Featured Post

LPH #83

Episode 83
Giant Killing - Freshblood 

 (POV Yandi)


Tanpa ba-bi-bu lagi, aku menyerang duluan kali ini. Dejan yang pertama aku sasar, kuhantam dengan tinju kiri namun masih bisa di blok, Dejan sedikit terdorong ke belakang dan nampak ekspresi terkejut tergambar di mukanya. Mungkin ia baru kali ini melihat orang dengan postur biasa saja sepertiku bisa punya tenaga yang membuatnya “terbangun”. Tapi saat aku hendak melakukan serangan kedua, aku kena tendangan di bagian lengan kiri. Cukup sakit karena tendangannya tajam, membuat lenganku ngilu.

Goku rupanya yang menyerangku. Ia tersenyum setelah tahu tendangan perkenalan darinya mengenaiku. Namun senyum Goku hilang tatkala pipinya kena bogem dari Dejan sehingga Goku mengaduh kesakitan sembari menggosok cepat pipinya yang kena pukul.

“Heh! Yandi lawan gue ! jangan ganggu kesenangan gue!” hardik Dejan kepada Goku.

Memang ribet jika tiga orang saling serang kek gini. Aku mukul Dejan, Goku menendangku, lalu Dejan menyerang balik Goku.

Sekilas aku melihat Xavi sedang terdesak saat Edgar menyerangnya dengan agresif. Pukulan dan tendangan Edgar terlihat tajam, kalau saja Xavi tidak punya bekal pelatihan dari Maya, uda habis si Xavi. Tenaga Edgar relatif masih penuh karena ia hampir tidak keluar banyak tenaga saat memenangkan triple threat antara dia, Yosi dan Andreas. Sementara di saat yang sama, Xavi meski menang dalam waktu kurang dari 10 menit saat melawan Max dan Farid, ia terkena beberapa pukulan telak yang cukup membuat pipi kirinya sedikit membengkak.

Tapi aku tidak punya waktu untuk membantu Xavi karena di depanku kini ada dua anak kelas 1 yang sama-sama beringas.

“Hei kalian,” kataku kepada Dejan dan Goku. “Kalian mau selesaikan dulu masalah di antara kalian sementara aku duduk manis atau aku yang serang kalian berdua sekaligus?”

Aku tahu ego kedua anak ini sangatlah tinggi dan tidak mau kalah, hal ini ingin aku manfaatkan untuk mengadu keduanya. Dalam keadaan terpaksa, aku mau tidak mau mesti melawan mereka sekaligus. Tapi akan lebih baik jika aku melawan salah satu di antara mereka. Dengan tantanganku tadi, aku yakin cukup mengusik ego mereka. Karena pada dasarnya mereka sama-sama bajingan yang lebih menikmati duel satu lawan satu. Kalau mereka berdua kerjasama untuk mengalahkanku, dan mungkin saja terjadi, apa iya mereka bisa menyombongkan diri bahwa mereka bisa mengalahkanku secara jantan? Rasa tidak mau kalah,  rasa bangga sebagai bajingan inilah yang sedang kusasar.

Mana puas mengalahkan orang nomor 1 tapi keroyokan?

Goku dan Dejan saling menatap kemudian tertawa lalu keduanya berdiri berhadapan.

Oke, pancinganku di makan oleh mereka berdua !!

“Cuma yang terkuat di antara kita berdua yang pantas melawan Yandi..” kata Goku.

“Setuju. Berarti gue orangnya. Sudah lo duduk manis, atau habisin dua orang di sana. Biar gue bisa fokus bermain sama Yandi,” balas Dejan.

“Hahaha! Bacot lo gede kayak badan lo. Tapi logika lo gak lebih besar dari biji kacang polong ! cuma orang halu yang mengira dirinya lebih kuat dari orang lain hanya berdasar besaran badan !” sembur Goku tak mau kalah.

Dejan tersenyum sinis, “Gue ngomong pakai fakta kok,” jawabnya santai.

“Fakta apa anjing!”

Dejan mengepalkan kedua tangannya yang terbungkus mitt berwarna biru di depan muka Goku. Memang besar sih kepalan tangan Dejan, dengan adanya mitt, membuat tinjuny terlihat makin besar.

 “Ini,” tegasnya.

Kali ini Goku yang ganti tertawa. “Terus kenapa goblog? Lo pikir besaran kepalan tangan sebanding sama  kekuatan? Pfffft. Gue udah kenyang berantem sama orang-orang seukuran elo, bahkan jauh lebih besar daripada elo.”

