Featured Post

LPH #55

EPISODE 55
YANDI’S BATTLE : FINAL CLASH !!!




(POV YANDI)


Fiuh, lega sekali rasanya rencana kami membakar Big Stage berjalan sesuai apa yang kami inginkan tanpa terjadi gesekan di tengah acara. Apa yang kami tunjukkan tadi saat perform bukanlah provokasi kepada kelompok Oscar, melainkan pesan kepada mereka yang telah meremehkan anak kelas 1 yang jadi korban penindasan, bahwa kami tidak takut dengan siapapun. Pesan berantai dari Pak Tomo yang aku terima, menjadi satu-satunya jalan untuk menyelesaikan konflik di sekolah dalam satu kesempatan. Orang benar kalau lemah cuma akan jadi bantalan mereka orang-orang kuat yang sudah tidak peduli jika mereka berada di pihak yang salah. Tidak ada lagi cara pengecut.

Setelah ganti baju, aku lalu ke depan bergabung dengan Astra dan teman-teman yang lain. Kami mengobrol santai sembari menunggu break pertama selesai. Xavi yang bergabung paling belakangan. Aku bisa menangkap isyarat dari Yosi saat ia mengejek Xavi yang datang paling belakang karena sakit perut. Tidak, perut Xavi tidak bermasalah. Yang bermasalah adalah rusuknya yang di forsir luar biasa saat ia tampil full power di belakang drum saat XYZ perform. Sepertinya Yosi tidak ingin teman yang lain tidak perlu tahu bahwa rusuk Xavi belum sembuh benar. Mungkin Yosi masih bersikap hati-hati. Aku tidak bisa menyalahkan sikap Yosi yang sedikit antipati dengan teman di luar aku, Zen dan Xavi setelah insiden Sigit dan Bembi.

"Yan, ada waktu sebentar? gue mau ngomong sesuatu sama elo,"tanya seseorang yang menghampiriku saat aku bersama Dita gabung dengan Zen, Yosi, Xavi dan beberapa teman lain. Saat itu di Big Stage, DJ Kevlar bersiap untuk perform.

Orang yang menghampiriku ternyata Jati. Dia nampak tidak memperdulikan tatapan curiga dari teman-teman XYZ.

Aku lalu berjalan menjauhi yang lain, diikuti Jati dari belakang.

"Ada apa Jat?" tanyaku saat kami berada cukup jauh dari yang lain.

"Anak-anak kelas 1 yang sekarang rupanya generasi yang menarik. Bahkan setelah kalian dibantai dua kali yakni ketika di Ruko Lama dan serangan balasan pasca insiden Bram, kalian semua masih nekat dan keras kepala haha. Terlebih lagi, kalian berhasil ngebongkar konspirasi Leo. Bangsat memang si anak manja itu. Kalau bukan karena Oscar, sudah habis itu anak."

Aku cuma diam karena aku belum tahu arah pembicaraan Jati. Sementara itu Jati tengah menyulut sebatang rokok. Lalu menatapku.

"Ini adalah tahun terakhir gue dan anak kelas 3 lainnya di sekolah. Dan gue udah ngrasa kenyang terlibat tawuran semenjak gue masuk ke SMA NEGERI XXX. Bagi beberapa orang, kita itu bajingan yang hanya memikirkan menjadi orang paling kuat di antara semuanya, tanpa berpikir tentang cita-cita dan sejenisnya. Kalau dengar orang ngomong seperti itu, gue malah ketawa. Gue merasa kasihan dengan orang-orang seperti mereka yang gue yakin seumur hidup, hidup di bawah bimbingan orang tua yang cuma mengagungkan nilai akademik anaknya. Mereka pikir nilai akademik adalah segalanya. Padahal orang-orang seusia kita, adalah masa dimana mencari tahu kita ini orang yang seperti apa? Kata orang masa pencarian identitas diri. Dan serentetan kekerasan yang gue alamin, membuat gue bersyukur.

Gue bersyukur karena hal itu ngebuat gue merasa hidup, gue jadi tahu miniatur kehidupan yang sebenarnya hanya dengan bersekolah di SMA NEGERI XXX. Bahwa dalam hidup, bisa jadi tujuan kita sama dengan tujuan orang lain. Untuk mendapatkannya kita mesti berjuang dan bersaing. Bukan hanya melalui otot namun juga dengan otak, bukan melulu masalah nilai raport. Gak ada jaminan anak yang di raportnya berderet nilai 100, hidupnya bakalan senang atau sempurna. Belum tentu dia bisa beradaptasi dengan realita. Ketika dia berhadapan dengan pesaingnya, bisa jadi rumus Kimia yang dia hapal 100% gak akan kepake.”

Aku gak menyangka orang seperti Jati bisa memikirkan hal semacam itu. Pencarian jati diri? Sampai hari ini aku tidak memikirkan hal tersebut sama sekali. Namun perkataan Jati barusan, membuatku mulai memikirkan sebuah pertanyaan untuk diriku sendiri. Aku ini orang yang seperti apa? Aku mau jadi apa? Aku belum tahu. Yang jelas keinginanku dalam hidup, sudah jelas. Aku mau segala sesuatu yang aku lakukan, bisa membuat orang-orang di sekelilingku bangga.

"Sori gue ngelantur. Yang mau gue katakan ke elo adalah, untuk terakhir kalinya gue akan ikut dalam acara besok malam di aula. Lo gak usah kaget, sepertinya semua bajingan sore ini mendapat pesan yang sama dari Pak Tomo. Dan untuk besok malam, gue dan teman-teman Nando akan berdiri di pihak elo. Kita mempunyai musuh yang sama," tegas Jati.

"Nando?"

"Iya, gue udah kasih tahu semua yang terjadi di sekolah. Dan dia cuma bilang, suatu hari dia akan mendatangimu langsung untuk mengucapkan terimakasih. Karena berkat elo, nama Nando sudah kembali bersih."

Jati lalu membuat puntung rokok di tanah dan menginjaknya.

"Persiapkan diri lo Yan. Besok akan menjadi malam tahun baru yang gila. Gue sadar kalau gue bukan tandingan Oscar, [i]he is a fucking beast[/i], tetapi paling enggak gue bisa ikut bantai cecunguk-cecunguknya. Kita bisa bernafas lega karena satu-satunya orang yang bisa dan pernah mengalahkan Oscar ada di pihak kita. Siapa lagi kalau bukan Axel, si bule keparat tukang ngentot itu."

Lalu bagaimana dengan Feri? Apakah Feri tidak bisa mengalahkan Oscar?”

“Feri. Feri itu kuat salah satu siswa terkuat di sekolah. ‘The Big Three Bastard SMA NEGERI XXX. Dia bisa mengalahkan siapapun yang ada di sekolah kita. Kecuali dua orang. Axel dan Oscar. Terakhir Feri berkelahi dengan Oscar, banyak orang bilang imbang. Namun menurut gue. Feri sudah habis sementara Oscar masih punya tenaga untuk melancarkan 2-3 kali serangan lagi. Setelah itu Feri jarang terlibat masalah seperti itu lagi. Sementara Oscar? Berdasarkan info dari salah seorang teman gue, kebringasan Oscar semakin menjadi-jadi. Ia berhasil membantai Ander dan Opet, dua orang yang dulu jadi seniornya dan kini  keduanya menjadi anjingnya Oscar. ”

Fiuh, mau tak mau aku sependapat dengan Jati. Oscar vs Axel adalah partai utama pertarungan besok. Kami hanya menjadi pembuka jalan buat keduanya.

Jati menepuk pundak gue lalu pergi. Namun sebelum dia pergi, aku bertanya sesuatu ke Jati.

Tentang Bram.

"Yan. Gue uda temenan deket sama dia sejak kami SMP. Meskipun gue uda kenal lama, gue sendiri gak pernah bisa memahami apa isi otaknya. Gue aja bingung ketika dulu di Ruko Lama, dia malah ikut nyerang Yosi dan anak-anak kelas 1. Saking gue bingungnya, gue memilih pergi. Singkatnya, tidak ada satupun orang yang bisa menebak jalan pikiran Bram. Saran terbaik yang bisa gue kasih ke elo adalah, jangan telan-telan mentah 100% omongan Bram. Besok dia bisa berkata apa adanya namun lusa dia bisa berkata sesuatu yang penuh kebohongan. Oia, penampilan lo dan anak-anak XYZ tadi di stage keren, all hail metal!” jawab Jati sambil menunjukkan horn sign kepadaku.

Setelah menjawab pertanyaanku, Jati menghilang di antara kerumunan orang-orang yang kembali memadati area depan Big Stage.

Lalu tak lama kemudian musik EDM dari DJ Kevlar terdengar dan mampu menghipnotis semua penonton. Tiba-tiba aku merasa tangan kanannku ada yang menggenggam. Aku menoleh dan melihat Dita yang memegang tanganku. Ia tersenyum dan menyandarkan kepalanya bahuku. Ketika semua orang bergerak mengikuti musik enerjik yang disuguhkan Kevin, kami berdua tetap diam, tanpa kata dan saling bergandengan tangan. Aku menggenggam tangan Dita erat dan dia membalas dengan lebih erat.

Aku harus menikmati hari ini dengan maksimal sebelum habis-habisan di aula besok malam.


***

Setelah DJ Kevlar selesai, langsung disambut dengan musik punk yang dibawakan MBK. Band si Bram. Orang yang paling susah ditebak jalan pikirannya. Aku sendiri belum mengambil sikap terhadap Bram. Yosi jelas kontra dengan Bram. Xavi? Entah. Namun yang jelas  aku dan Zen masih bersikap netral.

Sikap netral kami berdua bersumber dari hasil obrolan panjang lebar dengan Axel setelah kami di ajak ke pertemuan dengan dedengkot SMA SWASTA XXX tempo hari. Intinya, setelah Oscar, Feri cs dan anak kelas 3 saat ini lulus SMA tahun depan, Axel memintaku untuk “merangkul” anak kelas 3 selanjutnya melalui Bram. Karena mayoritas semua bajingan kelas 3 nanti adalah pengikut Bram.

“Bram memang punya banyak teman di luar sana. Namun musuhnya juga gak kalah banyak. Banyak yang mengincar dia. Apalagi secara kasat mata, orang luar akan melihat Bram sebagai orang nomor 1 di SMA NEGERI XXX. Dan yah, satu persatu sekolah lain akan menjajaki, melihat peluang untuk menundukkan SMA NEGERI XXX. Bram tidak bisa menang kalau hanya mengandalkan anak kelas 3. Dia perlu tenaga anak-anak kelas 2 nantinya. Dan elo akan jadi orang pertama yang di dekati Bram. Gue yakin ketika sekolah di serang, kalian tidak akan tinggal diam bukan? Gue yakin yang berani menyerang secara terbuka adalah anak-anak dari sekolah kroco. Gue yakin bisa di tumpas.

Masalah terbesar akan datang dari 2 sekolah. SMA SWASTA XXX dan STM XXX. Generasi penerus Toni sepertinya di isi anak-anak bersumbu pendek. Contohnya Vino. Feeling gue, kalian akan banyak berurusan dengan Vino di kemudian hari. Dan hasil ‘Studi Banding’ nanti di hari kelulusan akan menjadi penentu sikap anak-anak SMA SWASTA XXX.

Untuk STM XXX, gue yakin setelah beberapa tahun mereka terlihat tenang, tahun depan mereka akan bergerak. Di balik sikap tenang Anton, dia sudah pasti merancang blue print buat para penerusnya di STM XXX. Rencana besar yang diwariskan ke generasi bajingan STM XXX selanjutnya setelah dia lulus tahun depan. Total takedown seluruh sekolah dan menjadikan sekolah yang kalah menjadi anjing STM XXX. Setelah semua sekolah tunduk di bawah kaki STM XXX, mereka akan menjadikan kita sebagai target utama di akhir perburuan.

Oscar sepertinya juga mengetahui hal ini. Dia mungkin berpikir, [i]sebelum STM XXX datang, lebih baik gue hancurkan mereka terlebih dahulu[/i]. Rencana yang bagus, cuma ego Oscar yang besar yang membuatnya pantang untuk meminta semua bajingan di sekolah untuk bersatu. Dia menyatukan sekolah kita dengan cara yang kurang tepat. Di dalam pikiran Oscar, setelah menundukkan semua bajingan SMA NEGERI XXX, dia akan memimpin kita semua membasmi bajingan STM XXX sampai ke akarnya. Niat mulia dengan jalan laknat. Singkatnya masa depan serta reputasi  SMA NEGERI XXX sebagai sekolah terkuat di Kota XXX akan tergantung bagaimana kalian bekerjasama dengan Bram,tandas Axel dulu.

Axel mengatakan hal ini dalam pembicaraan empat mata di mobil setelah Axel mengantarkan Zen pulang.

Mengingat perkataan Axel tersebut membuat keningku mengkerut. 2 hal yang mengganggu pikiranku tentu saja tentang beban berat menyandang status sebagai generasi penerus SMA NEGERI XXX sepeninggal anak kelas 3 sekarang ini dan rencana pensiun Axel. Satu lagi adalah “Studi Banding” yang di maksud Axel. Ketika suatu hari aku papasan dengan Axel saat jam pulang, aku bertanya tentang “Studi Banding” kepadanya. Reaksi Axel? Dia langsung merangkulku lalu mengajakku makan di warung burjo bang Roni. Dan disana Axel menceritakan semuanya.

“Demi kebaikan elo, jangan lo ceritakan hal ini ke teman-teman lo. Ini bukan cerita yang bisa sembarangan lo kasih tahu ke orang,” saran Axel mengakhiri obrolan kami berdua siang itu.

Tanpa dikasih tahu, aku juga gak mungkin cerita hal ini ke teman-teman, begitu pikirku. Namun lama-lama aku tidak tahan menyimpan hal sebesar itu sendirian. Dan aku memutuskan untuk bercerita kepada Zen, tanpa mengurangi rasa hormatku kepada Yosi dan Xavi, Zen adalah sahabat pertama yang muncul di pikiranku jika aku butuh teman bertukar pikiran yang mampu menjaga rapat-rapat apa yang kami bicarakan. Setelah aku ceritakan semuanya kepada Zen, kami berdua memutuskan menyimpan rapat-rapat hal tersebut dari teman-tema yang lain.

“Jika saat itu tiba, kita akan menceritakan hal ini kepada Xavi, Yosi dan teman-teman yang lain. Yang jelas kita tidak perlu bercerita sekarang,” ujar Zen tenang.

Ckckck, dibalik persahabatan SMA NEGERI XXX dengan SMA SWASTA XXX ternyata tidak seindah yang kami kira. Ada cerita dan kisah panjang penuh darah demi sebuah harga diri dan ego besar tentang siapa yang menjadi terkuat dan siapa yang menjadi pecundang di antara kedua sekolah ini.

Karena aku sibuk dengan pikiranku sendiri, aku kurang menikmati penampilan Bram. Secara musik sangat rancak sekali sih, bahkan di tengah penampilan Bram membawakan lagu dari mini album mereka, aku melihat beberapa penonton yang berdandan ala punk lengkap dengan rambut mohawk tinggi menari-nari dan berlarian. Penonton lain sampai sedikit menepi dari para gerombolan anak punk tersebut.

“Huah, gila-gila. Gak nyangka gue bisa main di stage semewah ini. Sekalinya main, di pensi sekolahan sendiri pula. Dan di tempat ini nanti akan ada bintang tamu berskala internasional ! Crowdnya juga mantap! MANA ANAK SMA NEGERI XXX !! IKUTI GUE! ANGKAT TANGAN KANAN KALIAN KE ATAS LALU KEPALKAN !!” seru Bram setelah menyelesaikan satu lagu.

Bram mengangkat 1 tangannya ke udara.

Penonton yang rata-rata sudah terhipnotis dengan penampilan MBK dan mayoritas anak SMA NEGERI XXX, segera mengikuti perintah Bram. Kini baik cowok maupun cewek mengangkat tangan kanan ke atas.

“NAH BAGUS!! SEKARANG IKUTI TERIAKAN GUE..

“ALL HAIL MISTER TOMO !!! ALL HAIL BIG BANG !! ALL HAILL SMA NEGERI XXX!!” teriak Bram sambil mengepalkan tangan lalu membuat gerakan meninju di udara.

Aku akui stage act Bram sungguh luar biasa, aku bisa merasakan atmosfer konser semakin menggila, ia mengingatkan kepada kami bahwa sebentar lagi kami akan menyaksikan sederet musisi internasional di pesta musik SMA NEGERI XXX. Aku pun setuju, tanpa Pak Tomo sekolah kami tidak akan sanggup menggelar pensi bertaraf festival internasional seperti hari ini. Mayoritas siswa sekolahku mengikuti perintah Bram. Bak seorang dirigen suporter sepakbola dengan lantang Bram menjadi komando. Mau tak mau aku pun terbawa suasana dan larut dalam euforia.

“ALL HAIL MISTER TOMO !! ALL HAIL BIG BANG !!! ALL HAIL SMA NEGERI XXX !!”
“ALL HAIL MISTER TOMO !! ALL HAIL BIG BANG !!! ALL HAIL SMA NEGERI XXX !!”
“ALL HAIL MISTER TOMO !! ALL HAIL BIG BANG !!! ALL HAIL SMA NEGERI XXX !!”
“ALL HAIL MISTER TOMO !! ALL HAIL BIG BANG !!! ALL HAIL SMA NEGERI XXX !!”

Dengan tempo yang makin cepat lalu di akhiri dengan derai tepuk tangan yang panjang. Kami semua bersorak saat kamera menyorot keberadaan Pak Tomo yang berada di Stage VVip di belakang. Sebuah stage khusus yang nyaman untuk para guru dan tamu sekolah. Pak Tomo yang sadar ia tengah di elu-elukan semua orang dan kini kamera mengarah kepadanya, langsung mengambil gelas yang ada di depannya lalu mengangkat gelas sambil tersenyum. Melihat hal tersebut reaksi kami menjadi semakin heboh, termasuk aku. Sejenak aku melupakan ancaman pesan dari Pak Tomo dimana dia memintaku berdiri di pihak yang menang besok malam.

Baiklah Pak, terimakasih anda telah membawakan perang kepadaku. Aku akan melakukan yang terbaik dan mengerahkan segenap kekuataan melawan kelompok Oscar.

“Kepala sekolah kita memang paling keren sedunia haha.. Oke, teman-teman. 1 lagu lagi dari kami Memek BerKontol untuk menyudahi sore yang begitu gila hari ini. Di lagu terakhir ini, gue mengundang 2 teman gue untuk turut bergabung dan kolaborasi bareng. Gue minta tepuk tangan dari kalian buat Opik dari Monkey Fly dan Ale dari Piggi Ziggi!!” ujar Bram yang disambut dengan tepuk tangan dari kami semua saat 2 personil tamu muncul ke stage.

Monkey Fly dan Piggi Ziggi adalah band indie yang cukup sering main di gigs sekitaran Kota XXX. Lagu mereka juga lumayan sering di request di radio-radio yang kerap aku setel saat belajar maupun menjelang tidur. Kedua band ini sama memainkan musik ska. Opik pemain keyboard sementara Ale main trombone. Bram yang beraliran punk rock kolabs dengan 2 pentolan band ska? Menarik.

Bram nampak bersalaman dengan akrab dengan kedua temannya tersebut. Setelah Opik sudah berada di belakang keyboard dan Ale sudah mantap memegang trombone-nya, Bram pun berkata sesuatu kepada kami semua.

“Gue sengaja mengundang kedua orang asyik ini demi main bareng sebuah lagu cover. Sebuah lagu yang keren dan secara pribadi, gue suka banget sama liriknya. Oia, gue ucapkan terimakasih buat panitia yang sudah mengundang MBK main di sini dan para penonton yang makin sore makin asyik.  Tetap pantengin pensi sampai selesai ! Haram kalian pergi sebelum acara ini selesai haha. OKE, UDAH CUKUP GUE NGEBACOT, MARI KITA BERDANSA SKANKIN !!!” ANARCHY CAMP DARI NOFX!!”




Baru kali ini aku mendengar lagu yang dinyanyikan Bram namun asyik juga, tone-nya sangat ska. Kehadiran Opik dan Ale benar-benar terasa. Tanpa sadar aku juga ikut berdansa skankin mengikuti kerumunan para penonton di depan Stage. Ahahaha keren ! Tepuk tangan yang meriah membahana ketika MBK selesai perform. Fiuh, Bram terlepas dari karakternya yang ambigu, dia seorang entertainer yang hebat. Saking kebawa musik Bram, membuat aku lupa bahwa di Stage Big sebentar lagi akan perform Vinia dengan formasi APOLLO 17 lengkap.

Aku bersyukur Vinia berhasil melewati masa terberat dalam kariernya karena masalah asmara, jatuh cinta dengan Axel dan tiba-tiba Axel mundur dari APOLLO 17, band pengiring Vinia. Kini penampilan Vinia semakin baik dan di awal tahun baru nanti jadwal tur keliling Indonesia dalam rangka promosi album debutnya sudah menunggu.

“Gue mesti cuti dari sekolah kurang lebih sebulan Yan. 24 kota dalam 30 hari. Sepertinya melelahkan...Beruntung banget gue keterima sekolah disini. Mana ada sekolah lain ijinin muridnya tur keliling Indonesia sebulan,” curhat Vinia suatu hari. Aku menanggapinya dengan  bergurau, resiko jadi penyanyi terkenal. Vinia meninju lenganku sambil tersenyum.

Vinia langsung menghajar para penonton dengan membawakan lagu Kotak yang berjudul “Beraksi” dengan penuh semangat dan energi. Kami yang menonton bisa merasakan aliran energy dari atas stage. Vinia semakin terlihat matang dan transformasinya menuju lady rock sejati hanya tinggal waktu. Penggemar musik rock mana yang tidak suka dengan suara dan musikalitas remaja cewek berusia 16 tahun ?

