Featured Post

LPH #84

Episode 84
Giant Killing - Conclusion


 (POV Yandi)


Aku dan Dejan tersenyum bersamaan ketika dua pukulan yang kami lancarkan secara bersamaan tepat menghantam muka.

Sangat keras pukulan dari Dejan. Hingga hidungku gatal namun perih, mata juga sedikit berkunang-kunang. Tapi ini masih bisa aku atasi.

“Ups, baru sekali langsung mimisan,” ejek Dejan saat ia melihat dari salah satu lubang hidungku mengalir darah, akibat pukulannya.

“Kamu juga ikut-ikutan mimisan? Itu luka lama atau luka baru?” aku balik menyindir Dejan saat ia juga mimisan. Namun aliran darahnya sedikit lebih deras hingga ia mesti mengelap darah yang mengucur dari hidungnya dengan punggung tangan. Perban kasa yang melilit tangannya jadi merah karena noda darah. Ia terlihat kesal sekali, hehe.

“Lanjut? Masih ada empat strike lagi nih,” kataku.

Dejan meludah ke lantai. “Lanjutlah ! ini baru awal!”

Kulihat Dejan sedikit merendahkan badan dan mengayunkan pukulan kiri. Aku elak dengan mundur satu langkah ke belakang. Namun sialan, aku menyadari aku kena jebak. Pukulan kirinya adalah jebakan dan pukulan sesungguhnya datang setelah ini! Daya jangkau Dejan panjang sehingga aku yang hanya mundur satu langkah, masih masuk ke dalam areanya. Reflek aku mengeraskan rahang karena tidak sempat menghindar!

DUAGH !!

Pukulan Dejan kali ini lebih keras daripada pukulan pertama, sehingga aku tertatih dan kaki mulai goyah. Dejan benar-benar ingin menyelesaikanku. Ia tidak mau membuang waktu dan mendesakku dengan gaya agresif. Satu pukulan ke arah perut menjadi serangan pembuka untuk satu pukulan yang seringkali menjadi penentu atau mengubah arah duel yakni Uppercut ! Aku sudah menebak sehingga aku menghindar meski dengan susah payah.

SYUUUT!!

Terasa angin kencang menderu melesat tepat di depan muka. Sensasinya seperti martil yang di ayun dari arah bawah. Kalau aku tidak punya respon cekatan, mungkin aku bakal tumbang. Dejan benar-benar kuat, satu dari sekian lawan yang bisa membuatku semakin bersemangat! Ternyata bukan hanya factor amarah saja yang bisa membuat adrenalinku naik! Ada satu factor lain, yakni alam bawah sadar sebagai bajingan yang membuatku tidak mau kalah, malah senang bertemu dengan lawan yang sepadan seperti Dejan. Semangat yang meluap-luap membuatku melancarkan counter cepat berupa pukulan kiri ke arah rusuk kanan Dejan.

DUAGH !

Dejan mengernyit, mungkin terkejut karena aku lolos dari uppercut-nya dan pukulanku barusan melukainya. Dejan terbatuk-batuk.

Dua pukulan bersihku masuk, berarti tiga pukulan lagi untuk menumbangkannya sesuai janjiku. Tetapi pukulanku berikutnya gagal karena tiba-tiba Dejan mendekap badanku. Bukan sekedar dekapan, karena ia mengerahkan sekuat tenaga berusaha untuk menekan, meremasku. Kedua tangannya yang berada di balik punggungku, saling mengait membentuk kuncian.

Baru juga aku hendak memberontak, Dejan menghantamkan keningnya ke arah wajah sehingga aku merasa sangat pusing. Gila, keras banget kepalanya. Membuatku seperti terantuk tembok yang amat sangat keras. Kalau sudah begini, aku sekalian adu keras !

DUAGGH !!

Dahi kami beradu keras sehingga kami sama-sama berdarah tepat di bagian dahi. Rasanya kepala tak karuan tapi kulayani sekali lagi, sekali lagi, sekali lagi adu keras kepala hingga makin lebam dan benjol. Saat aku merasa Dejan dekapannya tidak sekuat sebelumnya, mungkin efek saling benturan kepala, kusibakkan kedua ujung sikut mendobrak kedua sisi lengan Dejan yang melingkari badan, saat dekapan Dejan terlepas, kuhantam ulu hati dan dadanya secara beruntun.

BANG !! BANG !!!

Wajah Dejan memerah sehingga urat di leher dan wajahnya nampak menegang. Pada dasarnya aku cukup piawai beradu pukul dari jarak dekat. Sehingga meski ayunan tanganku tidak bisa maksimal saat memukul karena sempit, cukup dengan memanfaatkan sudut pukulan sekitar 45 derajat, daya ledak yang dua pukulanku barusan pasti, pasti menimbulkan efek yang sudah lebih dari cukup membuat badan Dejan menjerit kesakitan.

Empat pukulan sudah masuk, tinggal satu pukulan pamungkas.

Tetapi Dejan tidak mau menyerah atau kalah dengan mudah, ia mendorongku sehingga aku terhuyung ke belakang. Lalu tiba-tiba Dejan berlari sambil menghantamku dengan lengan kanannya, kali ini aku mengaduh kesakitan karena mengenai mata sehingga membuat penglihatanku berair.

“Sialan,” aku mengumpat saat mengucek mata yang berair dan di saat yang sama aku merasakan bahaya.

DUGH !!

Tendangan ke bagian perut membuatku jatuh terjengkang. Aku mengikuti naluri agar segera berguling ke samping begitu tadi aku jatuh dalam posisi telentang.

BAM !!!

Aku bisa merasakan lantai canvas di dekatku bergetar Karena satu hentakan keras.

“Licin juga lo,” kata Dejan kesal sekali lagi aku lolos.

Ya ampun, Dejan sudah pulih setelah kena dua pukulanku? Beruntung rasa pedas di area mata mulai berkurang, sehingga  serangan Dejan bisa kulihat. Aku menepis setiap pukulan Dejan dan membalas dengan tendangan menyamping namun masih bisa di tangkap. Dejan menyeringai saat ia bisa menangkap pergelangan kaki kiriku.

Gawat.

KREK!!

“Ndladukkk!!” aku reflek berteriak saat pergelangan kakiku di sentak hingga terkilir. Dejan masih belum puas, ia sepertinya ingin mematahkan persedian kakiku. Saat aku coba menariknya, aku dalam posisi kalah tenaga akibat rasa sakit yang menjalar dari pergelangan kaki kiri yang merambat naik. Tapi aku mesti berbuat sesuatu sebelum kakiku patah! Dengan hanya bertumpu kepada satu kaki kanan, aku merendahkan lutut lalu meloncat ! bukan sekedar meloncat karena aku menendang dengan target kepala Dejan.

Dugh !

