Featured Post

LPH #48

Episode 48
Big Bang Part E


(pov : Yandi)


Ketika kami sampai ke parkiran sekolahan jam 9.15, tempat parkiran dekat lobi sudah padat. Lalu sama salah seorang panitia kami diarahkan untuk parkir ke lapangan basket yang berada di tengah sekolah. Aku bersyukur karena kami tadi menolak ide Xavi yang ingin ke sekolah naik mobil Rubicon miliknya yang super mewah. Kami menolak karena tidak mau menarik perhatian yang tidak perlu. Apalagi ternyata kini kami dapat tempat parkir di lapangan basket yang sudah ramai. Bisa geger satu sekolahan kalau kami berempat naik Rubicon kesini. Hingga akhirnya kami berangkat menggunakan mobil Avanza milik papanya Yosi. Karena kami membawa banyak peralatan seperti drum set, 2 gitar dan 1 bass, Yosi mencopot dulu bangku paling belakang agar muat menampung peralatan. Kemarin malam aku dapat WA dari panitia seksi acara bahwa peserta yang berformat band, dipersilahkan untuk membawa alat sendiri. Meskipun tidak membawa peralatan pun tidak apa-apa karena untuk mensupport peralatan dan sound system, panitia bekerjasama dengan salah satu studio musik yang cukup terkenal di Kota, sudah menyediakan berbagai macam alat mulai dari drum, keyboard, gitar akustik, bass, gitar listrik sampai dengan gitar ukulele yang bisa dipakai peserta untuk perform. Aku sih sebenarnya malas bawa peralatan sendiri, apalagi kami cuma main akustikan. Namun Xavi ngotot ingin semua alatnya dibawa. Takut alatnya gak enak, katanya. Yawislah, kalau pangeran yang minta, kami bisa apa.

Di lapangan basket ternyata juga sudah agak penuh namun beruntung kami masih bisa dapat tempat di pojokan dekat ring basket. Aku salut sih sama cara kerja panitia acara ini. Mereka tampak rapi dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Di depan gerbang para panitia mengecek dengan detail siapa saja yang diperbolehkan masuk ke area sekolah. Kecuali panitia dan para peserta yang memakai gelang khusus, tidak ada seorangpun diperbolehkan masuk. Panitia menginginkan sekolah steril dari para murid yang hanya sekedar jadi penonton. Banyak siswa lain terutama teman sekelas atau teman satu tongkrongan peserta untuk ikut mendukung. Namun karena bisa membuat suasana sekolah jadi riuh dan dikhawatirkan mengganggu para peserta, akhirnya panitia membuat aturan hanya peserta yang boleh datang di hari audisi. Peraturan tersebut langsung diprotes oleh siswa lainnya namun begitu Pak Tomo menegaskan peraturan tersebut, para siswa langsung terdiam dan tidak ada yang berani membantah lagi.

Akmal sebagai ketua OSIS sekaligus ketua panitia Pensi lalu menawarkan sebuah cara yang brilian. Panitia akan menyiarkan langsung penampilan ke 73 peserta saat audisi melalui streaming Youtube. Ide Akmal tersebut tentu saja hal tersebut disambut baik oleh para siswa lain yang katankalah cuma bisa nonton. Para peserta bisa tenang mengikuti audisi di sekolah tanpa gangguan plus penampilan mereka akan terdokumentasi dengan baik, sementara siswa yang lain bisa menonton jalannya audisi via streaming Youtube mulai jam 10 pagi sampai selesai. Win-Win solution. Cerdas!


“Ini peralatan mau langsung diturunin atau gimana?”tanya Xavi yang duduk di depan sambil menengok kepadaku yang duduk di belakang bersama dengan Zen.

“Nanti saja, kita daftar dulu.”

“Oke.”

Lalu kemudian kami berempat turun dari mobil dan menuju ke ruang kelas 2A yang digunakan sebagai tempat daftar ulang. Setelah daftar ulang kami diminta untuk foto dengan menggunakan background banner audisi pensi Big Bang 20XX. “Untuk di upload di Instagram OSIS sekolah sebagai bagian dari profil peserta. Peserta yang paling banyak dapat like nanti akan dapat gift dari panitia Oh iya 2 x foto dan posenya yang heboh yaa,” jelas Nikita salah seorang panita sie acara. Setelah berdiri di depan banner 1 orang panitia cowok memegang ponsel dan bersiap untuk memfoto kami.

KLIK

Selesai difoto, hasilnya di tunjukkan ke kami sebelum di upload.

Aku berpose standar, berdiri hadap kamera dan memasukkan kedua tangan ke kantung saku jeans. Pose andalan, hehe.

Yosi ? Berdiri agak menyamping dengan tangan kanan mengacungkan salam metal 3 jari dengan mimik wajah sok keren haha.

Xavi? Dia meloncat seperti anak cewek dapat kado barbie baru ahaha.

Zen? Dia menghadap ke samping sambil menyalakan sebatang rokok yang udah terselip di mulutnya dengan Zippo. hedeh.

“Woi, yang lain pasang tampang keren, elo malah ngrokok anjir,” tukas Xavi.

“Kalian mau foto sekali lagi gak?1 peserta dapat kesempatan 2 x foto.” tanya Nikita.

“Gak usah, langsung upload saja,” ujar Zen cepat sambil berlalu pergi meninggalkan ruang kelas.

“Kampret...” ujar Xavi kesal yang sepertinya ingin foto sekali lagi.

Yosi yang cuma tertawa lalu mengajak Xavi kelur. Setelah ketiga temanku keluar dari keluar aku kemudian menghampiri Nikita dan bertanya pelan. “Vinia dimana?”

“Vinia? Lo teman sekelasnya kan? XYZ?

“Iya.”

“Oh Vinia ijin gak bisa bantu audisi hari ini karena ada meeting dengan label rekamannya lalu lanjut syuting untuk keperluan video klipnya yang kedua.”

“Oke, trims.”

Nikita tersenyum lalu kembali sibuk dengan laptopnya. Aku kemudian keluar kelas dan mencari ketiga temanku. Rupanya mereka sedang mengobrol dengan Astra, Abas, Riko dan Dodo. Oh iya baru inget grup mereka kan juga ikut audisi di dekat salah satu ring basket. Aku pun menghampiri mereka.

“Wois ini si bos,” sapa Astra saat melihatku.

“Bos apaan. Udah panggil aku nama saja. Eh kalian udah daftar ulang?”

“Belom sih, santai. Masih jam segini, lagian kami dapat nomor 30. Kalau audisi pertama dimulai jam 10 dan perform maks 5 menit, kemungkinan setelah makan siang kami baru mulai main. Eh kalian nomor 13 ya? Ya mungkin jam di atas jam 11an kalian baru main.”

“Sip.”

“Eh ngobrol di kantin aja yuk sambil makan, laper gue,” saran Dodo.

“Kantin buka?”

“khusus hari ini mereka tetap buka biar pesertanya pada gak kelaperan. Tapi ya gak buka semua sih, hanya sebagian.”

“Woh pas banget. Soto Mas Parto buka?” tanya Yosi.

“Buka, tadi gue kesana dia lagi siap-siap.”

“Yaudah cus sana yuk ah, gue juga laper.”

Di kantin kami semua sarapan soto ayam sambil mengobrol santai. Kecuali Xavi yang gak ikut sarapan soto ayam karena dia membawa bekal sendiri seperti biasa. 1 gelas jus mix fruit, salad sayuran dan 3 potong sandwich roti tawar gandum. Karena kami sudah biasa melihat bekal makan Xavi yang aneh kami biasa saja. Astra justru yang malah mentertawakan menu makan Xavi. Raut muka Xavi yang sepertinya tidak suka diledek orang lain selain kami segera terlihat. Xavi cuma diam lalu memakai headset dan makan dengan tenang. Sebelum suasana jadi makin gak enak, aku lalu bertanya ke Astra cs, mereka bawa alat sendiri atau tidak.

“Gak Yan, kami gak bawa. Ribet. Udah disediakan sama panita. Lagian studio musik yang support acara ini kan Studio Black Dog, uda pasti alatnya enak-enak. Kalau kalian mau pemanasan tuh dari kelas 1A sampai 1C uda di set lengkap buat latihan. Lengkap.”

“Oh iya?” tanya Yosi.

“Iya serius, kami tadi uda nyoba latihan di 1A. Di sana ada teknisinya juga, lo tinggal bilang butuh alat apaan, lengkap.”

“Yan, abis makan pemanasan bentar yuk,” ujar Yosi.

“Boleh.”

Beberapa saat kemudian Astra cs pamit pergi duluan karena setelah daftar ulang mereka mau pergi, jam 12an baru balik ke sekolah. “Pergi kemana? Gak nunggu di sekolah aja, tuh ada layar besar di dekat 2B, bisa sambil nonton perform peserta yang lain.”

“Gak, kita mau ke distro ambil kaos pesanan kami. Kami mau pake kaos dengan tulisan THE STRIKE! Biar makin keren pas maen. Kalian juga buat kaos khusus kan?”

Aku dan Yosi berpandangan. “Heeee, kami malah gak sempat mikirin buat kaos segala haha,” sahut Yosi.

Setelah Astra dan yang lain pergi, Zen baru nyeletuk “Mereka mau main musik atau pamer kaos sih. Mau main musik pakai yang baju paling nyaman aja, gak usah banyak gaya.”

“Iya setuju gue Zen, gue juga males pake baju kembaran 1 band. Di kira boyband nanti. Gue mah pake kaos item, celana pendek army dan sneaker udah nyaman.”

“Baju item? Kamu bawa baju ganti?” aku bertanya karena saat ini Yosi memakai kaos warna biru dengan gambar grup RAMONES.

“Iya. Lah emang elo gak bawa baju ganti?”

Aku menggeleng.

Saat ini aku memakai kaos Polo warna merah, salah satu bajuku yang cukup mahal pemberian Mbak Asih. Jeans hitam dan sepatu converse hitam yang biasa aku pakai ke sekolah.

“Zen, jangan-jangan elo nanti main cuma kek gini?” tanya Yosi sambil melirik Zen.

Kek gini yang dimaksud Yosi adalah penampilan Zen yang jauh dari kata rapi. Rambutnya yang mulai panjang nampak berantakan, baju yang dipakai Zen adalah kaos putih polos, celana cardigan coklat muda dan sandal jepit hitam merk Indomaret. Dan aku baru menyadari dan hendak tertawa.

“Iya, kan uda gue bilang tadi, main musik yang penting nyaman, gak perlu ribet.”

“Iya sih, tapi elo cuman pake sendal jepit men !! Astajim....” ujar Yosi sambil geleng-geleng.

Aku tak mampu menahan tawa dan tertawa lepas. Zen tetap cuek sambil menyeruput teh panas tawar yang ia pesan.

“Coba lu tanya sama tuh anak yang malah main game di tab, dia pake baju apaan ntar,” ujar Zen. Anak yang dimaksud adalah Xavi.

Yosi lalu menepuk pundak Xavi, “Woi, lu ntar mau pake baju apaan pas maen? Baju ini?”

Xavi mengenakan kaos abu-abu bergambar poster film Enter The Dragon-nya Bruce Lee. Keren kaosnya.

“Gak, gue pake kaos yang lain. Kaos yang sengaja gue siapin buat manggung untuk pertama kalinya.”

“Kaosnya apaan? Jangan bilang lo pake baju kuning gambar Pokemon lo ya?” ujar Yosi sambil meminum es cofemix pesanannya.

“Loh darimana elo tahu Yos gue ntar mau pake baju kaos kuning gambar Pokemon?” tanya Xavi dengan nada heran.

Yosi yang sedang minum langsung tersedak mendengarnya. Sementara aku dan Zen tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksi Yosi tersebut, kaget sampai tersedak.

“Sue ! lo serius mau pake baju Pokemon warna kuning? Lo bocah umur berapa sih! Vokalis gw pake baju kemeja merah, gitaris gue pake kaos putih sendalan jepit, drummer gue pake baju Pokemon kuning menyala, ampun dah.”

“Hahaha santai Yos! Nyaman versi orang itu beda-beda. Kalau selera semua orang sama, gak seru lah. Malah bagus warna-warni. Lagipula kalau semua ngrasa nyaman, aku yakin kita semua bisa bermain dengan baik di dalam,” kataku.

“Udah kita latihan bentar yuk, pemanasan. Sebelum semua ruangan kepake peserta lain,” ujar Zen sambil berdiri.

Aku mengangguk.

Setelah semua kenyang kami berempat langsung menuju ke ruang kelas yang dijadikan tempat latihan. Namun kami kecewa karena ketiga ruangan sudah dipakai peserta lainnya. Ternyata suasana memang sudah ramai di sekolah, sepertinya semua tim sudah selesai melakukan daftar ulang.

“Yaudah kita latihan sendiri aja yuk. Kita ambil peralatan lalu latihan sendiri di depan kelas kita. Toh kita main akustikan, ga seribet mereka yang main pake gitar listrik. Xav, peralatan drum kamu ga usah di keluarin, kamu latihan pake Real Drum di tab-mu aja. Suaranya cukup kencang,” kataku.

“Oke.”

Dan kami pun mengambil 2 gitar akustik dan 1 bass lalu kami menuju ke atas tepatnya ke depan kelas kami 1F. Posisi kelas kami cukup strategis karena dari sini kami bisa melihat bentangan layar yang disediakan untuk menonton peserta yang perform di auditorium. Aku melihat sudah jam 9.55. 5 menit lagi peserta pertama memulai. Saat kami sedang menyetem gitar, ponselku berbunyi.

VINIA CALLING.

“Eh Vinia telepon nih,” kataku sambil menunjukkan layar ponselku ke mereka.

