Featured Post

LPH #78

Episode 78
Bastard Nightmare


 (POV Yosi)


“Nta, tar kalau elo dan Mono pulang selesai beres-beres, lu kunci aja pintu depan ya, gue mau ke atas dulu.” pinta Bang Sadli kepada salah satu karyawannya di barbershop CUT2CUT yang bernama Anta.

“Siap Bang.”

“Ayo Yos, kita ngobrol di atas saja.”

Gue lalu mengikuti Bang Sadli ke lantai 2 yang biasa jadi tempat nongkrong buat para karyawan CUT2CUT maupun teman-teman Bang Sadli. Terakhir kesini gue langsung kena sidang oleh dedengkot LPH gara-gara Yandi yang kena ikut kena gebuk saat ada penghukuman buat Oscar.

“Mau minum apa lu?” tanya Bang Sadli di depan kulkas.

“Nescaffe mocca aja Bang.”

“Tumben gak minta bir lu. Gue ada Diablo, Heineken, Bintang nih.”

“Enggak Bang Nescaffe aja, lagi pen ngopi, dari kemarin udah kebanyakan ngebir.”

Bang Sadli ketawa. “Kenapa sih lo, tumben gak kayak biasanya.”

“Eh tumben gak kayak biasanya, emang gue biasanya gimana Bang?” gue balik nanya ke Bang Sadli. Dia cuma ketawa sembari melemparkan ke arah gue sekaleng Nescaffe Mocca dingin. Bang Sadli yang menenteng Diablo tidak menjawab apa-apa. Ia duduk di sofa seberang gue. Setelah membakar sebatang rokok ESSE dia baru menanggapi.

“Ya tumben elo kayak orang mikirin negara, nunduk aja. Biasanya elo banyak omong. Apa gara-gara ada teman lo si Tejo masuk rumah sakit?”

Gue sedang meneguk Nescaffe saat Bang Sadli menyebut nama Tejo. Anjir, untung gue gak kesedak. Bajingfang, udah tahu aja Bang Sadli berita tersebut. Padahal Mas Karjo udah cerita kalau ia sudah minta teman-temannya untuk tidak menyebarkan berita tentang adiknya. Tapi ya maklum sih pada akhirnya hal ini bocor, karena pergaulan kedua kakak-adik itu amat sangat luas, jadi mudah menyebar berita ini. Semoga berita ini hanya menyebar sebatas  “Tejo masuk rumah sakit, kritis. Titik.” Untuk penyebabnya masih minim. Akan jadi masalah baru kalau semua orang tahu kondisi Tejo yang sebenarnya.

Abang kenal sama Tejo?”

“Hanya tahu saja sih, justru sama kakaknya Tejo, gue lumayan akrab.

“Mas Karjo?”

“Iya, dia salah satu bajingan tua yang cukup beruntung bisa hidup sampai sekarang.”

Bang Sadli diam. Apa jangan-jangan Bang Sadli tahu kabar tentang Tejo dari Mas Karjo langsung?

“Bang, Mas Karjo itu mantan anggota JONG XXX ya?”

“JONG XXX. Tahu juga lo nama itu. Yos, JONG XXX gak kenal istilah mantan anggota. Mereka masih aktif cuma low profile saja.”

“Maksudnya? Mereka masih aktif gitu?”

Bang Sadli mengangguk. “Orang awam mungkin tidak tahu atau kurang mengenal JONG XXX, karena karakter mereka yang memang tidak ingin terlihat menonjol. Hanya beberapa membernya yang pasang atribut. Selebihnya mereka memilih down to earth. Padahal ya beberapa area di Kota XXX termasuk kawasan pelabuhan, jadi sumber duit mereka. Elo pikir, kalian para klub motor bisa balapan liar tanpa ada gangguan dari Polisi di Jalan Dermaga dan kawasan sekitar pelabuhan itu karena Polisi berbaik hati gitu? Big No No. Mereka para oknum sudah rutin dapat uang damai.”

Gue terkejut namun senang karena mendapat informasi sedemikian berharga. Bang Sadli tahu kalau gue cukup pintar untuk menyimpan rahasia-rahasia bawah tanah seperti yang barusan ia ceritakan.

“Tapi kok masih ada razia di Dermaga Bang?”

Bang Sadli cuma tertawa kecil sambil menjentikkan abu rokok di asbak. “Itu razia-razia’an, biar warga dan publik gak curiga. Kalau gak pernah di razia dan terkesan mendiamkan aktivitas ilegal di sana yang putaran duitnya dari perjudian, jual beli barang BM cukup kencang, Polisi sektor sana bakalan di curigai. Toh kalaupun di tangkap, di gelandang ke kantor polisi, cuma formalitas. Buat di liput doang, selesai di liput, itu bocah-bocah pada di lepas gitu aja sama motor-motornya. Elo juga tau sendiri kan.”

Benar banget perkataan Bang Sadli barusan, gue dulu sering banget kena razia. Gue sama motor gue kena angkut ke kantor polisi, setelah di data, lalu wartawan pada pulang, beberapa jam kemudian gue dan anak-anak di lepas gitu aja tanpa banyak omong tuh Polisi. Anjay, ternyata.....

“Makanya lo mesti banyak berterimakasih tuh sama JONG XXX, karena mereka keluar duit banyak biar lo kalian bisa balap di sono. Elo serinng nongkrong di ROCKSPEED kan?”

Gue mengangguk. “Iya Bang, semua anak-anak yang ngebalap di Dermaga pasti nongkrongnya di ROCKSPEED.”

“Yadah, elo kalau ke sana yang royal. Buang duit di sana gak ada ruginya, karena ROCKSPEED itu yang punya ya big bossnya JONG XXX.”

“Wuihhh, keren. Banyak kenalan gue di sana Bang. Tapi setahu gue, ada Bang Apex yang jadi semacam manajer di ROCKSPEED.”

“Hohoho kenal Apex lo ya? Kapan-kapan gue titip salam tonjok ke dia. Gue jadi inget dia pernah kalah taruhan sama gue 1 juta, tapi belum di bayar sampai sekarang, ngehe. Dia cuma manajer ‘bayangan’. Ngerti kan maksud gue?

Ngerti Bang, udah agak lama juga sih gue gak main ke sana. Eh Bang, Si Apex juga orang JONG XXX?”

Bang Sadli mengangguk dan mematikan puntung rokoknya. “Ya mayoritas orang JONG XXX yang kelola itu tempat, terutama setelah Bonar pergi menghilang gitu aja. ROCKSPEED boleh di bilang jadi homebase sekaligus pusatnya kelompok mereka. Mas Karjo juga orang penting di kelompok itu. Jadi siapapun orang yang sudah colek si Tejo, boleh di bilang sama saja cari gara-gara dengan para bajingan tua di Kota XXX. Yos, gue yakin elo datang temuin gue malam ini karena elo udah punya nama kelompok yang udah ngerjain si Tejo, benar kan?”

Damn, memang pinter banget Bang Sadli nebak urusan masalah ginian.

“Iya Bang.”

“Mereka pasti grup bukan dari Kota XXX kan? Karena semua bajingan, begundal di sini pasti tahu lah siapa Tejo dan siapa kakaknya. Cuma grup tertentu di Kota XXX yang punya kapasitas untuk melakukannya tetapi tidak ada urgensi untuk melakukannya.”

Gue terpantik saat mendengar Bang Sadi menyebutkan ada grup tertentu di Kota XXX yang mau, bisa dan berani berurusan dengan JONG XXX. Tetapi mungkin lain waktu gue bertanya tentang hal ini, karena ada urusan yang lebih mendesak.

Aku mengangguk sembari meneguk habis Nescaffe.

“Pernah dengar nama geng Blood Creep bang?” gue lalu melontarkan kandidat utama identitas penyerang Tejo. Reaksi Bang Sadli saat mendengar Blood Creep langsung beda. Ia yang tadinya santai dan hendak membakar rokok lagi, tiba-tiba berhentii menyalakan Zippo dan menatap gue.

“Coba lo ulangi sekali lagi nama geng-nya.”

“Blood Creep.”