“Yang lebih besar daripada gue banyak, tapi gue yakin mereka cuma besar di casing. Otaknya gak pantes di bandingin sama gue. Oia, sebelum gue sumpal mulut lo dengan tinju gue, lo sadar gak kalau kita sedang di adu oleh Yandi?” Dejan melirik ke arahku sambil tertawa mengejek.

“Ya tau lah!! tapi gue ngerti maksud dia. Mana asiknya sih bisa kalahin Yandi, pimpinan XYZ, siswa nomor 1 di sekolah kita saat ini, dengan cara keroyokan! Cuh, gak sudi gue lawan Yandi mesti partner sama lo,” tukas Goku sembari mendekat ke arah Dejan sehingga kening mereka menempel.

“Berarti elo juga setuju, kalau sesi bacot selesai sampai di sini, selanjutnya biar kita tentukan dengan cara-” Perkataan Dejan terhenti saat Goku tanpa basa-basi menyerang perut Dejan dengan pukulan.

Dejan bereaksi dengan menandukkan keningnya ke arah muka Goku yang beberapa centi lebih pendek dari dirinya. Tandukan Dejan membuat hidung Goku berdarah. Goku mengusap darah dari hidungnya dengan santai. Kini keduanya sama saling menatap, kedua tangan terangkat serta terkepal. Seringai khas bajingan tergambar di wajah keduanya.

Oke, tanpa aku duga sebelumnya, arah duel kini berubah. Xavi sedang duel dengan Edgar dan dia mulai bisa menguasai keadaan setelah sebelumnya terus di desak oleh Edgar. Lalu aku vs Dejan vs Goku dimana mereka berdua sadar bahwa mereka sedang kuadu, hahaha. Boleh juga mereka.

Aku pun berdiri bersandar di salah satu pojok ring dan menikmati siapa di antara Goku vs Dejan dan Xavi vs Edgar yang lebih unggul.

“Yan..”

Aku menoleh ke sisi ring dan kulihat Zen tengah tertawa dan mengacungkan jempol ke arahku.

“Bangsat ahaahaha. Jenius, lo emang, sekali tepuk, dua masalah hilang dan semuanya jadi lebih simpel dan mudah lo selesaikan,” begitu komentarnya.

Aku cuma mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar mendengarnya, “Itung-itung simpan tenaga.” Lalu aku mengamatai jalannya duel di atas ring. 

BUGH !!

Dejan mungkin merasa heran saat satu pukulannya ke arah Goku bisa di elak dengan cara berkelit mundur, lalu Goku membalas dengan mengirim pukulan yang mendarat empuk ke pipi Dejan. Tetapi pukulan Goku tidak membuat Dejan bergerak barang 1 cm dari posisinya sekarang. Dejan tidak membiarkan Goku jumawa lebih dari lima detik. Ia langsung meraih kerah baju dengan satu tangan kiri yang kemudian di pegang erat oleh Dejan. Goku tidak bisa bereaksi karena kerahnya terpegang dan satu pukulan dari Dejan pun tak bisa ia elak.

BUAGH !!

Bibir langsung Goku sobek dan berdarah.

Cuma karena dasarnya Goku juga jago berantem, Dejan tidak bisa menyerang dengan cara yang sama. Goku memukul persendian tangan kiri Dejan. Hal ini membuat pegangan di kerahnya mengendur, Goku menendang perut samping Dejan sehingga ia bisa kembali bergerak. Dalam jarak dekat, Goku meloncat sambil mencoba menendang ke arah kepala.

Aku menggelengkan kepala, menyayangkan tindakan Goku yang gegabah. Dejan jelas lebih dominan dan di untungkan dalam perkelahian jarak dekat. Adu frontal dalam jarak dekat sama saja masuk ke dalam teritori Dejan. Perkataanku terbukti saat Dejan mendekap badan Goku yang setengah melayang. Lalu selanjutnya lantai canvas berdebum keras saat Goku di banting dalam posisi telentang. Ia meraung kesakitan karena seluruh punggungnya membentur lantai meski terbuat dari canvas, namun tetap saja sakit.  Aku mengira duel keduanya selesai saat Dejan mengarahkan injakan kaki ke arah muka Goku, tapi Goku memang bukan bajingan kaleng-kaleng. Ia menahan injakan kaki Dejan dengan kedua tangan dan tentu saja dengan, sekuat tenaga.

“Gak...semudah...itu..babik !” erang Goku sambil memuntir kaki kanan Dejan yang ia pegang. Kalau orang biasa, mungkin bisa langsung terkilir pergelangan kakinya, tapi Dejan hanya mengaduh sedikit. Goku yang masih berada dalam kondisi terdesak mesti cepat keluar dari situasi ini.

