LPH #54
Episode 54
Zen’s Battle : Horror Vision
(Pov Zen)
Gue ada di mana ini?
Gelap sekali.
Gue melambai-lambaikan kedua tangan tepat di depan muka gue sendiri, namun kegelapan yang teramat sangat pekat membuat gue tidak bisa melihat tangan gue sendiri.
Gue lalu memejamkan mata berusaha merekam keadaan “gelap” saat mata terpejam, barang dua sampai tiga detik kemudian gue membuka mata. Gue ulangi hal yang sama sampai beberapa kali.
Tidak ada bedanya gue menutup atau membuka mata. Gelapnya sama. Sama gelapnya.
Suasana menjadi semakin aneh saat gue menghentakkan kaki ke tempat gue berdiri sekarang. Tidak terdengar suara hentakan kaki sama sekali, padahal pijakan di kaki terasa keras dan padat. Seperti sedang berdiri di atas lantai marmer.
Rasa dingin yang merambat dari telapak kaki membuat gue sadar bahwa gue tidak mengenakan alas kaki apapun. Setelah gue meraba badan gue sendiri, ternyata gue “naked”.
Gue lalu mencoba berteriak, sekuat-kuatnya. Hasilnya? Gue tidak bisa mendengar suara gue sendiri. Apa gue terperangkap di ruangan kedap suara?
Gue kemudian berjalan tak tentu arah, lama kelamaan langkah kaki berubah menjadi lari-lari kecil hingga akhirnya ayunan kaki menjadi semakin lebar.
Gue berlari sekencang-kencangnya !
Sampai beberapa saat akhirnya gue menyadari secepat dan sekencang apapun gue berlari, gue seperti lari di tempat.
Seperti tikus lab yang berlarian di dalam sebuah putaran roda.
Where the fuck am i?
“Zen.”
Di saat gue lagi kebingungan tiba-tiba ada yang memanggil gue. Dari arah belakang. Gue lalu membalikkan badan dan melihat seseorang berdiri tidak jauh dari gue. Sosok tersebut berdiri tegap mengenakan seragam polisi lengkap dengan tatapan mata yang dingin ke arah gue.
Itu Ayah gue.
Aneh, kenapa suara dia bisa aku dengar dengan jelas? Bahkan penampakannya pun juga terlihat terang benderang.
Dan yang lebih aneh lagi, kenapa Ayah muncul? Bukankah dia sudah mati karena gue hajar sampai mati?
“Zen..Kenapa kamu tega membunuh ayah?” tanya Ayah dengan nada suara seperti orang menggeram marah.
“Kalau Ayah saja tega memukuli Ibu dan Zen selama bertahun-tahun, kenapa Ayah kaget kalau pada akhirnya gue ngebunuh Ayah?” gue jawab panggilan Ayah namun tidak ada suara yang muncul.
“Zen...”
Gue mendengar suara selain suara ayah yang memanggil.
Lagi-lagi dari arah belakang.
Ketika gue membalikkane badan, gue melihat seorang anak mengenakan seragam sekolah SMP. Gue tertegun melihat Tino.
Teman sekolah yang gue bunuh di depan sekolah.
“Zen….Balikkkin nyawa gue,” erang Tino.
Perlahan keduanya mendekati gue. Ayah dari arah kanan dan Tino dari arah kiri.
Apa-apaan ini?
Kenapa dua orang yang pernah gue bunuh muncul lagi.
Saat gue mau menggerakkan badan, anehnya tubuh gue mematung, tidak bisa bergerak sama sekali. Hanya leher gue yang bisa bergerak menoleh kesana kemari.
“Zen…anak kurang ajar kamu…durhaka..” ucap Ayah dengan suara parau.
Ayah berjalan tertatih, tangannya terentang. Dari atas kepalanya tiba-tiba mengucur darah membasahi wajahnya. Hanya menampakkan kedua matanya.
“Zen….kenapa lo bunuh gueee….hikss,” gantian Tino yang sekarang merengek berjalan ke arah gue dengan kedua tangan terentang. Sama seperti Ayah, kondisi Tino mulai berubah. Kepalanya seakan retak dan mengalir darah segar. Semakin ia mendekati gue, kepalanya semakin aneh yakni seakan penyok, wajahnya juga melesak ke dalam.
Ada kemiripan Ayah dan Tino, mereka berdua mendatangi gue dengan menampakkan kondisi terakhir saat gue bunuh.
Ayah gue bunuh dengan cara gue pukuli dengan vas bunga dan sisa pecahan vas yang tajam gue hujamkan tepat di atas kepalanya.
Tino gue bunuh dengan cara gue hantam wajahnya dengan sebongkah batu besar sampai hidung dan matanya melesak pecah, dahinya penyok dan kemudian gue hantamkan kepala bagian belakang ke aspal sekuat tenaga.
Semakin keduanya mendekat, erangan parau mereka semakin jelas terdengar .
“Zen….kamu….akan….ke neraka…karena…kamu..telah membunuh…..kami… berdua ..NERAKAAAAAAA…..ARRRGGHHHHHH!!”
Ketika tangan mereka terentang dan mencapai leher gue,gue merasakan tangan dingin mencekik leher. Ketika gue merasakan kesakitan karena cekikan Ayah dan Tino tiba-tiba lantai tempat gue berdiri seperti terbuka.
Gue terjatuh menuju dasar kegelapan yang tak terhingga dalamnya !!!
***
Gue terbangun dalam keadaan terduduk di tempat tidur. Nafas gue terengah-engah seperti orang yang barusan berlari jauh tanpa henti. Kaos yang gue kenakan basah oleh keringat. Gue segera melepas kaos dan melemparnya sembarangan.
Bangsat.
Mimpi itu lagi.
Mimpi di datangin dua orang yang pernah gue bunuh.
Tubuh gue gemetar hebat seperti orang menggigil ketakutan. Namun gue tahu ini tubuh gue bergetar bukan karena rasa takut, justru sebaliknya. Saat ini gue dikuasai emosi yang meluap-luap, rasa amarah yang begitu besar karena kemunculan dua orang yang gue benci. Sumber kehancuran mental dalam diri gue.
Kalau sudah begini, gue mesti mendengarkan lagu yang membuat gue tenang seketika, gue lalu menggapai ponsel dan headset yang gue letakkan di meja. Setelah headset terpasang, volume gue setel maksimal lalu menekan tombol play.
Seiiring dengan ledakan teriakan yang mencabik isi kepala, gue mulai bisa menenangkan diri. Sambil mendengarkan lagu tersebut, gue turun dari tempat tidur merogoh saku celana untuk mengambil sebatang rokok. Setelah rokok gue bakar dan gue hisap perlahan. gue semakin bisa menguasai diri.
Entah gue tenang karena lagu ini atau karena pengaruh nikotin, namun yang jelas lagu Revelation of Mankind dari Dir En Grey ini mengandung magis.
Oh iya, lagu tersebut berkisah tentang seorang anak yang membunuh kedua orang tuanya karena siksaan yang ia terima sejak kecil dan kemudian ia tumbuh menjadi orang yang menyukai kekerasan.
Terlihat mirip dengan kisah hidup gue, bukan? Hehehe.
“Zen….kamu….akan….ke neraka…karena…kamu..telah membunuh…..kami… berdua ..NERAKAAAAAAA…..ARRRGGHHHHHH!!”
Di saat gue menikmati lagu sembari menghisap rokok, terngiang umpatan Ayah dan Tino yang mengutuk gue akan pergi ke neraka karena perbuatan gue.
Gue tersenyum geli.
Ayah….Tino…
Neraka itu gak ada goblok. Surga apa lagi.
TuHan? Pffttt.
Kalaupun memang neraka itu beneran ada dan ketika gue mati nanti gue akan dijebloskan ke dalamnya karena sudah membunuh kalian berdua, gue gak akan pernah menyesal. Bahkan kalau gue diberikan kesempatan balik ke masa lalu untuk memperbaiki keadaan, gue tetap akan membunuh keduanya. Kalau perlu dua teman Tino yang nyawanya berhasil diselamatkan, akan gue pastikan mati di tangan gue.
4 nyawa yang dengan senang hati akan gue bunuh. 4 orang paling tidak berguna.
malaikat penjaga neraka tidak perlu repot menyeret gue, karena gue sendiri yang akan berjalan dengan dada membusung lalu menceburkan diri gue menuju kobaran api .
I’m going to the hell with pride and my biggest smile..
Lagian tanpa gue mati dulu, hidup gue udah kayak di neraka semenjak Rulia meninggal tepat di depan mata gue.
Hidup gue sudah tidak sama lagi.
Jadi mau mati hari ini, besok atau lusa, gak ada bedanya buat gue.
Setelah “Revelation of Mankind” selesai, secara acak alikasi pemutar lagu di ponsel gue memilih sebuah lagu sakral yang membuat gue merinding seketika. Bulu kuduk gue berdiri.
Lagu “Tiga Titik Hitam” membawa pikiran gue melayang-layang ke peristiwa 9 bulan yang lalu. Yakni ketika gue menjalani rehabilitasi di RSJ di bawah supervisi dokter Seto yang kini jadi ayah tiri gue. Hakim yang menangani kasus gue memutuskan bahwa gue mesti masuk ke rehabilitasi mental karena berdasarkan tes uji kejiwaan dan rekomendasi psikiater Kepolisian, gue mengalami masalah mental. Jadi gue tidak di sarankan menjalani hukuman di penjara anak-anak.
HEHE.
Mereka semua bodoh sekali. Polisi, psikiater dan juga si hakim. Bahkan ayah tiri gue juga demikian.
Tanpa mereka sadari, gue berhasil memanipulasi segala tes dan pengamatan yang dilakukan terhadap gue sehingga seakan-akan gue mengalami masalah mental sehingga tidak bisa di pidana apalagi gue masih di bawah umur .
Dan pada saat gue menjalani rehabilitasi itulah, gue menemukan sesuatu yang dahsyat dan mengubah hidup gue untuk selamanya.
khu..khu..khu..khu..
x-x-x FLASHBACK ZEN x-x-x
Tanpa sepengetahuan siapapun gue mengalami depresi berat. Namun gue berhasil menyembunyikan hal tersebut dengan rapat-rapat dengan tetap bersikap tenang tanpa gejolak. Gue depresi karena gue masih belum bisa menerima kepergian Rulia, satu-satunya cahaya dalam hidup gue yang penuh penderitaan. Rulia pergi dengan cara yang sungguh pedih, dia pasti merasakan rasa sakit yang luar biasa saat kepalanya terlindas truk. Membunuh Tino yang sudah menyebabkan Rulia meninggal pun tidak bisa mengobati luka di dalam hati gue.
Ketika mengingat Rulia, dinding ketegaran yang susah payah gue bangun, dalam sepersekian detik langsung rubuh. Kalau sudah begitu, gue cuma bisa menyendiri di dalam kamar saat malam yang sunyi terasa lalu menangis. Keinginan gue untuk hidup, semakin hari semakin hilang.
Ketika gue melihat benda-benda tajam seperti pisau untuk mengupas kulit apel, bolpoin, garpu, ujung pagar teralis besi. Gue membayangkan bagaimana rasanya kalau gue mengiris kedua urat nadi di pergelangan tangan hingga tangan putus, menancapkan ujung pulpen tembus ke leher, menusuk bola mata gue dengan garpu yang lancip sampai melesak ke otak atau meloncat dari rooftop gedung RSJ yang memiliki 9 lantai lalu terjun bebas ke bawah dengan posisi kepala terlebih dahulu mengarah ke pagar besi yang runcing.
Banyak cara untuk membuat nyawa gue pergi dari badan yang hina ini.
Meskipun gue depresi, gue tetap bersikap wajar dalam menjalani rutinitas sehari-hari agar tidak menimbulkan kecurigaan jika suatu hari mereka menemukan gue mati bunuh diri. Hanya saja gue mulai merasakan ada sesuatu yang “asing” mengeliat dalam diri gue.
Dari setitik kecil seperti sentuhan ujung pena ke sebuah kertas putih polos, titik tersebut ternyata semakin hari semakin membesar.
Hingga suatu malam di saat gue tengah tertidur lelap di dalam kamar, gue terperanjat kaget dan terbangun karena mendengar seseorang memanggil nama gue dengan teriakan yang keras namun parau.
“ZEN...”
Gue melihat ke sekeliling kamar yang gelap, gue lalu menyalakan lampu kecil di samping tempat tidur agar gue bisa melihat lebih jelas.
Kosong, tidak ada siapa-siapa di salah satu kamar yang gue tempati di bangsal RSJ.
Cuma ada gue tidak ada orang lain.
“ZEEEEN...”
Suara itu datang lagi dan terdengar sangat dekat sekali dengan gue, ia memanggil nama gue lebih nyaring daripada sebelumnya.
Jangan-jangan di kamar ini ada hantu?
Gue sempat merasa ketakutan, namun gue langsung turun dari tempat tidur lalu berteriak lantang.
“KELUAR LO SETAN?!” teriak gue dengan nafas terengah-engah.
“HAHAHAHA..!”
Gue dengar suara misterius tersebut tengah tertawa.
“APANYA YANG LUCU ?! SINI LO SETAN ! GUE BUNUH LO !”
BRAK !
Pintu terbuka dari luar, gue mendapati Suster Lila sudah berada di dalam kamar gue dan menyalakan lampu kamar.
“Zen! Kamu kenapa teriak-teriak ?!” serunya sambil memandang gue.
“Tad-....Gue...Gue, mimpi buruk sus.”
Gue mengurungkan niat menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada Suster Lila yang mendapat shift malam, namun gue bisa di anggap gila beneran dan hal itu bisa mempengaruhi penilaian gue beberapa hari sebelum gue diperbolehkan keluar dari masa rehabilitasi.
“Yakin?” tanya Suster Lila, satu dari beberapa Suster di RSJ sini yang cukup akrab dengan gue.
Cukup dengan sekali anggukan, Suster Lila tersenyum lega.
“Yaudah kamu istirahat lagi.”
“Iya. Oia Sus, tolong matiin lampunya lagi.”
“Oke.”
CTIK
Setelah Suster Lila mematikan lampu kamar dan menyisakan lampu temaram dekat tempat tidur, gue ke kamar mandi untuk kencing sekaligus mencuci muka. Saat gue sudah kembali berbaring, suara misterius itu muncul lagi....
“Hahahahaha....”
Dan gue tentu saja langsung kembali bangun.
“Lo gak usah repot nyariin gue siapa dan ada dimana Zen....”
“Apa maksudnya?” tanya gue dengan nada tegas namun pelan karena gue gak mau menarik perhatian Suster Lila.
Fix, gue uda gila karena menanggapi suara setan yang ada di kamar.
“Karena...gue adalah elo...Dan gue berada di dalam pikiran elo.”
Shit! Suara ini berasal dari dalam kepala gue? Kok bisa? Tapi itu bukan suara batin gue! Karena sekarang ini jelas-jelas sedang berpikir dan sadar. Apa...gue memang gila beneran? Gak mungkin ! Itu suara bukan dari dalam pikiran gue!
“Lo gak gila Zen. Kita gak gila, justru sebaliknya. Kita ini sangat waras.”
Waras? Justru gue ngrasa skeptis dengan pikiran gue sendiri karena mendengar sesuatu di luar kesadaran gue. Dan sesuatu tersebut seperti hendak mengajak gue bercakap-cakap! HOI ! SIAPAPUN ELO, SETAN ATAU BUKAN, BUKTIKAN KALAU ELO MEMANG SEBUAH ENTITAS YANG MEMILIKI KESADARAN TERSENDIRI ! KARENA TIDAK MUNGKIN ADA DUA SUARA DI DALAM SATU KESADARAN ATAU KEPALA !
“Hihi, baiklah kalau lo mau bukti bahwa gue ini berasal dari dalam alam sadar lo. Zen, gue akan bertanya sesuatu sama elo yang gue yakin 100% lo gak akan bisa jawab. Sebuah pertanyaan sederhana dan elo cukup menjawab. BENAR atau SALAH.”
Pernyataan tersebut terasa ganjil sekali karena meluncur begitu saja dan terdengar jelas sekali. Seperti seseorang yang berbicara di dekat kuping gue. Baik ! Gue akan jawab apapun pertanyaan elo. Dan gue yakin akan bisa menjawabnya jika pertanyaan tersebut berkaitan dengan diri gue sendiri. Karena logikanya, gue yang lebih tahu tentang diri gue sendiri dibandingkan orang atau suara misterius apapun itu!
“Tas yang dipakai Rulia ketika ia tertabrak dan terlindas truk sampai mati adalah sebuah tas punggung berwarna merah. BENAR atau SALAH.”
Astaga.
Lidah gue kelu mendengar pertanyaan tak terduga tersebut. Gue berusaha memeras ingatan gue satu bulan yang lalu. Namun semakin keras gue mencoba mengingat sosok Rulia pada hari naas itu, yang nampak jelas di ingatan gue adalah paras cantik dan tingkahnya yang lincah. Gue sama sekali tidak ingat..jangankan warna, bentuk rupa tasnya pun gue tidak tahu..
“Khu..khu..khu..khu. Ayolah Zen, harusnya lo bisa jawab.”
Ini..jebakan! Lo setan udah memanfaatkan gue ! Lo tahu bahwa gue sama sekali tidak memperhatikan Rulia secara keseluruhan pada hari itu ! Dan hal itu lo manfaakan dengan pertanyaan tidak penting, dimana kebenaran dari jawaban tersebut tidak mungkin ada.
“Hahaha! Elo terlalu berprasangka negatif sama gue. Jadi apa jawabannya? Atau lo nyerah udah gak bisa jawab?”
Sialan, suara misterius ini sedang mengejek gue. Baik ! Gue jawab. SALAH. Itulah jawaban gue dan gue gak tahu apa warna tas yang dikenakan Rulia pada hari itu! Benar atau salah jawaban gue, itu tidak penting. Gue lebih tertarik bagaimana elo ngebuktiin bahwa jawaban gue tersebut benar atau salah.
“Merah.”
Apa?
“Tas yang dikenakan Rulia pada hari itu adalah sebuah tas punggung warna merah.”
Bagaimana lo tahu ?
“Karena semuanya terekam di alam bawah sadar elo Zen. DENGAN BAIK. Kalau lo masih gak percaya, biar gue buktikan.”
Tiba-tiba gue merasakan tubuh gue seperti terhisap sesuatu hingga blackout. Dan saat gue membuka mata, gue meringis ketakutan karena hal pertama yang gue lihat adalah.
Badan Rulia yang sudah tidak utuh terkapar di atas jalan raya di depan sekolah. Seragam Rulia yang tadinya putih sudah memerah akibat darah yang keluar dari lubang menganga. Tidak ada leher dan kepala. Yang gue lihat adalah ceceran isi kepala dan darah yang begitu banyak, jejak merah darah tercetak jelas di aspal membentuk jejak roda truk yang berhenti tidak jauh.
Sangat nyata sekali !
Gue melihat dunia di sekeliling gue bergerak dalam tempo yang sangat lamban. Dan semuanya berwarna kelabu. Satu-satunya yang masih memiliki warna adalah darah. Orang-orang dan siswa dari sekolah gue nampak menutup muka, bahkan ada tidak sedikit siswa perempuan di seberang jalan yang pingsan karena mereka menyaksikan dengan jelas bagaimana Rulia terjatuh di tengah jalan akibat di dorong Tino dan kemudian kepalanya tergilas roda truk yang lewat. Gue juga melihat beberapa guru serta satpam sekolah berlari menuju arah gue. Motor dan mobil langsung berhenti. Orang-orang berlarian menuju truk yang sudah membuat Rulia meninggal seketika.
Mereka seperti berteriak histeris, namun gue tidak mendengar suara apapun dari sekeliling gue. Bahkan yang terdengar jelas di kuping adalah bunyi rembesan darah yang terus mengalir dari jasad Rulia dan menggenangi jalanan. Lalu tubuh gue seperti bergerak sendiri menghampiri Rulia. Gue jatuh terduduk di jalanan lalu memeluk sisa tubuh satu-satunya gadis yang baik sama gue. Gue tidak peduli dengan kubangan darah yang mengotori muka, tangan dan badan gue.
Gue gak peduli.
Saat gue peluk tubuh Rulia, gue bisa melihat dengan jelas lubang menganga di antara kedua bahu Rulia. Dari lubang tersebut, darah merembes keluar. Bak keran air yang terbuka. Di tengah lubang tersebut nampak mencuat ujung ruas tulang belakang yang sudah hancur. Di sekeliling lubang tersebut juga terlihat sisa daging pangkal leher dan kulit yang tercabik roda ban truk.
