Featured Post

DLF #15

DEEP LYING FORWARD #15 
IL ROMBO DEL LUPO (THE ROAR OF THE WOLF)


Cosenza Train Station - Settembre 25, 2000, 5 : 26 AM


Pagi itu di dalam peron stasiun kereta Cosenza yang biasanya tidak terlalu ramai kini terlihat riuh di dominasi warna biru merah. Sekitar dua ratus lima puluh tifosi mengenakan jersey Cosenza dilengkapi dengan atribut khas Cosenza seperti syal dan topi mulai memadati area peron kereta. Sementara kereta Trenitalia berwarna orange cerah dan abu-abu yang terdiri dari 7 gerbong dimana tiap gerbongnya berkapasitas 96 penumpang sudah siap untuk berangkat ke Turin yang berjarak 300 Km dari Cosenza.

“Teman-teman semua yang ikut tur ke Torino, jangan lupa untuk mendaftarkan nama kalian  kepada Samanta sekaligus untuk mengambil tiket kereta api. Harap dicek lagi perlengkapan kalian, jangan sampai ada yang tertinggal. Jika sudah mengambil tiket, segera masuk ke dalam gerbong kereta dan duduk sesuai dengan nomer kursi yang tertera di tiket karena 30 menit lagi kereta akan berangkat menuju stasiun Torino Porta Nuova. Kita akan tiba disana pukul 2 siang, lalu ada waktu bebas 2 jam untuk kita makan siang dan silahkan jika ada yang ingin jalan-jalan.

Tapi ingat, pukul 4 sore kalian semua harus berkumpul kembali di depan stasiun Torino Porta Nuova lalu kita bersama-sama naik bus menuju ke Stadio Delle Alpi. Pertandingan dimulai tepat pukul 6 sore. Selesai pertandingan, kita berkumpul lagi di gerbang timur Stadio Delle Alpi jam 9 malam kemudian ada waktu 1 jam untuk makan malam, selesai makan kita menuju Stasiun Torino Porta Nuova. Kereta Api yang menuju Cosenza akan berangkat tepat pukul 23.15. Siapapun yang tidak pulang ke Cosenza berbarengan dengan rombongan silahkan telepon atau SMS ke saya atau leader grup agar nanti tidak terjadi miskomunikasi dan tidak ada yang ketinggalan kereta.

Lalu seekali lagi saya ingatkan untuk saling menjaga diri, tidak berbuat onar, anarkis dan memprovokasi lawan karena kita menjadi tamu disini. Siapapun yang melanggar aturan selama kita tour, maka saya akan memblack list nama kalian selama 3 bulan sehingga kalian tidak kami ijinkan bepergian bersama Ultras Cosenza. Kalian mendaftar kepada kami, maka patuhilah aturan-aturan selama mengikuti tour ke Torino kali ini. Grazie. FORZA COSENZA !!” teriak Sasa menggunakan megaphone saat memberikan arahan kepada tifosi Ultras Cosenza yang ikut dalam away tour kali ini ke Kota Turin.

Sasa melihat Brady dan Verdi baru saja datang, kemudian mereka bergabung dengan para Ghetto Boys. Sasa sedikit tenang dan berharap tidak ada keonaran yang mereka timbulkan karena hubungan Ultras Cosenza dengan Ultras Torino dengan anggota terbanyak Fedelissimi Granata dan juga dengan ultras Torino lainnya seperti Curva Maratona dan Granata Corps terbilang cukup baik. Hubungan Ultras Torino dan Ultras Cosenza terjalin dengan baik, selain karena memiliki pandangan aliran politik yang sama-sama pro sayap Kiri, ada hubungan spesial yang terjalin antara keduanya. Ketika Ultras Cosenza yang resmi menjadi 1 identitas untuk semua kelompok Ultras yang sebelumnya terpecah-pecah di tahun 1995, Sasa yang menjadi leader Ultras Cosenza yang dihormati dan disegani rajin membangun relasi dengan kelompok Ultras lainnya.

Torino adalah salah satu klub yang paling dihormati oleh Sasa. Setiap ada upacara peringatan Superga tanggal 4 Mei, Sasa dengan mengenakan atribut pakaian serba hitam dan dibalut dengan syal biru-merah berlogo Cosenza akan datang sendirian ke Basilica Superga untuk bergabung dengan para ribuan Ultras Torino lainnya, mengenang dan mendoakan para korban Tragedi Superga. Sebuah tragedi yang seandainya tidak terjadi, maka Torino saat ini akan menjadi klub terbesar dan tersukses di daratan Eropa.

BASILICA SUPERGA
RIP IL GRANDE TORINO

Sasa lalu kemudian teringat kembali tentang Tragedi Superga dan membayangkan dirinya menjadi salah seorang fans Torino pada saat kejadian tersebut terjadi.

Pada hari Rabu sore tanggal 4 Mei 1949, cuaca buruk melanda seluruh kota Turin yang berada di ujung barat Laut Italia, termasuk bukit Superga yang berada tidak jauh dari pusat kota. Hari masih sore tetapi sekumpulan awan gelap membuat suasana seperti malam, hujan disertai angin kencang dan guntur terdengar bersahutan. Cuaca buruk yang membuat orang akan berpikir seribu kali untuk beranjak dari rumah mereka yang hangat dan nyaman. Tetapi ditengah cuaca seperti ini, banyak warga kota Turin yang tetap memiliki suasana hati yang gembira karena para pahlawan mereka, idola mereka, klub terbaik yang pernah Italia miliki, yang disebut-sebut menjadi tim terbaik Eropa bahkan dunia yaitu Il Grande Torino sebentar lagi pulang dari Portugal setelah mengadakan laga testimonial melawan Benfica dalam rangka memperingati karier kapten Benfica Jose Ferreira, sahabat dekat Il Capitano Torino Valentino Mazzola, yang memutuskan pensiun.

Il Grande Torino adalah julukan untuk tim Torino di tahun 1940an, yang di era tersebut disebut disebut sebagai klub termaju dibandingan dengan semua klub sepakbola di Eropa bahkan di dunia pada masa itu. Kemajuan Il Grande Torino tidak bisa dilepaskan dari kejeniusan sang pemilik klub Ferruccio Novo dalam mengelola Torino. Mantan pebisnis ulung yang bergerak di bidang penjualan peralatan pertanian membeli Torino di tahun 1939 dan kemudian dengan cepat mendefinisikan kepada semua orang bagaimana sebuah klub sepakbola itu seharusnya dikelola dan dijalankan dengan cara yang belum pernah klub-klub sepakbola lainnya lakukan.

IL GRANDE TORINO- 1949 SQUADRA
Novo adalalah salah orang pertama di dunia yang memperkenalkan kepada klub sepakbola di Italia apa itu sistem scouting yang bertugas untuk menemukan para bakat-bakat pemain muda seantero Italia dan juga laporan pemantauan tentang status para pemain terbaik dari klub lain yang bisa mereka gunakan untuk mengajak pemain tersebut untuk bergabung dengan Torino. Novo menciptakan atmosfer yang bersahabat di klub dan terutama dengan para pemainnya.

Ia juga mendatangkan para pelatih sepakbola terbaik yang diharapkan bisa mengembangkan dan mempoles para pemain-pemain muda berbakat yang berhasil klub datangkan melalui jaringan pemandu bakat yang mereka miliki. Novo bahkan tidak segan mendatangkan para staf pelatih dari luar negeri seperti Leslie Liesveley dari Inggris dan Egri Erbstein dari Hungaria. Keduanya mampu membawa ide-ide baru, metode latihan sepakbola yang lebih baik dan tentu saja taktik-taktik bermain yang lebih inovatif kepada Torino.

Il Grande Torino dikapteni oleh Valentino Mazzola yang menjadi inspirasi tim ketika bermain dan menjadi Centrocampista (gelandang tengah) modern, di bawah Novo Torino secara revolusioner memperkenalkan formasi 4-2-4 kepada dunia sepakbola. Sebuah formasi yang 10 tahun kemudian mampu diadopsi secara sempurna oleh Tim Nasional Brazil untuk menaklukan dunia. Bukan hanya memperkenalkan formasi 4-2-4, tetapi system permainan Il Grande Torino juga disebut-disebut menjadi inspirasi dibalik strategi “Totaal Voetbal” yang dikembangkan dan disempurnakan oleh Tim Nasional Belanda di tahun 1970an.

Tetapi bukan hanya Mazzola yang membuat Il Grande Torino begitu spesial. Di bawah gawang Il Grande Torino ada kiper Valerio Bacigalupo yang disebut-sebut sebagai salah seorang kiper pertama yang bertipe sweeper–keeper, tipe kiper agresif yang tidak segan meninggalkan area bawah mistar untuk menyapu bola yang menembus pertahanan. Di lini pertahanan Il Grande Torino bercokol Mario Rigamonti dan Aldo Ballarin keduanya sebagai bek tengah yang lugas dan tanpa kompromi menghadang lawan.