‘NAH !!! GITU ANJINGGGG ! PAKAI MALU-MALU SEGALA !”

Teriakan dari Xavi membuatku melihat ke arah duel Xavi dengan  Edgar. Keduanya sudah terlihat babak belur, namun Edgar yang paling terlihat kepayahan, nafasnya ngos-ngosan. Sementara Xavi yang wajahnya memerah karena emosi bercampur lebam, masih bisa mengatur nafas bahkan memprovokasi Edgar. Keunggulan stamina membuat posisi Xavi berada di atas angin. Hal ini membuat Edgar murka dan pada akhirnya menghunus stik baton yang terbuat dari logam besi kecuali di bagian pegangan yang terbuat dari kayu.

“MAKAN NIH ANAK MANJA!!” Edgar menghambur ke arah Xavi dan mengayunkan pukulan ke segala arah.

Hal ini membuat Xavi secara reflek terdesak ke pinggir tali. Ia menangkis dengan lengan kanan saat ayunan stik dari atas tidak bisa ia hindari. Namun raut  muka Xavi yang seperti kena sengatan listrik menjadi pertanda bahwa lengan yang ia jadikan tameng seperti sedang terbakar akibat gebukan stik baton yang terbuat dari logam tebal. Edgar memanfaatkan keterkejutan Xavi dengan terus memukuli lengan Xavi yang membentuk blok seperti huruf X di atas kepala hingga setengah jongkok.

DUGH ! DUGH !!DUGH !!DUGH !!DUGH !!DUGH !!DUGH !!

“HAHAHA!!! MANA TADI MULUT LO, ANAK SOMBONG !!! GUE PATAHIN DULU LENGAN LO SEBELUM GUE BUAT LUBANG DI TEMPURUNG KEPALA LO ! GYAHAHAHHAHAH!!” pekik Edgar seperti kesetanan melihat Xavi tidak bisa apa-apa selain menangkis ayunan stik baton dengan kedua lengannya.

Aku bisa saja menolong Xavi tapi aku urungkan niat. Karena mau sampai kapan aku jadi penolongnya? Xavi cuma kalah pengalaman, jadi secara mental ia belum matang benar. Terlihat ia seperti lupa dengan teknik yang ia punya. Bahkan ada satu keunggulan yang bisa ia manfaatkan. Maka aku pun berteriak ke arah Xavi.

“PAKAI AKALMU ! ATASI RASA TAKUT ! BERPIKIR!”

Aku berteriak ke arah Xavi, Xavi sempat menoleh ke arahku. Hal itu kumanfaatkan dengan membuka kepalan tanganku dan mengarahkan telapak tangan yang terlindung gloves ke arahnya.

Xavi menatapku lalu ia mengangguk!

Mungkin Xavi rada panik sehingga ia lupa, bahwa ia memakai gloves yang agak sedikit tebal membungkus telapak tangannya. Kalau posisi tangan kosong menahan baton yang di ayunkan kuat-kuat, kalau gak retak paling terkilir telapak tangan. Tapi sekarang ini kami semua memakai gloves model half-mitt. Ruas jari memang hanya terlindung separuh, tetapi bagian punggung dan telapak tangan terbungkus sempurna. Belum lagi di balik gloves di bungkus kain kasa. Hal ini sudah lebih dari cukup untuk menahan baton, meski tetap bakalan sakit, namun jauh lebih baik daripada menahan dengan tangan kosong.

Dasarnya Xavi memang cerdas, ia langsung paham.

Rententan pukulan di lengan terhenti saat Xavi menangkap stik baton dengan tangan kiri. Sempat terjadi aku kuat hingga Xavi kini bisa memperbaiki posisinya. Dari berlutut kini ia bisa berdiri sejajar dengan Edgar. Xavi lalu memanfaatkan keterkejutan Edgar dengan memuntir baton ke arah kiri, membuat Edgar yang memegang baton dengan tangan kanan, tangannya ikut tertekuk sehingga  otomatis badan Edgar jadi terbuka.

“KENA LO PENGECUT!” teriak Xavi mencium peluang emas. Selama beberapa detik, wajah Edgar memucat. Ia tahu dirinya berada dalam jarak tembak Xavi.

DUGH !!! DUGH !!