Dan saat gue memeluk tubuh Rulia itulah, gue melihat Rulia masih mengenakan tas punggung berbahan kain tebal berwarna merah.
SYUUUUUUUTTT!! Lagi-lagi gue merasakan tubuh gue terhisap hingga gue kembali blackout. Pemandangan mengerikan yang terasa nyata, luar biasa nyata kini sudah berganti dengan pemandangan kamar gue yang temaram.
Gue sudah kembali ke realita.
Nafas gue memburu, tubuh gue gemetar, kening, punggung hingga sekujur badan mengeluarkan keringat dingat. Kepala gue berdenyut sakit sekali. Perasaan depresi, putus asa dan kesedihan luar biasa menguasai pikiran gue.
“Lo mengalami trauma yang sangat berat di hari tersebut. Saking beratnya, sampai alam bawah sadar lo menghentikan akses ingatan hingga sedetail tadi. Otak lo kemudian membatasi ingatan bahwa tak berapa lama lo ngliat Rulia tewas, elo langsung pingsan dan tidak mengingat jelas tentang kejadian itu lagi.
Yang lo saksikan tadi adalah memory paling dahsyat yang terkubur di relung alam bawah sadar lo yang paling dalam. Memory tersebut tidak mungkin bisa hilang. Hanya butuh trigger tertentu !
Seandainya dari awal lo percaya bahwa gue adalah bagian dari diri elo, elo gak perlu menyaksikan kembali ingatan itu. Tapi karena elo masih skeptis dengan keberadaaan gue, maka gue harus membuat elo merasakan lagi sensasi memori paling brutal sepanjang kehidupan elo.”
“Elo...siapa..?Apa...mau elo..?” gumam gue lemah di tengah bibir gue yang bergetar.
“Gue adalah elo. Lebih tepatnya gue adalah Inner Voice atau Suara Hati diri lo yang sebenarnya. Zen, gue mau elo terima gue apa adanya. Bantu gue bunuh Suara Hati elo yang penakut yang menghambat potensi elo, suara hati yang mengendalikan emosi lo saat ini dan menjadi depresi. Suara hati itu yang berulang kali membuat elo bersedih dan perlahan mendorong elo untuk segera mengakhiri hidup. Kita harus bersatu agar kita tetap hidup Zen.”
Ini hidup gue, lo gak usah ikut campur. Kalau gue mau mati besok, lo mau apa? Lo gak bisa mencegah gue.
“Kamu dengar itu Zen? Itulah Inner Voice yang menguasai pikiran lo saat ini. Keinginan lo untuk hidup mulai terkikis. Trauma berat yang lo alami dan memory block yang dilakukan untuk melindungi lo dari trauma justru membuat area Broca yang terletak di hemisfer kiri atau tepatnya di Inferior Frontal Gyrus mengalami kerusakan. Broca adalah pusat bahasa di Otak. Kerusakan di bagian ini atau di posterior kiri, daerah anterior frontalis membuat Inner Voice lo kacau. Dan ini efek sampingnya, otak lo penuh dengan pikiran negative ingin bunuh diri, bunuh diri dan bunuh diri.”
Gue tersenyum mendengar “penjelasan” suara yang mengaku sebagai Inner Voice gue. Gue turun dari ranjang lalu membuka laci meja baca. Di langit-langit laci, gue mengambil pisau yang sengaja gue rekatkan dengan selotip. Pisau ini memang gue persiapkan seandainya gue sudah tidak tahan untuk terus hidup.
Namun sepertinya bisa jadi malam ini menjadi akhir dari segalanya, karena gue sudah gila beneran. Dan puncaknya ketika saat ini gue berdialog dengan suara dari dalam diri gue sendiri, suara yang tidak bisa gue kendalikan.
Sekarang berikan gue alasan kenapa gue harus tetap hidup? Batin gue sembari menekan ujung pisau di leher.
Kalau gue suka jawaban lo, gue akan buang pisau ini.
Kalau gue tidak suka jawaban lo, gue akan menusukkan pisau ini ke leher gue. Tusukan pertama tidak akan langsung membuat gue mati. Selama gue masih bisa bergerak, gue akan terus menusuk-nusuk leher gue sendiri sampe gue mati kehabisan darah.
“Haha. Baiklah. Sekarang gue ikutin permainan lo. Zen, alam bawah sadar itu ibaratnya sebuah database raksasa paling canggih. Seperti super komputer. Namun sebuah super komputer pun tetap rentan terhadap serangan virus yang bisa merusak sistem. Dalam hal alam bawah sadar, virus tersebut menanamkan perasaan takut, depresi, trauma, emosi dan energi negatif lainnya. Suara jahat dalam pikiran lo sekarang ini adalah virus. Cara untuk menyingkirkan virus tersebut tentu dengan sebuah anti virus. Anti virus akan membasmi semua virus jahat sekaligus membersihkan alam bawah sadar lo. Ketika alam bawah sadar sudah di booting ulang, sistem akan kembali seperti laiknya sistem baru.
Dan gue adalah anti virus tersebut. Gue adalah inner voice diri elo yang sebenarnya. Terima kehadiran gue, maka hidup lo akan berubah. Zen 2.0 akan lahir kembali. Lebih cerdik, lebih pintar, lebih genius, lebih kuat dan lebih brutal. Intinya, lo bisa jadi apapun yang lo mau. Jika kita bersatu, kita bisa melewati masa rehabilitasi di sini dengan mudah.”
Terdengar menyenangkan. Dan meyakinkan. Gue mengendurkan ujung pisau yang mulai terasa perih di leher. Bayangan gue kembali bersekolah dengan identitas baru, lingkungan baru tanpa ada beban di masa lalu membuat gue tertarik.
Apa yang harus gue lakukan untuk menyingkirkan virus dalam pikiran gue?
“Haha, lo tenang saja. Itu urusan gue. Sekarang yang mesti lo lakukan adalah simpan kembali pisaunya, tarik nafas perlahan sampai lo ngrasa rileks kemudian berbaring dan lanjutkan tidur lo. Gue janji, ketika lo terbangun dari tidur, lo akan merasakan perubahan yang luar biasa. Karena kita sudah menjadi satu. Lo adalah gue. Gue adalah elo....Khu...khu...khu...khu..”
Gue pun menuruti perkataannya dan benar saja, dalam hitungan detik ketika gue berbaring dan memejamkan mata, gue langsung tertidur lelap, sangat lelap dan terasa damai.
Ketika gue terbangun di pagi harinya, gue merasakan perbedaan. Denyut kehidupan dalam diri gue bangkit. Pikiran gue terasa sangat jernih sekali. Gue lantas seperti orang kelaparan, lapar akan pengetahuan. Gue mengisi otak gue dengan berbagai macam buku. Mulai dari literatur Sejarah, Aljabar, Kimia, Fisika, Teknik Informatika, Elektronik, Medis bahkan buku-buku teori tentang bela diri, gue lalap habis. Dari sekian banyak ilmu bela diri, gue menaruh minat tinggi kepada 2 jenis bela diri yakni Krav Maga dari Israel dan Dim Mak dari China.
Alasannya simpel, kedua aliran tersebut adalah praktik bela diri paling efektif, efisien dan mematikan. Dari Krav Maga gue belajar menyerang dan bertahan. Dari Dim Mak gue belajar mengenali titik lemah dalam tubuh manusia dimana cukup sekali serang, mau seberapa kuat orangnya, bisa langsung tewas di tempat, menakjubkan! Gue mempelajari kedua ilmu tersebut secara otodidak dan diam-diam. Ketika malam tiba, gue mengubah kamar yang gue tempati jadi sasana. Berkat Dim Mak, gue jadi tahu bahwa gue juga mesti belajar tentang ortopedi berikut titik lemah susunan tulang. Dan itu semua bisa gue dapatkan dari literatur tentang akupuntur. Karena pada dasarnya titik syaraf manusia yang dipelajari dalam Dim Mak dan Akupuntur itu sama. Kalau jarum akupuntur bersifat penyembuhan maka Dim Mak sebaliknya, untuk mematikan seseorang.
Namun belajar bela diri kalau tidak di praktekkan dengan melawan seseorang jelas terasa ada yang kurang. Shadow boxing sendirian tidaklah cukup! Gue mesti baku hantam dengan lawan. Namun ruang gerak gue terbatas, bahkan untuk keluar dari lingkup RSJ saja gue harus ditemani satu security dan 1 Suster yang mengenakan pakaian bebas. Dalam 1 minggu gue dapat ijin 2-3 jam menghabiskan waktu di luar.
Dan kesempatan untuk mengukur kemampuan gue datang ketika gue mendapat ijin untuk menikmati suasana car free day di hari Minggu pagi. Suster Lila dan Tedi yang “mengawal” gue pagi itu nampak santai. Kami bertiga olahraga jogging bareng mengelilingi lapangan simpang 7. Tedi dan Suster Lila seperti terkejut dengan kemampuan fisik gue. Karena gue sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda kelelahan setelah berkeliling 4 kali putaran nonstop. Gue memang sengaja membuat keduanya kecapekan. Di saat keduanya istirahat itulah, gue meminta ijin untuk lanjut jogging dengan berkeliling sedikit lebih jauh.
Jika Suster Lila memberikan ijin, Tedi nampak keberatan karena membiarkan gue berkeliaran sembarangan seorang diri tanpa penjagaan termasuk melanggar peraturan.
“Udah santai, Zen gak akan bertindak bodoh. 30 menit. Lebih dari 30 menit kamu belum kembali ke sini, kamu tahu kan apa yang akan aku tulis di laporan,” ujar Suster Lila tegas.
Gue mengangguk. “25 menit lagi gue balik kesini.”
Suster Lila tersenyum dan mengacungkan jempol.
Ingin rasanya gue berlari kencang merasakan kebebasan, namun gue harus menahan diri agar tetap natural. Gue lalu menuju ke daerah taman di dekat simpang 7 yang biasanya jadi tempat pacaran. Dan orang pacaran di tempat yang relatif sepi menjadi sasaran empuk buat para preman.
Dan benar saja.
Begitu gue sampai taman, di salah satu sudut taman terlihat 4 orang berpakaian ala punk tengah mengerubungi 2 orang ABG, cowok dan cewek yang masih nampak belia. Si cowok terlihat ketakutan dan memberikan sesuatu kepada salah satu anak punk berambut jabrik. Si cewek hanya bisa menangis sesengukan.
Gue tersenyum.
Empat berandalan punk. Cocok jadi sparring partner gue. Gue lalu mengikuti keempatnya dari kejauhan. Mereka berjalan menjauhi taman dan lewat gang-gang sepi. Karena gue tidak punya waktu banyak, ketika mereka tengah berjalan di lorong yang berbatasan dengan tembok setinggi 5 meter dan gue amati tidak ada orang lain. Gue berteriak ke arah mereka.
“Hei anjing, tukang palak!”
Mereka berempat yang tengah tertawa kaget dan langsung menoleh ke belakang.
“EH SIAPA LO ?!” hardik anak punk berkepala plontos yang bibirnya di tindik.
“Kalian mau duit gak? Nih dompet gue ada duit.” Gue membuka dompet dan memamerkan uang di dalamnya. “Kalau kalian mau duit, sini ambil kalau bisa.”
Gue memang masih seusia anak kelas 3 SMP namun secara fisik gue sudah lumayan tinggi sekitar 170 cm. Jadi tidak terlalu kelihatan kalau gue masih bocah. Bocah dengan benih setan hahaha.
Keempat anak punk ini langsung berpandangan dan kemudian menyeringai.
“Cari mati lo.”
“Ayo sikatt aja bocah ini !” si botak yang memang berposisi paling depan langsung berlari ke arah gue.
Sementara gue tetap bersikap tenang. Setelah gue memasukkan dompet di saku jaket yang memiliki resliting, gue memakai sarung tangan lateks milik salah satu Suster yang gue ambil secara diam-diam karena gue tidak mau meninggalkan jejak seujung jari pun.
GUE MERASAKAN TUBUH GUE GEMETERAN KARENA SETELAH SEKIAN LAMA MENAHAN DIRI, AKHIRNYA GUE BISA MELAMPIASKAN EMOSI !
SYUT!
Ayunan pukulan si botak gue tahan dengan tangan kiri dan ia langsung terbuka. Segera gue hantam dadanya dengan tinju kanan. Mukanya langsung pucat pertanda ia langsung sesak nafas. Berikutnya 3 pukulan gue layangkan menghantam mulut, hidung dan mata kirinya. Darah langsung mengucur dari lubang hidung yang sepertinya patah dan luka di bagian dalam mulut. Mata si plontos yang tadinya terlihat gahar kini nampak berkaca-kaca seperti anak kucing yang ketakutan. Mulutnya sampai gemeteran. Mungkin dia bingung karena dada, mulut, hidung dan mata kirinya kesakitan dalam waktu yang hampir bersamaan.
Dan piercing yang ada di bibirnya memberikan gue ide. Gue lalu pegang piercing murahan berbentuk cincin yang berada di sudut bibir bawahnya. Selanjutnya gue tarik paksa piercing tersebut hingga bibirnya ikut tertarik. Dan lewat satu tarikan kuat, piercing akhirnya terlepas dari bibirnya yang kini sobek dan langsung berdarah-darah.
“AARRRRGGGGHHHHHHHHHHHHHH !!!BBIBIBIRRRRRRR GUEEEEE SOBEEEEEEKKKKKKKKK!!! AARGGGGHHHHHH!!” teriaknya sambil meraung kesakitan.
GYAHAHAHAHHAH DARAHHHH!!!
Karena gue belum cukup puas melihat darah dari bibir si botak yang sobek parah, gue pegang leher belakang dan tangan kirnya. Lalu gue tarik kuat-kuat dan gue hempaskan ke arah dinding tembok yang berada 1 meter di sebelah kiri.
BLUGHH!!!
Wajah si botak yang terlebih dahulu mencium tembok baru badannya berdebum menghantam tembok. Benturan tersebut meninggalkan bercak darah dari si plontos di tembokl sementara si botak sudah mengelepar di jalan dalam posisi telentang.
Hidungnya tertekuk patah ke samping , nafasnya tersengal-sengal. Kedua bola matanya cuma terlihat putihnya saja, kelopak matanya naik turun dengan cepat. Eh jangan-jangan dia mati? bodo amat sih kalau mati. Gak ada yang nyariin juga paling kalo dia mati di sini. Wajah si botak yang tadinya berantakan jadi makin kacau hahaha!
AH GUE BELUM PUAS!
Ketiga anak punk yang tadinya berlari hendak menyerang gue seketika berhenti berlari saat 1 teman mereka gue hajar sedemikian rupa. Mereka sepertinya shock.
“Oi kenapa berhenti?! Ayo sini serang gue. Kalian mau duit gak? Duit sejuta lho. Cukup kalahin gue, kalian bisa mendapatkan uang ini,” kata gue sembari menepuk-nepuk dompet yang ada di kantong saku jaket dan menginjak-injak perut si botak sampai ia terbatuk-batuk. Dan batuknya campur darah tentu saja ! Hal itu gue lakukan untuk memancing emosi ketiganya.
Ketiganya saling berpandangan sebelum akhirnya dari kilatan mata ketiganya, mereka sudah memantapkan niat untuk menyerang dan mungkin ngebunuh gue. 2 di antara mereka mengeluarkan pisau lipat dari dalam sepatu bot lusuh yang mereka pakai. Sementara 1 orang lagi, celingak-celinguk. Sepertinya ia tidak membawa pisau. Dan kemudian mengambil sebongkah batu bata merah yang ada di tepi jalan sebagai senjata.
MANTAP JIWA !!!!
Krav Maga + Dim Mak vs 2 pisau + 1 batu bata merah.
Kita lihat siapa yang menang.
Dan orang yang membawa batu bata ternyata paling bodoh di antara mereka bertiga. Ia maju terlebih dahulu dan menyerang gue dengan mengayunkan tangan kanannya yang menggenggam batu. Ayunan tangan yang lebar menjadi sasaran empuk buat gue untuk melakukan counter attack. Gue langsung mencengkeram pergelangan kanannya dan gue tekan urat nadinya dengan jempol kiri. Setelah tangan kirinya berhasil gue tahan, gue sikut lehernya dengan kekuatan secukupnya, tidak terlalu kuat. Karena kalau gue sikut tepat di jakun dengan kekuatan penuh, dia bisa mati beneran. Jadi cukup gue kurangi tenaga sikutan. Efek serangan segini saja sudah membuat penyerang gue ini matanya mendelik. Saat ini ia pasti sedang kesulitan untuk bernafas plus merasakan sensasi tercekik. Sangat tersiksa.
Namun gue belum selesai.
Gue ambil batu yang masih ia pegang dan gue hantamkan ke kepalanya sampai batu batanya hancur berantakan. Lawan gue langsung roboh bergulingan di jalan. Tangan kiri memegangi leher, tangan kanan memegangi kepalanya yang bocor hahaha.
Payah, lawan gue ternyata preman amatir. Tahu temannya sudah gue lumpuhkan, mereka yang notabene pegang pisau justru berdiri gemeteran.
Gue berdiri santai dan memasang kuda-kuda. Kedua tangan bersiaga namun tidak gue kepal. Karena melawan penyerang yang bersenjata pisau, gue mesti “mengalir” dan beradaptasi. Kalau gue gagal, gue bisa mati kena tusuk di sini.
“Hiaatt!”
Keduanya bergerak bersamaan! Namun gue mesti tetap tenang. Dalam tempo sepersekian detik, otak gue menampilkan foto salah satu teknik bertahan sekaligus menyerang jika diserang oleh lawan yang bersenjata pisau.
Hal ini yang mendorong kaki gue untuk bergerak maju. Jika orang lain diserang reflek bergerak mundur atau minimal diam, justru gue sengaja maju dan mempersempit jarak. Sasaran gue adalah si anak punk berambut mohawk warna hijau. Dia kaget karena mungkin keheranan melihat gue justru mendekatinya.
Si mohawk lalu mencoba menusuk perut gue namun meleset karena gue terlebih dahulu mengelak ke kanan. Segera gue pegang pergelangan tangan kanannya. Gue pelintir hingga pisau lepas dari genggamannya lalu gue memposisikan punggung menempel badan si mohawk. Kini tangan kanan si mohawk berada di atas pundak kanan. Memanfaatkan daya serangan si mohak, gue sedikit merendahkan pinggang. Dan selanjutnya, gue tarik tangannya ke depan untuk membanting si mohawk hingga tubuhnya berdebum di jalanan aspal yang penuh debu, punggungnya langsung meliuk karena beradu dengan aspal yang tidak rata, wajahnya memperlihatan ekspresi kesakitan. Namun gue belum selesai. Pergelangan tangan kanan si mohawk yang sedari awal gue pegang kemudian gue pelintir ke bagian dalam kuat-kuat.
KRAK !!
Terdengar suara tulang berderak saat tangan yang gue pelintir kuat, gue tutup dengan sebuah tendangan lutut ke arah sikunya. Hasilnya, lengan dan pergelangan tangan si mohawk sudah tidak bisa lurus sejajar, pergelangannya menggantung lemas dengan posisi aneh. Wooow keren!
Si mohawk melolong seperti anak anjing yang hendak di sembelih, hihihi.
Gue yang merasakan ancaman bahaya dari arah belakang lalu berguling ke depan. Benar saja, si jabrik yang juga memegang pisau hendak menusuk gue yang sedang membelakanginya.
Gue tertawa mengejek. Si jabrik makin gemetar melihat ketiga temannya gue habisin dengan kondisi terluka parah.
Gue bersiul ke arah si jabrik. “Woi, malah bengong. Ayo main lagi. Kalau elo gak serang gue, gue yang serang duluan nih.”
“GUE BUNUH...GUE BUNUH LO..GUE BUNUHHHH ! HYAAAAAATTT!” teriak si jabrik lantang. Keberaniannya sudah muncul.
BETS !! BETS BETS !!
Serangan bertubi-tubi laiknya orang kalap dari jabrik yang mengarahkan pisau ke badan gue cukup merepotkan. Memang benar, kalau orang udah nekat. Dia sudah tidak mengenal rasa takut. Hanya saja orang nekat itu salah pilih lawan hari ini. Sambil mengelak gue mengintip mencari celah. Semakin gue bisa mengelak, semakin emosi si jabrik. Hahaha.
Gue baru mendapatkan momen pas ketika ia berhenti menyerang untuk sesaat karena kelelahan. Gue tendang tangan kanannya dari bawah hingga pisau terlepas dan terlempar ke atas. Pisau tersebut segera gue sambar.