Bang Sadli terdiam beberapa saat. Gue lalu iseng melontarkan perkataan. “Apa Blood Creep dan Bloody Hell masih saudaraan ya Bang? Mirip nama depannya.”
Bang Sadli langsung meletakkan rokoknya di meja dan mengambil ponsel dari kantung sakunya. Ia nampak menelepon seseorang. Ekspresi dingin dari Bang Sadli membuat gue penasaran. Dari reaksinya, Bang Sadli sudah pernah mendengar nama geng tersebut sebelumnya?  atau yang lebih buruk lagi, perkataan iseng gue sebelumnya memang beneran kalau Blood Creep dan Bloody Hell berhubungan. Ngeriii kalau iya!

“Bri, elo ada di rumah besok?”

“Fuck Man, main nyerocos aja luu nyet, gak ucap salam dulu atau gimana gitu, haha.”

Gue mau gak mau mendengar percakapan Bang Sadli dengan orang yang ia telepon, karena ia masih tidak beranjak dari depan gue dan mereka bercakap-cakap cukup keras.

“Taik lo. Jawab aja.”

“Sue benar lo jadi orang, lama gak kontak, sekalinya nelpon ketus benar. Gue besok masih di Kalimantan, Jumat baru balik. Ada apa?”

“Sabtu gue ke tempat elo ya.”

“Wah gak nyangka, elo sebegitu kangennya elo sama gue, haha beres.”

“Good, Sabtu jam 11 gue ke rumah elo.”

“Yoi Eh tapi elo mo bahas apaan? Dari suara elo, keknya bukan ngobrolin masalah remahan roti nih. Minimal ngomongin Dollar atau Euro lah.”

“Blood Creep.”

“Anjing!!”

Suara lawan bicara Bang Sadli yang tadinya santai, langsung ngegas dan berubah saat mendengar nama Blood Creep di sebut oleh Bang Sadli.

“Kenapa lo gak ngomong dari tadi bego! Yadah, lu ke tempat gue Kamis malam aja. Gue usahakan Rabu udah balik.”

“Oke.”

KLIKK.

Selesai menelepon, Bang Sadli meletakkan ponselnya dan kemudian mengambil 2 kaleng Bir Bintang.

“Elo minum dulu, terus lo ceritakan A-Z kenapa elo bisa tahu geng Blood Creep dan sejauh mana keterlibatan elo dengan mereka.”

Kali ini gue gak bisa mengelak, gue perlu meneguk bir dulu sebelum bercerita karena masalah yang gue hadapin sepertinya punya skala yang jauh lebih besar, apalagi mendengar reaksi orang yang di telepon Bang Sadli saat mendengar kata Blood Creep, Bang Sadli dan temannya punya historis dengan Blood Creep.

Gue lalu bercerita tentu saja dimulai dari event Deathwish yang jadi awal mula gue terlibat dengan Bara, leader Blood Creep. Bara kalah dan mati di lokasi saat kalah adu nyali di Deathwish. Meskipun Jack sudah melindungi para peserta dengan kesepakatan tertulis bahwa tidak boleh ada aksi balas dendam jika ada teman satu kelompok yang terluka atau bahkan mati saat event, tetap saja Blood Creep menaruh dendam dan nekat mengincar nyawa gue. Terbukti gue bahkan di serang oleh kru Blood Creep di toilet The Hanggar. Nyawa gue tertolong karena ada Yandi pada saat itu. Kejadian berikutnya, tim security The Hanggar menggelandang semua kru Blood Creep,entah apa yang terjadi, gue gak terlalu peduli.

Sesekali Bang Sadli menatap gue di tengah cerita sambil merokok.

“Di saat gue pikir gak ada buntut masalah dengan semua peserta Deathwish, karena gue yang menang, gak ada angin gak ada hujan, Rio kasih tahu kalau Tejo yang sempat menghilang beberapa hari ditemukan di depan bengkelnya dengan kondisi babak belur cukup parah, beberapa tulang patah dan yang lebih ngeri....lidahnya terpotong.”

Gue berhenti untuk meneguk bir hingga tersisa setengah. Rasanya lidah gue kelu dan sedih karena keinget Tejo yang seumur hidup, sampai di mati gak akan pernah bisa lagi mengecap rasa . Gila.

Shit. That was brutal as fuck, komen Bang Sadli.

“Masalah belum berhenti sampai di situ Bang,” kata gue sambil menunjukkan foto di lokasi kejadian, foto yang di ambil oleh Mas Karjo sesaat sebelum ia membereskan TKP sebelum Polisi datang. Alis Bang Sadli mengernyit dan kening berkerut saat melihat 3 nama yang tertulis di rolling door bengkel. Dia lalu menyandarkan punggungnya ke sofa sambil menghembuskan asap rokok ke atas.

“Jadi setelah Tejo sekarang mereka mengincar kalian bertiga. Lo yakin Yos, ini perbuatan Blood Creep?” Bang Sadli bertanya tanpa melihat ke arahku.

“Satu-satunya hal yang dimana kami berempat terlibat adalah Deathwish. Dan Bara dari Blood Creep adalah satu-satunya lawan gue yang mati Bang. 99 % ini perbuatan Blood Creep, meskipun tidak ada bukti hanya asumsi.”

Bang Sadli lalu mematikan puntung rokoknya.

“100% itu perbuatan Blood Creep,” ujar Bang Sadli mantap.

Gue terkejut karena ia begitu mantap dan jelas mengatakannya di depan gue, gue tentu saja penasaran dengan faktor 1% yang di genapi oleh Bang Sadli.

“Gue dan teman-teman gue beberapa tahun yang lalu pernah terlibat masalah dengan kru Blood Creep saat kami sedang touring. Blood Creep itu salah satu geng motor paling di takuti di Kota BBB. Perselisihan yang membuat satu teman gue mati dan dari mereka mati dua orang, puluhan orang di tangkap polisi. Gue pikir setelah kejadian tersebut, Polisi di sana sudah membubarkan Blood Creep karena gue sudah tidak dengar atau memang sih gue udah gak cari tahu lagi. Teman yang tadi gue telepon, namanya Brian. Dia tinggal di Kota BBB tetapi dia udah jarang ada di rumah karena sering travelling karena bekerja sebagai fotografer Natgeo. Satu teman yang meninggal itu kakaknya Brian. Jadi elo bisa dengar sendiri ia yang tadinya selow langsung berubah begitu dengar nama Blood Creep. Lusa gue ke sana, untuk cari tahu info tentang Blood Creep yang sekarang. Brian punya koneksi untuk gali info tersebut.”

Anjing ! Gue langsung ngerasa sungkan setengah mati, gue padahal belum sampai ke permintaan bantuan ke Bang Sadli tetapi dia sudah tahu arah pembicaraan dan maksud kedatangan gue kesini.

“Santai saja Yos, abang lo udah nitipin elo ke gue. Kalau terjadi sesuatu sama elo, gue gak bakal punya muka buat ketemu Niko lagi.”

“Makasih, makasih banyak Bang, maaf gue ngrepotin abang terus,” kata gue sambil menatap ke arah Bang Sadli.

“Buang rasa segan lo ke tempat sampah. Justru gue senang elo langsung datang kesini sebelum masalah ini makin lebar. Yos, mulai sekarang elo mesti hati-hati. Watch your back, karena bagaimanapun elo dan dua teman elo udah jadi TO gangster berbahaya. Gila emang kalian ya, belum juga beres urusan dengan SMA SWASTA XXX dan STM XXX, ini udah nyangkut masalah yang yah...bisa jadi memantik perang antara JONG XXX dengan Blood Creep. Gue yakin Mas Karjo gak bakal tinggal diam,” ujar Bang  Sadli memberikan nasehat.

Entah apa yang terjadi sama gue kalau gue gak punya abang sepupu kayak Bang Niko yang punya koneksi para bajingan. Hiii ngeri ! Oia perkataan dari Bang Sadli barusan membuat gue ingat pesan dari Mas Karjo. Gue pun bercerita ke Bang Sadli tentang peran khusus yang mesti gue lakukan.

“Masuk akal memang jika Mas Karjo meminta elo yang bergerak, karena dia pasti di awasin sama Polisi. Karena Polisi sini mah udah tahu siapa aslinya Mas Karjo. Polisi paling males dan paling anti perang antar geng. Potensi kerusuhan bisa merembet kemana-mana. Tapi elo tenang aja dengan elo cerita ke gue tentang masalah ini, tugas lo beres. Selanjutnya gue dan Brian yang akan cari tahu langsung tentang Blood Creep.”