Tendanganku mengenai Dejan, tetapi hanya menyerempet hidungnya! namun itu ternyata sudah lebih dari cukup membuat kaki kiriku terbebas karena demi menghindari tendanganku, Dejan mengelak mundur dan reflek melepas kaki kiriku yang sebelumnya ia pegang. Dejan memegangi hidungnya, dari sela jemarinya mengalir darah. Aku berani bertaruh, hidungnya patah. Tapi aku sendiri, berada dalam posisi tak kalah sulitnya saat rasa sakit yang terpusat di pergelangan kaki karena di pelintir oleh Dejan hingga terkilir, semakin menjadi-jadi.

Hanya sekedar menapakkan kaki saat berdiri biasa saja pun, rasa nyeri, ngilu campur aduk jadi satu. Ini jauh lebih sakit daripada ketika kakiku terkilir akibat beradu tackle dengan Wawan saat main bola di kampung dulu. Sehingga hanya ujung jemari kaki kiri dan kaki kanan yang menjadi tumpuan berdiriku. Sialan, aku jadi tidak bisa bergerak bebas. Dari rasa sakit yang terasa senut-senut, aku yakin kakiku sudah bengkak.

Meski aku tidak bisa bergerak bebas, aku masih menyimpan satu pukulan bom untuk Dejan.

“Lu gue matiin, mati lu di tangan gue…” erang Dejan saat ia sudah tidak menutupi lagi hidungnya. Ia membiarkan darah segar membasahi area seputaran bibir. Dejan murka. Aku pun juga tidak kalah panas.

“Kamu belum pernah kena pukul sampai amnesia ya? Kalau belum, sini. Aku bom kepalamu dengan ini,” aku menunjukkan kepalan tangan kananku kepada Dejan.

Dejan menyeringai.

Ini akan menjadi serangan penentuan.

Dejan berjalan mendekatiku sehingga kami berdiri berhadapan hanya terpisah jarak satu langkah. Nafas kami sama-sama berat, injeksi adrenalin membuat tubuh bekerja lebih keras daripada biasanya. Aku dan Dejan tidak sedetik pun melepas pandangan. Kami saling menatap, fokus. Sekilas kami bak dua koboi yang berhadapan dengan posisi tangan berada di samping kantong pistol. Bedanya kami tidak membawa pistol, senjata kami adalah tinju kami.

Dua kepalan tinju berkekuatan penuh yang membawa dua agenda berbeda.

Agendaku jelas, terus maju hingga ke ujung permainan dari Pak Indra dan melawan Toni lalu mengalahkannya. Jika aku menang, bukan hanya diriku yang selamat tetapi juga empat belas bajingan yang ikut battle hari ini. Kami semua akan lolos dari lubang jarum ciptaan Pak Tomo dan tetap stay di SMA NEGERI XXX.

Sementara agenda Dejan adalah kebalikannya. Ia mengatakan dengan amat sangat jelas jika ia bisa mengalahkan Toni, Dejan lebih memilih uang. Ia tidak mau ambil pusing dengan keempat belas siswa yang kena DO dan ia menjadi satu-satunya yang lolos dari hukuman.

Aku mesti wajib menang. Entah siapapun yang menang di antara Dejan vs Toni, mempunyai ending yang sama.

DO Massal, termasuk Aku, Xavi, Zen, Wira dan Yosi.

Motivasi, kebulatan tekad, kenekatan, daya juang melawan rasa sakit serta lelah, mental yang seakan terus di gedor, akan menentukan kepalan tangan siapa yang lebih kuat.

Aku atau Dejan.

Kami masih saling tatap, diam tak bergeming. Kami berdua sama-sama menyadari, first strike sekaligus last punch kali ini mengandung potensi bahaya terkena counter. Jika aku memutuskan menyerang duluan, aku harus 100 %, ah bukan. 1.000% mesti yakin pukulanku masuk dengan sempurna dan mengakhiri Dejan. Dejan aku yakin punya pikiran yang sama denganku. Kami berdua sama-sama menunggu atau paling tidak menunggu celah sepersekian detik.

Sepersekian detik yang sangat menentukan siapa yang akan terbaring telentang pingsan dan siapa yang akan tetap berdiri untuk menantang  Toni.

“Kompetisi adu tatap” ini semakin mendekati klimak saat udara di sekitarku semakin panas, tensi semakin naik, rasa haus akan ego laki-laki siapa yang paling kuat di antara kami berdua di tambah suasana hening. Tangan kananku sampai bergemerutuk karena saking keras dan tegangnya aku mengepalkan tangan, seolah mengumpulkan semua energi dan tenaga di satu kepalan tangan. Nafasku sudah naik-turun dengan cepat, peluh mengucur bercampur dengan darah yang mengering. Dejan pun demikian.

Aku sudah tidak kuat menahan desakan adrenalin lebih lama lagi, maka aku pun memutuskan di hitungan kelima, aku akan meledakkan bom tak kasat mata yang ada di tinjuku. Entah trigger tertentu atau aku menyelesaikan hitungan mundur, duel ini akan selesai.

Lima.....
Empat...
Tiga...
Du-

SYUUUUUTTTTTTTTT!!!


*****
@ Rumah Pak Tomo
30 menit sebelumnya
*****

(POV Pak Tomo)


Aku mengelus-elus dagu melihat Yandi dan anak kelas 1 bernama Dejan pada akhirnya  saling berhadapan di tengah ring, setelah berhasill menyingkirkan ketiga lawan lainnya dalam fatal five ways yang cukup rumit.

Yandi vs Dejan.

Menang jadi abu, kalah jadi arang.

Itulah peribahasa yang tepat untuk keduanya.

Karena siapapun yang menang, dia akan melawan Toni. Toni tidak mungkin kalah menghadapi pemenang duel keduanya bahkan melawan keduanya secara bersamaan pun aku berani menaruh uang Rp 1 miliar untuk Toni. Toni juga sudah terikat “kontrak” untuk tidak mengalah. Jika ia mengalah, untuk alasan apapun, ia akan kehilangan sponsor besar yang akan memupus mimpinya mengikuti kompetisi UFC semi-amatir yang di adakan  di Amerika Serikat.

An American Dream, demi hal tersebut, Toni tidak mungkin berbuat konyol. Tugasnya amat sangat sederhana. Kandaskan bajingan terakhir. Bukan hal yang sulit. Hanya dua atau tiga menit. Maksimal lima menit lah buat Toni untuk mengakhiri status kelima belas siswa bajingan di SMA NEGERI XXX.

Kondisi Yandi dan Dejan pun tidak akan 100 % jika satu dari mereka melawan Toni di partai puncak.

“Semakin cepat kamu selesaikan, semakin cepat kamu mendapat tiket keberangkatan menuju USA.”

Itu satu pesan terakhirku kepada Toni saat aku mempercayakan satu tugas khusus kepadanya. Toni sempat berpikir sejenak sebelum akhirnya senyumnya terkembang dan ia menjabat tanganku.

“Deal.”

Semuany sudah kuatur sedemikian rupa sehingga margin of error-nya nol koma nol persen. Lima belas siswa bajingan yang punya potensi menarik keributan besar antara sekolah hilang dari SMA NEGERI XXX, Toni berangkat ke USA dan misi Pak Indra sebagai “talent scouting” berhasil di selesaikan dengan amat sangat baik.