Dan
JLEB !!!
Gue tusukkan ujung pisau ke lengan kanan bagian atas. Sengaja gak gue tusuk terlalu dalam. Namun sudah cukup untuk merobek kulit, daging dan ototnya. Gue ulangi 2 kali lagi ah.
JLEB !! JLEB !!
Akibat 3 luka tusuk di lengan, si jabrik bersimbah darah.
Setelah meraung kesakitan sembari memegangi lengannya, si jabrik reflek berjalan mundur sempoyongan hingga akhirnya tersandung lalu terjatuh. Wajahnya memucat saat gue mendatanginya sambil bersiul-siul dan menghunus pisau miliknya.
Si jabrik kemudian buru-buru mengeluarkan sesuatu dari saku celananya yang lusuh.
“In..ni..Ini..bang..ponsel yang gue rampas dari anak yang sedang pacaran di taman tadi.” Dengan tangan gemetar, si jabrik mengangsurkan ponsel hasil palak tadi di taman.
“Gue gak peduli lo mau balikkin ponsel itu anjing. Gue kesini bukan untuk jadi pahlawan. Lo jual aja itu ponsel buat berobat lo dan teman-teman lo.”
Tadinya gue masih mau eksekusi si jabrik tetapi waktu gue tinggal 5 menit. Gue harus segera kembali menyusul Suster Lila dan Tedi. Gue pun membuang pisau yang gue pegang. Gue mengeluarkan dompet dan mengambil semua isinya.
“Nih gue kasih duit sejuta buat tambahan berobat kalian.”
Masih belum puas sebenarnya, tadinya mau gue eksekusi dengan Dim Mak. Dim Mak modifikasi sih. Karena aslinya Dim Mak itu serangan dengan totokan jari. Gue jelas gak bisa menyerang hanya dengan totokan jari tanpa menjalani pelatihan yang sebenarnya. Jadi yang bisa gue pelajari dari Dim Max adalah titik serangannya. Totokan jari gue ganti dengan bogem. Ya anggap aja ini hari keberuntungan si jabrik.
Gue letakkan uang segepok di dekat si jabrik kemudian pergi meninggalkan lokasi sembari membuang sarung tangan yang penuh darah ke dalam bak sampah. Namun sebelum gue pergi, gue menyempatkan waktu untuk mematahkan kelima jari tangan kiri si jabrik, hahahaa.
Suster Lila dan Tedi yang tengah menyantap siomay di dekat lapangan tersenyum melihat gue kembali tepat waktu.
“Wuih lari sampai mana lo ? Sampe jaket training lo basah semua,” tanya Tedi.
“Cuma di sekitaran taman di sana kok bang.”
Gue baru sadar, ternyata badan gue bersimbah keringat. Hasil perburuan hari ini sangat menyenangkan dan menyehatkan sekali !!
GUE KETAGIHAN !
Selanjutnya setiap kali gue dapat kesempatan untuk jalan-jalan keluar, gue selalu mencari cara untuk menyelinap pergi sendirian. Tentu saja untuk mencari sparring partner. Beberapa kali gue menemukan lawan yang tangguh dan membuat gue terdesak namun pada akhirnya gue selalu memenangkan perkelahian. Gue memang menderita beberapa luka pukul, untungnya tidak membekas di wajah, sementara luka pukulan di badan gue masih bisa tenang karena tidak terlihat dari luar. Biasanya di malam hari saat berada di kamar, luka lebam di badan gue obatin sendiri.
Namun hobi gue tersebut terhenti saat gue mesti menghadapi ujian yang setara dengan kelulusan SMP. Karena susah mendapat ijin keluar, maka gue menyibukkan pikiran dengan belajar bermain gitar secara otdidak. Dan rupanya gue cukup punya bakat dan dalam waktu yang cukup singkat, gue sudah lumayan mahir. Dari bermain gitar inilah, gue kemudian menemukan sebuah aliran musik yang musiknya gue banget dan mampu memacu adrenalin gue.
METAL.
Kegemaran gue terhadap musik metal yang setiap hari gue dengarkan lewat headset, membuat daya imajinasi gue bergerak liar. Lirik-lirik lagu metal yang serba “gelap” menjadi inspirasi saat gue mulai mencoret-coret lembar halaman paling belakang di buku tulis. Lama kelamaan gue mulai suka menggambar sebuah objek yang identik dengan kematian dan musik metal itu sendiri yakni tengkorak.
Kedua hal ini sangat membantu gue dalam menjalani ujian dan fase terakhir proses rehabilitasi. Kalau ujian kelulusan SMP gue tidak terlalu pikirkan karena gue yakin lulus. Yang lebih menentukan adalah surat rekomendasi yang dikeluarkan oleh pihak RSJ kepada pengadilan. Apakah gue dinyatakan layak untuk kembali ke masyarakat atau justru “selamanya” mendekam di salah satu bangsal RSJ.
Dan hari yang menentukan itu akhirnya datang juga. Berdasarkan observasi yang dilakukan selama 3 bulan semenjak gue masuk ke RSJ, akhirnya keluar 5 keputusan penting.
1. Gue dinyatakan lulus ujian setara SMP dengan nilai NIM sangat memuaskan.
2. Gue dinyatakan “lulus” dan bisa kembali ke masyarakat karena sudah dinilai sudah sehat secara mental.
3. Identitas asli gue akan dilindungi demi keselamatan dan kenyamanan semua pihak.
4. Gue harus pindah untuk selamanya dari Kota RRR dan dilarang berhubungan dengan semua orang yang berasal dari SMP gue yang terdahulu.
5. Gue akan dikenakan masa percobaan sampai gue berusia 18 tahun alias 2 tahun. Selama masa percobaan gue akan dipantau penuh. Dilarang terlibat aktivitas apapun yang berhubungan dengan tindak kekerasan. Jika terbukti melanggar, surat perlindungan akan di cabut dan gue akan langsung di kirim ke Lapas Anak.
Mama langsung menangis sambil memeluk gue. Dokter Seto dan Suster Lila mengangguk sembari tersenyum ke arah gue. Reaksi gue?
Akhirnya gue bebas.... mencari mangsa.
khu...khu...khu....
Beberapa hari sebelum gue di ijinkan pulang, Suster Lila menemani gue jalan-jalan di Mall. Kami makan dan menonton film. Menyenangkan sekali. Dan sebelum kami pulang, kami mampir ke cafΓ© untuk menikmati segelas kopi.
“Kamu sudah memutuskan untuk melanjutkan sekolah di mana?” tanya Suster Lila sembari menyeruput espresso.
Gue menggeleng. “Belum tahu kak. Yang jelas bukan di Kota ini. Semuanya gue serahkan kepada mama. Karena gara-gara gue, Mama jadi ikut menderita dan ikut terusir dari kota kelahirannya.”
“Gue dengar kalian akan pindah ke Kota XXX yang ada di pulau XXX ya?”
“Iya. Seperti yang gue bilang tadi sih kak, kemanapun tujuan Mama gue ikut saja.”
“Aku yakin kamu akan betah tinggal di Kota XXX. Kota XXX adalah salah satu kota besar di Indonesia dan sudah sangat maju. Di sana juga banyak terdapat SMA Negeri atau SMA Swasta berkualitas yang selalu masuk ke 5 besar sekolah terbaik nasional. Tante Rere sudah pasti memilih Kota XXX sebagai tempat kalian memulai kehidupan baru, salah satunya karena kemajuan pendidikan di sana. Dengan NIM yang nyaris sempurna, kamu tinggal tunjuk mau sekolah dimana disana,” ujar Suster Lila sembari menyibakkan rambutnya ke belakang telinga, menatap gue sebentar lalu memandang ke arah jendela luar.
Dan gue melihat hal itu seperti slow motion. Sudah banyak momen yang gue habiskan dengan Suster Lila, gue baru menyadari bahwa betapa cantiknya dia. Dari sekian banyak Suster di RSJ, hanya dia satu-satunya yang nampak biasa saja berdekatan dengan pasien yang sudah membunuh dua orang dimana salah satunya adalah ayah kandung gue sendiri. Di hari pertama kami berkenalan, berkat keramahannya Suster Lila membuat gue merasa nyaman dan gue diperlakukan sebagai seorang teman, seorang manusia, seorang remaja, seorang korban.
Gue sudah sering melihat Suster Lila memakai pakaian bebas namun untuk hari ini, entah kenapa ada yang terlihat berbeda. Padahal Suster Lila hanya mengenakan dress panjang selutut berwarna abu-abu dengan sneaker putih. Rambut yang biasanya ia ikat rapi, dibiarkan bebas tergerai panjang sebahu. Cuma satu kata, mempesona sekali. Dari kami jalan di Mall, entah berapa banyak cowok yang mencuri pandang bahkan secara terang-terangan menatap ke arah Suster Lila yang terlihat cuek meskipun menjadi pusat perhatian. Selain berparas cantik, dengan tinggi dan bentuk badan yang proporsional, siapapun akan percaya jika Suster Lila bilang bahwa ia berprofesi sebagai seorang model.
“Oi, malah bengong kamu. Udah ngantuk ya?” tanya Suster Lila sambil mencolek lengan gue.
“Gak kok sus.”
“Udah berapa kali kakak bilang, kalau sedang berada di luar, gak usah panggil aku dengan Suster atau sus. Ntar dikira namaku Susi. Panggil kakak atau kak Lila saja.”
“Kak?” timpal gue dengan nada heran. “Masak udah umur 30 tahun minta di panggil kak. Harusnya di panggil Ibu atau tante. Eh tapi Suster kan belum nikah?”
CTIK
“Aduh!” kata gue reflek sambil mengusap-usap kening yang tiba-tiba di sentil Suster Lila cukup keras.
“Dasar bocah, gak sopan. Cewek tuh sensitif kalau ada yang nyinggung masalah umur dan status. Inget itu!”
Oh gue salah ya ngomong apa adanya. Tapi ya udahlah, kalau memang mau di panggil kak.
“Yaudah kak, Zen minta maaf. Kak, gue ke belakang dulu ya. Kebelet pipis.”
“Ya, sana. jangan ngompol di sini,” raut muka cemberutnya langsung hilang saat gue minta maaf.
Semua cewek memang aneh, batin gue.
Saat gue berjalan ke toilet, gue melewatibeberapa cowok yang gue perhatikan sedari kami masuk ke cafΓ©, mereka terus-terusan menatap ke arah meja kami. Tentu saja untuk memperhatikan Suster Lila. Selama mereka cuma melihat, gak masalah. Ada sekitar 10-15 menit gue di dalam toilet karena perut gue sedikit bermasalah karena tadi makan makanan yang sangat pedas. Saat gue sudah selesai dan keluar dari toilet. Gue mendapati ada satu cowok memakai jaket merah duduk di kursi gue dan tengah berbincang dengan Suster Lila. Dari gestur dan ekspresi Suster Lila, kehadiran si cowok itu membuatnya tidak nyaman. Gue mengenali si jaket merah ini bagian dari kawanan orang yang sedari awal terus memperhatikan Suster Lila.
Suster Lila terlihat lega melihat gue sudah datang. Ia langsung berdiri dan mengajak gue pulang. Sementara si jaket merah tertawa-tawa tidak jelas, teman-temannya juga malah bersiul.
“Kak Lila di ganggu cowok itu?” tanya gue saat kami sudah berada di luar.
“Biarin aja, sok ganteng. Kamu sih lama di toilet.”
“Maaf kak, perut gue sakit. Sepertinya karena terlalu banyak makan pedas.”
“Duh maaf ya, gara-gara kakak ajak kamu makan yang pedas-pedas sih ya. Kamu masih punya obat buat sakit perut?”
“Gak ada kak, udah habis,” jawab gue sambil sedikit meringis sambil memegangi perut.
“Duh, yawdah kamu tunggu sini bentar. Kakak belikan obat dulu. Tuh di sana ada apotik.”
“Baik kak.”
Begitu Suster Lila pergi menuju apotik, gue berhenti berpura-pura sakit perut. Perut gue baik-baik saja, Gue sengaja melakukannya agar Suster Lila pergi ke apotik. Gue perkirakan paling lama 10 menit Suster Lila di Apotik. Itu waktu yang sudah lebih dari cukup buat gue untuk bertindak. Gue melihat ke dalam cafΓ©, si jaket merah pergi sendirian ke belakang, sepertinya ke toilet. Gue lalu kembali masuk ke dalam cafΓ© melalui pintu samping.Sebelum gue masuk ke dalam cafΓ©, gue mengambil asbak dari kaca tebal yang ada di meja luar cafe. Gue memasukkan asbak ke dalam saku jaket dan segera masuk ke toilet. Saat gue masuk ke dalam toilet, si jaket merah sedang mencuci tangan di wastafel. Ia tidak memperhatikan gue masuk. Gue lihat sekeliling toilet. Empat biliknya terbuka berarti tidak ada orang lain. Cuma ada gue dan cowok tengil yang sudah menggganggu Suster Lila.
BUGH !
Gue pukul kepala si jaket merah dari belakang dengan asbak lalu gue jambak rambutnya dan gue hantamkan ke kaca wastafel hingga kaca tersebut retak, serta membuat keningnya berdarah. Sebelum ia berteriak, gue pukul mulutnya dengan asbak. Cukup membuatnya mengeram kesakitan sambil memegangi mulut. Gue seret si jaket merah masuk ke dalam salah bilik, lalu gue injak-injak muka dan badannya hingga ia pingsan mengelepar di lantai. Kalau saja gue gak inget sebentar lagi gue bakalan bebas, udah gue hantam kepalanya dengan tutup tangki air untuk flush yang terbuat dari keramik. Gue kemudian menjambak rambut si jaket merah dan gue posisikan wajahnya menghadap ke lubang toilet. Gue pegangi kepalanya lalu gue tekan tombol flush.
Otomatis si jaket merah yang tadinya pingsan langsung tersadar karena air masuk ke dalam mulut dan hidungnya.Ia berusaha berontak namun gue tetap tahan kepalanya sampai siraman airnya surut. Gue ulangi beberapa kali sampai akhirnya gue dudukkan dia di atas WC. Si jaket merah megap-megap, ia berusaha menggapai gue. Sebagai penutup, gue pukul wajahnya hingga kepalanya tersentak ke belakang.Ia kembali pingsan, tubuhnya merosot bersandar ke belakang WC bertipe WC duduk.
Sambil bersiul gue keluar dan menutup pintudari bilik dari luar. Lalu gue ke wastafel untuk mencuci tangan serta asbak yang gue pakai untuk menyerannya. Untuk orang yang sudah macam-macam dengan Suster Lila, dia gak pantas untuk mendapat respek jadi sah-sah saja gue menyerangnya secara tiba-tiba. Setelah semuanya bersih, gue mengendap-endap keluar dari cafΓ© melalui pintu samping dan tidak lupa mengembalikan asbak ke meja seperti semula.
Saat gue sudah kembali di depa cafe, sebuah taxi berhenti di depan gue. Jendela belakang terbuka, Suster Lila rupanya.
“Cepat masuk Zen. Kamu duduk belakang aja,” perintah Suster Lila lalu membukakan pintu mobil dari dalam.
Gue pun segera masuk dan Taxi melaju dengan tenang.
Hari yang menyenangkan.
Sekitar jam setengah sepuluh, Taxi berhenti di seberang RSJ. Gue agak bingung saat Suster Lila membayar si sopir Taxi lalu ikut keluar.
“Loh, kak Lila belum mau pulang?”
“Belum, masih ada kerjaan dikit.”
Padahal setahu gue, hari ini jadwalnya Suster Lila libur. Kami masuk lewat pintu belakang. Lorong RS terlihat sudah lengang. Selain security yang berjaga di depan, kami berdua belum berpapasan dengan siapapun. Biasanya kalau jam segini, semua suster berkumpul di ruang perawat yang ada di tiap lantai. Kamar gue berada di lantai 6 jadi kami naik lift.
“Kak Lila, turun di lantai berapa?” gue bertanya setelah pintu lift tertutup.
“Enam,” jawabnya singkat.
Saat lift mulai naik, terjadi keheningan sesaat. Suster Lila berdiri diam dan tenang. Kok hawanya jadi agak aneh sih. Biasanya Suster Lifa itu punya banyak sekali bahan obrolan. Ah, mungkin dia capek. Karena gue pada dasarnya pendiam, gue pun juga diam hingga Lift berhenti di lantai 6. Kami keluar dari bersamaan.
“Suster, gue istirahat dulu. Terimakasih udah ngajakin jalan-jalan,” ucap gue saat sudah berada di depan pintu kamar.
Suster Lila hanya tersenyum. Ia seperti hendak mengucapkan sesuatu namun tertahan di mulutnya. Hingga akhirnya ia mengelus kepala gue lalu pergi menuju ruang perawat yang berada di ujung lorong.
Ankward sekali sih sikap Suster Lila.
Namun baru juga gue masuk ke dalam kamar, menyalakan lampu. Tiba-tiba kamar gue diketuk dari luar. Gue lihat dari kaca yang ada di pintu, Suster Lila yang mengetuk.
“Ada apa Su-”
Kalimat gue terputus karena Suster Lila menangkupkan telapak tangannya ke mulut gue lalu mendorong tubuh gue masuk ke dalam kamar. Pintu kamar ditendang pelan oleh Suster Lila hingga tertutup.
Gue memegang tangan Suster Lila kemudian mengalihkannya dari mulut gue. Sikapnya yang janggal barusan mempertegas keanehan yang gue rasakan ketika kami pulang tadi.
“Ada apa ini Sus?”
“Duduk,” perintah Suster Lila.
Gue pun duduk di satu-satunya sofa yang ada di kamar. Gue menuruti perintah Suster Lila. Setelah gue duduk, Suster Lila terlihat tenang.
“Zen. Kamu sudah kakak anggap sebagai adik kandung yang tidak pernah kakak miliki. Dari pertama kakak melihat sorot matamu yang tajam, kakak bisa ngrasain kesedihanmu. Di umur yang masih sangat belia, kamu menanggung beban derita yang sangat besar. Jika semua orang takut denganmu, justru kakak ingin dekat dan akrab sama kamu. Kakak ingin kamu tahu, semua orang pantas merasakan kebahagiaan, termasuk kamu. Dan 3 bulan ini kakak menyaksikan sendiri sorot mata yang tajam, kaku, tidak percaya dengan siapapun, telah melunak. Perlahan kamu menemukan rasa percaya diri dan ketenangan. Kakak luar biasa bahagia saat tahu kamu bisa melewati masa rehab yang berat. Lusa kamu mesti pergi. Maaf, kakak tidak akan ada di sana untuk mengantar kamu pergi menuju ke kehidupanmu yang baru. Oleh karena itu, kakak akan memberikan sesuatu kepadamu. Salah satu bentuk kebahagiaan duniawi sekaligus ragawi.”
CTIK.
Suster Lila mematikan lampu. Sehingga kamar gue hanya mendapat penerangan dari lampu yang ada di luar jendela. Gue merasakan ada sesuatu dalam diri gue yang timbul lalu mengeras saat Suster Lila menanggalkan bajunya di depan gue.
Gue seakan terkena bius saat Suster Lila yang kini hanya mengenakan bra dan CD warna hitam, duduk di pangkuan gue. Tangannya mengalungi leher gue. Sehingga wajah kami berdua sangat dekat sekali. Terasa hembusan nafas Suster Lila semakin cepat. Begitupun juga nafas gue. Gelora birahi mulai terbentuk di dalam diriku.
“Ayo Zen, ambil hadiahmu. Kakak akan membuatmu jadi pria dewasa malam ini,” bisiknya pelan sebelum akhirnya Suster Lila mengulum bibir gue dengan kasar. Sambil mencumbu, kedua telapak tangan Suster Lila merabai belakang kepala gue.
Tidak butuh intelejensia tingkat dewa untuk menyimpulkan bahwa Suster Lila mengajak gue berhubungan seks sebagai hadiah perpisahan. Gue jelas dengan senang hati membiarkan keperjakaan gue hilang malam ini dimulai dengan membalas cumbuan panas bibir Suster Lila.
Perbedaan usia 16 tahun di antara kami berdua bukanlah penghalang berarti saat tubuh polos kami bersentuhan, bergesekan langsung tanpa ada penghalang. Tubuh Suster Lila masih sangat bagus dengan paras layaknya gadis awal 20 tahunan. Suster Lila dengan sabar membimbing gue dalam ritual kenikmatan yang belum pernah gue lakukan. Saat bagian dari tubuh kami bersatu, gue seperti dibawa pergi ke suatu tempat di awang-awang. Terlebih lagi ketika ada bagian dari dalam diri gue memberontak keluar dan mengisi relung Suster Lila.