“Bang, semisal gue udah dapat info dari abang tentang Blood Creep, gue mesti sharing info itu ke Mas Karjo?”

“Gak usah, nanti gue yang langsung temuin Mas Karjo.”

“Terus, selanjutnya perang gitu Bang? JONG XXX vs Blood Creep?”

“Entahlah, bola panas ada di tangan Mas Karjo.”

“Kalau dari omongannya Mas Karjo kemarin, di balik sikap coolnya, dia setengah mati nahan amarah. Kalau udah tahu siapa pelakunya, gue yakin dia gak bakal tinggal diam. Apalagi dia akan kontak beberapa temannya.”

“Serius Mas Karjo bilang gitu?”

Gue mengangguk.

“Wah, gawat ini mah. Potensi perang sudah sampai di tingkat siaga 1. Yos, dengerin gue, kalaupun semisal nanti memang JONG XXX berniat bantai Blood Creep, lu jauh-jauh! Lo gak boleh ikut campur, ngerti? Ini bukan mainan anak SMA. Tugas elo sudah selesai. Biar ini jadi urusan orang dewasa.”

Bangsat gue paling gak suka kalau masih di anggap bocah. Padahal gini-gini, gue udah pernah buat dua nyawa melayang.

“Yang mesti elo lakukan sekarang seperti yang tadi gue bilang di awal, pasang sikap waspada. Kalau gak perlu banget, gak usah lo pergi ke tempat rawan. Kurangin keluar malam. Kalaupun elo mesti keluar malam, jangan sendirian. Bisa jadi Blood Creep udah punya orang buat ngawasin kalian bertiga.”

“Iya Bang.”

“Yos, tadi lo kesini naik apaan?”

“Bawa motor Bang.”

Bang Sadli melirik jam tangannya. Gue pun juga melakukan hal sama, njiir cepat amat, udah hampir jam 12 malam. Bang Sadli lalu berdiri dan mengambil jaket.

“Motor lo masukkin ke garasi. Lo pulang sama gue, kita searah.”

“Eh kok gitu?”

“Baru juga gue ingetin, lo mesti hati-hati. Masih nanya-nanya. Besok elo bisa ambil motor lo kesini. Gue gak mau ambil resiko. Ayo cepat.”

Maka gue pun mau tak mau menuruti perintah Bang Sadli yang setelah hari, semakin besar respek gue sama dia. Setelah memasukkan motor ke dalam garasi yang ada di samping barbershop, gue lalu di antar naik mobil sama Bang Sadli. Bang Sadli memang sepertinya sesekali saja nginap di ruko barbershopnya. Setelah toko tutup dia pulang dan rumahnya memang searah sama rumah gue di X3. Di dalam mobil kami berbicara di luar masalah Blood Creep. Saat bertanya tentang kabar di sekolah, gue sempat ingin cerita tentang kehadiran Toni dan event yang di gagas Pak Indra, tetapi gue putuskan untuk keep hal tersebut. Karena ini masalah internal XYZ bukan cuma gue doang.

“Apa reaksi Yandi saat tahu ia turut jadi target gangster?” tiba-tiba Bang Sadli bertanya tentang Yandi di saat kami mengobrol ringan tentang sekolahan.

“Dia mah extraordinary. Saat gue dan Rio senewen, gak bisa berlagak so cool, Yandi tetap tenang-tenang saja, padahal ya ada banyak masalah lain di dalam sekolah yang mesti dia hadapin belum lagi dia juga sedang ada masalah pribadi dengan ceweknya dan juga banyak anak kelas 1 yang punya potensi sangar. Meskipun banyak masalah yang muncul hampir barengan, dia masih bisa tenang.  He is tough as hell.”

“Haahaha berarti lu beruntung punya teman yang bisa tetap tenang, gak grasa-grusu. Gak melulu main fisik, otak juga kepake. Situasi kalian memang serba kejepit sih. Udah mesti muter otak gimana handle situasi pasca kalah di studi banding, strategi ke Vino yang punya karakter beda jauh dengan kakaknya, belum lagi urusan penting dengan anak-anak sinting dari STM XXX. Ini di tambah di incar Blood Creep pula. Anak sebajingan manapun, kalau berada di posisi Yandi sekarang dan mentalnya gak kuat, udah pasti putus urat warasnya. Pilihan paling aman bisa jadi mending cabut dari sekolah dan pindah ke Arab sekalian, kasarannya.”

Gue mengamini perkataan Bang Sadli. Gue lalu mencoba membayangkan berada di posisi Yandi dan coba breakdown satu persatu masalah yang sudah menanti.

Internal Sekolah:
- Event pak Indra dengan mastermind Pak Tomo.
- Urusan dengan para bajingan dari kelas 1.
- Strategi meyakinkan semua bajingan di sekolah agar tetap menghormati rules Studi Banding, meskipun itu semua settingan dari mendiang Axel.

Eksternal Sekolah:
- Urusan dengan SMA SWASTA XXX
- Urusan dengan STM XXX
- Urusan dengan Blood Creep

Masalah Pribadi :
- Barusan putus dengan Dita, cewek yang gue tahu benar, bisa buat Yandi drop drastis karena peristiwa pemerkosaan.
- Masalah dengan Vinia, aish semoga mereka berdua cepat damai deh,

Fuccckkkkkkkk......kepala gue langsung nyut-nyutan. Kalau gue jadi Yandi, entah apa isi otak gue sekarang.  Aje gile, gue jadi ngrasa bersyukur kalau gue bukan Yandi. Masalah gue cuma 1/8-nya masalah Yandi. Ya benar kata Bang Sadli, opsi untuk  pindah sekolah dan Kota, jadi pilihan yang mudah. Tapi gue sebagai sohib Yandi, gak mungkin membiarkan Yandi menghadapi semuanya sendirian, karena bagaimanapun Yandi cuma remaja biasa, bukan Superman. Haram buat gue untuk mundur meski cuma satu langkah ketika berada di samping Yandi. Masalah itu di hadapin, bukan di hindarin!
Sesuai dengan pepatah Mesir, Rawe-rawe rantas, malang-malang putung.”

Ketika gue sampai di rumah, sekali lagi Bang Sadli mengingatkan gue untuk tetap waspada dan hati-hati dimanapun gue berada, kalau gue merasa sedang di awasi atau di ikuti orang tidak di kenal, gue di minta untuk langsung kontak dia. Soal pertemuan berikutnya yang pasti setelah Bang Sadli kembali dari Kota BBB.

Sekali lagi gue mesti bersyukur karena punya abang seperti Bang Niko.

***

2 gelas kopi yan gue minum pagi tadi sebelum berangkat sekolah, menolong gue dari rasa kantuk karena setelah ngobrol banyak dengan Bang Sadli, pikiran gue jadi merambat kemana-mana. Hal yang cukup mengganggu gue adalah justru tentang kemungkinan bahwa gue, Yandi dan juga Rio sudah di awasi. Kalau memang gue katakanlah sudah dalam pengawasan, bisa jadi orang-orang di sekitar gue juga bisa di manfaatkan untuk sesuatu yang, aih bangsat.

Tentu saja gue langsung kepikiran sama Dea. Meskipun gak tiap hari ketemu sama Dea, tetapi biasanya kalau ketemuan sama Dea, gue bisa seharian sama dia. Entah nongkrong atau touring tipis-tipis. Ini yang bikin gue ngeri kalau semisal mereka juga mengincar Dea. Gue gak bakal bisa memaafkan diri gue kalau sesuatu yang buruk menimpa Dea. Amit-amit !

Karena galau mikiran Dea, gue jadi susah tidur. Baru bisa tidur jam 3an.

Kopi memang menolong gue dari rasa kantuk, tetap saja pikiran tentang Dea gak bisa gue usir. Gue lagi dilema. Gue bingung antara mau cerita tentang situasi yang gue hadapin ke Dea atau gue tutupi. Tapi kalau gue gak cerita ke Dea dan tiba-tiba minta mengurangi frekuensi ketemuan, bisa marah besar dia. Apalagi kalau gue gak bisa kasih alasan yang makes sense.Apa gue putusin Dea untuk sementara waktu sampai masalah Blood Creep kelar? Bangke, kalau gue putusin Dea, gak ada jaminan Dea bakal terima gue lagi. Anyinggg.