Kombinasi serangan berupa lutut kanan yang menyodok perut Edgar di susul pukulan ke wajah Edgar membuat dia batuk darah. Saat Edgar terbatuk, Xavi mengeluarkan teknik tendangan muaythai, high flying kick. Satu teknik tendangan dengan meloncat di tempat. Meski tanpa ancang-ancang namun jika kena sasaran efeknya sudah lebih dari cukup membuat siapapun knockout. Aku pernah lihat Xavi memamerkan teknik ini dengan sasaran sansak. Rantai yang jadi penahan sansak bergetar cukup keras sehingga menimbulkan suara “drrrt...drrtttt......drrrttt” saat secara luar biasa, dari posisi berdiri diam, Xavi bisa melompat cukup tinggi.

Dari suara “Plaggh !!” yang terdengar saat punggung kaki Xavi secara telak menghantam pipi serta rahang kiri Edgar, akhirnya mengakhiri Edgar yang setelah terkena tendangan langsung roboh beberapa meter dari tempat semula. Matanya terpejam namun dari sela mulutnya yang terbuka mengalir buih air liur bercampur darah. Petugas medis yang bersiaga di sisi ring, lalu menarik keluar Edgar dari sela tali ring di bagin bawah.

Yeah ! Xavi menang melawan Edgar. Ia kini setengah berdiri sambil memegangi kedua lututnya, nafasnya kini naik turun.

Kulihat Dejan dan Goku juga berdiri diam mengatur nafas. AKu kurang tahu apa yang tadi kulewatkan antara Dejan dengan Goku karena aku memperhatikan Xavi melawan Edgar, namun kondisi keduanya kini hampir identik. Lebam di muka plus beberapa luka sobek di pipi, pelipis, bibir, dagu yang membuat darah mengucur dari luka yang mengangga. Susah di pastikan mana yang lebih parah antara Goku dengan Dejan. Tapi aku salut sama Goku, karena tadi ia terdesak namun kini ia sepertinya mulai bisa mengimbangi Dejan.

Dari mereka bertiga, cuma aku yang sejak fatal five ways ini di mulai, yang kondisinya mungkin paling fit.

“Kamu gak apa-apa?” aku bertanya kepada Xavi.

Xavi diam saja dan kini fokus menatapku. Tatapan mata Xavi terlihat berbeda kali ini, tidak terlihat sorot  mata Xavi yang jenaka, humoris dan periang. Yang menatap ke arahku sekarang ini adalah Xavi siap perang Mode On. Aku tersenyum sendiri, aku lupa bahwa aku sendiri yang bilang bahwa jika sudah di atas ring, tidak ada istilah kawan. Semuanya adalah musuh dan Xavi sudah melihatku sebagai target berikutnya. Tidak peduli kawan atau tidak karena semuanya ingin menang. Aku pun memasang posisi siaga dan mengangkat kedua kepalan tangan. Xavi melakukan hal yang sama, namun kulihat ada sesuatu yang aneh.

Kedua lengannya gemetaran.

Rupanya rentetan pukulan baton Edgar yang di sengaja di arahkan di kedua lengan Xavi, membuat lengannya cedera parah. Xavi memang masih memakai jaket zipper warna coklat sehingga tidak terlihat. Tetapi jika di lihat dari lengannya yang gemetaran, cederanya bisa jadi parah dan menyakitkan. Mungkin ada yang retak. Sampai sepertinya Xavi tidak kuat untuk sekedar mengepalkan tangan.

“Lenganmu....” kataku.

Xavi akhirnya menyerah untuk terlihat kuat, bahkan untuk sekedar mengangkat kedua lengan saja, ia keluar keringat dingin.

“Jangan-jangan tulangmu ada yang retak atau patah...?”

Xavi menggeleng cepat. “Bukan urusan lo Yan. Gue gak mau melewatkan kesempatan langka untuk melawan lo. Jadi buktikan ucapan lo bahwa lo akan tetap serius meski berhadapan dengan teman sendiri di atas ring. Dengan muaythai, aku bisa menang tanpa sekalipun melepas pukulan, karena senjata utama muaythai adalah di kedua kaki,” tukas Xavi.

Wahh, temanku yang satu ini terlihat semakin dewasa. Namun aku tidak sependapat dengan statementnya barusan. Daripada kujelaskan dengan perkataan, sebaiknya kujelaskan dengan tindakan.

“Oke, kamu jadi lawanku sekarang. Tidak ada ampun lho ya,” kataku.

Selesai berkata, aku berlari ke arah Xavi. Ia terperanjat karena kini aku sudah berada di depannya, Xavi mencoba mengarahkan tendangan lurus ke arahku. Satu serangan yang mudah di hindari namun gerakan berikutnya, yang tidak kuduga, bersarang cukup telak arah wajahku.

BUGH !

