LPH #82
Episode 82
Giant Killing - Fatal Five Ways
(POV Yandi)
Peringatan dari Zen rupanya membuat Edgar menciut nyalinya, namun ia masih tetap bersikap sok jagoan. Edgar meletakkan kursi lalu menendang-nendang badan Andreas sehingga akhirnya dia terguling jatuh dari ring. Ketika tinggal tersisa Yosi, Edgar sepertinya tidak berani mengeluarkan Yosi dengan cara yang memantik emosi kami terutama Zen. Edgar menarik kedua tangan Yosi hingga ke tepi dan saat mendorong Yosi keluar, Wira sudah bersiaga menangkap Yosi.
Edgar tersenyum sinis kepada kami setelah menjadi pemenang di sesi ketiga. Sementara itu tim medis segera memberikan pertolongan kepada Andreas dan Yosi yang sama-sama mengalami pendarahan. Mereka menandu keduanya menuju ruang medis.
“Yan, gue temenin Yosi,” kata Xavi.
Aku pun menyetujuinya. Kini tinggal Wira dan Zen yang belum dapat giliran.
“Well, jangan jadi anak manja. Sudah gue bilang, ini open contest di mana kalian bebas mau pakai senjata. Jadi buat yang merasa ksatria dan tidak sudi memakai senjata, jangan menyalahkan mereka yang ingin menang dengan segala cara,” Pak Indra menyindirku tajam sambil menghisap rokok.
“NEXT! TIGA PEJUH KECOAK LANGSUNG NAIK RING ! WIRA ! PRAST ! DAVID!” sambung Pak Indra yang tanpa membuang waktu langsung memanggil tiga nama.
“Akhirnyaaa giliran gue datang juga!!!” sahut Wira sambil meninju-ninju kepalan tangannya.
Aku menghampiri Wira dan memberikan nasihat singkat. “David itu sama sepertimu, tenaga besar namun lamban. Jika dapat kesempatan tembak, langsung tundukkan secepatnya. Lawanmu yang sesungguhnya adalah Goku. Dia tidak memiliki postur istimewa tetapi dia tahu cara berkelahi.”
Wira mengangguk. “Siap bos, thanks for the advice,”
“Setuju sama Yandi, bereskan David dulu sembari waspadai Goku,” tambah Zen.
“Ya! David akan jadi sasaran kemarahan gue. Bajingan ! Pokoknya gue bantai semua anak kelas 3! mereka licik !” tukas Wira emosional.
Ampun, belum apa-apa udah emosi si Wira. “Hati-hati, bisa jadi David juga bawa senjata,” kataku memperingatkan.
“Kekhawatiran lo langsung terbukti, tuh David udah nenteng stik bisbol ke atas ring,” sahut Zen sambil melihat ke arah ring.
Aku lihat David sedang menimang-nimang stik bisbol yang ia bawa sembari melihat ke arah kami. Sementara Prast atau Goku dengan santai masuk ke dalam ring, kedua tanganya malah di masukkan ke kantung saku jaket Adidas warna merah yang ia pakai. Ia samasekali tidak menunjukkan sikap takut atau khawatir melihat David membawa stik bisbol ke atas ring .
Goku, boleh juga dia,
“Gue gak takut !” tandas Wira sambil berlari dan tiba-tiba saja menyambar satu kursi lipat sebelum ia naik ke atas ring.
Aku mencoba mencegah namun Zen memegang pundakku. Ia menggeleng pelan.
“Biarkan Yan. Sah-sah saja, kemenangan yang terpenting saat ini. Semua siswa yang ada di sini, nasibnya ada di ujung tanduk. Apalagi sikap pengecut pun sudah di halalkan Indra selama mengikuti permainan. Tindakan Edgar tadi adalah bentuk dari rasa takut akan kekalahan.”
Aku diam saja.
Mereka bertiga kini sudah saling berhadapan di ring.
Psywar sudah di mulai.
“Lo duduk manis situ dulu, gue mau beresin sampah pengecut ini,” kata Wira kepada Goku sambil menunjuk ke arah David di sertai gebrakan kursi lipat yang ia bawa.
Goku lalu benar-benar duduk di pojokan ring. “Silahkan…Gue tunggu sini. Tenang saja, gue gak akan ikut campur…” katanya.
“Udah siap gigi lo gue rataain dengan ini?” ancam David kepada Wira saat Goku memutuskan duduk dan menunggu Wira vs David.
“Cih, coba lu jawab dulu pertanyaan gue, ‘Udah siap belom batok pala lo yang gak ada otaknya itu bocor?’” balas Wira.
Baik Wira maupun David sudah sedemikian emosi. Aku tidak pernah menyukai duel melibatkan alat, tidak pernah. Kecuali memang niat duel untuk menghabisi nyawa orang.
DUGH !
David menyerang terlebih dahulu dengan mengayunkan stik bisbol dari atas, Wira bereaksi menahan pukulan dengan kursi lipat yang ia pegang. David tidak puas ia memukul-mukul kursi yang menjadi tameng Wira.
“Mampus !! mampuss!!” teriak David emosi.
“Arrrrrrgghhh !” Wira berteriak kesakitan karena David mengubah ayunan stik menyamping dan mengenai sisi perut Wira.
Aku ngilu melihatnya karena itu pasti sakit sekali. Melihat Wira kesakitan membuat David kembali menyerang di area yang sama.
WUSH !!!!
Aku lega karena pukulan David hanya mengenai udara karena Wira masih sempat mengelak mundur.
“MAKAN NIH !!!! HYATT !!”
Wira membalas dengan mengayunkan kursi ke arah David sebagai serangan balasan.
“Argghh!” kali ini gantian David yang mengerang kesakitan saat lengan kiri David di hantam dengan bagian atas kursi.
Wira menendang ke arah perut David membuat David sedikit membungkuk.
“Mampus !!”
Wira mengangkat kedua kursi tinggi-tinggi karena melihat David kesakitan. Ini fatal kalau kena kepala !!! tapi David yang merasakan bahaya terlebih dulu menyerang dengan menyodok perut Wira yang terbuka. Serangan David membuat mata Wira mendelik saat perutnya di sodok dengan ujung stik bisbol. Wira kesakitan namun hal itu tidak mengurangi ayunan kursi.
BUGH !!
David mengerang keras sekali punggung belakangnya terkena hantaman kursi.
Kini keduanya di kuasai rasa sakit, sehingga tidak sanggup untuk langsung adu serang. Wira jatuh terduduk memegangi perut, sementara David bergulingan karena punggungnya seperti terbakar, panas, perih. Mereka saling menatap di tengah rasa sakit yang mereka alami dengan tatapan kebencian satu sama lain.
Aku mengenali tatapan tersebut !! itu tatapan emosi dimana akal logika sudah menepi karena di kuasai amarah. Satu-satunya perintah yang ada di otak mereka berdua cuma satu dan bunyinya sama.
“BUNUH ORANG YANG ADA DI DEPANMU!”