“Wuih Vinia! Angkat Yand! Di loudspeaker aja,” ujar Xavi.

Setelah kuangkat, kubuat loudspeaker sehingga kami semua mendengar dan berbicara dengan Vinia yang semakin jarang bisa nongkrong sama kami.

“Halo Viniaaaa!” jawab kami berempat bersamaan.

“Eh kaget guee! Hahahah, halooo guyssssssss!”

Aku lega mendengar suara Vinia terutama mendengar suara tawanya yang begitu lepas. Dia sepertinya sedang berada di mood yang baik.

“Vin, kemana aj lo! Gue kangen nihhhhh!” seru Xavi.

“Hei sapiii, sori yaah, jadwal gue lagi padat-padatnya ini. Maaf juga gue gak bisa datang hari ini ke sekolah, gue bentar lagi malah mau meeting dengan orang label gue.”

“Gak apa-apa Vin, kita dengar suara elo lagi uda senang kok,” komen Yosi.

“Dihh tumben bisa manis banget lo Yos. Eh Zen mana nih suaranya?”

“Halo Vin.”

“Hai Zeeen, dihh datar amat suara lo. Sok cool seperti biasa, tetapi gak apa-apa sih, untung lo ganteng hahahaa.”

Kami semua tertawa mendengarnya.

“Kamu uda baik-baik aja Vin?” kini giliranku yang bertanya.

“Udah. Gue pengen liat kalian tuh main sebenarnya, tapi bang Tigor rese banget bikin schedule meeting hari minggu pagi gini. Oi, gue gak bisa telpon lama-lama. Gue telpon karena mau kasih sedikit bocoran tentang tiga juri di dalam. Biar kalian semua tahu sedang dinilai oleh siapa.”

“Wuidihhh ini bocoran kelas premium ini mah, siapa saja Vin jurinya?”

“Juri pertama, pasti kalian kenal. Bu Elsa. Selain dia guru seni musik, background dia sebagai mantan orang label dan beliau juga perwakilan dari sekolah sudah pasti gak mengherankan jika di tunjuk jadi juri. Juri kedua Cheeryl, manajer beberapa cafe musik terkenal di Kota. Selain manajer dia juga pemilik RockInRadio, saluran radio khusus musik dari band-band lokal dan indie. Singkatnya Cheeryl ini termasuk orang berpengaruh di dunia musik indie saat ini. Juri ketiga Wayan, pendiri manajemen artis MJ Entertainemnt yang tengah populer karena membawahi beberapa boyband, girlband, band, aktor dan penyanyi. 

Semua artis baru dibawah naungan MJ Entertaiment selalu berhasil diorbitkan jadi artis terkenal. Yah siapapun yang nanti kepilih sampai lolos 5 besar, uda pasti punya potensi di mata mereka. Selain mereka berdua sudah punya nama, ada satu keistimewaan dan kesamaan keduanya. Cheeryl dan Wayan adalah alumni SMA NEGERI XXX. Yadah, itu dulu ya, nanti kabari gw yaaa guys, semoga gue bisa lihat perform kalian lewat streaming Youtube, ini bang Tigor udah datang. Semangatttt!”

KLIK. Vinia memutus sambungan teleponnya.

“Woooww, sadis men.” Komen Xavi setelah Vinia menutup telepon.

“Sadis? Siapa?”

“Itu Wayan. Owner MJ Entertainment. Artis yang dipegang dia memang mayoritas sukses, terkenal dan banyak uang tetapi gemblengan dia ngeri. Peraturan dia ketat banget, kalau ada artis yang dirasa ga bisa ngikutin ritme kerja dia, bakal ditendang. Seperti Vita, salah satu member XX69, girlband yang lagi populer. Vita di pemberitaan media massa memang dibilangnya mengundurkan diri dari XX69 karena mau fokus kuliah. Tetapi di kalangan fans berat XX69 udah pada tahu dia bukan mengundurkan diri tetapi ketahuan pacaran dengan Wong, gitaris band Voyage yang juga ada di bawah naungan MJ Entertainment. Pokoknya Wayan itu mengadopsi gaya manajemen artis ala K-POP yang kejam.”

“Lo tahu banget hal ginian? Baru kali ini gue dengar XX69, Voyage Band. Ckckckc.”

“Kalo elo gak tahu, kemana aja elo selama ini? Lo maen mulu ke kosan Dea sih, jadi gak tahu dunia luar,” balas Xavi.

“Kampret lu.”

Disaat kami tengah pemanasan lemesin jari-jemari, terdengar panggikan kepada peserta dengan nomor urut 1 sampai 4. Kami lalu melongok ke bawah dan mendapati peserta no 1 hingga 4 itu semuanya memakai baju yang identik.

“Wah uda pasti mereka boyband, girlband atau minimal grup dance,” komen Xavi.

“Kayak sirkus ya mereka, pake baju meriah banget kek gitu. Untung kita ga kompakan pake kaos samaan kayak Astra cs,” ujar Yosi.

“Pret lo tadi ngejekin gue karena mo pake baju Pokemon.”

“Udah gak konsen gue maen gitar. Gue yakin kita bisa main optimal di dalam. Kita nonton aja deh perform mereka,” celetuk Zen yang sudah memasukkan kembali gitarnya ke dalam tas gitar.

“Setuju.” Kataku sambil meletakkan gitar. Yosi juga meletakkan bassnya. Xavi mengantongi ponselnya. Kini kami berempat bersandar ke dinding pagar melihat perform para peserta.

“Klo 4 peserta yang di panggil ke dalam, berarti kita nanti ikut grup keempat. Nomor urut 13 sampai 16.”

Dan ketika peserta nomor urut 1 yang merupakan grup dance yang anggotanya cowok semua mulai perform, kami berempat larut dalam pertunjukkan audisi. Mulai dari perform dance, boyband, girlband, grup band, grup hip-hop, penyanyi solo, rapper solo lengkap ada semua. Gue akui penampilan mereka keren-keren ! sampai ketika peserta nomor urut 12 sedang bersiap untuk perform, peserta nomor 13 hingga 16 dipanggil ke atas menuju bakcstage auditorium. Salah satunya XYZ tentu saja.

“Ayo gais saatnya beraksi!”

Saat itu juga Yosi langsung mengganti kaosnya dengan warna hitam bertuliskan Daredevil. Xavi juga sudah mengenakan kaos kuning bergambar Pikachu, haha.

“Yan, gue perlu ambil drumset gak?” tanya Xavi ketika kami menuruni tangga.

“Keknya gak usah, selain kita main lebih simple, aku yakin drum yang disediakan buat perform di atas juga bagus.”

“Ok.”

Ketika kami berempat sudah berada di belakang backstage, seorang kru menghampiri kami dan bertanya apa yang kami perlukan? Karena masih ada jeda waktu 5 menit untuk setting alat. Kami menyerahkan 2 gitar akustik dan bass untuk di setting. Untuk drumnya udah siap dan untungnya sama persis dengan drum andalan Xavi merk Tama. Aku juga meminta 3 kursi karena lebih enak main akustik sambil duduk. Ketika terdengar tepuk tangan dari stage dan peserta yang tadi tampil masuk ke backstage, kami diminta untuk masuk ke stage. Aku memandang ke arah teman-teman.

“Rileks, kita nikmati saja. Berikan yang terbaik, gak usah mikirin lolos atau tidak. Just enjoy the show, ready?”

Mereka mengangguk bersamaan.

Akhirnya kami menuju stage lalu berdiri tepat di depan mic. Ruangan auditorium yang bisa menampung 200 orang hanya terisi 3 orang. Ketiga orang tersebut adalah para juri yang duduk di atas sofa menghadap ke stage. Yang mengenakan kemeja santai adalah bu Elsa, yang mengenakan kaos warna biru dan berpenampilan sporty dan terlihat masih muda sepertinya adalah Cheeryl dan yang paling kanan ada pria paruh baya mengenakan baju berkerah warna putih casual berkacamata adalah Wayan. Ketiganya memegang board kecil, sepertinya itu lembar penilaian. Selain ketiga juri, ada beberapa panitia yang menyiapkan kamera untuk merekam penampilan kami.

“XYZ band ya?” tanya Bu Elsa.

“Iya bu,” jawabku.

“Sepertinya kalian mau main akustik?”

“Iya, lagu dari Silverchair.”

“Wah keren, kalian jadi peserta pertama yang main akustik. Oke, take your time.”

Aku mengangguk dan kami lalu menempati posisi masing-masing. Aku duduk kursi depan agak menyamping agar Xavi juga terlihat. Yosi di sebelah kiri Xavi dan Zen di samping kananku. Setelah mengatur ketinggian stand mic. Akhirnya saat yang kami tunggu-tunggu datang juga.

“Zen, Yosi, Xavi. Sudah siap? Mari kita bersenang-senang.”

Mereka mengangguk.

“3...2...1...Silverchair – The Greatest View.”


Dan ketika kami menyelesaikan lagu dengan timing sempurna, kami berempat saling berpandangan dan tersenyum lepas, rasanya lega luar biasa.

Plok...plok...plok...plok...plok...

Saking enaknya kami main sampai sempat melupakan kehadiran ketiga juri di depan kami yang rupanya memberikan tepuk tangan atas penampilan kami.

“Woowww keren, kerennn. Yandi, suaramu bagus sekali. Dan kalian main rapi sekali!” puji Bu Elsa.

“Terimakasih.”

“kalian udah berapa lama ngeband? Chemistry kalian dapat banget lho. Greatest view ini salah satu lagu favorit gue ketika gue kuliah di Aussie and you know what? Daniel John dengan Silverchair adalah band pertama yang gue lihat perform langsung ketika masih awal kuliah disana. Dan lagu pertama yang mereka mainkan ya lagu ini, The Greatest View,” komen Cherryl.

“Ehm, kami baru mulai ngeband bareng 1 bulan lalu dan ini penampilan pertama kami di main di depan orang.”

“Wah hebat dan gue juga setuju dengan komentar Mbak Elsa, suaramu bagus, cocok sama lagu ini. Aransemennya meskipun minim improv, tetapi rapi dan terasa banget intro lagunya yang wah. Damn, you bring back good old memories. You’ve nailed it!” pujinya.

“Trims,” kataku mewakili teman-teman.

Kini kami memandang ke arah Wayan. Dia gak komentar apa-apa selain mengacungkan kedua jempolnya.

“Sip, XYZ band. Terimakasih atas performanya.” Ujar Bu Elsa.

Kami lalu turun dari stage dan mendatangi ketiga juri untuk bersalaman. Di atas stage, beberapa kru merapikan peralatan kami. Dan ketika kami sudah berada di backstage, kami lalu saling toss.

“Gilaaaaa! Gak percaya gue kita dapat pujian!” seru Yosi.

“Ah samaaa! gak sia-sia gue investasi bikin studio musik di rumah!” tambah Xavi.

“Kerenn!” komen Zen.

Aku cuma tersenyum melihat kehebohan mereka bertiga. Selesai perform kami memutuskan untuk pulang karena pengumuman 15 peserta yang lolos akan di umumkan besok pagi selepas upacara bendera di sekolah.

Ini adalah salah satu momen paling membanggakan selama aku bersekolah disini.


***

2 minggu kemudian...


“Teman-teman, mari kita sambut dengan meriah, penampilan peserta terakhir yang masuk ke 15 besar perfomer terbaik audisi pertama yang sekaligus menutup acara audisi kedua, band yang sukses membuat Cherryl luluh, XYZ banddd!!!”

Ketika band kami disebut, kami berempat saling toss sebelum naik ke atas panggung. Di deretan depan panggung banyak anak-anak dari kelas 1 yang meneriakkan nama kami satu persatu. Terutama Zen yang sepertinya memiliki banyak fans cewek. Ya sejak XYZ di umumkan lolos menjadi 15 perfomer terbaik, boleh dibilang kami makin dikenal di sekolah. Video kami yang perform di audisi pertama ditayangkan di Youtube dan menjadi salah satu video peserta audisi dengan view mencapai puluhan ribu, mendapat banyak sekali like dan komentar positif. Ya boleh dibilang jadi artis dadakan gitu lah. Di audisi kedua ini kami diberikan waktu untuk tampil maksimal 10 menit. Dan kami memutuskan memainkan 2 lagu dengan format tetap di akustik. Bahkan kami menjadi satu-satunya peserta dengan format band akustik yang masuk 15 besar.

Karena audisi digelar dengan format live perform di hadapan para penonton umum, kami mempersiapkan dengan lebih serius. Satu lagu sudah pasti tetap The Greatest View kami mainkan, sementara yang satu lagi setelah berdiskusi dengan teman yang lain kami memutuskan membawakan lagu Fight dari /RIFF dengan versi akustik. Lagu yang bertempo kencang dan rock banget dengan susah payah berhasil kami kulik versi akustiknya selama 2 minggu latihan intensif. Salah satunya berkat mendapat bantuan dari Vinia yang memberikan kami masukan tentang aransemen lagu rock menjadi versi akustik. Dan masukan dari Vinia memang sangat membantu kami.

Sore ini, kami XYZ menjadi penampil terakhir untuk acara audisi kedua yang dibuka untuk umum. Sehingga penonton bukan hanya dari sekolah kami saja, tetapi penonton dari sekolah lain juga banyak yang datang, Toni dari SMA SWASTA XXX dan beberapa temannya bahkan datang untuk melihat acara audisi kedua. Aku melihat dia tadi tengah berbincang dengan Axel dan Feri di belakang sana. Ada penonton istimewa di tengah kerumunan para penonton. Yakni kehadiran Dita yang sengaja datang untuk melihat penampilanku. Ia termasuk orang yang nampak excited dengan penampilan XYZ yang ia lihat di Youtube.