Tendangan lurus ke arah muka yang bisa kuhindari, langsung di ubah Xavi menjadi satu serangan baru. Dari posisi kaki terjulur lurus, Xavi menekuk lututnya dan di arahkan ke wajahku. Aku merasa hidungku langsung mimisan saat mencium dengan paksa telapak sepatu Xavi.

Xavi tersenyum karena serangan keduanya masuk dan membuatku mengucurkan darah dari satu lubang hidung. Sakit sih tapi tidak cukup tenaga untuk merobohkanku. Segera  kubalas dengan dua pukulan kiri ke arah lengan kanan Xavi dan satu pukulan kanan ke bagian lengan atasnya.

Xavi berteriak sambil memegangi lengannya yang kena pukul. Wajahnya memucat, dahinya berkeringat. Dalam kondisi biasa, reaksinya tidak mungkin seheboh sekarang. Namun aku tahu benar, di balik jaketnya, luka lebam akibat pukulan membabi buta dengan baton, telah meninggalkan luka bengkak mungkin sampai membiru.

Xavi marah dan mencoba menendangku tanpa teknik alias ngawur. Ia sudah sedemikian kesakitan hingga sudah tidak peduli lagi dengan teknik. Tentu saja aku bisa dengan mudah mengelak darinya. Saat Xavi mulai kehilangan keseimbangan, aku melihat celah dan memasukkan pukulan tajam ke arah wajahnya !!

BETS !!!!

Kedua mata Xavi reflek terpejam saat pukulanku terhenti dengan jarak 1 cm tepat di depan hidungnya.

 “Muaythai memang dominan serangan dengan kaki, tetapi kamu tidak boleh lupa satu hal, fungsi tangan itu sebagai penyeimbang badan saat pinggulmu berputar saat kamu mengeluarkan teknik tendangan. Pada dasarnya tangan secara otomatis akan menjadi titik tumpu keseimbangan. Dan itu yang tidak kulihat darimu sekarang, tangannmu hampir tidak bisa kau gunakan, hal ini menjadi pertanda bawah cedera di lengan dan tanganmu sudah sedemikian parah. Menyerahlah kawan...”

Xavi yang sudah membuka mata, saat tahu aku menghentikan pukulan, mendengus kesal ! Ia merespon ucapanku dengan  mengeluarkan teknik tendangan putar. Aku tahan tendangannya dengan lengan kanan melindungi sisi kepala, meski teknik dan kecepatannya sudah presisi, namun sudah tidak ada lagi daya ledak di dalamnya.

Xavi sudah mencapai titik batasnya.

Dan aku pun tidak ingin berlama-lama “menyiksa” Xavi, maka aku pun menghantam dagu Xavi, tidak terlalu keras tapi cukup tajam dan sudah lebih dari cukup membuat Xavi langsung roboh pingsan, tidak sadarkan diri. Saat Xavi pingsan, kudengar tawa dari Zen.

Haha, gak dari tadi lo tidurin si Xavi, uda mati rasa gitu tangannya,” komentar Zen singkat.

“Kalau gak aku giniin dulu, dia pasti ngotot, gak terima, aku di anggap gak serius,”kataku.

Setelah petugas medis membawa keluar Xavi, aku tenang karena setidaknya ring ini tidak terlalu ramai seperti tadi. Saat aku kembali melihat ke arah duel Goku vs Dejan, keduanya sedang baku pukul dalam jarak dekat. Wuah nekat juga si Goku.

Dalam satu momen saling pukul, tangkis, elak dalam jarak dekat, pukulan Dejan sedikit melebar sehingga badannya ikut terdorong ke depan. Hal itu di manfaatkan Goku yang mengelak ke kiri lalu ...

BOOOOM !

Satu uppercut kanan tepat menghantam dagu Dejan dimana posisinya memang sedang condong ke depan. Satu pukulan tidak memuaskan bagi Goku, saat kepala Dejan terdongak ke atas akibat uppercut, Goku mundur satu langkah untuk ancang-ancang lalu dengan cepat ia bergerak ke depan dan melayangkan tendangan yang mengarah ke samping kepala Dejan.

DUAGHH !!

Mata Dejan mendelik ke atas, sementara badannya terhuyung ke samping, hingga akhirnya roboh karena tersangkut kakinya sendiri.

Gila, sepertinya Goku lebih kuat daripada dugaanku. Ia berhasil merobohkan Dejan. Sukar di bayangkan jika seandainya Dejan tetap berdiri atau minimal bangkit berdiri setelah terkena uppercut di bagian dagu lalu di tambah dengan bonus sepakan ke arah kuping. Membran di area kuping Dejan pasti mendenging keras sekali. Bahkan bisa jadi gendang telinga bisa ikut rusak, akibatnya bisa sampai tuli.