Dan pada akhirnya visi misi dari Tuan Besar, yang juga menjadi visi dan misi kami, akan terwujud.

Menyinggung Tuan Besar dalam pikiranku barusan, membuatku teringat kembali pertemuanku dengan Pak Frans, salah satu orang kepercayaan Tuan Besar.


=== Flashback satu bulan sebelumnya ===


“Sapu bersih dari tempat saya sudah mulai berjalan sejak saya menugaskan Pak Indra sebagai Wakasek di SMA NEGERI XXX.”

“Haha iya, itu tindakan yang sangat brilian Pak Tomo, memasukkan Pak Indra ke dalam susunan organisasi sekolah menunjukkan kecerdasan Pak Tomo memang tidak bisa di ragukan. Persiapannya sangat matang. Tidak salah memang jika kami, maksud saya Tuan Besar, menunjuk Pak Tomo sebagai pelaksana Pilot Project satu tahun yang lalu.

“Ah Pak Frans terlalu berlebihan. Tanpa surat sakti dari Pak Frans yang di tanda tangani langsung oleh Tuan Besar, tidak mungkin Pak Indra bisa tembus masuk ke struktur SMA NEGERI XXX.”

“Ya buat Pak Tomo, yang saya tahu benar kapasitas dan kemampuannya, semua hal bisa di atur. Para siswa bajingan di SMA NEGERI pasti tidak menyangka ya bahwa guru olaharaga mereka adalah alumni SMA NEGERI XXX yang juga menyandang status mantan dosen akmil yang terkenal garang. Shock terapinya pasti mujarab sekali,” tukas Pak Frans.

“Bukan tugas yang mudah membujuk dan mengajak serta Pak Indra dalam pilot project.”

“Memang, namun pada akhirnya anda bisa membujuk Pak Indra. Kalau boleh tahu, dengan cara anda bisa membuat Pak Indra mau dan siap menerima tugas dari Pak Tomo?”

Aku tersenyum sembari menuang teko berisi kopi ke dalam gelas. Pak Frans menggeleng saat aku hendak menambah kopi di gelasnya.

“Dengan cara lama tentu saja. Orang seperti Pak Indra tidak mengenal diplomasi atau kata-kata manis.”

“Cara lama?” Pak Frans bertanya sambil mengernyitkan alis. “Jangan bilang cara lama yang anda maksud adalah dengan duel? Pak Indra menantang Pak Tomo, begitu?”

Aku tertawa kecil sambil mengangguk. “Tentu saja. Itu satu-satunya jika dua orang mantan bajingan sekaligus teman lama seperti kami tidak kunjung menemukan kata sepakat dalam negosiasi..”

“Pak Tomo vs Pak Indra, pasti ngeri sekali ya Pak.”

“Tentu saja. Bahkan boleh di bilang saya hanya beruntung menang melawan Pak Indra. Didikan militer yang keras yang di tempuh oleh Pak Indra selepas ia lulus dari SMA NEGERI XXX 30 tahun yang lalu di tambah dengan teknik boxing yang masih beliau kuasai, benar-benar membuat saya mesti bekerja keras. Sekali lagi saya masih beruntung, tulang-tulang tua saya masih cukup kuat tidak sampai patah tulang saat melawan Pak Indra.”

“Sesangar-sangarnya dan sekeras-kerasnya Pak Indra, Pak Tomo tetap the real monster. Bukan cuma monster tapi udah level Godzilla, the king of monster ! haha.”

“Pak Frans ini memuji atau mengejek saya mentang-mentang badan saya sebelas duabelas dengan gorilla.”  

Pak Frans tertawa sambil meneguk kopinya.

“Haha memang beda kalau ngobrol dengan Kepsek mantan bajingan seperti anda Pak Tomo! Ups, maaf-maaf kalau saya menyebut anda dengan bajingan…”

Aku pun ikut tertawa. “Santai saja Pak Frans, karena faktanya memang demikian. Saya mantan sisswa bajingan juga. Kalau Pak Frans memanggil saya dengan sebutan ‘Kepsek mantan ustad’, nah itu baru saya tidak terima haha.”

Gelak tawa Pak Frans semakin keras mendengar kelakarku.

“Itulah salah satu alasan saya merekomendasikan nama anda di depan Tuan Besar. Background anda benar-benar sesuai dan cocok. Tentu pemikiran kepala sekolah dengan latar belakang biasa saja, berbeda dengan pemikiran kepala sekolah yang tahu benar isi kepala para siswa bajingan tukang buat onar.”

“Ah Pak Frans terlalu berlebihan. Kalau saya tidak memiliki concern yang sama dengan Pak Frans dan tentu saja Tuan Besar, saya tidak akan mau terlibat. Namun sebagai mantan bajingan seperti yang Pak Frans sampaikan, saya seperti terkena ‘bogem’ saat mendengar pemaparan langsung visi misi Tuan Besar yang sangat brilian.”

“Visi misi beliau, mindblown sekali bukan? Hehe. Astonishing.”

“Itu sih levelnya bukan mindblown lagi Pak, tetapi mindfuck.”

“Hahaha, iya benar-benar sekali.”

“Pak Frans, Bapak kan sudah mengetahui masterplan dari sekolah saya, lalu bagaimana dengans sekolah lain? Meski SMA NEGERI XXX menjadi pilot project, bukan berarti sekolah lain adem-ayem kan?” aku kali ini langsung to the point dengan maksud kedatanganku ke kantor Pak Frans.

Setelah tahu aku datang, Pak Frans langsung mematikan ponsel dan menelepon sekretarisnya bahwa ia tidak mau menerima tamu, telepon dari siapapun selama pertemuan kami belum selesai. Impresif.

"Pak Tomo tenang saja, sesuai arahan dari Tuan Besar, setelah begundal dari sekolah Pak Tomo bisa di sapu bersih, akan menyusul Sekolah-sekolah lain di Kota XXX terutama SMA SWASTA XXX dan STM XXX," terang Pak Frans sambil memutar-mutar bolpoinnya.

"SMA SWASTA XXX? Bu Astri setuju?" aku bertanya.

 "Bu Astri belum ambil sikap tegas. Tapi di pertemuan kami berdua kemarin, ehm pertemuan di hotel tentu saja hehe, dia memberikan sinyal keputusannya bergantung dengan hasil bersih-bersih SMA NEGERI XXX. Jika Pak Tomo bisa dan berhasil, Bu Astri akan mengikuti cara Pak Tomo."

Aku tertawa kecil sembari menyesap kopi pahit dari Toraja.

"Dasar perempuan. Cuma bisa ikut-ikut saja. Situasi di SMA NEGERI XXX dengan SMA SWASTA XXX kami tidak bisa di samakan, tidak apple to apple. Tapi biarlah itu jadi urusan Bu Astri. Lalu Pak Frans, bagaimana dengan Pak Siregar?"

Pak Frans memperbaiki posisi duduknya saat aku menyinggung Kepala Sekolah STM XXX yang bernama Pak Siregar.

"Jujur saja, dia masih belum bisa saya temui langsung. Ia terus saja menghindar. Namun bisa saya pastikan, ia sudah mengetahui Visi dan Misi Tuan Besar. Semakin dia menghindar, dia semakin mempersulit posisinya."