Aku mengangguk ke arah Dita yang melihat ke arahku, kami bertatapan cukup lama sampai akhirnya aku menyadari tepat di belakang Dita ada seorang cewek yang menatap ke arahku. Hatiku langsung dag-dig-dug karena cewek tersebut adalah Indah !!

Wow.

Dan itu membuatku malah jadi gugup, ketika aku tidak merasa gugup dilihat ratusan orang saat ini, justru satu tatapan mata dari cewek misterius yakni Indah bisa membuatku gugup luar biasa! Tenang Yan, tenang Yan.

Setelah menempatkan diri duduk di kursi yang sudah disiapkan, aku menutup mataku sejenak. Kutarik nafas dan kuhembuskan perlahan, suara teriakan dan riuh para penonton lama-lama semakin samar ketika aku mulai bisa menenangkan diri. Mata Indah benar-benar membiusku.

“Siap?” aku bertanya ke Zen, Yosi dan Xavi. Ketiganya mengacungkan jempol.

“Oke, let’s do it one more time guys...three..two...one

Intro dari The Greatest View yang terdengar garang meskipun versi akustik membuat para penonton berteriak. Dan teriakan para penonton membuat kami makin enjoy bermain. Selama memainkan lagu tersebut, aku lebih banyak memandang ke arah Dita. Bahkan sesekali aku berani menatap Indah yang memperhatikan penampilan kami. Tak jarang aku beradu pandang dengan Indah, kami saling menatap dan ketika kami saling menatap itulah, momen tersebut bertepatan dengan ending lagu yang kunyanyikan.

“I’m watching you, watch over me.
And I’ve got the greatest view from here...”

Aku menyanyikan bagian tersebut benar-benar dari hati dan sekilas Dita tersenyum, aku langsung merasa bersalah karena ia pasti mengira aku menyanyikan lagu tersebut sembari menatap mesra kepadanya. Seandainya saja ia tahu lirik tersebut aku tujukan ke cewek di belakang sana, yang sayangnya setelah lagu selesai, ia lalu pergi. Sialan, rupanya aku bermimpi terlalu jauh.

Tepuk tangan terdengar meriah dari berbagai penjuru ketika kami menyelesaikan lagu tersebut. Dan kami segera memainkan lagu kedua. Vinia yang berada di deretan depan lalu berteriak kepada kami “HAJAR GUYSSSS!!”


Begitu lagu selesai, kami berempat lalu berjalan ke depan dan memberikan tepuk tangan ke penonton yang begitu lagu tersebut selesai memberikan tepuk tangan dengan meriah sekali sembari meneriakkan nama kami dan juga nama band kami.

“XYZ !! XYZ !! XYZ !! XYZ !!”

Kami kemudian turun dari stage dan disambut oleh beberapa teman dimana mereka memuji penampilan kami dan yakin kami bisa lolos ke 5 besar sehingga bisa satu panggung dengan para bintang tamu. Vinia juga memberikan selamat kepada kami karena menurut dia performa kami luar biasa. Vinia dan tiga temanku yang lain masih larut dalam kegembiraan, aku menyelinap dan menghampiri Dita.

Dita tersenyum dan matanya nampak berbinar-binar ketika melihatku mendatanginya. Dan tanpa aku sangka Dita langsung memelukku. Ya ampun aku jadi salah tingkah karena kini kami jadi diperhatikan banyak orang.

“Ciee yang abis manggung terus dipeluk pacarnya, cieeee” celetuk Xavi yang muncul dari belakang dan diikuti semua teman-temanku termasuk Vinia, Zen dan Yosi. Dan mereka semakin menggodaku. Haduh! Sementara Dita cuma nyengir dan malah memelukku makin erat.

Di saat aku sedang salah tingkah, tanpa disangka, aku kembali menemukan pemilik sepasang mata Indah yang melihat ke arahku. Jika aku sedang dalam posisi dipeluk Dita, Indah sedang dalam posisi tangan kirinya digandeng oleh Leo.

Damn, this is ankward.

Aku. Dita dan teman yang lain lalu nongkrong di salah satu food corner, menunggu hasil pengumuman 5 peserta yang lolos yang akan diumumkan sebentar lagi yang sekaligus menjadi penutup acara audisi kedua. Santi dan Bobby yang menjadi MC naik ke atas panggung. Dan setelah berbasa-basi, akhirnya mulai di umumkan 5 peserta yang dipilih 3 juri untuk tampil di Pensi SMA NEGERI XXX yang bertajuk “BIG BANG!” pada tanggal 30 Desember nanti.

Peserta 1 yang lolos adalah Gita. Dia seorang penyanyi pop yang memiliki kualitas suara yang luar biasa. Gak heran kalau dia lolos dengan mudah.

Peserta 2 yang lolos adalah CUT CREW. Sebuah grup breakdance yang memadukan breakdance dengan gerakan martial arts, backflip dan parkour. Sejak audisi memang mereka jadi favorit. Karena grup mereka memang sudah punya nama.

Peserta 3 yang lolos adalah Ping!. Girlband yang beranggotakan 5 cewek-cewek seksi dari kelas 3 jelas sangat punya kemampuan. Mereka mengcover lagu-lagu ala KPOP. Selain suara mereka bagus-bagus, mereka juga memiliki aksi panggung yang keren dan pintar ngedance.

Peserta 4 yang lolos adalah DJ KIM + MC CODEX. Duo yang menggabungkan musik EDM dengan musik rapper ini benar-benar jadi kejutan. MC CODEX dengan lirik-lirik cerdas berisi hal sarkas tentang kehidupan ternyata bisa masuk ke beat yang dibuat oleh DJ KIM.

Ketika peserta terakhir hendak dibacakan, aku merasa deg-degan. Entah siapa yang memulai namun perlahan terdengar nama XYZ diserukan oleh banyak orang.

XYZ !! XYZ !! XYZ !! XYZ !! XYZ !! XYZ !! XYZ !! XYZ !!

Dan ketika dari mulut Bobby yang menyebutkan nama XYZ sebagai peserta kelima yang lolos untuk perform di Pensi, langsung pecah keributan di antara kami semua.

Pecah keributan paling menyenangkan yang pernah aku rasakan! Aku, Xavi, Zen dan Yosi berangkulan seperti layaknya pemain bola yang mencetak gol ! dan satu persatu teman-teman kami ikut dalam euforia !!!

WUHUUUUU XYZ LOLOS AUDISI !!!


***
1 bulan kemudian
@ Sasana Gladiator
***


(Pov Xavi)


One..One..Three low..One..Two...!” seru Maya.

BUGH ! BUGH ! BUGH ! BUGH ! BUGH !

Gue memukul dan menendang ke arah mitt yang di pegang oleh Maya sesuai dengan instruksi yang diberikannya.

“Mana tenaga lo !!! Lo gak akan bisa jatuhin lawan elo kalau kombinasimu masih lemah ! sekali lagi..give me three low three middle four high ..two..two..one..two !” hardiknya.

BUGH ! BUGH ! BUGH ! BUGH ! BUGH ! BUGH ! BUGH !

“NAH !! INI BARU TERASA ! ATUR NAFAS BAIK-BAIK !!! ULANGI LAGI 1 SET !”

Setelah menyelesaikan 1 set kombinasi, Maya berteriak untuk break 5 menit. Gue terengah-engah, capek namun gue masih punya tenaga. Sudah hampir 1 bulan gue mulai berlatih muaythai dengan Maya di sasananya. Dan Maya membuktikan ucapannya, ia benar-benar menggembleng gue seolah gue atlet profesional. Namun gue jelas tidak mungkin mengeluh karena bisa saat itu juga ia akan berhenti mengajari gue. Jadi pilihan gue hanyalah mengikuti 100% instruksinya. Di minggu pertama, gue masih belum diperbolehkan berlatih pukulan maupun tendangan. Minggu pertama masih fokus dengan latihan fisik. Setelah dirasa aku bisa melewati latihan dasar fisik muaythai, minggu kedua gue baru mulai belajar tentang teknik serangan muaythai. Ada 7 teknik sebenarnya mulai teknik memukul, teknik menendang, teknik memiting, teknik menyikut, teknik mendengkul dan teknik dorongan kaki. Namun gue hanya dilatih untuk menguasai teknik memukul di minggu kedua dan teknik menendang di minggu ketiga.

“Kalau lo belum bisa memukul dan menendang yang bener, lo belajar teknik lainnya akan jadi percuma.” Jelas Maya yang sepertinya bisa menebak arah pikiran gue.

Di minggu kedua gue diajari berbagai teknik memukul seperti jab, strike, hook dan uppercut.

Di minggu ketiga gue diajari high kick, middle kick dan push kick dengan menggunakan kedua kaki, karena baik kaki kanan maupun kaki kiri harus sama-sama kuat.

Di minggu keempat, gue mulai berlatih mengkombinasikan serangan dengan teknik memukul dan menendang yang sudah diajari di minggu sebelumnya. Sasaran gue adalah sansak.

Di minggu kelima yang baru dimulai beberapa hari yang lalu, sasaran gue bukan lagi sansak, melainkan mitt yang dipegang oleh Maya. Gue melakukan serangan kombinasi ke mitt sesuai dengan instruksi yang diberikan Maya.

1 = pukulan kiri (jab, hook)
2 = pukulan kanan (strike, uppercut)
3 = tendangan kanan (low, middle, high)
4 = tendangan kiri (low, middle, high)

Di sela-sela break, gue bertanya ke Maya. “May, serangan gue uda cukup kuat belum?”

Maya menatap gue. “Kalau lawan lo orang yang gak pernah berantem, lo bisa membuat mereka pingsan. Kalau lawan elo levelnya biasa saja namun sudah sering berantem, serangan lo hanya menyakiti mereka namun belum sampai taraf membuat mereka pingsan. Kalau lawan lo jago dan sudah pengalaman berantem, serangan lo cuma seperti membuat mereka geli.”

Anjing, level gue rendah banget dong.

“Secara teknik lo sebenarnya uda bener, kecuali ya serangan pukulan tendangan dan pukulan 1 dan 4 masih relatif lemah karena memang bagian kiri bukan bagian terkuat.”

Ah, asli gue pengen sparring nih sebenarnya, bosen mukulin benda mati mulu. “May, kapan lo ajarin gue sparring?”

“Lo mau sparring? Sama gue?”

“Lha iya lah, sama siapa lagi? Sama satpam depan?”

“Sebenarnya lo belum siap, karena masih ada 1 materi lagi yang harus elo pelajari benar-benar. Tapi baiklah gue jelasin sambil praktik. Pakai sarung tinju, gumshield dan gear kepala, terus ke ring.”

Gue sumringah mendengarnya. Meskipun sebenarnya gue penasaran dengan 1 materi lagi yang mesti gue pelajari. Ah dipikir nanti saja. Karena kedua tangan gue yang masih memakai hand wrap, gue langsung memakai sarung tinju. Setelah mengambil gumshield atau pelindung gigi dan memakai pelindung kepala gue naik ke atas ring. Maya Cuma tersenyum melihat gue terlihat bersemangat di atas ring. Maya menghampiri gue untuk mengencangkan ikatan di sarung tinju, mengecek pelindung kepala yang udah gue kenakan dengan benar dan terakhir meminta gue untuk membuka mulut memperlihatkan gumshield. Baru kemudian ia hanya mengenakan sarung tinju tanpa gumshield dan pelindung kepala.

“Bagus, lo udah siap. Xav, lo yang mulai hitung sampai 3. Oh iya sebelum kita mulai, gue cuma mau bilang satu hal, gue serius kalau sparring, gue akan menendang dan memukul elo dengan serius. Intinya jangan harap gue bersifat lunak, ngerti?”

“Ngerti. One..Two...Three!”

Tepat di hitunga ketiga, raut muka Maya sudah berbeda, ia terlihat sangat, sangat serius. Anjir, gue menelan ludah.

Dan benar saja, Maya langsung menghujani gue dengan pukulan. Gue panik ! ya iyalah ! gue belum pernah berada di ring dan berhadapan satu lawan satu. Dan ini gue langsung berhadapan dengan juara MMA ! gue tadi mikir apa sih kok sok ngajak sparring Maya ! alhasil gue malah kayak ayam yang dikejar-kejar anjing. Gue berkelit menghindar sampai tanpa sadar gue tersudut ke pojok ring. Disana gue dihujani pukulan beruntun. ANJING ! SAKIT BANGET ! Gue Cuma bisa melindungi kepala gue. Gue sepertinya tahu ada 1 materi penting yang belum gue pelajari. Yakni cara bertahan dari serangan lawan ! dan hal ini seolah ditunjukkan dengan gamblang oleh Maya. Lengan gue mulai ngilu sampai akhirnya satu pukulan ke arah perut membuat kesakitan.

HOEK!!

reflek gue pun menurunkan kedua tangan yang sebelumnya melindungi wajah dan memegangi perut.

Maya menyeringai.

“Lo belum belajar caranya bertahan dan satu lagi, tubuh lo belum cukup kuat untuk menerima serangan....contohnya seperti INI !”

Satu kelebatan tajam berupa tendangan kaki kiri mengarah sisi wajah gue yang terbuka.

Mampus.

BUGH !

NGIIIIIIIIIIIIIIIIING!

Kuping kanan gue rasanya menguing sakit sekali dan diikuti dengan tubuh gue roboh mencium canvas

Selanjutnya gelap.


***
2 bulan kemudian
@ Rumah Xavi
***


(pov : Yandi)


"Woiy ponsel siapa ni siapa sih dari tadi bunyi mulu. Kenceng banget lagi volume ringtonenya. Tapi lagunya kok lama-lama enak juga," celetuk Abas yang sedang duduk di anak tangga gazebo.