Goku terengah-engah dan bersandar di pojok ring.

“BABI...BANGSAT...” kata Goku memaki Dejan. Saat Goku meludahkan isi mulutnya, rupanya ia pun juga berdarah. Aku bisa melihat bagian mulut Goku hingga deretan giginya berdarah. Goku memasukkan dua jari ke dalam mulutnya lalu mencampakkan begitu saja di lantai satu benda yang berwarna kemerahan.

Rupanya gigi. Gigi Goku ada yang tanggal satu, karena efek baku hantam dengan Dejan. Pantas saja jika darah ngocor dari dalam mulutnya.

Oke, sepertinya lawanku dari kelas 1 adalah Goku.

Take your time, kalau sudah siap, mari kita selesaikan urusan,” kataku kepada Goku.

“BA....JING.......ANNNNN.....” Goku tiba-tiba memakiku dengan nada terputus-putus. Akan tetapi pandangan Goku tidak mengarah kepadaku, melainkan tepat ke sampingku.

Kulihat Dejan berdiri tegak. Ia menyeringai menatap ke arah Goku. Tatapannya bengis. Dari kupingnya mengalir darah.

Asu juga ni bocahhh...!

Dejan perlahan membuka kedua glove half-mitt yang ia kenakan dan setelah terbuka, ia buang begitu saja. Sehingga kini kepalan tangannya hanya terbungkus kain kasa yang melilit pergelangan tangannya.

“Minggir lo, biar gue selesaikan si Goku dalam dua serangan. Lalu berikutnya, lo yang gue bantai....” kata Dejan pelan ke arahku.

“Hahaha! Nah gitu donk !!! Masak badan gede, jam segini udah bobok !! Ayo sini, gue buat lo terlelap sampai lupa ingatan !!” pekik Goku yang rupanya juga sudah tidak mengenakan glovesnya.

Aku mundur ke pojok ring, memberikan ruang bagi mereka berdua untuk menuntaskan urusan. Kalau sudah seperti ini, lawanku yang berikutnya sudah jelas dan tepat seperti dugaanku.

Goku menyerang Dejan dengan dua kali pukulan yang mengenai telak mukanya. Dejan tidak bergeming alias membiarkan dua pukulan Goku masuk mengenainya. Reaksi Dejan lagi-lagi cuma tertawa memamerkan deretan giginya yang memerah.

Goku yang merasa di remehkan hendak memukul tetapi Dejan bereaksi lebih awal, ia memegang sisi kepala Goku dengan kedua tangan lalu ia benturkan dahinya ke arah hidung Dejan. Keras sekali benturannya sehingga kulihat Goku hampir tak sadarkan diri. Saat Goku terbatuk-batuk, Dejan menjambak rambut bagian atas Goku yang jabrik dengan tangan kiri. Dejan lalu menarik siku kanannya, mengambil ancang-ancang dan kemudian melepaskan “tembakan meriam” berupa satu pukulan straight kanan yang mengenai bagian tengah wajah Goku. Badan Goku terjumpal ke belakang akibat efek pukulan dan berdebum jatuh di canvas dengan cedera yang lumayan parah.

Ia pingsan dengan mulut setengah terbuka.

Otomatis aku langsung menghampiri Goku untuk melihat kondisinya. Parah....Goku nafasnya tersengal-sengal, bahkan darah dari sela-sela lubang hidungnya membentuk gelembung-gelembung karena nafas pendek-pendek akibat susah bernafas.

“MEDISSSSSSS !!!! CEPAT BAWA GOKU !!” aku berteriak memanggil petugas medis. Satu tindakan yang sebenarnya tanpa tanpa aku berteriak pun, mereka sudah sigap menghampiri Goku. Goku segera di pindahkan dengan tandu lalu secara perlahan-lahan di bawa keluar dari ring dan di bawa secepatnya ke ruang medis.

Kini tinggal kami berdua yang berada di atas ring.

Aku dan Dejan.

Kami berdua saling balas menatap dan udara di sekitar kami jadi serasa makin panas, intensitasnya langsung naik !

Dejan benar-benar membereskan Goku dengan dua kali serangan, tepat seperti ucapannya setelah ia secara luar biasa, masih bisa berdiri tegak setelah menerima dua fatal blow dari Goku.

Darahku jadi ikut mendidih dan aku pun ikut melepas kedua glove yang kukenakan. Rasanya kedua tanganku bisa bernafas dengan lega setelah terbebas dari belenggu gloves.