"Mungkin beliau, sudah nothing to lose. Tiga tahun lagi beliau sudah purna tugas."


 Pak Frans tersenyum, senyumnya khas sekali, terkesan menyepelekan orang lain.

"Kalau beliau susah di ajak bicara, sepertinya tidak perlu menunggu hingga tiga tahun lagi. Mungkin minggu depan pun, dengan bekal rekomendasi dari saya, beliau "sudah" memasuki masa pensiun. Banyak kolega saya yang berminat untuk mengambil kendali STM XXX dan membersihkan semua para begundal. Meski bisa jadi 70 % siswa di sana akan hilang. Namun itu bukan masalah besar. Cukup dengan 30 % siswa yang bisa kita kendalikan, saya yakin STM XXX dalam dua-tiga tahun berikutnya akan bertransformasi menjadi salah satu sekolah kejuruan terbaik di negeri ini dan menghasilkan produk-produk dengan output terbaik."

Gantian aku yang tertawa karena Pak Frans menyamakan para siswa lulusan dengan produk jadi hasil olahan.

Output nilai, tentu saja itulah yang terpenting buat Pak Frans . Meski tidak bisa aku pungkiri, aku sependapat dengannya namun dengan pemilihan istilah yang lebih manusiawi. Menyingkirkan Pak Siregar yang sudah menjabat Kepala Sekolah STM XXX selama 25 tahun, demi menyenangkan atasan pun bukan hal yang sulit.

Semuanya demi ABS. ah bukan.

ATBS.... Asal Tuan Besar Senang.

Semuanya wajar, wajib dan mesti dilaksanakan oleh para bawahan.

Termasuk aku yang membiarkan diriku diperbudak oleh ambisiku sendiri.

“Itu yang terlihat dari luar,” kataku menimpali perkataan Pak Frans. “Memajukan pendidikan di Kota XXX sehingga menjadi kiblat pendidikan terbaik di negeri ini.”

Pak Frans tertawa sambil mengangguk kecil. “Tentu saja Pak. Selama pencitraannya berhasil dan sukses, publik tidak akan pernah menyadari tujuan dari sebenarnya program bersih-bersih para siswa bajingan di seantero Kota XXX.”

“SuperHighSchool XXX,” aku bergumam pelan.

Pak Frans tersenyum lebar lalu ia berjalan menuju lemari kaca yang berada di belakang kursinya. Kemudian ia menaruh dua gelas  kecil di atas meja lalu menuang vodka ke dalamnya. Pak Frans menyerahkan satu gelas untukku dan kuterima dengan senang hati, masih terlalu pagi sebenarnya untuk minum satu sloki vodka, tetapi ya sudahlah.

“Cheers.”

Kami lalu bersulang.

=== Flashback selesai ===


Memang akan terlihat sangat jahat sekali rencanaku, rencana kami semua. Tetapi sebagai mantan bajingan,

 I know what the best for them. For their future. 

Selanjutnya aku cukup menikmati dan terhibur dengan duel Yandi vs Dejan. Meski secara fisik  maupun postur Yandi terlihat inferior di bandingkan dengan Dejan, namun secara tenaga ia bisa mengimbangi bahkan sedikit di atas Dejan. Keduanya duel bukan cuma melibatkan fisik namun juga otak. Namun ketika Yandi berada  di atas angin, ia melakukan blunder dan akibatnya kakinya terkilir serta nyaris saja di patahkan oleh Dejan kalau saja ia gagal meloloskan diri dengan cara yang pintar, licin sekali.

Kini keduanya berdiri berhadapan, mereka sepertinya ingin menyelesaikan duel lewat satu pukulan penghabisan. Dengan cedera, luka, rasa lelah yang di kandung badan, itu adalah cara yang paling efektif untuk menyelesaikan duel. Karena kalau mereka duel dengan durasi yang terlalu lama, akan sangat menghabiskan tenaga. Siapapun yang menang akan berada dalam kondisi habis-habisan dan langsung melawan Toni yang segar bugar.

Hahaha.

Setelah saling tatap dalam jarak dekat, tanpa kusadari aku ikut menahan nafas saat keduanya saling melepas pukulan secara bersamaan dan sama-sama telak mengenai wajah. Karena keduanya saling pukul tanpa mengenakan glove, efeknya jauh lebih mematikan. Dari cara mereka berdua memukul, keduanya sama-sama mengerahkan pukulan terbaik.

Aku tertawa karena kini keduanya ambruk bersamaan di tengah ring. Serius nih, mereka berdua sama-sama pingsan? Kalau iya, aku tidak heran sih.

Aku segera membuka ponsel dan membuka menu CCTV. Kuarahkan satu CCTV yang berada tepat di atas ring dan aku zoom-in ke arah Yandi dan Dejan. Mulut Yandi berdarah-darah, ia pingsan dalam posisi wajah terdongak. Dejan? Kondisinya jauh lebih parah. Patah hidung dan wajah babak belur parah, lebam di sana-sini.

Ini agak di luar dugaanku. Aku pun segera menelepon Pak Indra.

Setelah Pak Indra mengangkat ponsel, aku segera menyampaikan sesuatu kepadanya.

“Jika salah satu dari mereka belum ada yang siuman dan berdiri dalam waktu lima menit. Permainan selesai. Toni tidak perlu turun tangan. Lima belas siswa statusnya langsung DO. Pak Indra kontak ke Bu Rini untuk menyiapkan surat pemanggilan kepada wali murid. Kumpulkan seluruh wali murid Besok siang di ruang meeting. Ku selesaikan semuanya sekaligus.”

“Termasuk putra dari Bu Clara Maria?”

Pak Indra langsung merujuk ke Xavier, putra dari Bu Clara.

“Tentu saja. Semuanya tanpa pandang bulu. Atau khusus Bu Clara, biar aku sendiri yang menghubungi. Semoga ia sedang berada di dalam negeri jadi besok ia bisa datang.”

“Apakah dia akan terima begitu saja?”

“Pak Indra tenang saja. Jabatan dan pengaruh dari Bu Clara tidak sebanding dengan kuasa Tuan Besar.”

“Oke.”

“Jika semuanya selesai, saya telepon kembali.”

“Baik.”

“Oia, well done Pak Indra. Satu posisi di Board of Director sudah jadi milik Pak Indra karena rencana kita berjalan sesuai apa yang kita inginkan.”

Pak Indra diam saja, ia malah langsung menutup sambungan telepon. Aku sih tidak heran dengan sikapnya tersebut.
   
Kulihat di layar TV masih menampilkan pemandangan Yandi maupun Dejan masih tergeletak pingsan.

Oke, hitung mundur 300 detik di mulai dari sekarang.


*****
@ Sasana SMA NEGERI XXX
Di saat yang bersamaan
*****

(POV Yandi)


“Yan !!…bangun Yan !!”

DUGH !! DUGH !!

Samar-samar aku seperti mendengar suara orag berteriak memanggil namaku. Aku ingin membuka mata, tapi kelopak mataku terasa berat sekali untuk di buka. Apa yang terjadi??