Damn.
***
Suster Lila benar-benar membuktikan ucapannya di malam itu. Setelah peristiwa menakjubkan malam itu, Suster Lila menghilang. Berdasarkan informasi dari salah satu Suster ternyata Suster Lila mengambil cuti panjang untuk mempersiapkan pernikahannya yang diselenggerakan seminggu lagi dengan prosesi sederhana, tidak ada pesta besar. Hanya keluarga serta sahabat-sahabat terdekat kedua mempelai.
Menikah? Selama ini Suster Lila tidak pernah bercerita bahwa ia sudah memiliki calon suami dan sebentar lagi menikah. Jika ia memang akan menikah, kenapa ia mau tidur dengan orang lain, dalam hal ini gue. Entahlah, gak ngerti gue. Yang pastigue turut turut berbahagia.
Terimakasih Suster Lila, terimakasih banyak.
Malam sebelum kami pergi, lagi-lagi gue mendapatkan kejutan. Kali ini kejutan berasal dari Dokter Seto. Ia berlutut di depan mama dan membuka kotak berisi cincin lalu berkata singkat.
“Rere, Will You Marry Me?”
Mata mama langsung berkaca-kaca, ia menangis. Gue menghampiri mama lalu berbisik sambil memeluknya.
“Terimakasih Ma karena selalu berada di samping Zen. Zen sudah merasa baik. Kini Mama pantas untk mendapatkan kebahagiaan, mendapatkan kasih sayang dari orang yang bisa memberikan mama perasaan damai.”
Mama mencium kening gue lalu mengangguk ke arah Dokter Seto. Anggukan yang di sambut tepuk tangan meriah dari para suster, beberapa dokter dan pimpinan RSJ. Keesokan harinya Dokter Seto dan Mama melaksanakan akad nikah di KUA dengan sederhana namun khidmat. Sedari awal gue memang mencium ada sesuatu yang spesial antara Mama dengan Dokter Seto, seorang duda tanpa anak. Usia mereka sama yakni 42 tahun. Sama-sama berstatus janda dan duda. Dan yang terpenting sama-sama saling mencintai. Gue juga merasakan niat tulus dari Dokter Seto. Ia sampai rela meninggalkan posisi Dokter senior di RSJ Kota RRR demi menemani gue dan mama pindah ke Kota XXX.
Ketika kami bertiga berada di dalam Taxi menuju bandara, Dokter Seto ehm maksud gue, Papa (gue sengaja memanggilnya Papa, karena panggilan Ayah identik dengan pria brengsek yang sudah gue bunuh) bertanya sesuatu.
“Kamu sudah memutuskan ingin melanjutkan di SMA mana Zen?”
“Sudah Pa.”
“Di mana?”
“SMA NEGERI XXX.”
“Ah Papa setuju ! Itu SMA yang sangat berkualitas. Masuk ke dalam 3 SMA terbaik di negeri ini.”
Entah kenapa dari pertama gue melihat profil, sejarah sekolah tersebut gue sudah merasa cocok. Apalagi dari hasil browsing internet dan beberapa forum undeground tentang SMA NEGERI XXX yang gue baca, gue mendapatkan fakta.
Jangan tertipu dengan nama besar dan kualitas pendidikan SMA NEGERI XXX semata karena di balik nama besarnya tersimpan sejarah panjang para murid-muridnya, bajingan-bajingan berdarah panas yang ambisius.
Oleh karena itu gue dengan mantap memilih SMA NEGERI XXX sebagai destinasi gue berikutnya.
Ah gue tahu lagu yang cocok dengan perasaan excited gue terhadap SMA NEGERI XXX, calon sekolah gue yang baru. Sekolahnya para bajingan. Gue pasang headset dan memutar lagu tersebut.
SMA NEGERI XXX
Zen The Butcher..Reporting In.
Khu...khu...khu...khu...
x-x-x FLASHBACK SELESAI x-x-x
Sampai sekarang gue masih tidak tahu, perisiwa misterius yang gue alami pada malam itu dan mempengaruhi hidup gue sampai sekerang, entah memang benar terjadi atau hanya sekedar mimpi.
Sementara gue udah putus kontak dengan Suster Lila semenjak malam persetubuhan kami. Nomor ponselnya sudah tidak aktif begitupun juga dengan akun sosmednya seperti Instagram dan Twitter sudah deactivated semua. Bahkan infonya Suster Lila juga sudah resign dari RSJ Kota RRR setelah menikah dan ikut suaminya pindah ke luar negeri.
Suster Lila, semoga suatu hari nanti kita masih bisa berjumpa.
Sementara itu, masih terbayang dengan jelas di hari pertama masuk sekolah SMA NEGERI XXX. Para siswa cowok saling beradu pandang dengan kilatan mata tajam satu sama lain, seperti saling mengukur kekuatan lalu saling membentuk kelompok-kelompok. Sementara gue? Gue bukan orang yang nyaman berada di tengah banyak orang. Gue lebih suka menyendiri. Di saat gue merasa gak butuh siapapun, datang dua orang yang sedari awal terlihat sok akrab sama gue. Mereka adalah teman sekelas gue. Siapa lagi kalau bukan Xavi dan Yosi. Kedua orang ini pada dasarnya supel dan mudah berkawan dengan siapa saja. Mungkin mereka bersimpati sama gue yang terlihat murung dan tidak banyak bicara saat perkenalan. Hal itu yang membuat gue terpengaruh dan di luar ekspetasi gue, di hari pertama gue bersekolah, gue sudah mempunyai dua teman baru yang menyenangkan. Lalu keesokan harinya kami bertiga melihat ada 1 siswa yang baru masuk di hari kedua. Yandi namanya. Saat perkenalan dia bercerita bahwa ia dari kampung dan baru pindah ke Kota setelah diterima di SMA NEGERI XXX. Agak kasian melihatnya ia diejek oleh 1-2 murid lain hanya karena ia berasal dari kampung. Gue lihat murid yang mengejeknya, gue perhatikan dari kemarin sudah bersikap sok jagoan. Awas aja kalau mereka cari gara-gara sama gue.
Rupanya sesi perkenalan Yandi di depan kelas berakhir dengan sindiran Yandi kepada Gom dan Leo. Entah apa yang terjadi ketika jam istirahat baru dimulai, Yandi terlihat begitu emosi dan hendak mendatangi keduanya. Namun Yosi memutuskan menenangkan Yandi dan mengajak ia nongkrong bersama kami.
Pada hari itulah, petualangan kami berempat di SMA NEGERI di mulai. Setelah konflik dan perkelahian yang berlarut-larut akhirnya hari ini kami mendapat kesempatan untuk menuntaskan semuanya. Termasuk urusan gue dengan Budi yang belum selesai. Gue kalah dari Budi karena menyepelekan kekuatannya. Gue mesti akui, Budi memang bukan orang sembarangan. Budi yang berniat mematahkan tangan gue dengan kunci ring, gagal karena Yandi datang menolong di saat-saat krusial. Gue marah karena kalah namun di saat yang sama darah gue mendidih. Karena inilah yang gue cari-cari selama ini ! sparring partner yang mampu membuat adrenalin gue naik! Hal yang tidak gue dapatkan saat mendatangi Yusuf, Rudi dan Gom. Level ketiganya hanya lumayan, di bawah lumayan. Mereka bertindak sok jagoan hanya karena tergabung di kelompok Oscar. Urusan battle satu lawan satu, mereka cuma kroco.
Fiuh, terlepas dari itu semua. Gue patut berterimakasih kepada tante Clara. Berkat bantuan dia, Zen The Butcher bisa beraksi dengan bebas tanpa takut melanggar klausa pembebasan bersyarat dari pengadilan. Karena posisi om Benny yang berpangkat Brigjen, gue bisa lepas dari segala tuntutan dan tidak ada yang berani repot-repot mencari tahu latar belakang gue.
Aih, kebanyakan ngelamun masa lalu gue jadi laper.
Saat gue keluar dari kamar, rumah sudah sepi udah jam 10 lewat. Ortu sudah pergi bekerja. Di meja makan ada lauk ayam goreng dan sop buatan mama yang lezat. Gue lalu sarapan yang rada kesiangan. Setelah kenyang, gue lalu mandi berendam di bathub dengan air panas. Badan gue rasanya berat dan pegal. Bagaimana tidak, kemarin gue dan anak-anak XYZ menggila di stage pensi. Ternyata selain berkelahi, bermain musik keras bisa memompa adrenalin gue sampai nyaris meledak. Gue dan Yandi bergantian “bernyanyi”. Dia vokal di lagu Dying Fetus, sementara gue mengisi vokal di Suicide Silence. Gue dan Yandi belajar otodidak lewat internet bagaiman teknik scream dan growl agar kedua lagu tersebut bisa maksimal. Dan hasilnya memang gilak ! gak sia-sia gue sama Yandi sampai sakit tenggorokan, suara serak dan bahkan sampai sempat hilang suara selama beberapa jam gyahahaha.
Sebelum gue melamun lebih jauh, gue keluar dari bathub mengenakan handuk lalu ke kamar untuk mengambil ponsel yang full dan speaker Bluetooth. Gue bawa ke kamar mandi. Setelah pintu kamar mandi gue tutup, gue memasang salah satu lagu dari penyanyi favorit gue, gue sambung ke speaker dan gue setel mode repeat current song. Gue setel dengan volume cukup keras lalu gue kembali masuk ke dalam bathub.
https://soundcloud.com/sosmanagement/marilyn-manson-the-beautiful
beautiful music + hot water, this is so fucking good. Ngelamun jadi makin menyenangkan. Oh gue tadi melamun sampai mana ya? Oh iya, gue tadi mulai melamun tentang penampilan gue bersama ketiga sohib gue di pensi kemarin.
Menyaksikan ekspresi semua orang yang terkaget-kaget saat kami XYZ “membakar” big stage dengan 4 lagu super kencang dan cadas, what a priceless moment we have. Apalagi provokasi kami kepada kelompok Oscar cs juga berhasil. Mereka Cuma diam, namun dari ekspresi dan tatapan mereka. Mereka seperti kami permalukan haha. Tidak ada keributan yang terjadi sesuai harapan kami. Entah karena anak-anak XYZ yang berjaket hitam seragam lengkap dengan logo XYZ hasil sketsa gue, memiliki control diri yang bagus atau karena takut dengan ancaman gue.
“Siapapun yang lepas kendali dan mengacaukan rencana, sebaiknya segera pindah sekolah daripada gue antarin ke Rumah Sakit Ortopedi.”
Sebegitu takutkan anak-anak XYZ dengan gue? Sepertinya apa yang sudah gue lakukan kepada Rudi, Yusuf, Gom serta hukuman yang gue berikan dua pengkhianat Sigit dan Bembi membuat mereka tidak mau berurusan dengan gue. Baguslah ! gue gak butuh respek dari mereka juga sih. Lebih baik gue ditakuti daripada dihormati. Untuk urusan respek biarlah itu menjadi urusan Yandi, yang memiliki sifat bisa merangkul banyak orang. Gue sudah cukup puas mengambil peran sebagai tukang siksa haha.
Secara keseluruhan, kemarin memang hari yang gila. Setelah berhasil membakar Big Stage, gue dan teman-teman sangat menikmati suguhan dari para bintang tamu. Dan puncaknya ketika gue bisa melihat dengan mata kepala gue sendiri penampilan Su-Metal, Yui-Metal dan Moa-Metal diiringi 4 orang genius yang mengiringi ketiganya. Siapalagi kalau bukan Kami Band dan Babymetal.
Ketika nama Babymetal mulai sering dibicarakan di forum-forum scene metal luar negeri yang rutin gue baca, gue skeptis dengan Babymetal. Sama halnya dengan para metalhead lainnya. 3 cewek usia belasan tahun jebolan grup idola asal Jepang menyanyikan lagu-lagu metal sambil nge-dance diiringi fake band berkostum tengkorak. Mereka menyedihkan dan merusak metal dengan konsep idol !! Namun lambat laun, gue makin penasaran dengan Babymetal dan mencoba memberi mereka kesempatan. Lalu pada suatu hari gue sengaja menonton salah satu live perfomance Babymetal menyanyikan salah satu single mereka berjudul “Headbangeeeeeerrrrrr!!!!”. Dari judulnya sih terlihat cadas namun bisa jadi musiknya dangkal dan memang mereka Cuma lipsync. Kalau 1 menit pertama gue muak liatnya, fix gue akan menjadi haters Babymetal.
GI.LAK !
Cuma itu yang bisa gue katakan ketika selesai menonton video tersebut. Mereka bertiga bernyanyi langsung dan konstan terus nge-dance sepanjang lagu tanpa kehilangan nafas sama sekali! Dan fake band berkostum tengkorak sudah di ganti oleh band pengiring full make up ala KISS dan berpakaian serba putih. Keempatnya bermain sangat powerfull. Cuma sekali lihat, gue tahu dibalik dandanan aneh tersebut, para pengiring Babymetal bukanlah musisi sembarangan !
Antara excited dan penasaran, tanpa terasa gue tenggelam dalam puluhan video clip beserta video live perform Babymetal di Youtube.
FIX.
Gue suka Babymetal dan para personil Kami Band! Siapapun orang yang sudah memiliki ide menggabungkan musik metal dengan 3 remaja enerjik alumni Sakura Gakuin, wajib mendapat respek dari semua headmetal ! Bahkan genre metal ala Babymetal mendapat sebutan tersendiri yakni Kawai Metal ! Haha. Metal unyu ! Sejak saat itu 2 album Babymetal tidak pernah hilang dari playlist di ponsel gue.
Makanya ketika Vinia bercerita bahwa salah satu bintang tamu luar yang dihadirkan di BIG BANG adalah Babymetal, gue langsung merinding. BABYMETAL datang ke Indonesia dan bermain di acara pensi sekolah gue !!! Ketika kemarin Babymetal akhirnya bermain di Big Stage, gue yang semula di belakang crowd, langsung merangsek ke paling depan! Gue gak peduli orang yang gue suruh minggir tidak terima atau tersinggung. Meskipun kayaknya kemarin gak ada yang komplain sih di depan muka gue, gak tahu kalau mereka ngomongin gue dari belakang haha bodo amat !
Gue gak peduli kalau di antara Yandi, Yosi dan Xavi hanya gue yang jomblo. Di saat ketiganya datang dan menikmati acara dengan pacar atau gebetan, gue gak peduli dan gue gak minat pacaran sama remaja-remaja labil emosi seperti Dita pacar Yandi atau sok akrab seperti Dea pacar Yosi.
INTINYA GUE GAK BUTUH ORANG TERTENTU UNTUK MEMBUAT DIRI GUE SENANG ! GUE BAHAGIA DENGAN DIRI GUE YANG SEKARANG!
Gue merinding asli saat opening Babymetal ala Star Wars dimulai ! Lalu diikuti keluarnya 4 personil Kami Band. BABYMETAL DEATH !! ARGH! Gue berteriak histeris kayak bocah pas dentuman musik dari Kamiband menjadi pengiring moment dimana Su-Metal, Moa-Metal dan Yui-Metal berjalan keluar dari backstage sembari mengangkat bendera hitam berlogo BABYMETAL!
AM I DREAMING?!
(Yang punya kuota internet berlebih, bisa dinikmati dulu. Anggap aja kalian menjadi Zen dan inilah Babymetal yang Zen saksikan di BIG BANG! INI KEREN ASLI! PENAMPILAN PERDANA BABYMETAL DI SONISPHERE 2014 YANG MEMBUAT PARA HATERS MENJADI FANS GARIS KERAS BABYMETAL.)
30 menit selanjutnya menjadi salah satu dari segelintir momen terbaik di kehidupan gue.
5 lagu yang dibawakan Babymetal malam itu sangat luar biasa tanpa cela ! Sampai akhirnya gimmick khas Babymetal untuk mengakhiri konser pun muncul.
“WE ARE ?” teriak Su-Metal sambil lalu mengarahkan mic ke kami para penonton.
“BABYMETAL !!” jawab Moa-Metal, Yui-Metal dan kami semua para penonton sembari mengacungkang tangan ke atas membentuk Metal Horns.
“WE ARE ?” teriak Su-Metal lebih keras sambil tersenyum.
Teriakan “BABYMETAL !!” pun membahana lebih keras daripada sebelumnya.
Lalu ketiganya berdiri di tengah stage dan berkata “SEE YOU!” secara centil sembari berjalan meninggalkan stage!
Tepuk tangan yang sangat keras menjadi akhir dari penampilan Babymetal nan Epik malam ini !
PUAS !! PUASSS BANGETTT !!!!
Begitu lampu di Big Stage padam, gue langsung berlari menuju backstage. Tujuan gue tentu saja ingin foto bareng dengan Babymetal dan Kamiband. Namun harapan gue langsung pupus karena bodyguard dari manajemen mereka melarang siapapun termasuk panitia untuk mendekati tenda khusus Babymetal. Nikita yang menjadi sie acara pensi aja cuma geleng-geleng saat gue minta tolong dibantu minimal foto bareng.
“Perubahan rencana Zen. Mr Koba melarang siapapun menemui mereka dengan alasan agar mereka bisa istirahat. Bahkn jam 3 dini hari nanti mereka langsung flight pulang ke Jepang,” terang Nikita menjelaskan.
Meskipun kecewa namun ini sudah lebih dari cukup. Gue gak bisa komplain. Babymetal mau datang dan bisa bermain di pensi kami saja sudah sesuatu hal yang luar biasa. Gue lalu kembali ke tenda dan membereskan pakaian. Sebenarnya masih ada penampilan terakhir dari Paramore sekaligue penutup pensi, namun gue kurang begitu suka terlebih lagi gue mulai capek. Gue lalu memberikan ID Pensi gue kepada Nikita.
“Nik, gue duluan. Tar kalau anak-anak XYZ cariin gue, bilang aja gue udah pulang.”
Nikita kaget karena gue mau pulang. “Eh Zen, kan bentar lagi ada Paramore terus ada pesta kembang api! Nyesel lo nglewatin itu semua.”
Gue menggeleng. “Gue udah letih. Lagian melihat dari banyaknya camera professional yang ada di venue, gue yakin penampilan seluruh bintang tamu dari awal hingga akhir acara, akan di dokumentasikan dengan baik.”
“Aish tahu aja elo. Iya penyelenggaraaan Big Bang hari ini nanti akan dibuatkan dokumenternya dari persiapan, audisi hingga seluruh penampilan para pengisi acara dan bintang tamu hari ini. Semua panitia, guru dan peserta yang lolos audisi akan mendapatkan DVD-nya gratis. Lalu 200 keping DVD sisanya akan dijual hanya kepada para siswa SMA NEGERI XXX dengan harga 299 ribu.”
“Hehe, kalian panitia keren ! Salut gue sama kalian. Di tunggu ya DVD nya. Yawdah gue balik dulu.”
Sekitar jam 1 pagi di saat gue tengah berbaring di kamar , WA gue bunyi tiada henti. Banyak yang nge-share foto di grup saat XYZ perform. Lalu foto-foto kami di tengah para penonton. Dan ternyata ada sesi foto bareng XYZ and the gang dengan latar belakang tulisan BIG BANG SMA NEGERRI XXX. Semua lengkap bahkan ada Dita, Dea, Vinia dan juga Asha. Hahaha Xavi sepertinya berhasil menggaet Asha. Cuma gue yang gak ada Foto. Tapi gak masalah sih buat gue. Yandi, Yosi, Xavi dan beberapa anak lain pada nyariin gue di grup dan japri.Gue cuma lihat dan baca chat anak-anak tapi gak gue bales. Lalu ponsel gue matikan.
Jika anak-anak masih merasakan euforia pensi, dari perjalanan gue pulang, gue uda mulai berpikir tentang acara lain yang jauh lebih mendebarkan di aula sekolah. Akhirnya hari yang paling di nantikan oleh para siswa bajingan SMA NEGERI XXX terwujud nanti malam.
Final Clash..
Duel yang akan sangat menentukan buat kedua kelompok yang berseberangan. Kalau kami sedari awal tidak berminat ikut dalam arus perebutan titel kelompok siapa yang paling kuat di SMA NEGERI XXX. Yandi, gue, Yosi, Xavi dan anak-anak XYZ lainnya akan ikut ke dalam pesta nanti malam demi kehormatan dan harga diri. Kami tidak rela dijadikan pelanduk. Terutama gue, ada hutang yang harus gue bayar kontak malam nanti. Siapa lagi kalau bukan Budi. Dia akan menjadi target gue nomor satu. Akan menjadi malam yang indah jika gue bisa membantai budi sepuasnya dan di saat yang sama, kami berhasil mengalahkan kelompok Oscar. Meskipun begitu, gue agak pesimis dengan peluang kami. Oscar menang secara jumlah. Dan tambahan 2 alumni yang ikut campur lumayan membuat mental para lawan sedikit drop.
