Featured Post

LPH #77

Episode 77
from Midnight Blues to The Space Oddity



(POV Yandi)


Bunyi berdetak dari jam dinding yang terpasang di kamar terdengar jelas sekali di tengah rasa sunyi yang kurasakan sekarang ini. Tidak ada bunyi lain selain bunyi konstan setiap detik jarum jam yang bergeser.

2.12

Berarti kurang lebih sudah 2 jam aku terjaga di kamar karena aku sampai rumah sekitar jam 12an malam setelah pertemuan dengan teman-teman XYZ di rumah Xavi. Sebuah pertemuan yang menurutku sangat positif karena aku di kelilingi oleh teman-teman yang luar biasa dan mereka siap untuk melakukan apa saja demi menghadapai setiap masalah dan hambatan yang ada. Segala kemungkinan-kemungkinan terburuk sudah aku jelaskan namun kami semua sudah sepakat dan berkomitmen, kami akan terus maju !

Aku minum bergelas-gelas kopi tadi di rumah Xavi dan hasilnya, sudah 2 jam lebih terjaga, berusaha untuk memejamkan mata tapi percuma. Segala rasa lelah baik secara fisik maupun pikiran tidak cukup untuk mendatangkan rasa kantuk. Padahal besok mesti ke sekolah, upacara bendera tiap Senin pagi pula dengan sederet mata pelajaran yang cukup berat. Bisa gawat kalau akhirnya rasa kantuk menyergap di saat aku sedang di kelas. Aku lalu browsing mencari cara agar cepat tidur, semua tips sudah kulakukan seperti mematikan lampu kamar, memakai headset lalu menyetel lagu-lagu slow yang membuat rileks. Hasilnya masih nihil, kecuali satu cara yang rupanya belum aku coba.

Minum susu hangat.

Aku ingat masih punya beberapa sachet Milo di dapur. Bikin Susu Milo hangat 2 bungkus sekaligus sepertnya enak. Tapi sepertinya kalau Cuma minum susu kurang mantap, mending aku sekalian buat Indomie Goreng rasa Ayam Geprek tambah telur dan kornet !! beuh ! baru mikir aja udah lapar. Akhirnya aku pun turun ke dapur dan membuat susu dan mie goreng dengan harapan setelah kenyang kantuk pun datang. Harapanku yang sederhana tersebut sepertinya terkabul saat setelah menghabiskan segelas besar Susu Milo hangat dan Indomie goreng rasa geprek yang mantul banget bumbu pedasnya, aku mulai menguap. Aku segera mengambil posisi paling nyaman untuk tidur. Sebelum benar-benar tertidur, aku sempat melihat jam di ponsel udah hampir jam 3 pagi. Karena khawatir aku tidurnya kebablasan hingga kesiangan, aku setel alarm jam 5.30 pagi. Tidur 2,5 jam sepertinya sudah cukup. Yang penting bisa tidur dulu.

Saat mata mulai berat, aku tak sengaja membuka Status WA dari Vinia karena tiba-tiba muncul status miliknya yang hanya berupa gambar.




Vinia, dia belum tidur atau sedang terjaga?

Aku mesti bicara dengan Vinia nanti di sekolah, agar masalah atau kesalah pahaman di antara kami berdua bisa secepatnya selesai dan aku harap hubunganku dengannya bisa seperti sedia kala. Namun aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku terkadang masih terbayang saat dimana aku berciuman dengan Vinia, aku masih tidak percaya bahwa bibir temanku yang lembut tersebut pernah ku kecup.

Gila..

***

Rasanya deg-degan saat aku hendak masuk ke dalam kelas, karena kemungkinan besar Vinia sudah masuk hari ini. Tetapi aku tidak ingin menghindar, lebih cepat kami berbicara akan lebih baik karena masih banyak masalah lain yang lebih besar yang harus segera aku tangani.

Benar seperti dugaanku, saat masuk ke dalam kelas kulihat Vinia yang mejanya berada di depan mejaku, ia sedang mengobrol dengan Susi teman sebangkunya. Di saat yang sama Vinia juga sedang melihat ke arahku. Vinia yang tadinya sedang ketawa-ketiwi langsung diam dan membuang muka saat melihatku. Aku langsung merasa bersalah sama Vinia, karena sudah menghindarinya. Fuhh.

Aku menyapa Vinia saat melewatinya mejanya untuk mencairkan kekakuan di antara kami.

“Selamat pagi Vin.”

“Eh, pagi juga Yan,” balas Vinia.

Aku tersenyum geli karena Vinia kelihatan agak salah tingkah gitulah.

“Dasar lo Yan, cuma yayank Vinia yang elo sapa, elo anggap gue makhluk astral yang gak kelihatan apa,” gerutu Susi.

What? Yayank Vinia? Aku gak salah dengar nih Susi mengejekku dengan panggilan tersebut. Apa Vinia cerita apa yang terjadi di antara kami berdua di Gili Trawangan kepada Susi? Kayaknya gak mungkin Vinia menceritakan hal sensitif tersebut kepada Susi yang agaknya tipe teman yang “sukar” untuk menjaga rahasia, jadi aku anggap Susi hanya sembarangan bicara.

“Selamat Pagi Susi Semilikitiii,” godaku.

“Tuhhkann, gue makhluk Astral,”

Aku bingung melihat reaksi Susi yang malah tambah cemberut. Vinia ketawa sampai menutup mulutnya. Memang renyah banget kalau dengar Vinia ketawa lepas gini.

“Kok gitu?” aku bertanya ke Susi.

“Susi Semilikiti kan panggilan spesia Tukul Arwana ke mendiang istrinya. Kualat elo Yan,” terang Susi.

“Eh mendiang istri ? memang sudah meninggal istrinya?”

“Udah lama keleeess.”

“Waduh, udah meninggal ya, maaf-maaf aku gak tahu, udah jarang banget nonton TV.”

“Elo berantem mulu sih ah, dasar cowok. Untung aja elo manis Yan haha,” kata Susi sambil ketawa. Aku jadi ikut ketawa.

“Cieeee, Susi naksir Yandi nih ye,” goda Vinia. Susi pun langsung melirik Vinia.

“Tar lo cemburu lagi Vin kalau gue naksir Yandi.”

Aku bersumpah demi apapun, aku bisa melihat pipi Vinia langsung bersemu merah saat Susi menggodanya barusan.

“Apaan sih..” ujar Vinia.

“Tapi tenang aja Vin, gue masih prefer ke Zen. Uh dia itu ganteng, pinter, cool banget, rasanya teduh aja kalau ngliatin Zen. makanya gue senang banget bisa dapat tempat duduk di depan Zen. Eh tapi Ya ampun gue deg-degan loh kalau deket Zen. Zen itu masih jomblo gak sih Vin?”

Aku dan Vinia berpandangan sebentar lalu sama-sama ketawa.

“Gak tahu gue, lo tanya Yandi aja tuh,” lempar Vinia.

“Yan, mumpung Zen belum datang, tolong jawab dong. Zen itu masih jomblo atau enggak? Itu pertanyaan mayoritas cewek di kelas kita loh. Bukan cuma gue doang. Itu Queena juga gue dengar sering kontak-kontak Zen loh.”

Aku menggeleng sambil ketawa, “Sori aku gak tahu sumpah, cuma Zen yang bisa jawab langsung.”

Susi seperti agak kecewa mendengarnya. “Yah, kalian teman-teman dekatnya aja pada gak tahu. Uch jadi makin penasaran gue ihh.”

Aku langsung bertanya pelan kepada Susi tentang sesuatu.

“Eh btw, itu gosip apa beneran yang kamu omongin tadi?”

“Yang mana?”

“Yang kabar kalau Queena kontak-kontak Zen.”

“Ya kalau gue gak salah nguping sih, setelah bosan sama Kevin, itu ratu kecantikan dunia gaib kayaknya penasaran sama Zen. Bukan cuma Zen, elo, Yosi dan Xavi kan antitesis buat para cowok banyakan. Cuek bebek sama cewek-cewek, padahal yang suka kalian banyak.”