Di lini tengah, Mazzola di temani Eusebio Castigliano seorang gelandang tengah berbakat dengan sentuhan berkelas, Romeo Menti memiliki kecepatan dan bakat untuk menjadi winger berbahaya, Giusepe Grezar sebagai jenderal lapangan tengah yang piawai mengorganisir rekan-rekan setimnya. Franco Ossola pemain yang mempunyai segudang trik yang menjadi pujaan para fans dan Guglielmo Gabetto, striker atletis yang memiliki rasio mencetak gol yang luar biasa.

Singkatnya, Il Grande Torino di era 1940 adalah tim yang menjadi inspirasi untuk semua tim-tim terhebat setelahnya, entah itu tim di level klub maupun tim nasional. Mereka adalah blue-print bagi klub di era modern sekarang ini.


Hanya saja, ketika Il Grande Torino sudah diambang juara meraih Scudetto 1949, gelar Scudetto kelima mereka secara 5 tahun berturut-turut dan menyamai jumlah scudetto rival terbesar mereka yakni Juventus, suratan takdir berkata lain.

4 Mei 1949 pukul 17.05 waktu setempat, berdasarkan para saksi mata yang melihat dari lereng bukit Superga, pesawat FIAT G-212 menukik ke bawah terlalu cepat dan terlalu rendah untuk melakukan pendaratan  setelah sempat kehilangan arah karena terjebak awan gelap yang padat. Pesawat yang dipiloti oleh Pierluigi Meroni, seorang penerbang yang sangat berpengalaman saat Perang Dunia II, akhirnya menghantam dinding bukit di belakang sebuah Basilica yang berada di Superga dengan kecepatan tinggi dan meledak  hingga meletus dalam api memuntahkan puing-puing pesawat ke wilayah sekitarmya.

Para saksi mata yang berada di sekitar lokasi kejadian dilanda kengerian luar biasa, pada awalnya banyak yang menyangka pesawat yang jatuh tersebut adalah pesawat komersil. Tetapi kemudian ada desas-desus yang tersebar dari orang-orang yang ada di lokasi bahwa pesawat tersebut bukan pesawat komersil biasa tetapi jenis pesawat yang biasa membawa tim Torino bepergian. Kepanikan melanda seluruh warga Turin, mereka segera berbondonng-bondong pergi ke bukit Superga otoritas pemerintah setempat bekerjasama polisi segera bekerja cepat mengidentifikasi bangkai pesawat dan mengevakuasi korban.

Semua korban menderita tidak ada yang bisa dikenali karena menderita luka tabrakan dan luka bakar, sehingga para korban sudah tidak bisa dikenali dengan cepat. Para warga berkumpul di Basilica yang berada di puncak bukit Superga, berdoa sembari menantikan kabar kepastian. Selang beberapa jam, pihak berwenang berhasil mengidentifikasi jenis pesawat dari dokumen-dokumen yang masih bisa ditemukan dan mereka memastikan bahwa pesawat nahas tersebut adalah Avio Linee Italiane Fiat G-212 yang terbang dari Lisbon menuju Turin dan ke 31 korban yang berada di dalam pesawat yang terdiri dari 18 pemain Il Grande Torino, staf pelatih, staf klub, jurnalis dan smua kru pesawat  Avio Linee Italiane Fiat G-212 tidak ada yang selamat.

 Airmata pecah di Basilica yang tak lama kemudian diikuti tangisan yang lebih memilukan dari warga Turin terutama dari direksi klub Torino dan para fans Torino seakan tidak bisa mempercayai hal ini. Pemakaman seluruh korban kecelakaan diselenggarakan dua hari setelah kejadian di hari yang basah dan dingin akibat hujan yang terus-menerus terjadi di Turin. Tetapi hujan tidak bisa menghalangi niat lebih dari setengah juta orang untuk datang menghadiri prosesi pemakaman. Dan lebih dari 30.000 orang berbaris dari pusat kota ke bukit Superga untuk memberikan penghormatan terakhir kepada para pahlawan mereka.

SUPERGA TRAGEDY
Di tahun 1949, Italia begitu identik dengan negara fasis dan masih merasakan dampak kerusakan setelah Perang Dunia II, Il Grande Torino muncul dan menjadi lebih dari sekedar sebuah tim sepakbola bagi rakyat Italia. Il Grande Torino menjadi simbol harapan dan regenerasi bangsa Italia untuk segera bangkit dari keterpurukan akibat perang. Selain itu mereka juga menjadi klub Italia pertama yang datang dan bermain di Amerika Selatan bahkan Eva Peron, presiden wanita pertama Argentina menjadi fans Il Grande Torino.

Akibat tragedi kecelakaan mengerikan tersebut, Italia berkabung nasional sekaligus mempersatukan masyarakat Italia dari berbagai kalangan dan beragam latar belakang. Bahkan koran dengan paham Komunisme di Italia, L’Unita menyatakan bahwa “seluruh rakyat Italia akan berada di samping tubuh para korban yang terbakar. Sebagai bentuk penghormatan dan solidaritas kepada Torino, keempat lawan terakhir Torino di liga, menurunkan para pemain U-19 mereka mengingat Torino kini hanya memiliki 2 pemain senior yakni kiper ketiga dan Sauro Toma seorang pemain belakang.

Di partai pertama setelah kecelakaan, Torino menjamu Genoa di Stadio Filadelfia yang terisi penuh. Ada suasana emosional menyelimuti sekitar 20.000 penonton yang menyaksikan langsung, bahkan di awal pertandingan suasana begitu hening tidak terdengar riuh rendah seperti biasanya. Tetapi perlahan-lahan dari bangku penonton mulai terdengar yel-yel “Toro-Toro” yang segera diikuti oleh semua penonton yang hadir. Torino memenangkan pertandingan dengan skor 4-0 dan di akhir musim 1948/1949, Torino berhasil meraih Scudetto ke lima mereka secara beruntun. Sebuah prestasi yang hanya bisa diulangi sekali lagi di musim 1975/1976.

Sebelum terjadinya kecelakaan Il Grande Torino mencatatkan beberapa rekor luar biasa. Tidak terkalahkan dalam 21 pertandingan beruntun, memecahkan rekor liga dalam hal perolehan poin paling banyak dalam 1 musim dan 1 lagi rekor luar biasa yang berhasil Il Grande Torino bukukan. Di Stadio Filadelfia,  Il Grande Torino tidak pernah mengalami kekalahan dalam 93 pertandingan kandang beruntun dari tahun 1943 hingga 1949 dengan catatan 83 kali menang dan 10 kali hasil imbang. Catatan gol Il Grande Torino ke gawang lawan juga bukan main-main, dalam 5 tahun total 471 gol berhasil mereka bukukan dari tahun 1945 sampai tahun 1949.

Kehebatan Il Grande Torino juga berimbas terhadapan tim nasional Italia. Di sebuah partai persahabatan tahun 1947, timnas Italia melawan negara raksasa sepakbola pada masa itu yakni The Mighty Magyar, julukan untuk timnas Hungaria yang diperkuat oleh Ferenc Puskas. Pada waktu Italia menang tipis dengan skor 1-0 dan 10 pemain dari 11 pemain yang bermain dari menit pertama, berasal dari 1 klub yakni Torino ! Bukti bahwa Il Grande Torino adalah versi miniatur dari tim nasional Italia.

Ke-18 pemain yang Il Grande Torino yang meninggal semuanya berusia 30 tahun, dan bahkan mereka belum mencapai usia emas seorang pesepakbola. ketika Liga Champion pertama kali digulirkan di tahun 1955, yang ironisnya Ferruccio Novo, Presiden Torino adalah salah seorang tokoh yang merancang kompetisi antar klub Eropa ini, banyak yang meramalkan seandainya Tragedi Superga tidak terjadi, Il Grande Torino akan menjadi klub paling sukses di dunia dan menjadi pemenang di kompetisi ini, bukan Real Madrid yang menjadi pemenang edisi perdana Liga Champion tahun 1955.

“Sementara Manchester United berhasil bangkit dari Tragedi Munich di tahun 1999 dan kembali meraih kejayaannya sebagai sebuah klub besar, kami tidak bisa dan sepertinya tidak akan pernah bisa bangkit. Beberapa kejadian penting yang terjadi setelah peristiwa Superga hanyalah sekumpulan kisah kegagalan baik di dalam maupun di luar lapangan. Di tahun 1967, kami memiliki satu sosok pemain genius dan menjadi pemain Italia terbaik pada masanya dalam diri Luigi Meroni yang kerap disebut sebagai George Best-nya Italia karena kemiripan skill dan karakter keduanya.