“Lega sekali bukan melepas gloves yang hanya menghambat daya hancur pukulan kita?? Kita berdua bukan atlet tinju, kita adalah bajingan yang haus akan pengakuan sebagai laki-laki. Masa depan kita di tentukan oleh seberapa kuat kepalan tangan. Yandi, dalam sepuluh kali serangan, gue bakal hancurin elo. Kalau lo sampai cacat di tangan gue hari ini, berarti elo memang terlalu lemah…”

“Udah..udah selesai ngomongnya?” kataku.

Dejan tertawa sinis lalu mengeratkan kepalan tangan dan memasang pose siap duel.

“Kamu tadi bilang sepuluh kali serangan? Tolong di koreksi. Kamu bakal kutundukkan dengan lima kali serangan. Jika kamu masih bisa berdiri tegak setelah terkena lima kali serangan, kamu langsung menang dan secara sukarela aku keluar dari SMA NEGERI XXX.” Aku memprovokasi Dejan.

Mata Dejan membesar saat mendengarnya.

Aku berjalan mendekati Dejan sehingga kini kami berdiri berhadapan dengan posisi kening saling bersentuhan. Aku sedikit jinjit karena kalah tinggi.

You’re dead meat..” teror Dejan.

“Dalam hitungan yang ketiga, aku akan memukulmu. Satu..dua…ti…ga!”

BUGH !! BUGH !!


*****
@ Rumah Djojodiningrat
Di saat yang bersamaan…
*****


(Pov Rangga)


Baru juga gue mengenakan apron, pintu dapur di ketuk tiga lima kali dari luar.

Sialan, itu kode ketukan kalau Papa menelepon. Papa tidak pernah menelepon langsung ke ponselku. Ia lebih sering menelepon ke nomor rumah kami.

Don, salah satu pelayan di rumah, mengangguk dan menundukkan kepala saat gue keluar dari dapur pribadi gue.

“Mas Rangga, Bapak menelepon,” katanya sopan.

Padahal tanpa ia jelaskan pun gue sudah tahu.

Gue turun dari kamar yang berada di lantai 3 menuju ruang kerja yang berada di lantai 1, sambil di ikuti oleh Don. Don berhenti di depan pintu ruang kerja Papa saat Gue masuk ke dalamnya. Pintu sengaja kubiarkan tetap terbuka, toh Don sepertinya juga sudah tahu, apa pasal Papa menelepon

“Halo Pa..”

“Kamu hari Minggu di rumah saja Ngga?”

Pertanyaan Retoris. Papa sudah hafal benar bahwa aku tidak terlalu suka pergi-pergi jika hari libur. Aku lebih suka masak-masak di rumah, belajar mencoba menemukan resep baru mengolah salmon beserta kaviar. Bahan baku yang amat sangat mahal.

“Langsung to the point saja Pa,” gue langsung menembak ke arah pokok pembicaraan.

“Haha. Persis seperti Ibumu. Yang tidak suka basa-basi. Ngga, daripada kamu buang-buang waktu di dapur, mengerjakan tugas perempuan, sebaiknya kamu mulai belajar bisnis. Papa sudah semakin tua, ingin hidup tenang di perkebunan. Usaha papa menggurita dan itu semua mesti kamu ambil alih.”

Aku diam saja.

“Tenang saja Pa. Akan gue temukan kakak dan gue seret dia hingga berlutut di depan Papa. Kakak yang jauh lebih pantas dan bisa meneruskan usaha keluarga.”

Aku mendengar papa tertawa.

“Kamu masih belum menyerah mencari kakakmu?”

“Tentu saja, enak saja dia pergi dari kewajiban di keluarga kita.”

“Coba Papa tes, kamu tahu gak kalau kakakmu itu sekitar seminggu yang lalu muncul di Kota XXX?”

Gue seperti tersengat mendengarnya, kakak seminggu yang lalu muncul di Kota XXX? Papa tidak mungkin bercanda tentang hal ini. Meski ia kini  berada di Paris, ia tetap tahu semua hal. Sejak kakak menghilang, otomatis gue jadi kandidat penerus usaha Papa, namun gue sudah sedari awal menolak. Gue ingin melakukan hobi gue sendiri, tidak mau ikut campur bisnis keluarga. Tapi Papa gue pantang mendapat penolakan, sehingga ia pun sengaja menantang gue, sebuah tantangan yang mustahil untuk gue selesaikan.