“Serius banget ngeliatin Vinia,” tukas Dita ketus.

Duh kampret, aku lupa kalau lagi nonton sama Dita. Aku lihat Dita sudah memasang wajah cemberut. Bisa panjang ini urusan.

“Ehm…enggak. Biasa saja.”

Dita diam saja dan sibuk dengan ponselnya. Dan suasana jadi canggung. Kenapa Dita jadi ngambekan gini sih? Masak iya dia cemburu sama….Vinia? kan dia udah tahu dia teman baikku, sahabat malah. Namun aku gak mau cari perkara dengan langsung bertanya kepada Dita. Hedeh, sepertinya lain kali aku mesti berpikir dua kali kalau mengajak Dita nonton konser. Perasaaan bimbang antara ingin menghibur Dita atau menikmati penampilan Vinia membuat aku jadi galau. Pada akhirnya aku memilih menikmati suasana konser saja. Biarkan Dita tetap diam tak bergeming dulu, yang penting dia gak merajuk dan memaksa pergi. Hingga akhirnya Vinia sudah sampai di akhir penampilannya di Big Stage.

“Terimakasih kepada teman-teman panitia yang sudah mengundang gue dan anak APOLLO 17 main di stage semewah ini. Meskipun gue dengar-dengar ada gosip yang beredar di sekolahan kalau gue memanfaatkan posisi gue sebagai salah satu panitia pensi sehingga gue bisa main satu panggung dengan banyak musisi internasional. Gue sih males nanggapin gosip kek gitu. Anyway, gue minta applause dari kalian semua penonton, applause bukan buat gue. Tetapi buat teman-teman panitia pensi. Akmal dan tim yang bekerja luar biasa dari beberapa bulan yang lalu. Berkat mereka kita bisa menikmati acara hari ini. SALUT!!”

Aku dan ratusan orang yang ada di venue bertepuk tangan dengan sangat meriah kepada semua panitia pensi. Kameramen lalu menyorot para panitia yang mengenakan kaus merah dan tersebar di banyak titik. Nampak di giant screen, mereka terlihat lelah namun tepuk tangan dari kami membuat mereka kembali bersemangat dan tersenyum. Dan mereka para panitia membalas dengan melambaikan tangan ke arah kamera. Ayo teman-teman panitia, semangat ! Kalian hebat !!

Penampilan Vinia akan menjadi akhir dari session 2. Setelah Vinia, akan ada jeda 30 menit lalu dilanjut dengan session 3 dimana sederet bintang tamu dari dalam negeri akan tampil. Pertama adalah Bondan Prakoso feat Fade2Black lalu dilanjut dengan band yang paling aku tunggu-tunggu !! Siapa lagi kalau bukan HANTAMAN !!!! ARGHH sebenarnya aku kepengen maju ke barisan depan biar bisa liat perform bang Arya dari dekat gitaris Hantaman andalanku. Namun karena Dita sejak tadi nempel terus sama aku, agak repot kalau aku mengajak Dita maju ke barisan depan. Ah lihat nanti sajalah. Setelah Hantaman selesai, session 3 akan di tutup oleh rapper Rich Brian yang lagi populer.

“Oke guys, berikutnya adalah lagu terakhir dari kami,” ujar Vinia. Saat kamera meng-close up wajah Vinia, terlihat bulir keringat di kening Vinia dan terjadi perubahan roman muka. Yang tadinya masih terlihat ceria kini berubah menjadi sedikit sendu.  Lampu Big Stage yang tadinya gemerlap tiba-tiba padam. Satu-satunya yang nampak bersinar tertimpa cahaya sorot terang adalah Vinia, dia lalu menundukkan wajah dan berdiri diam di tengah stage.

Lalu terdengar petikan gitar mengalun jernih.

What?  Aku dan para penonton lain langsung bersorak karena mengenali intronya. Vinia mengcover lagu itu !?!! Wah keren banget ini ! Suara dari para penonton menjadi tambah riuh saat Vinia mulai bernyanyi di jeda petikan gitar.

“Andaiku malaikat kupotong sayapku
dan rasakan perih di dunia bersamamu
perang kan berakhircinta kan abadi
di tanah anarki romansa terjadi..”

ARRGGHHHH INI SUNSET DI TANAH ANARKI-NYA SUPERMAN IS DEAD !!!

Tapi SID biasa membawakan lagu ini berduet dengan vokalis cewek. Official-nya sih dengan Brianna, tetapi sering juga dinyanyikan dengan beberapa vokalis cewek selain Brianna ketika liveshow di daerah-daerah. Aku penasaran siapa yang mengisi vokal cowok. Apa si Reno? Gitaris APOLLO 17 atau bintang tamu spesial?

Begitu Vinia menyelesaikan sebait lagu, Big Stage yang tadinya gelap tiba-tiba menyala terang. Aku terperangah, kaget dan tidak menyangka sampai memegangi kepala saat aku lihat...

Axel berada di Stage tersenyum kepada para penonton sembari memegang gitar Gretsch White Falcon, custom lefty tentu saja karena Axel kidal. Teriakan para penonton terutama para penonton cewek terdengar kencang saat Axel mulai bermain gitar sambil bernyanyi mengisi vokal cowok di lagu Sunset Di Tanah Anarki. Axel, suaranya serak mirip Bobby Kool dan dia terlihat hebat !!



Yang menarik adalah Reno tetap berada di stage dan kali ini memainkan keyboard di lagu tersebut. Ia membiarkan Axel bermain gitar sambil bernyanyi layaknya Bobby Kool. Kelima orang memainkan lagu yang setiap hari aku dengar di ponsel. Lagu paling ajaib yang pernah dibuat dan dimainkan oleh SID sepanjang karier mereka, menurutku. Bisa ya Vinia menyimpan hal ini dari aku haha !! KEREN !! KEREN !! INI KEJUTAN YANG LUAR BIASA DARI VINIA DAN AXEL !! Aku jadi ikut terharu dan turut bernyanyi sepanjang lagu. Aku senang sekaligus terharu melihat Vinia dan Axel di atas stage. Mereka luar biasa keren. Dari roman Vinia di akhir lagu, ia seperti berusaha keras menahan tangis, entah tangis macam apa yang ia tahan. Karena setelah lagu selesai ia langsung pergi ke backstage. Sementara Axel berpelukan dengan para personil APOLLO 17 kemudian keempatnya berdiri di ujung stage menghadap ke penonton, membalas tepukan panjang dari kami para penonton yang aku yakin sangat menikmati spesial perfom dari mereka.

“Yank, ke belakang yuk. Aku capek berdiri terus sambil desak-desakkan,” keluh Dita di sampingku.

Ya ampun, saking senangnya lihat penampilan Vinia + Axel membawakan lagu kesukaanku, membuatku lupa kalau aku sedang bersama Dita. Dita terlihat cemberut. Lalu tiba-tiba berjalan ke belakang menembus kerumunun penonton. Mau tak mau aku pun segera mengikuti Dita dari belakang.

“..perang kan berakhir
cinta kan abadi
di tanah anarki romansa terjadi...”
Penggalan lirik lagu barusan terasa nyata sekali aku rasakan dan meninggalkan kesan mendalam.


***

Belum juga keringat kami kering benar setelah dibuat Bondan Prakoso melompat-lompat dan turut bernyanyi lagu sepanjang lagu “Tetap Semangat” yang menjadi lagu penutup, dari Bang Stage terdengar raungan gitar beradu dengan dentuman drum disertai cabikan bass. Lalu muncul teriakan lantang dari sang vokalis yang sudah aku hapal benar.

“Kau hanya sebongkah sampah, Yang tak kuasa berpikir.
Kau pikir itu beranimu, dengan segala kosong otakmu!
Kau pikir kelahimu adalah beranimu, kau berani karena kau bodoh.
Sesat pikirmu memberanikan dirimu !!”

HANTAMAN !!!!!

Tanpa basa-basi Hantaman langsung menghantam kami semua dengan lagu “Kelahi Berani” yang ada di album kedua mereka “Setengah Jam Di Udara”. Sontak para penonton yang tadinya tenang kembali bergejolak. Terasa sekali dorongan dari belakang. Aku segera menarik Dita sehingga ia berada di depanku. Namun karena kondisinya berhimpitan membuat Dita semakin tidak nyaman.

“Aku mundur dulu saja. Gak kuat aku yang himpit-himpitan seperti ini,” pinta Dita.

Aku pun memaklumi. Aku segera berbalik badan dan membuka setengah paksa kerumunan para penonton yang kembali menggeliat setelah kedatangan Hantaman. Setelah berjuang akhirnya kami sampai di belakang para penonton. Beruntung Dita tidak memintaku untuk menenaminya di food court karena ia bertemu dengan teman-teman sekolahnya sehingga bisa aku tinggal. Dita pun tidak keberatan aku tinggal. Yes !! Aku segera merangsek ke dalam kerumunan, aku berusaha maju sekuatnya. Setelah sedikit saling dorong dan sedikit saling sikut, akhirnya aku mencapai deret terdepan tepat di pagar pembatas dan di depan mataku pas sekali ada Arya, gitaris Hantaman yang sedang meliuk bersama Hagstrom Viking warna merah yang sering ia pakai saat manggung !! Aku benar-benar terpesona dengan permainan gitarnya. Nyawa dari Hantaman memang ada di Arya. Kulikan dan komposisi lagu-lagu bergenre post grunge atau Seattle Sounds yang di usung Hantaman semua bersumber darinya. Dan selama kurang lebih 55 menit ke depan, aku bisa melihat aksi Arya, Anin, Stefan dan Bagas dari dekat. Oyehhh !!

Aku dan ratusan penonton berteriak serta memberikan tepuk tangan meriah saat Hantaman menyelesaikan lagu pertama mereka.

“Wah asik juga crowd di sini ya. Gue pikir gue akan main di tengah remaja-remaja generasi milenial autis yang lebih fokus ngrekam dan selfie daripada menikmati penampiln langsung. Ternyata gue gak ngliat satupun yang pegang ponsel, NAH GITU DONG !! NIKMATIN MUSIKNYA !!TEPUK TANGAN BUAT KALIAN !! INI BARU ETIKA YANG BENAR KALAU NONTON KONSER !!” racau Stepan, vokalis Hantaman yang terkenal ceplas-ceplos dan slengean. Kami tertawa dan memberikan tepuk tangan sekali lagi.

“Kalau kalian asyik, kita disini yang main juga ikut enjoy. Oia, kalian udah kenal kami siapa kan ya? Gak usahlah gue kenalin siapa kami berempat. Yang gak tahu kami siapa, udah pasti dia fans vokalis Kangen Band garis keras yang hobi ngentot kawin-cerai.”

“Kayak elo dong setan,” sambar bang Anin tiba-tiba di depan mic.

Aku tertawa mendengarnya.

“Bacot lu gede juga Nin. Eh ngomong-ngomong, penonton ceweknya banyak juga ya. Cantik dan segar-segar juga nih. Ranum-ranum haha! Inilah alasan utama kenapa kami gak pernah pikir panjang kalau di undang main ke pensi anak SMA, selama jadwal cocok langsung berangkat !! Aih jadi sang-”

“next song, MASS POWER !!” potong Arya tiba-tiba dan lengkingan solo gitar di intro lagu membuat kami kembali bergejolak.

Aku tertawa melihat ekspresi kesal Stefan saat omongannya di potong oleh Arya yang nampak cuek. Namun kekesalan Stefan tidaklah lama, karena kemudian dia berlarian dari sisi stage ke sisi yang lain di saat ketiga temannya “membuka jalan” sebelum teriakan parau khas Stefan menggelegar menyambar lagu ciptaan Arya yang konon terinspirasi dari gerakan demonstrasi besar-besaran para mahasiswa ketika reformasi puluhan tahun yang lalu.

Sama seperti nama band mereka, musik Hantaman benar-benar menghantam siapapun para pendengarnya. Aku terhipnotis serasa ikut masuk ke dalam aliran energi dari stage yang merambat di udara. Aih sedap. Setelah Mass Power, berturut-turut lagu andalan Hantaman berkumandang di Bang Stage seperti “Ilusi”, "10 Tahun Tanpa Jawaban, “Bullet Against Bullet” serta “Teriakan Yang Terbungkam”. Kebanyakan lagu dari album kedua Hantaman sih. Aku masih berharap Hantaman memainkan anthem mereka dari album perdana mereka “Kerusakan Telingamu”, lagu yang membuat aku mengenal Hantaman. Apalagi kalau bukan “Malaikat Kematian.”

“Gimana kalian udah capek belum?!!” tanya Stefan setelah selesai membawakan “Teriakan Yang Terbungkam”.

“BELUMMMMM !!!!” jawab kami serempak.

“Hahaha, gue yang capek kontol !! Haha, oke bentar. Gue minum air suci dulu.”

Setelah menenggak sebotol bir, Stefan merangkul Anin.

“Buat para penonton adek-adek gemes, kalian pengen punya pacar anak band terkenal gak? Ini Om Anin masih jomblo karena keseringan ngrakit gundam dan nonton AKB48. Hahaha.”

Para cewek berteriak mendengar celetukan Stefan dan meneriakkan nama Anin. Sementara Anin terlihat sebal namun tidak berkata apa-apa.

“ARYA ..ARYA…ARYA…ARYA !!” terdengar koor panjang dari para cewek yang kini meneriakkan nama Arya. Arya hanya tersenyum.

Stefan sepertinya menemukan sasaran, ia pun menghampiri Arya. “Gitaris gue ini memang keterlaluan, fans ceweknya banyak benar. Tapi sayang uda ketagihan memek Jepang dia mah, udah gak doyan memek lokal. Gak kayak gue, pecinta panlok sejati.”

Ucapan Stefan memang terdengar vulgar namun membuat kami justru enjoy sekali.

Stefan yang berhasil membuat muka Arya merah padam kemudian segera menyingkir sambil tertawa. “Oi, drummer gue nih juga jomblo. Pendiam sih kayak patung Tugu Tani tapi beuh aslinya sangar kayak Maddog. Gas, lo udah punya cewek belom?”

Para penonton berteriak meneriakkan nama Bagas yang tengah di goda Stefan. Namun Bagas diam saja tanpa ekspresi. Stefan jadi terlihat garing.

“Gas…Gas...Belum lo sembuh ternyata,” ucap Stefan sambil geleng-geleng kepala.

“Arya, langsung gacor lagu selanjutnya !! Malaikat Kematian buat kalian para penonton cowok yang selama ini tititnya baru dipake buat kencing !”



Yeahh !!! Doaku sepertinya di dengar oleh Stefan haha. Lagu yang penuh distorsi gitar yang tebal, hentakan drum yang konstan dan harmonisasi bass berpadu padan dengan lirik berisi hujatan yang ditujukan kepada orang yang tidak segan membunuh orang lain yang berdiri di kubu yang berbeda karena perbedaan agama, pandangan politik serta orientasi seks. Lagu berat yang melambungkan nama Hantaman ke scene musik Indonesia beberapa tahun yang lalu.

Setelah tepuk tangan dari para penonton reda setelah selesai menyelesaikan lagu tersebut, Stefan kembali mengoceh namun ocehannya kali ini terdengar lebih serius dan emosional.

“Ketika kami perform di Naeba tahun lalu di Fuji Rock Festival, kami mengalami kejadian spiritual tatkala mendapati para personil Soundgarden Kim Thayil, Matt Cameron dan Chriss Cornell menonton aksi kami dari backstage. Itu gue serasa ketemu Nabi ! Namun minggu lalu saat gue terbangun setelah hangover semalaman. Hal pertama yang gue tahu saat buka ponsel adalah berita kematian Chriss Cornell. Gue gak percaya. Chris fucking Cornell mati !

Otak gue menolak berita sampah seperti itu! Chriss Cornell gak mungkin mati ! dia boleh mati, tapi setidaknya biar gue yang mati duluan. Tapi ketika anak-anak ramai di grup ngomongin kematian Cornell, gue sadar bahwa Cornell memang mati beneran, pagi itu gue nangis. Bangsat emang. Fiuh jadi mellow gini gue anjing, di depan anak SMA. Lagu terakhir dari Hantaman,  tribut untuk it buat dewa kami yang sudah terbebas dari depressi duniawi. Black Hole Sun.”



Luar biasa, amazing. Kami semua takjub mendengar solo Stefan di bait terakhir lagu. Merinding saya. Jadi begitu Stefan selesai, kami langsung tepuk tangan dan berteriak sekuatnya. Kami mengelu-elukan nama Hantaman !!!

Ketiga personil Hantaman maju ke bibir stage dan membalas sambutan kami. Arya merangkul Stefan yang masih nampak begitu emosional. Anin kemudian meraih mic dan berkata.

“Thanks buat panita yang sudah mengundang kami Hantaman main kesini, ini pensi paling keren yang pernah kami datangin. Oia, hari ini kalian semua menjadi saksi bahwa si setan ini ternyata bisa cengeng juga di atas panggung haha. SEKALI LAGI, KAMI UCAPKAN TERIMAKASIH ! SMA NEGERI XXX AWESOME !!! SEE YOU NEXT TIME !”

Para penonton memberikan tepukan panjang atas suguhan berkelas dari Hantaman sampai semua personil Hantaman sudah pergi dari stage. Lalu dari Big Stage terdengar hingar bingar musik rap. Ah itu Rich Brian. Tak butuh waktu lama, terjadi pergeseran arus penonton yang semula terpusat di depan Bang Stage kini pindah ke Big Stage. Aku sengaja tetap tidak beranjak dari tempat karena selain aku kurang menyukai musik rap, aku menunggu kabar dari Nikita.

Begitu ponselku bergetar, aku bergegas membuka pesan yang masuk. Yes !! dari Nikita !

NIKITA
Yan, sini ! cepat ke belakang kalau lo foto bareng Hantaman. 5 menit lagi mereka mesti interview dengan anak Xpress.
18.04

Aku langsung memutari Bang Stage untuk menuju backstage. Woah di Backstage sudah ramai oleh kru dari para bintang tamu. Panitia benar-benar menjaga area backstage tetap steril. Hanya sekuriti, panitia, media massa pilihan dan para pengisi acara yang memiliki id card khusus yang bisa masuk ke area backstage. Hal itu dilakukan demi menjaga kenyamanan para bintang tamu. Terlebih lagibanyak musisi luar negeri yang akan tampil.

Setelah menunjukkan id card ke security yang berjaga, aku diperbolehkan masuk. Sementara aku lihat banyak orang yang merengek-rengek minta di ijinkan masuk ke backstage. Ada yang Cuma ingin foto bareng, minta tangan atau sekedar salaman. Namun sekuriti dan panitia yang berjaga tidak bergeming sedikitpun. Hanya mereka yang memiliki syarat yang bisa masuk. Jadi ketika aku masuk, banyak tatapan iri yang ditujukan kepadaku. Aku cuek saja sih. Gak sia-sia aku latihan ngeband sampai bisa kepilih main di pensi hohoho. Di saat aku bingung cari tenda khususnya Hantaman, Nikita mendatangiku.

“Ayo cepat, ikutin gue. Tenda Hantaman ada di ujung sana. Anak-anak panitia juga banyak yang minta foto bareng,” sahut Nikita sambil berjalan cepat mendahuluiku.

Nikita memegang sebuah handy talkie sebagai alat komunikasi dengan seksi panitia lainnya. Aku mengikuti Nikita dengan hati senang. Yihaa bisa foto bareng. Aku akhirnya sampai di tenda yang berada di pojok venue. Aku merasa grogi saat masuk ke dalam tenda. Aku lihat keempat personil Hantaman sedang berdiri dan berpose, melayani sesi foto bareng. Arya dan Anin terlihat ramah sementara Stefan juga terlihat ramah, jika yang minta foto remaja cewek yang cantik, ia akan berdiri di samping dan merangkulnya. Yang cewek gak ada yang keberatan saat Stefan merangkulnya. Lain halnya kalau yang minta foto cowok, Stefan hanya berdiri sambil mengacungkan botol bir yang ia pegang. Bagas? Dia berdiri diam, tanpa ekspresi. Tidak berganti gaya meskipun sudaha beberapa kali di foto. Memang misterius ini drummer Hantaman.

“Lo tunggu aja gantian. Eh, lo doang ya minta foto? Zen, Yosi, Xavi kemana?” tanya Nikita setelah menyadari aku sendirian saja.

“Gak tahu, pada misah tadi. Selera musiknya beda-beda haha.”

“Hehe dasar aneh lo pada. Yaudah gue tinggal yak.”

Tiba-tiba aku jadi ingat Vinia. Vinia sama denganku, dia penggemar Hantaman.

“Eh Nik, Vinia kemana? Kok gak kelihatan?”

“Gak tahu sih gue, tadi abis perform. Dia pergi sama anak-anak Apollo. Perlengkapan mereka aja langsung di angkut gitu. Gue mau nanya Vinia gak sempat karena tadi gue lagi sibuk juga koordinasi sama panitia depan. Jadi gue cuma lihat doang.”

“Oh gitu. Kalau…Axel..kamu lihat gak dia? Apa dia ikut pergi sama Vinia cs?”

“Sepertinya enggak. Gue gak ngliat Axel. Eh Yan.. Jadi gosip itu bener? Kalau ada something antara Vinia dengan Axel? tanya Nikita sambil mendekat dan setengah berbisik.

Aduh sialan, aku Cuma menggeleng dan menjawab tidak tahu.

Nikita menatapku lalu senyum-senyum sendiri.

“Kok lo jadi salting gitu jawabnya haha,” goda Nikita sambil meninju pelan lenganku.