Wah Susi ini kalau ngomong ceplas-ceplos banget dan centil sekali anaknya, kadang heboh sendiri. Vinia aja betah satu meja sama dia sedari kelas 1 dan masih tetap sebangku di kelas 2 sekarang ini. Pas kelas 1, meja mereka berdua agak jauh dari meja kami dan jujur saja aku senang karena meja mereka berdua berada tepat di mejaku saat ini. Jadi aku bisa mengamati Vinia dari belakang,

Eh aku mikir apaan sih.

“Antitesis gimana?”

“Ya kalian berempat kan yang paling sibuk sendiri, paling cuek di antara para teman cowok-cowok di kelas. Tapi cuek-cuek gitu, Asha bisa kecantol juga sama Xavi. Um, Yan. Kalau Zen gak jelas statusnya, sementara Xavi pacaran sama Asha, nah kalau elo sama Yosi, dengar-dengar punya cewek dari SMA SWASTA XXX yah?”

Sialan, aku tidak suka pertanyaan tersebut. Aku dan Vinia seperti langsung ke-trigger. Kami berpandangan sebentar lalu Vinia sibuk mencari-cari sesuatu di tasnya. Di saat aku tidak ingin menjawab pertanyaan dari Susi tapi bingung mau jawab apa, aku lihat Zen, Yosi dan Xavi masuk ke kelas. Oke, aku selamat.

“Sus, pangeranmu datang tuh.”

Susi yang tadinya duduk menyamping dengan bersandar ke dinding kelas, begitu aku beritahu Zen datang, Susi langsung duduk rapi menghadap ke depan.

“Idih, pencitraan lo Sus. Dasarnya tomboi kalau dibuat-buat feminim tetap aja kaku hihihi,” bisik Vinia.

“Ih diem lo Vin. Em. Selamat pagi Zen.”

Zen yang di sapa Susi cuma senyum. “Pagi. Halo Vin, udah mulai masuk ya.”

Aku ketawa karena setelah membalas sapaan Susi dengan singkat Zen langsung menyapa Vinia. Yosi dan Xavi juga menyapa serta tos dengan Vinia. Susi cemberut haha.

“Sudah dong, udah kangen sama kalian, ehehe,” jawab Vinia.

“Oh gue kira cuma kangen sama Ya- aduh!” Xavi mengaduh kesakitan saat Yosi langsung menjewer telinganya.

Meskipun omongan Xavi, terpotong karena Yosi yang tanggap bahwa perkataan Xavi cukup sensitif, aku yakin Vinia tahu benar apa maksud perkataan Vinia. Vinia terdiam sebentar, menunduk lalu mengajak Susi untuk turun dulu.

“Sus, bentar lagi bel upacara bendera, turun ke bawah yuk,” pinta Vinia. Susi mengiyakan ajakan Vinia dan keduanya lalu pergi duluan ke halaman sekolah.

“Lo bego banget sih !! pake acara nyindir Vinia segala !!” Yosi langsung menyemprot Xavi.

“Parah lo, itu telak banget kena Vinia. Vinia pasti mikir kalau Yandi udah pasti cerita ke kita tentang kejadian di Villa dan sepakat bahwa dia penyebab Yandi putus dengan Dita.”

Xavi langsung menangkupkan kedua tangannya di atas kepala sambil mengucap kata maaf. “Gue keceplosan guys, maaf.”

“Yan, lo mesti selesaikan kesalahpahaman di antara kalian berdua hari ini juga, kalau di biarkan berlarut-larut ya gue yakin Vinia bakal menjauh dari kita. Gue gak tahu perasaan kalian berdua tetapi demi persahabatan kita, elo gak boleh salahin Vinia. Suka atau tidak, elo juga bersalah dalam hal ini. Jadi saran gue, jangan saling menyalahkan diri sendiri, tetapi cari jalan agar kita semua bisa seperti sedia kala. Di tengah banyaknya masalah yang menunggu di depan kita, gue gak mau nambah 1 masalah lagi,” papar Zen memelankan suaranya agar cukup kami berempat yang mendengarnya.

“Ya, tentu saja. Aku tahu yang harus aku lakukan, friendship above all.”

Kami berempat lalu turun ke lapangan saat bel pertanda bahwa 5 menit lagi akan di mulai upacara bendera. Aku setuju dengan Zen, aku mesti bicara dengan Vinia, tapi aku bingung mau bicara dengan dia di mana karena sepertinya tidak memungkinan membicarakan hal tersebut di sekolahan. Sepertinya setelah jam pelajaran usai, aku mesti mengajak Vinia bicara di luar selepas pulang sekolah. Semoga Vinia ada waktu luang hari ini.

Semoga.

*****

Asem aku kok malah deg-degan gini pas dengar tanda bel pulang sekolah. Aku deg-degan karena tadi di tengah jam pelajaran ke 6, aku WA Vinia kalau nanti sepulang sekolah, aku pengen bicara sesuatu dengan dia. Aku sengaja gak meminta langsung karena selain Susi nempel terus sama Vinia, sikap Vinia juga sedikit menjaga jarak. Setiap 5 menit aku cek ponsel namun Vinia cuma nge-read tanpa membalas. Pas di kelas ia juga biasa saja. Bahkan setelah selesai berdoa, Vinia langsung pamitan ke kami berempat dan pergi menduhului kami. Padahal aku berharap Vinia mengatakan sesuatu,

“Guys, duluan yah !” lalu pergi dengan terburu-buru. Vinia sama sekali tidak melihat ke arahku. Seolah aku tidak ada di situ.

Zen yang tahu aku lagi gelisah cuma mengangkat bahunya. Memang ribet urusan sama cewek, siapapun ceweknya!

Kami berempat langsung pulang, tidak nongkrong dulu karena kami semua masih sangat mengantuk, ingin tidur sepuasnya setelah pertemuan semalam di rumah Xavi. Bodoh amatlah, aku mau pulang, makan terus tidur !

Matahari yang bersinar sangat terik membuat aku mengeluarkan peluh cukup banyak. Seragam sekolah jadi terasa lengket. Gak enak rasanya. Aku lalu membeli sebotol Teh Pucuk di Indomaret, ngadem sekalian numpang ganti baju kaus yang biasa kubawa di dalam tas. Setelah ganti baju, cuci muka lalu menghabiskan Teh Pucuk, jadi lebih enakan. Sembari menunggu bus, aku buka-buka ponsel dan saat itulah aku mendapat WA dari Vinia.

VINIA
Sori Yann, baru sempat bales dan tadi gue buru-buru pulang karena ada acara sama Mama. Kalau masih minat bicara sama gue, nanti sore jam 6 an gue baru balik rumah. Tapi kalau gak jadi gak apa2 kok.
14.12

Sudah pasti, aku mau bicara dengan dia hari ini, lebih cepat selesai kesalahpahaman di antara kami berdua lebih baik.

YANDI
Jam 7an aja Vin, biar kamu sempat istirahat dulu.
14.15

VINIA
Okey. Mau ketemu di mana?
14.16

Aku gak ada ide mau ketemuan dimana, karena rumah Vinia lumayan jauh.

YANDI
Terserah, kamu aja yang pilih, heee.
14.17

WA ku tidak langsung di baca Vinia. Sampai aku tunggu beberapa menit belum juga ada balasan, sampai akhirnya ponsel aku masukkan ke dalam tas karena bus yang aku tunggu sudah kelihatan. Saat masuk ke dalam bus, ada tempat duduk kosong di bangku paling belakang dekat pintu bus belakang. Spot favoritku kalau naik bus. Saat tas ku pangku, terasa sih ponselku bergetar, ada WA masuk. Aku cek nanti saja lah kalau udah sampai rumah.

Aku baru inget untuk cek ponsel sekitar jam setengah lima sore karena sesampai di rumah, Mbak Asih memintaku untuk pergi ke pasar untuk beli beberapa bahan bumbu dan sayuran karena mas Darto sedang pulang kampung beberapa hari. Jadi setelah selesai ganti baju dan makan, aku langsung pergi ke Pasar Merah. Titipan belanjaan yang harus ku beli cukup banyak dan terperinci di kertas yang di tulis oleh Mbak Asih. Tapi gak masalah sih, semuanya lengkap. Toh aku juga sudah hapal letak lapak-lapak langganan Mbak Asih kalau belanja di Pasar Merah. Jadi begitu sampai di Pasar Merah aku tinggal menuju ke lapak dan tunjukkan list pesanan ke pedagang, beres lengkap bayar lalu pulang. Selesai membantu Mbak Asih, aku lalu ke kamar dan mengecek ponsel.