Karena lagi banyak pikiran, membuat gue jadi lebih banyak diam di sekolah. Bahkan di saat kelas bahkan sekolah sedang heboh karena ada foto-foto Yandi dan Vinia berduaan di satu cafe/pub di muat di akun Ig full gosip , gue gak ada selera untuk ikut ngecengin mereka berdua. Gue sih gak kaget dan buat kami (gue, Xavi, Zen) jika memang  Yandi dengan Vinia memang ada sesuatu dan terlibat friendzone, kami gak ada masalah.

Yang heboh tentu saja cewek-cewek di sekolah. Kalau Vinia bisa menyikapi dengan santai karena dia memang sudah biasa ngadepin berita model gini, maklum orang terkenal, lain halnya dengan Yandi, yang malah jadi kayak anak kucing kena air, menciut dia kena bully semua cewek di kelas, sok pake kasih selamat udah jadiah sama Vinia, minta makan-makan gitu lah.

Gue geli sih, Yandi yang bajingan wahid di sekolah bisa langsung melempem kena gosip ginian. Apalagi Xavi memang iseng parah, dia bahkan minta Yandi untuk siap-siap di kejar wartawan gosip buat di tanya tentang kedekatannya dengan Vinia. Yandi langsung pucet, njir wakakaka.

Gue baru bisa ketawa lebar ketika akhirnya gue mengambil keputusan untuk terus terang ke Dea tentang ancaman Blood Creep. Gue harap Dea maklum dan mengerti seandainya kami menjaga jarak dulu, toh demi keamanan diri dia juga. Hanya saja, gue gak akan bisa menjawab kalau Dea bertanya ke gue.

“Sampai kapan kita jaga jarak? Sampai gangster tersebut di tangkap Polisi?”

Asuuuu, gue gak mungkin bisa jawab. Polisi mana bisa di andalin dalam hal ginian, satu-satu hal yang bisa gue harapkan adalah Mas Karjo dengan JONG XXX membantai habis Blood Creep sampai ke akarnya. Baru gue bisa hidup tenang.

Tapi naif rasanya menggantungkan nasib ke sekelompok orang. Apa iya gue cuma berpangku dan mendoakan JONG XXX sesegera mungkin membantai Blood Creep.

Gue lalu ngeri sendiri saat kebayang, bagaimana kalau terjadi hal sebaliknya yakni Blood Creep yang balik menghabisi JONG XXX?

ARGH. KEPALA GUE PUSING !!!!

Tetapi di luar dugaan terjadi pembicaraan yang positif antara gue dengan Dea, ketika gue sengaja berterus terang dan menceritakan semuanya saat kami berdua makan bareng di Cafe dekat sekolahan. Dea ngrasa senang karena gue sudah bersikap terbuka dengannya. Dea juga tidak keberatan untuk sementara waktu kami membatasi waktu bertemu, untung saja Dea gak nanya sampai kapan kami jaga jarak.

“Gak apa-apa kok Yos, gue ngerti posisi elo. Justru gue makin sayang sama elo, karena elo masih sempat untuk mikirin keadaan gue yang bisa saja ikut kena getah. Yang penting elo juga hati-hati. Lagian, meskipun kita nanti jadi jarang ketemu, kan kita masih bisa VCS yang hot-hot tiap malam, hihihi,” kata Dea perlahan

Dea, mai bitches hahha !!!

Gue lega karena Dea bisa ngertiin gue banget, hal ini membuat gue bisa lebih fokus di sekolah setelah beberapa hari sebelumnya gue kayak orang linglung kebanyakan melamun. Gue bercerita ke Yandi tentang pertemuan gue dengan Bang Sadli dan dia mengaku senang. Meskipun akhirnya dia sama kayak gue, ngerasa aneh karena mesti bergantung ke orang lain untuk menyelesaikan masalah pribadi kami.

Kegiatan gue pun mulai berubah, kini lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman latihan di Gym pribadi Xavi. Karena waktu event yang menentukan nasib kami, tinggal 8 hari lagi. Xavi menjadi mentor buat gue, Yandi, Zen dan Wira dalam hal latihan fisik. Xavi menyiapkan skedul atau agenda latihan yang  menitikberatkan ke fisik dan peningkatan daya tahan tubuh. Skedul yang bisa di lahap dengan sempurna oleh Yandi dan Xavi, namun membuat gue, Wira dan Zen benar-benar serasa mampus, keringat di peras habis!!!

“Kalian boleh saja lebih jago dalam urusan berkelahi, kaliah sudah punya pengalaman terlibat perkelahian jalanan. Itu sesuatu yang jauh lebih berharga daripada 100 x sparring sekalipun. Jadi gue gak akan campurin dalam hal teknik berkelahi, kalian lebih jago dari gue. Gue ini boleh di bilang produk instan. Namun kalian mau jago berantem kayak dewa perang sekalipun kalau staminanya payah, yak sama juga bohong. “

Gue ketawa dalam hati, setahun yang lalu Xavi masih berwujud anak cupu yang kelebihan berat badan, perut buncit, pendek lengkap dengan rambut model poni. Tapi kini Xavi sudah jadi anak yang benar-benar berbeda bukan hanya dari segi fisik, tapi juga mental serta cara berpikir. Transformasi fisiknya benar-benar di jalani tanpa banyak keluhan. Kini Xavi punya daya tahan fisik, stamina persis di bawah Yandi alias yang paling fit jika di bandingkan kami bertiga. Jika daya tahan Yandi yang di atas normal karena bakat alam dan mungkin faktor keturunan, Xavi bisa hampir mendekati level tersebut karena diet ketat serta disiplin menjaga badan. Mereka berdua gak ngrokok, gak minum alkohol.

Beda sama gue, Wira dan Zen.

Ibaratnya mending kena tonjok daripada gak bisa ngrokok seharian.

Kesibukan sekolah dan latihan fisik membuat gue sedikit melupakan bahwa gue mungkin sedang di incar orang. Rio yang juga masukTO juga jadi sering ikut nongkrong bareng di rumah Xavi karena dia sebelumnya ngaku mulai stress juga karena mulai terkena paranoid. Gue, Yandi dan Rio bahkan bikin grup WA sendiri, untuk saling berkabar kala ada sesuatu yang mencurigakan. Sebelumnya gue udah nanya Yandi,kalau gue ajak Rio ke rumah Xavi bagaimana. Yandi sih gak masalah, yang penting bisa jaga rahasia aja.

Xavi juga bersikap terbuka ketika gue ajak Rio. Dia malah senang rumahnya ramai. Awalnya Rio Cuma nongkrong doang liat kami latihan di gym. Tapi lama-lama dia gatel juga dan sukarela ikut di siksa program latihan Xavi. Dari beberapa latihan, paling seru kalau latihan sparring satu lawan satu dengan gear lengkap mulai dari pelindung kepala, gigi dan juga sarung tinju half-mitt. Kami bergantian sparring. Ya tidak terlalu serius dan tidak full tenaga tentu saja. Meskipun ada sedikit kejadian lucu saat Yandi sparring dengan Rio.

Rio yang memang kalau berantem modal agresif, pingsan kena tinju Yandi. Gue tahu Yandi tidak mengerahkan banyak tenaga, Cuma timing pukulannya bertepatan dengan Rio yang tengah menunduk untuk menyeruduk. Akibatnya kepala Rio bagian atas yang tidak terlindung terkena jab tangan kanan. Jika Yandi panik melihat Rio pingsan dengan posisi tengkurap dengan pantat sedikit menungging, kami semua justru tertawa terpingkal-pingkal. Wira malah iseng foto Rio yang sedang pingsan dengan pose yang cukup memalukan. Rio yang pingsan kami gotong keluar dari ring lalu kepalanya kami kompres dengan kain berisi es batu.

Ketika Rio siuman, dia cerita seperti abis kena sepak kuda, wahahahaha.

Lalu menjelang weekend, gue dapat kabar dari Bang Sadli. Dia sudah kembali dari Kota BBB dan ingin menceritakan hasil temuannya. Fuhm akhirnya minimal ada perkembangan tentang kasus ini. Kami sepakat untuk ketemu hari Sabtu jam 5 sore di Cafestoria.