Urusan Oscar dengan Axel menurut gue sudah masuk ke uncontrollable situation. Kami sebagai anak kelas 1 tidak bisa ikut menentukan. Yang bisa gue kendalikan dengan kekuatan gue sendiri tentu saja saat berhadapan dengan Budi. Menghadapi Budi, titik kendali dalam diri gue mungkin hanya setipis kertas. Kalau gue sudah gelap mata, bisa jadi Budi menyusul ayah dan Tino ke akhirat. Apa yang terjadi selanjutnya, entahlah. Bahkan orang sekelas om Benny pun gue sanksi apakah dia bisa menolong gue dalam situasi tersebut. Apalagi Pak Tomo sudah mewanti-wanti buat siapa saja yang melanggar batas dalam duel malam nanti.
Saking banyaknya hal yang gue pikirkan membuat air di bathub mulai dingin. Gue lalu mandi dengan cepat. Setelah berendam air hangat cukup lama, ternyata rasa lelah masih belum juga hilang. Sepertinya gue perlu mengunjungi Citra.
Karena Citra satu-satunya orang yang bisa membantu gue mencapai kondisi terbaik untuk nanti malam.
Setelah mengganti pakaian. Gue telepon Citra. Semoga dia praktek hari ini.
“Halo ganteng. Tumben telepon gue.”
“Halo Citra. Lo praktek gak hari ini?”
“Ya ampun, to the point banget sih lo. Basa-basi dulu kek, tanyain gue lagi apa, lagi dimana, gimana kabar gue.”
Hadeuh, gue paling payah dalam urusan basa-basi. Jadi malah ankward karena gue bingung mau ngomong apa. Sampai akhirnya tawa Citra meledak.
“Hahahaha! Serius amat sih elo. Gue bercanda kali Zen. Gue udah hapal sifat pendiem elo meskipun kita cuma beberapa kali bertemu, hhihi.”
“Ha…” gue ketawa garing.
“Eh lo tadi nanyain jadwal gue hari ini ya? Hari ini gue lagi off.”
“Oh gitu.” Agak kecewa sih gue mendengarnya karena jujur gue butuh tangan-tangan ajaibnya.
“Tapi..”
“Tapi apaan?”
“Khusus buat elo, gue masih ada waktu 1 jam.”
“Lho katanya hari ini lo libur?”
“Iya gue libur, tapi khusus buat elo, gue bisa kasih service khusus. Tapi lo ke kosan gue ya.”
Damn, selama ini gue selalu ngehindar kalau Citra ngajak gue main ke kosannya. Tetapi kali ini dia menang. Gue terpaksa ke kosannya.
“Oke.”
“Eh lo bisa ke sini setengah jam lagi gak? Jam 1 gue ada acara .”
Setengah jam lagi? Gue lihat udah jam 11.25 siang. Kosan Citra ada di distrik X2. Sekitar 20-25 menit dari rumah gue. Jadi sekitaran jam 12 gue udah sampai di kosannya.
“Beres.”
“Oke, gue tunggu ya ganteng.”
Klik.
Baru juga gue nutup telepon, bel berbunyi. Ada tamu sepertinya. Siapa nih yang ke rumah? Masak anak-anak udah ke rumah jam segini. Pas gue ke depan dan membuka pintu ternyata yang memencet bel adalah kurir JNE.
“Siang mas. Dari JNE. Ini ada paket untuk Zen. Ini dengan mas Zen sendiri?”
“Iya.”
“Minta tanda tangan di tanda terimanya,” ujar si kurir sembari memberikan form untuk di tanda tangan.
Setelah gue tanda tangan, paket diberikan, si kurir pergi. Gue lihat keterangan pengirim dan isi paket. Oh iya beberapa hari yang lalu gue beli headset Bluetooth di Tokped. Paket gue buka. Barang sesuai dengan pesanan.
Akhirnya alat perang buat nanti malam sudah siap. Gue gak butuh senjata buat tawuran. Gue cuma butuh ini untuk “menyuntikkan” hentakan musik keras langsung ke otak sebagai cara paling cepat untuk membakar adrenalin. Kalau adrenalin sudah pumping, gue akan menggila dan tidak merasakan sakit saat perkelahian terjadi. Akumulasi rasa sakit baru timbul saat adrenalin sudah surut seiiring dengan habisnya tenaga Dari beberapa kali gue berantem sambil mengenakan headset, kabelnya sangat merepotkan. Makanya gue cari headset wireless dan nemu yang paling bagus di Tokped. Nah kalau sudah begini, gue bisa berantem sepuasnya ditemani dengan lagu-lagu metal favorit.
Namun gue belum sempat mencoba kenyamanan dan kualitas suara headset karena gue mesti segera pergi ke kosan Citra, jadi gue kantungin dulu ini barang. Setelah ganti pakain dan memanaskan motor, tepat jam setengah 12 gue uda meluncur menuju kosan Citra. Jalanan relatif lengang dan lancar, mungkin karena orang-orang lebih memilih tidur di rumah agar kuat begadang malam nanti saat momen pergantian tahun baru. Jadi jam 11.54 gue udah sampai di depan kosan. Gue masih canggung untuk langsung masuk ke dalam area kosan Citra yang dari luar sudah kelihatan ini kosan mahal. Kosan ekslusif. Ada pos satpamnya segala. Pertanda selain penghuni, orang lain tidak bisa keluar masuk kosan tanpa ijin.
“Halo Cit, gue uda di depan kosan.” terang gue setelah Citra mengangkat telepon.
“Kenapa lo gak langsung masuk?manja banget ah minta dibukain pintu gerbang.”
“Tar gue dikira maling kalau asal masuk ke dalam. Apalagi nomor kamar lo aja gue gak tahu.”
“Haha. Yawdah. Gue telepon pos depan dulu. Wait”
Citra menutup telepon.
Tak lama kemudian, Citra mengirim WA.
CITRA
Udah berez boz. Langsung masuk aja. Bilang ke yang jaga pos depan, lo cowok gue, hihi. Kamar gue no 7 lantai 2.
12.04
Ampun, ini cewek. Gue lalu lapor bertamu ke seorang security yang berjaga di depan.
“Tumben, mbak Citra ngajak cowoknya main kesini,” komen si security sambil senyum-senyum gak jelas ketika gue lapor.
Setelah parkir motor, gue langsung mencari kamar nomor 7 yang berada di lantai 2. Sepi. Gue gak melihat ada penghuni kosan yang keluar atau seliweran. Semua pintu tertutup rapat. Kalau melihat urutan nomor kamar yang tertera di pintu, letak kamar Citra berada di ujung lorong.
TOK..TOK..
Gue ketuk pintu kamar nomor 7. Di luar kamar Citra terdapat sepasang sandal perempuan berwarna merah.
KLEK.
“Hai gantengg. Masuk gih,” sapa sang pemilik kamar saat pintu terbuka dari dalam sembari memamerkan senyum.
Gue lalu masuk ke dalam. Ternyata luas juga kamar kosan Citra, mirip kayak apartemen. Karena ada ruang tamu kecil begitu gue masuk. Aroma wangi khas perempuan langsung tercium. Kamar Citra bersih dan wangi.
“Lo mau pergi ya Cit?”
“Iya, sambil nunggu elo gue make-up sekalian. Jadi begitu gue kelar kasih servis spesial buat elo, gue tinggal ganti baju terus pergi.”
“Pergi kemana?” entah kenapa gue nyesal bertanya demikian. Kelihatan keponya.
“Cie kepo nih.”
Tuh kan benar. Gue paling males ketemu cewek yang agresif model kayak Citra sekarang inii. Risih gue.
“Gue mau pulang ke Kota SSS kok. Hari ini mama gue ulang tahun. Gue mau ajak mama dan adik gue jalan-jalan terus makan malam.”
“Oh.”
“Ikut gue yuk. Ntar gue kenalin ke mama gue ahaha.”
Citra tertawa makin keras karena gue sengaja diem tidak menimpali perkataannya barusan.
“Tegang amat elo Zen. Gue bercanda kali. Ipul udah ceritain semuanya. Nanti malam lo ada agenda sendiri. Huh, dasar kalian cowok nakal! Suka amat pada berantem!”
“Ipul? Ipul cerita apa?” gue terkejut karena Citra nyebut nama Ipul di pembicaraan kami.
“Ya setelah lo tadi telepon nyariin gue, gue rada aneh aja. Lo yang biasanya pendiam, bisa sedikit ada inisiatif nyariin gue. Lalu gue telpon si Ipul nanyain tentang lo. Dan gue nanya cuma sekali, Ipul ceritanya panjang banget. Sampai gue langsung tutup telepon begitu omongannya mulai ngelantur,” terang Citra sambil memainkan ujung rambutnya yang panjang dan hitam.
“Cerita apa dia?” asli gue penasaran karena udah lumayan lama gue gak kontak Ipul.
“Ya dia cerita kemungkinan terjadinya tawuran antara 2 kelompok di SMA NEGERI XXX. Dan kelompok elo terlibat. Jadi sudah pasti lo akan ikut campur. Ipul bilang lo kemarin tampil garang sekali pas di pensi, jadi wajar kalau berasa remuk badan setelah kelar pensi. Zen, lo jahat ih!”
Dari jelasin tentang Ipul tiba-tiba Citra bilang gue jahat sambil meninju lengan gue. Apaan sih ni cewek gak jelas.
“Jahat? Apaan?”
“Ya lo jahat lah, kenapa lo gak undang gue datang ke Pensi kemarin? Gue ngefans sama Ed Sheeran. Sekolah lo aneh, orang luar gak boleh masuk tanpa kartu khusus. Terus gue udah bilang sama lo, kalau lo lolos audisi, wajib kasih gue kartu akses dan elo nyanggupin.”
Hah? Emang gue pernah janjiin kek gitu? Kok gue lupa ya? Kalau gue cerita ke Citra kalau gue dapat freepass dan gak gue kasih ke siapa-siapa, pasti bisa makin marah nih. Duh mesti gue baik-baikin nih, kalau enggak, Citra bisa ogah-ogahan. Anjing, gue ngrayu cewek... Mending gue berantem daripada di suruh ngrayu cewek.
“Sorry gue lupa. Lagian lo gak ngingetin gue,” gue mencoba berkilah sebisanya
Citra yang tadinya membuang muka, lalu menoleh ke gue dan tiba-tiba tertawa lebar memamerkan deretan giginya yang putih dan tanpa cela.
“Sepertinya gue juga lupa ingetin elo karena kerjaan lagi banyak. Gue semalam ada di kota BBB. Baru balik pagi tadi. Jadi kalaupun lo kasih gue tiket, gue mungkin gak bisa datang,” ujar Citra.
Yess ! Gue dapat angin. “Nah itu lo tahu. Kalaupun gue kasih freepass, lo tetap gak bisa datang.”
“Ish tapi kan dengan lo kasih gue freepass, itu udah buat gue senang. Tandanya lo peduli sama gue. Perkara gue gak bisa datang itu beda lagi.”
Kenapa jadi ribet gini sih. Badan gue udah capek tetapi ini malah debaT gak jelas sama Citra. Gue ngliat jam yang ada di dinding, uda jam 12.16. Sialan, 15 menit yang seharusnya bisa dipakai untuk relaksasi badan gue, malah habis buat ngomongin sesuatu yang ankward. Citra sepertinya tahu kalau gue mulai gelisah.
“Hehe sori gue malah buat lo pusing. Emang gue siapanya elo sih sampai minta di perhatiin segala. Eh, gue sampai lupa nawarin lo minum. Minum apa? Kopi?” tanya Citra setelah bangkit dari kursi.
“kopi?Boleh. Eh jangan kopi. Teh manis hangat aja. Teh Tong Tji ada?”
“Kayaknya gue gak punya teh Tong Tji. Adanya Sariwangi. Mau?”
“Ya Sariwangi aja gak apa-apa. Airnya hangat aja. Gulanya cukup 1 sendok kecil.”
“Siap tuan. Inem bikinin dulu tehnya,” sahut Citra dengan nada suara dibuat manja lalu ia menuju ke dapur.
“Lo siap-siap gih di kamar. Seperti biasa. Nanti teh gue anter ke kamar. Ke kamar yang pintunya gue buka ya.”
Setelah Citra pergi ke dapur untuk membuat minuman, gue segera masuk ke kamar yang terbuka. Ternyata di dalam kosan Citra, memiliki. Kamar yang gue masukin sangat minimalis. Ranjang queen size tertutup selimut coklat dan lemari kecil. Sepertinya ini kamar tamu. Gue pun segera bersiap dengan membuka jaket, kaos, celana panjang hingga menyisakan boxer berwarna hitam. Karena ini bukan pengalaman pertama gue pijat dengan Citra, jadi gue gak merasa canggung. Saat sedang menggantung pakaian dan celana di gantungan yang ada di balik pintu kamar, Citra masuk ke kamar membawa nampan. Saat ia melewati gue, gue bisa mencium aroma parfum yang lembut namun terasa kuat di saat yang sama. Gue tadi ngobrol sama Citra di depan ga kecium aroma ini. Sepertinya Citra menyempatkan diri dengan menyemprot parfum sebelum memulai memijit gue.
Citra meletakkan nampan yang sepertinya berisi segelas teh dan 1 botol kaca berisi cairan bening kekuningan. Citra lalu mengeluarkan beberapa handuk tebal dan 1 bantal dari dalam lemari. Setelah bantal dan handuk ditata di atas tempat tidur, Citra duduk di tepi tempat lalu lalu menepuknya.
“Ayo tuan berbaring telungkup di sini, Inem siap memberikan servis yang terbaik buat tuan, hihihi,” ujar Citra sambil tersenyum.
Honestly, lo cakep banget sih Cit dengan mata sipit khas panlok. Cowok manapun bakalan suka sama elo. Apalagi kecantikan lo di tunjang dengan badan yang seksi. Tapi gue sama sekali gak ada perasaan apa-apa sama elo. Bukan karena kekurangan di elo, tetapi di gue. Gue berhenti menyukai perempuan yang seumuran dengan gue sejak Rulia meninggal. Dan setelah persetubuhan dengan Suster Lila, gue menyadari satu hal. Gue memiliki kecenderungan menyukai perempuan yang berusia jauh lebih tua daripada gue karena faktor kedewasaaan dalam hal cara berpikir, tidak meributkan hal-hal sepele laiknya perempuan seumuran gue.
“Maaf yah tempat tidurnya kurang nyaman, karena ini kamar tamu. Gue gak pernah terima tamu di kosan,” ucap Citra pelan sambil duduk di ujung ranjang ketika gue sudah berbaring telungkup di tengah.
Berarti gue satu-satunya tamu yang diterima Citra disini. Bahkan kalau gue inget lagi perkataan satpam depan, bahwa tumben Citra mengajak cowoknya ke kosan, bisa jadi gue satu-satunya cowok selain keluarganya mungkin, yang masuk ke dalam kamar Citra. Gue bukan cowok goblok yang tidak tahu sinyal ketertarikan yang diberikan seorang cewek ke gue. Setelah malam dimana gue nyelametin elo dari begal dan beberapa hari kemudian bertemu sama elo di tempat terapis pijat, dari cara bicara lo, cara lo memandang dan memijit gue, terasa sekali sentuhan dan pijatan elo benar-benar “berbeda”. Bahkan Ipul pun tanpa segan langsung bilang ke gue kalau Citra naksir sama gue. Dan hari ini Citra seolah mempertegas ke gue bahwa gue adalah orang yang spesial. Namun gue tetap bersikap dingin. Hubungan gue ke Citra hanya gue anggap sebagai teman dan hubungan antara pelanggan dengan sang terapis.
“Gak apa-apa.”
Sebelum langsung memijit refleksi yang terpusat di kedua telapak kaki, Citra memijat badan gue secara keseluruhan. Sebagai pemanasan agar syarat-syaraf gue nanti gak kaget.
Tangan Citra yang halus sekaligus hangat karena minyak essensial mulai bekerja dari telapak kaki. Kedua ibu jari Citra mengurut dengan tekanan sedang dari atas ke bawah. Urutan di telapak kaki selesai ketika 10 ujung jari kaki di tarik hingga berbunyi, untuk membantu melepaskan ketegangan dan kekakuan jari-jari kaki. Uh nikmat sekali mendengar gemeretak tarikan jemari kaki. Pijatan Citra lalu merambat naik ke tungkai. Citra mengurut masing-masing tungkai belakang dengan gerakan panjang dari betis hingga paha bagian atas. Kaki yang sudah di urut di tutup dengan handuk tebal untuk menjaganya agar tetap hangat. Urutan Citra di tungkai memang luar biasa, lembuh tetapi penuh tenaga. Gue sampai keenakan gini.
Setelah kedua tungkai dan paha selesai, jemari Citra memberikan urutan panjang dari puncak pantat gue hingga pangkal leher. Kedua telapak tangan Citra berada di sisi samping tulang belakang dan kemudian kembali bergerak memijit dari atas ke bawah. Setelah sampai di atas puggung, telapak Citra bergerak ke samping lalu turun dengan tekanana yang sama. Setelah di ulang beberapa kali, telapak Citra bergerak ke punggung bawah untuk melemaskan otot-otot besar di samping tulang belakang. Di sini Citra menambah tekanan pijatan selama beberapa menit.
Gue akui Citra memang terapis hebat. Ga nyangka di balik penampilannya, Citra memiliki tenaga untuk memijat tubuh tamu dengan konstan.
Setelah dirasa punggung bawah sudah cukup mendapat pijatan, Telapak Citra kembali menyusur ke punggung atas dengan menekan ibu jari lebih kuat. Di sini tanpa sadar gue melenguh. Bagaimana tidak, nikmatnya berasa sampai ke ubun-ubun.
“Enak Zen?” tanya Citra.
“Iya, enak pake banget,” jawab gue dengan suara tertekan.
“Taruh tangan di bawah bantal lalu rapatkan, biar gue bisa mengerjakan di area belikat lebih leluasa. Ini otot-otot di sekeliling ujung tulang belikat berasa sekali tegangnya, kaku.”
Gue diam dan menurutinya.
Uh, enak gila saat otot di area belikat mendapat servis mantap dari Citra.
Punggung selesai dan kini beralih ke pijatan di area pundak serta leher. Terasa sekali telapak Citra yang berada di samping ruas tulang belakang bekerja dengan smooth. Badan gue sediki meliuk ketika kedua ujung jempol Citra menekan sepanjang tulang bahu.
“Sakit?” tanya Citra.
“Sedikit, terusin aja Cit.”
Setelah beberapa lama, gue diminta berbaring telentang. Gara-gara saking rileksnya gue pijat, tanpa terasa penis gue tegang di bawah sana. Tadi sih gak kelihatan karena gue telungkup. Dan kini gue di minta telentang, sudah pasti Citra melihat ada yang menggembung di bagian celana boxer, tapi ya mau gimana lagi. Gue sempat melihat Citra melirik sebentar ke arah celana gue saat berubah posisi namun kemudian mengalihkan pandangan. Gue pun juga sama, rada aknward kalau menatap Citra yang kini duduk dengan posisi agak menunduk dan memijat bahu bagian depan. Karena potongan bajunya cukup lebar, membuat kedua gundukan dada Citra yang membulat lumayan terlihat. Gue membuang pandangan ke samping, malu kalau Citra tahu kalau gue menatap ke arah dadanya. Namun sepertinya Citra menyadarinya karena ia tersenyum namun tidak menatap ke mata gue. Jadi makin canggung ini gue. Jadinya meskipun kami berhadapan namun tidak saling menandang.
Citra yang duduk bersimpuh di samping kiri gue, mengambil lengan kiri lalu di letakkan di atas pahanya sehingga lengan gue bersentuhan langsung dengan pahanya. Lalu Citra mulai mengurut sepanjang punggung lengan bawah, otot trisep dan melintasi bahu. Setelah di ulangi beberapa kali lengan gue kembali diletakkan di samping badan. Kali ini punggung, telapak tangan dan jemari mendapat urutan hingga satu persatu jari ditarik ke atas hingga berbunyi. Beberapa lama kemudian Citra pindah duduk bersimpuh di sebelah kanan dan mengerjakan hal yang sama di lengan kanan.