Kenapa badanku sakit semua? Wajahku rasanya menebal, perih. Badanku pun sakit semua.

“Ayoo Yannn!!! Ayoo Yan, 60 detik lagiii!”

Kok aku sepertinya kenal dengan suara tersebut. 60 detik lagi? Apa maksudnya.

Aku berteriak kesakitan saat menggerakan kaki kiriku. Rasanya panas, berdenyut sakit sekali. Setiap denyutannya seperti mengirim pesan rasa sakitt. Aku tidak boleh terus berbaring, aku mesti segera bangkit.

Bangkit?? bukannnya aku tadi sedang berkelahi melawan Dejan?? Dejan !!

Simpul-simpul kesadaraku mulai saling bertautan, menyambungkan potongan-potongan ingat hingga akhirnya terangkai dengan sempurna membentu satu image yang terakhir kulihat sebelum aku pingsan.

Image tersebut adalah


Kepalan tangan dari Dejan !

Apa aku kalah? Knockout akibat hantaman tersebut? Aku mesti siuman dan membuka mata agar tahu apa yang tengah terjadi.

Hal pertama yang kulihat adalah lampu sasana yang berpijar terang. Awalnya spekturum cahaya putih terlihat blur namun lama-lama mulai fokus seiiring dengan kesadaranku yang semakin pulih.

“Ayoo Yan !! lo bisaa!!”

Satu teriakan dari sisi ring membuatku menoleh. Kulihat Zen, Xavi bahkan Wira dan Yosi tengah berdiri di sisi ring ! mereka berteriak-teriak memintaku untuk cepat bangun. Wajah mereka terlihat panik. Instingku mengatakan agar aku segera secepatnya berdiri, tidak tahu situasinya seperti apa. Yang penting aku bangun dan bangkit secepatnya.

Saat aku berdiri, aku berjalah tertatih-tatih menuju pojok ring untuk menyandarkan punggung. Kakiku sebelah kiri sudah tidak bisa kujadikan tumpuan.

Kulihat sesosok berutubuh besar ternyata sudah terlebih dahulu berdiri ! Dejan !! ia sudah berdiri tegak terlebih dulu daripada aku. Kondisinya sama parahnya denganku. Lebam, lecet dan hidung yang posisi agak miring.  Kedua matanya menyipit karena terdesak oleh lebam di pipi, dahi dan area sekitaran matanya.

Gila, setelah menerima pukulan terbaikku, ia masih kuat berdiri?

Bahkan ia kini mendatangiku meski setiap langkahnya, kakinya gemetar hebat. Sialan, rasanya tanganku perih saat hendak kukepal.

BUGH !!

Aku kaget mendapati Dejan yang tadinya berdiri, baru satu langkah berjalan, sempat kulihat bola matanya memutih. Ia bahkan pingsan sebelum badannya ambruk ke depan begitu saja.

“YEAHHHH !! LO MENANG YANNN !!!”

Keempat temanku langsung naik dari sisi ring, saat Dejan akhirnya tumbang. Mereka mengelilingku. Karena semuanya berbicara, aku malah tidak tahu apa yang mereka katakan.

“Minggir, jangan mengelilingi Yandi ! ia butuh udara! Yan kamu berbaring !” kata Zen.

Aku menurut saja apa katanya dan aku mengerang saat kulihat dengan cekatan dan hati-hati ia melepas sepatu Converse yang sebelah kiri.  Aku mengerang setiap kaki sebelah kiriku terkena sentuhan, terutama saat Zen melepas kaki kakiku. Saking sakitnya sampai aku keluar keringat dingin dan gigiku bergemerutuk.

“Kaki lo terkilir parah Yan. Bentar, bang !!! tolong berikan aku perban elastis, parasetamol dan sekantong es batu dalam plastik!”

Entah Zen berteriak kepada siapa. Yang jelas aku pasrah saja, berbaring.  Zen menggeser badanku, lalu menyandarkan kedua kakiku di atas tali ring yang paling bawah.

“Posisi kaki lo mesti di atas jantung, agar sirkulasi darah tetap lancar. Kakimu sudah bengkak gini. Tahan di posisi ini untuk mengurangi rasa nyeri.”

“Arghh !” aku mengerang kesakitan karena Zen melilit kakiku yang terkilir dengan satu perban berbahan elasti berwarna coklat. Dengan cekatan Zen melilit kakiku. Ia tidak memperdulikan setiap tekannnya membuatku kesakitan. Selesai membalut kakiku, Zen memintaku untukmenelan sebutir obat. Rasa pahit terasa saat obat menyentuh lidahku, pahit sekali. Xavi memberikan botol minuman dan segera kusambar. Kuminum hampir setengahnya karena selain kehausan, air ini untuk mengusir rasa pahit karena obat yang kutelan.

“Pelan-pelan woi minumnya!” kata Xavi sambil turut memegangi botol minuman.

“Tetap berbaring Yan, “ pinta Zen. Aku tadi sedikit membungkuk ke depan karena aku tidak bisa minum sambil berbaring. Tiba-tiba aku merasa semakin lebih baik saat hawa dingin menempel di area kaki yang bengkak. Zen menempel-nempelkan kantung plastik berisi bongkahan es ke bagian yang bengkak.

“Kenapa tadi kalian berteriak bahwa waktu tersisa 60 menit?” aku bertanya sambil mendapatkan perawatan awal di bagian kaki.

“Bang, minta kompresan!” teriak Zen entah ke siapa.

“Elo dan Dejan pingsan hampir bersamaan saat sama-sama terkena pukulan keras. Di saat lo pingsan, Pak Indra lalu mengatakan jika kalian berdua tidak ada yang siuman atau sanggup berdiri dalam waktu lima menit. Permainan di anggap selesai,” terang Yosi. Kulihat Yosi kepalanya di bebat dengan perban.

“Apa maksudnya dengan permainan selesai?”

“Permainan selesai karena tidak ada yang bangkit untuk melawan Toni.”

Jadi jika aku tadi tidak bisa bangkit dalam waktu lima menit, kami semua di anggap kalah. Dan kena DO. Kemarahanku langung naik hingga ke ubun-ubun.

“Wira, kompres dingin, usapkan ke lebam di muka Yandi, pelan-pelan saja. Usap jangan di tekan luka lebam. Sekalian bersihkan luka-luka dan darah kering,” perintah Zen sambil memberikan kepada Wira semacam handuk kecil.

“Siapp,” Wira mengusap-usap dan sesekali menekan di area wajah yang lebam.

Aku terdiam namun perlahan adrenalin kembali naik.

(DENGERIN CUK !!LAGU ENAK INI !!!!!)

Tiba-tiba terdengar suara musik menggelegar. Gilaaa, lagu death metal entah darimana tiba-tiba terdengar di seluruh ruangan. Keras sekali.

“ANJING !! siapa sih yang malah nyetel lagu Jasad!!” Zen berteriak kesal.

“Gue yang memutarnya,” kata Toni sambil tersenyum. Ia masih duduk di kursi.