***

"Bang, pucet amat lo. Kayak abis ketemu setan, haha." Gue ketawa karena Bang Sadli agak bersikap aneh sedari awal ia datang ke Cafestoria, kedai kopi milik Bang Sindu. Baru juga datang ia langsung rokok'an dan sibuk dengan ponselnya. Saat mau gue tanya-tanya, ia minta waktu bentar dan menjauh untuk menelepon entah siapa. Apapun itu, sepertinya genting banget. Apa berhubungan dengan informasi yang mau ia share ke gue perihal Blood Creep? Sepertinya. Saat ia kembali ke kursinya, lagi-lagi ia sudah menyulut rokok keduanya. Buset.

"Iya," jawab Bang Sadli singkat.

"Iya..Iya apaan nih?" Lanjut gue sambil menyeruput pelan Vietnam Drip. Masih panas.

"Iya gue ketemu setan tadi sebelum ke sini."

"Di mana Bang?"

"Di stasiun MRT."

"Anjrit, ada setan di MRT? Hahahaha."

Gue ketawa, hari gini masih percaya sama setan. Di Stasiun MRT pula. Kebanyakan mabuk ini sepertinya Bang Sadli jadinya halu.

"Lo foto atau rekam videonya gak Bang? Kalau sempat abang foto atau video, terus di upload di sosmed, mayan bisa viral. Sapa tahu Bang Sadli bisa di undang ke acara Hitam-Putih hahahahha."

Bang Sadli menatap gue lalu menyodorkan ponselnya ke arah gue.

"Ini setan yang gue maksud. Gue foto diam-diam dari belakang."

Penasaran, gue pun mengambil ponsel Bang Sadli untuk melihatnya lebih dekat. Sialan, ini mah orang biasa.


 Memang sih seorang pria yang di foto oleh Bang Sadli tersebut terlihat misterius karena orang ini memiliki banyak tato di lengan dan lehernya serta berambut klimis. Ia sedang menoleh ke arah kiri saat Bang Sadli mengambil fotonya.

"Ini setannya Bang?"

Bang Sadli mengangguk.

"Abang Kenal sama orang ini?"

Setelah menghembuskan asap rokok dan meminum kopinya, Bang Sadli menatap gue.

"Iya itu foto setan. Gue nyaris tidak mengenalinya karena kedua lengan hingga lehernya kini penuh dengan tato. Tetapi gue gak akan lupa dengan tatapan matanya. Yos, yang elo liat itu foto setan beneran dan setan itu punya nama."

Feeling gue gak enak karena ekspresi serius yang di tunjukkan Bang Sadli.

"Boy."

"Whaaaaattt ?? Ini Boy?!" gue kembali memperhatikan foto bajingan yang jadi legenda hidup di kalangan para siswa bajingan se-Kota XXX yang menghilang tak lama setelah lulus SMA.

Bang Sadli mengangguk dan menyulut rokok ketiganya. Tangannya agak gemetar saat menyalakan rokok dengan Zippo.

"Boy ada di Kota XXX sekarang."

Entah gue mesti bersikap apa mendengar berita kehadiran bajingan legend yang paling misterius. Jadi gue pun diem dulu. Setelah beberapa saat, Bang Sadli mulai terlihat tenang dan bisa menguasai diri.

“Yaudahlah, kita kesampingkan kehadiran Boy ke Kota XXX setelah sekian tahun menghilang. Gue mau sharing apa yang gue dapat selama beberapa hari gue sama Brian cari tahu tentang Blood Creep di Kota BBB. Yos,ada 2 kabar. Kabar buruk dan kabar buruk sekali. Lo mau dengar yang mana dulu?”

Bangke, penawaran macam apa itu, biasanya kalau orang nawarin opsi berita mana yang mau di dengar lebih dulu, pilihannya berita baik atau berita buruk dulu. Lha ini malah buruk semua.

“Su’e lu Bang. Itu kabar buruk semua yang lu bawa dari Kota BBB.”

Bang Sadli Cuma tertawa. “Ayo pilih dengar yang mana dulu?”

“Aish, yang paling buruk sekalian deh!”

“Gue langsung to the point saja. Blood Creep sekarang di isi oleh para maniak sadis! Jika dulu mereka adalah geng motor, kini mereka adalah sekelompok criminal yang diduga punya bisnis narkoba. Blood Creep bahkan teraffiliasi dengan jaringan bisnis drugs yang jauh lebih massif.”

“Anjing!” gue mengumpat kesal. “Ini gila Bang!”

“Yap, dengan kata lain mustahil untuk melawan mafia. Cari mati.”

Gue lemas,berarti nasib gue tinggal hitungan hari, minggu atau bulan saja. Gue jadi gak minat dengar kabar buruk, Karena gue langsung mendengar kabar yang terburuk.

“Informasi detail tentang siapa leader Blood Creep, dimana lokasi homebasenya, seberapa besar jumlah personilnya, siapa backing mereka, semua info tersebut benar-benar tertutup total. Brian yang punya saudara seorang Intel pun tidak bisa membuat saudaranya buka info lebih jauh. Info di awal yang gue sampaikan juga berasal dari saudara Brian dan sudah mentok sampai di situ. Bahkan dia juga memperingatkan kepada kami, agar jangan sembarangan cari info tentang Blood Creep di jalanan. Karena kalau kami salah bertanya ke orang, bisa jadi orang tersebut punya koneksi dengan Blood Creep. Maka nyawa kami taruhannya.”

Gue makin lemas mendengarnya sehingga menyandarkan punggung di kursi sofa.

This fact is hit me so fucking-hard.

“Terus, gue mesti gimana Bang?”

Gue lalu teringat cerita Bang Sadlu sebelumnya bahwa ia melihat Boy back to this town. “Bang, apakah Boy ada hubungan dengan ini semua?”

“Gue gak punya jawaban dari pertanyaan tersebut.”

Bang Sadli lalu terdiam sambil meneguk kopi. Dari cara ia menghembuskan asap rokok, ia pun juga tidak tahu apa yang mesti gue lakukan.

“Tenang Yos, pasti ada jalan lain. Besok gue coba ketemu dengan Mas Karjo untuk menyampaikan informasi ini, siapa tahu Mas Karjo yang jauh lebih berpengalaman dalam hal ginian bisa memberikan jalan keluar. Untuk saat ini, tingkatkan kewaspadaan.”

Kopi yang gue minum menjadi terasa jauh lebih pahit….
  

*****
@ Rumah Yosi
Jumat sore
*****

(POV Zen)


“Zen,ini saatnya kita tembak mereka berdua. Gue makin khawatir ngelihat gelagat keduanya yang semakin aneh,” ujar Xavi saat gue barusan keluar dari kamar mandi.

“Anjir, bikin kaget gue aja lo berdiri di depan pintu kamar mandi.”

“Hehehe sorry. Oke, ayolah kita tembak sekarang.”

“Ntar dulu, gue kencing dulu. Lo duluan aja.”

Gue pun menuju teras depan, sore ini kami berempat ada di rumah Yosi sepualng sekolah, sengaja off latihan karena ada hal yang lebih mendesak. Gue dan Xavi sudah curiga dengan sikap Yosi dan Yandi yang sering kali kami pergoki bicara dengan nada pelan. Jika melihat kedatangan gue atau Xavi, mereka langsung bersikap biasa dan mengubah pembicaraan. Mereka pun menjadi pendiam.

Kalau Yandi yang berubah jadi pendiam, tidak akan terlalu kelihatan. Justru yang paling mencolok adalah sikap drastis Yosi.Selain pendiam, ia jadi sering murung.Bahkan ia juga jadi jarang ikut kumpul-kumpul. Padahal biasanya ia paling semangat dalam urusan ginian. Cuma kalau di Tanya ada masalah apa, dia dan Yandi punya jawaban sama.

“Gak ada apa-apa kok.”

Gue sih yakin ini berhubungan dengan rahasia yang mereka simpan ketika dulu kami sedang nongkrong di rumah gue. Gue dan Xavi akhirnya tidak tahan juga dan mau tidak mau Yandi dan Yosi mesti cerita semuanya kepada kami. Tidak boleh ada yang di sembunyikan.

