6-7 bulan. Kamu tidak usah khawatir, Yandi dan siapapun yang ada di sekelilingnya, yang di rasa bisa membuat rencana ini berhasil, akan mendapat jaminan imun kebal dari DO.”

Gue asli ingin tertawa mendengarnya namun bisa kutahan dengan susah payah.

“Kenapa mesti saya Pak?”

“Karena lo cerdik dan juga siswa senior saat ini, akan jauh lebih mudah buatmu mengamati langsung. Ini tugas cuma kamu yang bisa.”

Gue sempat ingin bertanya, “Apa benefitnya buat saya?” namun gue gak ada daya tawar untuk menolak, ini permintaan mandatory. Demi apapun, gue tidak ingin berada di pihak yang berseberangan dengan Tomo.

“Oke, katakanlah saya berhasil Pak, mengawal, membantu, memastikan Yandi menjadi top dog, what next ?”

“Itu sepenuhnya menjadi urusan saya yang tidak perlu kamu ketahui. Yang jelas, sebelum kamu lulus, jadian Yandi seorang pemenang dari semua pemenang. Potensi Yandi sudah sama-sama kita ketahui, dia memiliki sesuatu yang membuatnya bisa mendapat respek dari semua orang. Sebuah faktor X yang tidak bisa di latih. ”

Haha sialan juga Tomo. Namun gue setuju, sangat setuju dan bersedia Karena itu sejalan dengan misi gue yang terkoneksi dengan permintaan Rangga. Bahkan kalau situasi memungkinkan, gue bisa membangunkan [I]“beast”[/I] dalam diri Rangga untuk memuluskan semua rencana. Bahkan Tomo pun bisa gue jadikan senjata di saat-saat menentukan.

Gue terdiam lalu menutup mata, membayangkan tiga jalur rencana yang terlihat tidak berhubungan pada akhirnya bergabung menjadi satu jalur dan memiliki output yang gue inginkan.

Gue lalu menjulurkan tangan ke arah Tomo.

“Saya setuju dan siap melaksanakan perintah Pak Tomo, mohon bimbingannya Pak.”

Pak Tomo tersenyum lebar.

Ia menjabat tangan gue.

“Deal.”

Fu…fu…fu…

Menarik tetapi akan sangat beresiko dan berbahaya sekali. Satu kesalahan minor,  

BOOM !!!

I’M A FUCKING DEAD MEAT !!! AHAHHAHAHAHAHAH!!




= BERSAMBUNG =

No comments for "LPH #85"