Ada beberapa WA di grup namun yang membuatku keinget sesuatu adalah saat melihat WA dari Vinia. Oia, tar malam aku ada janji dengan Vinia !

VINIA
BOWIE jam 8 aja gimana Yan? Kalau jam 7 aku malah gak bisa karena ada urusan bentar dengan manajer gue.
14.59

VINIA
[Share Location]
15.00

VINIA
Itu lokasi tempat ketemunya kalau elo mau di situ. BOWIE itu semacam cafe yang ada life music-nya gitu, ambiencenya enak. Pokoknya jadi enggaknya kabarin ke gue sebelum jam 4 sore ya
15.04

Wadduh ini udah lebih dari jam setengah lima sore. Aku tahu soal waktu, Vinia punya skedul dan agenda seabrek di luar jam sekolah, jadi pasti perlu kepastian. Aku lalu coba telepon Vinia dari WA, namun setelah beberapa kali dering nada tunggu, tidak ada respon alias tidak di angkat. Aku lalu telepon dengann panggilan langsung, tetapi hasilnya sama. Tersambung namun tidak di angkat.

YANDI
Maaf Vin, baru sempat baca WA mu sekarang, aku tadi ke pasar dulu. Ini udah lewat dari jam 4 sih, kalau memang karena aku telat ngabarin dan kamu sudah ada agenda lain, besok aja gak apa-apa.
16.33

Terkirim namun belum di baca. Sambil menunggu balasan WA dari Vinia, aku lalu main gitar di kamar, dari kemarin iseng coba main petik-petikan gitar ala klasik. Estas Tonne, maestro gitaris asal Uni Soviet yang pertama aku tahu dari Youtube, membuatku tertarik dengan aliran klasik. Pikiranku seakan di ajak terbang jika mendengarn petikan gitar akustik. Sangat indah namun juga sangat powerfull mengaduk-aduk emosi bagi yang mendengarnya. Karena saking asyiknya belajar lagu klasik dengan petikan, membuatku lupa (lagi) untuk segera cek ponsel. Saat aku cek ponsel sekitar jam lima lebih sepuluh menit dan di saat yang sama Vinia  membalas WA ku.

VINIA
Maaf ponsel di tas, lagi bawa mobil tadi. Yan, gimana nanti malam? Kebetulan Manajer gue re-skedul pertemuan, gak jadi malam ini tapi besok. Jadi bisa maju ke jam 7an.
17.17

Langsung kubalas.

YANDI
Oke di BOWIE jam 7 malam ya, aku pake baju kuning polkadot merah celana hijau dan pakai topi jerami, sendal jepit karet Swallow.
17.18

VINIA
Ya ampun ramai sekaliiii, yadah aku pakai daster ala Hokage  Naruto aja deh. Haha.
17.19

Aku tersenyum membaca balasannya, di WA gini memang seperti tidak ada kecanggungan sih, tapi pasti beda kalau ketemu langsung. Aku bahkan belum apa-apa udah deg-degan. Setelah kami sepakat untuk ketemuan jam 7, aku segera mandi dan jam setengah 7 aku sudah siap. Karena lokasinya cukup jauh, aku lalu minta ijin Mbak Asih untuk pinjam motor.

“Kamu ini tiap malam keluyuran terus, gak pernah Mbak lihat kamu belajar. Kamu sudah kelas 2 lho dek, mesti serius,” tegur Mbak Asih sembari menyerahkan kunci motor berikut STNK.

“Iya Mbak, ini bentar kok mau ke Gramedia, mau beli buku pelajaran, ” lebih baik aku berbohong pergi ke toko buku daripada bilang mau ketemuan sama Vinia di cafe.

“Sebentar versimu itu berarti jam 12 malam baru pulang.”

“Gak lah Mbak, Gramedia jam 10 tutupnya.”

“Oke, kalau jam setengah 11 kamu belum sampai di rumah, seminggu berikutnya kamu gak boleh keluar main kalau malam, Mbak gak akan pinjemi motor. Di rumah belajar,” tegas Mbak Asih dengan ekspresi serius.

Kalau aku yang dulu pasti protes karena merasa di kekang, tetapi kini aku mengerti karena Mbak Asih menggantikan peran mendiang orang tua kami. Kalau aku gak nurut Mbak Asih, aku mau nurut sama siapa lagi?

Aku mengiyakan saja nasihat dari Mbak Asih. 3 jam ketemuan dengan Vinia pasti sudah lebih dari cukup. Ketika aku sedang memakai helm dan menyalakan motor, aku lihat sebuah mobil sedan berhenti di depan rumah, lebih tepatnya depan rumah Dita. Lalu kulihat  Dita keluar dari pintu depan mobil sebelah kiri, ia sempat melambaikan tangan ke arah orang yang ada di dalam mobil, kemudian  Dita melihatku yang sudah bersiap untuk perrgi. Dita tersenyum namun saat aku hendak menyapanya, dia langsung masuk ke dalam halaman rumah tanpa menengok ke arahku. Mobil yang mengantar Dita juga perlahan pergi meninggalkan rumah Dita.

Dita sama siapa?

***

Agak susah ternyata menemukan BOWIE karena lokasinya agak di pinggir kota dan masuk ke kawasan yang memang tidak terlalu ramai. Apalagi letaknya berada di jalan yang banyak satu arah, aku jadi muter-muter. Share Loc yang di berikan Vinia juga agak membingungkan, aku baru nemu lokasi pastinya saat berhenti sejenak di Alfamart untuk beli Aqua sekalian nanya. Pegawai Alfamart lalu menjelaskan dengan cukup jelas arah ke BOWIE.

“Biasanya orang yang pertama kali ke BOWIE bakalan bingung mas, karena gak akan kelihatan dari jalan raya mesti masuk dulu beberapa puluh meter. Dan rata-rata ya pada nanya ke Alfamart sini,” tambah si petugas Alfamart yang ramah.

Setelah mengucapkan terima kasih aku segera bergegas menuju BOWIE. Berkat petunjuk pegawai Alfamart tersebut, 5 menit kemudian aku sudah sampai di pelataran parkir yang besar. Mobil dan motor yang terparkir cukup ramai, padahal ini hari Senin. BOWIE ini agak aneh karena tidak ada papan petunjuk nama yang terpasang di depan pinggir jalan raya , sehingga aku yakin banyak yang susah. Setelah parkir, aku menatap sejenak bangunan yang nampak sederhana ini.

Papan nama BOWIE pun bukan dari lampu Billboard, tetapi dari papan kayu sederhana lalu di cat putih bertuliskan BOWIE yang di pasang di atas pintu masuk. Sepertinya pemilik tempat ini ngefans dengan mendiang David Bowie yang eksentrik. Aku yakin BOWIE  bukan kedai kopi, tetapi lebih seperti pub atau bar gitu lah. Vinia tahu aja tempat ginian, tapi ya maklum Vinia kan artis punya banyak teman dan pergaulan yang luas.

Saat aku baru turun dari motor, Vinia meneleponku.

“Halo Vin.”

“Halo, elo di mana Yan?”

“Udah di parkiran BOWIE, sori telat, agak susah nemu tempa ini.”

“Hihi memang belum pernah ke sini bakalan kesulitan cari lokasinya. Gue duduk di pojokan ya.”

“Oke.”

Entah kenapa setelah menutup telepon aku reflek merapikan kemeja dan jaket serta berkaca sebentar di pantulan kaca mobil yang terparkir di dekatku. Asem kok aku grogi ya. Padahal sebelumnya kalau ketemuan sama Vinia, baik sama teman yang lain maupun berdua saja, rasanya biasa saja. Setelah merasa penampilanku sudah rapi, aku segera masuk ke dalam BOWIE.

Kesan pertama yang aku rasakan saat masuk ke dalam BOWIE adalah aku seperti berada di pub yang ada di film-film Amrik. Berbagai aroma minuman langsung merasuk ke hidung, Di lemari kabinet belakang bartender berjajar banyak sekali wine dan juga berbagai merk bir. Kelihatannya enak tetapi pada dasarnya aku memang tidak doyan minum bir maupun wine sih. Tetapi ada hal lain yang membuatku senang adalah ada live perfomance satu band yang ada di stage kecil di bagian ujung dan mereka membawakan musik aliran blues !!! Wow ! ada beberapa orang yang sedang bermain dengan penuh penjiwaan. Terutama vokalisnya yang berambut acak-acakan namun punya suara keren. Aku mengenali lagu yang sedang di bawakan oleh mereka tetapi aku lupa judulnya. Paling sebal memang kalau inget lagu tapi lupa judulnya.