Ini tidak bisa di biarkan ! Aku segera berlari dan naik ke sisi ring.
“BUANG SENJATA KALIAN BERDUA SEBELUM ADA YANG MATI KONYOL DI SINI ! JADI LAKI-LAKI, DUEL DENGAN TANGAN KOSONG! ! PERSETAN DENGAN ATURAN BOLEH PAKAI SENJATA !! DI MANA HARGA DIRI KALIAN TOLOL !!! PERSETAN DENGAN SEKOLAH INI ! LEBIH BAIK AKU DI KELUARKAN DARI SINI DARIPADA MENANG DENGAN CARA ORANG LEMAH !! CUMA ORANG LEMAH, PENGECUT YANG MENGGANTUNGKAN NYALI DENGAN SENJATA! KALAH DUEL NAMUN DENGAN CARA YANG JANTAN JAUH LEBIH BAIK ! LEBIH TERHORMAT !”
Aku berteriak menumpahkan emosi, aku tidak peduli karena sudah secara terang-terangan melawan perkataan Pak Indra. Yang bisa aku lakukan adalah berusaha menyadarkan mereka dengan memantik harga diri sebagai laki-laki. Secara usia kami memang terhitung masih remaja, namun jika di lihat dari cara berpikir dan tindakan, kami sudah memiliki harga diri sebagai laki-laki. Ternyata yang aku lakukan tidak sia-sia saat Wira dan David secara bersamaan membuang senjata mereka.
“Terimakasih bos, bakalan gue hajar si babi ini,” kata Wira kearahku sambil mengencangkan kepalan tangannya.
“Bacot lo Wir, sini. Gue jejalkan kaki gue ke dalam mulut lo yang busuk,” balas David.
Aku lega kemudian turun dari sisi ring. Zen tidak memberikan komentar atas tindakanku barusan. Aku lalu fokus memperhatikan jalannya baku hantam Wira vs David. Keduanya sama-sama menang dalam hal power, sehingga saling tukar pukulan dalam jarak dekat. Sampai akhirnya mereka saling mencengkeram kerah dan mengadu keras kepala mereka. Hal ini tak pelak membuat kening mereka sama-sama sobek dan berdarah. Namun mereka tidak peduli, terus saling adu kuat membenturkan kening satu sama lain.
Setelah adu kepala beberapa kali, Wira mulai kewalahan dan berada dalam posisi tertekan, kedua kakinya mulai gemetar pertanda akumulasi rasa sakit dan stamina sudah drop.
Ayo Wira, keluar dari sana ! kamu kalah power ! masih ada cara lain namun itu cuma kesempatanmu satu-satunya! Namun kalau kamu bisa memanfaatkannya, kamu bisa membalikkan keadaan!, aku berteriak dalam hati.
Sepertinya Wira bisa membaca pesanku, ia melepas tangan kanannya dari kerah David. Lalu saat David memajukan keningnya untuk melakukan tandukan ke arah muka, Wira menarik tangan kanannya ke belakang mengambil ancang-ancang lalu meluncurkan sikutan sehingga kening David beradu dengan tulang sikunya.
DUAGH !!
Kepala David tersentak ke belakang dan darah dari kening dan pelipis mengucur semakin deras, ia sempoyongan ke samping sambil memegangi dahinya. Perlawanan David akhirnya kandas saat ia tersungkur pingsan setelah kepalanya terkena tendangan Wira. Aku senang karena Wira bisa mengalahkan David, akan tetapi kini Wira berdiri sambil memegangi lengan kanannya. Wajahnya memucat.
“Tulang siku kanan Wira sepertinya bergeser saat adu keras dengan tandukan David. Kalau ini duel satu lawan satu, Wira menang, sayangnya ini triple threat. Masih ada satu lawan lagi,” gumam Zen.
“Wira tidak akan sanggup melanjutkan duel, ia sudah habis-habisan due ldengan David, bahkan sekarang ini Wira sedang setengah mati menahan diri agar tidak berteriak kesakitan,” lanjutnya.
Aku langsung melambaikan tangan ke arah Wira dan menyilangkan kedua tangan membentuk huruf “X” sambil menggelengkan kepala.
Sudah cukup, sudah cukup. Cepat keluar dari ring, itu sinyal yang coba ku kirim kepada Wira. Namun Wira tersenyum meringis dan menggelengkan kepala. Ia menolak gestur dariku!
“Biarkan saja Yan, kalau lo di posisi Wira, meski dengan kondisi yang seperti itu, gue yakin lo gak akan mau keluar dari ring alias walk-out begitu saja, khan?”
Aku terdiam mendengar komentar Zen dan harus kuakui dia benar.
“Ayo Wira !! satu lagi !” aku berteriak mencoba memberikan semangat.
Goku tiba-tiba berdiri dan berbicara ke arahku. “Elo serius ngasi dia semangat? Lihat saja mukanya pucat pasi, belum lagi pelipis sobek, persendian lengan seperti dislokasi. Dengan lo kasih dia semangat sama aja lo remehin gue dong?!”
Agaknya Goku yang tadinya tenang kini berubah jadi agresif karena tersinggung dengan ucapanku. Dari niat ingin memberikan semangat ke Wira malah memantik emosi anak tersebut.
“LIHAT BAIK-BAIK !!” kata Goku kepadaku lalu ia mendatangi Wira.
Wira tidak bisa bereaksi atau menghindar saat satu pukulan yang sangat keras menghampiri wajahnya, Wira terhuyung ke belakang hingga ambruk ke tali ring yang malah membuat badannya agak memantul ke depan, lebih tepatnya kembali arah Goku.
BUAGH !!BUAGH !!BUAGH !!BUAGH !!BUAGH !!BUAGH !!
Rentetan pukulan keras dari Goku ke wajah, dada, perut Wira menyudahi perlawanan Wira. Wira benar-benar dilumat oleh Goku tanpa ampun. Setelah Wira ambruk dan pingsan, Goku menengok ke arahku dengan tatapan tajam. Goku kemudian menjadi pemenang di sesi ini tanpa lecet sedikitpun setelah dia menyeret turun Wira dan David keluar dari ring, sehingga kini ia berdiri sendirian di tengah ring.
Goku berdiri di tengah ring sambil mengepalkan tinju kanan yang di arahkan kepadaku.
“Berikutnya, elo….” katanya tegas.
Sebuah tantangan terbuka untukku.
Boleh juga ini. Aku hanya tersenyum saja sambil mengacungkan jempol kanan kepadanya.
Setelah Goku jadi pemenang, ia segera turun dari ring dan langsung menuju kamar mandi. Sementara itu tim medis juga langsung menandu David dan Wira menuju ruang medis. Karena masih ada Xavi menemani Yosi di sana, sekalian biar dia report kondisi Wira.
Fyuh. Wira dan Yosi tumbang.
Kini giliran Zen.
“Empat bajingan tengik sudah lolos ke tahap selanjutnya, buat kalian bertiga, kalian langsung ke atas. Baku hantam sana, gak usah banyak bacot!” pekik Pak Indra.