Tetapi pada tanggal 15 Oktober 1967, Luigi Meroni mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya. Ia tertabrak oleh mobil yang coba kamu tebak siapa pengemudinya? Pengemudi mobil tersebut adalah pemuda fans Torino yang waktu kecelakaan sedang mengenakan jersey Torino no 7 bertuliskan Meroni di punggungnya. Dan kini saya dengar pemuda tersebut yang bernama Attilio Romero, disebut-sebut media menjadi salah satu investor yang tertarik membeli klub kami. Haha ironis sekali bukan?”

Sasa mengingat kembali percakapannya dengan Nestor Mancino, leader Fedelissimi Granata, kelompok Ultras terbesar Torino sekaligus penguasa Curva Nord Stadio Delle Alpi selepas ia berziarah di Superga.

“Lalu di tahun 1992, untuk pertama kalinya kami tampil di final Piala UEFA dan kami berhadapan dengan Ajax Amsterdam di final yang dimainkan dengan format kandang tandang. Di pertandingan pertama kami sebagai tim tuan rumah dan skor akhir imbang 2-2. Sebuah hasil yang kurang menguntungkan karena Ajax berhasil mencuri 2 gol tandang. Cukup imbangl d pertandingan selanjutnya dengan skor 0-0 maupun 1-1 maka Ajax lah yang menang. Aku menonton langsung di Amsterdam Arena, seakan tidak mempercayai apa yang saya lihat.

Kami bermain menekan dan terus menerus menggempur Ajax, 2 peluang emas kami gagal berbuah gol karena membentur mistar. 1 menit terakhir injury time babak kedua, Ajax di ambang juara karena sampai injury time skor masih 0-0. dan ketika kami mendapat satu sepak pojok terakhir dalam pertandingan, kesempatan terakhir dan berhasil disundul oleh salah satu pemain kami dan ternyata mengenai tiang lagi !! wasit lalu meniup peluit. Itu adalah kekalahan paling menyakitkan selama saya menjadi fans Torino.

Ketika di salah satu artikel koran yang saya baca selepas pertandingan, Torino FC ditulis sebagai klub yang paling dikutuk dan paling sial dalam sejarah sepakbola dunia jika menilik dari rentetan peristiwa tragis yang menimpa klub. Sebuah artikel yang mau tidak mau susah untuk kami bantah sekalipun.

Kenang Mancini dengan pandangan mata menerawang. Mancini lalu membicarakan tentang Juventus, tim rival Torino di Kota Turin.

Kami tidak pernah merasa iri dengan pencapaian musuh bebuyutan kami di Juventus. Meskipun kami kalah dalam hal prestasi, tetapi dalam hal urusan jumlah fans, Juventini tetap menjadi minoritas di kota Turin. Bayangkan kamu menjadi seorang pemuda yang berasal dari Turin berusia 13-14 tahun yang sangat menyukai sepakbola dan dihadapkan pada pilihan tim manakah yang akan kamu pilih? Juventus dengan segala prestasinya di kompetisi Italia dan kompetisi Eropa yang diperkuat pemain-pemain kelas dunia atau Torino dengan segala macam kesialan yang menimpa klub dari awal tim ini dibentuk dengan prestasi yang tidak kunjung membaik, finansial pas-pasan, naik turun berkompetisi di Serie-A dan Serie-B?

tentu anak remaja yang normal akan memilih Juventus, tetapi ada fakta bahwa 7 dari 10 orang Turin lebih memilih menjadi fans Torino. Hal ini menjadi bukti bahwa kami Ultras Torino adalah sekumpulan orang-orang kuat yang lebih memilih jalan yang lebih terjal, lebih susah dan lebih berat karena inilah identitas sebenarnya orang Turin yang meskipun dihantam berbagai cobaan kami tetap kuat berdiri sampai hari ini, bersuara untuk Torino dan bersatu untuk Torino sampai kapanpun.”

Sasa kerapkali merasa merinding jika mengingat perkataan dari Mancini tentang arti pentingnya menjadi ultras sejati yang sangat loyal dengan klub terlepas dari apa pun yang terjadi di dalam maupun luar lapangan. Karena menjadi ultras bukanlah karena faktor mendukung klub berprestasi saja tetapi juga adanya ikatan emosional dan identitas. Dari Mancini ia belajar banyak hal dan ia senang karena nanti mereka bisa bertemu lagi selepas pertandingan, minum dan berbicara banyak hal. Hari itu Sasa dan Mancini menjadi kawan akrab hingga hari ini.

Setelah Samanta melapor kepadanya bahwa proses check-in sudah selesai dan semua orang sudah masuk ke dalam kereta, Sasa langsung masuk ke dalam kereta dan duduk di deretan kursi depan. Sasa tidak memilih-milih tempat duduk dan harus duduk dengan siapa, ia lebih suka berbaur dengan anggota Ultras Cosenza lainnya. Model tempat duduk gerbong bisnis kelas 2 di Trenitalia adalah 2 deret saling duduk berhadapan, jadi cocok untuk mereka yang selama sepanjang perjalanan ingin tetap ngobrol.

Di deret kursi paling belakang nomor 20 A-B ditempati oleh Emilio dan sepupunya Davide yang baru pertama kali merasakan pengalaman ikut away tour dan duduk di hadapan mereka dengan nomor 19 A-B ada Dino, leader grup NS Cosenza Vechhia dan pacarnya Samanta yang sedari pagi sudah disibukkan dengan membagikan tiket kereta PP sekaligus tiket pertandingan Torino vs Cosenza. Di samping mereka, deret kursi hanya sampai nomor 18 C-D karena dipakai untuk bilik toilet yang pintunya masuknya berada di dekat pintu masuk gerbong.

Tepat pukul 6 pagi, Trenitalia berangkat dari stasiun Cosenza menuju ke Stasiun Porta Nuova di Torino. Davide yang duduk berada di pojok kiri dekat dengan jendela mulai menguap kembali ia merasakan matanya mulai berat, ditambah dengan laju kereta yang halus, AC di dalam gerbong yang dinginnya pas membuat rasa kantuk menyergapnya dengan cepat. Ia tidak memperdulikan sepupunya Emilio yang terlibat obrolan dengan Dino mengenai prediksi jalannya pertandingan nanti malam, sementara Samanta yang duduk tepat di hadapannya sedang asyik sendiri membaca sebuah buku, sebelum ia kalah oleh rasa kantuk Davide sempat membaca judul buku di bagian sampul depan yang yang sedang dipegang oleh Samanta yaitu 1984 George Orwell.

“Woii..Davide..gak di rumah gak di kereta tidur mulu, mau ikut sarapan gak,?” kata Emilio sambil menggoyang-goyang pundak kiri Davide, yang makin lama makin kencang hingga akhirnya membuat Davide bangun dengan perasaan kesal.

“Argghh, ganggu aja. Baru bentar tidur nihh.” Gerutu Davide sambil membenarkan posisi tidurnya lagi.

“Baru tidur apannya, kamu udah tidur 2 jam juga masih bilang baru. Nanti kalau kamu kelaparan, aku gak mau nganter kamu ke gerbong makanan.”

Dino dan Samanta yang melihat tingkah mereka berdua tertawa kecil.

“Udah biarin aja dia tidur lagi, kayaknya Davide memang ngantuk banget. Lagian dia udah bukan anak kecil lagi, pasti bisalah cari gerbong makanan sendiri. “ kata Samanta.

“Yaudahlah. “ kata Emilio lalu bangkit dari tempat duduk diikuti dengan Dino. Setelah keduanya pergi, Samanta kembali melanjutan bacaannya. Sementara Davide yang sudah terlanjur bangun meski sebentar ternyata sudah tidak merasa ngantuk lagi, beberapa kali ia membetulkan posisi kepalanya yang menyandara di jendela kaca tetapi akhirnya ia menyerah dan memutuskan menyudahi tidurnya. Davide melihat jam tangannya, sekarang jam 8.07 masih sangat lama untuk sampai di Turin, ia lalu melemparkan pandangannya keluar dari jendela dan tidak ada pemandangan menarik disana, justru ia malah menemukan pemandangan menarik di depannya.

Davide baru menyadari bahwa kini ia hanya duduk berdua saja, berhadap-hadapan pula dengan Samanta. Davide melihat Samanta masih asik membaca buku dan ia melihat penampilan Samanta sedikit berbeda. Davide teringat bahwa sebelum ia tidur, Samanta masih mengenakan jaket sporty Cosenza warna merah dengan logo klub di sebelah dada kiri yang berbahan tebal. Dan Samanta yang ia lihat sekarang hanya mengenakan tanktop longgar berwarna hitam, jeans belel yang sobek-sobek di bagian paha dan bertelanjang kaki.