DENGERIN PAKAI HEADSET BIAR MANTAP FEEL-NYA


Musik blues yang menenangkan membuatku langsung suka dengan ambience tempat ini, meskipun barusan ketika aku di tanya bartender yang berada di belakang bar aku mau pesan minum apa lalu ku jawab es teh manis, ia hanya terkekeh. Heran kali dia orang datang ke pub pesan es teh manis. Karena saking menikmati musik dari band tersebut terutama di bagian solo, aku kaget saat ada yang menepuk pundakku dari belakang.

“Yan..Yan..Gue tunggu-tunggu dari tadi elo malah asyik sendiri.”

Vinia, Vinia yang menepuk pundakku rupanya. Vinia mengenakan baju biru tua polos di balut dengan cardigan warna abu-abu. Wajahnya masih terlihat full make-up meskipun tidak terlalu mencolok. Cantik dan anggun.


“Eh iya Vin, maaf-maaff. Itu keren sekali band yang lagi main.”

“Iya donk keren, itu vokalisnya om gue lho.”

“Oiaa ? wuihhh mantap.”

“Dia juga owner tempat ini. Om gue itu ngefans sama David Bowie makanya saat ia membuka usaha pub ini, dia memberi tempat ini dengan BOWIE. Eh, kita ngobrol di sana aja yuk ah.”

“Vin, ini orang yang lo tunggu-tunggu sedari tadi?cieeee,” celetuk si bartender yang tadi melayaniku.

“Iya dong, masa nungguin elo sih bang,hehe.”

“Spesial pakai telur ini sepertinya,” kata si bartender sambil tersenyum dan melihat ke arahku.

Aku jadi salah tingkah sendiri.

“Kepo dah, udah yuk Yan kita mojok ke sana, biar gak di ganggu si abang tengil ini,” kata Vinia sambil memegang pergelangan tanganku dan menariknya menuju ke pojokan. Si abang Bartender sempat bersiul-siul ke arah kami. Ealah aku malah terkejut sendiri dengan sikap Vinia. Vinia menuntunku menuju tempat duduknya. Beberapa pengunjung lain nampak memperhatikan kami berdua, em mungkin lebih tepatnya ke Vinia sih, kan dia musisi terkenal sementara aku cuma rakyat biasa hehe.

Aku lalu duduk di samping Vinia karena tempat duduknya model sofa yang memanjang di sepanjang dinding menghadap ke stage kecil. Aku kemudian menaruh gelas es teh di meja bundar depan kami. Di atas meja  sudah ada asbak berisi 1 puntung rokok, 1 gelas kecil berwarna keemasan. Dari aromanya gelas ini berisi bir. “Itu bukan rokok gue,” tukas Vinia sambil menoleh ke arahku. Wajahnya berasa dekat, aku lalu menggeser posisi tempat dudukku agak sedikit menjauh, karena aku ingin berbicara dengan Vinia dengan nyaman.

“Kalau itu rokokmu juga gak apa-apa. Toh aku sudah tahu kalau kamu sesekali ngerokok dan ya minum bir. Tapi sebaiknya di kurangin aja Vin, secara kamu kan bukan cuma gitaris, kamu juga vokalis. Kalau kebanyakan rokok, minum bisa ganggu performa kamu.”

Vinia tersenyum.

Vinia kemudian mengeluarkan sebotol Aqua tanggung dan di letakkan ke atas meja.

“Elo sama cerewetnya dengan Mbak Nadia,” katanya.

“Mbak Nadia siapa?”

“Manajer gue.”

“Oh…”

Kami lalu sama-sama diam, seperti kehilangan bahan pembicaraaan basa-basi sebelum masuk ke inti pertemuan kami malam ini. Vinia kulihat memangku dagunya dengan tangan, sambil duduk dengan melipat paha dan sesekali menggoyang-goyangkan kakinya. Di saat aku bingung mau ngomong apa lagi, lagu blues yang masih terdengar di bawakan oleh sepupu Vinia, akhirnya membuatku menemukan bahan pembicaraan yang paling pas dan aku harap bisa mengurangi rasa kaku, ankwardi di antara kami.

“Vin, ini lagu judulnya apa ya? Aku tahu lagu ini tetapi tiba-tiba blank gak inget judul sama penyanyinya.”

“Midnight Blues dari Gary Moore. Om Marvin demen banget sama Gary Moore.”

“Ahh iya! Gary Moore ! Btw, Om kammu yang sedang perform itu namanya Marvin ya?”

“Iya, dia jago main gitar juga kok. Malahan awal gue belajar gitar, Om Marvin yang ngajarin. Karena kemudian di rasa gue ada bakat main gitar dan ilmu dia udah mentok, dia nyuruh gue untuk lanjut belajar gitar sendiri. Yan, elo juga suka musik kek gini ?” tanya Vinia sambil menengok ke arahku.

Aku lalu duduk bersandar ke dinding dan menjawab pertanyaan Vinia.

“Iya, musik Blues itu menurutku mellow but powerfull, sunyi tetapi riuh, kalau istilahku, musik paling sempurna untuk di dengarkan saat pas malam-malam sambil ngopi. Pada dasarnya aku menyukai semua aliran musik, karena buatku setiap aliran atau genre musik memiliki nyawa yang berbeda-beda. Pop, Rock, Punk, Metal, Deathmetal, Jazz, Hip-Hop, Blues, EDM, aku suka mendengarkan banyak genre.”

“Elo ketinggalan satu genre lagi.”

“Apa?”

“Dangdut.”

“Aahaha tentu saja! Haji Rhoma Irama salah satu idolaku, di kamar rumahku saat aku masih di kampung, dindingnya banyak sekali aku tempeli poster-poster pemain sepakbola. Hanya ada 2 poster yang tidak ada hubungannya dengan sepakbola. Pertama poster dari band favoritku sepanjang masa Sepultura. Kedua adalah poster Haji Rhoma Irama lengkap dengan Soneta Grup.”

Vinia langsung ketawa ngakak dan kemudian menutupi mulutnya dengan tangan saat ketawanya terlihat berlebihan,

“Ketawa saja neng, dari kecil mendiang Bapak kalau lagi di rumah selalu memutar kaset lagu-lagu Rhoma Irama. Jadi wajar jika aku pun ikut menyukai lagu-lagu Rhoma Irama yang memang bagus-bagus, legendaris! Sehingga sejak kecil aku punya kepercayaan bahwa selain Kotaro Minami, si Ksatria Baja Hitam ada satu Ksatria lagi asli Indonesia yang tak kalah saktinya. Siapa lagi kalau bukan Haji Rhoma Irama si Ksatria Bergitar.”

Tawa Vinia makin heboh dan membuat beberapa pengunjung menoleh ke arah kami berdua.

“Dasaaarrrrr Yandi. Asem, gue ke kamar mandi bentar ya. Ketawa sampai ngakak kek gini malah buat gue jadi kebelet pipis.”

Aku tertawa. Saat Vinia pergi, bertepatan Om Marvin dan bandnya selesai perform. Para pengunjung  memberikan tepuk tangan yang meriah, beberapa ada yang bersiul panjang, tentu saja aku pun turut memberikan applause.

Om Marvin membalas dengan ikut tepuk tangan juga ke arah kami. “Thanks ! Semoga penampilan gue barusan cukup menghibur!”

“Lanjut Vin!!” teriak salah seorang pengunjung BOWIE.

Om Marvin yang usianya kutaksirs sekitar 40 tahunan, tertawa. “Break dulu ganteng!” sahutnya.

Om Marvin dan teman-temannya lalu turun dari mini stage. Kulihat dia menghampiri meja bar dan langsung menyambar minuman yang di sediakan bartender. Aku agak kaget karena rupanya Om Marvin tersenyum sambil mengangkat gelasnya ke arahku sebelum ia mulai minum. Kalau di perhatiin, sangar juga Om Marvin. Badannya tinggi tegap, kalau aku bilang mirip-mirip sama Chino Moreno muda, vokalisnya Deftones.