“Akhirnya, giliran gue datang juga…” kata Zen sambil memutar-mutar lehernya.
Aku kok rada ngeri sewaktu Zen mengatakan hal tersebut, karena aku menangkap getaran yang berbeda. Auranya gelap. Apalagi tadi Zen sempat berbisik kepadaku sebelum ia berjalan menuju ring.
“Yan, lo pengen liat tulang mencuat nembus daging gak? Kebetulan ada target yang tepat. Itu anak kelas 3, Satya. Dia yang tadi memasukkan kursi ke dalam ring. Kursi yang di gunakan Edgar untuk memukul kepala Yosi sampai kepalanya bocor. Setelah gue buat Satya patah di kedua tangannya, selanjutnya giliran Edgar. Gue harap di sesi kedua, gue dapat kesempatan melawan Edgar. Bakal gue buat Edgar cacat permanen di depan mata kalian semua , khu…khu...khu….”
Di ring saat ini sudah berdiri tiga orang terakhir.
Zen yang sepertinya bakalan menggila, berada satu ring bersama Satya yang tidak kalah licik dengan Edgar, bisa saja membawa “sesuatu” ke atas ring dan satu lawan lagi adalah Dejan. Dejan atau BigMac di sebut-sebut Yosi sebagai salah satu siswa kelas 1 terkuat di Kota XXX sekarang ini. Siswa yang sewaktu SMP menurut Yosi, pernah terlibat kasus pembunuhan yang tidak pernah di angkat ke media massa karena Orang tua Dejan rela keluar banyak uang untuk membungkam para wartawan dan juga ada orang dalam di kepolisian.
“Ini off the record ini Yan. Ini cuma elo yang gue kasih tahu, waktu Dejan kelas 2 SMP, Dejan pernah terlibat kasus dimana ia membunuh satu dari dua orang begal yang hendak membegal motornya. Si begal mati di tempat karena di tusuk oleh Dejan yang berhasil merebut pisau yang di todongkan kepadanya. Si begal mati dengan kondisi 27 tusukan di sekukur badan.
Dejan tidak menjadi tersangka karena Polisi menganggap itu aksi spontan Dejan membela diri saat nyawanya terancam. Polisi mah cari yang gampang kasusnya di selesaikan. Identitas Dejan memang di sembunyikan rapat-rapat dari awak media tapi buat yang kenal Dejan, dia memang maniak. 27 kali nusuk orang itu bukan lagi membela diri tetapi memang sekalian bunuh orang.”
Damn, this is gonna be a bloody fight to watch…
Zen dan Dejan saling menatap, keduanya seperti saling mengukur keberanian dan mental. Sementara Satya juga masih terlihat santai. Ia tidak merasa khawatir bahwa sebentar lagi akan menjadi sasaran utama Zen yang menyimpan dendam dengan perbuatan anak kelas 3 khususnya dia dan Edgar. Kebisuan pecah ketika Dejan berlari ke arah Zen !
Zen melepaskan pukulan tajam ke arah Dejan. Pukulan yang tidak main-main hingga terdengar desingan saat tinju Zen membelah udara. Akan tetapi bunyi desingan itu menjadi pertanda bahwa pukulan Zen yang tepat secara teknik, menggunakan kekuatan pinggul dan bahu, tidak mengenai sasaran karena Dejan menunduk tanpa mengerjapkan mata sedetikpun dan kini sudah berada di belakang Zen yang sempat menoleh.
Dejan lalu meraih lengan kiri Zen dengan kedua tangannya lalu kemudian dengan kekuatan yang luar biasa, Dejan mendorong atau lebih tepatnya, menggamit lengan Zen lalu dilempar ke samping ring ! Zen meluncur dengan sangat kencang melewati sela-sela tali ring dan bergulingan di lantai menabrak kursi-kursi kosong yang ada di setiap sisi ring. Zen baru terhenti berguling saat tumpukan kursi-kursi saling berhimpit dengan dinding sasana. Zen tertimbun puluhan kursi.
Aku tidak percaya dengan apa yang sudah kulihat, semuanya berlangsung dengan sangat cepat. Dari Dejan melesat ke arah Zen, mengelak dengan sempurna, meraih lengan Zen dan kemudian melemparnya dengan kekuatan penuh sehingga Zen melesat keluar dari ring dalam waktu 10-15 detik.
Zen kalah !
Bukan cuma aku yang terkejut, semua yang ada di sisi ring juga menampakkan ekspresi tidak percaya. Kekuatan yang mengerikan !
Zen tidak terluka, ia sudah bangkit dan sekarang duduk di antara salah satu kursi. Zen malah tertawa.
“Bangsat, gue di lempar dari ring kayak sampah, hahaha….”
Aku langsung menghampiri Zen dan membantunya berdiri, sekilas ia tidak terluka berat hanya luka lecet di beberapa badan akibat benturan dengan kursi-kursi.
“Kamu gak apa-apa?”
Setelah Zen berdiri ia menjawab tidak apa-apa. “Menakjubkan, menakjubkan power anak yang bernama Dejan. Butuh beberapa detik untuk mencerna yang terjadi barusan. Karena 15 detik yang lalu gue masih di atas ring lalu setelah pukulan gue meleset, namun tiba-tiba dunia berasa berputar jungkir balik. Maaf Yan, gue lengah dan akibatnya kalah dengan cara yang konyol seperti ini.”
Aku menepuk-nepuk pundak Zen. “Gak apa-apa, yang penting kamu tidak cedera. Masih ada aku dan Xavi yang lolos.”
Saat Zen hendak jalan, ia limbung. Aku segera menahan badannya dan meraih satu kursi lalu mendudukkan Zen di situ. “Anjing, gue masih pusing gini, ngeri memang Dejan haha,” Zen tertawa. Jujur saja aku lega karena tidak terdengar atau aura kemarahan dari Zen. Mungkin amarahnya menguap saat di lempar Dejan dari atas ring.
Aku mengambil satu kursi yang ambruk dan duduk di dekat Zen.
“Satya tidak akan memiliki kesempatan melawan Dejan,” komen Zen yang mulai pulih dari rasa pusing. “Dia akan jadi lawan yang cukup menantang buat elo Yan. Lo mesti tancap gas kalau memang mesti melawan dia, harus serius di detik pertama.”
“Iya, aku mengerti.”
Kini di ring tinggal tersisa Dejan dan Satya. Senyum Satya menghilang dan ada perasaan takut yang menguar dari gesturnya. Satya mengambil resiko dengan menyerang Dejan terlebih dahulu.
BUGH !! BUGH !! BUGH !!!
Dejan tidak menangkis atau menghindari serangan agresif Satya. Ia masih berdiri tidak bergeming. Pukulan Satya yang bersarang di wajah Dejan dan tendangan arah perut tidak menggoyahkan Dejan. Darah yang mengucur dari salah satu lubang hidung Dejan, tetap tidak memantik reaksi dari Dejan.