Sepertinya dari sikapku tadi, Nikita tahu kalau aku pura-pura tidak tahu menahu hubungan antara Vinia dan Axel. Sebenarnya aku gak sepenuhnya bohong sih, yang aku tahu Vinia cerita kalau dia suka sama Axel. Sementara Axel juga cerita kalau dia risih dengan Vinia. Kelanjutan hubungan mereka selanjutnya aku benar-benar tidak tahu dan sejujurnya aku gak mau tahu karena aku cukup dekat keduanya. Biar itu jadi urusan di antara mereka berdua saja.

Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya aku mendapat kesempatan foto bareng dengan Hantaman. Ponsel aku berikan kepada salah satu kru Hantaman yang berubah jadi tukang foto dadakan sedari tadi. Karena grogi aku malah malu bersalaman dengan keempatnya. Aku cuma berdiri di tengah. Di kananku ada bang Anin yang bertubuh bongsorr, di sebelahnya ada bang Bagas. Sementara di kiriku ada bang Arya. Di sebelahnya ada bang Stefan yang malah sibuk dengan ponselnya. Tidak terlihat lagi muka sedihnya.

“Bang Epan, foto dulu napa. Simpen hapenya. Biar cepat kelar,” ujar kru Hantaman yang memegang ponselku.

“Berisik lo ah, bentar-bentar. Gue lupa tadi tu cewek semok yang tadi foto berdua gue, namanya siapa..Siska apa Ratna ya tadi namanya. Anjing..ah gue kasih nama ABG TOGE XXX ajalah,” sahut Stefan kemudian memasukkan ponsel ke kantung celana. Dan berpose mengacungkan kedua jari tengah ke arah kamera.

“Ni jari tengah buat elo Sena! Gara-gara lo gue lupa tadi nama itu abg, ngehek!” lanjut bang Stefan.

“Bodo amat lah bang. Oke..gue hitung ampe 3. Bro, gak usah tegang gitu kali, santai saja. Mereka udah bebas tetanus semua kok, kecuali bang Epan. Pasang pose ala metal gitu kek biar gak kelihatan tegang haha,” ujar si kru yang sepertinya bernama Sena.

Aku malu karena kelihatan banget aku grogi foto bareng sama Hantaman. Untung si kru ini orangnya pintar mencairkan suasana dan mengambil beberapa fotoku bareng sama Hantaman sekaligus.

“Oke sip. Nih,” ujar si kru mengembalikan ponselku. Dan aku lihat fotonya bagus-bagus !! yes.

“Sen, bilang ke panitia, uda cukup sesi fotonya. Sekalian panggil anak majalah sekolah yang mau interview kita,” perintah Anin.

“Oke bang.”

Duh, sepertinya Hantaman udah mau buru-buru nih. Salaman gak ya, tapi kalau aku gak ngajak salaman sekarang, kapan lagi coba. Sambil memberanikan diri aku menghampiri para personil Hantaman yang sudah duduk di sofa yang tersedia di tengah tenda.

“Makasih ya bang, performnya keren,” aku sengaja menghampiri bang Arya terlebih dahulu karena dia yang paling santai sambilmengulurkan tangan.

“Sip lah. Sama-sama,” bang Arya berdiri dan menyambut uluran tanganku.

“Eh, sebentarnya, kayaknya elo salah satu pengisi acara yang main siang tadi, bukan? Yang main metal? Cover lagu  Sepultura, Dying, Fetus?” celetuk bang Anin yang duduk di sofa seberang.

“Eh iya bang, itu saya sama teman-teman.”

Aku tidak menyangka kalau bang Anin mengenaliku. Apa dia sudah datang pas XYZ perform ya?

“Hohooho itu cover kalian keren banget asli. Gue kaget dan gak nyangka ada anak SMA bisa main lagu sekenceng yang kalian bawakan tadi, apalagi aransemen Sis Anger-nya Babymetal,” puji bang Anin sambil mengulurkan tangan. Wah malah bang Anin yang ngajak salaman.

“Wah itu elo ya? Lo yang vokal dan main gitar kan?” kini bang Arya ikut bertanya.

Aku mengangguk.

“Waktu lo perform, gue dan Anin duluan datang ke venue karena bosen di hotel. Jadi kami berdua nyantai dulu di foodcort backstage. Baru juga gue dan Anin duduk, tiba-tiba dari stage terdengar lagu kencang banget. Anin langsung berdiri sambil teriak, ‘gue gak salah dengar nih? Ini kan lagu Babymetal, Sis Anger.’ Dan dia langsung lari ke venue haha.”

“Gue excited sekali bisa dengar Sis Anger dengan sound se-evil kalian tadi. Jujur gue luar biasa takjub saat pertama dikontak untuk tampil di pensi sekolah ini dan begitu tahu ada sederet musisi luar negeri uda fix tampil di sini, gue berasa gak percaya ada satu sekolah bisa datengin sederet musisi internasional. Dan gue makin kaget saat lihat ada nama Babymetal fix perform di sekolah lo. Emejing, kami gak usah di bayar juga pasti mau main di sini,” papar bang Anin.

Obrolanku dengan mereka berdua terputus saat anak-anak XPRESS, tim ekskul majalah sekolah sudah datang untuk interview. Setelah sekali lagi bersalaman dengan semua personil Hantaman, aku keluar tenda dengan wajah sumringah. Duh mimpi apa saya semalam dapat pujian dari 2 anggota Hantaman yang paling “normal” hehe. 2 anggota Hantaman sudah kuanggap bukan manusia biasa, bang Stefan dengan kegilaannya di stage dan drummer Bagas yang luar biasa irit bicara serta hampir tanpa ekspresi. Kombinasi keempatnya inilah menjadikan band ini spesial dan hari ini saya benar-benar puas !!

TERIMAKASIH HANTAMAN !!


***

“Yank ! ayo maju deketan stage!kyaaa!!” pinta Dita sambil berteriak melihat di Bang Stage Ed Sheeran sudah memulai lagu pertamanya malam ini setelah sebelumnya Babymetal sukses menghentak para penonton dari Big Stage.

Sambil menggandeng tangan Dita, aku berusaha maju sedekat mungkin. Hingga akhirnya aku sudah tidak bisa maju lagi. Namun kami mendapat posisi yang cukup bagus, tepat di tengah dan bisa melihat dengan jelas ke arah stage. Aku lalu berdiri di belakang Dita. Dita benar-benar terbius dengan Ed Sheeran, dia ikut bernyanyi sepanjang lagu, entah apa judul lagunya aku tidak tahu. Sambil bernyanyi Dita memegangi tanganku yang melingkari di perutnya. Sesekali Dita menoleh ke belakang dan memintaku menemaninya ikut bernyanyi. Aku menggeleng karena tidak tahu liriknya.

Ed Sheeran tampil dengan band pendukung lengkap. Di beberapa lagu dia ikut memainkan gitar. Suara Ed Sheeran memang aku akui bagus dan terdengar jernih. Memang jempolan sound system di acara ini dari pagi. Lama-lama aku terbawa suasana yang romantic dengan bergerak pelan ke kiri ke kanan mengikuti Dita. Meskipun penampilannya membuat para penonton cewek meleleh dan berteriak histeris, Ed Sheeran kurang komunikatif dengan para penonton. Mungkin dia kecapekan juga sih karena kabarnya tempat kami menjadi tempat terakhir yang dikunjungi dalam tur Asia Tenggara perdananya. Namun Ed Sheeran tetap bersikap professional dan menyajikan penampilan yang memang keren sih. Setelah menyelesaikan satu lagu yang entah apa judulnya dan basa-basi sejenak yakni berterimakasih kepada para penonton dan mendukungnya. Koor ‘huuu’ panjang terdengar saat Ed Sheeran bilang dia sudah berada di akhir penampilan dan dia bersiap untuk lagu terakhir, kemudian lampu di stage padam.

“Ya ampuunn gak kerasa banget sihhh uda mau selesai, huuuu,” rengek Dita sambil menggelendot manja kepadaku.

“Hehehehe, yang nonton sih gak akan puas, yang nyanyi yang capek,” kataku sambil mencubit pipi kanan Dita.

“Ihh sakit tahu!” ujar Dita sambil menggosok pipinya yang kucubit.

Aku tertawa lalu mencium rambutya dari belakang. Dita membalas dengan menggenggam tanganku erat.

“Makasih yank, kamu sudah mengajak aku nonton pensi sekeren ini. Terutama lihat Ed Sheeran langsung sambil ditemenin sama kamu,”ujar Dita sambil menoleh ke arahku.

Cup.

Aku mengecup bibir Dita cepat. Dita nampak terkejut karena tiba-tiba aku menciumnya. Lalu ia tersenyum, “[i]I love you[/i],” bisiknya.

Love you too…"

Lampu sorot yang tiba-tiba menyala di stage membuat momen romantic ini terhenti, lampu sorot yang menyala mengarah hanya kepada Ed Sheeran yang berdiri memegang gitar akustik.

Baru juga beberapa bait Ed Sheeran bernyanyi, Dita dan penonton lain kembali berteriak.

“Ahh, ini Thinking Out Loud yank! Ayo kamu ikut nyanyi, kamu harusnya tahu lagu ini,” ujar Dita semangat.

Tentu saja aku tahu lagu ini. Mungkin ini lagu Ed Sheeran yang paling aku tahu dan hapal karena saking seringnya Dita kalau ajak karaoke dia pasti memilih lagu ini. Aku dan Dita pun ikut bernyanyi bersama Ed Sheeran. Bukan hanya kami, aku rasa semua penonton juga ikut sing along.



Begitu lagu selesai, berdiri di tepi stage sambil memberikan tepuk tangan kepada kami. Dari gerak bibirnya terlihat jelas dia berulang-kali mengucapkan “Thank you”. Nama Ed Sheeran pun semakin di elu-elukan para penonton lalu di susul teriakan  “We want more, we want more we want more !”, Ed Sheeran hanya tersenyum sembari melambaikan tangan.  

Dan teriakan dari kami pun semakin pecah ketika Ed Sheeran menyambar stand mic dan memainkan gitarnya.

“AAHHH SHAPE OF YOUUUUUU !!” teriak Dita.



Lagu Ed Sheeran yang berirama lebih catchy dan terasa sekali pop-nya dimainkan full band, bahkan dia berduet dengan seorang rapper dia pertengahan lagu, sebuah lagu penutup yang menyenangkan.

Ada jeda 5 menit sebelum Paramore yang mengisi puncak acara menggebrak di Big Stage. Dita meminta untuk mundur ke belakang karena ia sudah kecapekan berdiri. Kami berdua pun menuju foodcourt karena selain capek, kami juga lapar. Untung aku tidak terlalu fanatic dengan Paramore sehingga tidak masalah hanya melihat dari kejauhan sambil makan lontong sate ayam ayam yang aku pesan untuk kami berdua, karena tetap nampak jelas dari foodcourt berkat adanya 3 layar besar yang terpasang di kedua sisi dan tengah stage.

“Yank, kalau kamu mau maju atau mendekat kesana gak apa-apa. Aku tunggu disini saja, aku udah benar-benar capek, kucel dan bau keringat,” kata Dita setelah selesai makan.

“Ya sama, kita sama-sama kecut belum mandi dari siang haha. Gak usah yank, aku disini saja nemenin kamu. Dari sini udah kelihatan kok.”

Dita tersenyum simpul mendengar jawabanku.

“Kita istirahat dulu, nanti pas pesta kembang api kita baru kesana lagi,” lanjutku.

“Iyah. Yank, aku senang sekali hari ini, makasih yah.”

“Pacar senang, hatiku pun ikut senang,” godaku.

Dita tertawa mendengarnya. Kami berdua mengobrol sambil menikmati Paramore dari jauh dan menjelang akhir penampilan, aku mengajak Dita untuk kembali turun mendekati stage.

Malam yang indah menjadi semakin indah dan gemerlap saat langit malam di atas kami berpendaran warna-warni saat pesta kembang api yang menjadi penanda akhir dari serangkaian BIG BANG yang amat sangat luar biasa dimulai. Kami berdua mengeluarkan ponsel untuk merekam pesta kembang api dan kemudian bergabung dengan teman-temanku di tengah venue.

BIG BANG SMA NEGERI XXX gilaaaaa !!!

***

Aku sampai di depan rumah Dita jam 1 dini hari. Karena besok hari Minggu, jadi gak ada masalah. Lagipula, aku udah ijin juga ke mamanya Dita. Dan beliau memberikan ijin dan memintaku untuk menjaga Dita. Misi tersebut berhasil, Dita kembali ke rumah tanpa ada satupun yang kurang. Menyenangkan sekali hari ini. Meskipun sempat ngambek di tengah acara, begitu Ed Sheeran perform Dita langsung semangat dan moodnya membaik hingga selesai sampai di pesta kembang api setelah Paramore menutup gelaran BIG BANG. Setelah Dita membuka gerbang dan membuka pintu garasi, aku pelan-pelan memasukkan motor Dita ke dalam garasi yang diterangi lampu kuning yang agak redup. Di dalam garasi terparkir 2 mobil milik kedua orang tua Dita. Fiuh lega, suasana tetap lengang dan sunyi.

Fiuh,  what a day !!

Badan rasanya capek sekali. Aku masuk ke rumah melalui pintu samping dapur dengan kunci duplikat yang dikasih Mbak Asih agar aku bisa pulang tanpa membangunkan dia maupun Mas Sulis. Setelah melepas semua baju dan celana hingga memakai kolor, aku tidak langsung berbaring. Aku ingin mandi keramas sebelum tidur, biar tidurku semakin pulas. Jadi aku duduk dulu di kursi meja depan belajar sambil menunggu keringat benar-benar kering, aku melihat di galeri ponsel. Melihat foto-foto yang aku ambil di pensi termasuk fotoku bersama Hantaman. Keren banget fotonya. Lalu di grup WA teman-teman mulai ramai saling membagikan foto-foto. Padahal udah jam setengah 2 pagi tapi masih ramai, masih belum pada tidur sepertinya. Foto yang di share adalah foto ramai-ramai terutama foto bareng dengan semua teman-teman XYZ, termasuk bersama Dita, Dea pacarnya Yosi dan yang paling mengejutkan adalah sikap mesra yang ditunjukkan Xavi dengan Asha, hahahaha. Kami semua menyoraki dan memberikan selamat saat Xavi bilang di depan kami bahwa ia barusan jadian dengan Asha, murid kelas 1 paling pintar seangkatan kami. Asha cuma senyam-senyum saat Xavi bercerita di depan kami. Pokokknya benar-benar menyenangkan sekali tadi malam selepas pesta kembang api. Kami foto bersama-sama dengan latar belakang panggung BIG BANG yang megah. Namun tidak butuh waktu lama kami di grup menyadari bahwa tidak ada Zen di antara kami dari sekian banyak foto yang di share di grup.

ASTRA
Zen kemana nih? WOI @ ZEN
01.32

GUNTUR
Gak ngliat gue, tadi gue maju di depan sama Farel, Aji, Dodo pas Hantaman main sampai Paramore pokoknya dah
01.34

WIRA
Sama. Gue sama anak-anak lain juga berkeliaran sendiri-sendiri sih. Zen kayaknya di belakang mulu, terakhir sama @ Yosi di foodcourt
01.37

ABAS
Gak kok, gue ketemu sama Zen di deret depan pas Babymetal main. Deketan sih. Cuma setelah Babymetal kelar, gak tahu lagi dia kemana.
01.39

YOSI
@ WIRA gue tadi misah sama Zen pas Vinia maen. Pas Vinia, gue sama Dea maju ke tengah. Zen gue ajak ikut maju, gak mau. masih mau ngrokok katanya.
01.42

XAVI
Lu pada ributin apa sih? Gak capek apa seharian berdiri teriak2 ? orang yang lo cari udah tidur cantik. Setelah babymetal kelar, Zen pulang. Niki yang bilang ke gue waktu gue balik ke tenda buat ambil barang.
01.43

YOSI
Eh kuntet @ XAVI, kenapa lo gak bilang dari tadi somplak.
01.44

XAVI
Ini Gue baru sampai rumah monyet dan baru baca-baca WA !
01.45

YOSI
Lu habis ngapain sama asha jam segini baru sampe rumah? Rumah lo kan paling dekat sama Venue.Jangan-jangan lo abis xxxx sama Asha. Woi baru jadian woi, jangan di nakalin woi!
01.46

DODO
Wkwkkkkkkkkk goblog @ YOSI
01.47

RIKO
Yaelah gaya lo Yos, lo aja gak pandang tempat, nyosor Dea sambil gelap-gelapan pas kembang api. HAHAHAHA.
01.48

YOSI
@ RIKO, bangsat gak punya etika lo ngliatin orang pacaran.
01.48

XAVI
@ YOSI, gw Nganterin Asha pulang dulu jauh ke ujung X4 sono rumahnya.
01.49

XAVI
@ RIKO, wkkk romantis bener ya si Yosi. Kenapa lo gak foto aja mereka berdua
01. 49

RIKO
@ XAVI, gw sempat foto cuma gak jelas gelap.
01.50

XAVI
@ RIKO, sini japriin ke gw, gw edit terus gw jadiin foto grup wkkkkk
01.51

RIKO
Good idea !! *fotoYOSIDEAsalingsambarbibir *sent @ XAVI heuheuheuheu
01.52

YOSI
Eh anjing lo berdua, kenapa dari tema nyariin Zen bisa jadi ngomongin gue.?! AWAS KALAU KALIAN BERDUA  MACEM-MACEM SAMA FOTO GW @ RIKO @ XAVI !!
01.53

AJI
Orang kasmaran mah bebas mo ciuman dimana saja #ciumjilatsedot
01.54

DODO
Wkkkkkkk @ AJI kompor banget sih lu
01.55

WIRA
@ YANDI, diam aja lo cuma nge read doang ahaha.
01.56

BAGAS
Anjay, ngantuk gue ilang gegara baca bacotan lo pada di grup wwkwk
01.56

ASTRA
Iya sama @ BAGAS Bangke emang lo pada haha! Bukan cuma Yandi yang ngeread doang, ini anak yang kita cari juga cuma silent reader @ ZEN hoi kampret baca doang.
01.57

Aku ikut tertawa membaca kekonyolan teman-teman di grup. Yang aku suka dari teman-teman XYZ ini adalah tidak ada perasaan sungkan antar teman saat saling ngobrol bercanda. Semuanya santai. Tidak ada perasaan segan hanya karena katakanlah Aku, Yosi, Xavi dan Zen dianggap inti dari XYZ. Semuanya bebas ngomong, enjoy dan tahu batasan dalam hal bercanda. Semisal Riko yang dulu orangnya paling emosian, sensitif sejak peristiwa kedok Sigit Bembi terbongkar, orangnya jadi lebih nyantai gak mudah baper dan jadi lebih cair, gampang akrab dengan semua teman.

Aku sengaja hanya membaca tidak ikut berkomentar di grup karena sebelumnya aku coba japri Zen, nanya apa dia baik-baik saja, cuma di read sama Zen tapi gak di bales. Itu bukan masalah sih, apalagi Xavi uda bilang tadi kalau Zen ternyata pulang duluan setelah Babymetal. Ya mungkin Zen sudah capek.

YANDI
Udah-udah, kalian semua istirahat sana. Nanti MALAM kita semua bakalan sibuk.nanti siang aku kasih tahu, kita berkumpul dimana dan jam berapa sebelum datang ke sekolah.
01.59

Aku sengaja mengetik MALAM dengan huruf besar dan tebal, untuk mengingatkan mereka untuk segera istirahat dan menjaga stamina sebaik mungkin karena ada hajat penting di aula sekolah nanti malam. Teman-teman langsung menyambar komentarku dengan berbagai respon. Intinya mereka mengerti benar maksud pesanku. Dan jam akhirnya jam 2an grup WA sudah sepi, berhenti berbunyi.

Aku ngantuk sih cuma tidur bau keringat itu mengurangi kenyamanan tidur. Jadi aku mandi sekalian keramas, duh enak banget kepala kena guyur air yang sejuk. Uah bisa pules tidur ini. Selesai mandi dan memakai kolor baru, aku mematikan lampu kamar dan menyalakan kipas angin. Baru juga meringkuk di balik selimut, aku mendengar notifikasi ada pesan WA masuk.

Kalau itu notif WA biasa, aku gak pedulikan. Namun yang barusan adalah notif khusus yang aku setting kalau Dita kirim WA. Sebenarnya aku sudah malas bangun untuk ambil ponsel di atas meja belajar namun aku teringat sesi enak-enak dadakan dengan Dita yang sangat membakar birahi di garasi rumah. Ada rasa bersalah kalau gak aku buka sekarang. Akupun mengambil ponsel dan membaca pesan tersebut.

DITA
Belum bobo yank?cepat istirahat sana, kamu pasti capek sekali. Biar nanti malam kamu bisa temenin aku jalan menikmati suasana malam tahun baru. Gak sabar rasanya. Yadah, met bobok ya. Mwah
02.15

Senyumku langsung menghilang saat membaca WA dari Dita.

Gawat....

Aku lupa kalau jauh-jauh hari Dita sudah memintaku untuk menemaninya melewatkan malam tahun baru di pantai Marina. Tentu saja aku menyanggupi permintaan Dita tersebut. Karena tentu menyenangkan malam tahun baruan dengan pacar.

Hingga akhirnya siang tadi aku mendapat SMS dari Pak Tomo dimana siapapun yang berkepentingan menyelesaikan masalah, datang ke aula sekolah di malam tahun baru. Di SMS selanjutnya Pak Tomo dengan spesifik mengancamku bahwa aku harus ikut dan menjadi bagian dari kelompok yang menang. Akan ada hukuman tertentu yang mesti aku terima jika aku jadi bagian pihak yang kalah. Aku yakin ini adalah buntut dari ancaman yang kulayangkan kepada Pak Tomo di kasus Leo.