Lalu kini sampai di sesi terakhir yakni pijatan di kepala. Citra duduk di ranjang bagian atas. Untuk kali ini gue memilih memejamkan mata, selain untuk meresapi pijatan di kepala yang bisanya sampai merinding, agar gue juga tidak menatap ke arah gundukan dada Citra dari bawah. Citra sepertinya hanya tersenyum simpul karena gue memilih untuk menutup mata. Kedua ibu jari Citra lalu memijat lembut bagian atas kulit kepala. Damn, gue merinding !
Gue semakin merinding saat ibu jari dan telunjuk Citra memijat daun dan cuping kedua telinga secara bersamaan hingga turun ke sepanjang permukaan tulang pipi dan dagu. Badan gue seperti berkedut dan hal ini menambah sesak celana dalam gue karena penis gue malah jadi ikutan tegang. Bodoh amat sih kalau Citra memperhatikannya. Gue lega saat pijatan di cuping telinga selesai. Sekarang kepala gue di angkat lalu di letakkan ke paha Citra. Jemari Citra menyusup ke belakang kepala, ia mengelus pelan rambut gue sebelum akhirnya jemarinya berhenti di rongga kecil di tengkuk, pertemuan antara leher dengan batang tulang tengkorak. Citra memberikan tekanan yang cukup kuat di sini dan di ulangi hingga beberapa kali. Gue merasakan ketenangan seiiring dengan pijatan Citra di bagian ini. Nyaman juga membaringkan kepala di paha cewek.
Gue sedikit “keberatan” ketika kepala gue di angkat dan diletakkan kembali di bantal. Selanjutnya Citra menempatkan tangannya di bawah rahang gue lalu di tekan ke atas sehingga posisi kepala agak tengadah dengan tujuan untuk merenggangkan otot leher. Lantas Citra dengan lembut menekan bagian tengah dahi tepat di antara kedua alis dengan ujung jarinya selama beberapa puluh detik. Dilepas kemudian di ulangi lagi hingga beberapa kali.
Anjing, enak banget. Tangan-tangan Citra memang ajaib.
Citra menepuk pundak gue, pertanda gue diminta untuk duduk. Karena saking pewe-nya, malas rasanya mau bangun namun gue akhirnya duduk karena Citra ingin memberikan sentuhan terakhir.
“Keenakan ya gue pijat?” tanya Citra dari belakang yang membantu gue bangun dengan mendorong punggung gue.
Gue menoleh ke belakang lalu mengangguk.
Citra tersenyum sambil mengelap keningnya yang berkeringat dengan punggung tangan. Pasti capek memijit badan seorang cowok. Ternyata bukan hanya Citra, gue juga berkeringat.
Citra lalu mendekati gue dari belakang hingga terasa punggung gue menempel di badannya. Belakang kepala gue menyentuh sesuatu yang kenyal. Dan makin terasa saat kedua tangan Citra melingkari kepala gue dan di tekan mendekat ke dadanya. Gue diam saja lah. Saatnya mematahkan leher gue hehe.
KREK !! Terdengar bunyi saat kepala gue dipuntir ke kiri oleh Citra. Dan kembali terdengar bunyi yang sama saat leher gue dipuntir ke arah sebaliknya. Gue selalu menikmati part ini. Aish, enak banget. Langsung terasa makin ringan leher gue.
“Panas, bentar gue hidupin AC,” ujar Citra lalu turun dari ranjang. Pantas aja panas, AC gak di hidupin. Mumpung Citra lagi sibuk dengan remote AC, gue membenarkan letak penis yang masih tegang. Setelah dapat posisi yang enak, gue lalu turun dari tempat tidur untuk meminum teh hangat Sariwangi yang manisnya pas.
Citra sudah kembali duduk di ranjang dan memperhatikan gue minum teh. Karena agak risih diperhatikan terus, gue bertanya di mana minumannya dia.
“Ntar aja. Belum haus,” katanya.
“Gak capek?”
Citra menggeleng. “Udah biasa,” tambahnya.
“Oh.”
Gue memang bukan orang pandai basa-basi. Oke, tinggal satu sesi lagi. Saat gue hendak meletakkan gelas ke di atas lemari kecil, Citra bilang “Minta teh elo dong Zen. Gue males mo ambil minuman.”
Gelas gue berikan kepada Citra. Dari yang masih ada setengah, kini gelas tersebut habis di teguk Citra.
“Ups. Sori gue abisin tehnya,” ujar Citra sambil nyengir.
“Katanya gak haus.”
“Hehe liat elo minum tadi, kayaknya nikmat banget. Padahal cuma teh celup biasa. Makanya gue jadi haus.”
“Tehnya sih biasa, yang istimewa yang buat tehnya, eh!” gue kaget karena kata-kata sok imut itu meluncur begitu saja dari mulut gue. Gue yang ngomong aja kaget, apalagi reaksi si Citra.
Matanya nampak membesar dan berbinar-binar. “Asyik, gue istimewa nih.”
Gue tidak menimpali perkataan Citra barusan, melainkan langsung berbaring telentang di tengah ranjang.
“Ayo Cit, udah jam 1. Lo mesti segera pergi kan?” gue mencoba mengalihkan pembicaraan.
Citra hanya tertawa lalu keluar dari kamar dan saat kembali ia membawa 1 tas kecil berbahan kulit dengan kelir hitam. Itu peralatan Citra. Berisi beberapa kayu beragam ukuran dan panjang yang ujungnya dibuat meruncing dengan ujung membulat. Stik kayu kecil itu menjadi alat yang digunakan Citra untuk menekan titif refleksi yang ada di kedua telapak kaki tamunya.
“Lo ada keluhan gak?” tanya Citra sambil membalur telapak kaki gue dengan minyak essensial.
“Overall sih gak ada. Cuma gue pengen benar-benar fit malam ini. Tanpa gue jelasin, lo udah tahu maksud gue kan.”
Citra mengangguk. Pandangan matanya sudah berubah lebih serius. Dan gue menyukai ekspresi Citra yang sedang serius seperti ini.
“Gak ada cara pijat instan yang bisa langsung mendongkrak ketahanan tubuh. Namun tetap ada caranya minimal mengurangi beban dan stress yang di derita oleh tubuh lo sekarang. Sisanya tergantung daya tahan tubuh lo sendiri.”
“Jadi. Apa yang bisa lo lakukan?”
Citra menatap kedua telapak kaki gue, sambil sesekali menekan di beberapa titik.
“Ada 10 titik syaraf refleksi yang perlu gue kerjain. Setiap titik minimal 3 menit bahkan ada yang mesti gue tekan selama 5 menit. Ini akan sakit Zen. Tolong, kalau lo kesakitan, langsung bilang ke gue. Akan gue kurangi durasi dan tingkat tekanannya.”
“Iya, gue tahu refleksinya bakalan sakit. Namun gue sudah siap.Eh 10 titik itu nomor berapa saja?”
“1, 2, 3, 7, 10, 13, 33 dan 35.”
“Fiuh, berat semua itu. Bakalan sakit. Cit, kalau lo mesti pijat 8 titik itu butuh waktu kurang lebih 1 jam, gak apa-apa?”
Citra tersenyum. “Dah tenang aja. Gak usah lo pikirin.”
Baik banget lu Citra, batin gue. Baiklah kala begitu.
Gue pernah bercerita kepada Citra bahwa gue sudah hapal di luar kepala titik-titik syaraf refleksi yang ada di kaki. Jadi ketika Citra menyebut nomor yang menjadi letak titik syaraf, gue langsung kebayang syaraf tubuh mana-mana saja yang hendak di pijat oleh Citra.
“Banget. Dan seperti yang gue bilang tadi. Kalau sakit langsung bilang, jangan di tahan.”
Gue mengangguk.
Gue lalu berbaring dengan senyaman dan serileks mungkin. Sebelum memulai, Citra memberikan handuk bersih untuk mengelap keringat.
Citra lalu memulainya urut sesuai dengan nomor paling kecil. Karena titik tersebut berada di sekitar jempol kaki dan berdekatan.
Otak besar gue seperti langsung berdenyut saat titik syaraf nomor 1 di kaki kanan dan kiri di tekan dengan ujung stik kayu. Di mulai dengan tekanan ringan dan setelah beberapa detik, tekanannya di tambah lalu di tahan. Titik syaraf nomor 1 ini merupakan shortcut menuju syaraf di otak besar untuk mengobati secara umum sakit kepala, pusing, migrain dan susah tidur. Setelah 3 menit, Citra berpindah ke titik syaraf nomor 2 yang menjadi shortcut syaraf di dahi yang bisa memperlancar peredaran darah di bagian dahi dan vertigo. Sama seperti sebelumnya, 3 menit ujung stik menekan area di jempol bawah. Gue mulai berkeringat saat Citra kini beralih ke titik syaraf nomor 3 yang terkoneksi ke syaraf otak kecil untuk mengatasi darah tinggi, stroke, sakit leher dan tengkuk yang kencang. Ini pasti sa-SIALAN !! gue berteriak kesakitan dalam hati dan reflek kaki gue tarik karena baru di tekan sedikit, efeknya langsung naik ke kepala. Citra tentu saja hapal gesture seperti ini. Ia mengulanginya dengan mengurangi tekanan dan durasinya hanya 2 menitan.
“Mau istirahat dulu?” tanya Citra yang sama berkeringatnya dengan gue. Gue yang cuma berbaring aja keringetan, apalagi Citra yang mesti presisi dalam menekan titik syaraf di telapak kaki, sudah gitu masih harus mempertahankan tekanan dengan konstan. Itu melelahkan sekali.
“Gue gak apa-apa. Lo yang kelihatan capek. Kalau lo mau break dulu gak masalah.” Kata gue memberikan Citra kesempatan untuk mengatur nafas.
Citra mengelap badannya yang mengkilap oleh keringat yang ada di leher, lengan dan pundaknya. Dan melihatnya mengelap keringat rupanya salah satu pemandangan yang menarik. Citra sadar gue memperhatikannya namun ia cuek saja.
Setelah mengelap badannya, Citra lalu melanjutkan ke 7 titik syaraf sisanya. Titi syaraf selanjutnya adalah nomor 7 yang tepat berada di bawah jempol. Titik ini mengacu ke syaraf leher untuk mengobati masalah leher pada umumunya, mirip dengan yang nomor 3 tadi. Bedanya titik ini terasa tidak sakit sehingga gue tahan hingga 5 menit dengan tekanan cukup keras. Kemudian Citra menekan pelan titik syaraf 10 yang berada di bawah kelingking. Kalau ini terasa agak geli namun nyaman karena titik ini untuk mengatasi capek dan pegal pada bagian bahu dan sendinya.
“Tahan Zen. Titik nomor 13 bakalan sakit karena pas di syaraf kelenjar paratiroid. Gue langsung tekan dengan kekuatan sedang selama 3 menit,” ujar Citra sambil menatap gue.
“Gue sih gak ada rematik. Tetapi titik ini bagus untuk mengurangi masalah sendi dan tulang tubuh bagian atas. Lakukan saja,” tegas gue.
Sakit dan terasa gatal! Namun gue tahan dengan mengatur nafas. Begitu 3 menit yang terasa lama usai, gue menyeka kening yang kembali basah oleh keringat. Citra tersenyum sambil memijat telapak dan jemari kedua kaki gue. Tinggal dua titik lagi. Khusus titik di 33, Citra tidak berani menekan terlalu keras. Karena titik syaraf nomor 33 berada di tengah telapak kaki kiri langsung terkoneksi dengan syaraf jantung. Refleksi di titik ini bagus untuk mengatasi sakit jantung dan memperlancar peredaran darah Gue menikmati sekali refleks di titik ini sampai mata gue terpejam. Jantung adalah pemompa darah yang membawa nutrisi dan oksigen yang dibutuhkan oleh semua organ tubuh sekaligus untuk menyapu zat-zat sisa. Jantung di orang yang sehat mampu berdetak secara terus-menerus memompa dan mengalirkan darah lebih dari 14.000 liter per hari.
Saking menikmatinya sampai-sampai mata yang sengaja gue pejamkan kini mulai berat alias menimbulkan rasa kantuk. Ah gue gak boleh tidur sekarang. Masih ada 1 titik terakhir. Dan Citra mulai bekerja di titik syaraf nomor 35 yang terletak di pinggir bagian luar telapak kaki pas di lekukan. Titik ini berguna untuk mengatasi rasa pegal, sakit pada bagian kedua sendi lutut. Baguslah, karena malam ini kedua lutut gue akan bekerja keras hehe. 5 menit kemudian, akhirnya semua proses pijat refleksi yang gue butuhkan rampung.
Citra kemudian membereskan peralatannya lalu berkata ia akan ke dapur untuk mengambil air putih buat gue. Setiap kali selesai pijat refleksi, seseorang harus banyak minum air putih minimal 2 gelas. Karena minum air membantu mengeluarkan bahan akumulasi di otot yang dilepaskan saat dipijat. Pijat merangsang sirkulasi di tubuh sambil mengekspresikan air, garam, mineral lainnya dari otot dan sirkulasi dirancang untuk membawa bahan limbah yang dihasilkan oleh sel. Intinya semakin banyak minum, bisa membantu memperlancar zat sisa yang terbuang saat pipis. Gak heran kalau selesai pijat, air seni berbau lumayan tajam. Sambil menunggu Citra, gue berbaring dan merasakan tubuh gue bereaksi dengan baik pasca refleksi. Titik-titik telapak kaki yang tadi dipijat terasa gatal, berdenyut-denyut. Pembuluh darah juga terlihat menonjol, bukti bahwa peredaran darah mengalir dengan lancar, suhu badan naik akibat reaksi kelenjar setelah di terapi pada titik refleksinya. Namun gue justru menikmatinya, karena ini pertanda baik. Setelah minum air gue harus pulang dan tidur untuk menyempurnakan proses “restorasi” tubuh gue.
Citra kemudian datang membawa teko berisi air putih dan gelas. Dia duduk di tepi ranjang. Gue menerima gelas yang sudah berisi air.
“Thanks,” ucap gue sebelum meminum air sampai habis.
“Lagi?” tanya Citra.
Gue mengangguk lalu Citra menuangkan air ke dalam gelas yang gue pegang dan sekali teguk air di dalam gelas sudah tandas.
“Cukup,” kata gue saat Citra hendak mengisi gelas yang gue kembalikan.
“Haus benar lo, hehe. Gimana tuan, enak gak pijatan Inem ?” goda Citra.
“Amazing, tangan lo emang magis. Gue merasakan badan gue jauh lebih enakan. Apalagi setelah nanti gue bangun tidur,” jawab gue sambil duduk di tepi ranjang, bersebelahan dengan Citra, dekat sekali sampai lengan kami menempel.
“Gak usah buru-buru balik, istirahat aja dulu.” saran Citra sambil memegang pundak kiri gue saat gue hendak berdiri.
Gue pun kembali duduk. Karena butuh beberapa menit lagi sebelum suhu tubuh gue kembali normal. “Bukannya lo mau pergi? Udah hampir jam 2 siang tuh.”
Citra tersenyum, tangan kirinya masih berada di bahu gue dan matanya memandang lurus ke arah gue. Gue pun memandang balik Citra. Kami terasa dekat dan intim sekali. Perlahan wajah Citra mendekati gue, bibirnya sedikit terbuka, matanya sayu.
Ia hendak mencium gue. Gue mendekati wajah Citra dan menciumnya.
Namun gue mencium pipi kirinya singkat sebagai ungkapan rasa terimakasih, bukan menyambut bibirnya. Citra seperti terlonjak kaget.
Maaf Cit, batin gue.
Gue lalu berbaring di tempat tidur. “Cit, sepertinya elo mesti mandi lagi deh. Masak mau pergi, bau keringat.”
Citra seperti tersadar dan ia tersenyum. Namun senyumnya kali ini susah gue artikan.
“Gara-gara elo badan gue kecut lagi nih,” balasnya.
“Tinggal mandi lagi, beres.”
“Tapi gue udah pake make-up nih.”
“Ribet amat, ya habis mandi lo tinggal dandan lagi beres. Yaudah lo mandi sana, gue baring-baring bentar disini sampai elo kelar mandi. Terus gue pulang.”
“Hu-uh. Hehehe.”
Dari cemberut terus pasang wajah tersenyum ceria lagi. Dasar Citra.
Kemudian Citra keluar dari kamar, pintu kamar ia tutup sebagian. Gue tadinya ingin segera mengenakan pakaian karena udah selesai pijatnya namun AC yang mulai dingin, tempat tidur yang nyaman dengan aroma minyak essensial yang begitu menenangkan, tanpa terasa membuat gue mengantuk, dan selanjutnya…..ZZZZZ
***
Gue kayak orang linglung saat kebangun. Butuh beberapa saat sampai akhirnya gue ingat gue ada di mana. gue di dalam kamar kosan Citra, sepertinya gue ketiduran tadi setelah di pijat. Saat mau turun dari tempat tidur, gue baru nyadar gue ditutupi selimut. Ini pasti Citra yang kasih gue selimut pas tidur.
Gue terperanjat kaget saat melihat jam di ponsel.
20.10
Gila, uda jam 8 malam ! berarti gue tidur sekitar 6 jam! Ini sih bukan ketiduran tapi pingsan. Gue lalu keluar kamar dan memanggil Citra namun dia tidak menyahut. Jangan-jangan Citra udah pergi dari tadi.
Gue lalu membuka pesan WA di ponsel. Tuh benar ada WA dari Citra.
CITRA
Sori gue gak tega bangunin elo. lo tidur nyenyak banget sampai ngorok. Gue tadi pergi jam 2an. Santai saja, gak usah buru-buru pulang kalau elo udah bangun. Klo mau mandi, handuk bersih ada di dalam lemari.
Kunci duplikat gue taruh di meja ruang tamu. Nanti lo kunci aja kalau pulang terus kunci lo pegang dulu. Kapan2 bisa lo balikin. Oia, lusa gue baru balik.
HAPPY NEW YEAR, MY HERO.
Take care di acara gila kalian nanti malam
14.14
Gue tersenyum saat membaca pesan Citra dan segera gue bales.
ZEN
Terimakasih banyak. Kunci duplikat akan segera gue kembalikan kalau elo udah balik. Amplop gue taruh di dalam lemari.
20.34
Terkirim namun tidak langsung dibaca.
Sebaiknya gue segera pulang. Saat gue mau pakai celana panjang, gue kebelet kencing. Wajar kalau gue kebelet banget karena gue minum banyak banget setelah pijat. Eh tapi sekalian mandi aja enak banget ini pasti. Maka sambil menenteng handuk bersih dari dalam lemari, gue menuju kamar mandi. Hmm bersih banget kamar mandi Citra. Setelah kencing dan mengeluarkan banyak sekali urine. Gue segera mandi keramas memakai shampoo Sunsilk milik Citra. Bodoh amat lah gue pake shampoo cewek, yang penting bisa keramas.
10 menit kemudian gue selesai mandi dan wah badan gue luar biasa segar! Hasil pijatan Citra memang tidak pernah mengecewakan. Setelah memakai kembali baju, jaket dan celana, gue menyelipkan amplop berisi uang di dalam lemari. Oke, saatnya pulang dan menunggu anak-anak XYZ datang ke rumah.
Sebelum pulang, gue ingat kalau gue mengantongi headset wireless yang belum gue coba. Setelah gue pair dengan Bluetooth ponsel, headset gue pasang. Sangat nyaman meskipun gue pakai helm. Dan lagu yang gue pilih untuk menemani gue dalam perjalanan pulang adalah…Live perform Lamb of God !!
Oh my….gue sampai memejamkan mata saat mendengar betapa jernihnya suara yang dihasilkan oleh headset ini. Lengkingan dan kedahsyatan lagu ini sangat merasuk, seperti ada konser di dalam otak gue! Belum apa-apa gue udah bersemangat.
Di sepanjang perjalanan pulang, entah kenapa gue kebayang sama Citra. Dari awal dia baik sama gue meskipun gue risih dengan sifatnya yang agresif, blak-blakan menggoda gue. Perkenalan gue dengan Citra bagaikan alur kisah sinetron saja.
x-x-x FLASHBACK ZEN x-x-x
Lewat Lesmana saja lah biar cepat sampai, batin gue di perjalanan pulang. Gue barusan nobar film Avenger bareng ma anak-anak. Dan memutuskan lewat jalur paling cepat. meskipun jalan Lesmana itu kawasan yang sepi, minim penerangan dan banyak ruko-ruko tak terurus di sekitarnya. Perjalanan pulang yang tenang terusik ketika gue melihat beberapa orang berpakaian serba hitam tengah mengelilingi sebuah mobil Agya warna merah. Orang-orang itu menggedor kaca depan dan jendela. Satu orang di antara mereka bahkan mencoba memecahkan kaca belakang dengan menghantamkan batu besar, sehingga kacanya retak. Sepertinya ini perampokan. Gue hendak berputar balik karena itu bukan urusan gue.