“Udah? Cuma segini serangan lo?” tanya Dejan yang bertubuh tinggi tegap namun gempal kepada Satya.
“Bajingan !! loe remehin gue anjing !” Satya yang emosi lalu merogoh sesuatu dari balik pinggangnya.
BLETAK !!!
Wajah Dejan tertunduk saat suatu benda logam agak panjang menghantam kepalanya dari atas.
“Satya pake stik baton,” komen Zen.
Langsung kebayang betapa sakitnya kena pukul di bagian kepala dengan stik baton yang bisa memanjang dan ujungnya ada bulatan terbuat dar besi.
Darah menetes dari sela-sela rambut Dejan yang berpotongan cepak agar keriting. Dejan kemudian menyeringai ke arah Satya.
“Mampus lu !” pekik Satya sambil mencoba menghantam kembali kepala Dejan dengan stik baton.
Namun Dejan menahan dan menangkap stik baton dengan tangan kirinya kemudian ia mencekik leher Satya sehingga wajahnya Satya memerah. Satya mencoba meronta dan menendangi badan Dejan agar cengkeraman Dejan di lehernya terlepas namun sepertinya sia-sia.
“Pak Indra, gue boleh nanya?” tiba-tiba Dejan malah melihat ke arah Pak Indra dan melemparkan pertanyaan.
“Apa njing?”
“Apapun yang gue lakukan kepada lawan, gue tidak akan terkena hukuman dari sekolahan? Gue bertanya untuk memastikan hal tersebut sebelum gue bertindak terlalu jauh Pak.”
Pak Indra tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Dejan.
“Tidak akan ada masalah. Gue jamin. Ring itu adalah wilayah ‘hutan rimba’, hanya untuk para siswa terkuat, tercerdik yang bertahan. Selama lo gak bunuh lawan lo, 100 % tindakanmu tidak akan mendapatkan hukuman.”
“Ohh, gak boleh sampai bunuh orang ya. Tetapi kalau cuma matahin beberapa tulang lawan, tidak ada masalah berarti. Oke, baiklah, makasih Pak.”
TEGH!
Terdengar suara yang membuat ngilu diiringi lolong kesakitan dari Satya ketika Dejan memuntir tangan kanan Satya. Dejan melepas cekikannya di leher Satya dan kemudian menyambar stik baton.
Pemandangan selanjutnya, sungguh pemandangan yang cukup brutal karena Dejan memukuli muka, badan Satya dengan stik baton tanpa ampun. Dejan bahkan sampai menginjak kepala Satya sembari menghajar sekujur lengan kirinya.
BUGH ! BUGH ! BUGH !!BUGH ! BUGH ! BUGH !!BUGH ! BUGH ! BUGH !!BUGH ! BUGH ! BUGH !!
“Arrrrrgggghhhhhhhhhh, sakiiittttttttt…..ampuuunnn……argggghhhhhh!!” teriakan Satya terdengar saat memilukan.
“Retak-retak dah itu lengan dan tangan kiri Satya, ayo Dejan. Masih ada 2 kaki Satya yang bisa d eksplore….”
Aku terkejut mendengar Zen bergumam seperti itu, kedua mata Zen nampak takjub dan menikmati apa yang sudah di lakukan Dejan terhadap Satya. ini saja sudah sedemikian sadis, masak iya Zen malah berharap Dejan mengincar kedua kaki Satya !! Ini bukan lagi perkelahian tetapi penyiksaan ! Satya sudah tidak berdaya ! Aku heran tidak ada yang mencegah atau minimal meminta Dejan berhenti menyiksa Dejan. Edgar dan Heru malah tetap duduk diam melihat teman mereka tengah di siksa sedemikian rupa. Keduanya diam namun raut muka mereka terlihat tegang atau mungkin takut?
Persetan dengan rasa takut terhadap sesama manusia ! ini penyiksaan namanya.
Aku berdiri dari kursi dan berteriak lantang ke arah Dejan.
“SUDAHLAH ! KAMU SUDAH MENANG ! BERHENTI MENYIKSA LAWAN YANG SUDAH TIDAK MELAWAN. YANG KAMU LAKUKAN SEKARANG INI TAK UBAHNYA PENYIKSAAN !”
Teriakanku mengundang perhatian Dejan, ia menoleh ke belakang dan menatapku. Wajah Dejan kemerahan campur keringat. Merah dari noda darahnya yang mengering. Dejan berdiri dan melempar baton stik yang sudah penyok karena saking kerasnya ia hantamkan ke Satya. Ia mendekat dan berdiri dekat sisi ring, kami saling balas menatap. Ia tersenyum sinis. Dejan mengeluarkan kotak dari saku celana , kotak berisi kacamata yang segera ia kenakan. Senyumnya menjadi semakin terkembang.
“Gue tidak melanggar peraturan lho ya. Pak Indra yang kasih permit dan kalian semua juga bisa mendengarnya.”
“Kamu benar dan aku juga mendengarnya. Namun kamu sudah berlebihan. Cepat keluarkan Satya dari ring. Kamu menang.”
“Oke baiklah, namun karena elo sudah mengganggu kesenangan gue, lo berutang sesuatu sama gue.”
“Aku berhutang kepadamu? Aku tidak salah dengar?”
“Tidak. Elo berhutang darah sama gue, lo mesti terima tantangan gue. Gue gak peduli dimana dan kapan, pokoknya selanjutnya lo mesti duel sama gue,” terang Dejan.
Tadi Goku menantangku, kini giliran Dejan yang mengirim tantangan. Para bajingan dari kelas 1 tahun ini benar-benar kurang ajar sekaligus menarik.
“Oke aku terima. Kamu berdoa saja, kita bertemu di sesi kedua.”
Dejan tersenyum lebar.
“Gue pegang kata-kata lo.”
Dejan kemudian kembali ke tengah ring, ia membopong Satya yang sepertinya sudah pingsan karena tidak kuat menahan rasa sakit. Sekujur lengan kiri Satya nampak membiru akibat siksaan dari Dejan. Ketika Dejan sudah berdiri di tepi ring, tiba-tiba ia mengangkat badan Satya lalu ia lempar ke arah Edgar dan Heru. Keduanya terkejut namun dengan susah payah bisa menangkap teman mereka yang sudah pingsan. Tim medis yang sudah siaga, dengan berhati-hati memindahkan Satya ke atas tandu karna khawatir Satya mengalami cedera patah tulang di beberapa bagian.
“Wahaha, resiko jadi siswa nomor satu, dapat undangan duel dari dua adik kelas,” Zen tertawa saat aku kembali duduk.
“Ya begitulah.”
“Goku dan Dejan, keduanya bukan cuma punya mental tetapi keberanian dan kekuatan mereka di atas rata-rata. Kalau kita bisa membuat mereka tunduk di bawah kaki XYZ, rencana besar kita akan jadi sedikit lebih ringan lho Yan,” lanjut Zen.
“Jadi aku mesti membuat perjanjian dengan Dejan dan Goku, kalau mereka kalah, mereka gabung dengan XYZ?”