Karena aku sudah benar-benar lelah hari ini, aku tidak sanggup berpikir lebih lanjut memikirkan 2 hal penting yang terjadi bersamaan besok.

Itu urusan nantilah, yang jelas aku perlu tidur sekarang.

***

Setelah aku pikirkan resikonya matang-matang, aku memutuskan untuk datang ke aula sekolah nanti malam dibandingkan menemani Dita malam tahun baruan. Jika aku tidak muncul malam ini ke aula sekolah, harga diriku akan jatuh di mata semua orang di sekolah dan menodai egoku sebagai laki-laki. Apalagi jika semua orang tahu bahwa aku tidak muncul karena memilih malam tahun baruan dengan pacar dan membiarkan teman-temanku terlibat baku hantam dengan kelompok Oscar.

Sementara jika aku tidak menemani Dita malam ini, resikonya jelas dia akan marah besar. Aku sudah hapal sifat Dita kalau marah atau ngambek itu bisa lama dan susah ngebujuknya. Entahlah seberapa marah Dita kalau aku bilang aku tidak bisa menemaninya malam ini di momen pergantian tahun baru yang sudah ia tunggu-tunggu. Dita marah udah pasti namun yang membuat kepalaku pening adalah memikirkan alasan apa yang akan aku pakai kepada Dita. Jelas tidak mungkin jika aku berterus terang kepada Dita bahwa aku memilih datang ke aula sekolah untuk tawuran. Bisa-bisa Dita lapor kepada Mbak Asih.

Jadi serba-salah gini.

Tapi aku sudah membuat keputusan dan ini sudah semakin sore,aku harus memberitahu Dita paling tidak sore ini, sehingga dia masih ada waktu untuk pergi bersama teman....Ah sepertinya gak mungkin. Dia kalau sudah marah lebih suka mengurung diri di kamar. Fiuh, setelah Dita udah nyenengin aku semalam, sebentar lagi aku akan membuatnya marah dan menangis. Dari penunjuk waktu di ponsel, sudah jam 4 sore. Dita ada di rumah gak ya?

Aku membuka Whassap untuk bertanya dia ada dimana.

DITA
Pagi sayang. Kamu pasti masih bobok ya. Siang ini aku pergi sama Mama sampe sore. Huft. Tapi gak apa2. Kan nanti malam aku bisa jalan nglewatin malam tahun baru sama kamu hehe.
06.12

Jadi tambah galau aku kalau baca WA Dita pagi tadi. Tapi keputusanku sudah bulat, ada pertaruhan harga diri laki-laki nanti malam di aula sekolah. Apapun resiko dan kemungkinan yang terjadi disana sudah siap aku hadapi. Aku kemudian menelepon Dita karena aku bingung menemukan kata-kata, yang jelas aku mesti ngomong langsung ke dia perihal nanti malam.

“Halo Dit, kamu dimana? Uda di rumah?”

“Hei yank. Aku masih di mall, baru aja selesai nyalon heee. Ini aku mau pulang naik grabcar ke rumah karena Mama masih asyik ngrumpi sama temannya.”

“Nyalon? Ke salon?”

“Iya salon di mall. Sekalian rapiin potong sedikit rambutku yang bercabang. Biar makin cantik nanti pas jalan sama kamu yank. Eh ada apa yank cariin aku? Uda kangen yah? Aku bentar lagi pulang kok, ini lagi nunggu driver Grabcar.”

Hedeh. Suara Dita terdengar ceria dan ia sampai pergi ke salon buat nanti malam. Dita memang benar-benar menunggu momen malam tahun baru. Tapi rencana tersebut harus batal karena aku. Duh kalau uda kayak gini situasinya, resikonya bukan cuma Dita marah besar. Bisa-bisa.......dia mutusin aku. Pusing-pusing.

“Ada yang mau aku bicarakan.”

“Oke, lha mau ketemu di luar atau dirumah? Aku bisa cancel dan kita ketemu di luar saja,”

“Ketemu di rumah kamu saja. Kasian drivernya kalau kamu cancel tiba-tiba.”

Sudah jelas, aku tidak mau membuat Dita menangis dan marah-marah di tempat umum. Bisa gawat.

“Iya, iya. Yadah yank ini drivernya usah sampai. Nanti aku telepon kalau sudah sampai rumah. Dadah. Muah.”

“Ya hati-hati.”

Selesai menelepon Dita, aku turun dari kamar dan duduk di sofa ruang tengah sambil nonton TV dan minum es cofemix biar adem kepala. Karena jarang nonton TV aku tidak tahu apakah ada acara bagus di TV saat Minggu sore. Alhasil channel TV aku gonta-ganti tiap berapa menit. Sebenarnya aku sama sekali tidak fokus dengan acara TV yang aku tonton. Aku masih memikirkan lagi apakah aku mesti memilih antara teman-temanku atau Dita? Bagaimana kalau semisal jam 7 aku jalan dulu sama Dita terus jam 11 aku pulangin Dita kemudian ketemu langsung sama teman-teman di sekolah?

Ah gak mungkin. Justru bisa makin repot kalau tiba-tiba Dita aku ajak pulang sebelum malam pergantian tahun.  Mana mau dia. Sementara untuk acara di aula, aku yakin semuanya akan berkumpul mendekati jam pergantian tahun. Semua akan menunggu momen yang tepat untuk mencari tahu siapa yang terkuat. Momen pergantian tahun baru tentu menjadi momen terbaik, apakah ada pergeseran kekuatan di SMA NEGERI XXX dimana Oscar cs akan menjadi orang nomor 1 atau dominasi Axel dan Feri tetap tidak tergoyahkan.

Sialan, memang tidak ada jalan lain. Aku mesti membatalkan acaraku dengan Dita dengan resiko Dita akan memutuskan hubungan kami.

“Hei Yan, sore-sore udah ngelamun aja. Tuh di cariin Dita di depan,” ujar Mbak Wati yang tiba-tiba masuk ke ruang tamu.

“Dita udah di depan?”

“Iya.”

“Bilang Dita, dia tunggu rumahnya aja, bentar lagi aku nyusul. Perutku tiba-tiba mules,” kataku sambil beranjak dari sofa dan pergi buru-buru.

“Lah ini anak, kenapa gak bilang sendiri. Yaudah mbak sampaikan ke Dita.”

Sampai di kamar mandi, aku mencuci mukaku. Mules itu hanya alasanku saja, karena aku deg-degan. Aku perlu menenangkan diri dulu. Hadeh, kalau urusan berantem aku belum pernah segrogi sekarang ini. Begitu urusan sama pacar sendiri, groginya minta ampun. Setelah kurang lebih 5 menit di dalam kamar mandi, akhirnya dengan susah payah aku bisa membulatkan tekad untuk menemui Dita di rumahnya.

Sebelum aku keluar rumah aku berpapasan dengan Mbak Wati. Dan Mbak Wati bilang kalau Dita menunggu di gazebo rumahnya yang berada di bagian belakang rumah. Memang Mbak Wati ini orangnya pintar ngebaca suasana hati orang, sempat-sempatnya ia menggodaku.

“Kamu kok kayaknya pucat grogi gitu sih Yan? Apa Dita mau ngasih tahu hasil test packnya, hihihii.”

Duh, aku jadi makin senewen mendengar celetukan pelan Mbak Wati.

Sialan, sambil jalan ke rumahnya yang berada persis di seberang jalan rumah Mbak Asih, aku masih belum menemukan alasan “logis” yang akan kusampaikan kepada Dita kenapa aku tidak bisa pergi menemaninya malam ini.  Hingga akhirnya aku melihat Dita menghampiriku saat ia melihatku datang, senyumnya lebar. Dita lalu mengajakku duduk di dalam gazebo.

“Ah padahal aku mau pamer poni baru ke kamu malam nanti yank, gak jadi kejutan deh gara-gara kamu ngajak ketemuan sore.”

Aku berusaha tersenyum dengan terpaksa. Dahi Dita mengkerut melihat ekspresiku. Aku memang paling tidak bisa menyembunyikan ekspresi wajah.

“Kamu kenapa sih yank kok rada aneh ? kayak mikir sesuatu,” tanyanya.

Sebaiknya aku langsung bilang, tidak usah muter-muter tidak jelas.

“Maaf Dit. Nanti malam aku tidak bisa nemenin kamu jalan-jalan,” kataku tegas.


***

“Belum ada yang datang?” aku bertanya kepada Zen yang membukakan pintu.

“Belum, baru jam setengah sepuluh, elonya aja yang datang terlalu awal. kita ngobrol di teras aja Yan biar lebih bebas. Ada ortu gue di dalam,” jawab Zen.

“Oke.”

Saat aku duduk di kursi teras, Zen menawariku mau minum apa.

“Teh manis aja, aku udah banyak minum kopi hari ini.”

“Sip, tunggu.”

Sambil menunggu Zen, aku membaca koran lokal hari ini. Wuih cover halaman depannya Paramore ! Dari headlinenya, pensi sekolahku kemarin menjadi sajian berita hari ini. Aku pun asyik membaca hingga Zen datang membawa 2 gelas teh.

“Keren nih, sekolahan kita masuk ke berita utama!” aku menyinggung isi koran yang tengah.

“Yoi, gue udah baca. Sekolah kita dipuji abis-abisan karena sukses membuat orang iri setengah mati. Apalagi gak semua orang bisa nonton meskipun berduit dan sanggup bayar jutaan buat beli tiketnya. Pokoknya reputasi sekolah lagi moncer-moncernya. Dan yang mendapat highlight tentu saja kepala sekolah kita tercinta. SMA NEGERI XXX menjadi sekolah dengan rataan nilai mid semester tertinggi secara nasional, BIG BANG luar biasa sukses dan hari ini dia mempersilahkan semua berandalan sekolah bersenang-senang di malam tahun baru. Anjing emang Pak Tomo otaknya.”

“Pengalamannya sebagai bajingan nomor satu di jamannya benar-benar membuat beliau memahami benar apa yang tengah terjadi. Tetapi bisa menyusun rencana sedemikian rupa dan berhasil sampai sejauh ini sungguh brillian. Seram kepala sekolah kita.”

“Pak Tomo bukan kepala sekolah biasa, tetapi mafia juga mungkin. Dan seseram-seramnya Pak Tomo, gue salut sama lo.”

“Salut sama aku?”

“Karena lo satu-satunya murid yang bisa ngancem dan membuat Pak Tomo menendang Leo, Sigit dan Bembi dari sekolahan kita,” ujar Zen.

Aku yang tengah membaca artikel tentang Hantaman yang kemarin tampil di BIG BANG, langsung menutup Koran dan menatap Zen yang tengah menyeruput minumannya.

“Kamu tahu?Darimana kamu tahu kalau aku mengancam Pak Tomo?”

Zen tersenyum.

“Dengan bukti persekongkolan Leo di tangan lo dan ketegasan elo melarang kami untuk ikut campur tangan di kasus mereka, gue bisa nebak jalan pikiran lo Yan. Lo akan pakai itu untuk menekan orang yang paling berkuasa di sekolah saat ini, Pak Tomo. Benar kan?”

Aku mengangguk.

Kecerdasan Zen memang aku akui luar biasa sih, jadi aku tidak terlalu heran jika dia bisa menebak dan mengambil kesimpulan tersebut.

“Lo gila ya sampai punya pikiran nantang Pak Tomo. Gak takut lo kena hajar di tempat? Budi aja di gamparin Pak Tomo sampai bego di hari pertama kedatangannya.”

“Aku takut kali, sampe gemeter kampret. Hari dimana aku mengancam Pak Tomo akan aku ingat sebagai salah satu hari paling menakutkan.”

“Haha punya rasa takut juga lo? Untung lo berhasil ya. Padahal resikonya gede juga tuh. Lalu, apa yang diminta Pak Tomo dari elo? Meskipun ada embel-embel ancaman, feeling gue Pak Tomo pasti meminta ‘balasan’ karena memenuhi tuntutan elo. Jiwa bajingan dia gak mungkin diam aja di ancam oleh anak ingusan kayak kita.”

Sialan, aku gak menyangka Zen bisa berpikir sejauh itu. Aku mencoba mengelak dengan bilang bahwa pertemuanku dengan Pak Tomo adalah pembicaraan satu arah, dimana aku sebagai pihak yang mengancam sekaligus menuntut.

“Tidak ada tuntutan balik dari Pak Tomo,” sergahku.

Zen tertawa sambil menyulut sebatang rokok. Nampak nikmat sekali dari caranya ia menghembuskan asap ke atas.

“Percaya atau enggak, ketika orang berbohong mereka akan menunjukkan gestur yang sama tanpa disadari. Dan yah katakanlah aku cukup mahir menangkap gesture khusus tersebut. Persis seperti yang barusan lo lakuin. Meskipun tanpa gue menebak gestur lo, gue udah tahu kalau lo bohong.”

Zen menatap ke arahku dan kami saling menatap sebelum akhirnya kami tertawa bersamaan.

“Haha kamu gak pernah berhenti membuatku takjub Zen. Fiuh, tepat seperti yang kamu bilang. Pak Tomo tidak akan memenuhi tuntutanku dengan cuma-cuma. Jadi kemarin setelah kita tampil dan istirahat di tenda, gak lama kemudian kan aku mem-forward SMS dari Pak Tomo ke grup….”

“Dan?”

“Sebenarnya Pak Tomo mengirim 2 SMS. Pesan pertama seperti yang aku share di grup. Sementara di pesan selanjutnya, dia mengirim pesan khusus buatku pribadi.”

Aku diam sebentar.

“Anjir, lu kalau cerita jangan sepotong-potong gitulah haha.”

“Oh aku pikir kamu bisa menebak sendiri, haha.”

“Asem, emangnya gue cenayang. Terusin Yan, keburu anak-anak lain datang.”

Aku merogoh ponselku dan menuju archive khusus SMS. Aku menyimpan isi SMS dari Pak Tomo. Setelah aku buka, aku letakkan layar ponselku ke arah Zen. Zen membacanya dengan wajah serius. Sepertinya ia masih kurang yakin karena ia lalu mengambil ponselku dan membacanya sekali lagi dalam jarak dekat.

“Bangsat si Tomo,” keluh Zen sambil mengembalikan ponselku. Ia lalu menghisap kuat rokoknya, otak computer Zen sepertinya sedang mengolah informasi yang barusan ia peroleh.

“Elo, ah bukan. Kita mesti menang malam ini. Kalau sampai kita kalah, akibatnya elo bisa jadi akan….”

“Dikeluarkan dari sekolah,” tegasku menyambung perkataan Zen.

“Zen, kita memang berada di kelompok yang sama dengan Axel, Feri cs. Namun menurutmu, apakah kamu berani bertaruh bahwa pihak kita akan menang?” tambahku.

Mendengar pertanyaanku, Zen sepertinya jadi termenung.

“Jujur saja Yan, gue gak yakin kelompok kita akan menang. Oscar dengan segala tipu daya dan dukungan illegal dari alumni, belum lagi anak buahnya jauh lebih banyak daripada kita., kita tetap berangkat ke sekolah malam ini demi sebuah harga diri kita sebagai laki-laki meskipun gue, elo, Yosi, Xavi dan anak-anak lainnya tahu bahwa ini akan menjadi malam yang berbahaya. Untuk urusan kelompok siapa yang terkuat, kita bukanlah penentu. Partai utamanya tetaplah Oscar lawan Axel. Kita mesti berdoa, semoga Axel benar-benar menggila dan membuktikan kepada kita semua bahwa dialah bajingan nomor satu di SMA NEGERI XXX saat ini. Meskipun kita tumbang, selama Axel menang, lo selamat Yan. Itu yang terpenting.”

“Ya Axel. Kita semua itu adalah partai pembuka kalau istilah di pertandingan tinju. Partai utamanya tetap Axel vs Oscar. Zen, tolong kamu jangan kasih tahu teman-teman yang lain tentang hal ini, aku tidak mau menambah beban di pundak mereka. Sudah berani muncul malam ini saja sudah luar biasa.”

“Ya tentu saja, yang jelas aku jadi makin bersemangat buat ngebantai mereka para tai kucing dan tentu saja ngebunuh Budi..” ujar Zen dengan nada geram.

Aku lupa bahwa Zen menyimpan dendam pribadi dengan Budi semenjak dia dihajar Budi habis-habisan. Aku berharap kalimat dia yang ‘ngebunuh Budi’ adalah ungkapan hiperbola semata.

Kami berdua terdiam sejenak. Sementara itu suasana di jalanan mulai ramai, banyak kendaraan lalu lalang, suara terompet pun mulai sering terdengar. Tak terasa kurang lebih 2 jam lagi, sudah tahun baru.

“Oia Yan, lo pake alasan apa ke Dita sampai dia ngebiarin elo kesini dibandingkan menemaninya di malam tahun baru?”

Aku tersedak saat hendak meminum teh ketika Zen bertanya hal tak terduga seperti barusan.

“Oi kenapa lo? Sampai kesedak-sedak kek gitu Yan? Mau gue ambilin air putih?”

Aku menggeleng.

“Gak usah,” kataku dan butuh beberapa waktu sampai akhirnya aku berhenti tersedak.

Bukan minumannya yang buat aku tersedak, namun nama Dita yang disinggung Zen yang membuatku kaget sampai tersedak. Di saat aku bingung mau ngejawab gimana pertanyaan Zen, tiba-tiba datang 5-6 motor di depan rumah Zen.

“Selamat malam om-om jenderal,” sapa Wira sambil nyengir dari atas motor.

“Kami belum telat kan ya? Sori agak molor, mulai macet jalan dimana-mana,” ujar Dodo yang berboncengan dengan Aji.

Suasana makin ramai saat Yosi datang sendirian. Dan tak lama kemudian Xavi juga datang bawa motor. Aku dan Zen lalu mendatangi mereka dan bersalaman dengan semua orang. Setelah berbasa-basi ngobrol gak jelas, aku lalu kembali duduk di kursi dan mengambil Koran yang belum tuntas aku baca.

“Sambil nunggu semua teman-teman lengkap, aku lanjut baca Koran dulu,” kataku.

Saat aku mulai membaca lagi artikel tentang Hantaman, ternyata aku sulit menikmati isi tulisannya. Karena pikiranku melayang kemana-mana, memikirkan kejadian tadi sore di rumah Dita.
.
.
.
“Apa...apa maksudmu yank? Kamu gak bisa menemaniku jalan-jalan malam ini?”tanya Dita sambil terbata-bata. Senyum Dita perlahan pudar saat aku mengatakan hal tersebut.

“Iya. Maaf.”

“Tapi kenapa kamu tiba-tiba bilang gak bisa? Kamu udah janji yank sama aku dari jauh-jauh hari ! Apa alasannya?” Suara Dita sudah mulai meninggi.

“Aku...ada urusan penting dengan teman-teman.”

“Apa ?! Kamu lebih mentingin ketemu dan jalan-jalan dengan temanmu daripada jalan dengan pacarmu sendiri?!”

“Aku bukannya jalan, senang-senang dengan temanku Dit. Tapi ada urusan penting.”

“Urusan penting macam apa yang ngebuat kamu tega ngecewain aku?!” suara Dita sudah mulai gemetar.

“Maaf Dit, aku gak bisa cerita sekarang.”

Dita menatapku tajam. “Jawaban macam apa itu Yan. Kamu gak bisa cerita apa alasanmu dengan gamblang kepadaku. Lalu kamu anggap aku ini apa? Bukannya aku ini pacarmu? Atau jangan-jangan kamu mau jalan sama Vinia ya? Temanmu yang sok centil itu?”

“Bukan Dit. Aku gak ada urusan dengan Vinia.”

“Lalu apa? Bisa gak kamu jelasin semuanya, alasan sebenarnya kamu ngebatalin janjimu malam ini?”

“Aku...aku....”

Sialan, aku benar-benar kehabisan kata sekarang. Aku tidak mungkin cerita tentang tawuran nanti di aula sekolah.

“Kenapa? Kamu gak bisa jelasin? Sudah pasti kamu ada janji dengan Vinia malam ini!! Kalau bukan karena Vinia atau cewek lain, gak mungkin kamu gak bisa cerita alasanmu sama sekali. Aku bisa melihat dengan jelas, dari caramu menatap Vinia itu berbeda sekali !! KAMU JAHAT YAN! JAHAT ! HIKS..”

Dan isak tangis Dita pun pecah juga, ia langsung turun dari gazebo. Reflek aku menahannya pergi dengan memegang tangannya. Namun ia mengibaskan tanganku seraya berteriak.

“LEPASIN !”

“Dita ! Seandainya aku bisa jelaskan, aku akan jelaskan sekarang juga. Namun aku tidak bisa cerita sekarang. Sumpah ! Ini tidak ada hubungannya dengan Vinia seperti yang kamu tuduhkan. Aku memang jahat, tapi aku minta kamu mengerti dan pecaya sama aku.”

PLAK !!

Aku terkejut saat Dita menamparku keras sekali.

“EGOIS !! KAMU MINTA  AKU MENGERTI DAN PERCAYA SAMA KAMU?! TAPI KAMU SENDIRI GAK BISA CERITA ALASANMU KEPADAKU ! KAMU GAK PERCAYA SAMA AKU !” Kedua mata Dita sudah sembap dan merah karena menangis.

“Dit, jangan gitu, kita masih bisa jalan besok,” bujukku.

Dita menggelengkan kepalanya.

“AKU MAU JALAN-JALAN MALAM INI JUGA  SAMA KAMU! Kamu mementingkan siapa? aku atau teman-temanmu? Kalau kamu berubah pikiran dan mementingkan aku, kamu akan memelukku sekarang dan janji akan menemaniku malam ini.”

Aku terdiam saat Dita memaksaku untuk segera memilih teman atau dia. Aku bingung, karena ini bukan hanya sekedar siapa yang lebih penting ! Baik Dita maupun teman-temanku, itu sama pentingnya buatku. Namun keadaan memaksaku untuk lebih memilih....