Ternyata dibalik jaket tebal yang ia kenakan tadi, Samanta mempunyai tubuh dan lekuk tubuh yang aduhai. Daerah dada Samanta sebagian tertutup oleh buku dan menghalangi wajahnya sehingga membuat Davide bisa mengamati tubuh yang seksi di depan matanya. Davide yang sedang asik melihat tubuh aduhai Samanta tersentak kaget ketika tiba-tiba Samanta menutup buku dan menaruhnya di samping.

“Udah bangun?”Tanya Samanta sambil tersenyum dan melepaskan kuncir rambutnya sehingga kini rambutnya yang kecoklatan tergerai bebas.

“I..i…ya.” jawab Davide terbata-bata.

“Eh kita belum sempat ngobrol banyak lho. Kamu udah gak ngantuk lagi kan? Kita ngobrol aja yuk. Aku udah bosan baca buku.”

“Em. Ayo. Aku juga uda ga merasa ngantuk.”

“Davide, katanya kamu baru sebulan ini ikut tinggal di rumah Emilio ya. Kamu aslinya dari mana sih?”

“Saya dari Prato kak, saat lulus SMP, orang tua mengirim saya sekolah SMA disini sekalian nanti rencananya mau kuliah di Universita Della Calabria.”

“Wah kamu baru lulus SMP ya? Aku kira uda kelas 2 atau 3 SMA karena badanmu besar, bahkan hampir sama besarnya dengan Emilio yang sudah kuliah. Eh jangan panggil kak, panggil Sam saja, oke?”

“Hehehe keluarga kami memang punya garis keturunan berbadan besar dan bongsor kak, eh Sam.”

“Iya, aku sudah tahu kamu punya keturunan…besar, hihihi,” katanya sambil melirik bagian celanaku yang ternyata semakin menonjol dari balik celana panjang trainingku, wah gawat aku lupa pakai celana dalam, gara-gara kebiasaan kalau tidur malam aku selalu tidak memakai celana dalam lagi. Aku pun reflek membenarkan posisi celana dengan sedikit rikuh, sementara Sam malah semakin tertawa kecil.

“Hahaha, udah biasa aja, aku tahu kok bahwa setiap pagi, itunya laki-laki pasti tegang. Santai saja. Eh kamu tadi bilang ingin melanjutkan kuliah di Univesita Della Calabria, kamu mau ambil jurusan apa?”

“Aku ingin masuk ke jurusan seni, terutama seni sculpture. “

“Wah kerennn, kamu sudah jalan-jalan ke Corzo Mazzini belum,?”

“Udah dong, sering banget malah. Hampir setiap selesai pulang sekolah, aku pasti mampir dulu disana, bisa berjam-jam aku mengagumi keindahan musem terbuka disitu, mengamati betapa luar biasanya karya-karya patung dari Salvador Dali, Mimmo Rotella dan masih banyak lagi. Kalau melihat karya mereka dari dekat rasanya membuat perasaan jadi tenang. Dan aku bertekad ingin membuat karya seni seperti mereka dan semoga suatu hari nanti salah satu karyaku bisa menghiasi salah satu sudut jalan di Corzo Mazzini.” Kataku penuh semangat.

Corzo Mazzini adalah salah satu nama ruas jalan di pusat kota Cosenza dimana ruas jalan sepanjang 5 kilometer banyak terdapat berbagai macam karya seni seperti patung dan ukiran koleksi pribadi dari kolektor benda seni ternama Carlo Bilotti yang kemudian didonasikan secara gratis kepada kota Cosenza. Dan menjadi museum outdoor pertama di Italia yang sering juga disebut dengan “Museo All’aperto Bilotti” menjadi salah satu icon terkenal di kota Cosenza.

OCRZO MAZZINI - COSENZA
“Entah kamu sadari atau tidak dan apakah sudah ada orang lain yang mengatakannya, tetapi ketika kamu berbicara tentang seni, matamu berubah jadi lebih bersinar-sinar loh dan kamu jadi terlihat keren,” kata Sam sambil menatapku dan menopang dagunya dengan kedua lengannya yang berada di atas lutut, posisi ini membuat tubuh Sam menjadi condong ke depan dan jadi dekat denganku.

Secercah cahaya pagi yang menembus dari sela-sela korden kaca jendela yang hanya tertutup sebagian, menimpa wajah Sam membuat perpaduan cahaya dan bayangan menjadi terlihat sempurna. Kedua bola matanya yang kecoklatan senada dengan warna rambutnya, hidungnya yang agak besar tetapi Tuhan menempelkannya dengan begitu sempurna di wajahnya yang lonjong, bibirnya yang alami tanpa polesan lipstick membentuk seulas senyum yang tersirat samar dan Sam juga memiliki bentuk dagu yang membulat. Itu adalah wajah terindah dan tercantik yang pernah aku lihat langsung. Sebuah mahakarya seni dari Tuhan yang sungguh elok.

Sam yang sadar bahwa aku menatapnya lekat-lekat, kemudian malah tertawa.

“Hei David, kok malah menatapku aneh gitu sih? Ada yang salah dengan wajahku ya?” kata Sam lalu kembali duduk bersandar di kursi.

“Engga..enga kok… Sejauh ingatanku baru kamu yang mengatakan hal semanis itu kepadaku,” kata-kata itu terucap dari mulutku begitu saja. Aku langsung salah tingkah.

“Hehehehe iya dong, aku aja manis jadi pasti ucapanku lebih manis lagi.hiihi. Semangat ya Davide, jangan menyerah wujudkan mimpimu. Semoga suatu hari nanti aku bisa berpose di samping patung buatanmu yang terpajang di Corzo Mazzini.” Kata Sam sambil membuat tanda V dengan tangan kanannya.

Aku senang sekali mendengarnya, oh Sam.

“Sam sendiri sibuk apa selain mengurusi masalah keuangan di Ultras Cosenza?”

“Aku kuliah di jurusan Ekonomi Universita Della Calabria semester 7.”

“Wuih uda tua juga ya hahha,” dalam hati aku menebak-nebak umur Sam dan kalau dia mahasiswi semester 7 berarti umur Sam sekitar 22 tahun, beda 6 tahun denganku.

“Enak aja bilang aku tua, huh.” Katanya sambil cemberut dan menyilangkan kedua lengannya di bawah dadanya.

“hahha aku cuma bercanda. Lha aktivitas kakak di Ultras tidak mengganggu kuliah? Semester 7 bukannya sudah harus mulai mengerjakan skripsi.?”

“Gak ganggu kok, kalau udah semester 7 sih jadwal kuliah langsung udah sedikit. Dalam 1 hari paling cuma ada 1 mata kuliah dan itupun sudah tidak setiap hari aku ke kampus. Masalah skripsi sih tetap jalan, lagi mikir tentang proposal skripsi tetapi natnti saja setelah Natal dan Tahun Baru saja, hehehe. Justru ikut sibuk di Ultras dan ramai-ramai menonton dan mendukung Cosenza langsung di stadion jadi hiburan yang menyenangkan.”

“Ya ampun, Natal dan tahun baru masih lamaaaa 3 bulan lagi.”kataku sambil menepuk jidat.

“Hahaha, santai saja. Eh uda dibilang ga usah manggil kakak dan satu lagi, udah ah tidak usah bahas masalah kuliah lagi. Kamu sudah punya pacar belum di sekolahan?”

“Belum, belum kepikiran.”

“Ih gaya sok belum kepikiran. Teman-temanmu di sekolah tidak ada yang cantik ya ?haha.”

“Gak juga, banyak kok yang cantik-cantik. Tapi ya gitulah ribet kalau pacaran sama yang seumuran, pasti sama-sama egois, maunya ditemenin terus kemana-mana, kalau lagi pergi sama teman pasti dikit-dikit di telfon ditanyain jalan sama siapa aja, tiap malam harus telpon-telponan sebelum tidur, ribet deh pokoknya.”

“Wahahahaha jadi curhat nih yee. Itu wajar kali David, masih remaja masih senang-senangnya main kesana-kemari sama pacarnya, dimanja, ditemenin, diperhatiin bahkan dicemburuin.”

“Nah itu dia masalahnya, aku bukan tipe cowok yang seperti itu. Aku itu orangnya cuek, kurang begitu nyaman dengan lingkungan yang terlalu ramai. Ketika teman-teman seusiaku lebih suka pergi ke mall, nonton konser musik, nongkrong di café. Aku lebih suka pergi sendirian ke museum, galeri seni, melihat album-album seni, pergi ke toko-toko yang menjual barang antik, membaca buku.

Intinya semua kegiatan yang lebih nyaman kalau dilakukan sendirian. Aku cenderung introvert karena aku terlahir sebagai anak tunggal jadi kalau dirumah aku sudah terbiasa sendirian ketika orang tuaku belum pulang dari kantor dan ketika aku jatuh cinta dengan seni, aku melihat seni sebagai karya pribadi. Seniman adalah orang yang betah berjam-jam menghabiskan waktunya di studio.