“Kamu tentu masih ingaat dengan kesepakatan kita bukan? Temukan dan bawa ia menghadap Papa. Jika kamu bisa melakukannya, kamu bisa mengejar impian konyolmu, jadi chef. Tapi jika kamu gagal membawa kakakmu menghadap Papa hingga kamu lulus SMA, kamu suka atau tidak, akan jadi tumpuan terbesar Papa, menjadi generasi penerus Klan Djojodiningrat. Dan kamu tidak perlu susah payah mencari kakakmu yang sudah murtad dari keluarga kita.”

“Tentu saja gue masih inget Pa.”

“Ya... Yasudah, Papa Cuma mau kasih kabar itu saja. Selamat menikmati masa-masa indahmu di dapur Ngga selagi kamu bisa ya.”

KLIK.

Papa menutup telepon.

Ini berarti waktu yang gue miliki tinggal 8 bulan lagi.

Sebenarnya Papa kalau mau, bisa menemukan keberadaan Kakak, tetapi Papa terlihat ingin menguji gue. Papa bahkan tidak mau meminjamkan koneksi atau anak buahnya untuk mencari keberadaan kakak. Sehingga gue mesti mencari kakak dengan usaha gue sendiri.

Yakni dengan bantuan Bram.

Dia satu-satunya orang yang tahu identitas asli gue tanpa sengaja. Selama dia tutup mulut, nyawanya terjamin. Dalam beberapa hal gue bakal bantu, seperti melindungi dia dari orang-orang usil. Selain menutupi identitas gue, Bram juga gue minta untuk mencari tahu keberadaan kakak, karena gue tahu ia punya jaringan informasi bawah tanah yang sangat luas.

Bram mengaku melacak keberadaan kakak, bukan hal yang mudah. Namun gue beri dia waktu 2 tahun. Setahun ini tidak ada hasil. Masih gelap.

Makanya gue kaget saat Papa tahu bahwa kakak seminggu yang lalu berada di Kota XXX. Sementara Bram tidak memberikan kabar apa-apa kepada gue.

Keparat kamu Bram!

Aku menekan tombol nomor yang sudah gue hafal di luar kepala. Cukup satu kali dering, orang yang gue telepon langsung mengangkatnya.

“Halo selamat siang bro,” jawabnya.

“Satu jam dari sekarang, temui gue di Capslock.”

“Eh bentar, bentar, gue lagi ada di Kota DDD. Tar sore saja ya Ngga.”

“Capslock. 60 menit dari sekarang. Terlambat satu menit, bahkan si Jack pun tidak akan sanggup menolong lo.”

“Oke..oke…gue langsung balik sekarang, btw, elo mau ngomongin tentang apa?”

Setan ini orang, pura-pura bego.

“Tentang kakak gue tercinta, Boy, yang konon seminggu lalu muncul di Kota XXX. Namun lo gak ada kasih info apapun ke gue tentang hal tersebut.”

Gue bisa mendengar jelas saat Bram menelan ludah ketika gue menyinggung tentang Kakak.

KLIK.

Telepon langsung gue matikan.

Sekarang bola ada di tangan Bram.

Kalau sampai dia gak bisa kasih penjelasan yang logis, gue bakal buat dia gak akan bisa lagi berjalan dengan kedua kakinya.

Boy, lo memang kakak yang keparat!!! Awas saja kalau gue pada akhirnya terpaksa jadi penerus usaha keluarga gara-gara elo. Lo bakal gue cari sampai ketemu lalu gue matiin di tempat.

Lihat saja nanti.


=BERSAMBUNG=

10 comments for "LPH #83"

  1. Thank suhu update nya. . .sehat selalu

    ReplyDelete
  2. Seperti seorang pendaki gunung, selalu kembali ingin mendaki saat selesai menaklukan satu puncak. Njiir ceitya loe lebih dari 4 kali gw baca ulang ( saat loe hilang dan saat menunggu lanjutan cerita selanjutnya) walau gw dah tahu gmn endingnya tapi tetep bikin nagih....

    Semoga tetap sehat, gw akan menunggu cerita selanjutnya dari chapt ini...

    Thanks subes serpanth

    ReplyDelete
  3. Yess... eps 83, thanks Om Panth. Sehat selalu !!! 👍🏻

    ReplyDelete
  4. Kurang episod 84 sd nyambung dgn yg teranyar, setelah episode 84 lounching tinggal fokus lanjutin episode 95 etc..
    Matur tengkiu suhu🙏🏻🙏🏻🙏🏻

    ReplyDelete
  5. uaseeem
    ternyta egk slse duel yandi vs dejan (meski udah tau endingnya sih....wkwkwkwkwk)

    ReplyDelete
  6. Pencarian Boy yg gak pernah ketemu. Viper kah Boy ini gak mungkin Bram atau Jack deh

    ReplyDelete

Post a Comment