Aku diam menatap Dita lalu berkata pelan, “Maaf...” Aku mengerti benar kenapa reaksi Dita sampai segitu marahnya. Karena nanti adalah malam yang ia tunggu-tunggu.

“Kamu jahat Yan, jahat. Kamu gak sayang sama aku, hiks. Ternyata aku bukanlah orang yang penting buat kamu, hiks.” Dita menangis lalu pergi begitu saja masuk ke dalam rumah.

Tanganku terkepal, aku marah dan kesal. Namun aku tidak tahu mesti marah kepada siapa? Aku tidak bisa menyalahkan Dita. Mau menyalahkan teman-temanku juga tidak mungkin. Menyalahkan Pak Tomo karena dia yang menentukan hari? Sepertinya  hal ini diluar jangkauan beliau.

Aku menatap ke arah jendela kamar Dita yang terbuka. Aku yakin Dita menangis di dalam kamarnya sekarang.

Besok sayang, besok akan aku jelaskan semuanya setelah pertarunganku usai. Aku harap kamu mengerti.
.
.
.
Lamunanku pecah saat teman-teman mulai terllihat resah mendapat provokasi dari rombongan geng bermotor yang tadi lewat depan rumah Zen. Rombongan tersebut sepertinya dari anak kelas 2 sekolah kami. Selain itu, Yosi juga mulai kehilangan ketenangannya dengan berulang-kali memanggil-manggilku.

“Kamu ribut amat sih Yos. Ganggu orang lagi baca Koran aja,” kataku kesal.

Setelah memberikan penegasan sekaligus gambaran ke teman-teman tentang potensi bahaya yang akan kami hadapi sebentar lagi, aku lalu berjalan mendahului teman-teman. Ketika mereka membukakan jalan dan membiarkan aku lewat, aku melihat tatapan penuh kemantapan dari sorot mata teman-teman. Dan itu membuatku senang. Saat berjalan beriringan bersama teman-teman menuju sekolah, aku membuka ponsel dan menulis pesan WA ke Dita.

YANDI
Happy new year Dit.
Besok aku jelaskan semuanya.
23.36

Aku mengucapkan selamat tahun baru kepada Dita lebih awal karena aku yakin tidak akan sempat mengirimkan pesan tepat jam 12 malam karena saat itu bisa jadi bersamaan dengan dimulainya kami para bajingan menuntaskan semua urusan hingga selesai !

Namun aku kecewa karena pesan yang aku kirim hanya bertanda centang 1, artinya pesanku belum masuk ke WA Dita. Dari sore aku perhatikan nomor ponsel Dita sudah tidak aktif, sepertinya dia sengaja mematikan ponselnya. Yasudahlah, semoga kemarahan Dita sudah reda ketika ia mengaktifkan kembali ponselnya dan membaca pesanku.

Aku pun ikut mematikan ponselku dan kumasukkan ke saku jaket karena aku juga tidak ingin terganggu.

Saat berjalan, aku memikirkan tentang ketiga puluh teman-teman yang mengikutiku sekarang. Mereka semua menaruh kepercayaan besar kepadaku. Dalam hati kecilku, aku bersyukur karena memilih bersama dengan mereka malam ini. Karena setelah aku pikirkan lagi, bukan hanya aku saja yang terpaksa bertengkar dengan pacar masing-masing karena tidak bisa jalan bareng, dengan versi alasan masing-masing, seperti Yosi, Xavi, Wira, Dodo dan yang lain. Hal ini membuat langkah kakiku terasa lebih mantap. Oke, kami semua tidak perlu Cinta malam ini. Ini malamnya bagi kami para bajingan melepaskan semua adrenalin yang tertahan selama ini.

Saat mendekati gerbang sekolah, ada beberapa orang yang belum pernah aku lihat sebelumnya, mereka tengah berjaga dan sepertinya tidak membiarkan sembarangan orang masuk ke dalam gerbang. Saat kami semakin dekat, salah seorang di antara mereka mengangguk kepadaku lalu pintu gerbang yang terbuka setengahnya, dibuka semakin lebar. Setelah kami semua masuk, pintuk kembali ditutup setengah. Aku lalu mendengar bisik-bisik dari Xavi. Ia terlihat curiga sekaligus khawatir.

“Biarin saja, gak usah di pedulikan,” kataku.

Saat kami sudah melewati lobi dan berjalan melintasi lapangan, aku bisa merasakan hawa permusuhan di sekelilingku.

“Wah..wah..ada segerombolan anak sok jagoan mau ikut pesta nih!”

“Masih ada waktu kalau kalian enyah dari sini.”

“Permisi, ada anak-anak cupu mau lewat, hahaha!”

“Anjing-anjingnya Axel nih yee!”

Aku mendengar intimidasi, provokasi, ejekan dari berbagai penjuru saat kami lewat. Aku yakin mereka gabungan dari anak buah Oscar. Aku sih tidak merasa terganggu. Hanya saja, intimidasi ini akan menjatuhkan mental teman-temanku.

“Tenang teman-teman. Gak usah di gubris. Simpan kemarahan kalian buat nanti," kataku.

Mereka semua mengangguk dan sekilas aku menatap ke ekspresi teman-teman, aku senang karena mereka semua tetap tenang. Mental mereka memang sudah kuat, hanya butuh sedikit dorongan. Aku langsung berjalan menuju aula yang ada di lantai 2. Saat kami masuk, di pojokan ternyata sudah berkumpul anak kelas 3 termasuk Feri, Deka, Darma dan tak ketinggalan Jati.

“Ayo kita hampiri anak kelas 3 dan salami mereka semua satu persatu. Karena kita tetaplah junior mereka dan kita mesti tunjukkan rasa hormat. Apalagi kita akan berada di pihak yang sama malam ini.”

Aku menyapa dan menyalami anak kelas 3 satu-satu dan diikuti oleh semua temanku yang lain. “Jarak” yang tadinya terasa antara kami junior dengan para senior mulai terkikis. Mereka sepertinya jadi segan kepada kami karena sikap yang kami tunjukkan. Di saat semua teman-teman lain berbincang-bincang dan berbaur dengan anak kelas 3, Jati memanggilku. Jati sedang berbicara dengan Feri. Aku pun mendatangi keduanya.

“Sini Yan, kita bertiga perlu ngomong sebentar,” ujar Jati saat aku, Jati dan Feri berbicara bertiga, agak menjauh dari semua orang.

“Kalau gue lihat, lo datang bawa sekitar 30 puluhan orang ya?” tanya Feri.

“Iya, kurang lebih.”

“Gue salut karena elo punya anak buah sebanyak itu dalam waktu singkat,” tukas Jati.

“Ehm, aku lebih suka menyebut mereka dengan ‘teman’ sih daripada ‘anak buah’.”

Jati tertawa lalu menepuk pundakku.

“Sebelum gue kasih tahu beberapa hal ke kalian berdua, Yandi. gue rasa elo uda kasih tahu ke teman-teman elo tentang potensi bahaya jika datang kesini kan? Ini bukan main-main atau pesta malam tahun baru,” tanya Feri sambil membenarkan letak kacamatanya.

“Iya, aku sudah sampaikan dan kami sudah siap dengan segala resikonya,” tegasku.

“Bagus ! Orang-orang gue kurang lebih ada 60an orang. Jati bawa 40 orang dan elo 30 orang. Jadi kurang lebih kita ada 130an orang. Hanya saja dengan jumlah seperti ini pun kita tetap kalah jumlah dengan Oscar. Perbandingannya satu lawan 2. Namun itu bukan perbandingan yang buruk, karena lebih baik daripada perkiraan gue sebelumnya yakni satu lawan tiga.”

“Satu lawan dua? Ya lumayanlah. Meskipun lawan kita bukan kroco biasa saja.”

“Gue tekankan satu hal, kita ada misi penting malam ini. Malam ini bukanlah tawuran asal-asalan. Ini lebih ke adu strategi.”

“Wait, maksud lo? Setahu gue, tawuran ya hajar aja semua lawan yang ada di depan mata, sampai lawan abis atau kita yang dihabisin duluan,” tanya Jati. Sementara aku diam saja, namun arah pembicaraan Feri sepertinya aku tahu mengarah kemana.

Feri menggeleng mendengar perkataan Jati.

“Bukan, bukan seperti itu. Tawuran kali ini akan ada semacam hirarki. Hirarki dimana kelompok kita akan terbagi menjadi beberapa tipe. Ketika nanti bentrokan dimulai. Gue, Darma, Deka, elo Jat dan elo Yan, gue harap tetap tenang liat situasi, jangan langsung masuk. Biarkan teman-teman kita bertindak sebagai pembuka jalan. Tunggu aba-aba gue. Dalam hal ini, gue minta kalian berdua untuk nurut gue. Bukan karena gue lebih jagoan atau apa, namun ini penting. Mengerti?”

“Oke!” aku setuju dengan apa yang dikatakan oleh Feri.

Jati tidak langsung menjawab atau menyetujui omongan Feri. Jati justru celingak-celinguk melihat ke arah anak kelas 3 dan kelas 1 yang sedang berbaur. Dia nampak gelisah.

“Bentar-bentar. Pada dasarnya gue setuju sama elo Fer. Cuma si bule itu kok gue belum liat? Dan tadi lo juga gak nyebut Axel. Axel dimana?”

Ah, pantas. Aku juga merasa ada yang kurang, ternyata aku belum melihat keberadaan Axel. Ais aku jadi ikut gelisah.

“Itulah kenapa gue minta kalian berdua untuk gak langsung ke tengah bentrokan. Idealnya, ketika teman kita saling bentrok sebagai pembuka jalan. Lalu kita akan melawan para dedengkot dari kelas 2 ditambah dengan Opet dan Ander. Kita semua bertarung untuk ‘menyiapkan’ pentas buat Axel melawan Oscar.”

“Cih, Axel memang bangsat. Penyakit suka telat dalam segala hal, termasuk suka telat datang kalau tawuran, masih aja belum sembuh. Bangke. Semoga ketika Oscar mulai bergerak, Axel sudah datang kesini. Karena kalau dia gak datang, posisi kita gawat. karena Cuma Axel satu-satunya lawan sepadan buat Oscar.”

“Justru itulah masalah yang kita hadapi sekarang,” sela Feri.

“Masalah? Masalah apaaan lagi sih?”

“Tidak ada yang tahu keberadaan Axel sekarang.”

Aku dan Jati sama terkejutnya mendengar hal tersebut.

“Lo berlebihan kali Fer, itu anak kan memang susah di cari. Tar dia pasti datang.”

“Bang, Axel udah tahu kan tentang acara malam ini?” aku khawatir Axel justru tidak tahu tentang pesan dari Pak Tomo kemarin.

Feri menggeleng. “Dia sudah tahu, justru dia yang lebih dulu memberitahu gue kemarin saat di pensi tentang acara malam ini, sebelum pesan berantai dari Pak Tomo beredar di kalangan para bajingan. Jat, gue siang tadi ke rumahnya namun kata bibinya, dari kemarin Axel belum pulang ke rumah. Gue telpon nomor ponselnya tidak aktif, gue kontak Jojo, sepupu Axel yang juga drummer APOLLO, dia bilang terakhir sama Axel ya kemarin setelah dia kolab sama Vinia di Big Bang. Begitu selesai perform, Axel menghilang.”

“Si anjing, jangan-jangan dia lagi asyik ngentot sama cewek di malam tahun baru, bangsat ! Jadi untuk saat ini kita tidak bisa mengandalkan Axel.” umpat Jati kesal.

“Yang mau gue bilang adalah, kita buang dulu pikiran Axel akan datang. Ini skenario terburuk dan sayangnya bisa jadi kenyataan.”

“Jangan bercanda lo Fer. Kalau gak ada Axel,siapa yang akan lawan Oscar? Elu? Sori tanpa ngecillin kemampuan lo, lo yang sekarang bukan tandingan Oscar. Bahkan kalau gue jujur, di pertarungan lo dulu lawan Oscar, ketika banyak orang bilang kalian sama kuat dan hasilnya imbang, Oscar jauh lebih superior,” ucap Jati terus terang.

“Iya, gue yang akan melawan Oscar. Gue juga tahu kalau Oscar itu kuat, boleh dibilang gue beruntung di perkelahian yang dulu. Hanya saja, kalau Axel tidak datang sampai situasi benar-benar genting, gue yang akan menghadapinya. Gak mungkin juga Yandi atau elo yang head to head dengan Oscar kan?” ujar Feri membalas ucapan Feri dengan sindiran.

Kampreet, aku benar-benar tidak menyukai situasi ini. Peran Axel sangat vital malam ini, jika memang dia menghilang dan tidak datang malam ini, kelompok kami benar-benar dalam bahaya.

“Tanpa gue bermaksud menambah rasa khawatir kalian, gue akan tunjukkan sesuatu yang bisa saja kalian akan setuju dengan asumsi gue tadi kalau bisa jadi Axel tidak akan datang kesini.”

Aku dan Jati berpandangan. Feri lalu mengeluarkan ponsel dan menunjukkan sebuah foto kepada kami berdua.

“foto ini diambil diam-diam oleh Faiz, salah satu teman sekelas gue dini hari tadi sekitar jam 1an di Fortune Night Club.”

Foto tersebut nampak gelap, namun wajah kedua wajah yang menjadi fokus di foto tersebut tetap terlihat. Salah satunya adalah Axel yang tengah duduk sambil memegang sebotol bir dan tertawa. Axel terlihat santai. Sementara orang yang sedang bersama Axel, tengah merokok dan memegang gelas kecil. Teman Axel ini terlihat misterius namun keduanya terlihat akrab.

“Apanya yang aneh dari foto ini? Axel sedang minum-minum. Terlihat normal,” kataku.

Jati lalu melihat ke arahku, ia terlihat pucat.

“Masalahnya bukan di Axel. Namun yang menjadi masalah adalah orang yang sedang minum-minum sama Axel. Orang yang sedang bersama Axel adalah bajingan nomor 1 sekolah yang menjadi musuh besar sekolah kita….,” papar Jati pelan.

“Anton.” Nama tersebut meluncur otomatis dari mulutku saat mendengar akhir kalimat Jati. Aku sudah sering mendengar nama tersebut baik dari cerita teman-teman maupun Axel. Bahkan Axel secara spesifik meminta aku dan Zen untuk tidak terlibat konfrontasi langsung dengan Anton karena saking berbahayanya Anton.

Namun aku bingung melihat foto Axel dengan Anton ini. Mereka terlihat santai dan juga akrab.  

“bangsat….bangsat….bangsatttt!” gumaman Jati berubah menjadi amarah.

“Tenang Jat. Lo jangan sampai ngebuat anak-anak lain cemas.”

“Siapa saja yang sudah melihat foto Axel dengan Anton?” tanya Jati.

“Hanya Faiz, gue dan elo berdua.”

“Baguslah, kalau anak-anak lain liat foto ini, bisa gempar anak-anak. Lo hapus aja Fer. Dan lo minta Faiz juga hapus dan tutup mulut.”  

“Gak, gue gak akan hapus. Foto ini akan gue pakai jika Axel sama sekali tidak muncul malam ini dan membuat kita semua berada dalam bahaya. Besok gue akan cari Axel, begitu ketemu gue akan lempar foto ini dan menuntut penjelasan dari dia. Kalau perlu gue akan hajar dia seandainya dugaan gue terbukti.”

 Dugaan? dugaan apa bang?”

“Dugaan kalau Axel dan Anton bekerjasama untuk memancing keributan skala besar antara sekolahan kita. Entah bagaimana Axel berhasil memprovokasi Oscar untuk bergerak dan memulai perebutan kekuasaan di sekolah kita. Lalu Axel akan membiarkan Oscar menang malam ini. Begitu Oscar menang, dia akan menyerang STM XXX. Lalu Anton dan anak  buahnya yang sudah bersiaga, akan menghancurkan Oscar dan kita semua. Dengan begitu STM XXX akan menjadi sekolah terkuat. Axel? Axel belakangan ini sering bertindak aneh dan sering berkata dia akan pensiun menjadi anak nakal.”

Aku terpana mendengar teori konspirasi Axel dengan Anton menurut Feri, sahabat Axel. Aku jelas sama sekali tidak mempercayainya. Itu tidak mungkin. Axel tidak mungkin memiliki rencana sejahat itu.

“Kalian berdua tahu gak kalau Axel itu setiap tahun dia pindah sekolah?alasan dia pindah selalu berhubungan dengan tindak kekerasan. Semua sekolah yang di tinggalkan Axel selalu terlibat dalam keributan besar, tawuran yang memakan korban jiwa tidak sedikit. Sementara itu, Axel akan melenggang pergi pindah ke sekolah lain. Namun itu semua jarang di angkat menjadi berita nasional. Intinya semua sekolah yang di tinggalkan Axel akan terajdi tawuran besar-besaran.

Satu lagi, Lo semua pernah punya pikiran gak kenapa sekolah kita yang terkenal ketat, bisa membiarkan siswa seperti Axel yang suka bolos, berbuat onar dan bahkan menjadi satu-satunya siswa yang tidak naik kelas, namun tidak dikeluarkan dari sekolah kita? Itu semua berkat besarnya pengaruh ayah Axel. Ayah Axel adalah salah satu pemimpin partai politik terbesar di negeri ini. kekuasaannya besar. Sudahlah. Sebaiknya kita bersiap. Tolong jangan sebarkan apa yang kalian dengar barusan tentang Axel.”

Jati terdiam lalu menyulut rokok. Sambil berlalu pergi ia mengumpat “bangsat..semua orang memang bajingan yang tidak bisa dipercaya.”

Sementara aku tetap diam. Aku masih kesulitan memahami perkataan Feri tentang Axel. Feri meninggalkanku yang berdiri mematung. Namun saat ia berdiri tidak jauh di belakangku, Feri berkata sesuatu.

“Lo tahu gak Yan orang-orang dari sekolah lamanya Axel, menjuluki Axel dengan sebutan apa? Joker. Axel The Joker.”

Kemungkinan adanya kongkalikong antara Anton dengan Axel yang diutarakan Feri, sahabat Axel terdekat saat ini, masih sukar aku percaya. Axel menginginkan kekalahan sekolah SMA NEGERI XXX dan membiarkan sekolahan kami dalam cengkraman STM XXX masih terasa gak logis. Untuk apa dia melakukannya? Dan kenapa? Satu-satunya hal yang menurutku masuk akal dari perkataan Feri adalah tentang keanehan sikap yang ditunjukkan Axel akhir-akhir ini bahwa ia tidak akan peduli lagi dengan semuanya ketika ia kelas 3 nanti. Terdengar aneh memang. Namun mendengar kecurigaan Feri dan segala konspirasi yang ia jabarkan, bisa jadi Axel memang memiliki tujuan tersembunyi.

Setelah membuat Vinia patah hati, puas meniduri semua cewek di sekolahan dan yang terakhir, membuat semua orang terlibat perkelahian besar, terlepas dari siapapun yang menang malam ini, Axel akan melenggang pergi dari sekolahan ini dengan bebas di tengah kekacauan besar. Aku geram dan darahku mendidih jika itu memang yang Axel inginkan.

Bajingan...

Namun harus aku akui, hati kecilku berkata, jangan sampai dugaan tersebut terjadi. Pliss Axel, kamu harus muncul malam ini dan melawan Oscar. Sampai kamu datang, aku dan teman-teman akan bertahan sekuatnya. Kamu belum muncul sebelum tawuran saja, keyakinan kami dari tujuan perkelahian malam ini sedikit goyah, entah apa yang terjadi jikalau Feri tidak mampu menang melawan Oscar, seperti prediksi Jati. Mental kami akan benar-benar runtuh.

“Yan, kamu itu pinter, lebih pinter daripada kami semua. Cuma kamu tuh orangnya terlalu banyak pikiran. Terlalu jauh kamu mikirnya. Kalem aja Yan, satu-satu mikirnya. Jalanin aja dulu apa yang ada di depan mata.”

Di saat aku bimbang dan pusing karena begitu banyak hal aku pikirkan menjelang tawuran, aku teringat nasihat sahabatku dari kampung, Wawan.

Wawan yang berangasan, bisa memberikan nasihat yang bisa terus aku ingat.

Aku menepuk wajahku dengan kedua tangan cukup keras, untuk mengusir segala pikiran negatif. Makasih Wan. Kapan-kapan aku pengen main lagi ke kampung, nongkrong sama kamu dan teman-teman lain. Namun sebelum itu, biar aku hantam semua lawanku malam ini.

Aku lalu kembali ke barisan dan tak lama kemudian pintu utama aula terbuka lebar saat puluhan orang dari pihak Oscar masuk ke dalam aula. Derap langkah mereka terdengar jelas. Tatapan mereka nampak menusuk dengan segala aura permusuhan yang sangat kentara. Pertunjukkan betapa banyaknya anak buah Oscar aku yakin cukup mengoyahkan mental para lawan. Namun kami sudah siap. Oscar masuk ke dalam aula paling belakangan bersama dengan Budi, Opet dan Ander. Mereka lalu berdiri berhadapan dengan kami di sisi aula yang lain. Ada jarak kurang lebih 50-60 meter di antara kedua kelompok.

Kami semua terdiam, saling menatap, tidak ada yang bersuara atau melancarkan provokasi. Sepertinya semua saling mengukur kekuatan. Jika melihat ekspresi mereka, sepertinya Oscar cs tidak menyangka dari kelompok kami bisa mengumpulkan orang sebanyak ini. Meskipun dari awal kami sudah tahu akan kalah jumlah, namun hal itu tidak mengurangi keberanian kami untuk datang kesini. Secara kasar, aku memperkirakan Oscar membawa kurang lebih 200an orang.