"Biarin ajalah bas," kataku yang duduk di rumput tidak jauh dari gazebo.

Selain aku, tidak ada yang menanggapi perkataan Abas karena teman-teman lainnya sedang asyik berenang di kolam renang Xavi.

Ya kami semua bisa kumpul di rumah Xavi karena peristiwa konyol.

Sore tadi kami semua pergi ke rumah Xavi karena lapangan futsal yang biasa kami pakai penuh sudah di booking orang. Cuma karena Farel lupa perpanjang bayar, jadwal kami tiap rabu sore jam 5 pun di ambil orang lain untuk 1 bulan. Parahnya kami semua termasuk Farel sudah terlanjur berkumpul di CALCIO FUTSAL.

15 orang lengkap. Generasi pertama XYZ, batinku.

Untuk pertama kalinya semua teman-temanku bisa datang tanpa ada satupun yang ijin. Zen yang cuma pernah datang sekali, tumben bisa datang. Otomatis Farel langsung di bully teman-teman. Farel cuma bisa meringis sambil minta ampun.

"Doh, kampret lu rel. Cuma ngurusin perpanjangan lapangan futsal aja gak becus," tegur Astra.

"Soryy gaiss, gue benar-benar lupa. Biasanya kalau uda mau habis, gue di hubungin sama orang CALCIO ditanyain mau perpanjang atau enggak. Tapi yang kemarin gue gak di kontak sama sekali, sumpah!" ujar Farel coba membela diri.

"Yaelah, gimana elo mau dihubungin. Nomor XL lo aja minggu kemarin kena blokir karena gak registrasi SIM CARD! Jangan-jangan lo ninggal nomor ponsel lo yang XL ke orang CALCIO," ujar Dodo kesal.

"Iya kali yaa, duhhh. Maap. Atau gini, kalian tunggu disini. Gue cari tempat lain yang kosong," Farel mengiba minta maaf sambil coba cari jalan lain.

"Ah uda males gue! Cabut aja yuk!" Tukas Riko yang sudah berdiri.

Di saat teman lain ribut, tiba-tiba Xavi bilang.

"Udah terlanjur kumpul semua gini. Sayang kalau pada balik. Ke rumah gue aja yuk. Renang. Kalian semua nyebur juga kolam gue masih muat."

"Rumah lo ada kolam renang? Dimana? Orang belakang rumah lo cuma kolam ikan kecil," ujar Wira.

Xavi cuma senyum-senyum aja. Aku melihat ke arah Xavi, "Kamu mau ajak mereka ke rumah Pondok Indah?" Bisikku. Selama ini Xavi hanya pernah mengajak aku, Zen, Yosi dan Vinia ke rumahnya yang megah bak istana di daerah Pondok Indah. Mungkin karena kami sudah tahu latar belakang keluarganya sehingga Xavi tidak keberatan menunjukkan istananya kepada kami. Di luar F4, selama ini Xavi bilang rumahnya ada di daerah Hang Tuah, sebuah rumah sederhana seperti yang dibilang Wira barusan. Disana cuma tinggal mas Harjo, penjaga rumah yang diaku sebagai pamannya. Sebelum teman-teman F4 tahu dia anak tunggal Clara Maria, Xavi juga mengajak kami kesini kalau kami memaksa main ke rumahnya.

Jadi jika Xavi mengajak teman-teman selain F4 ke rumahnya, otomatis sama saja secara tidak langsung dia memberitahu ke teman yang lain bahwa dia sebenarnya berasal dari keluarga yang super duper kaya.

"Gak apa-apa, mereka teman seperjuangan kita juga," jawab Xavi sambil mengangguk ke arah Zen dan Yosi yang sepertinya juga memiliki pemikiran yang sama denganku.

Teman-teman yang lain jelas merasa Xavi cuma bercanda, namun Yosi kemudian mengambil motornya dan mendatangi kami. Xavi segera naik di belakangnya.

"Gini aja, yang gak percaya. Gak usah ikut. Tapi jangan nyesel kalau ntar gue pamerin foto di grup. Ayo yang mau ikut, ikutin gue dari belakang. Gue jamin lo pasti bersyukur temenan sama gue."

Karena penasaran akhirnya semuanya teman mengikuti motor Yosi dan Xavi. Sementara aku yang membonceng motor Zen berada di belakang, siapa tahu ada yang nyasar. 8 motor seolah konvoi menuju rumah Xavi. 30 menit kemudian kami sampai di rumah Xavi, lebih tepatnya di taman belakang rumahnya yang luas, rimbun, lengkap dengan gazebo dan kolam renang seukuran lapangan futsal.

"Selamat datang di kolam renang gue guys. Bi ! bikinin jus jeruk 15 gelas yaaa! Sama bawa handuk 15 !" teriak Xavi kepada Bibi Siti, asisten rumah tangga Xavi.

"Beresss Den ! Bibi sekalian keluarin makanan kecil!" teriak Bi Siti sambil mengacungkan jempol.

Jika aku, Yosi dan Zen sudah menaruh tas di gazebo sekaligus melepas baju, tinggal pakai kolor. Sementara teman-teman lain seperti Wira, Dodo, Aji, Riko, Farel, Bagas, Sigit, Bembi, Guntur dan Abas melongo terpaku sambil berpandangan. Sepertinya mereka benar-benar tidak menyangka akan hal ini, haha. Kocak sekali eskpresi mereka.

"Kalian sampai kapan berdiri kayak orang bego. Tanya-tanyanya ntar aja. Santai ini beneran rumah Xavi, bukan rumah orang lain haha. Ayo Yan, kita balapan renang! Yang kalah ntraktir Yoshinoya!!" teriak Yosi sambil berlari dan meloncat ke dalam kolam renang yang dalamnya dari ujung ke ujung yang lain berbeda. Paling dangkal sedalam 1,5 meter sementara paling dalam di ujung yang satunya 2,5 meter.

"Siapa takuttt !" balasku. Dan aku pun meloncat ke dalam kolam renang.

Suara gebyuran dan percikan air sepertinya menyadarkan semua teman. Sontak mereka buru-buru melempar tas, mencopot sepatu futsal dan kaos ke arah gazebo. Lalu menyusul kami masuk ke dalam kolam. Mereka semua nampak excited dan gembira haha!

Iya semua nampak bergembira, Xavi juga sepertinya tak berhenti tersenyum karena melihat semua teman nampak senang.

Ya, senyum Xavi terus mengembang. Bahkan sampai aku yang sudah capek berenang naik ke atas (setelah mengalahkan Yosi balap renang tentu saja) dan duduk-duduk di atas rumput dekat gazebo, menyusul naik ke atas dan duduk di dekatku.

“Punya rumah dan fasilitas bagus memang percuma kalau gak gue share ke anak-anak,” kata Xavi.

“Keputusan yang bijaksana,” kataku.

Namun perlahan terjadi perubahan di wajah Xavi. Tawanya sudah pudar, wajahnya memucat. Ia terus menatap ke arah Gazebo sampai beberapa menit. Ia seperti melihat ada hantu di dalam. Tiba-tiba Xavi berdiri dan berjalan menuju Gazebo. Ia berdiri terpaku menatap sesuatu ke dalamnya.

"Ada apa Xav?" kataku menyusul dari belakang. Aku khawatir atas perubahan sikapnya yang begitu drastis.

Xavi menoleh ke arahku sambil menunjuk handphone yang masih berdering. "Yan...itu ringtone...bunyi ringtone..bunyinya sama dengan ringtone salah seorang pelaku yang menyerang gue dulu. Akhirnya gue ingat lagunya! Ini lagu dari DEV - BASS DOWN LOW!! INI SAMA YAN! Lagu yang selama beberapa bulan ini terus menghantui gue! Lagu yang gue cari-cari selama ini!” jawab Xavi setengah histeris.



Aku jadi ikut terpaku menatap satu dari sekian ponsel yang tengah di charge, masih berbunyi cukup nyaring sedari tadi. Aku langsung menyadari situasinya. Dulu di rumah sakit Xavi bercerita kepadaku bahwa ia tidak bisa mengenali para pelaku karena mengenakan jaket hitam dan penutup kepala hitam. Satu-satunya petunjuk adalah ia sempat mendengar bunyi ringtone ponsel salah seorang pelaku yang mengira Xavi sudah pingsan. Sejak saat itu petunjuk tersebut seakan tidak berguna dan sudah dijadikan cara untuk melacak pelaku. Jika salah satu penyerang Xavi, yakni Bram sudah mengaku. Maka yang 1 lagi masih gelap. Tiba-tiba aku teringat perkataan Bram tempo hari, yang mengatakan jika salah satu temanku bisa jadi adalah mata-mata Leo yang sekaligus pelaku yang sudah menyerang Xavi.

Bisa jadi ini adalah ponsel pelaku!!

"Bas, ini ponsel siapa!" tanyaku kepada Abas yang sedang main game di ponselnya.

"Gak tahu gue, ponsel sama semua Samsung kek gitu," jawab Abas.

Memang di situ ada 4 ponsel yang nyaris serupa. Dan 1 ponsel tersebut masih berdering nada panggilan, namun kemudian berhenti berbunyi. Aku segera naik ke gazebo dan mengambil ponsel SAMSUNG J7 warna hitam dan kuamati sembari mengingat ini ponsel siapa. "Tadi siapa saja yang mencharge ponsel disini?" tanyaku ke Abas. Abas jadi satu-satunya orang yang tidak ikut renang karena ia mengaku tidak bisa berenang. Jadi ia cuma duduk-duduk disini.

"Kalau gak salah tadi yang minta tolong ke gue untuk ambil charge di tas untuk nge-charge ponsel ada Wira, Astra, Bembi dan Riko sih. Mungkin lho ya, kalau gak salah ingat," jawab Abas

"Woi Yan, ponsel gue batre udah penuh belom ? Gue lupa mau ngabarin ke abang gue. Dia mo pake motornya. Bisa jadi abang gue nelpon. Siniin ponsel gue," tanya salah seorang temanku yang keluar dari kolam dan menuju gazebo. Dia tidak naik karena badannya masih basah kuyup.

"Eh sialan, kuping lo tuli ya kemasukan air! Dari tadi bunyi mulu tuh ponsel! Berisik. Bisa jadi abang elo yang nelpon dari tadi!" tukas Abas.

"Wanjir keasyikan renang gue asli. Duh, bisa di omelin gw. Yan, malah bengong. Siniin ponsel gue."

"Ini ponselmu ?"

"Iya."

Aku langsung menatap Xavi. Xavi juga otomatis menatap dalam-dalam temanku tersebut. Tubuh Xavi gemetar, tapi aku yakin dia bukan gemetar karena takut, tetapi gemetar akibat emosi.

"Kalian berdua kenapa melotot ke gue sih?" tanya temanku ini kepadaku dan Xavi.

Aku mendesah sambil menggelengkan kepala. Tak bisa kupercaya. Memang hanya sekedar ringtone belum bisa jadi bukti, mesti harus di cek lagi isi ponsel ini. Aku tidak bergeming sambil menatap temanku ini yang sepertinya masih belum menyadari sesuatu.

"Yan, siniin ponsel gue!! Gue mo nelpon abang gue !  Lo apa-apaa sih yan!"

"Yakin ini ponselmu?"

"Yakinlah!"

"Apa nada deringnya? Lagunya DEV?"

"Iyaa!! Lagunya DEV ! tuh ringtone gak pernah gw ganti apapun ponsel yang gue pakai! ngefans banget gue sama DEV! Yan, lo apa-apan sih siniin ponsel gue!! Gue hitung sampai 3. Klo blom lo kasih, gue naik ke atas nih. Badan gue masih basah kuyup. Masa bodoh kalau baju, tas, ponsel anak-anak basah kena air!" serunya.

Dan dia pun mulai menghitung mundur dengan wajah yang mulai terlihat emosi. Abas sampai terpaksa minggir ketika Riko naik ke atas gazebo.

Ya Riko adalah si pemilik ponsel ini.

“Yan, gue minta bailk-baik. Mana ponsel gue. Ini gak lucu.”

“Jangan dikembalikan Yan! Kita korek dulu isinya ! Siapa tahu nemu bukti penting!” seru Xavi.

“Anjir kalian ngomong apa si? Bukti apaan?”

Aku sempat dilema.

“Eh sebentar, sepertinya itu bukan..” gumam Riko.



Tiba-tiba terdengar salah satu ponsel yang tergeletak dibawah berbunyi. Aku dan Riko langsung menatap ke bawah. Terlihat layar menunjukkan nama penelepon.

BANG ROMI CALLING

“Lah ini ponsel gue barusan bunyi. Tuh abang gue nelpon. Iseng banget sih elo Yan, gue pikir yang lo pegang tu ponsel gue, ternyata bukan. ”

Setelah mengelap tangannya ke salah satu jaket yang tergeletak di bawah, Riko mengambil ponselnya dan langsung menjawabnya.

“Iya bangggg, maaffff gue lupaaaaa! Jadi gimana nih, gue mesti balik gak?

......

“Oh gitu. Yadah, tar gue beliin martabak MARKOBAR kesukaan elo deh. Beres.”

Ketika Riko mengangkat telepon, aku dan Xavi berpandangan. Xavi yang tadi berdiri mematung langsung naik ke gazebo. Setelah Riko selesai menerima telepon, Xavi langsung bertanya kepada Riko.

“Rik, jadi ringtone ponsel elo lagunya DEV yang Dancing In The Dark?”

“Iya. Eh elo berdua kenapa sih aneh banget? Nanya tentang ringtone mulu dari tadi?”

“Jadi ini ponsel siapa?” aku bertanya ke Riko sembari menunjukkan ponsel kepada Riko.