Dalam diam dan sunyi mereka menciptakan hasil karya seni yang justru terlihat ramai, mereka seperti memasukkan unsur jiwa mereka ke dalam hasil karyanya sehingga mereka bisa menyampaikan perasaan dan emosi mereka kepada siapa saja yang mampu merasakannya.Itulah kenapa aku bisa berjam-jam berada di Corzo Mazzini, karena dalam diam aku seakan bisa berbicara secara imajiner dengan para pembuatnya melalui karya-karya mereka.”

“Davide, kamu terlihat dewasa sekali loh. Di saat semua remaja seusiamu kalau kata orang masih sibuk mencari jati diri dan membentuk karakter, kamu sudah tahu apa yang menjadi passion dalam hidupmu dan karaktermu sudah terbentuk. Aku salut sama kamu. Oia kata Emilio, ini pengalaman pertamamu ikut away tour ya? Kamu menyukai sepakbola juga?”

“Pada awalnya aku kurang menyukai sepakbola karena terlalu gaduh dan ramai. Baru ketika tinggal disini, Emilio yang mengenalkan kepadaku betapa asyiknya permainan sepakbola dan mendukung langsung sebuah tim di stadion. Pada suatu hari Emilio mengajakku untuk ikut dengannya hadir di sebuah acara di Bar dekat Corzo. Pada awalnya aku tidak mau ikut, karena aku sedang asyik membuat sketsa. Eh tiba-tiba dia menurunkan tegangan listrik di rumah sehingga seluruh listrik dan lampu mati, aku yang pada saat itu sendirian dirumah karena om dan tante sedang pergi, tidak tahu dimana saklar listriknya, ya mau tak mau aku ikut dengan Emilio dengan perasaan kesal.”

“Hahaha, iseng banget sih Emilio,kata Sam tertawa terbahak-bahak.

“Hehe emang Emilio tuh iseng banget, dia juga anak tunggal sepertiku jadi ketika aku pindah ke rumahnya dia senang karena seperti  mempunyai adik baru yang bisa dijadikan sasaran keisengannya. Malam itu dia mengajakku datang ke bar, dan ternyata ada semacam ada acara diskusi internal Ultras Cosenza. Aku ingat malam itu ada seorang pemuda bernama Talip kalau tidak salah, yang menceritakan kisah hidupnya menjadi seorang imigran dari Kurdistan yang terusir dari tanah kelahirannya dan terpaksa terpisah dengan ibu dan adiknya.

Kisah Talip yang waktu itu duduk ditemani oleh Sasa sangat menyentuh sekali, dan ketika Sasa dengan penampilannya yang terlihat biasa saja, mampu menyampaikan dan membawakan acara diskusi dengan begitu cerdas, membuat segala pendapatku tentang Ultras yang selama ini hanya menjadi sumber keonaran dan tidak lebih dari sekumpulan orang yang menyukai sepakbola, salah besar. Sasa membuat mataku terbuka bahwa melalui sepakbola dan menjadi Ultras, itu adalah salah satu jalan hidup. Betapa kekuatan kolektif yang mempunyai satu tujuan yang sama bisa menjadi sumber kekuatan bagi orang lain.

Jika para seniman berbicara melalui karyanya maka para Ultras berbicara melalui sikap dan ideologisnya bisa menjadi sumber kekuatan bukan hanya bagi para pemain yang berlaga di atas lapangan hijau tetapi juga menggerakkan hati siapa saja yang bisa menangkap pesan mereka. Untuk pertama kalinya aku datang ke stadion sepakbola untuk menyaksikan pertandingan langsung adalah ketika kita menjamu Parma. Emilio yang mengajakku berdiri sepanjang pertandingan di Curva Nord, dan aku untuk pertama kalinya aku merasakan adrenalinku terpompa, kami terus bernyanyi, melompat dan berdiri sepanjang pertandingan memberikan dukungan.

Puncaknya ketika kita bisa mencetak gol dan aku merasakan seisi stadion seperti meledak, flare merah menyala-nyala, segala luapan emosi, adrenalin terakumulasi menjadi satu, semua orang saling berpelukan merayakan puncak seni sepakbola yakni saat gol tercipta. Itu adalah salah satu momem terbaik dalam hidupku. Siapa sangka menyaksikan sepakbola bisa begitu menyenangkan. Dan ketika Emilio mengajakku ikut away tour ke Turin, aku dengan antusias setuju untuk ikut. Meskipun aku tidak menyangka, kita bakal berangkat sepagi ini, kata Davide panjang-lebar. Ia selalu menyukai pembicaraan tentang sepakbola dan seni, karena keduanya sama-sama menyimpan keindahan.

Ketika aku berbicara, Sam terus menatapku dengan tatapan yang membuatku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Aku pada awalnya gugup salah tingkah karena ia terus menatapku, ketika aku balas menatapnya aku pasti segera memalingkan muka atau menunduk. Dan Sam sepertinya bisa menangkap kegugupanku. Saat ia tersenyum tipis sambil menopang dagunya dengan tangan kanan yang ia senderkan dekat dengan jendela, aku seperti terhipnotis dan pandanganku terkunci kepada kedua bola matanya. Selama beberapa menit kami saling diam dan saling memandang.

“Davide… Apa yang kamu sampaikan tadi, itu sama persis dengan apa yang aku rasakan ketika pertama kalinya menonton sepakbola langsung di sudut Curva stadion. Sebelumnya aku sering menonton sepakbola langsung di stadion tetapi biasanya duduk di tribun VIP, tetapi ketika merasakan pengalaman menonton langsung dari Curva Nord, itu sebuah hal yang benar-benar baru dan gila banget. Jika aku masih bingung sensasi apa yang aku alami, kamu bisa dengan sangat detail menceritakannya dan aku merinding mengdengarnya.”

Kami berdua sama-sama saling tersenyum.

“Oh iya, Davide kamu tadi sempat cerita bahwa kamu sedang membuat sketsa. Jadi kamu juga pinter menggambar dong? “ Tanya Sam yang kembali merubah posisinya kembali menyandarkan punggungnya di kursi.

“Iya bisa, cuma ga pinter-pinter banget. Biasanya sketsa patung sih, masih dalam bentuk kasar. Kenapa memangnya?”

“Buatin sketsa ku dong.”

“Maksudnya ?” Tanyaku kurang mengerti dengan perkataannya.

“Maksudku aku jadi model dan kamu buat sketsa diriku. Gitu. Mau yaaa. Aku pengen kamu gambar.”

“Waduh, aku belum pernah menggambar sketsa langsung model nih.”

“Makanya kamu coba. Yay a. Sekarang saja mumpung kita gak kemana-mana juga, bosan di kereta mulu. Dan lagipula….mumpung saat ini kita cuma berdua saja,”katanya setengah berbisik di akhir kalimat.

Aku yang pada akhirnya tidak bisa menolak akhirnya mengiyakan dan Sam tampak terlihat senang. Aku kemudian berdiri dan meraih tas yang aku taruh di kabin atas, kubuka bagian samping tas dan segera kuambil buku kosong dan pensil yang selalu aku bawa kemana-mana.

“Jadi aku mesti posisi yang gimana nih. Apakah aku mesti begini? begini? atau begini?” kata Sam sambil membuat beberapa pose.

“Aku..aku.. gak tahu. Kan aku belum pernah membuat sketsa orang langsung.”

“Yee, atau kamu mau aku bergaya begini,”katanya dengan nada centil.
Aku tergagap karena Sam berpose nampak sedang meremas kedua buah payudaranya dari luar sambil membuka sedikit mulutnya. Tak sampai satu menit, ia tertawa dan kemudian berkata.

“Pegal teryata bergaya nakal, hehe. Jadi aku mesti pose gimana nih.”

“Terserah deh, pose apa saja yang penting kamu nyaman duduknya. Lagian ini kan cuma buat sketsa yang masih kasar, bukan melukis dengan model langsung yang bisa berjam-jam.”

“Hehehe, yaudah gini aja ya.” Kata Sam lalu berpose menyilangkan kaki kiri di atas kaki kanannya dan ia menopang wajah sebelah kanan dengan tangan kanan yang ia senderkan di kusen jendela kereta. Dan ia melayangkan pandangan ke luar jendela, melihat segala sesuatu yang ia lihat berjalan mundur dengan cepat.

Davide segera menggoreskan pensilnya di buku sketsa yang selalu ia bawa kemanapun. Dengan perlahan, ia memulai dengan mengambar terlebih dahulu bagian wajah. Davide ingin menggambar wajah cantik Sam sedetil dan semirip mungkin, setelah merasa puas dengan bagian wajah, dengan goresan tegas dan tipis ia mulai menggambar badan Sam.