130 vs 200.

Komposisinya tidak terlalu buruk.

Berkumpulnya 300an bajingan di satu tempat seperti ini, langsung membuat hawa terasa sesak dan panas. Ventilasi udara yang ada di aula seperti tidak terasa karena tensinya. Aku lihat Yosi dan banyak kawan lain melepas jaket. Keheningan di dalam aula ini membuat kami semua bisa mendengar segala keriuhan yang terjadi di jalanan yang tidak jauh dari sekolah. Keriuhan menjelang malam pergantian tahun baru. Saat melepas jam tanganku, rupanya 5 menit lagi tahun baru. Setelah menitipkan jam tangan, dompet, ponsel dan jaket ke dalam tas Wira yang di taruh di belakang, aku pun melepas jaket. Dan memulai sedikit pemanasan dengan memutar-mutar kepala, melemaskan kedua pergelangan tangan. Aku juga mengamati teman-temanku. Aku lumayan lega karena Xavi berdekatan dengan Yosi. Aku yakin Yosi bisa menjaga dan memback-up Xavi yang baru pertama ini akan terlibat konfrontasi secara besar-besaran. Sementara Zen aku lihat di berdiri diam, dia menatap lurus ke arah lawan di sana. Aku yakin ia sedang beradu pandang dengan Budi. Kedua tangan Zen terkepal erat. Dendam Zen kepada Budi sebentar lagi akan dilampiaskan.

Dari tatapan mata dan ekspresi Zen, terlihat aura dia begitu “gelap”.

Aku sudah tidak asing lagi dengan tatapan semacam itu. Tatapan seorang predator kepada mangsanya. Semoga Zen masih memiliki kontrol dan tidak berbuat terlalu jauh. Kalaupun Zen nanti memang lepas kendali, aku harap pada saat itu aku bisa menghentikannya. Atau teman-teman lain bisa mencegah Zen ya katakanlah sampai hati membunuh Budi.

Aku lalu memfokuskan pandangan ke arah depan. Melihat begitu banyak lawan di sana, aku mesti bermain efektif. Setiap 1 pukulan atau tendangan harus langsung membuat mereka pingsan atau minimal tidak bisa bangkit lagi. Tentu saja daya hantaman mesti aku sesuaikan biar tidak berakibat fatal. Samar-samar kami bisa mendengar bahwa hitung mundur menuju tahun baru sudah dimulai.

“Sepuluh !”
“Sembilan !”
“Delapan !”
“Tujuh !”
“Enam !”
“Lima !”
“Empat !”
“Tiga !”
“Dua !”
“Satuu !!”

HAPPY NEWWW YEAAARRRR!!!!!

Desingan kembang api yang meluncur ke langit malam lalu meledak menimbulkan percikan warna-warni, suara terompet yang ditiup keras-keras oleh semua orang terdengar sangat jelas. Di saat semua orang bersuka cita, maka semua orang di sini juga merasakan suka cita. Suka cita karena akhirnya setiap dendam, amarah akan dilampiaskan disini. Teriakan kami semua lalu disusul dengan bergeraknya 2 massa yang bergerak bersamaan menuju titik tengah. Ini seperti [i]wall of death[/i] yang bisa dilakukan para penonton di konser metal.

FINAL CLASH SUDAH DI MULAI !!! Adrenalinku iku naik ! Secara reflek aku juga ingin segera ikut maju namun Feri mengingatkanku untuk menahan diri dan melihat situasi. Jadi aku bersama Feri, Jati, Deka dan Darma tetap berdiri diam memperhatikan dua arus massa pun beradu keras ! Teriakan mereka bersahut-sahutan seiiring dengan pukulan dan tendangan membabi buta ! Ini adalah tawuran yang paling masif yang pernah aku ikuti. Meskipun kami kalah jumlah, kami ternyata masih bisa mengimbangi kebringasan lawan. Karena di tengah menjadi area paling berbahaya, aku lihat beberapa teman termasuk anak kelas 1 dan kelas 3 menjauh dan memisahkan diri untuk menarik lawan, dan cara itu lumayan berhasil. Karena di tengah sana banyak serangan liar. Hanya saja, keunggulan lawan dalam hal jumlah mulai terlihat. Kami pun terdesak dan banyak yang bertumbangan karena ada yang 1 lawan 2-3 orang sekaligus. Dan situasi menjadi semakin genting tatkala pentolan bajingan dari kelas 2 juga mulai turun tangan.

Sebelumnya aku perhatikan ketika pecah tawuran, Oscar dan orang-orang terdekatnya masih terlihat santai dan merokok. Begitupun juga bajingan dari kelas 2 seperti Edgar, David dan lainnya. Oh tawuran gaya anak kota sepertinya memang seperti ini ya. Katakanlah biar para anak buah yang maju duluan, para bosnya memantau dulu sebelum turun langsung ke arena. Beda dengan tawuran ala anak kampung macam aku dulu. Semua langsung maju dan serang bareng, pokoknya frontral.

Masuknya pentolan bajingan kelas 2 membuat kami semakin terdesak dan tercerai berai. Di tengah suasana chaos, dimana sudah mulai banyak orang yang pingsan, terkena serangan dan tak mampu bangkit lagi dari kedua belah pihak, aku mendapati Xavi ternyata sedang berhadapan dengan David, salah satu bajingan kelas 2. Melihat Xavi yang mulai terdesak, aku mulai tidak sabaran. Namun Jati memegang pundakku.

“Mau sampai kapan lo bertindak jadi pahlawan dengan menolong semua teman-teman lo? Teman lo datang kesini, gue yakin mereka sudah siap dengan ini semua. Termasuk Xavi. Jangan membuat mereka manja dengan selalu berharap bantuan dari teman. Apalagi Xavi vs David, keduanya berhadapan satu lawan satu. Kalaupun Xavi kalah, biarkan dia kalah secara fair. Karena semua orang tidak ada yang tidak pernah kalah. Beda cerita kalau Xavi kalah, namun David tetap menyerangnya. Itu tindakan pengecut, baru lo bisa bantu. Sebentar lagi Yan, bentar....” Jati menasehatiku agar aku tetap tenang.

“Darma, Deka. Lo berdua turun. Kasih dorongan semangat ke anak-anak yang masih bertahan dan yang masih sanggup berdiri untuk bangkit lagi !” Feri meminta kedua teman dekatnya untuk turun tangan.

“Gak dari tadi kek lo kasih aba-aba! Tangan gue udah gatel !! Ayo Deka ! Kita bersenang-senang !”

Darma melesat maju ke tengah diikuti oleh Deka.

“Perhatikan mereka baik-baik Yan, perhatikan pengaruh keduanya,” ujar Feri sambil melihat ke arahku. Ketenangan Feri baik dari ucapan dan ekspresinya membuat aku juga mulai tenang kembali. Untuk saat ini, Feri adalah panglima perang, bukan Axel. Jadi aku mesti mengikuti perintah Feri.

Menuruti perkataan Feri tersebut, aku memperhatikan sepak terjang Deka dan Darma. Meskipun cuma dua orang, namun kehadiran mereka menghajar dan menyerang lawan membuat keadaan mulai berubah. Semangat keduanya memantik teman-teman yang lain.

“AYO SERANG PARA BAJINGAN TENGIK INI !” seru Darma membakar suasana ketika berhasil mengalahkan 4 orang sekaligus yang berusaha mengeroyoknya.

“YEAHHH !!!”

Luar biasa. Aku terkesima dengan dampak keduanya. Seperti aku mulai paham dengan gaya tawuran anak kota. Tawuran itu pada dasarnya perkelahian massal yang menguras tenaga dan juga berbahaya. Kekuatan dan faktor fisik berpengaruh sekali, namun ada hal lain yang juga tak kalah penting yakni mental. Kalau orang baru mulai tawuran sudah terkena serangan pertama dari lawan, biasanya mentalnya akan goyah. Kalau mentalnya lemah, sudah pasti dia tidak akan bisa bangkit lagi. Jika mentalnya kuat, dia akan membalas serangan tersebut dibayar kontan 2 kali lipat. Kedatangan Feri dan Deka di tengah “pesta” membuat mental teman-teman yang tadinya menurun, kembali membara. Sambil menahan rasa sakit, mereka memukul balik para lawan.

Hanya saja, tiba-tiba kami disuguhkan demontrasi kekuatan yang sesungguhnya dari pihak lawan. Darma bertindak nekat dengan mendatangi Opet dan memukulnya. Telak kena pipi Opet. Cuma Opet masih berdiri tegak dan mengusap pipinya sambil tertawa. Dari kejauhan lalu kami melihat bagaimana Opet yang bertubuh lebih tinggi daripada Darma, langsung menandukkan kepalanya ke arah Darma. Kemudian menendangi Darma yang sudah tidak berdaya. Dua sampai tiga orang teman mencoba menyerang Opet yang tak henti menginjak-injak Darma. Tetapi dengan mudah ketiganya tersungkur tak mampu menahan kebringasan Opet. Melihat hal itu, membuat nyali teman yang lain ciut untuk menolong Darma yang kepalanya di injak Opet. Sama halnya dengan Opet, kedua anjing Oscar lainnya Ander dan Budi benar-benar menghabisi satu persatu teman kami yang masih bertahan.

“Monyet memang tiga binatang peliharaan Oscar ! Fer, kita harus turun tangan sekarang! Mental dan nyali anak-anak mulai drop!” tukas Jati yang sepertinya sudah sama seperti aku, mulai gatal ingin turun gelanggang.

Feri diam tidak menyahut. Ia memutar-mutar lehernya, memijati buku-buku tangannya hingga berbunyi tek-tek. Setelah kacamata dan jaket ia taruh di sisi belakang, tempat kami menaruh tas, barang dan lainnya, Feri menatap kami berdua.

“Opet jatah gue, heee!” lalu Feri berjalan pelan lambat laun jadi cepat dan kemudian ia berlari sambil berteriak.

“hahahaha ! Ayo Yan !! Kita berpesta tahun baru ala bajingan kota !”

Jati berlari mendahuluiku. Aku pun ikut berlari menuju pusaran perkelahian. Sekilas aku heran karena Oscar masih belum bergerak di belakang sana, ia merokok sendirian. Sepertinya Oscar sama seperti kami semua, menunggu kedatangan Axel, rival utamanya. Baguslah, jangan sampai Oscar bergerak dulu ! Sementara itu aku langsung dikepung tiga sampai empat orang. Sepertinya mereka berasal dari kelas 2.

“Sok jagoan lo babi !”

“Bantai nih bocah belagu!”

Aku biarkan mereka berkata apa saja. Aku bersikap waspada saat mereka berpencar mengelilingiku, tetapi justru terlihat mereka saling tunggu hingga salah seorang di antara mereka memilliki inisiatif menyerang aku duluan. Hoho sepertinya mereka tahu kalau aku pernah membantai Nando anak kelas 3 dulu, jadi sepertinya mereka sedikit gentar dan beraninya keroyokan. Kalau posisi dikepung dari segala arah gini, biasanya orang yang dibelakangku yang akan memulai serangan.

Dan benar saja. Aku merasakan  orang di belakang menerjang. Karena sudah terbaca, gerakannya, aku meloncat sambil menendang ke arah belakang dengan kaki kiri. Tendanganku tepat mengenai wajahnya, membuat si penyerang terjengkang dan memegangi hidungnya yang langsung mengucurkan darah segar.  Aku memanfaatkan rasa kaget dari ketiga orang lainnya melihat salah satu teman mereka kalah. Kuhantam rahang lawan di depanku, lalu aku lanjutkan dengan memukul lawan di sebelah kanan. Keduanya roboh. Namun serangan lawan dari sisi kiri tidak sempat aku elakkan. Satu pukulan bersih mengenai  pipi. Panas tetapi tidak cukup kuat untuk membuatku mengaduh kesakitan. Pukulan susulan aku tepis lalu aku balas dengan hantaman lutut ke arah perut. Ia tertunduk di lantai tanpa bisa berkata-kata lagi. Saat aku hendak menolong Astra yang nampak kewalahan karena melawan dua orang, aku dicegat lima orang sekaligus.

“Hoho, hebat juga lo Yan kalahin empat anak buah gue,” ujar seseorang yang maju beberapa langkah ke depan.

“Edgar...”

Edgar disebut sebagai bajingan kelas 2 yang paling kuat di bawah Bram. Namun melihat dari gelagatnya, sepertinya dia licik. Dan benar saja, Edgar lalu meminta keempat anak buahnya mengelilingiku.

“Kalau lo bisa sekali lagi ngalahin mereka, baru lo pantas [i]head to head[/i] sama gue. Serang!”

Mendengar perintah Edgar, keempat orang langsung menyerangku bersamaan. Dalam situasi seperti ini, sudah pasti ada beberapa serangan yang akan mengenaiku telak, namun aku juga punya strategi sendiri. Aku maju menerjang lawan yang datang dari arah depan, setelah terhindar dari uppercut lawan. Ku tinju mukanya dua kali hingga kepalanya tersentak. Karena aku fokus menyerang lawan di depan, akibatnya aku terkena tendangan ke arah perut dan pukulan ke wajah dari arah samping. Orang yang dibelakangku menambah dengan sebuah tendangan ke bagian punggung. Membuatku terdorong ke depan sambil meringis. Kemudian ada tangan dari arah belakang yang mencoba mengunci tanganku. Tenaganya lumayan tetapi masih belum cukup menahanku. Aku hentakkan kepalaku ke belakang sehingga mengenai wajah lawan yang di belakang. Lalu aku remas pergelangan kiri tangan yang berada di bawah ketiak kiriku. Aku lalu berputar menghadap ke belakang sambil melayangkan tinju.

BUGH !

Ia terhuyung ke belakang lalu pingsan. Aku merasa ancaman bahaya dari belakang dan kembali berputar. Aku terkejut karena melihat salah seorang penyerang mengayunkan tongkat bisbol ke arahku. Karena tak sempat mengelak, aku menyilangkan kedua tangan sehingga membentuk huruf X.

Aku meringis kesakitan, karena menahan serangan tongkat dengan tangan. Nyeri sekali, cuma kalau tidak aku tahan, bisa mengenai kepala dan berakibat fatal. Aku langsung marah, naik pitam karena mereka bertindak pengecut dengan membawa senjata kesini ! Aku langsung menggenggam ujung tongkat dan kusodokkan ke depan hingga mengenai mulut lawan yang membawa tongkat. Mulutnya berdarah, reflek ia melepaskan genggaman di tongkat. Aku rampas rongkat tersebut lalu aku buang jauh-jauh.

“PENGECUT !” teriakku sambil menyapu kaki lawan hingga jatuh. Lalu aku injak kepalanya hingga terbentur di lantai. Ia pingsan.

BUGH !

Satu lawan tersisa bereaksi dengan menendang ke badan dan mengenai pundak kiri, aku mengeram kesakitan. Saat ia mengayunkan kaki hendak kembali menendangku, pada saat yang sama aku memukul tulang keringnya.

“Arrgghhh!!”

Ia berteriak sambil mengangkat kaki kiri, memegangi kaki kirinya. Karena ia berdiri dengan satu kaki kanan, aku tendang area belakang persendian kaki kanan. Dan ia pun mengerang semakin keras sambil bergulingan di lantai.

BUGH !! BUGH !! PAGH !! PAGH !! PAGH !!

Edgar mengambil kesempatan dengan menyerang tiba-tiba. Dua pukulannya mengenai area mulutku karena tidak sempat aku tangkis, sisanya bisa aku tahan. Aku jelas tidak terima diserang begitu saja, sepersekian detik ketika Edgar berhenti menyerang, aku hujamkan pukulan kiri. Edgar bertindak sigap dengan menutupi wajahnya dengan kedua pergelangan tangan.

BUUGH !!

Edgar terdorong ke belakang karena menahan pukulanku. Meskipun aku gagal menyarangkan pukulan bersih, aku senang karena melihat eskpresi Edgar setelah menangkis pukulanku. Kedua pergelangan tangannya memerah dan terlihat gemetar. Edgar yang tadinya terlihat meremehkanku kini pucat pasi, keringatan. Sepertinya dia kaget karena merasakan kerasnya hantaman tinju kiriku. Belum juga aku hajar pake tinju kananku. Haha dia kesakitan namun masih berusaha sok kuat. Sementara itu aku membuang ludah yang bercampur dengan darah dari dalam mulut, beberapa pukulan membuat bagian dalam mulutku luka.

“Mana sini ajak temenmu lagi. Atau sekarang kamu sudah mau berantem fair satu lawan satu denganku?” ejekku sengaja memanas-manasinya.

Edgar menatapku tajam lalu merogoh saku celananya. Ia mengeluarkan benda berwarna hitam seperti gagang pisau. Brengsek !!! Jadi sekarang dia mau pake pisau lipat? Darahku mendidih berhadapan dengan orang seperti Edgar. Semoga teman-teman yang lain juga menyadari kalau kami berhadapan dengan lawan yang licik, menghalalkan segala cara untuk menang tanpa memperdulikan kebanggan menjadi pemenang dalam perkelahian yang fair !

“Kenapa lo takut? Tenang ini bukan gagang pisau. Tetapi ini jauh lebih menyenangkan daripada pisau. Ini adalah....baton stik.”

Baton stik?

Edgar menekan sesuatu di gagangnya lalu muncul besi panjang berwarna hitam bersusun sepanjang 30-40 cm dan memiliki ujung seperti bola besi. Oh ini yang namanya baton stik

Itu benda berbahaya, praktis dan mematikan. Apalagi di bagian ujung baton stik. Bisa dengan mudah membuat kepala bocor.

Edgar menyeringai. Sepertinya keberanian dan rasa percaya diri Edgar pulih saat memegang baton stik. Namun aku tidak takut sama sekali. Kamu salah orang kalau mengira aku akan gentar melihatmu bersenjata. Jangankan berantem melawan orang bersenjata baton, aku melawan orang yang bersenjata parang pun aku pernah dan tidak gentar. Maka aku pun maju menyerang Edgar terlebih dulu. Edgar mengelak saat aku coba memukulnya, ia membalas dengan memukul tangan kananku. Tanganku langsung terasa panas sekali perih sampai berbekas merah. Kutendang perutnya, namun kakiku justru di pegang Edgar. Edgar hendak memukul kakiku dengan baton. Segera kutarik kakiku sekuat tenaga, kutekuk dan kutendang dadanya. Tidak terlalu keras, namun sudah cukup untuk menghindari pukulan baton ke arah kaki.

Baton brengsek! Benda itu membuat Edgar bisa leluasa memukulku kalau aku gegabah menyerangnya. Aku lalu ingat dulu ketika aku berhasil mematahkan serangan lawan bersenjata parang di kampung. Saat ia mengayunkan parang, aku tahan tangan yang membawa parang lalu aku pukul kuat-kuat badan dan wajahnya. Sepertinya cara ini bisa aku pakai. Namun aku harus membuat Edgar menyerangku terlebih dulu.

“Oh seperti ini ya kualitas anak kelas 2 SMA NEGERI XXX? Kalau berantem bawa senjata. Kok aku jadi malu sendiri ya? Konon SMA NEGERI XXX dihuni para siswa bajingan yang mumpuni dalam urusan berantem. Oh ternyata pada pakai senjata,...” aku mulai menprovokasi Edgar.

Edgar cuma tersenyum lalu menanggapi perkataanku dengan menjawab, “Menjadi pemenang itu yang paling penting, peduli setan kemenangan itu diraih dengan cara seperti apa.”

“Mental culas,” sindirku.

Mata Edgar memicing menatapku. Aku yakin dia benar-benar marah sekarang. Aku pun memasang sikap waspada.

“Coba setelah gue buat bocor pala lo, lo masih bisa sesumbar tentang ‘kemenangan yang bersih’ gak!”

Edgar kemudian menyerangku dengan membabi-buta. Dia mengayunkan baton ke segala arah. Aku mengelak sebisanya karena bisa bahaya kalau kena ujung baton. Hanya saja, aku kewalahan juga hingga di suatu momen, aku terpaksa menangkis dengan tangan kiri lalu aku serang balik.

Itu rencananya.

Namun terjadi hal yang diluar dugaanku.

Saat aku menangkis baton dengan lengan kiri, ujung baton rupanya fleksibel sehingga saat aku tangkis di bagian tengah baton, ujungnya tetap melenting ke arahku dan mengenai kening. Akupun mengaduh kesakitan karena rasa sakit di bagian kening yang terhantam logam besi dan panas di sekujur tangan yang kupakai untuk menahan baton. Aku terdesak karena Edgar langsung menendang perut, hingga aku menunduk. Aku melindungi kepala dengan kedua tangan sambil meringkuk karena Edgar terus memukuli kepalaku dengan Baton.

“MAMPUS LO ANJING ! HIYAAA !!”

BUGH ! BUGH ! BUGH !

Dikuasai rasa pusing yang teramat sangat, panas dan lecet di sekujur kedua lengan, aku mencoba tetap melawan. Karena kalau sampai aku roboh dalam posisi seperti sekarang, aku berada dalam bahaya. Aku pun menubruk Edgar dan mendorongnya. Edgar panik karena ia dipaksa berjalan mundur dengan cepat, seperti orang terseret. Edgar sempat memukul punggungku dengan Baton untuk menghentikan laju terjangan namun aku tidak mempedulikan rasa sakit di punggung. Pukulan baton terhenti ketika Edgar akhirnya terjungkal karena doronganku. Saat Edgar jatuh terlentang, baton terlepas dari gengamannya. Kini aku berada di atas, lalu tanpa ampun aku hajar. Edgar mencoba melindungi wajah dengan membuat bloking. Namun blockingnya dengan mudah aku dobrak. Dari kedua lubang hidung Edgar, darah mengucur deras.