Zen mengangguk.
Dalam setiap kesempatan, mayoritas aku selalu memiliki pendapat yang sama dengan Zen. Namun kali ini aku tidak menyetujui pendapat Zen.
“Tidak semudah itu Zen dan aku tidak suka memaksa orang untuk gabung dengan kita. Ketika kita di hajar oleh Oscar cs di Ruko Lama di awal kita sekolah di sini, apakah lantas kita tunduk ke mereka? Tidak kan. Justru kita malah merapatkan barisan dan menjadi kelompok oposisi meski grup kita cuma belasan orang. Tidak ada yang memaksa Riko, Wira dan lain-lain untuk bergabung dengan kita.
Mereka join dengan kita karena kemauan mereka sendiri. Jadi kalau aku menang duel dengan Goku dan Dejan, lalu keduanya tetap menolak bergabung dengan XYZ, itu bukan masalah besar. Aku ingin jika suatu hari mereka, para siswa kelas 1, bukan cuma Goku dan Dejan, gabung dengan kita, itu karena kemauan mereka. Tanpa ada paksaan. Loyalitas itu tumbuh karena kesamaan rasa dan perasaaan bukan karena intimidasi atau rasa takut.”
Zen diam mendengar penuturanku tersebut dan mengalihkan topik pembicaraan.
“Kamu, Xavi, Dejan, Goku dan Edgar lolos saringan pertama. Toni juga belum unjuk gigi sama sekali. Enam orang bajingan. Lalu apa selanjutnya?”
“Entahlah Zen. Entah selanjutnya permainan apa lagi yang sudah di rencanakan Pak Tomo dan di eksekusi di lapangan oleh Pak Indra.”
“Tuh Indra udah berdiri.”
Pak Indra kulihat naik ke atas ring. “Kita kumpul lagi di sini 15 menit lagi. Ada makanan dan minuman untuk kalian di ruang meeting. Buat lima anak kecoak yang lolos, manfaatkan waktu break sebaik mungkin, jangan sampai menyesal. Lalu untuk sepuluh anak tikus yang menjadi pecundang, manfaatkan waktu sebaik mungkin untuk menyesali kekalahan dan ketidakbecusan kalian. Nanti selepas break, gue akan kasih kabar menyenangkan ke kalian semua.”
Setelah turun dari ring, Pak Indra masuk ke dalam ruangan di atasnya tertulis “Ruang Pelatih”. Aku mengedarkan pandangan ke ruangan mencari keberadaan Toni, tapi ia sudah menghilang entah dimana dan sejak kapan. Aku lihat Edgar, Heru dan Farid yang mukanya penuh plester untuk mengobati lebam masuk terlebih dahulu ke ruang meeting, sementara anak kelas 1 saling memisahkan diri, sepertinya mereka memang tidak solid antar teman satu angkatan. Untuk menghindari clash tidak perlu dengan anak kelas 1 dan 3 yang sedang mengisi perut di ruang meeting, aku mengajak Zen untuk melihat keadaan Wira terutama Yosi.
Baru juga mau masuk, kulihat Xavi keluar dari ruangan. “Wira dan Yosi sedang istirahat. Wira overall tidak ada luka dalam hanya pelipis sobek, sementara Yosi kepalanya bocor dan perlu jahitan 4. Beruntung luka sobek di kepala tidak terlalu dalam dan sedikit gegar otak minor. Untuk memastikan mereka berdua baik-baik, setelah di berikan obat, luka di bersihkan, di perban, Dokter Harun memberikan obat tidur.”
“Dokter Harun?” Zen melihat ke arahku saaat Xavi menyebut nama Dokter Harun. Dokter Harun populer di kalangan para siswa sering kali terlibat perkelahian, tawuran. Karena beliau tidak pernah bertanya macam-macam dari mana kami mendapat luka dan menasehati kami. Ia mengobati tanpa banyak bertanya. Dan yang lebih penting, kecuali sangat terpaksa beliau tidak mau ember dengan menelepon orang tua pasien maupun Polisi. Dokter Harun sudah terkenal sih, termasuk kami berempat yang “mengenal baik” Dokter Harun.
“Pak Indra atau Pak Tomo rupanya sudah tahu reputasi Dokter Harun, makanya sekolahan sepertinya sengaja mem-booking beliau untuk mengurusi kita yang terluka parah karena duel di ring. Yadah yok, kita ambil makanan terus kita bawa keluar, sumpek dari pagi di dalam terus,” kataku.
Zen dan Xavi setuju. Di ruang meeting, ada Heru dan Goku yang sedang mengambil makanan. Kami bertiga santai saja juga tidak saling menyapa. Pokoknya ambil makanan secukupnya dan minuman, terus keluar. Kami bertiga lalu makan di bangku depan musholla. AKu mengambil bubur ayam,, secangkir kopi dan sebotol air mineral dingin.
“Jadi Yandi, gue, Edgar, Dejan dan Goku yang lolos. Plus Toni. Terus mau di apain lagi kita?” tanya Xavi membuka percakapan
“Entahlah, aku sudah tidak peduli dan males nebak-nebak. Apapun settingannya, misi kita tetap sama, jadi pemenang. Justru ada hal lain yang lebih aku pikirkan.”
Xavi terlihat bingung mendengar penuturanku. “Apaan Yan?”
“Sepuluh anak tikus yang jadi pecundang, meminjam istilah Indra, haha,” tukas Zen sambil menyeruput kopi dan memutar-mutar rokok di antara jemarinya.
“Maksud lo, sepuluh anak yang kalah?” Xavi coba memperjelas.
“Iya, Pak Indra bilang, setelah selesai break, ia akan memberikan sesuatu kepada siswa yang jadi pecundang, termasuk gue,” papar Zen.
“Nooo Waaaayyy!” seru Xavi. “Itu serius?”
“Entah, tetapi apapun yang akan di sampaikan Pak Indra kepada sepuluh anak, aku yakin berisi satu pernyataan yang tidak bisa kita tolak. Intinya angkat kaki dari SMA NEGERI XXX. Sama persis dengan yang menimpa Leo. Yang memilih mundur dari sekolah daripada keluar dari SMA NEGERI XXX dengan status kena DO.”
“Anjinggg!” Xavi mengumpat dan melemparkan botol berisi air yang tadinya ia pegang ke tong sampah. “Kalau sampai kalian bertiga, Wira, Yosi dan Zen di keluarkan dari SMA NEGERI XXX, gue ikut keluar ! masih ada banyak sekolah Swasta di kota lain yang punya kualitas tidak kalah bagusnya. Mama gue, gue yakin bisa mencarikan kita sekolah yang baru. Bahkan ke luar negeri sekalian juga bisa! Yan, gimana mau ikut kan? Tenang, kalau sampai kita sekolah di luar kota atau luar negeri, semua biaya gue yang tanggung. Akomodasi, tempat tinggal dan lain-lain gue yang urusin.”