Bang Marvin

Ah mungkin aku salah duga, sepertinya ia sedang memandang ke arah temannya yang kebetulan duduknya berada satu lajur denganku. Tetapi dugaanku salah karena kemudian Om Marvin berjalan ke arahku.

“Halo, gue Marvin,” sapa Bang Marvin saat ia sudah berada di dekatku. Aku tentu saja kaget dengan keramahan abang sepupu Vinia yang juga pemilik pub ini.

“Halo Om.. Yandi,” kataku memperkenalkan diri sambil menjabat tangannya. Alis Bang Marvin sedikit terangkat saat aku menyebutkan namaku, ia tersenyum dan kemudian duduk di dekatku.

“Jangan panggil Om, panggil Bang Marvin saja.”

“Iya Bang.”

“Vinia lagi di kamar mandi,”kataku menjelaskan. Padahal Bang Marvin gak nanya.

“Santai aja Yan. Ini mana makanannya, kok cuma minuman doang.”

“Masih kenyang bang.”

“Yailah, lo gak boleh pulang kalau belum nyicip beef steak ala BOWIE. Elo suka raw, medium atau well done?”

“Well done aja bang.”

“Oke! Dini!” Bang Marvin memanggil seseorang. Tak lama kemudian datang waitress cewek berambut panjang, ya ampun cantik bener waitressnya. Ia sempat melemparkan senyum ke arahku.

Aku lemah kalau ketemu cewek cantik berambut panjang lurus model kek gini, huuuuu.

“Ya bos?” ujar waitress yang bernama Dini.

“Well done 1. Raw 1. Tambahin mashed potato, scramble egg, sosis. Sekalian lo tambah minum apa? Bebas.”

Waduh banyak benar.

“Um, lemon tea aja.”

Waitres bernama Dini dengan sigap mencatat. “Ada lagi?”

“Udah itu aja Din. Gak pake lama.”

“Siap ndan.”

Lagi-lagi Dini melirikku sebelum akhirnya pergi. Kuperhatikan Dini dari belakang, bodinya juga sadis. Sempurna. Dan aku baru ngeh kalau waitress di sini memakai kemeja warna putih .

“Jarang-jarang lho Vinia bawa teman cowoknya datang kesini,” ujar Bang Marvin sambil menyalakan rokok. Aku lantas segera mengalihkan perhatian ke Bang Marvin, malu juga kalau ketahuan ngelihatin Dini sampai segitunya. Bang Marvin lalu mengangsurkan bungkus rokok di depanku namun aku menolaknya pelan.

“Gak doyan Marlboro?”

“Aku enggak ngrokok Bang.”

“Loh? Kok bisa?”

Nada ‘loh’ dari Bang Marvin seakan ia baru sekali ini ketemu cowok yang gak ngrokok.

“Gak suka aja Bang. Dulu waktu SD pernah coba-coba rokok. Tapi gak nemu sama sekali enaknya di mana-mana. Ya habis itu gak minat lagi sama rokok.”

“Hahaha buset. Lho pake obat gak? Inex, shabu, ganja?”

“Aku menggeleng cepat.” Serius tuh Bang Marvin nanya gituan.

“Good, tapi ganja sebenarnya tanaman baik sih, cuma stigma orang awam dan polkis aja bahwa ganja itu masuk drugs. Padahal di tinjau dari ilmu medis, selama dosisnya tepat, cara konsumsinya benar, ganja itu gak ubahnya orang-orang tua yang doyan minum jahe kalau kedinginan. Kapan-kapan kalau lo mau nyicip, kontak gue aja. Di jamin aman dan bermanfaat buat kesehatan,” terang Bang Marvin sambil menepuk lenganku.

Asem, mimpi apa aku semalam, di tawari ganja sama Om nya Vinia.

“Oke, rokok gak doyan, ngobat enggak. Minum?” lanjut Bang Marvin kemudian melihat ke arah gelasku.

Aku menggeleng.

“Bir, wine juga gak doyan. Anjir, lo doyannya apa? Kalau cewek lu doyan kan ya?” tanyanya sambil menyelipkan jempolnya di antara jari telunjuk dan jari tengah. Posisi jari yang identic dengan persetubuhan ahahha aneh sekali orang ini, batinku.

“Ya kalau cewek udah pasti suka lah bang,” kujawab dengan jawaban yang secukupnya.

“Nah gitu ! masa iya lo rokok gak doyan, alkohol gak doyan, cimeng gak doyan sampai cewek juga gak doyan hahaha. Sama gue perhatiin. Elo tadi curi-curi pandang ke Dini ya. Naksir lo ya?” tatap Bang Marvin dengan penun curiga.

Tuh kan ! ketahuan ! aku cuma nyengir sambil garuk-garuk kepala.

“Hahaha! Sok malu pula. Sini ponsel lo.”

“Ponselku? buat apa bang?”

“Udah sini ponsel lo, sekalian lo buka kuncinya.”

Aku nurut aja dan ku keluarkan ponsel dari kantung celana. Setelah ponsel kubuka, kuberikan ke Bang Marvin. Bang Marvin segera mengetikkan sesuatu dengan cepat lalu ponsel dikembalikan kepadaku.

“Tuh no hape Dini.”

Di layar kontak terlihat ada satu nama DINI BOWIE. Aku kaget.

“Ya siapa tahu cocok. Apalagi kelihatan banget lo berdua lirik-lirikan. Masih jomblo tuh kayaknya si Dini. Dia mahasiswi semester 3 di UNXXX jurusan Psikologi. Kostnya deket-deket sini. Dia hitungannya kerja part time doang di mari kalau week day. Kalau weekend off. Kalau lo mau coba deketin sok atuh, tapi kompetitor elo segambreng. Wajar sih, cantik, bodinya monster sama nilai plusnya dia smart lho. Kalau seandainya gue belum punya anak bini, udah gue sikat tuh si Dini,” ujar Bang Marvin sambil tertawa terkekeh.

Asolole benar ini Bang Marvin, sekilas dari cara bicaranya yang ceplas-ceplos tanpa tedeng aling, cepat ramah sama orang baru, bisa buat orang nyaman ngobrol sama dia, aku jadi inget mendiang Axel. Aku pun jadi ikut tertawa.

Dini? Lagi banyak masalah berat antri berjajar di depan mata kek gini, apa iya aku sempat mikirin masalah cewek?

“Feeling gue kok gak enak ngelihat kalian berdua ketawa-tawa jahat gitu?” selidik Vinia yang sudah balik dari kamar mandi. Ia lalu duduk di sampingnya Bang Marvin.

“Geer banget lo. Lama amat lo di kamar mandi? Mencret?” tanya Bang Marvin.

“Ihhh jorokkk lu Om, gue kebanyakan minum tadi. Abang sama Yandi udah ketawa-tawa berarti udah kenalan sendiri dong ya, baguslah. Jadi gak repot gue ngenalin.”

“Permisi, orderan si boss udah ready!” ujar Dini sambil membawakan nampan berisi 2 piring besar steak lengkap dengan kentang tumbuk, telor dan sosis. Meskipun tampilan steaknya nampak menggugah selera tetapi porsinya buatku tetap terlalu banyak. Ya ampun.

“Ini lemon tea-nya,” kata Dini sambil meletakkan minuman pesanan di depanku. Sekilas aku bisa mencium aroma parfumnya, O em jiiii !! aromanya wangi-wangi gimana gitu!

“Terimakasih.”

“Sama-sama. Selamat menikmati.”

“Wah tahu aja lo Om, gue lapar lagiii. Ini Raw ya Din, Asyik !”

“Iya Vin, favorit elo nih!” jawab Dini saat di tanya Vinia. “Ada tambahan lagi?”

“Udah ini dulu cukup Din.”

“Oke bos.”

Dini lalu mohon diri, aku dan Dini sempat beradu pandang sebentar sebelum dia pergi. Semoga Vinia gak ngeh sih. Vinia yang tadinya hendak mengambil steak mengaduh karena tangannya di tepis Bang Marvin.

“Gak sopan lu jadi ponakan. Ini makanan gue dan Yandi.”

“Lho, gue gak di pesenin, huft!”

“Elo maju dulu sono, bawain BB King.”