Di saat aku hendak melancarkan pukulan terakhir untuk menyudahi perlawanan Edgar, tiba-tiba ada sekelabatan tendangan datang dari samping ke arahku. Karena tidak sempat untuk mengelak, aku mengeraskan rahang.

BAM !!

Aku terlempar akibat terkena tendangan ke wajah dengan telak dari arah samping yang tidak aku duga.

Sakit asuuuuuuuu !! Namun aku masih bisa tetap sadar. Aku lalu berlutut bertumpu pada lutut kanan, mengatur nafas serta mengembalikan penglihatan yang sempat berkunang-kunang. Dari hidung mengalir darah, rasa masam asin kembali terasa di mulut. Cukup banyak darah saat aku ludahkan. Ketika pandanganku mulai pulih, aku bisa melihat dengan jelas siapa yang sudah menendang mukaku.

Bangsat, Farid rupanya. Dia salah satu pentolan bajingan dari kelas 2, teman Edgar. Farid membantu Edgar berdiri. Edgar sedikit terhuyung-huyung. Setelah bisa berdiri sendiri, Edgar meludahkan darah yang ada di mulutnya. Kantong mata sebelah kanan membengkak. Darah di hidung sudah kering.

“Ayo lanjut,” katanya sambil mengepalkan kedua tangan.

“Lo istirahat dulu, biar gue yang ladenin ni babi,” ujar Farid.

“Enak aja! Pertarungan gue sama keparat itu belum selesai!” teriak Edgar.

Aku memasang konsentrasi penuh menatap Edgar dan Farid. Aku salut sama Edgar karena dia masih belum menyerah dan masih ingin melawanku. Dia tidak sepengecut yang aku kira. Sementara Farid meskipun terlihat masih bugar, wajahnya nampak memar-memar. Aku kemudian berdiri setelah rasa pusing perlahan menghilang, rasa sakit ini masih belum apa-apa. “Daripada kalian ribut, sini kalian maju bareng.” kataku.

Aku mengangkat kedua kepalan tanganku, bersiap untuk sesi selanjutnya dimana kini aku akan menghadapi Edgar dan Farid sekaligus. Mereka berdua bukan orang sembarangan, selain aku mesti lebih waspada terhadap serangan dadakan dari komplotan anak kelas 2, aku mesti meningkatkan daya serang. Makin cepat aku habisi mereka, semakin baik ! Oke akan kuntunjukkan kekuatan seorang anak kampung !

Farid dan Edgar terkejut karena justru aku yang maju mendatangi mereka. Aku berlari lalu meloncat sambil mengarahkan pukulan kepada Farid. Akan kubalas perbuatannya, KONTAN ! Farid yang terkena pukulanku jatuh terduduk, kemudian aku tendang badannya hingga ia tertelungkup. Saat aku hendak menjambak rambutnya, Edgar berhasil memukulku. Pukulan Edgar tidak sekeras sebelumnya. Aku cuma tersenyum. Saat ia kembali memukulku, kutangkap tinju kanannya lalu aku remas kuat-kuat sambil aku puntir.

“Lepasin, sakitt anjing!” teriaknya.

Aku lepas tangan Edgar karena kini aku mencengkeram kerah bajunya dengan tangan kanan. Makan nih tinjuku !!

BUGH !! BUGH !!

Edgar kehilangan kesadaran setelah aku hantam dengan tinju kiri sebanyak dua kali ke arah muka. Tubuh Edgar merosot ke lantai.

BUGH !

Perutku kena tendangan tiba-tiba dari Farid yang sudah bangkit. Ia nampak kesal karena Edgar sudah aku buat pingsan. Ia lantas memukulku membabi-buta sambil merangsek maju, aku sengaja berjalan mundur karena mencari momen. Saat aku mendapat celah, aku melancarkan pukulan yang sekaligus mematahkan serangan Farid. Pukulanku mengenai pundak kanan Farid. Farid melolong kesakitan sambil memegangi pundaknya. Hal itu kumanfaatkan dengan meloncat lalu menendang wajah Farid dari arah bawah. Kepala Farid tersentak ke atas hingga darah muncrat dari mulutnya saat ujung sepatuku mengenai mulutnya.

Farid tergeletak pingsan

“YEAAAAHHHH YANDI  HEBATT !!!!”

Aku mendengar seruan dari teman-temanku yang sudah terduduk di lantai dengan wajah babak belur. Mereka tertawa sambil bertepuk tangan.

“AWAS YAN !” teriak Guntur memperingatkan.

Aku merasakan bahaya dari arah belakang.

DUGH !!

Sebuah pukulan dengan kekuatan yang cukup mengerikan mengenai pundak belakang. Rasanya seperti dihantam dengan palu godam sampai pergelangan lengan jadi serasa ikut mati rasa. Belum sampai disitu, tubuhku meliuk saat kembali satu pukulan bersarang tepat di perut samping kiri. Aku berteriak kesakitan karena terkena dua pukulan tersebut. Di tengah rasa sakit, otak mengirim sinyal kepadaku untuk segera menjauh atau minimal berbalik badan agar serangan lawan berikutnya bisa aku antisipasi. Tapi terlambat karena leherku dijepit dari arah belakang. Aku meronta karena jepitan ini mulai terasa mencekik, tetapi kalah tenaga.

“Mayan juga lo bocah. Mana Axel ? Gue denger lo dekat ya sama dia. Kalau dia gak muncul, gue bunuh lo !” teriak orang yang kini mencekik leherku dengan menjepitkan lengannya. Lengan Opet begitu kokoh membelenggu leher.

Ini suara Opet!

Aku menyodok perut Opet dengan sikut, namun sepertinya tidak berefek. Karena Opet hanya tertawa sambil semakin mempererat jepitannya. Ini kalau aku tidak bisa segera melepaskan diri, aku bisa pingsan bahkan bisa jadi mati tercekik. Di tengah asupan oksigen yang menipis, aku menandukkan kepalaku ke belakang sehingga menghantam wajah Opet. Opet sih kesakitan tetapi jepitannya tidak kendor sama sekali. Yang ada malah membuat Opet makin marah.

Jepitan Opet sedikit mengendur ketika sepertinya ada yang menyerang Opet. Aku tidak tahu siapa, namun yang jelas hal itu membuatku memiliki sepersekian detik untuk segera melepaskan diri. Aku pegang jempol kanan Opet yang terbuka, kemudian aku remas sekaligus aku puntir ke bawah hingga reflek Opet mengendurkan jepitan sambil berteriak. Memang dia pikir, cuma dia yang punya power gede ! Sambil tetap menekan jempol kanan Opet, aku melepaskan diri dengan merosot ke bawah kemudian berbalik badan menghajar si codet ke bagian wajah. Pada saat yang sama, aku sentakkan jempol Opet hingga patah.

“Arrghhhhh!!!” Opet melolong kesakitan sambil memegangi jempolnya.

Sementara itu aku menjauh, megap-megap mengambil nafas. Aku bernafas pendek cepat sesekali terbatuk. Aku lihat di belakang Opet, Farel menarik mundur Riko yang tidak sadarkan diri dengan kondisi mulut berdarah. Sepertinya Riko tadi yang menyerang Opet sehingga membuatku memiliki waktu membebaskan diri dari jepitan Opet. Meskipun akibatnya ia terkena hajar Opet. Thanks Rik !! Aku berhutang kepadamu ! lihat saja akan kuhancurkan si codet ini !

Karena sudah membaik, aku langsung menghambur menyerang Opet. Tetapi pukulanku bisa di elakkan dan sebaliknya aku terkena pukulan balik hingga aku terhuyung ke belakang. Lalu disusul serentetan pukulan ! aku coba tangkis namun Opet sepertinya sudah murka. Mukanya memerah, urat-urat di lehernya nampak menonjol. Sekujur lengan sakit sekali hingga terasa kebas dan satu pukulan tangan kiri mengenai hidung. Membuatku jatuh terduduk. Beruntung aku masih tetap sadar setelah kena hantaman Opet. Tetapi aku nyaris kehilangan kesadaran saat Opet menendang samping kepalaku tepat mengenai kuping kiri. Aku roboh ke samping. Sesaat aku tidak bisa mendengar suara apa-apa, yang terdengar adalah suara desingan panjang. Seperti mendengar suara mikropon yang mengeluarkan ‘nging’ panjang jika terlalu dekat dengan speaker. Perpaduan suara dan rasa sakit akibat tendangan ke arah kepala hingga aku terbentur ke lantai, membuat pandanganku gelap. Antara sadar dan tidak, aku bisa merasakan sekujur badanku diinjak-injak dengan keras-keras. Di ambang hilangnya kesadaran, tubuhku merespon dengan meringkuk dan kedua tangan menutupi kepala.

Di tengah suara desingan dan dengungan di kuping yang tak kunjung hilang, aku masih bisa mendengar suara tawa Opet. Namun aku tidak bisa mendengar perkataannya yang timbul tenggelam di tengah kekacauan yang terjadi di otakku sekarang.

Oh, aku kalah ya. Sekolahanku ternyata memang berisi lawan-lawan buas yang tidak sanggup aku kalahkan. Lawan yang tidak segan membunuh orang. Aku ingin bergerak melawan, namun akumulasi rasa sakit, keletihan luar biasa membuatku tidak sanggup bergerak. Kalau aku pingsan sekarang, sepertinya semua teman-teman tidak akan menyalahkanku. Aku sudah berusaha sekuat tenaga yang aku bisa….

Teman-teman?? Kalau aku pingsan, lalu bagaimana dengan temanku yang masih memberikan perlawanan di sini sekarang? Aku yang membuat mereka datang kesini ! kalau aku kalah sekarang, sama saja aku membuat mereka celaka ! AKU MESTI BANGKIT ! JANGAN PEDULIKAN RASA SAKIT YAN ! KAMU HARUS MENANG DEMI TEMAN-TEMAN YANG MEMPERCAYAIMU !

Aku menggigit sedikit ujung lidahku, sakit ! rasa sakit di bagian lidah seolah membuat semua syarafku yang nyaris tertidur kembali terjaga !

“ZEN KENA TUSUK !!! ZEN KENA TUSUK DI PUNGGUNG !!! ANJINGGGGG!!!! SIAPA YANG TADI MENYERANG ZEN !! ”

Apa? Di saat kesadaranku mulai kembali, amarah yang menginjeksi adrenalin, membuat tendangan-tendangan Opet tidak lagi terasa sakit, desingan suara mulai reda dan aku mulai bisa mendengar suara riuh di aula. Aku mendengar teriakan tersebut dengan jelas !

“Gom!!! Gom tadi yang menyerang Zen dari belakang, tadi gue lihat ia berlari sambil menghunus pisau !! dan setelah menusuk Zen ia berlari pergi. Ayo kita cari si bangsaattt ITU!!”

ZEN DI TUSUK GOM ?

Saat Opet hendak menginjak ke arah wajah, kemarahanku menggelegak ! aku tahan kaki Opet yang sudah di depan wajahku. Opet sepertinya kaget karena aku masih tersadar. Aku puntir pergelangan kaki Opet ke kanan hingga berbunyi. Meskipun ia memakai sepatu bot yang keras, namun amarahku menyulut kekuatan yang meledak-ledak dari dalam diriku!

Opet berteriak sambil memegangi pergelangan kaki kanannya. Ia meloncat-loncat dengan kaki kiri dan ia terjatuh terduduk saat aku tendang kakinya.  Aku tinggalkan  Opet sejenak dan berlari ke arah kerumunan teman-teman. Wira dan Astra tengah memegangi Zen yang sudah tidak kuat berdiri. Di punggung Zen nampak mencuat gagang pisau. Muka Zen yang memar-memar nampak pucat terlihat kontras dengan darah mengering yang bersumber dari luka di bagian pelipis. Aku panggil-panggil namun Zen tidak merespon, kedua matanya terbuka tetapi tatapannya kosong. Ia nampak tersenyum memandang ke depan.

“Cepat bawa Zen ke rumah sakit dan jaga Zen tetap berdiri !!” aku berteriak panik melihat sahabatku tengah sekarat!

Beberapa teman langsung berlarian keluar, mencari bantuan. Astra dan Wira memapah Zen keluar. Persetan dengan perebutan siapa yang menjadi bajingan terkuat di sekolah ini ! nyawa temanku jauh lebih penting. Namun saat aku hendak ikut keluar, Yosi memegangiku.

“Yan, lo tetap disini. Sama gue. Biar Xavi dan teman yang lain membawa Zen ke rumah sakit. Kita gak bisa pergi begitu saja. Urusan disini belum selesai, kita harus balas perbuatan mereka para pengecut di sini !!”

Yosi ternyata yang menahanku. Aku melihat Xavi yang kondisinya terlihat kepayahan babak belur berlari keluar menyusul teman-teman. Sebelum ia pergi, Xavi berteriak sambil menangis.

“BANTAI MEREKA YAN !! BANTAIII !!”

Aku mengangguk.

Yosi benar, saat ini Zen sudah ditemani teman-teman menuju rumah sakit! Aku harus menyelesaikan semua urusan disini dan menuntut balas ! Yosi mengambil stik bisbol yang tergeletak. AKu tidak bisa mencegahnya menggunakan senjata, karena dari pihak lawan yang telah berbuat licik.

Hantam mereka dengan senjata mereka sendiri!!ayo teman-teman ! bangkit dan balas mereka semua demi Zen !!” Yosi bersama teman lainnya berlari menghunus senjata, menyerang pihak lawan yang kini sepertinya jumlahnya seimbang. Dan bentrokan pun kembali terjadi ! amarah kami semua menggelegak! Membuat beberapa lawan kocar-kacir meminta ampun. Meskipun tetap saja masih ada gerombolan dari anak kelas 3 yang memiliki nyali besar, meladeni Yosi dan teman-teman.

Aku diam menatap pemandangan di depan mataku sekarang ini. Aula ini seolah menjadi tempat pembantaian.

Puluhan bahkan ratusan orang bergelimpangan pingsan di segala tempat, beberapa orang yang sadar memilih menepi ke dinding. Jati dan Darma pingsan, sementara Deka terduduk bersandar di dinding sembari memegangi perut. Sesekali ia terbatuk-batuk. Sama halnya dengan para bajingan kelas 2 yang mayoritas sudah menepi tidak sanggup lagi bergerak. Ceceran darah terlihat di sana-sini. Meskipun begitu, semua orang yang masih tersadar, sedang menatap ke satu arah yang sama. Yakni pertarungan Oscar melawan Feri yang terjadi di atas panggung aula. Feri sudah berdarah-darah sementara Oscar meskipun juga babak belur, masih terlihat tangguh.

Bangsaatttt !! jadi Axel memang tidak muncul. Meskipun terlihat masih imbang, namun aku bisa melihat betapa Feri mulai terdesak meladeni Oscar yang menggila.

Namun aku tidak bisa menyaksikan lebih lama, karena ada yang berteriak memanggilku.

Aku menengok dan melihat Opet berdiri sambil memegang pipa besi.

“Urusan kita belum selesai, keparat!”

Hohoho, aku lupa tentang keberadaan Opet. Kemarahan yang bergemuruh di dalam diriku, bisa mendapat pelampiasan.

“Heeeaaaaaaaaaaaaa!!!” aku berlari ke arah Opet yang berdiri membawa senjata. Aku tahu pergelangan kaki kanan Opet terkilir dan ini menjadi keuntunganku karena membatasi gerak Opet. Opet akan menjadi target empuk karena tidak bisa bergerak leluasa!!

WUSSSHHHH !!!!

Aku merasakan bulu kuduk merinding saat pipa besi secara tipis menyambar rambutku saat aku mengelak dengan menunduk. Dari bawah aku hantam ulu hati Opet, namun Opet masih belum roboh justru ia mengayun-ayun pipa ke sembarang arah, membuatku mesti mundur hingga tidak terjangkau Opet. Opet meringis kesakitan dan limbung ketika melangkah maju, seolah lupa dengan kondisi kakinya. Dengan sepatu bot yang terlihat berat, aku yakin hal itu membuat pergelangannya menjadi semakin tersiksa.

“Maju lo monyet !” kata Opet dengan nafas pendek cepat, bulir keringat di wajahnya terlihat sekali.

Aku juga mulai gerah lalu melepas kaos yang penuh bercak noda darah, kaos yang sudah basah kuyup oleh keringat ini terasa lengket. Aku merasa lega karena hanya mengenakan kaos singlet. Aku mengepalkan kedua tinju ke depan. Aku hendak mendobrak Opet. Aku mendekati Opet dengan berjalan dan Opet bereaksi dengan mengayunkan pipa besinya.

Pagh !!

Aku tangkap ujung pipa yang di hujamkan Opet di atas kepalaku. Telapak tanganku nyeri tetapi masih bisa aku tahan. Opet berusaha menarik pipa, namun aku tahan. Kini kami berdiri diam berhadapan, adu kuat. Aku menahan pipa, sementara Opet berusaha menariknya. Aku akui tenaga Opet masih sedemikian besar, namun untuk urusan tekad, tekadku jauh lebih kuat !

Aku eratkan pegangan di ujung pipa karena keringat membuat pipa yang terbuat dari besi ini semakin licin. Jika sebelumnya aku hanya menahan, kini aku menarik pipa sehingga kini kami saling tarik. Opet lalu menambah daya tarik dengan menggunakan kedua tangannya. Dan ini yang aku tunggu. Karena segera aku lepas peganganku, hal ini membuat Opet sedikit limbung ke belakang karena daya tariknya sendiri. Di saat yang sama aku meloncat tepat di depannya dan langsung hantam badan Opet yang lebar. Dada, perut dan ulu hati menjadi sasaranku. Opet langsung terbatuk hingga mengeluarkan darah dari mulutnya. Namun aku belum puas, kupegang kerah baju Opet dan aku tarik ke depan. Di saat yang sama aku hantamkan tinju kanan ke hidung Opet.

BUGH !!!

Opet terdorong ke belakang. Tulang hidungnya patah, bergeser ke samping, darah mengucur dari hidung masuk ke mulut Opet. Opet masih sadar dia masih belum roboh, namun akhirnya dia jatuh terduduk saat kaki kanan yang terkilir ia jadikan tumpuan. Satu tendangan ke arah dagu Opet akhirnya menjadi akhir dari pertarunganku melawan salah satu bajingan legendaris SMA NEGERI XXX. Opet pingsan dengan mulut berbusa bercampur darah.

“Yeahhhhhhhh !! Yandiiiiiii !!!”

Aku mendengar tepuk tangan dan teriakan dari Yosi serta teman-teman yang sudah mencapai batas stamina. Yosi yang bersandar di dinding tengah terengah-engah. Ia mengusap peluh bercampur darah yang merembes dari pipinya, ia mengacungkan jempol kepadaku.

Hanya saja teriakan panjang diikuti suara debuman keras menimbulkan sorak sorai yang lebih keras terdengar.

Aku menoleh ke arah panggung dan mendapati Feri sudah terkapar di lantai bawah. Ia pingsan. Sementara di atas sana Oscar berdiri tegap, ia mengusap mulutnya yang berdarah lalu meludah ke arah Feri. Oscar menyeringai ke arahku.

Suasana langsung hening karena kini yang masih sanggup berdiri hanyalah Oscar dan aku. Jujur saja aku merasa gentar. Namun aku teringat bagaimana culasnya dia membiarkan anak buahnya membawa senjata. Akibatnya pertarungan menjadi tidak fair karena melibatkan senjata dan Zen menjadi korban penikaman.

Oscar lalu meloncat turun dari panggung dan berjalan mendekatiku.

“Jadi, lo bisa ngalahin Opet. Sepertinya baru kali ini Opet kalah melawan anak 16 tahun. Salut !” Oscar bertepuk tangan kepadaku. Tepukan tangan Oscar menggema di aula.

“Kamu licik ! membiarkan saja teman-temanmu membawa senjata ! pengecut!”

“Hahahaha ! lo nyebut gue pengecut karena ngebiarin anak buah gue bawa senjata? Kalau gue pengecut, apa kabar dengan junjungan kalian Axel? Dimana dia sekarang ketika kalian kami bantai disini?"

Aku terdiam mendengar pertanyaan.

“Karena tinggal elo yang masih sanggup berdiri, gue kasih lo dua pilihan. Pertama, lo berlutut depan gue dan bilang ‘kami mengaku kalah’ maka lo gak perlu gue hajar. Atau kedua, cara yang paling sulit, yakni lo gantiin Axel buat melawan gue.”

“Aku gak sudi berlutut di depanmu ! AKU AKAN MELAWANMU !!!”

“Haahah, gue tahu lo akan memilih yang kedua. Lo itu gampang sekali ditebak. Gini aja, gue kasih keringanan.”

Oscar mengeluarkan rokok dari saku celananya lalu menyulutnya.

“Lo berdoa aja, sebelum rokok ini habis, Axel datang dan elo akan jadi saksi saat gue bantai Axel. Tetapi kalau sampai rokok ini habis, Axel belum datang……”

Sialan. Aku memang masih sanggup berdiri dan masih punya tenaga, tetapi kalau mesti head to head dengan Oscar. Aku berada dalam masalah besar. Meskipun anak kota, tetapi Oscar memiliki aura yang mengerikan. Peluangku menang mungkin 1 banding 10. Itu artinya 90% ini hari terakhirku menyandang status sebagai siswa SMA NEGERI XXX. Karena ancaman Pak Tomo terpatri jelas di pikiranku. Menang atau kalah lalu hancur. Aku benar-benar tak punya pilihan lain, aku mesti menghadapi. Kalaupun aku kalah dan akhirnya dikeluarkan dari sekolah, akan kutunjukkan kepada semua orang disini  kebringasan seorang anak kampung untuk yang terakhir kalinya !

Satu sedotan kuat Oscar diikuti dengan hembusan asap ke atas, menjadi pertanda bahwa rokoknya sudah habis.