Fiuh, aku selalu tidak suka ketika Xavi menggampangkan keadaan hanya karena dia dari keluarga kaya raya. Tidak semua hal bisa di selesaikan dengan uang, kawan.
Aku menggeleng. “Kalau semisal kita berlima gagal dan di keluarkan dengan halus oleh sekolah, lebih baik aku kembali ke kampung.”
Xavi kaget mendengar jawabanku, “Lo pilih kembali ke kampung? Gue gak salah dengar nih?”
“Iya. Tidak jauh dari kampungku, ada pesantren. Mending aku masuk ke pesantren dan hidup tenang. Mbak Asih juga pasti tidak keberatan.”
“Lo tega ninggalin kita gitu Yan?”
Aku tersenyum dan menyesap kopi hingga habis. “Itu kan hanya misalnya, itu kita pikirkan nanti. Kita berdua masih ada kesempatan di sesi berikutnya.”
“Bro, bagaimana kalau seandainya kalian berdua di minta untuk saling lawan?” Zen melempar sebuah pertanyaan pengandaian sekaligus mengubah topik pembicaraaan. Zen rupanya tidak ingin berpikir terlalu jauh dulu.
Aku dan Xavi saling menatap sambil tertawa. “Ya baguslah! Sekalian aku mau tahu, sudah sampai mana gemblengan teknik muaythai yang di kuasai Xavi,” kataku.
Xavi yang masih agak emosi malah balik menantangku.
“Yan, ayo kita taruhan!”
“Eh taruhan, apaan?”
“Kalau kita mesti saling lawan, gue mau elo serius hadapin gue seperti yang lo sampaikan barusan. Karena kalau sampai gue yang menang dan pada akhirnya kita mesti pindah dari sekolah ini, lo ikut sama gue, kemanapun gue lanjut, entah masih di Indonesia atau di luar negeri. Kalau elo yang menang, terserah kamu mau ambil keputusan seperti ini apa.”
“Buset, hahaha,” Zen tertawa mendengar tantangan Xavi.
Namun aku tersenyum, karena pada dasarnya Xavi gak rela kalau aku menentukan jalanku sendiri, jika nanti kami mesti angkat kaki. Aku suka dengan semangatnya. Baiklah, aku terima tantangannya dengan menjabat tangan Xavi.
“Oke aku setuju, di luar ring kita sahabat. Tapi kalau sudah berada 1 ring nanti, kamu lawanku. Aku tidak akan menahan diri, akan kuntunjukkan siapa Yandi anak dari kampung yang sebenarnya.”
“Deal!” balas Xavi.
Setelah beres-beres bekas makan dan minuman, kami bertiga kembali ke dalam sasana. Semua orang sudah ada di sini, termasuk Toni. Namun Wira, Yosi, Satya dan David masih berada di ruang perawatan karena luka dan cedera mereka yang paling berat. Andreas, Max, Heru, Farid yang tadinya berada di ruang rawat, ikut hadir meski kepala, tangan penuh bebatan perban serta plester di muka.
Pak Indra naik ke atas ring sambil membawa megaphone, ia mengedarkan pandangan ke arah kami semua yang ada di ruangan.
“Lima jembut yang lolos, kalian naik ke sini. Kalian tidak pantas berdiri sejajar dengan bajingan lemah seperti mereka yang hanya bisa ngebacot tapi kemampuan nol besar.”
“Mbut, jembut kalian naik gih, di panggil sama ahli jembut,” bisik Zen kepada aku dan Xavi. Sialan aku jadi setengah mati nahan ketawa. Sementara Xavi pura-pura batuk agar tidak ketahuan tertawa mendengar jokes dari Zen.
Aku dan Xavi lalu naik bersamaan dengan Goku, Dejan dan Edgar dari sisi ring lainnya. Goku langsung menatapku dengan hawa permusuhan, sementara Dejan masih terlihat kalem. Aku lihat Xavi, dia sedang beradu tatap dengan Edgar. Xavi pasti menyimpan dendam atas perbuatan Edgar, meski tindakan Edgar masih di perbolehkan.
“Cih, uda ngrasa jagoan lo ya?” ejek Edgar kepada Xavi.
“Apa lo bilang?” Xavi terpancing omongan Edgar dan langsung mendekatinya.
Edgar tertawa. “Liat aja, apa lo masih bisa sok jagoan kalau berdiri di sini sendiran? Gak di temani anjing penjaga lo, Yandi dan terutama tanpa di temani emak lo, WAHAI ANAK MA…..MAH!”
Aku langsung memegang badan Xavi dan mengunci lehernya begitu mendengar perkataaan Edgar yang menyinggung Mamanya. Xavi berontak sementara Edgar hanya tertawa-tawa.
“BABI LOOO !!!! SINI GUE PATAHIN RAHANG LO!” YAN! LEPASIN !!”
BUGH !!!
Pak Indra memukul perut Xavi secara tiba-tiba membuat dia mengerang, memegangi perut. Seakan belum puas, Pak Indra menampar kepala Xavi.
“Bocah ! udah sok jagoan lo ya! Buat onar ! gue belum selesai ! Yandi, pegang si anak anjing ini !”
Aku menarik Xavi agak menjauh hingga kami berada di pojokan ring. Xavi menyodok perutku dengan sikunya cukup keras sambil memintaku untuk melepas pitingan. Namun aku masih mengunci lehernya.
“Aku lepas kalau kamu sudah tenang, ngerti?” aku mulai agak kesal juga sih dengan Xavi yang gampang banget kena provokasi dari Edgar.
Xavi mengibaskan tanganku ketika aku melepas pitingan. Aku nasehati sekali lagi si Xavi. Kali ini dengan nada cukup keras.
“Emosi boleh tapi otak tetap di pakai, ngapain kamu ribut, kayak anak kecil ! tetap tenang di situ dan tahan emosi, sebentar lagi !” kataku.
Xavi mulai tenang namun ia tetap tidak bisa melepas pandangan dari Edgar. Edgar pun kembali mengejek. Jujur saja, Edgar sebenarnya bukan orang lemah meski ia tidak pakai senjata, aku tahu karena pernah berkelahi dengannya. Jadi ketika orang-orang meremehkan dia, dia akan menggigit balik dengan tangan kosong. Kalau sama-sama duel dengan tangan kosong, Xavi akan sedikit kesulitan karena bagaimanapun Edgar bukan bajingan anak kemarin sore.
Pengalaman berkelahi maupun memanfaatkan situasi si Edgar jauh di atas Xavi. Perubahan Xavi memang luar biasa terutama dalam hal fisik dan kemampuan bertarungnya. Tapi kemampuan tersebut ia dapat dari pelatih, bukan terlibat langsung dalam duel jalanan dimana kadang teknik jadi nomor sekian, mental dan kemampuan bepikir serta bertindak cepat, menjadi kuncinya. Tidak jarang, perkelahian jalanan selesai dalam hitungan detik atau lewat satu serangan pertama.
Saat Xavi sudah tenang, Pak Indra kembali melanjutkan teror mentalnya.