Setelah kurang lebih 15 menit, Davide selesai membuat sketsa tetapi ia sengaja berpura-pura menggoreskan pensilnya. Karena Davide  masih ingin berlama-lama menatap wajah dan tubuh Sam yang terpahat dengan sempurna. Tetapi lama-kelamaan Davide tidak tahan juga terus memandang Sam dan ia memutuskan menyudahinya.

“Udah selesai nih. Jangan diejek lho ya kalau jelek hasilnya, maklum belum pernah menggambar sketsa model.”kataku lalu mnyerahkan hasil sketsa kepada Sam.

“Wahh  bagussss bangett, mirip loh, ternyata aku cantik juga ya kalau digambar. 

***

Stadio Delle Alpi, Turin - Settembre 25, 2000, 4 : 50 PM

DELLE ALPI STADIUM - TURIN
“Wah dari luar aja keliatan besar banget dan bagus banget ya apalagi di dalamnya.” Kata Davide kepada Emilio, sesaat setelah rombongan Ultras Cosenza sampai di pelataran parkir Stadio Delle Alpi. Kulihat Stadio Delle Alpi kini berdiri gagah di depanku, dengan tiang-tiang penyangganya berdiri mengelilingi seluruh stadion. Dan ada 2 tiang besar yang ujungnya saling bertemu dan membentuk huruf V tetapi terbalik berada di bagian depan. Ini adalah stadion sepakbola yang paling besar yang pernah aku datangi.

“Emang gede banget kok ni stadion. Kapasitasnya saja bisa menampung 69.000 penonton. Atau hampir 3 kali lipat kapasitas Stadio San Vito. Stadio Delle Alpi sebenarnya dibangun sebagai salah satu stadion yang menggelar pertandingan Piala Dunia Italia tahun 1990. Nanti ketika kita berada di dalam stadion, kamu akan melihat lintasan atletik yang lebar mengelilingi lapangan hijau. Selain untuk menggelar pertandingan sepakbola, stadion ini juga bisa dipakai untuk menggelar lomba atletik. Jadi selain Torino, stadion ini juga dipakai berbarengan dengan rival abadi mereka yakni Juventus.

“Waow, tapi apa ya selalu penuh ya di dalam stadion ketika Torino atau Juventus bermain disini? ”

“Tidak, justru kedua klub merasa Stadio Delle Alpi terlalu besar, dan jarak pandang dari tribun ke lapangan yang terlalu jauh karena selain adanya track lari juga ada space tambahan yang pada awalnya digunakan untuk warm-up para atlet. Selain itu Juventus maupun Torino merasa charge biaya sewa yang dibebankan oleh otoritas pemerintah Turin sebagai pemilik Stadio Delle Alpi terlalu mahal dan tidak sebanding dengan pemasukan tiket yang mereka peroleh saat menggelar pertandingan kandang.

Juventus sebagai klub top yang rutin menggelar pertandingan Serie-A dan pertandingan Liga Champion pun tercatat rata-rata penonton setiap pertandingan kandang hanya sekitar 25.000 penonton. Sementara Torino yang musim kemarin bermain di Serie-A ternyata mempunyai rataan jumlah penonton lebih banyak dari pada Juventus yakni 28.000 penonton. Tapi karena di musim lalu mereka  terdegradasi ke Serie-B mungkin penonton hari ini tidak akan sebanyak musim lalu.”

Sambil melihat-lihat suasana sekitar, Davide dan Emilio yang berjalan dibelakang rombongan 250 Ultras Cosenza, melanjutkan obrolan kembali.

“Dan gosipnya, Juventus berencana ingin membeli hak milik stadion ini dari tangan pemerintah kota Turin, entah mereka akan merenovasi atau justru dakan membangun ulang stadion yang benar-benar baru, jika ini terjadi maka nanti Juventus akan menjadi klub pertama di Italia yang memiliki stadion sendiri. Sementara Torino, sebenarnya memiliki homebase sendiri yakni Stadio Comunale.”

Aku mengakui bahwa wawasan saudara sepupuku ini  dalam hal sepakbola sangat luas sekali. Aku bisa belajar banyak darinya.

“Kalau melihat wajah santai dari para Ghetto Boys, nampaknya hubungan Ultras Cosenza dengan Ultras Torino terjalin cukup baik ya?”. Tanyaku kepada Emilio.

“Tajam juga pengamatan kamu. Iya hubungan kita dengan Ultras Torino cukup baik, meskipun terakhir kali kita datang kesini sekitar 2 tahun lalu saat Torino masih di Serie-B. Jadi away tour hari ini saya yakin akan berjalan lancar dan semoga saja kita juga meraih kemenangan. Saya salut dengan cara Sasa memupuk persahabatan dengan  para Ultras lain. Terutama mereka yang memiliki ideologis pro sayap kiri seperti kita.

Torino, Atalanta, Fiorentina, Crotone, Venezia, Casertana, Ancona, Ternana adalah klub yang aman dan nyaman kita datangi karena faktor hubungan yang baik. Tempat panas dan berbahaya yang harus hati-hati dan rawan kita datangi adalah Lecce, Taranto, Bari, Salernitana, Verona, Pescara, Brescia dan tentu saja 2 rival terbesar kita dalam Derbi Calabria yakni Catanzaro dan Reggina. Di musim ini kita akan bertemu dengan Catanzaro merda, Salernitana dan Pescara karena mereka berada di Serie-B sama dengan kita.”

“Ah gak sabar aku ingin ikut away tour ke Catanzaro, Salerno dan Pescara. Ingin merasakan atmoster panas,”kata Davide bersemangat.

“Aku tidak akan mengajakmu ketika nanti kita away tour ke Salerno dan Pescara. 90 % pasti akan pecah kerusuhan antar supporter. Untuk Catanzaro jelas aku tidak bisa melarang karena mereka berbatasan langsung dengan mereka. Tetapi justru merekalah yang paling berbahaya. Jadi aku harap kamu tidak bertindak cukup bodoh pergi sendirian ke Catanzaro mengenakan jersey Cosenza.”

Davide yang sedang berjalan santai, tiba-tiba berhenti karena Emilio tidak akan mengijinkannya ikut ke Salerno dan Pescara.

“Hei, aku bukan anak kecil lagi, Jadi kamu tidak boleh melarangku untuk ikut ke Salerno dan Pescara nanti. Aku bisa melindungi diriku sendiri. Lagian jika memang away tour kesana berbahaya kenapa kamu dan anggota lainnya tetap datang kesana? ”

“Itu karena….ah kita lihat nanti saja lah. Ayo kita ketinggalan, tuh semua orang sudah bersiap masuk ke dalam Stadio Delle Alpi.” Kata Emilio sambil mempercepat langkahnya.

Setelah kami di depan Gate F yang diperuntukkan untuk supporter tim tamu, satu persatu satu kami mengantri dengan teratur. Aku melihat ada beberapa polisi yang berjaga di sekitar gate F, tetapi suasana yang kondusif membuat mereka terlihat santai. Di luar, aku melihat Sasa, Dino, Martin dan Verdi sedang mengobrol akrab dengan beberapa orang yang memakai jaket dan syal Torino. Nampaknya kedatangan kami disambut langsung oleh para pemimpin Ultras Cosenza. Sembari mengantri aku sayup-sayup mendengar suara dari dalam stadion yang nampaknya sudah ramai dan riuh. Setelah aku melewati pengecekan badan oleh petugas, aku sudah berada di dalam. Aku lantas mengikuti Emilio dan rombongan Ultras Cosenza lainnya naik tangga.

Saat aku keluar dari tunnel yang tembus ke Tribun F di lantai atas, aku terkesima. Aku terkesima oleh 2 hal. Satu, Stadio Delle Alpi besar banget. Kedua, meskipun tidak terisi penuh tetapi 1/3 Stadio Delle Alpi sudah berwarna merah marun, warna  khas Torini, terisi oleh Ultras Torino atau sekitar 20.000 pendukung tuan rumah. Tribun yang kami tempati berada di sisi laselatan stadion. Kami hanya terpisah sekitar 50 meter dari Tribun tengah yang berisi Ultras Torino.


Lalu aku melihat di Curva Nord Stadio Delle Alpi berdasarkan cerita dari Emilio, ditempati oleh Ultras Torino dengan jumlah anggota terbanyak yakni Fedelissimi Granata. Baik tribun di atas maupun dibawahnya terisi penuh.