Saat gue sudah balik teras, Yosi dan Yandi sedang sibuk dengan ponsel masing-masing. This is ankward. Gue tunggu Xavi balik dari kamar mandi sebelum mulai proses interograsi. Xavi mengangguk ke gue saat ia balik.

“Elo berdua, udah stop berlagak gak ada masalah. Kalian mesti cerita kepada kami berdua apa yang kalian sembunyikan. Gue gak mau kalian berkilah atau menghindar,”kata gue tegas.

Yandi dan Yosi langsung kaget saat gue terus terang ke mereka berdua.

“Ayolah teman, lo gak anggap kami berdua sohib apa? Kalian mau sampai kapan nyimpen masalah sendiri,” tambah Xavi.

Yandi meletakkan ponsel namun saat hendak bicara, Yosi menyela. “Yan, biar gue aja yang jelasin karena sumber masalah ini berasal dari gue.”

Yandi lalu diam. Sementara Yosi sudah memasang wajah serius, tidak ada senyum tengil yang biasaya kelihatan.

Feeling gue, masalah yang mereka hadapi, sangat besar.

“Sebelumnya gue minta maaf ke elo berdua, bukan maksud gue atau Yandi gak bercerita ke kalian, karena masalah yang kami hadapi, adalah masalah personal. Bukan masalah yang menyangkut nama XYZ atau nama sekolahan. Jadi begini…”

***

Sepanjang perjalanan pulang, gue masih kepikiran dengan apa yang di ceritakan oleh Yosi dan Yandi. Bisa-bisanya mereka menyimpan masalah yang sedemikian gawat. Sebuah masalah yang berpotensi membuat gangster JONG XXX berperang dengan Blood Creep.

Ini bahaya, kami bukan lagi berurusan dengan sesama anak SMA berandalan. Tetapi dengan sekelompok organisasi kriminal kejam yang tidak segan membunuh, menculik, menyiksa orang yang mereka jadikan target. Kalau dari pemaparan Yosi, bahkan mereka juga terlibat dengan peredaran bisnis narkotika. Cuma ada 2 hal yang membuat organisasi semacam itu masih bertahan hingga detik ini.

Mereka adalah bagian dari sindikat kriminal yang jauh lebih masif pengaruhnya dan tentu saja ada "dukungan" dari oknum kepolisian selama uang keamanan lancar di setor tiap bulan, uang pelicin yang nilainya lebih dari cukup untuk membutakan mata para penegak hukum. Karena secara logika, tidak mungkin mereka tidak tahu sama sekali tentang keberadaan produsen/distributor narkotik di wilayah mereka.

Gue bisa masih menimang-nimang keputusan gue sendiri sekembalinya dari rumah Yosi. Resikonya besar bahkan permintaan gue belum tentu di penuhi atau yang lebih buruk lagi, Blood Creep adalah bagian dari lingkaran setan milik-Nya.

Tapi semakin gue banyak berpikir, waktu semakin banyak terbuang. Keadaan bisa jadi semakin bahaya, mereka bisa melihat kami tapi kami tak bisa melihat mereka. Yang cukup mengganggu gue adalah ada hal yang membuat mereka seperti sengaja menahan diri. Padahal mereka bisa saja "mengambil" ketiga target mereka dengan mudah.

This is so damn bother me....

Mereka seperti sengaja memberikan tekanan psikologis dan membuat ketiganya merasakan paranoid.

Blood Creep tahu benar bagaimana menekan target mereka dari sisi psikologis terlebih dahulu, agar ketika eksekusi, efek ketakutan yang di timbulkan akan jauh berlipat-lipat.

Gue terseyum sendiri, gue yakin leader Blood Creep  adalah orang  gila, psiko yang tidak puas kalau hanya membunuh orang-orang yang hendak mereka singkirkan, entah karena urusan pribadi maupun rival.

"Membunuh orang itu gampang, tapi membuat korban mati dengan terlebih dahulu di siksa psikis maupun fisiknya, itu baru greget."

Gue tersenyum sendiri, gue ketawa karena gue seperti membicarakan diri gue sendiri.

Gue menggebrak meja makan dan kemudian berjalan ke halaman belakang. Gue mesti coba cara tersebut, ini levelnya sudah susah untuk di tangani oleh Om Benny karena gue yakin dia pun ada banyak kepentingan. Kalau pun di sapu, cuma kroco-kroconya. Dalam kasus Blood Creep, yang mesti di tebas itu bukan lagi kaki tangan tapi harus menebas langsung kepala sang leader.

Setelah 3 kali nada dering, akhirnya dia menjawab telepon gue.

"Hai darling, did you miss me?"

"Halo.......Madame...."

“Tumben kamu telepon? Mau kasih jatah cowok ganteng lagi kah? Hihihih.”

“Enggak kok.”

“Jadi apa yang bisa aku bantu?”

“Blood Creep. Apakah Madame mengenali nama sindikat tersebut?”

Gue mendengar Madame tertawa terkekeh.

“Zen. Kamy selalu bisa membuatku terkesan. Bagaimana kamu bisa tahu nama Blood Creep? Dari WOMB?”

“Nanti gue ceritakan. Apakah Madame tahu sesuatu tentang Blood Creep?

“Tentu saja aku tahu, bahkan aku mengenal mereka. Blood Creep adalah salah satu Operator sekaligus distributorku dari Kota BBB. Skala mereka masih terbilang kecil sih. Blood Creep so far cukup baik kinerjanya, setorannya lancar Cuma akhir-akhir ini mereka sedang ada masalah internal. Hal yang cukup di sayangkan karena hal ini membuat mereka terlihat keteteran, mempertahankan kinerja mereka seperti di awal aku ajak kerjasama. Zen, apa maumu?”

Gue melihat ada peluang!

“Madame, Blood Creep mengincar nyawa tiga teman gue. Bahkan mereka sudah memotong lidah salah satu teman gue.”

“How come? Bagaimana bisa temanmu berurusan dengan Blood Creep?”

Gue lalu ceritakan Madame semuanya. Dari awal Deathwish hingga Tejo.

“Jadi, apa maumu sekarang Zen? Meski sedang bermasalah, Blood Creep tetaplah salah satu asetku. Atau gini saja, aku buat jadi lebih sederhana.Aku bisa berikan A-Z info tentang Blood Creep. Mulai dari nama leader sampai dengan alamat homebase mereka. Tapi itu tidaklah gratis sayang. 100 bitcoin + 100 Zeus itu harga yang harus kamu bayar. Bagaimana?”

100 bitcoin + 100 Zeus?

100 bitcoin atau setara 7,2 M yang gue dapat dari Madame Rose masih utuh. Untuk membuat 100 serum Zeus, gue perlu modal sekitar 40-50 juta untuk beli bahan. Tapi kalau Cuma urusan duit, gue yakin angka segitu masih bisa di handle Xavi.

“Oke deal. Gue bisa tranfer 100 bitcoin saat ini juga. Tapi untuk menyiapkan 100 Zeus, gue butuh waktu.”

“Wah, wah, masih utuh yah uang dariku? Ckckc kamu memang hebat Zen! Beruntung sekali teman-temanmu. Jadi begini saja. Setelah kamu transfer, aku akan kirim encypted e-mail berisi semua hal tentang Blood Creep. Untuk 100 Zeus, aku berikan deadline 2 minggu mulai dari besok. Deal?”

“Deal.”

Madame tertawa. “Zen, setelah kami pegang semua data tentang Blood Creep, apa yang mau kamu lakukan?”

“Mungkin gue mau berkunjung ke sana Madame untuk silahturahmi.”

“Hahaha lucu-lucu.

“Madame tidak khawatir kalau semisal, salah satu asset Madame tersebut, gue ganggu?”

“To be honest,aku pilih Blood Creep masih tetap beroperasi, jadi 100 bitcoin darimu bisa aku pakai untuk expense yang lain. Tapi kalau kamu bisa bereskan Blood Creep,  100 bitcoin + 100 Zeus yang setara dengan 100 bitcoin, jadi dengan nilai total 200 bitcon bisa mengcover omset yang hilang jika terjadi kekacauan di sana. Off the record, aku memang punya niatan untuk mengganti Blood Creep dengan operator lain yang low profile namun setorannya tetap lancar.”