“Dan buat kalian para pecundang ada di bawah kaki, kalian tidak pantas untuk berada di sini. Mulai detik ini, kalian bukan lagi siswa SMA NEGERI XXX lagi. Surat pemanggilan akan di kirimkan kepada orang tua kalian besok pagi.”
Tentu saja semua orang langsung ribut dan tidak menerima keputusan sepihak tersebut terutama dari anak kelas 1. Zen dan beberapa anak kelas 3 terlihat tenang, mungkin mereka juga sudah memiiki tebakan tentang arah permainan dari Pak Indra.
“Yang benar saja Pak !! anda gila? Bagaimana anda bisa begitu mudahnya mengeluarkan kami dari sekolah hanya karena kalah di ring?” teriak si Max.
“Hahaahaha, elo yang pecundang, elo yang kalah, elo yang gak terima, dua minggu yang lalu sudah gue sampaikan ke kalian semua, eventi ini serius dan punya pertaruhan besar !! kalian berada di bawah karena kasta kalian memang tidak lebih dari para siswa bajingan modal bacot gertak sana-sini namun mental pecundang !” jelas Pak Indra lantang.
Dengan terpincang-pincang Heru mendekati sisi ring dan bertanya dengan lantang ke Pak Indra, dia sepertinya akan mengkonfrontir pernyataaan Pak Indra.
“Anda pikir, orang tua kami akan menerima keputusan sepihak dari sekolahan?”
Tawa Pak Indra makin keras mendengarnya.
“Dengar ya bocah, saat kalian mendaftar ke SMA NEGERI XXX, orang tua kalian sudah sepakat dan setuju menandatangani pernyataan bahwa mereka siap untuk membawa anak dalam hal ini kalian para siswa, untuk ’mundur’ dari sekolahan ini jika kalian melanggar satu syarat khusus. Kalian mau tahu apa?”
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Pak Indra sehingga dia melanjutkan perkataannya.
“Kurang lebih seperti ini bunyinya,
‘Saya, Wali murid dari …… akan sukarela mundur dari SMA NEGERI XXX jika anak kami terbukti terlibat dalam perkelahian, baik di dalam maupun luar sekolahan yang merugikan image SMA NEGERI XXX sebagai Sekolah terbaik.
Tidak akan ada tuntutan hukum dari kami wali murid kepada pimpinan SMA NEGERI XXXdan juga sebaliknya, tidak akan ada tuntutan hukum dari pimpinan SMA NEGERI XXX kepada wali murid.
Meski demikian, pihak SMA NEGERI XXX akan memberikan kompensasi berupa pengembalian secara penuh uang pendaftaran dan uang gedung. Selain itu SMA NEGERI XXX juga bersedia memberikan referensi yang baik ke sekolah lain agar siswa yang bersangkutan bisa segera mendapatkan Sekolah yang baru dalam waktu sesingkat-singkatnya.’
Ya kurang lebih seperti itu pernyataan yang di tanda tangani oleh orang tua kalian, lengkap dengan materai. Kalian mesti berpikir, ‘kenapa orang tua gue sampai mau menandatangani surat pernyataaan konyol seperti itu?’Ada yang bisa jawab?”
Pak Indra melemparkan pertanyaan kepada kami semua. Kali ini Zen yang angkat suara.
“Karena SMA NEGERI XXX adalah sekolah terbaik saat ini dengan nilai rataan UN tertinggi secara nasional,” jawab Zen.
Pak Indra mengangguk-angguk.
“Benar apa yang di katakan oleh anak kutil yang hanya bertahan 10 detik di atas ring. SMA NEGERI XXX adalah sekolah negeri terbaik saat ini dengan nilai rata-rata tertinggi secara nasional. Lulus dari SMA NEGERI XXX, kalian akan di incar oleh para Universitas-Universitas terkemuka. Semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik buat anak mereka, jadi selama anak mereka bisa masuk dan di terima ke Sekolah SMA terbaik dan nomor 1 secara nasional seperti SMA NEGERI XXX, menyetujui dan menandatangi pernyataan di atas tentu bukan masalah besar bagi orang tua kalian.
Selama ini Pak Tomo masih bersabar dengan kelakuan kalian yang menimbulkan onar dan nyaris menciderai image dari SMA NEGERI XXX. Namun kesabaran setiap manusia ada batasnya dan tahun ini menjadi saat yang tepat untuk mencabut semua rumput liar, para siswa dengan bibit bajingan yang berpotensi hanya menyusahkan pihak sekolah. 10 siswa bibit setan sudah out.
Dokumentasi perkelahian kalian 2 minggu lalu di lapangan basket serta perkelahian kalian hari ini, menjadi bukti kuat yang membuat orang tua kalian hanya punya satu pilihan. Mundur dari sekolah, hahaha. Sekarang terserah kalian, mau tetap melihat kelanjutan duel ini atau mau langsung pulang. Itu sudah bukan urusan gue lagi karena kalian sekarang bukan lagi bagian dari sekolah ini.”
Kami semua terkejut dengan penuturan Pak Indra yang membuktikan otak di balik tangan besi Pak Indra adalah Pak Tomo. Demi melindungi dan mewujudkan ambisinya menjadi Kepala Sekolah terbaik dalam sejarah SMA NEGERI XXX, Pak Tomo memulainya dengan menyingkirkan para siswa-siswa bajingan yang punya potensi terlibat kerusuhan dan konflik antar sekolah. Zen dan semua orang yang tidak lolos, tidak ada yang beranjak pergi. Mereka semua terduduk lemas, mungkin terbayang reaksi orang tua mereka di rumah.
“Oke, urusan dengan pecundangan sudah selesai. Saatnya kalian lima orang tersisa yang akan melanjutkan permainan. Sebelum kalian bermain, gue akan jelaskan sesuatu. Karena kalian yang berdiri di sini, belum sepenuhnya aman,” ujar Pak Indra mulai menebar tekanan mental.
“Maksudnya gimana Pak?” aku langsung bertanya karena terdengar ambigu pernyataan dari Pak Indra.
“Kalian lima anak curut belum aman karena kalian semua bisa mempunyai nasib seperti sepuluh pecundang yang kini tidak berani untuk pulang. Kecuali….” Pak Indra menggantung perkataannya.
“Kecuali pemenang tunggal ?” Goku mencoba melengkapi.
“Ya !! hanya saja, jalannya tidak akan semudah itu.”
Pak Indra kemudian keluar dari ring.
“PERMAINAN DI MULAI !!” kata Pak Indra tiba-tiba berteriak dengan megaphone.
Tentu saja, aku dan keempat orang lainnya yang ada di atas ring, bingung mendengarnya.
“Maksudnya gimana ini woii!?” Xavi berteriak ke arah Pak Indra.
Pak Indra duduk dan mulai menyalakan rokoknya.