“Tuh ponsel sama persis dengan ponsel gue. Kalau gak punya Astra ya punya Sigit. Bulan lalu kami nemu promo flash sale di MALL BIRU, beli SAMSUNG J7 2 unit gratis 1 unit. Jadi gue langsung patungan sama Sigit dan Astra beli 2 gratis 1 men ! Mayan banget kan!”

“Kamu bisa pastiin gak ini ponsel Sigit atau Astra?” aku bertanya ke Riko sambil menyerahkan ponsel tersebut kepadanya.

“Ringtone ponsel yang ini pake lagunya DEV, Bass Down Low,” tegas xavi.

“Kalau di ringtonenya DEV yang Bass Down Low mah, ini ponselnya Sigit. Gue dan Sigit sama-sama suka DEV! Sigit malah lebih fanatik dibandingkan gue. Dari SMP gak pernah ganti ringtone, itu mulu tuh lagu. Nih di wallpaper ada fotonya Sigit dan Rena.” Riko menekan tombol power sehingga layarnya menyala untuk meminta password. Layar tersebut menampilkan foto Sigit dengan Rena pacarnya.

Aku masih tidak percaya ini! Sigit?? Sigit mata-matanya ? Kok bisa? Namun aku masih belum bisa menuduhnya tanpa bukti jelas.

“Eh sebaiknya lo cepat taruh lagi ponsel Sigit. Dia paling gak suka ponselnya di buka orang. Gue yang teman baiknnya sejak SMP aja masih suka di maki-maki gara-gara pinjam ponsel.”

Aku langsung seperti mendapat petunjuk yang sangat luar biasa berharga dari Riko.

Ini ponsel Sigit.
Sigit pasang ringtone lagunya Dev - Bass Down Low sejak SMP.
Sigit tidak menyukai ponselnya disentuh orang.

Fellingku langsung tidak enak.

“Rik, kamu tahu password untuk buka ponsel Sigit?” kataku pelan. Aku sempat melihat ke kolam. Beberapa masih ada yang berenang. Yosi dan Zen berbaring di kursi pinggir kolam. Sigit tidak kelihatan. Entah dimana dia.

“Tahu sih, cuma gak sopan lho Yan buka ponsel orang. Meskipun ini ponsel teman kita sendiri.”

“Ini urgent Rik. Please, nanti aku ceritakan duduk perkaranya !” pintaku.

“Ada apaan sih? Eh kalau Sigit tahu, bisa marah besar dia.”

“Kalau Sigit marah biar aku yang tanggung. Cepat buka.”

“Lo janji cerita ke gue ada apa ini sebenaarnya, tingkah kalian berdua aneh sekali.”

“Pasti, pasti aku ceritakan semuanya.”

Setelah sempat ragu-ragu akhirnya Riko kemudian menyebutkan pasword ponsel Sigit. “171819.”

Kumasukkan angka tersebut dan ponsel terbuka. Aku yang tadi berdiri langsung duduk bersila di gazebo, agar teman lain tidak curiga. Riko dan Xavi juga ikut duduk mengelilingiku.

Yang pertama aku lakukan adalah membuka daftar kontak telepon. Aku mengetikkan nama Oscar dan Leo. Namun nihil. Aku masukkan nama Bram juga tidak ditemukan. Ya ampun aku polos banget sih, gak mungkin juga Sigit menyimpan nomor dengan nama Leo ataupun Oscar karena akan sangat mencurigakan. Aku lalu membuka daftar tampilan panggilan masuk dan keluar. Di daftar panggilan keluar kosong, di panggilan masuk hanya ada ada 1 nomor yang tertera dan nomor tersebut sore ini sudah melakukan panggilan sebanyak 3 x secara beruntun namun tidak terjawab.

MISSED CALL
+62 815 xxx yyyy
17.49

MISSED CALL
+62 815 xxx yyyy
17.51

MISSED CALL
+62 815 xxx yyyy
17.52

Tidak ada nomor lain. Bahkan tidak ada nomor dengan nama Rena. Logikanya kalau orang pacaran pasti sering telpon-telponan. Ini benar-benar bersih, aku jarang menemukan orang yang rajin menghapus panggilan keluar-masuk di ponsel. Kalaupun ada biasanya orang tersebut menyimpan sesuatu. Kalau konteks pacaran, bisa jadi menyembunyikan panggilan telepon dari cewek lain atau selingkuhan. Tapi dalam hal ini apa yang mendasari Sigit untuk membersihkan history panggilannya?

Aku langsung mengambil ponselku dari dalam tas. Aku segera mengetikkan di daftar kontak nomor ponselku, nomor misterius yang ada di ponsel Sigit.

Aku terhenyak karena ketika kumasukkan nomor penelepon misterius tersebut ke ponselku, muncul satu nama yang memiliki nomor sama persis, yakni.

LEO - 1F

Menyadari aku tercenung menatap ponselku, Xavi kemudian melihat ke arah layar ponselku. Reaksi Xavi? Tangannya mengepal dan bergumam, “Bagaimana...elo bisa tahu dan menyimpan nomor Leo ?” tanyanya.

“Kamu masih ingat kan ketika awal masuk sekolah, Bu Shinta membentuk grup WA “1F” dan nomor semua siswa ikut masuk di grup tersebut termasuk Leo dan Gom. Namun beberapa hari kemudian aku melihat Leo-1F LEFT GROUP dan tak lama kemudian 1 nomor baru muncul. Dan nomor tersebut ternyata nomor Leo yang baru.”

“Bagaimana elo tahu dan menyadari nomor yang Left Group tersebut si Leo?”

“Aku tahu karena begitu masuk di grup WA tersebut, aku langsung menyimpan semua nomor kontak di grup tersebut, termasuk Leo dan Gom. Sehingga aku tahu Leo keluar dari grup. Kalau kita tidak menyimpan nama orang di grup,ketika ia keluar yang muncul cuma nomor sekian left grup. Jadi bisa kupastikan bahwa orang yang menelpon ke ponsel Sigit adalah Leo.”

“Ya, kamu buka WA, LINE, BBM ataupun SMS di ponsel Sigit ! Siapa tahu ada bukti percakapan!” seru Xavi.

Aku langsung menuruti permintaan Xavi dan membuka semua WA, BBM, SMS dan LINE, namun aku tidak menemukan apapun. Semua pesan kosong bersih kecuali di Whatsapp. Di situ ada bekas 3 chat. 1 chat dari kontak yang diberi nama RENA setelah kubuka isinya hanya percakapan singkat Sigit dengan Rena khas orang pacaran tidak ada yang spesial. 2 chat lain adalah grup 1D dan grup Yandi Dan Kawan-kawan. Di grup 1D, beisi chat random teman sekelas Sigit. Di grup Yandi jelas ga mungkin. Sialan, tidak ada apa-apa disini. Tetapi justru ini membuatku malah semakin curiga karena terlalu bersih. Aku saja tidak pernah menghapus history chatku. Kalau barang bukti cuma Leo yang menelepon Sigit, ini terlalu lemah.

“Aku gak nemu apa-apa,” kataku ke Xavi.

“Siniin ponselnya biar gue yang oprek!” kata Xavi lalu merebut ponsel Sigit dari tanganku.

Sambil menunggu Xavi membedah ponsel Sigit, aku mulai menjelaskan duduk perkaranya ke Riko. Riko nampak terkejut ketika aku bercerita bahwa ada kemungkinan mata-mata dari aliansi Leo di XYZ. Mata-mata ini memiliki rencana jahat untuk menghancurkan XYZ dari dalam dan mungkin sudah pernah ia lakukan ketika beberapa bulan yang lalu secara serempak sebagian besar anggota XYZ dibantai orang-orangnya Oscar. Bahkan ada kemungkinan sang mata-mata ini adalah orang yang sama yang telah melakukan penyerangan terhadap Xavi. Penyerangan yang menjadi awal konflik panjangku dengan kelompok Oscar dan Leo. Satu-satunya petunjuk yang secara tidak sengaja diperoleh Xavi adalah ringtone ponsel salah satu pelaku yang sempat berbunyi ketika mereka selesai menyerang Xavi. Tanpa mereka sadari Xavi sempat mendengar ringtone tersebut dengan jelas. Dan hari ini, Xavi kembali mendengar ringtone yang sudah menghantuinya selama ini. Ringtone tersebut sama persis dengan ringtonr Sigit.  

“Mata-mata? Sigit? Elo nuduh Sigit cuma berdasarkan asumsi ringtone doang?” tukas Riko tajam. Aku memaklumi jika Riko tidak terima jika secara tidak langsung teman baiknya Sigit menjadi tertuduh.

“Kamu benar, aku tidak bisa langsung menuduh Sigit hanya berdasarkan kesamaan ringtone Sigit dengan salah satu pelaku. Namun ringtone tersebut bisa menjadi awal penyelidikan. Apalagi kamu bilang Sigit adalah fans berat Dev yang tidak pernah mengganti ringtonenya. Bahkan sedari SMP. Wajar jika Sigit masuk ke kotak tertuduh. Apalagi kamu lihat tadi, Leo menelepon Sigit beberapa kali. Leo musuh kita. Kecil kemungkinan itu adalah telepoh salah sambung. Aku memaklumi jika kamu kaget dan tidak percaya jika Sigit adalah bagian dari kelompok Leo dan Oscar.”

Aku menepuk pundak Riko yang wajahnya sudah memerah emosi. Dia benar-benar terlihat bingung, marah, kecewa jadi satu, nafasnya sampai mendengus. Reaksinya sama persis dengan Yosi ketika tahu ditusuk Bram dari belakang. Aku mencoba menenangkan Riko, jangan sampai dia meledak emosinya dan mengacaukan segalanya.

“Bangsat. Kalau benar Sigit pengkhianat, gue bantai tuh anak, bajingan...”
Wah gawat ini, emosi Riko udah di ubun-ubun. “Xav, gimana uda nemu sesuatu belum?”

“Belum! Bentar-bentar. Gue baru kelar telusuri file document dan notes yang ada di ponsel Sigit,” jawab Xavi.

Aku langsung sigap memegang tangan Riko ketika ia berusaha berdiri. “Lepasin Yan. Gue udah gak tahan, biar gue tanya langsung ke bajingan yang sedang asyik minum jus itu!” Geram Riko. Aku lihat Sigit sedang duduk di pinggir kolam tengah sambil minum jus jeruk.

“Tahan dulu ! Percuma kalau kamu tanya secara terang-terangan ! Dia tidak akan mengaku! Dan kita belum punya bukti yang tidak terbantahkan bahwa ia adalah bagian dari kelompok Leo!”

Aku sampai meremas pergelanan tangan Riko karena ia coba berontak. Sedikit keributan ini membuat Abas yang sedari tadi asyik dengan ponselnya melihat ke arah kami. “Kalian ngapain sih? Ribut sendiri sedari tadi? Eh Rik, wajah lo merah kayak gitu kenapa?”

Tidak ada yang menggubris pertanyaan Abas karena aku dan Riko mendengar seruan Xavi.

“KETEMU !! MAMPUS SEMUA ADA DISINI! BUKTI YANG TIDAK MUNGKIN BISA DI BANTAH BAJINGAN YANG UDAH NYERANG GUE! Yan,ada nama cewe elo disebut-sebut …..”

“Apa?”

Xavi meletakkan ponsel di lantai sehingga aku dan Riko bisa membaca penggalan chat Sigit dengan seseorang di WA. Ini nomor leo !

+62 815 xxx yyyy
Awas, si kampung mulai waspada
22.17

SIGIT
86
22.18

+62 815 xxx yyyy
Good. Gimana to?
22.21

SIGIT
Locked. Jadwal les sore sudah di tangan, termasuk jalur yang biasa to lewatin. To sering ambil jalan pintas sebelum pasar melati. Jalan intas termasuk sepi. Dan itu kesempatan buat kita. Kapan? Gak sabar gue nyicp dikit pcr si kampung. Imut tapi berisi badannya. Yandi pasti uda pernah ngentot sama dia.
22.23

+62 815 xxx yyyy
Gak usah buru2. Kalem. sebulan lagi.Heleh gw yakin yndi ga berani ngentot. Mentok pegangan tangan doang.
22.25

SIGIT
sebulan lagi. noted. Gak sabar gw sabotase penampilan yandi di pensi dgn cara ngerjain cewenya sblm mrk main haha, Kalau gw punya cewek kayak dita, gw entot tiap hari deh.
22.26

+62 815 xxx yyyy
Anjing, kurang lo ngewe rena. haha
22.30

SIGIT
Lagi bosen sama meki botaknya. Kalau lo mau icip rena, bisa di atur. Lagi dimana bos?
22.32

+62 815 xxx yyyy
Hahaha kapan2. Gue masih senang ngewe sama indah. ni gw abis ngewe ma dia hotel. Lagi nunggu dia mandi, trs cuss ke lounge sm dia.
22.44

SIGIT
Wuih indah cuuyyy. Kelas berattt. Uda jadian lo bos sma Indah?
22.47

+62 815 xxx yyyy
Ga taw, pusing gw. Tiap mo ngomong serius sama indah, dia hindar mulu. Tapi yasudahlah, selama gw mash bs ngewe ma dia,status nomor sekian.
22.51

SIGIT
Haha mantap bosku.
22.54

+62 815 xxx yyyy
Off dulu. Hapus chat.
23.21

SIGIT
beres
23.25


Kemarahanku timbul juga membaca chat ini, sepertinya mereka menyiapkan rencana busuk untukku dengan menggunakan Dita! Aku paling benci dengan cara kotor seperti ini!! namun membaca chat antara Sigit dengan Leo yang terselip nama Indah, sepertinya sukses meperburuk perasaanku.