“Apa-apan lo nyetel ginian?”

“Zen, tahu juga lo ini lagu dari Jasad. Coba sekalian lo sebutkan judulnya.”

Zen diam saja lalu menjawab, “Precious moment to die.

“Hahaahaha! Keren-keren lo bisa hapal. Yan, lagu ini durasinya sekitar 4 menit. Itu waktu yang tersisa buat elo. Karena begitu lagu ini selesai, gue masuk ke ring,” katanya santai.

Bangsaatt.! aku jadi tambah emosi. Aku lalu memaksakan diri untuk bangun, namun berusaha di cegah oleh Xavi dan Yosi. “ Tenang dulu !! ada waktu empat menit buat lo ambil nafas. Kami gak mungkin bisa mencegah lo untuk nekat melawan Toni. Tapi tolong tetap tenang. Paling tidak biarkan kami, teman-teman lo. Membantu lo mempersiapkan diri melawan Toni,” ujar Yosi.

“Yan, gue menikmati tiap detik sekolah di SMA NEGERI XXX. Terutama saat gabung dengan XYZ. Tolong jangan paksa diri lo hingga ke tahap hidup mati. Lebih baik gue di DO daripada liat teman baik, bos gue, elo kenapa-kenapa. Buat apa gue dan yang lain lanjut di sekolah laknat sementara lo menanggung semua luka, cedera parah?”  ujar Wira tiba-tiba.

“Wira benar Yan, silahkan lo lanjut duel dengan Toni. Tapi jika sudah tidak kuat, menyerahlah. Kami tidak akan menyalahkan lo. Jangan lo angkat beban semua orang, kami, di pundak lo semua. Di DO dari sini bukanlah akhir dari semuanya…” tambah Yosi.

Lagu death metal yang menggelegar tiba-tiba selesai. Itu artinya waktu istirahat selesai. Aku yang tadinya berbaring kini berusaha berdiri, sebelum aku sempat berdiri, Zen memakaikan sepatuku. Rasanya nyeri tapi jauh lebih baik dari sebelumnya. Teman-temanku membantuku hingga berdiri.

“Kalian tenang saja, aku tahu apa yang mesti kulakukan,” kataku sambil tos dengan Xavi, Zen. Wira dan Yosi hingga mereka berempat turun dari ring.

Di seberang sana sudah menunggu Toni. Ia masih memakai jaket parasit lengkap dan celana jogger dan sepatu kets. Semuanya berwarna hitam. Rambutnya yang panjang, yang tadinya digerai, sudah ia kuncir. Toni tersenyum dan berjalan ke arahku.

“Siap atau tidak, lo akan gue habisi,” katanya sambil menghampiriku.

 Aku respon dengan berjalan mendekatinya, meski berjalan tertatih-tatih. Kalau di kira-kira tenagaku mungkin masih tersisa 20-30%. sementara Toni masih 100%. Rasanya seperti misi bunuh diri melawan Toni dengan perbandingan seperti ini. Namun sudah terlambat untuk menyerah sebelum berduel. Rasa pusing sudah hilang, rasa perih lebam sudah tidak sesakit sebelumnya. Meski terbilang lumayan, tetap saja prosentaseku menang hanya 0,00000001 %. Perkataan teman-temanku bahwa mereka sudah siap DO, menandakan bahwa mereka pun tahu aku tidak ada kesempatan menang. Secara beban, itu sudah sangat membantuku meringankan beban mental.

Ah persetan dengan hitungan atau nasib kami seperti apa !! yang penting aku tidak akan mundur begitu saja. Aku sudah memantapkan niat dan tekad. Semangatku membara! Ketika Toni sudah berada dalam jangkauan kulayangkan pukulan kombinasi kiri-kanan. Tapi bisa di elak Toni dengan mudah, hanya dengan meliuk-liukkan kepalanya tanpa menggerakan kaki sedikitpun.

Sialan, dari cara ia mengelak, Toni sepertinya sudah mahir dan mungkin saja sudah menguasai teknik dasar boxing.

BAM !

Kepalaku tersentak ke belakang karena Toni langsung membalas memanfaatkan kelengahanku.

Satu jab kiri, di susul jab-jab yang lebih cepat dan tajam ! belum apa-apa aku sudah merasa pusing ! pandangan mataku berkunang-kunang. Namun aku tidak mau jadi sansak hidup ! kubalas dengan pukulan yang bisa di elak Toni dengan menundukkan kepala.

BAM !!

Satu pukulan ke bagian rusuk membuatku muntah air liur bercampur darah!!

“Hoekkkhhhh !!”

BAM !!!

Duniaku rasanya langsung terbalik setelah aku menerima uppercut tepat mengenai dagu. Tahu-tahu aku sudah berbaring di cavas, menatap lampu-lampu yang bersinar terang. Dan juga wajah Toni yang tersenyum.

“Udah nyerah lo Yan? Kesempatan lo menang dari gue 0 %. tidak ada peluang meski nol koma sepersekian juta. You have no chance.”

Aku masih belum selesai, aku segera bangkit. Namun pukulan ke bagian rusuk tadi rupanya meninggalkan bekas luka lebam. Membuatku susah bergerak, sakit sekali. Entah apa jadinya jika terkena lagi serangan di tempat yang sama.

BAM !!!

Baru juga aku berdiri menata kekuatan, satu pukulan hook kanan, membuatku kembali mencium nafas.

Dan setiap aku bangkit berdiri, Toni kembali membuatku entah mencium canvas, terhempas ke pojokan.  Begitu terus hingga empat sampai lima kali.

Badanku sudah berteriak minta stop, cuma mentalku belum surut !

“Lo belum nyerah juga?” Toni sepertinya mulai kesal denganku. Akibatnya ia seperti lengah dan aku melihat celah ! aku berhasil menunduk menghindari pukulan straight. Rahang Toni terlihat jelas dari bawah.

Argh !!

Justru malah aku yang mengerang kesakitan saat melancarkan uppercut kanan. Akibat pukulanku, malah membuat tulang rusuk kesakitan ! karena sambil menahan sakit, tenaga yang kuledakkan di uppercut tidak maksimal! Toni yang untuk pertama kalinya terkena pukulanku hanya tersenyum.

Sialan, tidak ada efek apa-apa.

“Peringatan terakhir, mau menyerah atau tidak?” tanya Toni.

“TIDAK !!!” kataku.

“Oke, gue ambil penglihatan lo di sebelah kiri.”

BAM !!

Satu uppercut tajam tepat mengenai pipi persis di bawah mata. Aku berteriak kesakitan dan satu pukulan straight tepat di hidung membuat kepalaku tersentak ke belakang. Aku langsung bisa mengecap darah dari hidung masuk ke dalam mulut. Aku ambruk dalam posisi berbaring miring.

Sa…..kit…….

Aku tidak bisa melihat dengan mata kiriku, karena bagian pipi yang terkena bogem tahu-tahu sudah membengkak, menghalangi pandangan. Aku pun sudah terbatuk-batuk. Di titik ini seharusnya aku sudah menyerah.