“Yadah, kalian berlima langsung ‘Fatal five way’ sekarang juga. Aturannya kini lebih sederhana, berkelahilah sampai tinggal tersisa satu orang yang masih kuat berdiri di antara kalian berlima. Jika tidak ada yang sanggup berdiri lagi, kalian berlima, kalian bernasib sama dengan sepuluh pecundang sebelumnya. Namun jika masih ada satu orang yang masih merasa kuat. Langsung lanjut ke partai puncak. Melawan si anak haram jadah, Toni. Kalau Toni menang, kalian semua gue DO hari ini juga..”
“Bedebah….” Xavi mengumpat. Dejan, Goku dan Edgar masih diam berusaha mencerna perkataan Pak Indra.
Aku pun diam dan membayangkan skema pertarungan.
Keparat, siapapun pemenang dari kami berlima, dia akan menghadapi Toni dengan kondisi kacau. Ini jelas tidak fair!!!! Ketika final clash di aula melawan Oscar, yang kemampuannya mungkin sedikit di bawah Toni, aku menang dengan susah payah, rasanya mau mati saat itu. Bahkan jika tidak di bantu teman-teman, aku mungkin sudah habis di bantai Oscar. Kalau aku katakanlah bisa lolos dari empat orang ini, tidak mungkin tidak membawa cedera dan luka, kondisi fisik kasarannnya mungkin tersisa 20-30% melawan Toni yang masih sempurna 100%.
Sebentar, masih ada satu cara lagi sebenarnya, tetapi ini akan sangat susah di komunikasikan dengan Dejan, Goku dan Satya. Ke Xavi mungkin bisa, namun untuk negosisasi dengan tiga lainnya.
“Kenapa kok kalian diam? Terutama elo Yan. Apa, apa yang lo pikirin? Apa lo mikir mau bernegosiasi dengan keempat orang ini. Bebas-bebas saja ! kalian berlima bisa saja tidak perlu berkelahi satu sama lain, kalian bisa berunding tanpa capek-capek buang tenaga dan menentukan satu orang yang kalian anggap sebagai yang terkuat untuk melawan Toni.
Tapi masak iya, kalian para bajingan yang punya ego tinggi akan berunding! Berunding dan iklas nunjuk orang lain untuk mewakili nasib kalian gitu?! itu cara berpikir bajingan bertulang lunak !!! persetan dengan berunding ! kalau gue di posisi kalian, gue bakalan duel habis-habisan. Karena menjadi yang terkuat tidak bisa di buktikan di atas kertas namun dengan tinju dan ambisi !!!!”
“Tentu saja ! tidak sudi gue berunding dengan para tolol seperti mereka !” tukas Goku ketus.
“Siapa yang lo sebut tolol? Coba setelah gue rontokkan gigi lo, lo masih bisa ngomong seperti itu?” sanggah Edgar sambil mendekati Goku.
“Ya elo termasuk salah satunya….dasar lo tukang kursi !!” balas Goku lantang.
Sialaaan, Pak Indra bisa menebak apa yang aku pikirkan ! tentu saja, akan lebih mudah jika kami berlima berunding dan satu suara memilih satu orang langsung maju menghadapi Toni dengan kondisi fisik yang jauh lebih baik . tapi kondisi semakin panas, semuanya sudah tidak sanggup untuk di ajar berunding, berkat provokasi dari Pak Indra!
“Pak, ada hadiah jika bisa mengalahkan Toni?” Dejan bertanya sambil mengangkat tangan.
“Tentu saja ada ! kalau semisal elo bisa mengalahkan empat orang yang tersisa dan menang lawan Toni, lo akan gue kasih dua jenis hadiah. Tetapi lo hanya bisa pilih satu saja.
Pilihan pertama, uang cash 100 juta dan empat belas rival lo, tetap di DO.
Pilihan kedua, lo memilih menyelamatkan empat belas orang ini maka mereka tidak jadi gue DO namun uang 100 juta hangus.
Jadi kalau lo bisa mengalahkan Toni, kasarannya gini, lo pilih uang atau teman?!”
Aku lihat mata Dejan membesar, ia lalu melepas kacamata dan menaruhnya di kotak kacamata. Bahkan Goku dan Edgar yang tadinya sudah hendak saling baku hantam , langsung terdiam dan kini keduanya menyeringai bersamaan.
Bangsat !!! bangsattt !!! bangsat !!!! tentu saja ketiganya jelas lebih memilih uang 100 juta daripada teman !!! Pak Tomo !! aku akui, anda sangat jenius dalam hal mempermainkan kami !!!! namun hal ini membuat darahku langsung mendidih !! harapan untuk menyelamatkan teman-temanku bahkan semua siswa bajingan ini ada di tanganku !!!!!
“Xav, urusan duel kita, kita pikirkan nanti, kita berdua mesti kerja sama melawan 3 bajingan yang sudah jelas memilih uang daripada teman,” kataku sambil mendekati Xavi.
Xavi mengangguk, “Setuju.” dan ia mulai memasang sikap siaga.
Sasana ini sebenarnya tidak pengap, sirkulasi udaranya baik sehingga tidak terasa panas. Namun tiba-tiba hawa menjadi sangat panas terutama saat aku melihat Dejan, Goku dan Edgar saling menatap dan kemudian menyeringai. Ketiganya sudah memasang pose siap bertarung dengan wajah menyiratkan ketamakan, rela untuk melakukan apa saja.
Oke, fix.
Aku dan Xavi, berjuang atas nama “TEMAN.”
Dejan, Goku, Edgar, bertarung atas nama “UANG.”
Bajingan kamu Tomo !!!! KAMU ADALAH SETAN YANG SEBENARNYA !!
“BANTAIIIIIIIIIIII !!!!!”
= BERSAMBUNG =
Pemanasan sebelum ke 95 ,kheheheheh
ReplyDeleteRasa Penasaran LAMA yg akhirnya terobati.
ReplyDeleteThks Suhu
🙂👍
Akhirnya, the best thing yet to come. Mantap Suhuu, terima kasih atas updatean-nya.
ReplyDeleteLangsung dilanjutkan boleh om Panth,
ReplyDeleteKalau lagi gak repot sih,,
Hehehe
Kalo masih sibuk ya dilanjutkan saja,
Ane tunggu gebuk gebukan selanjutnya
Semoga varokah
Ngga ada bosennya baca ini cerita... menanti 95...
ReplyDeleteTerimanuwun, thankasih, maturyou
ReplyDeleteThanks Om Pants, ane ketinggalan part ini sampe part 84. Dtunggu apdet sljutnya, sehat selalu !!!👍🏻
ReplyDeleteMantapppp
ReplyDeleteBANTAIIII...!!!
ReplyDeleteAnjay. Episode yang belum sempat dibaca akhirnya terbaca juga. Jir, bener2 jago provokasi banget yang dilakukan oleh pak indra ( kayaknya atas instruksi tomo), tapi tetep aja bener2 gila provokasinya.
ReplyDeleteSepertinya saya terlewatkan part ini di forum 46
ReplyDeletebantai semua, yandi, xavi! XYZ is de best.
ReplyDelete