Lagian itu yang punya mobil, goblog banget parkir di tempat rawan seperti ini. Namun saat gue hendak berbalik, gue mendengar salah seorang di antara mereka berteriak cukup keras.
“Ayo buka neng pintunya, kalau gak elo buka, gue hancurin kaca dan jendela elo.”
Neng? Ada cewek di dalam mobil? Gue gak tahu ada orang di dalam mobil karena gelap. Gue sempat bimbang antara terus pergi dari sini atau menolongnya dengan resiko mesti berhadapan dengan kawanan penjahat.
Sebuah teriakan keras terdengar. Suara perempuan yang menangis ketakutan. Gue lansung teringat dengan Rulia. Suaranya mirip.
Rasa bimbang gue kini sudah pergi dan gue menetapkan pilihan untuk membantu cewek tersebut !
Gue segera memutar motor dan melajukannya dengan kencang. Gue berniat menabrak salah satu dari penjahat.
Gue tarik gas dan gue arahkan ke penjahat yang sedang mencoba membuka pintu sopir di sebelah kanan, penjahat tersebut sedang tarik-tarikan dengan cewek yang ada di dalam mobil. Si cewek berusaha mati-matian menahan pintu dari dalam.
“MAMPUSSSS!!!” teriak gue. Terlihat wajah si penjahat yang kaget karena silau terkena paparan lampu motor dan mungkin tidak menyangka ada motor yang melaju kencang ke arahnya.
BRUGH !!!!
CITTT!!
Si penjahat berteriak saat terlempar ke belakang saat gue tabrak badannya dengan motor. Ia bergulingan di aspal dan diam tak bergerak. Sementara gue segera menarik tuas rem agar tidak ikut terjatuh dari motor. Teman si penjahat terdiam dan masih kebingungan dengan apa yang terjadi barusan. Hal ini gue manfaatkan dengan segera turun dari motor dan menutup pintu dari luar.
Sekilas gue lihat, memang benar penumpangnya adalah cewek yang menangis ketakutan.
Gue melepas helm yang gue pakai lalu gue lemparkan ke arah penjahat yang ada di belakang, penjahat yang sudah memecahkan kaca belakang mobil dengan batu.
“ARGGHHHH!!” Teriaknya karena helm gue bullseye! Tepat kena mukanya. Saat ia memegangi mukanya. Gue berlari dan menendang ke bagian dada. Hasilnya ia terjerembab ke dalam elokan yang cukup dalam dan sempit karena kering. Sudah pasti ia tidak bisa bangkit. Penjahat ketiga yang ada si samping mobil, sudah menyadarai kehadiran gue. Ia memukul gue tepat mengenai wajah. Saat gue terhuyung, ia terus memukuli gue. Lumayan juga pukulannya karena sesuai dengan badannya yang besar.
“BRENGSEK ! IKUT CAMPUR LO YA! GUE BUNUH LU KARNA UDAH SERANG TEMAN GUE!”teriaknya.
Dan gue bisa mencium nafasnya berbau alkohol cukup tajam. Lawan gue mabuk? Good! Gue tangkis pukulannya dan gue balas dengan pukulan dari arah atas hingga mengenai pelipisnya. Dia berteriak karena pelipisnya bocor dan mengucurkan darah. Saat ia lengah, gue hantam pipinya dengan tinju kiri hingga ia jatuh terduduk di jalan.
“Selamat tidur bang,” kata gue sebelum gue akhiri dengan tendangan ke samping kepalanya. Dia langsung ambruk pingsan. Dari kupingnya mengucur darah. Aih pasti sakit sekali itu, semoga gendangnya rusak dan tuli sebagian.
Setelah memastikan tidak ada lagi penjahat yang tersisa. Gue segera menghampiri mobil dan mengetuk pelan jendela. Karena mungkin masih shock dan ketakutan, butuh beberapa saat sebelum akhirya ia menurunkan kaca mobilnya, itupun sedikit. Gue lihat cewek ini menangis dan matanya sembap.
“Tenang, lo udah aman. Lo gak apa-apa? Gak ada yang luka” tanya gue pelan.
“Gu..gue..ga..gak..apa...” bibirnya gemetar, kasihan dia masih ketakutan.
Gue lalu mengambil botol air milik gue yang gue taruh di motor. Dan gue berikan kepada dia.
“Minum dulu, biar lo tenang. Gak usah takut,” bujuk gue.
Cewek ini kemudian menurunkan kaca hingga setengahnya jadi gue bisa memandangnya lebih jelas.
Cantik, batin gue setelah melihat si cewek.
“Mereka...mereka....pingsan..?”tanyanya dengan terbata-bata.
“Mereka? Penjahat? Ya mereka pingsan. Gimana uda tenang?”
Ia mengangguk.
“Makasih, uda nyelametin gue,” jawabnya pelan. Bagus, ia sudah bisa menguasai diri.
“Lo bisa bawa mobil? Kalau bisa lu ikutin gue. Kita ke kantor polisi untuk membuat laporan dan penjahat ini di tangkap polisi.
“Ban mobil di bagian belakang kempes semua. Sepertinya kena ranjau paku yang sengaja di pasang.”
“Oh, pantas.Yaudah, ayo gue bonceng ke kantor polisi. 1 kilo dari sini ada polsek.”
Namun dia malah diam, sepertinya dia gak percaya sama gue.
“Yaudah, kalau lo takut gue macem-macem. Lo tunggu disini sementara gue ke kantor polisi. Tapi kalau penjahatnya bangun lagi, tanggung sendiri lho ya,” gue sengaja sedikit menakut-nakutinya.
Mendengarnya hal itu, si cewek langsung keluar dari mobil dan membawa tas tangan.
“Gak, gue gak mau disini sendirian. Gue ikut ke kantor polisi!”
Kemudian kami menuju Polsek. Di sana gue menjelaskan kejadiannya panjang lebar kepada seorang penyidik yang berjaga. Setelah gue jelaskan dimana lokasi kejadian, 1 mobil patroli langsung meluncur menujku TKP. Di sana gue diminta jadi saksi dan memberikan keterangan selengkap-lengkapnya. Penyidik yang membuat BAP kaget saat melihat identitas gue yakni kartu pelajar yang ada di dompet. Si cewek juga dimintai keterangan di ruangan yang lain sebagai korban. Setelah keterangan dari gue di rasa cukup, gue diperbolehkan untuk pulang. Namun sebelum pulang, gue meminta kepada penyidik untuk merahasiakan identitas gue ke siapapun termasuk ke orang yang gue tolong. Si penyidik menyanggupi dan memuji sikap gue.
Ketika gue keluar dan melewati satu ruangan, si cewek ternyata juga sudah selesai memberikan keterangan. Dia menyusul gue.
“Mas, terimakasih banyak. Makasih banyak, kalau gak ada mas, mungkin gue sudah jadi korban perampokan, penganiayaan dan mungkin bisa mengalami hal lain yang jauh lebih buruk. Btw, itu wajah lo sedikit bengkak.”
“Oh gak apa-apa. Nanti gue obatin sendiri. Uda kasih kabar ke orang rumah?”
“Orang tua lagi ke luar kota. Udah kasih kabar ke kakak. Dia sedang menuju kemari.”
“Oke, yawdah. Lo tunggu keluargamu datang terus selanjutnya ikuti instruksi dari penyidik. Gue balik dulu.”
Si cewek ini hendak bertanya lagi namun ada penyidik yang keluar dari ruangan dan memanggil dia karena sepertinya ada hal lain yang mau di konfirmasi.
“Siapa nama lo?” tanyanya ketika gue sudah berjalan keluar.
Gue cuma menengok ke belakang dan tersenyum tanpa mengucapkan apa-apa lagi.
2 minggu kemudian...
“Ada apaan lo cari gue?” tanya gue saat melihat Ipul sedang duduk di teras rumah.
“Heee, gak bos. Gue tadi main ke rumah teman terus lewat sini, sekalian mampir sini. Udah lama gak kesini,” jawabnya.
Gue lalu duduk di dekatnya.
“Mau rokok ? Nih!” gue keluarkan sebungkus rokok Mild yang belum gue buka.
“Aish tahu aja lo bos. Hehe,” ujar Ipul sembari mengambil bungkus rokok.
“Jangan ngrokokok disini,” gue menegur Ipul saat ia hendak membakar sebatang rokok.
“Eh iya lupa,” Ipul nyengir lalu mengantungi 3 batang rokok di saku bajunya. Ini orang opportunis sekali.
Pertemanan gue sama Ipul itu terbilang aneh. Bukan pertemanan sih, karena gue sering mengancam dia untuk melakukan atau mencari info tertentu. Ipul yang awalnya nurut karena takut lama-lama juga biasa saja gue mintai tolong. Ipul ini anaknya lumayan bisa di andalin sih. Beberapa isu yang lagi ramai di sekolah-sekolah lain dia selalu nyerocos cerita.
“Bos, lo akhirnya jadi berantem sama Eko anak STM XXX ?” tanyanya.
“Iyalah.”
“Kapan?”
“Beberapa hari yang lalu.”
“Siapa yang menang?”
“Entah. Seperti kata lo, Eko bukan bajingan kroco. Setelah gue berantem sama dia, gue jadi makin yakin bahwa dia adalah orang yang telah merekam dan menyebarkan video perkelahian Yandi dan Puput. Awas lo cerita tentang hal ini ke sekolah-sekolah lain, gue gorok lu.”
“Tenang bos, kalau gue sampai ember, bos kan udah tahu rumah gue dimana. Gue gak kayak Nando atau Kiko, yang setelah dikeluarkan pihak sekolah, mereka bisa pindah rumah dengan cepat.”
Gue lalu menegakan badan karena terasa pegal dan sedikit nyeri di bagian perut karena jahitan di perut bekas luka tusuk Eko baru saja kering. Gue memiringkan kepala ke kiri kanan untuk meredakan ketegangan.
“Kayaknya capek banget itu badan bos.”
“Iya, gue capek pegal.”
Tiba-tiba Ipul berdiri, “Gue antar ke tempat pijat asyik yuk bos! Gue punya tempat langganan pijat.”
“Pijat? Pijat apaan?”
“Ya pijat badan biar badan bos jadi fresh lah. Gue jamin bos bakalan suka, apalagi terapisnya cakep-cakep.”
Gue kaget. “Kalau sampai lo ajak gue ke tempat pijik esek-esek, gue hajar lo.”
“Eh, enggaklah bos, sumpah. Ini tempat pijat beneran dan kebetulan terapisnya cakep-cakep. Professional kok. Bukan tempat pijat plus-plus.”
Tawaran Ipul boleh juga nih. Setelah ganti baju, gue di bonceng Ipul menuju ke suatu tempat di distrik X3 tepatnya di sebuah bangunan berlantai 2 bernama Golden Therapy. Di pelataran parkir ada 3 mobil dan beberapa motor. Ipul sepertinya sudah sering kemari karena ia akrab dengan sekurity yang berjaga di depan. Di resepsionis, Ipul menyarankan gue untuk mencoba paket pijat lengkap + refleksi biar badan gue benar-benar pulih. Gue sempat bingung ketika ditanya apakah gue mencari terapis tertentu. Kalau gue gak pilih-pilih, terapisnya akan dicarikan yang sedang tidak bertugas.
“Citra lagi on duty gak kak?hehe?” sambar Ipul ke Veny, resepsionis Golden Therapy yang bertanya ke gue barusan.
“Citra? Sebentar gue cek,” katanya sambil menelepon entah kemana.
“Citra? Citra siapa?” bisik gue ke Ipul.
“Terapis di sini bos, salah satu terapis yang laris di sini. Selain cantik pake banget, dia orangnya ramah dan komunikatif. Dan yang penting, pijatannya makyusss! Semoga dia lagi kosong,” terang Ipul.
“Mas, ini Citra nya ada. Jadi sama Citra?”
“Oke.”
“Baik, silahkan ke lantai 2 kamar nomor 3. Ini nanti tolong kasih ke Citra.”
Si resepsionis lantas memberikan semacam kartu ke gue.
“Bos, gue tunggu di warung kopi di depan yak. Gue jamin lo bakalan suka bos, gehehehe,” celetuk Ipul lalu ngeloyor pergi.
Awas aja kalau lo ngejain gue pul, batin gue.
Gue lalu naik ke atas menuju kamar nomor 3. Gue sempat mengetuk pintu kamar sebelum akhirnya gue masuk. Gue tertegun melihat si terapis yang berpakaian kemeja dan celana panjang berwarna hijau muda. Dia cantik, cantik banget. Namun…
“Halo..hah..elo kan…?”
Damn, bukan hanya dia yang kaget saat melihat gue. Gue pun juga kaget. Karena terapis yang bernama Citra ternyata adalah cewek yang beberapa waktu yang lalu pernah gue tolong!
Pertemuan kedua yang aneh itu membuat kami berdua akrab. Dan terbukti memang perkataan Ipul bahwa pijatan Citra itu mantap. Sejak merasakan servis Citra, dua kali dalam sebulan gue menyempatkan diri untuk pijat dimana secara khusus gue meminta Citra sebagai terapisnya. Hanya Ipul yang gue ceritakan tentang pertemuan pertama gue dengan Citra. Beberapa kali kami bertiga jalan, makan bareng. Citra berusia 20 tahun dan sudah menjadi terapis setelah lulus SMA karena mengaku malas untuk meneruskan kuliah. Gue sih fine-fine aja mendengarnya. Apalagi dia memang memiliki bakat dan kemampuan memijat yang luar biasa. Satu lagi nilai plus buat Citra adalah dia bekerja di tempat terapis yang memiliki reputasi bagus serta positif bukan tempat terapis esek-esek. Dan gue pikir Citra sudah mampu menjaga dirinya sendiri.
x-x-x FLASHBACK SELESAI x-x-x
30 menit menjelang malam pergantian tahun…
“Kedua, seperti yang aku bilang di awal, posisi kita sudah kalah jumlah. 1 lawan 2. Akan sangat susah untuk memikirkan keadaan teman yang lain. Adrenalin kita semua akan terpacu kuat sekali. Namun aku harap, setelah bisa mengalahkan 2 orang lawan, coba lihat sekeliling. Kemudian bantu teman yang kewalahan atau terdesak. Namun ingat semuanya tergantung dengan situasi dan kondisi. Jangan sampai karena ingin buru-buru membantu teman, justru malah lengah dan kehilangan kewaspadaan. Kalau kalian sudah kehabisan tenaga atau kalah dan tidak kuat untuk bertarung lagi, tidak usah malu langsung minggir ke samping. Jangan diam di tengah pusaran. Bahaya. Dan yang terakhir, aku harap kalian semua mengerti apa tujuan kita, sehingga sampai kita ikut terjun ke dalam konflik anak kelas 3. Kita ikut bukan karena kita gila kekuasaan ataupun mendapat pengakuan sebagai yang terkuat. BUKAN ! BUKAN ITU! KITA BERKUMPUL MALAM INI DEMI HARGA DIRI, PERSAHABATAN DAN TENTU SAJA UNTUK MEMBALAS PERBUATAN MEREKA YANG SUDAH MEREMEHKAN KITA!” seru Yandi lantang di depan anak-anak.
Seruan dari Yandi tersebut menambah semangat gue berlipat-lipat. Yandi benar, kami XYZ ikut bertarung malam ini bukan karena kekuasaan atau pengakuan. Tindakan kami lebih ke seperti “Inilah yang kami lakukan kalau ada yang berani mengusik XYZ !”
“Mari kita berangkat,” ujar Yandi mengakhiri pidatonya lalu berjalan mendahului kami semua. Gue, Yosi dan Xavi saling berpandangan sebelum akhirnya ikut mengiringi Yandi berjalan menuju aula sekolah yang sebentar lagi akan berubah menjadi medan perang. Sambil berjalan gue mulai memasang headset, benda ajaib yang mampu membakar adrenalin gue dalam tempo singkat. Gue berencana akan langsung full throttle menyerang anak buah Oscar dan kemudian membantai Budi.
Lagu dari Slayer terdengar epic saat kami, puluhan anak XYZ berjalan bersama-sama, satu visi, satu tujuan, satu pemimpin untuk merayakan pergantian tahun dengan battle yang belum apa-apa sudah membuat setan yang bersemayam dalam diri gue berjingkrak bersiap unutuk berpesta pora.
Lo mau darah dari setiap lawan gue? baiklah, gue akan mempersembahkan banyak darah lawan buat lo. Titah dari Tom Araya membuat setiap deru nafas gue terasa panas. Sebentar lagi, sebentar lagi…
Khu…khu…khu…
Saat memasuki gerbang sekolah, gue melihat beberapa orang tidak dikenal yang seperti berjaga di area gerbang. Mereka memandang kami satu persatu dengan tatapan dingin.
“Siapa mereka?”
Gue mendengar celetukan Xavi karena volume headset gue turunkan setelah melihat kehadiran mereka, namun tetap terdengar kebringasan Slayer di otak gue.
“Biarin saja, gak usah di pedulikan,” jawab Yandi tenang.
“Tapi aneh sekali kehadiran orang-orang itu, gue gak ada yang kenal. Yang jelas mereka bukan siswa disini dan bukan juga murid SMA manapun. Masih muda tetapi bukan lagi usia anak sekolahan,” timpal Yosi.
“Jangan-jangan mereka anak buah Ander dan Opet,” ujar Xavi. Sepertinya dia grogi atau mungkin takut. Ya wajar sih, selain kami bertiga yang sudah sering berada di situasi panas seperti ini, Xavi termasuk paling minim pengalaman.
“Tenang Xav, kalau mereka macam-macam, kita sekalian bantai.”
“Hahahaha,Zen lo bisa dengar omongan kita? Gue kira lo udah autis mode On setelah pakai headset,” ujar Yosi.
“Dengarlah, nanti kalau sudah dimulai, volume suara gue kencengin lagi.”
“Buset, bisa ya elo tawuran sambil pake headset terus dengerin musik kenceng,” tanggap Xavi.
“Semua orang punya caranya masing-masing dalam menikmati kekerasan,” kata gue sambil menepuk pundak Xavi.
“Ahaha lo emang cool bro!” ujar Yosi sembari melingkarkan lengannya di pundak gue.
Kami langsung berjalan menaiki tangga menuju aula yang berada di lantai 2 gedung para guru. Tadi saat melewati lapangan gue bisa merasakan banyak tatapan penuh kebencian yang gue yakin dari kelompok Oscar. Mereka tersebar di lorong kelas 1 bawah, balkon atas gedung kelas 2 dan balkon atas gedung kelas 3. Sepertinya mereka tidak menyangka kami XYZ akan datang dengan langkah tegap, tidak ada keraguan sedikitpun. Di sela-sela perjalanan kami, Yandi sudah meminta anak-anak yang ada di belakang untuk tetap tenang berjalan mengikutinya dan tidak usah membalas provokasi berupa teriakan, ejekan dari kelompok lawan.
Perkataan Yandi terbukti memang mampu menenangkan anak-anak. Terlihat dari tatapan mata mereka, penuh konsentrasi dan tegas. Kemantapan dan aura bajingan dari kami semua sepertinya bisa dirasakan oleh kelompok Oscar yang tersebar dimana-mana, mereka hanya diam melihat kedatangan kami di pesta malam ini.
Saat kami sudah berada di dalam aula, di dalam ternyata sudah banyak berkumpul anak kelas 3 anak buah Feri, Deka, Darma dan juga Jati. Yandi lantas berkata sesuatu kepada kami.
“Ayo kita hampiri mereka, tunjukkan respek kepada para senior karena mereka sudah mengijinkan kita untuk ikut acara malam ini dan yang terpenting mereka akan menjadi rekan kita saat berhadapan dengan kelompok Oscar.”
Kami mengikut Yandi menyalami satu persatu para senior. Tindakan yang terlihat sepele ini sepertinya membuat para senior jadi segan. Mereka menyambut jabatan tangan kami dengan mantap dan anggukan kepala. Gue lalu bisa merasakan ikatan yang erat antara kami junior dengan para senior. Yan, lo emang jago urusan kayak gini haha.
Selagi Yandi terlihat pembicaraan serius dengan Feri dan Jati, gue mempersiapkan playlist di ponsel gue. 6 lagu favorit gue masukkan ke dalam playlist yang gue kasih nama “OST Final Clash”. Lalu gue set, playlist akan dimulai pukul 23.58 dengan mode repeat. Artinya keenam lagu itu akan terus diputar terus-menerus di dalam kepala gue sampai semuanya selesai. Kemudian ponsel dan dompet gue titipkan di tas Wira. Nah kalau sudah begini.