“Xav, bagaimana kamu bisa menemukan chat ini? kan tadi jelas-jelas aku cek WA, tidak ada chat ini,” tanyaku geram.

“Si pengkhianat ini menggunakan Parallel Space, sebuah aplikasi yang bisa mengkloning aplikasi lainnya. Dan Sigit mengkloning Whatsapp. Gampangnya ada 2 aplikasi WA yang menggunakan 2 nomor berbeda berjalan secara simultan di 1 ponsel. Nyaris saja terlewatkan sama gue, namun beruntung gue pernah pakai Parallel Space jadi mayan familiar dengan logonya. Yan, sepertinya Sigit menggunakan WA di aplikasi ini untuk komunikasi dengan Leo. Karena masih banyak chat mencurigakan lainnya disini! skakmat!”

“Lo yakin Sigit mata-matanya?” tanya Riko.

“100% gue yakin Sigit mata- matanya. ponsel ini bisa barang bukti sahih, nih lo lihat chat tadi, nomornya sama dengan nomor Leo yang lama yang pernah Yandi simpan!”

“BIADAB !! GUE GAK BISA TINGGAL DIAM LAGI! BABI!” seru Riko lalu ia meloncat dari atas kemudian berlari menuju Sigit !

Aku lengah karena perasaanku juga kacau membaca chat bahwa Sigit dan Leo hendak mengerjai Dita, gawat! “Xav, simpan ponsel Sigit!”

Aku langsung meloncat dari gazebo sama seperti Riko yang sudah kesetanan seperti hendak membunuh Sigit. Aku hendak menyusul Riko namun terlambat, aku lihat Riko sudah melancarkan serangan ke arah Sigit yang sedang duduk di tepi kolam renang.  

Dasar anjing laknat antek leo ! tega lho ya!” seru Riko emosional sambil menjejakkan kuat-kuat kaki kanannya ke bagian belakang kepala Sigit! Akibatnya Sigit langsung tersungkur ke dalam kolam renang. Tindakan Riko yang sporadis ini jelas mengagetkan semua orang karena serangan Riko tadi bisa berakibat fatal karena tepat di area rawan belakang kepala. Aku juga emosi namun aku lebih suka mengorek keterangan dari sigit selengkap-lengkapnya.

“Rik, apaan itu barusan hah??!!!” ujar Wira sambil mendorong Riko ke belakang cukup keras hingga Riko terjungkal. Reaksi Wira seperti itu karena Sigit adalah teman sekelasnya. Riko sebenarnya sosok yang kurang disukai sama teman-teman karena ia memiliki sifat paling temperamental.

Aku segera memegangi Riko ketika ia hendak bangkit dan menyerang Wira. “udah stop!” kataku.

“Lepasin gue Yan! Kok elo bisa tenang gitu? pacar elo dikata-katain dari belakang sama Sigit ! lo trima?”

“Lu kesurupan apa sih Rik? Sigit lo serang dari belakang?” tanya Astra.

Semua teman langsung mengerubungi kami termasuk Zen dan Yosi. Karena aku mulai stres dengan sikap Riko dan situasi yang memanas, aku memiting leher Riko dari belakang dan sedikit mencekiknya sambil menyeret dia menjauh. Sementara teman yang lain coba menenangkan Wira, Farel, Bagas dan Dodo. Mereka berempat nampak emosi karena mereka cukup dekat dengan Sigit.

“anjing lo Rik !!”

“pengecut!nyerang dari belakang ! kalau berani serang dari depan!

Pekik mereka kepada Riko.

“Kalau kamu gak bisa kendalikan diri, kamu akan kubuat pingsan Rik! Tenang !” hardikku.

Riko yang memang agak tercekik tidak bisa berkata apa-apa selain berhenti memberontak. Ketika Riko mulai tenang, kulepaskan jepitanku dan Riko langsung jatuh terduduk memegangi lehernya.

“Ada apa sih Yan? Kenapa nih monyet bertindak brutal nyerang sigit?” tanya Yosi.

Aku belum bisa menjawab karena jujur saja aku juga luar biasa marah dengan keadaan seperti ini, namun coba kutahan. Zen mendekatiku dan berbisik “mata-matanya Sigit?”

Aku mengangguk. “Semua bukti ada di ponsel Sigit dan kini ponsel tersebut dipegang Xavi. Tolong temani Xavi, aku khawatir dia akan bertindak nekat kepada Sigit. Terlebih lagi barang bukti mesti di amankan.”

Zen cuma geleng- geleng kepala sambil berlalu menuju ke gazebo.

“GUYS ! SIGIT BELUM NAIK JUGA NIH! GUE KHAWATIR DIA PINGSAN DI DASAR KOLAM!” seru Guntur.

Kami lalu mengelilingi kolam untuk melihat keadaan Sigit.

“Cih, gue yakin gak kenapa- kenapa tuh bangsat! Batok kepalanya tuh keras tapi sayang gak punya otak ! woi gak sok akting lo! Kedok lo uda terbongkar ! elo itu bagian dari anteknya Leo! Bahkan lo juga sedang nyusun rencana untuk mencelakai pacarnya Yandi kan ! Semua bukti sudah dipegang Xavi! Ayo sini Anjing !keluar lo dari kolam!” teriak Riko yang sudah kembali berdiri.

Suasana langsung riuh, teman-teman langsung memberondongku dengan banyak pertanyaaan. Kecuali Yosi yang diam karena ia mulai mengerti penyebab Riko murka. Aku diam saja, aku justru sedang menatap bayangan seseorang di dasar kolam sedang menyelam ke ujung kolam yang lebih dangkal.

“Diam kalian semua !” hardikku. “Kalian diam dan perhatikan baik-baik, nanti kalian akan mengerti maksud tindakan dan perkataan Riko.”

Tak lama kemudian Sigit muncul dari kolam, menghadap ke arah kami, ia berdiri di kolam dengan kedua tangan terkepal, sesekali ia mengerak-gerakkan lehernya. Tendangan Riko sepertinya lumayan membuatnya nyeri di bagian kepala hingga tengkuk. Ekspresi Sigit yang biasanya murah senyum dan bersahabat kini sudah menghilang tergantikan dengan wajah yang tengah menyeringai kepadaku.

Wajah Sigit yang asli yang selama ini disembunyikan dari kami semua kini telah muncul. Ia menyeringai lalu tersenyum, lalu berkata, “Ups, sepertinya kedok gue udah ketahuan ya?hehehe,” katanya sambil melirik ke arah gazebo. Di gazebo kini Xavi sedang dijaga Abas dan Zen, aku bisa tenang karena aku sempat terpikir Sigit akan bertindak nekat dengan merangsek ke arah Xavi untuk merebut kembali ponsel yang jadi barang bukti.

Sikap santai Sigit ini membuatku waspada. Selain bersikap santai, tidak nampak aura takut sama sekali. Ini sesuatu yang janggal, karena hanya orang yang memiliki keyakinan dan rasa percaya diri tinggi yang masih bisa bersikap santai di tengah kepungan. Ya boleh dibilang posisi Sigit kini terjepit karena dia sendirian sementara ada 14 orang yang bersiap untuk menghakimi Sigit.

“Git, lu ternyata….”

“Hei ini sedang pada bercanda kan ? gak mungkin Sigit mata-mata.”

“Keparat lho Git!”

Ketika beberapa teman memaki sigit, Yosi mendekatiku dan berkata,” Yan, sosok Sigit yang asli sepertinya tangguh juga. Enaknya kita apain nih? gue jajal duluan ya?”

“Tahan Yos,” kataku.

“Jangan harap lo bisa keluar dari sini tanpa lecet git!” teriak Wira.

“Ahaha sejak hari pertama gue diminta menyusup ke kelompok menyedihkan ini, gue udah siap dengan resiko kalau suatu hari nanti kedok gue terbongkar dalam posisi ngumpul seperti ini. Gue sih gak takut kalau kalian mau keroyok gue, sini yang mau jajal gue maju, mayan buat pemanasan sebelum partai utama,” Tantang Sigit.

“Kenapa?” aku bertanya kepada Sigit, dari sekian banyak pertanyaan yang timbul akhirnya hanya mengerucut ke pertanyaan singkat tersebut.

Sigit hanya tertawa terkekeh sambil berjalan keluar dari kolam renang. Sekarang kini kami berada di taman yang terhampar rumput di samping kolam. Aku baru menyadari postur Sigit cukup besar dan kokoh. Aku jadi ingat peringatan dari Bram bahwa si mata-mata bukan orang sembarangan. Melihat aura Sigit aku mengamini perkataam Bram.

“Gue bakal jawab pertanyaan elo kalau elo bisa kalahin gue dalam duel satu lawan satu Yan. Gue uda nunggu momen seperti ini, pura- pura jadi anak buah elo itu bikin gue bego. ”

Tiba-tiba dari arah belakang ada seseorang yang berlari ke arah Sigit. Orang itu adalah Riko!

“Lo lawan gue dulu anjing !!” teriaknya sambil melepaskan tendangan ke arah Sigit. Namun Sigit sepertinya sudah waspada. Dengan tenang Sigit berkelit dengan bergeser ke samping dan melepaskan pukulan tajam ke arah wajah Riko.

Bugh!

Gerakan riko yang tengah menendang terhenti karena hantaman tersebut. Dan tubuh Riko langsung ambruk di rumput tak bergerak. Gawat dia pingsan. Sigit lalu meludahi Riko yang sudah terkapar di rumput. “Dasar tolol, banyak gaya, kemampuan nol !” ujar Sigit sembari menendang Riko yang sudah tidak berdaya.

Hei apa-apan lo? temen deket elo tuh!” teriak Yosi melihat Sigit masih menendangi Riko.

“Cih, temanan sama dia cuma buang waktu. Yan, kalau elo gak segera maju, gue siksa ni bocah.”

Sepertinya gak ada cara lain untuk mencari tahu motif Sigit selain meladeninya. Ketika aku hendak maju aku merasa ada seseorang yang memegang pundakku dari belakang.

“Sigit milik gue, gue yang maju hadepin dia.”

Aku menengok, yang berkata seperti itu adalah Zen.

“Ini orang pada antri buat gebukkin Sigit elo main nyodok antrian. Biarin Yandi yang beresin. Lama-lama eneg juga gue lihat tu pengkhianat. Gue paling benci orang seperti dia dan Bram,” tukas Yosi.

“Gue juga bisa beresin Sigit dengan cepat. Kangen banget gue dengar suara semua  tulang jari si anjing itu bergemeretak patah. Gue tambahin engkelnya dipuntir asyik juga.”

Aku tidak menggubris obrolan Zen dan Yosi. Pandangan mataku sudah mengunci sasaran yakni Sigit yang kini malah menginjakkan kakinya di atas kepala Riko. Git, kamu udah mecelakai teman- temanmu sendiri secara bertubi-tubi dengan cara pengecut. Bahkan kamu juga sudah merencanakan sesuatu yang kotor ke pacarku. Hal ini sudah cukup membuatku geram. Saat aku hendak maju, lagi-lagi ada salah seorang teman yang sudah mendahuluiku. Dia berlari cepat sekali merangsek, bukan cuma aku saja ternyata yang kaget. Sigit juga cukup kaget sehingga ia hanya bisa menangkis pukulan ke arah wajahnya. Namun pukulan yang masuk ke wajahnya bisa menerobos pertahanan dan masuk mengenai hidung dengan cukup telak sampai membuat kepala Sigit agak tersentak ke belakang. Sigit membalas namun lawannya bergerak lincah dengan mundur ke belakang.

“Elo….” gumam Sigit.

Orang yang sudah menyerang Sigit tersebut ternyata Xavi ! kami semua termasuk Sigit kaget juga. Xavi yang biasanya selalu berlindung ketika ada perkelahian justru tampil dan dengan berani menyerang Sigit! Anak ini terus-terusan membuatku terkejut. Setelah permainann drumnya meningkat pesat, stamina yang semakin prima dan yang paling terlihat adalah perubahan fisiknya yang semakin ideal tidak lagi kegemukan, bahkan aku bisa melihat ototnya mulai nampak. Tanpa Xavi cerita, aku bisa tahu bahwa dia menjalani semacam program latihan khusus yang bukan hanya untuk menurunkan berat badannya namun juga sekaligus membentuk tubuhnya. Tetapi dari cara Xavi menyerang, melayangkan pukulan dan mengenai sasaran bahkan sampai ia menghindar serangan balik Sigit, semua Xavi lakukan dengan luwes, mantap tidak merasa ragu atau gentar sedikitpun. Xavi menyimpan sesuatu dalam dirinya. Dan hari ini hendak ia keluarkan semuanya.

“Buset sejak kapan Xavi berani mukul orang?” celetuk Yosi.

“Hahaha keren juga tuh anak,” puji Zen bahkan ia sampai tepuk tangan.

“Hmm mayan juga pukulan anak mami,” ujar Sigit sambil mengusap sudut bibirnya yang sepertinya berdarah terkena pukulan Xavi.

Xavi berdiri tidak bergeming, ia menatap Sigit dengan tatapan yang sangat serius, tidak segurat senyum terlihat di wajah Xavi. Dia konsentrasi penuh.

“Bukan hanya pengkhianat tetapi ternyata elo juga orang yang sama yang telah menyekap dan menodong gue dulu, anjing.”

“Hoho, sepertinya ponsel gue udah lo bongkar abis. Yan, ini serius Xavi mo nantang gue? ” tanya Sigit menatapku.

“Liat gue anjing ! gue lawan lo ! bukan Yandi!” bentak Xavi emosi.