“Yaaaa jahaatttt,”

“Ngamen dulu sana, kalau udah kelar, elo bisa makan steak sepuas elo, gratis.”

“Wuih beneran nih?”

“Kapan sih Om elu yang ganteng ini bohong?” jawab Bang Marvin sambil mulai mengiris steak yang sudah tersaji di depannya.

“Iya, tapi huuhuhuu kok BB King sih, udah lama gue gak main blues. Sama lagi serak ini gue om.”

“Payah lo ah.”

“Jangan BB King deh, Gary Moore yang ‘Still Got The Blues’, boleh?”

“Enggak boleh.”

“Yah terus apa dong?”

“Yan, elo yang tentuin Vinia mau main apa.”

“Lah aku?”

“Pliss Yan, jangan yang susah-susah dong,” pinta Vinia.

Aku memikirkan sejenak, satu lagu yang bisa menunjukkan skill gitar Vinia tanpa perlu dia bernyanyi. Lalu aku teringat satu lagu, lagu yang pernah Vinia mainkan di studio Xavi. Lagu yang membuat aku, Xavi, Yosi dan Zen merinding pada saat mendengar serta melihat Vinia perform di depan kami.

“Joe Satriani. ‘Always With Me, Always With You’.”

Vinia langsung menatapku dengan penuh arti, senyuman merekah di wajahnya. Sementara alis Bang Marvin malah terangkat sebelah.

“Oke deal,”sahut Vinia.

“Wah curang benar, Vinia mah udah khatam itu lagu, tapi ya udah lah, gue juga pengen nikmatin elo main itu lagu. Sok sana Vin, bilang ke teman-teman gue. Mereka bakal iringin elo main tuh lagu,” kata Bang Marvin sambil mengiris  steaknya yang kulihat masih berwarna merah alias agak mentah.  Wuek.

Tanpa banyak bicara lagi, Vinia melepas jaket cardigan yang ia pakai dan di lemparkan ke arahku. Segera kutangkap cardigan tersebut dan kuletakan di sofa. Vinia terlihat on-fire malam ini ahahahaha.

Vinia berbincang sebentar dengan teman-teman Bang Marvin lalu mereka ke mini stage. Para pengunjung BOWIE langsung riuh saat melihat Vinia tiba-tiba sudah berada di atas mini stage lengkap dengan gitar Ibanez warna hitam polos. Para pengunjung lalu meneriakkan beberapa judul lagu milik Vinia, meminta agar Vinia memainkan lagu tersebut buat mereka.

“Maaf malam ini gue gak bisa nyanyi karena suara sedang serak, kurang fit. Jadi malam ini gue Cuma nge-jam santai dengan om-om di belakang. Dan maaf, bukan musik blues yang gue bawakan,hehehe.”

Suara tepuk tangan dan siulan panjang menjadi tanda bahwa para pengunjung di BOWIE tidak keberatan kalau Vinia sedang berhalangan untuk bernyanyi. Karena aksi gitar Vinia pun tidak kalah memukau.

NGE-FLY DULU YUK SAMA OM SATRIANI ! DENGERIN SAMBIL NGOPI, BEUHHH !

Pengunjung BOWIE langsung riuh memberikan tepuk tangan saat Vinia memainkan intro dari lagu yang aku yakin sudah sangat familiar buat para pengunjung sini.

Lampu di area mini stage langsung menyala, memberikan highlight khusus kepada Vinia. Vinia terlihat begitu enjoy dan menikmati permainannya sendiri.

Vinia, she is born to be a rockstar!.

“Yan, Vinia sering cerita tentang beberapa teman dekatnya di sekolah ketika gue berkunjung ke rumahnya atau dia yang datang ke rumah atau datang ke sini. Dari sekian banyak ceritanya, ada dua nama yang paling sering ia singgung,” ujar Bang Marvin dengan nada suara yang lebih serius.

Aku yang tadinya memperhatikan Vinia lalu menoleh ke arah Bang Marvin, “Siapa Bang?”

“Axel dan Yandi.”

“Oh…” karena aku kaget mendengar namaku serta Axel di sebut aku jadi hanya merespon seperti itu.

“Elo ingat kan waktu di awal tadi gue bilang kalau Vinia jarang banget ajak teman cowoknya ke BOWIE.”
“Inget Bang.”

“Selain nama kalian yang paling sering di singgung Vinia, kalian berdua juga menjadi satu-satunya teman cowok yang pernah Vinia ajak ke sini. Vinia itu tomboy banget sedari kecil. Gak pernah gue lihat atau dia cerita dekat atau punya pacar. Masa SMP dia habis buat main musik, musik dan musik. Makanya gue surprise banget ketika suatu hari Vinia datang bersama cowok bernama Axel. Ngelihat Axel yang slengean, mudah akrab sama orang, pandai berbaur, gue jadi keinget masa muda gue.

Lo tahu gak, Axel dan Vinia ya dulu  duduknya di sini, di bangku sofa yang kalian tempati sekarang. Mereka kelihatan enjoy banget. Meskipun Vinia mengenalkan Axel ke gue sebagai temannya tetapi dari gesture dan cara mereka saling menatap, gue tahu kalau mereka pacaran. Untuk pertama kalinya gue lihat Vinia bisa nyaman berduaan dengan seorang cowok. Vinia itu tipikal cewek yang susah di deketin sama cowok lho, jadi gue salut sama si Axel karena bisa buat Vinia betah.”

Aku meneguk minumanku, jika cerita tentang Axel, aku tahu arah pembicaraan ini akan berakhir dengan kisah sedih.

“Setelah itu, Axel sering main ke sini entah sama Vinia maupun sendirian. Sesekali dia ikut main di sini karena belakangan gue tahu kalau Axel itu gitaris pengganti Reno di APOLLO 17. Lalu kemudian gue sempat lama tuh 2-3 bulan gak ketemu langsung sama Vinia karena ia sibuk roadshow dan rekaman. Vinia juga mulai susah di hubungin. Gue sih maklum dengan kesibukannya. Sementara gue sendiri juga lagi sering bolak-balik Singapore untuk urusan kerjaan.

Gue jadi gak ngikutin lagi kabar Vinia tuh. Kemudian suatu malam, pas gue lagi otw dari bandara Kota XXX menuju rumah, gue di telepon sama anak-anak BOWIE kalau Vinia mabuk-mabukan di private room sini, dia teriak-teriak lepas kontrol sampe mengancam akan melempari botol kepada siapa saja yang coba mendekatinya. Gue jelas kaget  sekaligus heran dengarnya,” papar Bang Marvin yang berhenti sebentar untuk menghabiskan potongan terakhir steak.

Setelah steaknya habis, ia meminum minuman di gelas yang ia bawa. Bang Marvin menyeka mulutnya dengan tisu sebelum akhirnya melanjutkan perkataannya,

“Lalu sebelum berita Vinia mabuk-mabukan jadi viral gue minta anak-anak buat nahan Vinia agar tetap di private room karena gimana pun Vinia sudah jadi orang terkenal, gue gak mau orang-orang tahu kalau tamu yang mabuk berisik itu Vinia. Repot kalau image dia ancur gara-gara ketahuan mabuk-mabukan di pub. Lalu gue langsung putar haluan ke sini. Saat gue datangin Vinia, kondisinya benar-benar  kacau, dia teler parah sambil nangis-nangis.

Begitu lihat gue datang, Vinia langsung peluk dan teriak-teriak kalau sore tadi Axel meninggal karena penyakit kanker paru-paru yang sudah menyebar total di tubuhnya, penyakit ganas yang baru ketahuan setelah diagnose 2 bulan sebelumnya. Fuck, fuck! That was devastating news buat gue! Gue langsung memahami tindakan Vinia barusan. Dia shock berat. Gue pun peluk dan belai-belai Vinia yang terus menangis. Sesekali ia bercerita, gue dengarkan dengan sabar hingga akhirnya Vinia terlelap tidur karena kecapekan dan pengaruh minuman. Singkat cerita, Vinia benar-benar hancur di tinggal oleh Axel.”

Aku diam mendengarkan, aku gak mau ikut berkomentar. Aku jadi ikut sedih karena teringat Axel dan penderitaan Vinia yang di tinggalkan Axel selama-lamanya di saat sedang sayang-sayangnya.