Everything is all set !
Gue lihat jam di tangan kiri, 2 menit menjelang Tahun Baru.
OST FINAL CLASH dimulai !!
Intro lagu pertama ini bagaikan serenada orkestra nan harmonis di kuping, membangkitkan sesuatu yang lama tertidur di dalam diri gue. Sekarang yang ada di dalam kepala gue hanyalah musik indah ini, tidak ada suara lain. Gue tidak peduli, gue memutuskan segala koneksi suara di sekitar. Headset ini menjadi satu-satunya sumber suara. Beberapa puluh meter di hadapan gue sekarang, gue lihat sosok yang sudah gue kunci.
Budi
Dia sadar bahwa gue terus memperhatikannya semenjak ia masuk ke dalam aula beserta kelompoknya. Budi menyeringai ke arah gue. Hehe nikmati masa-masa kesombongan lu. Zen yang sebentar lagi akan lo hadapin bukan Zen yang lo pecundangin tempo hari. Sedari awal gue akan mengerahkan 110% kekuatan. Lo akan gue hantam sepenuh tenaga!
Ketika Intro lagu sudah selesai dan teriakan parau terdengar, hal itu bertepatan dengan ekspresi teriakan dari kelompok gue dan kelompok Oscar, lalu gue lihat Yosi berlari paling depan !!
Akhirnyaaa kedua kubu telah bergerak ! Gue merasakan desakan gelombang dari arah belakang yang merangsek melewati gue yang masih terpaku. Gue terlalu bahagia karna momen yang gue nanti-nanti akhirnya…akhirnya….TIBA !!
SAATNYA MELEPAS SETAN YANG ADA DALAM DIRI GUE !! SETAN YANG SENGAJA GUE BUAT LAPAR KINI TELAH TERLEPAS DARI KURUNGAN ! DAN IA BERTERIAK MELESATTT TERBANG BEBAS !!! MENGEJAR MANGSA DAN DARAH !!!
Saat ada 1 lawan yang mencoba memukul gue, gue hanya elakkan dengn memiringkan kepala ke kanan. Gue mundur 1 langkah lalu gue lepaskan pukulan ke arah hidungnya !
BUGH!
Uah nikmat sekali rasanya saat kepalan tangan gue menghantam tulang hidung sangat keras hingga ia langsung roboh. Mata gue sepertinya berbinar-binar melihat ada bercak darah di buku-buku tangan kanan. Lawan gue yang sudah pingsan di lantai, gue pegang rambutnya dan gue hajar beberapa kali !! hingga hidung dan mulutnya berdarah !
SETT !!
Gue memundurkan kepala saat dari samping ada yang menendang, namun gue merasakan bahaya dari arah belakang. Dan benar saja, dari arah belakang ada seseorang memukul kepala gue. Sakit namun tidak gue hiraukan karena pukulannya terasa enteng. Gue langsung memutar badan lalu gue pegang kedua daun telinga orang tersebut. Gue remas kupingnya kuat-kuat dan gue tahan agar tidak bergerak.
MAKAN NIH KEPALA GUE !!
Gue hantam wajahnya dengan kening gue beberapa kali hingga bibirnya sobek. Satu pukulan ke arah kuping kanan membuatnya bergulingan di lantai sembari memegangi kupingnya, hihihihi. Gue belum puas sehingga gue tendang wajahnya layaknya bola. Dan ia langsung tidur nyenyak. Ujung sepatu converse yang gue pakai untuk menendanganya terlihat berbekas merah darah..aih.cakep!
Saat gue menikmati lagu kedua, lagi-lagi gue terkena pukulan dari arah belakang dan tepat kena tulang belakang. Gue mengernyit kesakitan. Rupanya yang menyerang gue barusan adalah orang yang tadi menendang gue tapi luput. Saat ia mencoba menyerang, gue dahului dengan menyapu kakinya hingga ia terhuyung ke depan. Langsung gue sambut dengan rentetan pukulan ke arah kepalanya. Dan ia sudah pingsan bahkan sebelum ia mencium lantai aula.
Kemudian datang lagi satu penyerang, ia meninju dengan tangan kiri. Gue hanya menggeser badan ke kanan lalu memegang pergelangan tangannya. Gue tendang dari arah bawah ke persendian lengannya hingga bengkok ke atas. Kalau dari ekspresi teriakannya, seperti ia benar-benar kesakitan haha. Gue tinju wajah jeleknya sampai tersungkur ke lantai. Ia bergulingan di lantai mengelepar kayak ikan hahaha.
Lumayan buat pemanasan.
Gue lalu melihat ke arah pusaran perkelahian. Mencari target gue. Haha Budi rupanya sudah pemanasan. Ia sedang menghajar salah seorang anak kelas 3. Gue menyeringai memperhatikan Budi hingga ia selesai. Kebringasan Budi sepertinya membuat beberapa orang nyalinya menciut dan memilih mencari lawan lain.
Dan akhirnya pandangan kami beradu.
Budi tertawa melihat gue, lalu bacotnya bergerak. Entah dia berbicara apa. Pfft paling psywar. Heran gue di tengah tawuran gini dia masih sempat ngebacot. Nih gue kasih tahu cara ngebacot ala Zen !
Gue berlari ke Budi lalu meloncat sembari memukul, namun pukulan gue bisa di blok Budi. Ya sudah pasti serangan sejelas ini bisa dibaca oleh Budi. Makanya gue lanjutkan dengan tendangan ke arah pinggulnya. Namun Budi tidak bergeming. Saat ia menurunkan lengan yang menutupi wajahnya, Budi tertawa. Dengan sigap ia membalas dengan pukulan tajam beberapa kali ke arah gue. Reflek gue tangkis dengan berjalan mundur. Ah fuck, gue kena perangkap Budi.
Budi tahu gue bakal menangkis sambil mundur dan hal itu ia manfaatkan dengan menggengam tangan kanan gue lalu di puntir ke dalam. Wah masih terlalu awal untuk langsung mengincar tulang gue Bud ! gue langsung maju memperpendek jarak, siku kanan gue tekuk hingga dadanya terhantam ujung siku gue. Belum selesai! Gue memutar badan ke kiri dan memukul wajahnya dengan punggung tangan kiri. Serangan ini gue yakin berefek namun tidak cukup kuat karena Budi masih belum melepaskan pergelangan tangan gue. Maka gue hantam wajahnya dengan bagian kepala belakang gue. Baru tangan gue terlepas. Di saat Budi tengah mengucek matanya, gue serang dengan pukulan ke bagian rahang, namun meleset dan gue terkena counter berupa tendangan ke perut.
Keras sekali.
Sampai-sampai badan gue seperti terangkat ke atas. Anjing memang power si Budi ! Dengan penuh nafsu Budi terlena ingin segera membuat gue kalah dengan mengicar rahang lewat uppercut. Gue langsung menyilangkan kedua pergelangan membentuk huruf X dan gue tekan ke bawah. Sehingga uppercut Budi tertahan.
Di saat gue menendang perut samping Budi, di saat yang sama Budi juga melancarkan pukulan kiri ke rahang.
BAMM!!
Badan kami saling terdorong menjauh, karena efek dari serangan kami yang bersamaan dan sama-sama mengenai sasaran. Namun gue gak akan mundur hanya karena menerima pukulan ini.
“Hiat !” seru gue sambil memukul Budi.
PAK ! PAK !! PAK !!
Terdengar bunyi tangkisan yang dilakukan Budi untuk mematahkan serangan pukulan gue. Bud, itu pukulan jebakan! Karena ini lah serangan gue yang sesungguhnya. Gue merendahkan pinggang sedikit lalu meloncat dan menendang pundak Budi. Akibatnya Budi sedikit kehilangan keseimbangan dan gue hantam wajahnya hingga kepalanya tersentak ke belakang !
BULLSEYE !!
Budi mengerang kesakitan dan selanjutnya gue serang dengan kombinasi pukulan di bagian dada kiri kanan dan yang terakhir adalah LEHER !!
Tetapi pukulan ke arah jakun Budi gagal karena ada yang menyerang dan memukuli gue dari belakang !!
EMOSI GUE SEMAKIN MELEDAK karena lagi-lagi ada yang sudah berani mengganggu serangan terakhir gue untuk menyudahi nafas Budi.
Gue pusing dan sakit di bagian belakang kepala akibat pukulan tiba-tiba dari arah belakang. Lalu gue balas dengan menendang perut penyerang gue hingga ia kesakitan dan memegangi perut. Lalu segera gue pegang kepalanya dan gue tarik ke bawah sementara dari bawah, lutut kiri gue tekuk dan hujamkan ke atas.
BUGH !!
Penyerang gue roboh dan kejang-kejang akibat lutut gue mengenai keningnya.
Mati aja lo sekalian! Gue hampiri dan gue injak-injak kepalanya!!
Sampai kemudian ada yang memegang pundak gue dari belakang dan reflek gue menengok.
BUGH!!
Gue tersungkur dan pandangan mata sekilas langsung gelap saat gue merasakan benda keras di pukulkan hingga mengenai pelipis gue. Gue yang nyaris pingsan berhasil mempertahankan kesadaran dengan menggigit bibir gue sendiri. Gue terbatuk karena Budi langsung menduduki perut gue lalu menghantam-hantam kan benda keras yang ia pegang ke arah kepala. Otomatis gue reflek melindungi kepala sebisanya. Kalau saja gue tadi pingsan, gue bisa mati di tangan Budi.
Baguslah kalau dia juga berniat untuk ngebunuh gue karena kami punya tujuan yang sama !!
Tapi gue bisa mati kalau membiarkan Budi terus menyerang gue dengan posisi seperti ini. Gue balas dengan menyerang pinggang Budi dengan menghantamkan kedua lutut kaki gue yang masih bisa bergerak bebas. Budi pun mengerang kesakitan dan ada jeda ia berhenti menyerang gue. Hal itu gue manfaatkan dengan mencengkeram pergelangan kanan Budi yang memegang kunci ring, disaat pegangannya agak kendor. Gue raih jempol kiri Budi lalu gue patahkan dengan gue tarik ke bawah sampai berbunyi kreek !!
Kunci ring yang terjatuh di atas dada gue, segera gue ambil dan hendak gue pukulkan ke wajah Budi. Namun Budi mengelak dengan cara segera berguling ke samping.
Budi mengumpat sambil mengibas-ngibaskan jempol kirnya yang sudah gue buat mati.
Sebenarnya ini kesempatan gue untuk menyerang Budi, namun gue juga perlu mengambil nafas. Apalagi sebagian wajah gue terasa basah dan lengket. Saat gue raba dan gue perhatikan, di tangan gue ada bercak darah.
Anjing, ini pasti darah akibat pelipis gue yang sobek. Perih sekali bangsat! Reaksi gue Cuma tersenyum sinis ke arah Budi.
“Ngakunya jagoan bajingan kelas 3, tetapi lawan anak kelas 1. Lo gak malu hingga menggunakan senjata. Haha maddog my ass !!” gue menghina Budi sambil meludah di depan dia.
Budi diam saja mendengar provokasi gue. Budi lalu mengeluarkan sapu tangan dari kantong celana lalu ia mengikat erat jempol kirinya yang lunglai dengan kondisi aneh. Hehe bisa apa dia kalau jempol kirinya sudah gue patahkan. Lalu timbul perasaan meremehkan dalam diri gue. Hal yang membuat gue tanpa pikir panjang menyerang Budi secara gegabah. Badan gue terlempar ke belakang saat Budi menjejak dada gue hingga gue terhuyung. Gue megap-megap karena akibat jejakan kaki Budi, gue sesak nafas.
Satu pukulan keras dan telak dari Budi membuat gue terkapar di lantai dalam posisi telentang. Gawat kalau Budi kembali mengunci gue dalam posisi gue di bawah seperti tadi. Gue berhasil berguling ke samping tepat sebelum Budi menginjakkan kakinya ke muka gue.
Kesempatan ! gue sapu kaki Budi hingga gantian dia yang kini terjatuh. Saat Budi terjatuh inilah gue langsung mengunci lengan kirinya dan gue puntir sekuat gue bisa hingga Budi mengalami dislokasi bahu !
HAHAHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAAHAHAHAHAHHAHAAHAHAHAHAHAHAHAHA !!
Masih dalam posisi armlock, gue hantam wajah Budi berulang-ulang kali dengan telapak kaki. Hidung dan mulut Budi sudah berdarah-darah, ia megap-megap susah bernafas.
Di saat gue masih asyik menyiksa Budi. Dari atas gue melihat sebuah stik bisbol di ayunkan ke arah gue. Dalam posisi seperti ini gue gak bisa berguling atau mengelak. Jadi yang bisa gue lakukan adalah melepas tangan Budi dan menahan pukulan bisbol dengan tangan. Gue mengernyit kesakitan saat ujung stik mengenai telapak tangan. Dengan melawan rasa sakit, gue pegang ujung bisbol dan gue dorong ke atas. Sehingga ujung pegangan stik bisbol mengenai dagu orang yang menyerang gue. Stik bisbol yang lepas dari pegangan segera gue kuasai. Gue pukul betis orang ini hingga ia terjungkal.
Gue langsung berdiri dan memukuli badan si kroco yang mengganggu kesenangan gue tanpa ampun!!
BUGH !!! BUGH !!! BUGH !!! BUGH !!! BUGH !!! BUGH !!!
“MAKAN NIH STIK BISBOL !!! PENGECUT KALIAN ! BERANINYA PAKAI SENJATA !! BANCI !!!”
Satu pukulan ke arah muka, membuat wajah si kroco ini berdarah-darah. Darah yang berasal dari mulutnya dan oh ada giginya yang tanggal, hahahahah!
Gue lalu menghampiri Budi yang wajahnya pucat pasi, sembari menggenggam stik bisbol yang ujungnya penuh bercak darah. Ia hanya bisa melihat gue tanpa bisa bergerak.
“Cukup sampai di sini nyawa lo Bud…” seru gue sesaat sebelum mengayunkan ujung stik bisbol ke bagian atas kepalanya.
Namun tiba-tiba ada yang datang dari samping lalu memukul punggung gue kemudian pergi. Karena terdorong, pukulan gue tidak mengenai tempururung kepala Budi melainkan mengenai bahu kirinya. Meskipun tidak mengenai kepala namun dari ekspresinya saat menjerit dan roman muka Budi yang memucat di antara darah yang mengalir dari pelipisnya yang bocor, ia sangat kesakitan. Gue yakin tulang selangka atas bahunya minimal patah.
Hahaha, Here comes the pain!
Namun gue kesal karena gue gagal membunuh Budi karena ada yang memukul dari belakang. Hanya saja ada yang terasa aneh saat gue mengangkat stik bisbol dengan kedua tangan. Tangan gue seolah kehilangan control sehingga stik bisbol terlepas dan menggelinding. Anjing, tinggal satu serangan terakhir lagi maka selesai sudah nyawa Budi di tangan gue. Namun rasa sakit merambat dari arah punggung bagian belakang seolah membuat tenaga gue seperti hilang. Ketika gue hendak berjalan, kedua kaki juga seperti mati rasa. Di saat gue terhuyung hendak terjatuh ke depan, gue merasakan ada dua orang yang memegangi badan gue dari depan dan belakang.
Astra dan Wira.
Wira yang memegangi badan gue dari depan terlihat pucat dan berteriak panik di depan wajah gue, namun tentu saja tidak terdengar sama gue apa yang ia teriakkan karena headset. Kenapa sih lo panik amat, batin gue.
Ini gue pasti kelelahan dan akumulasi rasa sakit membuat gue kehilangan tenaga. Saat gue hendak duduk, Wira dan Astra justru menahan badan gue agar tetap berdiri. Maka gue pun melepas headset dan berteriak.
“Lepasin ! lo berdua ngapain sih, gue capek mau duduk! Lo gak liat kaki gue sampai gemeteran gini!”
Gue pun agak heran, baru kali ini gue kecapekan sampai berdiri saja tidak kuat. Ah ini pasti akibat gue kehilangan banyak darah akibat darah yang merembes dari kepala dan pelipis yang bocor karena di hantam Budi dengan kunci ring.
“Zen, jangan bergerak…jangan bergerak…jangan duduk, tetap berdiri, tunggu. Andi sedang mengambil mobil di rumah elo..” ucap Wira dengan bibir bergetar.
Di saat gue hendak bertanya, ternyata ada beberapa teman yang mengelilingi gue lalu salah seorang di antara mereka berteriak histeris.
“ZEN KENA TUSUK !!! ZEN KENA TUSUK DI PUNGGUNG !!! ANJINGGGGG!!!! SIAPA YANG TADI MENYERANG ZEN !! ”
“Gom!!! Gom tadi yang menyerang Zen dari belakang, tadi gue lihat ia berlari sambil menghunus pisau !! dan setelah menusuk Zen ia berlari pergi. Ayo kita cari si bangsaattt ITU!!”
Dan yang gue dengar selanjutnya adalah keributan yang kembali pecah. Anak XYZ menyerang anak-anak kelas 1 yang memihak ke Oscar.
Gue ditusuk pisau dari belakang? Oleh Gom?
Ketika gue menoleh ke belakang. Gue bisa melihat ada gagang pisau mencuat di punggung belakang gue.
Si anjing, gue ternyata kena tusuk beneran.
“Jangan lo cabut Zen! Lo bisa mati seketika kalau lo cabut pisaunya!” sergah Astra sambil memegangi tangan gue yang tadi hendak mencabut pisau yang menancap di punggung.
Gue kemudian terbatuk-batuk. Batuk gue berwarna merah kental….kayak darah..
Oh…ini...darah...gue..batuk…darah…rupanya…akibat….pendarahan…di…organ….dalam…..karena….luka….tusuk…..
Bangsat..gue..udah..gak..bisa..ngrasain..kedua..kaki..gue…yang…menjejak..di.. lantai…
Di..ambang..kesadaran..yang..makin..tipis..gue..melihat..seseorang..berpakaian..serba..hitam…menunduk….berdiri…diam…di…belakang..Wira..kemudian..dia..menengadahkan….kepalanya…dan…menatap…gue…
Seluruh bulu kuduk gue langsung berdiri dan tiba-tiba gue teringat salah satu penggalan lirik lagu Slayer…
Angel of death
Monarch to the kingdom of the dead
Infamous butcher,
Angel of death
Monarch to the kingdom of the dead
Infamous butcher,
Angel of death
Gue ketakutan namun gue justru tersenyum..
“Uhuk..he..he..ternyata..lo..beneran..ada..uhuk..lo..yang..akan..bawa…gue…ke…neraka.? uhukk,” tanya gue.
“Zen, lo ngomong apaan sih?? Simpan nafas lo, Zen..tetap sama gue.Zen…lihat gue ZEN !!” justru malah Wira yang menyambar pertanyaan gue dengan nada panik.
Apakah dia tidak bisa merasakan kehadiran seorang Angel Of Death atau malaikat kematian berdiri di belakangnya. Senyum gue terkembang lebar ketika gue melihat sang malaikat kematian menjawab pertanyaan gue dengan anggukan kepala..
Khu….khu…khu…
= BERSAMBUNG =
yeaahhh salah satu part favorit.. Zen...
ReplyDeleteLuar Biasaaa... Kepingan Puzzle Hampir Rampung... Lanjutkan Om Panth... π
ReplyDeleteYeahhhhh zennnnn
ReplyDeleteMantap Jaya Group
ReplyDeleteThe butcher done,
ReplyDeleteNext part The Destroyer
Jadi pengen dipijit Neng Citra juga
Myehehehehehe
Mau nanya referensi headse bluetooth nya dong suhu...
ReplyDeleteAyo dong suhu @epanth i upload lg dong episode 55 dst
ReplyDeleteZen termasuk karakter fav ane ,na cedak wes tak wei jenang hahaha.
ReplyDeleteBocah yg bisa mengontrol sisi lain dari dirinya
Update terus maa bro serpanth..
ReplyDeleteKhu.. Khu,.. Khuuu... π
ReplyDeleteProfessor cilik kita akhirnya muncul juga.
πππ
Kapan episode 89 ya
ReplyDeletecara liat semua list uodate an gimana ya?
ReplyDeleteKlo buka dari hp, pojok kiri atas ada 3 strip horisontal, nah itu di klik.
Deleteklik SUPER BAJINDUL, itu kumpulan episode berdasarkan bulan..
sementara spt itu dulu utk cek update,