Sigit cuma tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan Xavi. “Lo serius mau nantang gue? Lo pikir gue sedang bercanda. Kedok gue terbongkar dan gue dalam posisi terpojok. Gue sendirian dan kalian berempat belas. Gue gak mungkin bisa keluar dari sini tanpa terjadi sesuatu ke gue. Bahkan gue bisa merasakan beberapa dari kalian seperti hendak ngebunuh gue. Gue mungkin gak bisa menang lawan kalian semua, tetapi untuk urusan satu lawan satu, gue yakin bisa menang dan Yandi target gue nomor 1,” tegas Sigit.

“Tentu saja jika kami semua kecewa dan marah sama kamu git. Namun aku jamin tidak ada yang akan mengeroyokmu, kami bukan pengecut seperti kamu dan kelompokmu. Aku bisa saja melawanmu tetapi kamu sudah berhutang dengan Xavi. Dia pantas jadi lawanmu, bukan aku. Kalau kamu bisa mengalahkan Xavi, aku akan membiarkanmu pergi dari sini.”

Langsung terdengar protes dari teman-teman karena aku berkata hal demikian.

“Yan, masak lo biarkan si anjing ini pergi gitu aja tanpa kita berikan pelajaran?”

“Lo gila Yan?”

“Jangan biarkan Sigit pergi Yan sebelum giginya gue rontokkin !”

Aku sengaja diam mendengar protes mereka. Aku baru bicara ketika mereka sudah berhenti protes. “Udah? Kalian udah selesai yang protes?” hardikku. Kini giliran aku yang marah kepada mereka semua.”Kalian semua bilang aku seolah membiarkan Sigit pergi begitu saja dari sini? Kalian tuli ? Kalian berpikir seolah Xavi sudah pasti kalah lawan Sigit! Kalian tidak percaya dengan kemampuan teman kalian sendiri? Kalaupun Xavi kalah itu lain persoalan ! semisal Xavi kalah dan kalian ada yang berani menghalangi Sigit pergi dari sini, lihat saja, dia akan kuhajar dengan tanganku sendiri ! Xav, aku percaya sama kamu tunjukkan dirimu yang sebenarnya! Tunjukkan ke kami semua artinya berjuang! Ledakkan semua kemarahanmu! Berjuanglah!”

Xavi menatapku dan mengangguk. Belum pernah aku melihat Xavi dengan raut muka tegas dan serius seperti yang barusan aku lihat.

“Ahahahaha, terimakasih atas tawaran elo Yan, tetapi gue gak akan keluar dari sini sebelum gue lawan elo. Jadi setelah gue beresin anak mami ini, lo mesti lawan gue.”

Sampai segitunya Sigit ingin berduel denganku. Apakah aku pernah punya salah sama dia? Aku mengangguk ke Sigit. “Kalau kamu bisa mengalahkan Xavi, aku akan meladenimu.”

“HAHAHA OK! Tunggu 5 menit! Eh gak, 1 menit uda lebih dari cukup buat gue bikin Xavi menyesal karena bertingkah sok jago di depan gue.”

Bugh!

Xavi tanpa diduga menyerang Sigit terlebih dahulu! Faktor surprise membuat Sigit menerima 2 pukulan bersih dari Xavi telak mengenai wajahnya. Namun ketika Xavi yang kalah tinggi dan kalah postur hendak menyerang bagian perut Sigit dengan tendangan, kini justru ia sendiri yang dibuat terkejut. Sigit menyeringai karena tendangan Xavi bukan hanya berhasil di tahan tetapi juga dipeganginya. Hidung dan mulut Sigit berdarah akibat serangan yang ia terima di awal.

Gawat! 1 kaki kanan Xavi dipegangi Sigit. Namun Reaksi Xavi berikutnya membuatku takjub. Sadar kakinya dipegang Sigit, Xavi meloncat menggunakan kaki kiri dan menendang mengenai lengan Sigit. Hal itu membuat Sigit terhuyung dan reflek melepaskan kaki kanan Xavi.

“Wuih, lincah banget si sapi,” bisik Yosi.

“Tanpa sepengetahuan kita sepertinya Xavi belajar sesuatu, tapi apapun itu aku ikut senang. Terlibat perubahan Xavi, bukan hanya secara fisik namun secara mental Xavi juga mulai....matang.”

Aku melihat perkelahian Sigit dengan Xavi berjalan agak aneh karena Xavi yang kalah postur memanfaatkan kegesitannya. Ia terus bergerak, menghindar sambil melancarkan pukulan dan tendangan ke Sigit yang sepertinya sudah mulai kesal.

“Anjing ! lo berantem apa main kucing-kucingan!” hardik Sigit kesal.

“Xavi, jangan terpancing!” aku berseru ke Xavi, mengingatkan agar dia jangan terpancing omongan Sigit. Sigit tahu dia kalah gesit dan dia mengincar serangan dalam jarak dekat.

Namun entah apa yang terjadi, Xavi mulai melayani sesi adu pukul. Bahkan ada momen ketika ia yang tengah berkelit, tangannya terpegang Sigit. Xavi berteriak kesakitan karena tangan kirinya di pelintir oleh Sigit.

“Jangan lo lawan ! ikutin arah puntiran tangan ! kalo lo lawan, tulang lo bisa patah!” seru Zen yang tiba-tiba berteriak.

Xavi sepertinya bisa menangkap perkataan Zen, ia berguling menyesuaikan arah puntiran dengan berguling dan memukul perut Sigit. Hantaman Xavi sepertinya berefek karena Sigit memegangi perutnya. Xavi menyerang Sigit dengan membabi buta, sementara Sigit melindungi wajahnya. Ketika teman-teman yang lain bersorak untuk Xavi agar cepat menghabisi Sigit, aku justru mencium potensi bahaya. Sikap Sigit yang terlihat mudah dijadikan bulan-bulanan oleh Xavi yang katakanlah baru belajar bela diri beberapa bulan belakangan ini sangat mengkhawatirkan.

Hanya orang bermental kuat dan percaya dengan kemampuannya yang bisa dan mau jadi mata-mata dalam suatu kelompok. Dan aku tahu Sigit sebenarnya mencari mengincar Xavi lengah. Ia seperti sengaja memberikan angin kepada Xavi agar terus menyerangnya. Pukulan Xavi memang terlihat kuat namun aku takut pukulan Xavi tersebut tidak memberikan efek yang besar kepada Sigit. Aku menatap tajam ke arah mata Sigit dan sekilas aku bisa menangkap sunggingan senyum di wajahnya.

GAWAT !! SIGIT HENDAK MENJEBAK XAVI DAN MENGALAHKAN XAVI DENGAN 1 PUKULAN!

Ketika aku hendak berteriak memperingatkan Xavi, Sigit melepas pukulan kiri dan Xavi bergerak dengan cara berkelit ke kanan. Dan ketika Xavi bergerak ke kanan itulah yang saat-saat yang ditunggu Sigit. Sebuah pukulan kanan Sigit masuk dengan telak ke arah badan Xavi. Telak, sangat telak. Sampai badan Xavi seperti melenting, matanya melotot dan mulutnya terbuka lebar.

Xavi ambruk tidak bergerak di rumput.

Sigit mengusap darah yang keluar dari hidung dan mulutnya. Ia juga meludahkan air liurnya yang berwarna kemerahan karena bercampur darah.

“Menyusahkan.”

Sigit lalu menginjak kepala Xavi.

“Yan, lo lawan gue sekarang. Kalau tidak, gue injak-injak kepala teman lo ini.”

“BANGSAT! LO LAWAN GUE !” hardik Yosi yang sudah emosi tingkat tinggi.

“Sabar Yos, dia cuma mau lawan gue. Biar gue selesaikan pertarungan ini dengan cepat biar kita bisa membawa Xavi dan Riko ke rumah sakit.”

Aku lalu maju ke depan. “Ayo sini, aku layanin.”

Sigit menyeringai dan maju ke depan. Ketika jarak kami makin dekat dan aku bersiap beradu pukul dengan Sigit, tiba-tiba terdengar teriakan dari arah belakang Sigit.

“GUE BELUM KALAH ANJINGG!!!!!!!!!” teriak Xavi yang bangkit dengan susah payah, kedua kakinya nampak gemetar, tangan kiri memegangi bagian rusuknya.

Sigit yang rupanya kesal lalu membalas teriakan Xavi, “ KITA SUDAH SELESAI BEGO !!” Sigit menyerang ke arah Xavi dan aku khawatir Sigit akan lepas kontrol. Xavi yang sudah berdiri sepertinya juga hendak menyerang Sigit. Sigit yang sudah berancang-ancang melepaskan pukulan ke arah Xavi yang berlari ke arahnya,

BETH !

Pukulan Sigit hanya membelah udara kosong. Dengan timing yang sangat pas, Xavi menunduk lalu bak adegan film action. Xavi menginjak paha kanan Sigit sebagai tumpuan loncatan dan lutut kanannya dihantamkan ke tubuh Sigit. Akibat hantaman lutut yang mengenai perutnya, tubuh Sigit membungkuk ke depan. Xavi yang masih setengah melayang menekuk siku kiri dan diarahkan ke kepala Sigit dan diakhiri dengan pukulan kanan ke arah kuping Sigit.

Xavi jatuh terjerembap.

Sigit? Tubuhnya roboh ambruk di tanah dalam keadaan sudah hilang kesadaran.

Aku segera mendatangi Xavi, ia masih sadar. Mulutnya berdarah, mata kanannya setengah tertutup akibat benjol. Pelipisnya juga sobek. Meskipun dia menang tetapi kondisinya parah juga.

“Gue menang gak Yan?” tanyanya sambil mengangkat kepala. Ia meringis sembari memegangi rusuk kirinya.

Gawat sepertinya hantaman Sigit di rusuk Xavi membuatnya Xavi mengalami luka dalam.

“Iya kamu menang ! kamu rebahan dulu ! Yos! Ambil mobil ! kita bawa Xavi ke rumah sakit!”

Yosi dan teman yang lain segera mengerubungi Xavi.

“Gilaaaaa sangar banget lo sapii ! baik Yan! Gue ambil mobil Xavi dulu!”

Yosi berlari ke masuk ke dalam rumah. Aku lihat Xavi sudah pingsan. Ketika kami tengah panik, tiba-tiba terdengar keributan. Zen memukul Bembi hingga ia terjatuh dan memegangi mulutnya. Ketika teman yang lain mempertanyakan tindakan Zen, terutama Astra yang mendorong dan berteriak ke arah Zen yang tiba-tiba menyerang Bembi, teman dekatnya.

“PENGKHIANATNYA BUKAN CUMA SIGIT ! BEMBI JUGA TERLIBAT !” teriak Zen.

Teriakan Zen sangat mengejutkan kami.

“Emang lo punya bukti?lo jangan sok jagoan anjing!” hardik Astra emosional sampai-sampai Wira memegangi Astra dan mendorongnya menjauhi Zen.

Zen mengeluarkan ponsel dan ia acungkan ke atas. “Semua bukti ada di sini, di ponsel Sigit. Si tolol itu dengan brilian menyimpan beberapa catatan penting tentang rencana penyerangan. Dan di catatan Sigit, muncul dua nama. Leo dan Bembi. Si cecunguk ini tadi mencoba kabur memanfaatkan suasana ketika Sigit berkelahi dengan Xavi. Singkatnya, Leo adalah si pengatur rencana, dan dua pelaku penyerang Xavi adalah Sigit dan Bembi. Semuanya ada disini.”

Astra seperti tertohok, sama seperti Riko yang tadi emosi karena Sigit adalah pengkhianat. Astra yang paling dekat dengan Bembi, langsung mencengkeram kerah Bembi dan memukulinya. Bembi menangis dan minta ampun. Kali ini tidak ada yang mencegah perbuatan Astra. Sampai akhirnya Dodo bertindak dengan menarik Astra agar menjauhi Bembi.

Wira kemudian menghampiri Bembi dan berjongkok.

“Jadi lo pelakunya? Orang yang menyerang Xavi dan memukulinya bersama Sigit?”

Bembi terdiam.

Zen lalu ikut menghampiri Bembi. “Gue kasih lo pilihan. Lo ceritakan semuanya dengan gamblang dan elo gue biarkan pergi dari sini. Kalau elo masih bungkam dan sok gak bersalah, gue akan patahin jemari elo satu persatu.”

Tubuh Bembi gemetaran.

“Gue hitung sampai lima.”

“Yan, mobilnya sudah siap !”teriak Yosi.

“Urusan Bembi nanti dulu, ayo kita bawa Xavi dan Riko ke rumah sakit,” kataku.

Abas, Dodo, Farel, Bagas dan Guntur lalu membantuku memapah Xavi dan Riko yang masih juga belum sadar.

“Sigit kita apain Yan?” tanya Guntur.

“Lo tenang aja Gun, gak bakal mati kok Sigit. Yan, lo pergi sama Yosi dan anak-anak bawa Xavi, Riko ke rumah sakit. Bembi dan Sigit biar kami yang urus.”

Karena aku lebih memperdulian kondisi Xavi dan Riko, aku cuma mengangguk. Dan ketika aku hendak pergi, aku mendengar teriakan seseorang. Aku menoleh ke belakang, aku melihat Zen, Wira dan Astra menyeret Bembi yang menangis meraung-raung ke belakang gazebo.

Aku masih tidak percaya, ada 2 mata-mata sekaligus di kelompokku ! dan keduanya adalah para pelaku penyerangan Xavi. Sigit dan Bembi !! Hal ini membuat rasa kasihan kepada keduanya perlahan hilang. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu, jika Sigit dan Bembi adalah 2 pelaku penyerangan yang sebenarnya, lalu apa maksud dari pengakuan Bram yang bercerita bahwa ia adalah salah satu pelaku penyerangan? Jadi selama ini ia berbohong kepada kami? Apa motifnya sampai ia membuat kebohongan seperti itu? Kebohongan yang membuat hubungan baikny dengan Yosi berakhir dan sampai mereka beradu nyawa di arena Deathwish.