“Jadi secara gak langsung, gue dapat restu dari Madame Rose untuk membereskan Blood Creep?”

Gue bisa mendengar suara renyah Madame saat tertawa.

“Mau tahu aja. Zen, kabari saya kalau kamu sudah dapat waktu yang tepat untuk berkunjung ke Kota BBB. Bisa?”

“Bisa sih tetapi untuk apa?”

“Aku tidak tahu apa yang membuatmu yakin bisa membereskan Blood Creep namun anggap saja kalau kamu memberikan kabar ke saya terlebih dahulu, peluangmu naik 30 %.”

“Oh iya? How come?”

Saya akan tarik pengawas dari pusat yang ada di sana. Sehingga Blood Creep tidak akan memiliki akses untuk meminta back-up. Jadi acara silahturahmimu dengan mereka bisa tenang tanpa ada gangguan dari luar.”

Senyum gue merekah mendengar ‘bantuan’ dari Madame Rose.

“Luar biasa Madame.”

“Zen, aku mesti pergi, besok-besok aku kontak balik ya.”

“Siap Madame. I Owe you.”

“No, you don’t owe anything to me. This is pure business. See ya darling.”

“Thank you Madame.”

Selesai menelepon Madame Rose, gue segera ke kamar dan menyalakan laptop untuk memproses transfer 100 bitcoin ke Madame Rose. They can call me anything they want tetapi teman-temanku jauh lebih berharga dari pada sekedar uang 7,2 M. Dalam waktu 2 menit proses transfer selesai. Gue luar biasa lega dan tidak ada penyesalan sama sekali. Saat gue sedang menunggu e-mail dari Madame Rose, gue langsung telepon Xavi.

“Xav. Gue ada kabar baik!” seru gue saat Xavi mengangkat telepon gue.   


*****
@ CUT2CUT
Minggu Malam
*****

(Pov Sadli)


"Oke done. Ganteng tingkat dewa," kata gue kepada Jodi sambil melepas jepitan kain yang menutupi badan Jodi.

"Wuih, emang keren parah kalau potong di mari, apalagi Bang Sadli sendiri yang handle," puji Jodi sambil terus berkaca.

"Lo gak percaya sama tangan gue Jod?" protes Anta salah satu pegawai gue di barber shop sambil beres-beres peralatan karena Jodi adalah customer kami yang terakhir malam ini, tepat jam 10 malam.

"Haha gak gitu juga kali bro, woles. Cuma ada faktor X yang susah di jelaskan kalau Bang Sadli yang turun tangan langsung. Puas gimana gitu."

"Bahasa lo berbau-bau bromance," kata gue kepada Jodi.

"Haha makanya itu Bang, gue pake istilah faktor X."

Setelah Jodi menyelesaikan pembayaran, ia pamit balik. Saat gue sedang mencuci tangan di wastafel, gue dengar pintu berdenting pertanda ada yang masuk.

"Eh...Maaf, maaf Bang, kami sudah tutup," ucap Anta kepada seseorang yang baru masuk. Namun tidak ada jawaban, saat gue kembali ke area, gue terkejut setengah mati melihat orang yang barusan datang ke barber shop gue.

"Haloo, Bang! Ente gak lihat ada tanda 'closed' di depan pintu," tukas Anta dengan nada kesal.

Boy yang mengenakan setelan jas rapi serba hitam hanya tersenyum kecil lalu duduk di kursi tunggu customer dan menuangkan air putih dari teko ke gelas yang memang di sediakan untuk customer. Boy nampak tidak menghiraukan perkataan Anta. Telapak tangan serta jemari Boy sama halnya dengan Taka, penuh tato bahkan di sisi wajah serta atas alis kiri Boy juga ada tato.

Damn Freak !

Di saat beberapa hari ini gue setengah mati kesulitan cari informasi tentang keberadaan Boy di Kota XXX dengan hasil yang sangat minim, orang yang gue cari tiba-tiba muncul di Barber shop gue. 

Gue tersenyum sendiri. Gue langsung memegang pundak Anta saat ia hendak mendekati Boy.

"Ta, dia kawan lama gue. Lo bisa pulang sekarang."

"Eh tapi Bang, ini masih kotor lantainya" tunjuk Anta ke arah lantai yang masih kotor karena bekas potongan rambut Jodi tadi yang masih berserakan.

"Santai, gue yang bersihin. Lo pasti capek karena lembur dari pagi gantiin shift si Mono. Sampai jumpa besok ya."

Anta hendak protes tetapi gue tatap matanya sambil mengangguk kecil. Ia tidak jadi komplain dan menuruti apa kata gue.

"Baiklah bang." Anta lalu masuk ke dalam untuk ganti pakaian dan ambil tasnya. Sementara itu gue melepas celemek dan kugantung di gantungan dinding.

"Bang, pamit dulu ya," sapa Anta saat hendak keluar.

"Oke, hati-hati," Anta sempat menatap lama 'kawan lama' gue, roman muka Anta terlihat penuh curiga ke arah Boy. Gue sih memaklumi sikap Anta. Dia bisa langsung bisa merasakan  aura bahaya dari Boy.

Setelah Anta pergi, gue mengambil kursi kursi dan gue letakkan di meja depan Boy sehingga kini gue duduk berhadapan dengan Boy. Setelah menyalakan rokok, gue letakkan sebungkus rokok serta zippo di meja.

"It's been a while, Boy."

"It's been a while....Guy," jawab Boy lalu menatap gue tajam sekali sambil meneguk minuman.


Keparat...

Boy memanggil gue dengan nickname gue di LPH, surely he's fuckin know one or two about our underground community.

“Apa yang membuat seorang Boy kembali datang ke Kota XXX?”gue berusaha untuk tetap tenang.

Boy tersenyum. “Ada urusan kecil, malam ini juga gue cabut.”

“Oh.”

“Sadli, sekarang gue ada di sini. Ada yang mau elo tanyakan langsung ke gue? Karena gue dengar lo kesana-kemari cari info tentang gue. Makanya gue sengaja mampir ke sini dulu.”

Anjing! Boy tahu kalau gue setengah mati cari informasi apapun tentang dia. Stay calm.

“Banyak, tetapi gue sangsi elo akan menjawab semua pertanyaan gue.”

“Nah itu tahu, mungkin coba elo lebih kreatif cari pertanyaan lain yang sekiranya gue bisa jawab, jadi kunjungan gue kesini bukan Cuma basa-basi. Elo kan tahu, gue paling tidak suka dengan basa-basi ramah tamah. Waktu gue tidak banyak. Mungkin cukup untuk menjawab 3 pertanyaan yang bisa gue jawab.”

Gue langsung memutar otak.

“Darimana semua tato ini berasal?” gue bertanya tentang rajah yang mendominasi badannya. “Setahu gue, elo dulu termasuk orang yang selalu berpenampilan rapi dan bersih.”

“Jadi tato gue ini lo anggap mengotori badan gue?”

“Oh bukan itu maksud gue.”

“Santai saja, gue akan jawab. Tato di badan gue ini adalah punya kisah tersendiri. Every pain has its story. Enough about my tattoos. Next question.”

What. The. Fuck…..tetapi gue segera menguasai diri. Gila setiap jawaban dari Boy rasanya gue seperti terancam.  

“LPH. Dari mana elo tahu? Dari Opet, Ander?”

Boy tertawa tergelak mendengar pertanyaan gue.

“Pertanyaan elo lucu, tetapi gue gak keberatan untuk membagikan sedikit kisah di masa lalu yang gue piker masih cukup relevan sampai sekarang. Di hari kelulusan gue, gue sudah pergi jauh dari Kota ini. Tetapi ada seseorang yang sepertinya tidak rela membiarkan gue melenggang pergi begitu saja dan dia bisa menemukan gue.”

“Siapa?”

“Sabar Sad, sabar. Gue minum dulu boleh?”

Shit! gue lupa menawari Boy minuman yang lebih layak karena ia sedari tadi ia hanya minum air mineral yang ada di teko.

“Elo mau minum apa? Apa kita ngobrol di atas? Gue punya banyak minuman di atas.”

Boy menggeleng. “Ini cukup. Mungkin lain kali kita minum bareng.”