“Elo suka sama Vinia?”pertanyaan tiba-tiba Bang Marvin membuatku langsung berhenti mengunyah potongan terakhir steak. Aku langsung minum, untuk membantuku menelan makanan.

“Jujur saja sama gue, gak usah di tutup-tutupin,” tegas Bang Marvin.

Aku bukannya gak bisa jawab, tetapi pertanyaan dari Bang Marvin terdengar ambigu.

“Iya Bang, aku suka dengan Vinia. Tapi jangan salah sangka dulu, aku suka sama Vinia sebagai seorang sahabat.”

Bang Marvin terkekeh mendengar jawabanku.

“Jawaban lo klilse. Sama kayak gue dulu. Persis!”

“Persis dimananya Bang?”

“Gue dulu juga awalnya sahabatan sama bini gue. Bahkan kami sering becandaan kalau di antara kami gak mungkin lah jadian. Karena sama-sama udah tahu sifat busuk masing-masing. Dan terbukti kami memang gak pernah lebih dari seorang sahabat. Sampai ketika gue lagi jalan berdua sama dia, gue nanya spontan ke dia gini ‘Capek gue sahabatan sama elo, kita udah sahabatan 15 tahun loh. Mumpung lagi sama-sama jomblo, nikah aja yuk.’ Tahu gak Yan, apa jawaban bini gue?”

 Aku menggeleng.

“Istri gue bilang dia mau nikah sama gue kalau ijab kabulnya bulan depan. Kalau gak bisa nyanggupin, dia mau lanjut kuliah S3 di Inggris. Aje gile, dari yang semula iseng, gue langsung deg-degan dan tiba-tiba gue seperti ngeliat visi masa depan gue sama dia. Kebayang jelas banget kami berdua pake baju rapi, ngucapin ijab Kabul di depan kedua keluarga kami di kantor KUA. Saat penghulu bertanya ‘sah?’ dan kemudian para saksi menjawab dengan gegap gempita ‘SAAAAAHHHHHHHHH’, merinding gue ! ini jodoh gue ternyata sahabat gue dari jaman SMP! Singkat kata, tepat 30 hari kemudian kami sah jadi suami-istri. Ngehe benar dah, hahaha.”

“Wow…Sesingkat dan sesederhana itu bang?”

Bang Marvin mengangguk. As simple is that. Boleh jadi elo ngrasa perasaan elo ke Vinia pure as a bestfriends. Tapi buat gue, nonsense. Susah buat seorang cowok dan cewek sahabatan lama tanpa ada perasaan lebih yang tumbuh. Cuma keberanian dan keterbukaan yang membedakan gue dengan para cowok-cewek yang ngaku sahabatan tapi aslinya sayang tapi sama-sama di pendam.”

Aku gak menyangka akan mendapat petuah tentang relationship dari seorang pemilik pub yang bertampang sangar, pecinta blues, pemuja David Bowie sekaligus seorang Om yang benar-benar perhatian dengan keponakannya yang seorang superstar.

Bang Marvin tiba-tiba berdiri, “Vinia bentar lagi selesai main, Yan. Gue dengar elo jago juga main gitar. Setelah Vinia selesai, gue bakal challenge elo buat gantian perform di sana. Kalau lo mau atau gak berani, jangan pernah sekali-kali lo datang lagi ke BOWIE dan yang terpenting, lu gak bakal gue kasih restu kalau suatu hari lo jadian sama Vinia.”

“Eh, serius ini Bang?”

Bang Marvin diam saja dan melengos pergi, bersamaan dengan tepuk tangan dari para pengunjung BOWIE yang meriah saat Vinia menyelesaikan lagu Joe Satriani dengan epic. Kulihat Bang Marvin langsung naik ke mini stage dan meraih mic.

“Ponakan gue nih !! ponakan gue yang super duper keren haha!” katanya sambil mengucap-usap rambut Vinia hingga berantakan. Vinia cuma nyengir.

So Sweet.

Pengunjung BOWIE tertawa mendengarnya. Sementara itu Vinia langsung kembali ke tempat duduk. Ia langsung meneguk habis air mineral yang di bawanya.

“Gimana Yan, perform gue tadi?”Tanyanya.

Flawless,exceptional, goosebump!” aku memuji habis penampilan Vinia. Ia tersenyum.

“Yang benar, gue perhatiin elo sama Om Marvin malah keliatan ngobrol serius gitu. Hayoo ngomongin apa tuh?” sindir Vinia dengan nada penuh selidik.

Anjir, di tembak langsung sama Vina. Saat aku bingung memilih jawaban, tiba-tiba kedengaran suara Bang Marvin.

“Gak mau kalah sama Vinia, teman baru gue juga mau perform malam ini Yandi ! sini lo !! Itu tuh anaknya yang lagi sama Vinia!”

Sontak semua orang langsung menoleh ke arahku. Rasanya kayak kena skakmat, aku gak bisa mengelak. Tapi lebih baik maju deh daripada kena todong Vinia. Vinia awalnya juga kaget tapi kemudian ia bertepuk tangan saat melihatku berdiri.

“Sialan, aku di kerjai Bang Marvin. Yadah, udah tanggung. Malu kalau gak maju, aku ngamen dulu ya,” kataku ke Vinia sambil meneguk es lemon tea.

“Hahah Om gue itu memang iseng ! Semangat Yan!” ucap Vinia memberiku semangat.

Saat aku maju menuju ke mini stage, aku mikir keras. Anjir, aku mau main lagu apaan nih. Gak mungkin juga aku main lagu Sepultura, apalagi lagu Terajana-nya Haji Rhoma Irama. Bisa di gantung terbalik aku sama Bang Marvin. Ketika sampai di atas mini stage pun aku masih bingung. Bang Marvin merangkul pundakku.

“Mo main lagu apaan lu?” tanyanya di depan mic. “Kalau elo mau ngalahin Vinia yang main lagu Joe Satriani, lo mesti minimal main Steve Vai atau malah Yngwie Malamsenin sekalian.”

Pengunjung BOWIE ketawa karena Bang Marvin mempelesetkan nama belakang Yngwie, aish di kerjain benar aku di sini. Aku gak bisa main lagu Steve Vai apalagi si gitaris edan Yngwie Malmsteen yang super cepat. Alhasil aku nyengir saja.Di saat itulah aku lihat ada gitar akustik di belakang.

Gitar Akustik dan David Bowie.

Sepertinya aku punya ide, apalagi aku pernah secara spesifik ngulik satu lagu dari David Bowie yang jadi soundtrack dari satu film berjudul “The Secret Life of Walter Mitty” yang di bintangi Ben Stiller, sebuah film yang cukup berkesan buatku. Aku lalu meraih mic yang terpasang di mic stand dan bilang sesuatu. Aku memang agak-agak lupa chord maupun liriknya, tapi aku masih bisa googling chord dan liriknya di ponsel.

“Bang, bisa turun dari sini gak? Aku mau perform nih!” para penonton tertawa karena aku balik membalas perkataannya.

“Kalau kata Atta Disambar Halilintar, ashiappp !! Woi kalian juga turun, sang bintang tamu special kita nih,” kata Bang Marvin meminta para kru band yang mengiringi Vinia tadi untuk ikut turun. Namun aku segera mencegahnya.

“Aku perlu bantuan mereka Bang,” kataku.

“Okee.”

Setelah Bang Marvin turun, aku pun menghampiri para pemain band. Aku mengutarakan niatku jika ingin main lagunya David Bowie.

“Wahaha mantap-mantap. Mau yang Heroes atau Star-Man?” Tanya si om gondrong yang pegang Bass.

Aku menggeleng. “Space Oddity,” kataku.

“Wauhhh sadiisss, itu lagu kesukaan Marvin. ayok-ayok! Keren itu, tapi elo hafal gak chordnya. Kompleks lho itu lagu.” tukas si om yang duduk di belakang drumset.

“Aku agak-agak lupa, Cuma butuh trigger aja bang di awal, selanjutnya aku pasti ingat. Pernah ngulik abis lagu itu, tapi ya udah lama,”

Kemudian si pemain bass memberitahu chord lagu di awal. Setelah aku mulai ingat aku mengambil gitar akustik dan ternyata dua orang lagi naik ke mini stage. Satu pegang gitar listrik, satu lagi di keyboard. Aku lalu membuka ponsel untuk mencari lirik lagu biar gak salah. Setelah ketemu lirik lagunya, kuambil stand partitur yang berada di sisi panggung, kemudian ponsel kuletakkan di atasnya.