“Waktu habis. Bersiaplah Yan,” ujar Oscar penuh ancaman.

Oscar kemudian menjentikkan puntung rokok. Saat puntung rokok menyentuh lantai, aku berteriak dan maju menyerang duluan. Beberapa pukulanku bisa dielakkan Oscar namun ada satu pukulan mengenai wajah Oscar.

“Hmm…mayan..” katanya sambil mengusap pipinya.

Pukulanku yang masuk dengan bersih, tidak memiliki efek sama sekali, padahal cukup keras aku menghantamnya.

Oscar membalas dengan menendang perutku dari arah depan, tetapi aku sudah siaga sehingga masih sempat kutepis ke bawah. Namun terasa kepalaku bergetar hebat saat tinju kiri Oscar masuk ! aku terhuyung-huyung, level kami beda ! rasanya kepalaku baru saja dihantam dengan palu godam. Aku merespon dengan memukul udara, mencegah serangan susulan Oscar.

PLAK !

Satu pukulanku terhenti saat ditangkap oleh Oscar.

“Segini saja ya lo? Gue pikir lo beda Yan. Lo membuat gue kecewa.”

Ughh! Aku terpaksa berlutut di depan Oscar karena ia menekan tanganku ke bawah. Karena kalau aku lawan, jemariku bisa patah.

“Banyaak..omomggg…”balasku.

“Hehe…”

DUAGH !!

Mulutku berdarah-darah dan pusing saat Oscar menghantamkan lututnya ke wajahku. Dan sekali lagi. Lalu ia ulangi lagi. Aku tidak bisa apa-apa karena tanganku di pegangi Oscar dengan erat. Saat tanganku dilepas Oscar, aku merasakan ancaman lebih besar. Aku menengadah secepat yang aku bisa saat sekelebat pukulan dari arah bawah membelah udara.

Aku lolos dari uppercut Oscar dari jarak segini dekat. Aku yang masih sadar, membalas dengan memukul perutnya. Karena tinjuku mengenai ulu hatinya, membuat Oscar mendelik sambil memegangi perut. Langsung aku sambar kepalanya dengan tinju kiri, namun meleset karena Oscar menegakkan badannya. Namun itu memang tujuanku. Tinju kiri tersebut hanyalah tipuan. Karena tinju yang sebenarnya adalah ini !!

BANG !!!

Mulut Oscar mengeluarkan darah saat aku meninju tepat mengenai pipi kirinya hingga kepalanya ikut terpuntir. Kutambah dengan hantaman lutut kiri ke hidungnya namun justru aku yang kesakitan saat paha kiri bagian dalam terkena pukulan terlebih dulu. Aku mengerang kesakitan tentu saja. Rasa panas sekaligus ngilu luar biasa membuatku kehilangan fokus. Oscar lalu berdiri memegang kerahku lalu ia tanduk hidungku dengan kepalanya beberapa kali. Rasa sakit yang jauh lebih dominan di bagian hidung, membuatku tahu bahwa hidungku patah akibat tandukan tersebut. Lalu pukulan ke ulu hati menambah lengkap penderitaanku. Aku terbatuk hingga mataku melotot karena efek pukulan di ulu hati. Badanku langsung menggigil. Badanku nyaris ambruk tetapi di paksa berdiri oleh Oscar, pandangan mataku sudah kabur akibat luka lebam di sekitaran mata. Samar-samar aku melihat Oscar menarik tangan kanannya lalu satu pukulan yang teramat sangat sakit menghantam wajahku. Aku terlempar ke belakang.

Baru kali ini aku merasakan rasa sakit sedemikian hebat mendera tubuhku. Mentalku juga sudah drop. Oscar jongkok di depanku.

“Hanya beberapa orang saja yang masih tetap sadar setelah menerima pukulanku yang terakhir tadi. Elo salah satunya. Daya tahan tubuhmu luar biasa. Sayang, itu semua menjadi percuma karena gue gak ngrasain hawa membunuh dari setiap serangan lo.” Kata Oscar sambil menepuk-nepuk kepalaku.

Lalu ia berdiri dan berjalan meninggalkanku, namun setelah 6-7 langkah Oscar membalikan badan lalu berlari. Dari gesturnya Oscar hendak melancarkan serangan terakhir dengan menendang ke arahku.

WUSH!!!

Tepat sebelum nyawaku terancam, kakiku ditarik, sehingga tendangan Oscar luput. Aku melihat Dodo yang ternyata menarikku menjauh di saat krusial.

“Hiaattt!!”

Kulihat Yosi menyerang Oscar, Oscar melindungi kepalanya dari serangan Yosi. Namun satu tendangan menyamping dari Oscar mengenai tengkuk Yosi. Yosi terlempar dan pingsan. Dari mulutnya keluar busa. Beberapa teman langsung menyeret Yosi menjauh. Sementara itu Dodo aku minta untuk membantuku berdiri. Setelah sudah payah berdiri karena masih pusing, akhirnya aku bisa berdiri meskipun sedikit limbung dan goyah. Saat Dodo memberikan sebotol air mineral, aku minum separuh dan sisanya untuk mencuci muka. Setelah beberapa saat, pandangan mataku mulai jelas meskipun sedikit menyipit karena di sekitar kedua mataku, aku yakin mulai bengkak. Aku kembalikan posisi tulang hidung yang miring. Untuk beberapa puluh menit ke depan, aku masih bisa bertahan dengan kondisi seperti ini.

Oscar tersenyum meremehkanku.

“Udah selesai coffe breaknya? Masih mau lanjut ronde kedua atau lo mau berlutut aja depan gue?”

“Aku gak akan pernah tunduk dengan orang sepertimu !”

Aku melangkah perlahan mendekati Oscar, sementara itu Dodo berbisik.

“Yan, udah cukup. Bagi kami lo tetap pahlawan, Oscar itu diluar jangkauan kita.”

Setelah beberapa langkah, aku menoleh ke belakang.

“Nasib seorang pahlawan selalu sama, berjuang sampai akhir. Dan aku belum mencapai titik akhir, berkat kalian semua yang percaya sama aku.”

Dodo mengepalkan kedua tangannya, menyemangatiku.

Selama ini aku terlibat perkelahian karena selalu bermula dari sikap membela seorang teman. Jarang sekali aku terlibat perkelahian yang sifatnya pribadi, kecuali perkelahianku dengan Puput. Sama halnya dengan saat keterlibatanku di tawuran malam ini. Berawal dari penindasan yang menimpa Xavi. Lalu masalah tersebut bergulir bak bola salju. Dan puncak dari bola salju tersebut adalah malam ini. Inilah saatnya aku menghentikan kegilaan yang terjadi di sekolah dalam 6 bulan terakhir. Aku tidak menyangka jika justru aku yang melawan Oscar di akhir tawuran, karena Axel menghilang dengan rumor konspirasi menyelimutinya. Di saat semua teman yang di andalkan di kelompok kami sudah bertumbangan, termasuk Feri, tersisa aku seorang. Di saat yang sama, kelompok mereka juga tinggal menyisakan Oscar.

Perjuangan kelompok kami melawan komplotan Oscar yang jauh lebih banyak, sungguh luar biasa. Dan kini, semuanya bergantung kepadaku. Aku tidak boleh menyia-nyiakan setiap darah dan keringat dari semua temanku. Hanya saja, pangkal dari semua permasalahan di sekolah mengerucut kepada Oscar. Siswa paling menakutkan di sekolah. Dan aku sudah merasakan sendiri kebringasannya. Setiap serangannya benar,-benar seperti mencabik-cabik ragaku. Aku pasti sudah kalah jika saja Yosi dan Dodo tidak menolongku di saat akhir.

Bak seorang petinju yang babak belur di ronde pertama, kini aku melangkah maju bersiap untuk ronde kedua. Di ronde ini, akan berbeda. Karena aku menyadari satu hal kenapa Oscar bisa begitu kuat dan memiliki aura mengerikan. Karena ia memiliki hawa membunuh. Ia total dan tidak pernah ragu menghabisi lawan.

Itu yang aku tidak punya sekarang. Aku jelas tidak memiliki niat untuk membunuh orang. Dan itu yang menjadi kelemahanku sekarang ini. Fiuh, setelah menarik nafas panjang, aku memutuskan untuk melepaskan segala batasan dan kendali diri. Binatang buas mesti dilawan juga dengan binatang buas.

"Hiaaat!!" Seruku.

Aku merasa di dalam diriku seperti ada bara. Semakin panas dan menjalar ke seluruh tubuh. Kedua kepalan tanganku seperti menggenggam bara api. Harus segera di ledakkan.

Pukulan pertamaku di blok Oscar, sekilas ia seperti terkejut saat merasakan tenaga yang kulepaskan. Matanya memicing. Aku terus membombardir Oscar hingga ia terdesak ke tepian panggung. Satu tendangan Oscar mengenai perut. Namun tidak terasa bagiku. Aku terus maju karena semua pukulanku belum ada yang meledak mengenai sasaran. Oscar menampik tinjuku lalu memasukkan uppercut. Aku mengelak ke samping sekalian kuhantam perutnya dengan lutut kanan. Kususul pukulan tinju kiri.

BAM !!

Oscar terhuyung. Pukulanku berefek ! Karena terburu nafsu aku gegabah. Tendanganku ke arah perut di tahan dengan tangan.

BUGH!

Mata kiriku menjadi sasaran siku kanan. Kemudian dalam jarak dekat, rahangku bergetar saat menerima uppercut hingga kepalaku membentur dinding. Aku mengibaskan kepala untuk menjaga tetap sadar. Kuraih kerah kemeja Oscar dan kuhantam wajahnya hingga darah segar mengucur dari kedua lubang hidung. Oscar yang murka, lalu memegang leher belakang selanjutnya ia menghujani mukaku dengan pukulan.

Yang terjadi selanjutnya adalah kami berdua saling mengunci dan adu jotos secara frontal. Tidak ada dari kami berdua mencoba untuk mengelak. Yang ada hanyalah demostrasi kekuatan dan niat baku pukul kalau perlu sampai mati !!. Wajahku terasa panas bahkan kebas karena pengaruh pukulan dalam jarak dekat.

BUAGH !! BUAGH !! BUAGH !! BUAGH !!! BUAGH !!BUAGH !! BUAGH !! BUAGH !! BUAGH !!! BUAGH !!BUAGH !! BUAGH !! BUAGH !! BUAGH !!! BUAGH !!BUAGH !! BUAGH !! BUAGH !! BUAGH !!! BUAGH !!

Entah seperti apa wajah kami sekarang ini, darah ada dimana-mana. Kami sudah tidak peduli kalau salah satu dari kami mati. Yang ada hanyalah pure madness. Faktor kelelahan akhirnya menjadi pembeda. Kecepatanku menurun. Satu kali pukulanku dibalas dengan dua kali pukulan.

Aku telah berada di ambang batas. Aku sudah tidak sanggup membalas, sehingga kini Oscar dengan bebas meninju wajahku. Ayolah, berikan aku satu kesempatan untuk melepaskan serangan terakhir.  Aku hampir tidak bisa melihat apapun karena kedua  kelopak mata yang membengkak, belum lagi karena tertutup darah. Satunya petunjuk adalah tangan kiriku yang masih menggenggam kerah Oscar. Kalau satu pukulanku ini tidak sanggup menghentikan Oscar, maka tamatlah aku. Menuruti intuisi dan irama hantaman Oscar yang pendek cepat. Aku pukul sekuat tenaga dari bawah uppercut yang mengarah ke rusuk Oscar.

"Hoekk!" Oscar muntah darah dan badannya melenting.

Pukulanku berefek. Dan sekali lagi aku pukul di tempat yang sama. Dari ekspresi Oscar, mungkin ada ruas tulang rusuknya yang patah. Aku pun mengirim pukulan tipuan dimana seolah aku ingin memukul lagi rusuknya sehingga Oscar reflek menutup rusuknya.

BAM!

Pukulan kiriku ke arah pipi membuat Oscar limbung. Oscar berusaha memukul untuk mencegah aku merangsek ke arahnya. Namun aku bisa mengelak dengan cara menunduk. Aku melihat celah untuk mengakhiri pertarungan saat badan sisi kanannya terbuka saat ia memukulku.

BUGH!!

Tinju kiriku telak menghantam ketiak kanan Oscar, dimana area tersebut menjadi salah satu titik rawan di tubuh manusia. Orang sekuat apapun kalau ketiaknya terkena serangan, pasti kolaps. Hal ini juga yang di alami Oscar. Mata Oscar membelalak, terlihat ia begitu kesakitan sampai mulutnya menganga lebar. Oscar jatuh berlutut di lantai. Aku pegang rambutnya.

"Kamu telah membangunkan binatang buas dalam diriku."

BAM !!

Pukulan pamungkas ku arahkan ke rahang Oscar. Dan ia roboh. Tidak bergerak.

"Yeeeeeaaaaahhhhhhhhhhhh!" aku berdiri sempoyongan mengangkat tangan kanan ke udara dan berteriak sekuatnya untuk melampiaskan emosiku.

Dan sorak-sorai pecah. Teman-temanku berlari menghampiri dan memelukku. Aku melihat Feri yang sudah siuman, bersandar di dinding mengacungkan jempol. Jati yang tadinya duduk, berdiri berpegangan di dinding lalu memberikan tepuk tangan sambil mengangguk-angguk.

Aku menang lawan Oscar ! Rasa sakit di sekujur badan sepadan dengan kemenangan besar ini.

BRUAK !!!

Euforia kami terhenti saat mendengar suara ribut. Seseorang ada yang menjebol pintu gudang aula. Dan kami semua, terutama aku, terperanjat saat melihat satu sosok keluar dari gudang sembari menyeret kursi lipat.



Itu Axel ! Dia datang ! Aku tahu dia akan datang.

Sosok yang tampak lebih pucat dan tanpa senyum ini berjalan ke arahku.

"Kami menang, letakkan kursi tersebut. Semuanya sudah selesai," kataku sembari mendekatinya.

Aku khawatir Axel akan berbuat bodoh dengan menyerang Oscar yang sudah tidak berdaya.

Axel berhenti berjalan. Kami berhadapan. Entah kenapa aku merasakan sesuatu yang tidak beres dari gelagat Axel.

"Lo sudah merusak pesta gue..." komentar Axel dingin.

"Pesta? Pesta apa? Semua sudah selesai."

"Belum selesai...dasar bocah tolol."

WUSH!!

Axel memukulkan kursi lipat kepadaku. Aku yang memang merasakan ketidakberesan dengan kedatangan Axel, masih sempat bereaksi dengan melindungi kepalaku dari hantaman kursi. Tapi tetap saja aku kesakitan karena kencangnya pukulan. Dan aku terjengkang ke belakang. Namun Axel tidak berhenti sampai di situ. Ia menghujamkan kaki kursi ke seluruh badan. Aku berteriak mengaduh, sambil berusaha melindungi diri. Satu kaki kursi kemudian menghantam mengenai pelipisku sampai bocor. Darah mengucur deras.

Pandanganku memudar. Tenagaku habis. Namun aku mendengar keributan. Sepertinya teman-temanku mencoba mengeroyok Axel, menghentikan kegilaannya.

"Lo apa-apan anjing! Stop. Yandi bisa mati!"

Aku merangkak menjauh dan menggeleng-gelengkan kepalaku, untuk mengusir rasa sakit dan mengembalikan kesadaran. Aku mengusap darah yang menutupi pandanganku. Hal yang aku lihat berikutnya sungguh tidak terduga.

Axel berdiri terengah-engah. Dan di sekitarnya, orang-orang bertumbangan, mengerang kesakitan di lantai.

Axel menatapku.

"Lo pikir, gue akan membiarkan elo menang begitu saja? Bocah tolol.."

Axel mengambil kursi lipat yang berada di lantai.

Badanku memang sakit, namun tindakan Axel ini jauh lebih menyakitiku. Dia tega menghajar orang yang rela tawuran malam ini, demi dia ! Aku benar-benar marah. Sepertinya teori konspirasi Feri memang benar adanya. Sumber dari segala macam sumber masalah selama ini ternyata adalah Axel ! Bukan Oscar ! Oscar hanya boneka, yang secara tidak sadar, sudah dimanfaatkan Axel untuk memicu tawuran dan perebutan kekuasaan !

The Joker !!

Amarah membuat darahku kembali mendidih. Nafasku pendek cepat, urat-urat di kedua pergelangan tanganku nampak menonjol . Kepalan tanganku sampai bergetar karena saking marahnya menyadari aktor bajingan di balik ini semua, adalah orang yang aku idolakan!

"Hei Anak kampung, ini belum selesai. Kenaifan lo membuat gue muak. Asal lo tahu, gue menahan perasaan muntah ketika berakting sok peduli dengan elo. Lo itu cuma alat gue. Tapi gue gak mengira justru cecunguk macam elo, mengacaukan semuanya. Puih!" Axel meludah ke arahku.

Jadi selama ini aku juga masuk perangkap Axel? Ternyata kami bukanlah teman dekat seperti yang aku pikirkan. Di matanya aku cuma sekedar alat bantu.

"Kenapa lo gak mampus aja sih barengan sama orangtua mu yang kotor pas kejadian tanah longsor. " ejek Axel.

Oke ini sudah cukup !! Aku memang naif karena begitu mudahnya dipengaruhi Axel. Dia bisa seenaknya menghinaku, TETAPI TIDAK AKAN KUBIARKAN DIA MENGHINA KEDUA ALMARHUM ORANG TUAKU!

Dengan penuh amarah, aku menyerang Axel. Kursi yang ia arahkan kepadaku aku hantam hingga terlempar dari pegangannya. Selanjutnya aku menghujani Axel dengan serentetan pukulan. Namun dengan santai Axel menepis, menangkis, mengelak. Tidak ada yang kena.Faktor kelelahan benar-benar menjadi pembeda dan juga darah yang terus mengalir keluar dari pelipis, membuatku semakin lemas. Kemarahan tanpa di imbangi fisik bagaikan pepesan kosong melawan monster seperti Axel.

Satu pukulan Axel ke ulu hati, membuat gerakanku terhenti. Di susul pukulan telak mengenai wajah, membuatku terjerembab di lantai. Di saat aku mengaduh kesakitan, dadaku di injak dan di tekan Axel.

"Lo pasti berpikir, ini gak adil. Bukan perkelahian yang fair. Haha ! Yah yang namanya hidup di dunia, lo gak bisa nuntut semuanya bakalan adil. Lo boleh percaya sama orang, tetapi sisakan keyakinan 5-10% bahwa mereka itu ular."

Aku megap-megap memegangi kaki Axel yang berada di atas dadaku.

"Jalan lo masih panjang disini, justru ini akan menjadi awal dari segala kekacauan yang lebih besar," tegas Axel lalu membantuku berdiri.

PLAK !!

Ia menamparku hingga mulutku berdarah. Tendangan, pukulan, tamparan dari Axel tidak bisa aku elakkan. Aku sudah mati rasa. Saat aku sudah tidak kuat lagi berdiri, Axel menjambak rambutku.

" Nih, kalian semua lihat !! Apa kalian gak malu sama ini bocah anjing dari kampung yang berhasil mempecundangi kalian semua yang mengaku bajingan-bajingan hebat ?!"

Aku memegangi tangan Axel karena tarikan di rambutku. Nyawaku seakan di tarik keluar paksa. Sementara itu Axel terus menghinaku di depan semua orang. Hal itu membangkitkan sesuatu yang belum pernah aku rasakan.

Yakni dendam. Amarah, dipermalukan, di siksa, pengkhianatan. Gabungan itu semua melahirkan perasaan dendam. Sampai gigiku bergemeretak saking murkanya.

"Hoho, si haram jadah ini rupanya tidak terima." Kata Axel tepat di depan mukaku.

Axel melepas jambakan dan hendak menghabisiku dengan uppercut tangan kirinya yang tersohor. Di saat yang sama, aku mengerahkan tenaga terakhir untuk tetap tegak berdiri dan melepaskan pukulan penghabisan yakni uppercut tinju kananku.

SYUTT !!!

DUAGGHH !!!

Pukulanku ternyata lebih cepat dan terlebih dahulu menghujam rahang Axel. Pukulanku telak dan mengenai sasaran dengan sempurna namun Axel tidak roboh sama sekali. Baru kemudian aku merasa tubuhku terangkat tidak lagi menjejak ke tanah karena uppercut kirinya tepat mengenai dagu. Otakku rasanya meleleh.

Namun tadi aku merasakan sedikit kejanggalan. Tetapi aku tidak tahu apa. Aku sudah tidak sanggup berpikir lagi. Daya tenagaku sudah habis, aku sudah mencapai batas dimana tubuhku sudah tidak mampu menahan lagi semua rasa sakit. Aku pasrah.

Satu hal terakhir yang aku lihat sebelum semuanya berubah menjadi gelap adalah lambaian tangan Axel.

"Dadah...anak kampung."


= BERSAMBUNG =

15 comments for "LPH #55"

  1. Anjing,gue ketinggalan pas part ini.asu,cadasssa.

    ReplyDelete
  2. lemes dengkulku... padahal dari dulu baca berkali kali tetep aja lemes

    ReplyDelete
  3. Menuju episod melow axel huuu ... huuu ..huu

    ReplyDelete
  4. Baru ngeh om,yg di forum terdahulu bukane POV Yandi itu episode 58 ya om,apa ada yg digabung pa ya om

    ReplyDelete
  5. Udah seminggu Lo om, gak pengen update lagi eps selanjutnya?

    ReplyDelete
  6. Masih seneng sama cerbung ini, menanti yg belum di tongali

    ReplyDelete
  7. Adegan pas axel masuk dan menhajar yandi,,agak mirip sama cerita worst
    Ketika hana lawan guriko kalau gak salah

    ReplyDelete

Post a Comment