Aku sungguh-sungguh pusing. Terlalu banyak kebenaran yang terungkap di luar dugaan kami semua. Aku masih shock dengan terbongkarnya kedok Sigit dan Bembi, sehingga aku sudah tidak sanggup memikirkan motif Bram. Yang terpenting saat ini adalah segera membawa Xavi dan Riko ke rumah sakit.

Urusan lain nanti saja!


***
3 hari kemudian
***

Nafasku hampir putus karena terus berlari menembus lorong-lorong gelap dan temaram, aku gak tahu berlari ke arah mana. Instingku hanya terus memerintahkan aku untuk terus bergerak dan berlari meninggalkan para pengejar yang entah ada berapa orang. Sebenarnya aku ingin berlari sambil berteriak melampiaskan ketakutan tetapi aku khawatir teriakanku justru akan menuntun mereka ke arahku
Karena saking kalutnya aku berlari, tanpa sadar aku malah masuk ke sebuah lorong yang berujung pada dinding. Aku terjebak di lorong buntu !! Aku langsung jatuh terduduk dan menangis di pojokan lorong. Celana dan sepatuku basah terkena cipratan air ketika aku berlarian. Hampir semua lorong tergenang air kotor yang berbau busuk khas pasar. Suasana benar-benar gelap, satu-satunya penerangan adalah cahaya bulan di atas sana.
Seharusnya aku terus bergerak, karena jika mereka menemukanku di sini, aku terjebak dan tidak bisa kemana-mana lagi. Setelah mengusap air mata, aku bangkit dan hendak berlari ke arah berlawanan dimana ada 3 alternatif lorong lagi. Hanya saja persimpangan lorong berjarak agak jauh, sekitar 100 meter. Ayo, aku gak boleh nyerah! Aku mesti bisa melarikan diri! Namun baru aku berlari beberapa puluh meter aku melihat bayangan bergerak-gerak di depan sana ! Itu bayangan orang ! Aku langsung berhenti berlari dan bersembunyi meringkuk rapat di balik bak penampungan sampah yang berada di sisi kiri lorong.
Aku nyaris muntah mencium bau menyengat dari bak sampah. Namun aku menutup mulut dan hidungku kuat-kuat. Karena aku bisa ketahuan kalau mereka medengarku muntah. Di saat aku meringkuk berjuang melawan rasa takut dan aroma busuk yang mencekik pernafasan, aku merasakan ada sesuatu yang bergerak-gerak di belakang punggungku yang rapat dengan tembok. Otomatis aku menarik sedikit punggungku, lalu sesuatu yang bergerak tersebut mengeluarkan bunyi cuitan panjang lalu benda hitam berbulu berukuran besar tersebut rupanya tikus yang terjepit ketika aku tadi meringkuk di pojokan bak sampah. Tikut tersebut terus mencuit, berlarian di tengah lorong lalu menghilang.
Dalam kondisi normal, aku akan berteriak histeris karena aku paling takut dengan tikus! Dan tikus yang baru saja aku duduki adalah tikus terbesar yang pernah aku lihat! Aku memejamkan mata, menangis dalam diam. Aku takut ! Luar biasa takut ! Tubuhku menggigil dan mulai lemas. Di tengah ketakutanku, samar-samar aku mendengar bunyi kecipak genangan air yang di injak dengan langkah teratur. Suara langkah kaki tersebut semakin jelas dan mendekatiku! Aku merapatkan tubuhku semakin mepet dengan bak sampah. Aku tidak memperdulikan bau busuk yang menempel, di sekujur baju.
Aku terus berdoa, orang tersebut akan berjalan melewatiku. Dan doaku terkabul ketika aku melihat sesosok manusia berpakaian serba hitam mengenakan penutup muka, melewatiku begitu saja. Sosok itu bahkan berjalan santai sambil bersiul-siul. Berhasil, dia tidak menyadari keberadaanku ! Aku terus berdiam diri, bahkan sekedar bernafas saja aku takut akan terdengar olehnya.
Namun aku tidak boleh senang dulu, karena cepat atau lambat dia akan menyadari bahwa lorong ini adalah lorong buntu. Kemudian dia akan berbalik arah. Aku jelas tidak berani berspekulasi, orang ini tidak akan melihatku karena dari arah sana, aku tidak terhalang oleh apapun. Aku menunggu orang tersebut menjauh sampai mentok, dari dinding ke tempatku bersembunyi sekarang, ada jarak sekitar 30-40 meter.
Ini peluangku untuk melarikan diri sekencang-kencangnya. Aku terus menatap punggung orang tersebut sampai ia berhenti berjalan. Dan ketika akhirnya ia berhenti berjalan, aku tahu ini saatnya aku bergerak !
Aku segera bangkit dan berlari sekuat tenaga. Sampai di persimpangan lorong, aku langsung berbelok ke kiri.
Bugh !!
Aku terkejut karena menabrak sesuatu hingga aku terjengkang ke belakang.
Dari balik kegelapan muncul seseorang berbadan besar yang melangkah ke arahku.
"Lincah juga elo lari."
Saat aku hendak bangkit dan berlari, orang tersebut sudah memegangi kakiku. Aku berteriak dan meronta-ronta. Namun cengkeraman orang ini sungguh kuat dan menyakitiku.
"Lepasin gue!, Hiksss"
Aku menangis ketakutan dan meronta-ronta.
"Ugh!"
Aku berhenti meronta ketika orang tersebut menginjak tepat di tengah dadaku dan menekannya.
"Semakin elo nangis, semakin elo meronta, semakin elo berteriak. Justru membuat gue semakin nafsu perkosa elo cantiik."
"Woiiy, ni uda ketangkep ceweknya. Cepat kesini. Kita garap ni cewek di sini aja. Kita pestaaa gyahahahahahaa!"
Dan tak butuh waktu lama, ada sekitar 6-7 orang sudah mengelilingiku.Semuanya memakai penutup wajah, hanya terlihat mata, hidung dan mulut. Dan mulut mereka menyunggingkan senyum yang mengerikan.
"Bunuh !! Bunuh aku sajaa!" teriakku histeris.
"Gyahahaha, pasti...elo pasti kami bunuh, karena ngebiarin elo hidup, bisa membuat masalah bagi kami di kemudian hari. Tapi elo gak boleh mampus dulu sebelum melayani gue dan teman-teman. Ayo coi! Sikaattt nih ceweekkk , barang bagus nih!!"
Tubuhku langsung di berdirikan dari belakang, kedua tanganku ditarik ke belakang dan dipegang dengan paksa. 2 orang di depanku langsung mempreteli baju dan celana panjangku. Kurang dari 1 menit aku sudah telanjang bulat, tangan-tangan liar sudah menggerayangi tubuhku yang sudah tidak terbungkus apa-apa. Dari depan, samping dan belakang. Payudaraku di remas dan di betot dengan sangat kasar membuatku ingin berteriak namun rahangku di pegang kua-kuat oleh seseorang sehingga aku tidak bisa membuka mulutku. Ini adalah malam paling mengerikan sepanjang hidupku, aku di kelilingi para bajingan bertopeng yang akan merampas kehormatanku dengan bengis dan tak segan akan membunuhku jika mereka puas. Aku berteriak dalam hati tatkala ada jemari yang menerobos lubang vagina dan lubang anusku dengan kasar.Jemari salah satu bajingan ini seperti hendak merangsang kemalukanku rasanya sangat sakit karena rasanya kering sekali dibawah sana. Karena saking ketakutannya aku, membuat tubuhku defensif dan tidak mudah dirangsang. Akibatnya, aku merasakan perih luar biasa bahkan mulai lecet.

Di tengan keputusasaanku, aku melihat sekilas ada benda bergagang hitam dan bilah logam yang mengkilap di selipan pinggang belakang salah satu bajingan yang menggerayangiku. Itu peluangku ! Aku lalu pura-pura mendesah dan berhenti meronta agar tanganku yang dipegangi, mulai di longgarkan.
“Hahaha ni cewek mulai keenakan nih, awalnya nolak tapi lama-lama pasrah juga khan,” ujar salah seorang di antara mereka.
Dan tindakanku mulai membuahkan hasil, karena di anggap sudah berhenti melawan, tanganku terbebas. Begitu tanganku bebas, dalam gerakan secepat kilat aku memukul hidung bajingan di depanku dan meloncat ke depan. Saat meloncat inilah, aku meraih pisau di pinggang bajingan yang kuserang. Sambil menghadap mereka, aku menghunus pisau. Tidak ada yang menyangka aku akan berbuat demikian. Ketika beberapa bajingan hendak menyerangku, gerakan mereka tertahan begitu ada satu bajingan yang menahan gerakan mereka.
“Wahahaaha licik juga nih cewek.” ujar bajingan yang bertubuh paling besar. “Lorong belakangmu itu lorong buntu. Satu-satunya jalan keluar adalah lorong di belakang kami ini. Meskipun elo bersenjata pisau, mudah bagi kami melumpuhkan elo. Singkatny, elo gak akan bisa lolos dari sini, heueueue.”
Dia benar, aku tidak mungkin bisa lolos dari sini. Aku cuma seorang gadis remaja yang baru pertama berada di dalam situasi seperti ini. Telanjang bulat, memegang pisau dan berada di tempat yang sama sekali aku tidak tahu dimana ini, sementara di depanku ada 7-8 bajingan bertopeng. Kemudian aku mendapat pencerahan tentang satu-satunya jalan dimana aku bisa keluar dari situasi ini.
Aku lalu mengendurkan posisi siagaku dan berdiri santai masih memegang pisau. Aku tersenyum ke arah mereka.
“Masih ada, masih ada satu cara agar aku bisa keluar dari situasi ini,” kataku dingin.

“Elo mau ngelawan kita neng, hihihi.”
Aku menggeleng. “Aku tidak mungkin bisa mengalahkan kalian semua.”
“Hahaha, udah pasrah aja, nikmatin aja pas elo kami entot ramai-ramai.”
Aku kini bukan lagi tersenyum melainkan tertawa terbahak-bahak. “Silahkan, kalian bisa bebas menikmati tubuhku sepuasnya tetapi kalian cuma akan menikmati tubuhku yang sudah dingin. ”
Aku melihat bajingan bertubuh besar, terdiam dan memperhatikanku lekat-lekat, sepertinya dia menyadari apa yang akan kulakukan.
“Bangsat! Serang tuh cewek ! Rebut pisaunya ! Dia mau bunuh diri!”
Sembari tersenyum, aku menggorok sendiri leherku dari kiri ke kanan dengan sayatan yang sangat dalam. Aku bersyukur pisau ini sedemikian tajam. Aku bisa merasakan darah merembes dan membasahi tubuhku. Entah kenapa aku tidak merasa kesakitan, aku justru menikmati setiap inci bilah pisau ini memutus urat leher dan tenggorokanku. Aku bisa lega, karena sebentar lagi aku bisa terbebas dari para bajingan ini dan mati dalam keadaan masih suci. Satu-satunya penyesalan dan kesedihan yang aku rasakan adalah impianku untuk mempersembahkan kesucianku kepada kekasih hatiku tidak akan terwujud.
Aku lalu terbayang wajah kekasihku,Sayang, aku pergi duluan. Terimakasih atas semua kebaikan dan kasih sayangmu.
I love You. So much.
Aku lalu menghujamkan pisau ke arah dadaku kuat-kuat.
Sakittttttttttt !


Bunyi ponsel yang berdering kencang di dekat bantal membuatku melonjak kaget dalam posisi tengah berbaring santai. Novel yang kupegang sampai terlepas dari pegangan. Aku lihat ID penelepon.

ZEN CALLING…

“Halo Zen.”

“Lagi dimana Yan?”

“lagi di rumah.”

“Gue sama Yosi ke rumah lo ya, banyak hal yang mesti kita bicarakan.”

Aku tahu arah pembicaraan Zen.

“Eh kalau ngomongin masalah itu, jangan di rumahku deh. Ada Mbak Asih. kita ketemuan di Mall Biru dekat rumahku aja. Di J.CO. Gimana? Kalau iya, aku pergi kesana duluan.”

“Oke sip. Ini Yosi udah di rumah gue. 15 menit lagi kami sampai.”

“Yoi.”

KLIK.

Zen memutus sambungn telepon.

Aku meletakkan novel pemberian Dita di meja belajar dan mengganti baju. Fiuh, padahal lagi asyik-asyiknya membaca novel genre misteri berjudul “PEMBALASAN” dimana bab 1 menceritakan seorang cewek yang lebih memilih bunuh diri daripada menjadi korban pemerkosaan. Asli lagi seru-serunya eh Zen malah ajak ketemu dan ingin segera membahas masalah itu. Jujur saja, aku memang meminta baik Yosi, Zen dan teman-teman yang lain untuk tidak membicarakan dulu kasus Sigit dan Bembi. Aku butuh waktu untuk berpikir dan mencerna segala kejadian gila yang barusan terjadi. Tetapi sepertinya kali ini aku tidak menghindar lagi dan mesti memutuskan beberapa hal sekaligus.

Keputusan yang sudah kupikirkan matang-matang dan sepertinya tidak akan disukai oleh teman-temanku.



= BERSAMBUNG =

3 comments for "LPH #48"

  1. Wkwkwk part yang menipu para reader gara2 sop iler waktu itu
    Wkwkwk

    ReplyDelete
  2. setuju, broo. kampret momen emang nih kutipan novel, wkwkwk. tetap semangat master. have a nice weekend.

    ReplyDelete
  3. eheheh masih inget aja lo pada

    ReplyDelete

Post a Comment