Tetapi entah apa yang mendorong tubuh dan pikiranku agar aku segera bangkit. Aku merambat ke tali ring dengan susah payah. Hingga bisa berdiri, tapi kedua tanganku sudah gemetaran.

“Oke, sudah cukup, bukan gaya gue menghabisi lawan yang sudah tidak bisa apa-apa.”

Toni tiba-tiba melancarkan pukulan yang tidak sempat terlihat olehku namun efek pukulannya kali ini tidak main-main.

Satu pukulan tajam yang menghujam tulang rusuk kiri, membuat kedua kakiku bergetar. Rasanya sungguh tidak terbayangkan, bahkan aku seperti ikan yang di tarik paksa dari laut  kemudian di dibiarkan tercekik karena susah bernafas, pandangan mata yang hanya bergantung ke sisi kanan setelah bagian kiri tertutup, kini semakin buyar karena air mata yang merembes turun.

Aku jarang menangis, terutama ketika berkelahi.

Tetapi rasa sakit kali ini berbeda.  

Saking sakitnya dari ujung kaki hingga kepala, aku bahkan tidak bisa merasakan apa-apa ketika badanku berdebum jatuh tertelungkup ke depan dan aku mencium kanvas. Badanku seperti kebas, mati rasa. Hantaman di ulu hati di kombinasi dengan hantaman tepat ke bagian rusuk yang retak karena insiden pengeroyokan oleh kru LPH, membuatku tersungkur. Luka di rusuk, ternyata belum sembuh benar.

“Uhukkk…uhuukkkk…..hoeeegghhh!” aku terbatuk-batuk hebat ditambah dengan dorongan rasa mual amis bercampur darah menyeruak.

Canvas yang tadinya basah oleh air liur, kini memerah oleh darah yang kukeluarkan saat terbatuk-batuk. Sisa-sisa darah malah masih terasa basa di dalam mulut.

Aku terkejut saat tiba-tiba kepalaku di injak dari atas lalu di tekan, membuat nafasku kembang-kempis karena hidung tertekan ke canvas.

“Arrrggggghhhhh!” aku berteriak parau saaat tekanan di kepalaku terasa semakin berat, tekanan ini seolah men-trigger semua cedera dan luka di badan sehingga anggota badanku seolah berteriak memekik sakit di saat yang bersamaan. Aku hendak berontak namun tenagaku entah sudah pergi kemana..

“Masih mau lanjut?” tanya orang yang sudah menginjak kepalaku dari atas.

Aku perlahan mengangkat kedua tangan ke atas dengan susah payah karena hidungku ditekan semakin keras ! aku nyaris tidak bisa bernafas!!

Kedua tangan kuangkat pertanda bahwa.

“Aku….menyerah….”

Ya, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku mengaku kalah…

Dan berakhir sudah masa-masaku di SMA NEGERI XXX.

Tiba-tiba tangan kananku di pegang oleh Toni, aku pasrah jika mau di jadikan bulan-bulanan. Aku malah kaget karena Toni merangkulku dan menopang badanku agar tetap berdiri.

“Persetan dengan kontrak kita, gue akan tetap ke USA tanpa bantuan elo.”

Aku bingung karena Toni malah mengumpat sambil menunjuk-nunjuk ke arah bola hitam yang terpasang di dinding, persis di depanku.

“Lo pikir gue masih bisa bangga dan sanggup pergi memanfaatkan situasi hina seperti ini?? gue menghajar anak yang sudah lemah, bahkan ia tetap nekat melawan gue meski ia tidak punya peluang untuk menang !!!

ANAK INI SUDAH TAHU DI DEPANNY ADA NERAKA !!! TAPI IA TETAP BERDIRI DAN SECARA JANTAN TETAP MASUK KE NERAKA !! DEMI APA COBA KALAU BUKAN HARGA DIRI !!! SEKARANG GUE TANYA KE ELO, DI MANA HARGA DIRI LO BANGSATT !!! PENGECUT KEPARAT YANG CUMA BISA MENONTON DARI RUMAH !! KESINI LO, BILANG TEPAT DI DEPAN WAJAH MEREKA LANGSUNG PARA MURID-MURID LO INI !!! MEMALUKAN !!!! SATU LAGI, GUE AKAN MERAIH MIMPI GUE SENDIRI TANPA BANTUAN KALIAN BAJINGAN TENGIK !!!” pekik Toni lantang.

Aku masih bingung aku tidak sanggup mencerna lagi apa yang sesungguhnya terjadi. Aku sudah tidak kuat berdiri. Toni secara perlahan membaringkanku.

“Sampai jumpa lagi Yan, lain kali kita duel dengan kondisi yang jauh lebih fair,” Toni menepuk-nepuk pipiku.

Kulihat Toni berjalan ke sisi ring.

“DAN LO AYAH KEPARAT !! JANGAN PERNAH LO CARI GUE LAGI DAN MEMPERMAINKAN MIMPI GUE DENGAN CARA KOTOR !! MULAI DETIK INI, KITA TIDAK ADA HUBUNGAN APA-APA ! KALAU LO MUNCUL LAGI DI DEPAN GUE ATAU DI DEPAN VINO, GUE BERSUMPAH ATAS NAMA MENDIANG MAMA, GUE BAKAL BUNUH LO ANJING !!!!  GUE PENGGAL KEPALA LO !! SUMPAH !!”

Kali ini Toni menghardik sambil menunjuk-nunjuk ke arah Pak Indra, ayahnya.

Pak Indra diam saja di maki-maki oleh Toni. Melihat respon Ayahnya yang diam saja,  Toni meloncat turun dari ring, memegang kerah kemeja Pak Indra dan kemudian ia menghajar Pak Indra beberapa kali. Pak Indra hanya diam, tidak melakukan perlawanan sama sekali meski dipukuli oleh anaknya sendiri. Toni lalu menghempaskan badan Pak Indra sehingga terduduk di kursi.

Image Pak Indra yang garang tidak terlihat.

Selanjutnya Toni pergi dan menghilang begitu saja. Seiiring kepergian Toni, rasa sakit luar biasa membuatku mulai hilang kesadaran……

Entah apa…yang akan terjadi…selanjutnya setelah ini…..aku sudah tidak kuat mempertahankan kesadaran……


*****
@ Rumah Pak Tomo
Di saat yang bersamaan
*****

(POV Pak Tomo)


Hohoho, endingnya benar-benar klimaks, namun sayangnya tidak berjalan 100% sesuai rencana. Ada twist dari Toni yang membuat rencanaku akhirnya hancur berantakan.

Toni memang melaksanakan tugasnya namun di saat yang sama ia menumpahkan semua amarahnya kepadaku dan juga ayahnya yang cuma bisa diam di hajar putra sulungnya.

Gue salut dengan mental dan keberanian Toni.

Beruntung dia tidak mengatakannya langsung tepat di depan mukaku. Coba ia mengatakannya langsung di depanku sambil menuding-nudingku tanpa ia tahu tujuan sebenarnya. Akan kubuat salah satu tangannya lumpuh seumur hidup dan mimpinya menjadi petarung UFC profesional buyar.