Boy dengan santai menghabiskan minuman di gelasnya. Sementara itu otak gue berputar, siapa orang yang sudah menemukan Boy? jangan-jangan Niko?

“Joseph. Joseph Strada. Dia orang yang nekat menyusul gue. Leader ke 32 LPH sekaligus orang yang sudah membuat aturan konyol Studi Banding.”

Wow..Joseph? Bajingan legend dari SMA SWASTA XXX yang pernah mendominasi Kota XXX. Wah gila.

“Apa yang Joseph inginkan dengan menemui elo?”

“Dia Cuma ngajak ngobrol aja. Mengobrol dengan ini tentu saja, bahasa yang di mengerti oleh para bajingan seperti kita,” jawab Boy sambil mengelus kepalan tangannya.

“Siapa yang pada akhirnya lebih banyak ‘bicara di antara kalian berdua?” gue bertanya dengan hati-hati.

“Joseph.”

Anjrit, Joseph menang lawan Boy?

“Joseph terlalu banyak bicara, tetapi tidak ada isinya sama sekali. Cukup dengan beberapa patah kata saja dari gue, dia tidak bisa lagi meneruskan pembicaraan. Singkat tetapi cukup menyenangkan.”

Gue Cuma ketawa sambil geleng-geleng kepala. Seorang Joseph kalah juga lawan Boy.

“Biar cerita gue ini tidak di anggap berat sebelah, elo bisa tanyakan ini ke Joseph. Gue tahu, kalian leader LPH Generasi ke 33, masih keep in touch dengan senior kalian. Such a good dog.” sindir Boy.

“Gue rasa gue tidak perlu mengkonfirmasi hal tersebut kepada Joseph.”

“Kenapa?”

“Elo takut sama Joseph?”

“Bukan seperti itu. Dia itu-“

“Senior? Apaakah seorang junior harus tunduk dengan seniornya karena rasa sungkan, segan atau mungkin karena takut?”

Sindiran dari Boy benar-benar telak menghantam gue, sampai gue pun bingung mau memberikan komentar atau pembelaan.

“Gue paling benci sebuah struktur sosial dimana usia, pengalaman menjadi sebuah patokan atau tolak ukur yang menciptakan sebuat strata komunikasi. Yang tua, senior, yang lebih berpengalaman menempati puncak piramida, sementara yang lebih muda, yang paling hijau harus menjadi alas kaki bagi mereka para senior. Pffftt, konsep primitive dari adat ketimuran. Karena salah satu alasaan itulah kenapa gue memilih pergi dari Kota XXX yang membosankan. Gue bisa mati bosan jika tidak segera pergi dari tempat ini.Hingga pada akhirnya gue bisa menemukan tempat menarik dimana semua aturan-aturan kuno tentang rasa respek, sungkan bisa gue buang ke dalam lubang tinja. Sebuah tempat di mana kekuatan menjadi satu-satunya dogma yang mengikat.”

Berbahaya, Boy yang sekarang sudah bertransformasi menjadi orang yang berbeda dalam hal pemikiran, dominasi kekuasaan dan tentu saja kekuatan. Aura pekat darI Boy sudah lebih dari cukup membuat siapapun yang berada di dekatnya terasa sesak.

Boy lalu melihat ke arah arlojinya.

“Elo mau ambil pertanyaan terakhir? dua menit lagi gue pergi.”

Tiba-tiba terlintas satu pemikiran yang terpantik setelah mendengar perkataan Boy yang terakhir.

Gue lalu melepas kacamata kemudian menaruhnya. Selain itu gue juga membuka  2 kancing teratas baju kemeja yang gue kenakan.

“Di sesi yang terakhir ini, gue tidak bertanya tetapi lebih kepada ke permintaan. Kalau elo berkenan, ikutin gue. Kita ke belakang.”

Boy tersenyum sinis dan kemudian berdiri. Sudah terlambat buat gue untuk berubah pikiran. Gue lalu berdiri dan menuju ke bagian belakang ruko. Gue buka pintu belakang dekat pantry yang mengarah ke gang sempit di belakang ruko. Gang ini tidak terlalu sempit sebenarnya, cukup lebar untuk di lewati 1 mobil. Penerangan di gang ini hanyalah deretan lampu kuning suram,belum lagi ada pagar dari gedung di belakang yang sudah lebih dari cukup buat para penderita claustrophobia ketakutan. Kini gue dan Boy sama-sama berdiri terpaut jarak 2-3 meter.

“Elo serius meminta ini? Belum kapok?”

Boy sudah tahu maksud gue.

“Sebuah kehormatan buat gue ketemu elo Boy. Sayang jika gue melewatkan kesempatan langka ini kalau tidak mengajak elo ‘bicara’ dengan bahasa yang biasa kita gunakan semasa kita bersekolah di SMA dulu, meski ini bukan pertama kalinya, anggap sedikit untuk mengenang masa lalu,” kata gue lalu mengangkat kedua kepalan tinju.

Boy Cuma tersenyum, kedua tangannya masih berada di dalam saku celana. Ia Nampak rileks. Hal ini malah membuat gue jadi waspada dan tidak buru-buru mengambil inisiatif serangan.

Boy lalu menguap, keparat. “Cuma pecundang yang terus mengenang masa lalu. Sorry gue agak capek hari ini. Ayolah serang gue, gue gak akan menghindar. Pukul gue, sini, tepat di sini,” Boy memajukan sisi wajahnya agak ke depan, menantang gue untuk segera menyerang.

Persetan! Melawan setan seperti Boy, gue mesti opportunis. Gue berlari dan mengambil ancang-ancang.

BUGH ! BUGH ! BUGH !!

Tiga kali, tiga kali gue menghantam sisi wajahnya dengan telak. 3 pukulan terbaikk gue bersarang telak ke arah Boy. Boy terhuyung ke belakang  dan berpegangan ke dinding. Meskipun penerangan di sini remang-remang, tetapi gue bisa melihat dengan jelas bagian bibir Boy berdarah akibat pukulan gue.

Boy bukanlah superhuman, dia masih bisa berdarah setelah menerima 3 pukulan bersih dari gue, di moment ini langsung muncul rasa takut dalam diri gue. Boy meskipun terluka hingga berdarah, ia masih bisa tegap berdiri. Bahkan ia malah tersenyum sinis dan tatapan matanya terasa menusuk gue.
  

“Sudah? Cuma segini batas kemampuan elo? Elo ngapain aja selama ini? Cuma segini level kekuatan leader LPH yang menempatkan dirinya sebagai watchdog ? mengecewakan.

Sindiran dari Boy memantik harga diri gue sebagai laki-laki, gue langsung merangsek maju untuk kembali menyerang. Namun tanpa gue duga, Boy justru yang lebih dulu menyergap gue. Dia memukul kedua tinju gue secara frontal. Gue mengaduh kesakitan karena rasanya seperti di hantam dengan sebuah batu yang demikian kuat dan kokoh. Pukulan ke arah buku-buku jari kedua tangan gue membuat gue berada dalam posisi yang sangat enak untuk di serang.

Gue tidak sempat bereksi apa-apa yang gue tahu, otak gue rasanya bergetar, keseimbangan badan gue hilang lalu di susul tingkat kesadaran yang memudar seiring rasa sakit yang menjalar dari rahang bawah hingga ke isi kepala gue.

Dari pandangan berkunang-kunang lalu dengan cepat semuanya menjadi gelap.

What.the.he-zz%205&@#jjfa....


= BERSAMBUNG =

7 comments for "LPH #78"

  1. woow..... makasih oom serpanth atas updetannya harri ini...

    ReplyDelete
  2. Terimakasih update nya..

    ReplyDelete
  3. Leader xyz memang beda .
    Yosi : banyak Chanel bajingan XXX faktor kakak sepupu nya .

    Zen : hubungan dengan madam rose dan mudah dapat info dengan pergerakan bawah tanah .

    Xavi : dengan faktor utama mama nya dapat lobi kekuatan pemerintah .

    Yandi : dengan faktor fisik yang tidak seperti anak SMA Biasanya dan tidak gegabah mengambil keputusan + memiliki sahabat dengan kemampuan yang berbeda ..

    ReplyDelete
  4. Wow...
    Reuni yang membangkitkan adrenalin

    ReplyDelete

Post a Comment