FEDELISMI GRANATA
 Sementara di Curva Sud Stadio Delle Alpi, aku melihat sebuah gulungan banner berwarna merah marun yang panjang membentang muncul dari tribun atas lalu direntangkan hingga memenuhi ribuan fans di tribun bawah bertuliskan. Gulungan tersebut setelah dibentangkan ternyata membentuk replika jersey tim Torino bertuliskan Maratona lengkap dengan nomer punggung 12 berukuran raksasa. Mereka adalah Curva Maratona. Aku terpana melihatnya, angka 12 seringkali diperuntukkan untuk para fans sepakbola karena mereka menjadi pemain no 12 yang akan selalu memberikan dukungan dan semangat kepada tim pujaannya.
CURVA MARATONA
 Tidak jauh dari Curva Maratona, aku juga melihat hal serupa. Granata Corps yang mengisi tribun atasnya saja, menjulurkan giant banner dengan bentuk yang lebih mengerikan yakni tengkorak yang tengah menyeringai, seolah untuk menakuti supporter lawan yang berani datang ke Stadio Delle Alpi. Menurut Emilio, Granata Corps adalah grup garis keras pendukung Torino yang seringkali terlibat bentrok dengan polisi maupun supporter tim lawan jika terjadi kerusuhan. Jadi boleh dibilang mereka memiliki aliran anarkis yang sama dengan Ghetto Boys.

GRANATA CORPS
Setelah aku dapat posisi yang enak untuk melihat ke dalam lapangan yang memang terlihat jauh, tetapi masih dapat terlihat, meskipun akan susah buat kami mengenali para pemain saat mereka bertanding nanti. Tapi bukan masalah, aku justru lebih tertarik dengan atmoster di dalam stadion. Suara sayup-sayup yang tadi terdengar ketika aku masih mengantri di luar, sekarang terdengar jelas. Sangat jelas karena berasal dari yel-yel dengan iringan tepuk tangan yang dilakukan secara kompak dan penuh semangat oleh 20.000 Ultras Torino.

GLI ULTRA DEL TORINO (TORINO ULTRAS) !!

QUANDO IN CIELO LE BANDIERE SI ALZERANNO (WHEN IN THE SKY THE FLAGS WILL RISE) !!

E I TAMBURI A RULLARE TORNERANNO (AND THE ROLL OF THE DRUMS WILL BE BACK) !!

UN SOLO GRIDO ALLORA SI ALZERA (A SINGLE SHOUT WILL RISE) !!

TORO VINCI PER NOI DEGLI ULTRA (TORO WIN FOR US THE ULTRAS) !!

Bulu kudukkku merinding mendengarnya, ini sungguh luar biasa. Aku beruntung ikut datang kesini, aku menoleh ke belakang, dan kulihat-lihat akhirnya aku melihat Sam sedang berbicara dengan seorang wanita yang aku lihat sebelumnya bersamanya tadi ketika mengantri masuk ke dalam stadion. Aku lihat beberapa orang sedang sibuk mengeluarkan banner dan gulungan bendera dari dalam tas besar yang kami bawa dari Cosenza. Segala macam bendera dari Ghetto Boys, Ultras Cosenza, NS Cosenza Vecchi dan masih banyak lagi dengan bangga kami kibarkan, sementara banner bertuliskan ULTRAS COSENZA dipasang di pagar tribun.

Kami tidak mau kalah semangat dari Ultras Torino meskipun kami hanya 250 orang yang datang, tetapi itu lebih dari cukup untuk mendukung langsung tim kebanggaan kami berlaga hari ini.Lalu aku melihat seseorang mengenakan jaket hitam berhoodie lengkap dengan masker model balaclava yang menutupi seluruh kepalanya kecuali bagian mata, dengan nekatnya berberdiri di ujung pagar tribun lalu memanjat pembatas pagar luar dan menaikinya. Gila, aku melongok ke tribun di bawah kami yang kosong bawah dan  ada sekitar kurang lebih 10 meter. Kalau sampai dia jatuh, aku yakin minimal kakinya pasti patah.


Tetapi aku salut dengan keberaniannya. Jika dilihat dari model atributnya, aku yakin dia salah satu anggota Ghetto Boys. Setelah ia mendapat posisi yang untuk mengaitkan kakinya di pagar, dari kantongnya ia mengeluarkan sebatang flare dan korek. Setelah flare yang mengeluarkan asap kemerahan tersebut menyala, dengan hanya berpegangan pagar dengan satu tangan kiri, ia mengacungkan flare yang berada di tangan kanannya dan mengacungkannya tinggi. Ini bukan flare biasa, karena ini adalah tanda bahwa saatnya kami Ultras Cosenza untuk mulai bernyanyi dan berteriak sekencang-kencangnya.

SI,LA CURVA È TUTTA QUI  (YES, THE WHOLE CURVE IS HERE) !!

E NOI CANTIAMO (AND WE SING) !!

E NOI TIFARE (AND WE CHEERS ON) !!

PERCHÈ NOI NON CI ARRENDIAMO (BECAUSE WE WILL NOT GIVE UP) !!

FINO A QUANDO NON VINCIAMO  (UNTIL WE WIN) !!

LA PROMOZIONE IN SERIE-A (PROMOTION TO SERIE-A) !!

CON LE BANDIERE (WITH FLAG) !!

CON GLI STRISCIONI (WITH BANNER) !!

PERCHÈ È COSÌ CHE SALUTIAMO I CAMPIONI (BECAUSE THAT'S HOW WE SALUTE TO THE CHAMPIONS) !!

FORZA COSENZA,VINCI PER NOI,OH OH (COSENZA FORCE, WIN FOR US, OH OH) !!

***

Calcionews.com/Serie-B/Stagione-3/2000-09-25/Torino-Cosenza/Match-Report

COSENZA SUKSES MEMPERMALUKAN TORINO DI DEPAN PARA PENDUKUNGNYA SENDIRI DI STADIO DELLE ALPI DENGAN SKOR TIPIS 0-1.


Cosenza kian memantapkan start positifnya di pekan ketiga Serie B Italia setelah mengatasi tim tuan rumah Torino dengan skor tipis, 1-0, di Stadio Delle Alpi, dalam cuaca yang cukup hangat pada hari Minggu sore (09/25). Hasil maksimal ini membuat IL Lupi kini berada di peringkat 5 dengan koleksi 7 poin. Ada pun Torino semakin terpuruk di peringkat 19 karena hanya mampu  memperoleh 1 poin dalam 3 pertandingan.

Babak pertama
Torino tak berbasa-basi saat melakukan serangan di awal-awal laga. Pada menit ketujuh, Pinga beraksi. Akan tetapi tembakannya masih bisa diblok bek Cosenza. sejurus kemudian, kembali dia melepas tembakan. Sayang, kali ini melebar. Cosenza berusaha keluar dari tekanan tim tuan rumah yang bernafsu mencetak gol secepat mungkin, di menit ke-13 berhasil mendapat kesempatan baik untuk mencuri gol. Setelah terjadi kemelut di mulut gawang Torino, bola bergulir ke kaki De Francesco yang langsung menyambarnya. Sayang, bola melintas di atas mistar Torino yang dijaga oleh Luca Bucci.

Kans kembali menghampiri Il Toro beberapa saat kemudian setelah Pinga mampu memberikan umpan terobosan kepada Ferrante. Sang striker lalu meneruskannya dengan sepakan yang masih bisa diredam Vangioni, kiper Cosenza yang kali ini menjadi pilihan utama Bartolo Mutti. Ferrante bisa saja menamakan diri papan skor pada menit ke-32 andai dewi fortuna menaunginya. Sayang, dentumannya dari luar kotak penalti hanya mengenai tiang gawang. Hingga babak pertama usai, skor masih imbang 0-0.

Babak kedua
Cosenza yang sejak babak pertama terus ditekan, merubah strategi dengan memasukkan 1 pemain tengah menggantikan salah satu striker Cosenza De Francesco, sehingga kini mereka bermain dengan formasi 3-6-1 untuk memperkuat lini tengah mereka. Stategi yang cukup sukses karena membuat jalannya pertandingan menjadi lebih alot  Peluang nyata baru nampak saat laga berjalan 72 menit. Pinga menerima umpan dari tendangan penjuru yang di ambil Baronio, bola yang mengarah kepadanya disambut dengan sepakan salto. Namun, atraksinya itu tidak mengenai bola.

Lima menit berikutnya, Baronio sendiri yang menjajal peruntungannya dari luar kotak penalti dengan sepakan kencangnya. Akan tetapi, laju bola masih enggan mengarah ke target. Demikian juga bomber andalan Cosenza, Varrichio yang melakukan usaha yang sama persis dengan Baronio. Kiper Luca Bucci masih sigap dalam membaca arah si kulit bulat.

2 menit sebelum pertandingan memasuki menit 90, Massimo Varrichio sukses membuat supporter tim tuan rumah terdiam. Umpan silang terukur Imbriani, winger lincahyang masuk di pertengahan babak kedua sukses dikonversi dengan sempurna oleh sang striker. Varrichio merayakan gol tersebut dengan berlari ke arah tribun penonton yang berisi ratusan supporter Cosenza yang rela menempuh perjalanan jauh untuk memberikan dukungan langsung kepada Cosenza. Torino yang seakan tidak percaya mereka kebobolan lewat tembakan on target kedua Cosenza sepanjang pertandingan. 