Aku memikirkan kembali klimaks dari kejadian ini, aku pikirkan matang-matang, aku pikirkan untung-ruginya hingga akhirnya aku menelepon Pak Frans dan saat di angkat, tanpa basa-basi lagi aku langsung berkata kepadanya.

“Plan A tidak berjalan sesuai rencana..”

“Oh iya. Lalu apa keputusan Pak Tomo?”

“Tidak ada yang berubah. Tetap sesuai dengan kesepakatan, hanya saja akan ada Plan B. “

“Plan B? wah-wah Pak Tomo memang cermat. Seperti apa Plan B Pak Tomo?”

“Pak Frans nanti malam ada waktu? Kalau ada, akan saya ceritakan detail dari Plan B.”

“Jam 9 malam, saya ke rumah Pak Tomo, bagaimana?”

“Boleh. Sampai jumpa malam nanti Pak.”

“Sama-sama Pak Tomo, tenang saja Pak, saya tidak akan datang dengan tangan kosong. Saya akan datang bersama Lenita.”

“Wah Lenita, PR-nya WONDERCLUB?”

“Tentu saja, who else?”

“Hahaha, mantap-mantap. Tahu aja selera saya Pak. Nanti saya siapkan minuman favorit Pak Frans juga.”

“Hahaha tentu saja. Ya hitung-hitung balas budi saya karena berkat tips dari Pak Tomo, tempo hari saya bisa tidur dengan Bu Astri. Terimakasih atas update infonya Pak Tomo.”

“Sama-sama Pak Frans.”

KLIK.

Plan B, huh? Itu berarti aku mesti melibatkan anak tersebut. Kutekan nomor teleponnya. Tersambung namun terputus karena di-reject.

Kurang ajar aja juga si Bram, berani benar dia mematikan teleponku.

TING.

Ada satu pesan WA masuk.

BRAM
Maap Pak, saya lagi nyetir di tol balik ke Kota XXX. Kalau sudah keluar dari tol, saya langsung telepon balik pak.
13.04

Aku berpikir sejenak, lalu kubalas WA-nya.

TOMO
Tidak usah telepon balik, saya mau pergi. Jam 4 sore temui saya di Villa Permai 7 kamar nomor 7.
Terlambat satu menit, kamu saya DO sore ini juga.
13.06

Pesanku terkirim namun belum di baca.

Kuambil remote dan kuhidupkan speaker. Aku perlu mendengarkan tembang lawas kesukaanku untuk memperbaiki mood hari ini yang sedikit berantakan.

(LAGU LEGEND? AUTO KLIK !!!)
QUEEN - DON’T STOP ME NOW

Tonight, I'm gonna have myself a real good time
I feel alive and the world I'll turn it inside out, yeah
And floating around in ecstasy
So don't stop me now don't stop me
'Cause I'm having a good time, having a good time
I'm a shooting star, leaping through the sky
Like a tiger defying the laws of gravity
I'm a racing car, passing by like Lady Godiva
I'm gonna go, go, go
There's no stopping me
I'm burnin' through the sky, yeah
Two hundred degrees
That's why they call me Mister Fahrenheit
I'm traveling at the speed of light
I wanna make a supersonic man out of you
Don't stop me now, I'm having such a good time
I'm having a ball
Don't stop me now
If you wanna have a good time, just give me a call
Don't stop me now ('cause I'm having a good time)
Don't stop me now (yes, I'm havin' a good time)
I don't want to stop at all
Yeah, I'm a rocket ship on my way to Mars
On a collision course
I am a satellite, I'm out of control
I am a sex machine, ready to reload
Like an atom bomb about to
Oh, oh, oh, oh, oh explode
I'm burnin' through the sky, yeah
Two hundred degrees
That's why they call me Mister Fahrenheit
I'm traveling at the speed of light
I wanna make a supersonic woman of you
Don't stop me, don't stop me
Don't stop me, hey, hey, hey
Don't stop me, don't stop me
Ooh ooh ooh, I like it
Don't stop me, don't stop me
Have a good time, good time
Don't stop me, don't stop me, ah
Oh yeah
Alright
Oh, I'm burnin' through the sky, yeah
Two hundred degrees
That's why they call me Mister Fahrenheit
I'm traveling at the speed of light
I wanna make a supersonic man out of you
Don't stop me now, I'm having such a good time
I'm having a ball
Don't stop me now
If you wanna have a good time (wooh)
Just give me a call (alright)
Don't stop me now ('cause I'm having a good time, yeah yeah)
Don't stop me now (yes, I'm havin' a good time)
I don't want to stop at all

Aku memejamkan mata sejenak dan menyandarkan kepala di sofa, menikmati alunan music dari Queen yang menenangkan…

Bram, saatnya mengeksploitasi keculasan serta kelicikann otakmu untuk mempermudah rencanaku berikutnya.


= BERSAMBUNG =

17 comments for "LPH #84"

  1. Replies
    1. Makasih om sudh completed episode yg tertinggal . Tinggal Nggu Episode up Khu Khu . .

      Btw apa ad schedule suhu utk update berikutnya atau kah tiap hari hehehe. . .

      Sehat selalu om serpanth. You are the best. .

      Delete
    2. Thanks Om Panth, OTW #85...
      Khu Khu Khu...

      Delete
  2. Wohoooo....lengkaaapp sudah episode nya..
    Mantaaabbbsss

    ReplyDelete
  3. mantap om serp😁😁
    makasih updetnya 👍👍
    sehat selalu om

    ReplyDelete
  4. Akhirnya... missing link completed, thanks Om Panth sehat selalu ! 👍🏻

    ReplyDelete
  5. Wokeee sd nyambung episodenya suhu tinggal fokus ke lanjutan menuju puncak🙏🏻🙏🏻🙏🏻

    ReplyDelete
  6. Sampe disini masih bingung saya tentang posisi Rangga dari klan Djojodiningrat,apakah ia termasuk murid SMA negeri xxx?
    Kelas berapa?
    Dan hubungan bisa jadi partner sama Bram?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Lanjutin bacanya dulu hu...nanti akan terjawab semua.. Tp kayaknya soal hubungan bram dan rangga udah terjawab di chapter sblmnya

      Delete
    2. Pertanyaan anda sudah ada jawaban di eps 85++

      Delete
  7. baca eps selanjutnya hu, eps 85&88

    ReplyDelete
  8. Huuuufffffttt....

    Betul-betul naik adrenalinku membacanya...

    Makasih, Boss Serpanth...

    ReplyDelete
  9. Makasih om serpant...sungguh karya yg luarr biasaaaaa ..semoga sehat selalu om..

    ReplyDelete
  10. Menemani stay at home bener ini cerita Om Serpanth , atur tengkyu.....

    ReplyDelete
  11. Menarik memang LPH ni. Baca ulang bagian ini gak akan kehilangan rasa yg diaduk2. Ma kasih up na

    ReplyDelete
  12. Woogh.... Kenyang... Maturnuwun om bos @Serpanth

    ReplyDelete
  13. Sehat selalu suhu serpanth.

    ReplyDelete

Post a Comment