Di masa tambahan waktu, Torino memasukkan 2 striker sekaligus untuk menambah gempuran serangan bertubi-tubi di pertahanan Cosenza.  Serangan frontal yang membuat para suporter Cosenza menahan nafas. Pertama, sepakan Ferrante menghasilkan bola rebound dan disambar Sigliardi, tapi bisa digagalkan Vangioni. Lalu, Pinga kembali membuat tendangan akrobatik dan kali ini bola mengenai sepakannya, namun kembali kiper Cosenza itu jatuh bangun menyelamatkan gawangnya.

Sampai wasit meniup peluit panjang, dengan susah payah Cosenza sukses mempertahankan kedudukan 1-0.

***

La Giorno Bar, Turin - Settembre 25, 2000, 9:48 PM

“Sebelum kita mulai berbicara bisnis, saya ucapkan selamat atas kemenangan tim kalian. Cheers.” Kata Hasan Sadiku sambil mengangkat segelas bir yang kemudian juga diikuti oleh 3 anak buahnya Arben, Erjon dan Besnik.

ALBANIAN GROUPS
“Ah terimakasih. Cheers.” Jawab Verdi sambil mengangkat botol birnya. Brady dan Ivan hanya mengangguk karena pesanan sebotol bir mereka belum datang.

“Karena aku tahu kamu tidak bisa berlama-lama disini, maka sebaiknya langsung kita mulai saja. Oh iy menurutku kita tidak usah memakai bahasa sandi karena berdasarkan laporan Arben tempat ini aman, kita duduk di tempat yang cukup tertutup dan 6 meja di sekitar kita sudah di isi oleh orang-orangku jadi kita bisa mengobrol dengan santai.”

“Wah aku senang kamu berpikir cukup panjang dan sangat berhati-hati. Okelah mari kita mulai bisnis kita. 1 kilo RM dalam bentuk bubuk murni harganya 36 ribu Euro. Kalau kalian ingin dalam bentuk pil dimana 1 pil beratnya 1 gram maka per kilo harganya 40 ribu Euro. Dan minimal ordernya 25 kilo atau 250 butir pil RM siap konsumsi. Barang bisa kalian ambil sendiri nanti di Calabria dan resiko kalian tanggung sendiri. Tetapi jika kalian tidak mau repot-repot ambil sendiri, kami bisa membantu kalian. Kami akan mengantar barang pesanan kalian aman sampai di depan pintu rumah kalian. Hanya saja, ongkos kirim tersebut tidak gratis.”

“Hmm..minimal order 25 kilo??tidak bisa 10 kilo? Dan berapa ongkos kirim dari Calabria ke Turin?”

“Hey Sadiku, kami ini penjual dalam partai besar. Resiko antara 10 kilo dengan 25 kilo tentu saja berbeda. Untuk biaya ongkos kirim per kilo 10 ribu Euro. Sebelum kamu bilang ini, tarifnya terlalu mahal. Ongkos kirim ini nantinya saya pakai untuk kurir kepercayaan saya yang sudah pengalaman dan bernyali tinggi menyelundupkan barang. Dan bayaran dia tidaklah murah. Belum lagi biaya itu juga kami pakai untuk proses packing serapi mungkin sehingga susah untuk di deteksi oleh polisi. Satu hal lagi, setiap  kota yang saya lewati dari Calabria ke Turin saya mesti memberikan uang pelicin kepada petugas polisi yang nanti akan memastikan barang yang melintasi kota mereka aman tidak ada gangguan.

Kamu cukup bayar dan semua beres, tidak perlu menanggung resiko apapu, selama barang masih belum kamu terima, maka barang tersebut masih dalam tanggungan kami. Dan tentu saja tuan Gokhan sudah bercerita kepada kalian bahwa reputasi kami selama ini. 100 % tidak pernah ada masalah dalam hal pengiriman.” Kata Verdi santai sambil meneguk bir dingin. Verdi merasa tenggorokannya segar lagi setelah sepanjang pertandingan berteriak-teriak dan bernyanyi.

Sadiku meresapi sejenak perkataan Verdi, lalu meminta waktu sebentar untuk berbicara dengan Besnik, laki-laki kurus berkepala plontos yang kedua kupingnya dipenuhi oleh anting-anting. Verdi mempersilahkan lalu sambil menunggu ia mengobrol dengan Brady dan Ivan.

“Aksimu tadi keren banget. Salut.” Kata Verdi kepada Ivan.

“Hahahaha, kalau tidak begitu kita akan kalah mental melihat 20.000 pendukung tuan rumah dan pada akhirnya suara kita akan tertelan sepenuhnya oleh mereka.” Sahut Ivan sambil menghisap sebatang rokok. Pendukung Cosenza yang tadi dilihat oleh Davide begitu nekat memanjat pagar pembatas lalu menyalakan flare ternyata adalah Ivan, salah satu orang kepercayaan Verdi di Ghetto Boys.

“Eh mana Brady?” Tanya Verdi kepada Ivan.

“Ke toilet kayaknya, tadi dia bilang ingin menelpon seseorang.”

“Hah, paling cewek yang dia hubungi. Tadi dia bilang dapat kenalan cewek cantik di dalam Stadion. Bahkan katanya mereka sempat melakukan quicky di toilet stadion.”

“Hahahahaha, serius?? Kalau Brady bilang cantik, maka gadis itu pasti cantik dan seksi.” Kata Ivan tertawa sambil geleng-geleng.

“Brady memang isi otaknya cuma cewek terus.”

Dan Ivan semakin tertawa terbahak-bahak mendengarnya.

Perhatian Verdi kembali ke bisnis ketika Sadiku memanggilnya.

“Okey. Kami sepakat akan memesan 25 kilo RM dalam bentuk pil. Dan kami ingin barang tersebut dikirim ke Turin. Jadi menurut perhitungannya, total yang harus kami bayar kepada kalian adalah 1,5 juta Euro. Apakah hitungan saya benar? ” papar Sadiku.
Senyum mengembang di wajah Verdi.

“Tepat sekali. Kamu tidak akan mendapatkan produk RM sebagus dengan harga murah.”

“Hahahaha. Terhitung murah jika dibandingkan dengan bisnis kalian yang luar biasa. ”

“Kalian bisa menjual 1 butirnya 20 sampai 25 Euro dan voila modal kalian akan kembali berlipat-lipat. Jadi kita deal?”

Hasan Sadiku yang berperawakan gemuk dan berkepala plontos dengan kacamata yang disangkutkan di atas kepalanya, menyeringai karena yang baru saja disampaikan oleh Brady benar. RM atau Red Molly adalah pil ekstasi kelas premium yang sangat dicari oleh para penggila pesta dan mereka tidak akan keberatan membeli Red Molly dengan harga mahal.

“DEAL.”

Lalu keduanya bersalaman dan menyelesaikan detil pembayaran.

250 ribu butir Red Molly dalam jangka waktu 2 minggu dari sekarang akan masuk ke kota Turin dan Brady akan semakin mengokohkan reputasinya di mata para Capo ‘Ndrangheta Calabria.


“ They’re Loyal Supporters. They’re In The Stands Before We Get There”
-Merle Olberding-

---------------------------------

Bersambung

Next Chapter:

Deep Lying Forward #16 
Form is temporary, class is permanent (Forma e temporanea, classe e permanente)

12 comments for "DLF #15"

  1. #RINDUSEPAKBOLA
    #FORZACOSENZA

    ReplyDelete
  2. Thanks om ephant,,updetnya
    Keren,,keren,,

    ReplyDelete
  3. Weitss...literaturnya berapa banyak om panth...
    Jadi berasa ngeliat liga italia beneran
    Apalagi waktu itu liga italia bener-bener jadi liga terwahid di dunia..
    3-5-2 bener strategi favorit
    Wkwkwk

    ReplyDelete
  4. hehehehe goodjob Om...

    #FORZACOSENZA
    #FORZACOSENZA

    ReplyDelete
  5. mamamia, keren seperti biasa, lanjutkan master, seinget aye, ini masih jauh dari apdet terakhir. have a nice weekend

    ReplyDelete
    Replies
    1. ampe lupa kripiknya, aye rada bingung pas adegan Davide, ada pov 1 dan 3. mungkin ada penjelasan atau perbaikan bila dirasa perlu.

      ngabuburit dimari aje, menn.

      Delete
    2. Ya ya mmg kurang halus perpindahan di pov Davide. Maklum tulisan waktu masih nubi

      Delete
  6. Thanks up nya om panth...yg full ss masih ada file nya ga om?

    ReplyDelete
  7. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  8. Syukur ane masih pernah baca cerita versi full yang hot abis

    Tengkyu om Panth
    Silahkan dilanjut

    Sehat selalu

    ReplyDelete
  9. Keren..keren..keren..
    Tanks apdetnya om panth..

    #FORZA COSENZA

    ReplyDelete

Post a Comment