Nah! Lirik terlihat jelas. Para pengunjung BOWIE rupanya makin malam makin ramai dan mereka terlihat penasaran karena aku terlihat sibuk mengumpulkan para pengiring lagu. Setelah menyetem gitar akustik yang ku sandang, aku mengacungkan jempol ke om-om yang akan membantuku malam ini dan mereka semua mengangguk.

Semuanya sudah siap.

Aku sempat ingin mengucapkan beberapa kata tetapi aku urungkan, karena kalau gak segera mulai, aku bisa terserang demam panggung.  Aku mulai menghitung dalam hati.
Satu….dua…tiga..

DAVID BOWIE…WHA A LEGEND…MERINDING KALAU GUE DENGERIN NIH LAGU..

Para pengunjung BOWIE langsung riuh saat mulai mengenali lagu yang aku mainkan sekaligus nyanyikan di depan mereka. Aku menikmati ekspresi Bang Marvin yang terkejut bukan main karena aku menjawab tantangannya dengan menyanyikan satu lagu legend milik idolanya. Bang Marvin yang tadinya duduk di depan meja bartender langsung berdiri sambil mengacungkan sebotol bir yang ia pegang.

Aku tersenyum sedikit dan kemudian memandang ke arah Vinia. Pandangan Vinia kepadaku terlihat berbeda. Susah aku artikan. Aku lalu focus ke lagu yang memang susah, beruntung mas yang main Bass juga jadi suara kedua sesuai versi asli lagunya. Fiuh aku beruntung menyanyikan lagu sesudah ini di temani para musisi handal.

“Ground Control to Major Tom
Ground Control to Major Tom
Take your protein pills and put your helmet on
Ground Control to Major Tom (ten, nine, eight, seven, six)
Commencing countdown, engines on (five, four, three)
Check ignition and may God's love be with you (two, one, liftoff)

This is Ground Control to Major Tom
You've really made the grade
And the papers want to know whose shirts you wear
Now it's time to leave the capsule if you dare
"This is Major Tom to Ground Control
I'm stepping through the door
And I'm floating in a most peculiar way
And the stars look very different today
For here
Am I sitting in a tin can
Far above the world
Planet Earth is blue
And there's nothing I can do

Though I'm past one hundred thousand miles
I'm feeling very still
And I think my spaceship knows which way to go
Tell my wife I love her very much she knows
Ground Control to Major Tom
Your circuit's dead, there's something wrong
Can you hear me, Major Tom?
Can you hear me, Major Tom?
Can you hear me, Major Tom?
Can you "Here am I floating 'round my tin can
Far above the moon
Planet Earth is blue
And there's nothing I can do"

Mayoritas orang berdiri dari kursinya dan memberikan tepuk tangan meriah kepadaku, sebagian kecil tetap duduk namun tetap memberikan applause saat aku selesai bernyanyi.

“Yandiii, My Man !! keren sekali itu tadi, wow! Yang setuju perform dari Yandi barusan keren parah, angkat minuman kalian!” seru Bang Marvin yang tahu-tahu sudah merangkulku sambil bercuap-cuap melalui mic.

Aku membalas dengan tepuk tangan saat semua orang yang ada di BOWIE, termasuk Vinia mengangkat gelas mereka. Setelah meletakkan gitar ke tempat semula, aku menyalami satu persatu para pemain band yang begitu ramah dan mau berbaik hati mengiringiku menyanyikan lagu dari David Bowie.  

“Yadah sana balik, temenin Vinia,” bisik Bang Marvin.

“Jadi aku dapat ACC dari abang gak ? kan katanya penampilanku mantap.”

“ACC apaan Yan?” Tanya Bang Marvin.

Yaelah, dia yang bikin challenge dia sendiri yang lupa. “ACC alias restu buat pacarin ponakanmu Bang, hahaha.” Ini aku ngomongnya sembarangan, asal jeplak.
Bang Marvin ketawa.

“Kalau Vinia juga memang doyan sama elo, sok atuh. Tapi gue peringatkan, 1 tetes air mata Vinia yang tumpah kalau gue tahu elo nyakitin ponakan gue, itu artinya 1 tulang elo gue patahin. Jangan anggap omongan gue ini bercanda lo ya. Gue serius karena gue sayang sama ponakan gue itu. Kalau elo cowok jantan, lo gak akan mundur dengar ini. Tapi kalau elo cowok cemen, lo pasti keder dengar omongan gue ini. Itu juga artinya juga elo pantesnya memang cuma temenan doang sama Vinia. Masih ada Dini tuh yang bisa lo prospek kalau elo sanggup dan cukup percaya diri deketin dia, haha.”


Aku tersenyum mendengar jawaban tegas dari Bang Marvin. Aku lalu kembali ke tempat duduk saat Bang Marvin menepuk pundakku lalu pergi entah kemana. Vinia sedang menyantap beef steak saat aku kembali.

“Gue makan dulu ya, asli lapar parah gue.”

Aku mengangguk dan diam-diam memperhatikan Vinia makan. Namun aku gak lama-lama melakukannya karena malu kalau ketahuan. Jadinya aku memilih baca-baca berita tentang sepakbola di ponsel. Setelah Vinia selesai makan, kulihat sudah jam setengah 10 malam. Waduh waktuku tinggal 1 jam nih, tapi karena jarak BOWIE ke rumah cukup jauh sekitar 15-20 menit, berarti aku cuma waktu 30 menit bicara serius dengan Vinia. Di saat aku mikir gimana ngebuka obrolan yang langsung to the point, Vinia rupanya yang memulai percakapan dengan kata singkat.

“Maafin gue Yan,” sambil menatapku. “Gara-gara gue iri hati dan egois, liburan kita jadi berantakan, bahkan ngebuat Dita kabur buru-buru pulang.”

Vinia lalu menudukkan mukanya.

“Gak Vin, aku juga salah karena aku akui aku sempat menghindarimu karena aku sedang butuh waktu sendirian dulu. Aku juga mengaku salah karena aku pun terbawa perasaan, bahkan aku seperti memanfaatkan keadaanmu yang sedang agak mabuk. 1 detik sebelum kita uhm, berciuman, seharusnya aku bisa menahan diri. Namun pada akhirnya, aku membalas ciumanmu.”

Sumpah, aku langsung melihat pipi Vinia agak memerah saat aku menyebut kata ‘ciuman’ meski ia masih sedikit menunduk. Faktanya memang Vinia yang terlebih dulu menciumku baru kemudian aku balas mengecupnya.

“Seandainya gue gak mabuk, hal yang seharusnya tidak lewati tidak akan terjadi Yan. Gue benar-benar menyesal.”

“Sepertinya sudah cukup kita membicarakan siapa yang lebih salah, toh udah kejadian, Aku sudah ikhlas.”

Vinia tiba-tiba mengangkat mukanya dan menatapku langsung.

“Apa maksudmu dengan perkataan kalau kamu sudah ikhlas?”

Aku diam saja sambil mengelusi gelas yang di meja.

“Elo putus sama Dita?” tanya Vinia.

“Iya. The End. Gak mungkin kami bisa balikan lagi.”

Vinia langsung menutupi mulutnya dan kemudian ia memegang tanganku, “Yandii, maafin gueeeeee.”

Raut penyesalan nampak sekali tergurat di wajah Vinia, aku bisa merasakan betapa ia merasa bersalah. Aku balik menggenggam tangan Vinia, mencoba menenangkannya.

“Sudah gak apa-apa, aku dan Dita putus baik-baik, kami masih berteman baik karena kami sering ketemu di rumah saat Dita pergi makan di warung Mbak Asih.”

Di bagian aku dan Dita putus baik-baik itu kenyataan, namun kalimat lanjutannya adalah kalimat bohong. Aku cuma sesekali ketemu atau papasan dengan Dita, saat ia kebetulan baru pulang sekolah atau mau pergi. Ia sudah jarang beli dan makan langsung di warung, lebih suruh beli untuk di bungkus, itupun yang beli pembantunya bukan Dita sendiri. Kebohonganku kali ini bertujuan untuk memperbaiki hubunganku dengan Vinia, white lies mungkin.

“Benar?” tanya Vinia.

Aku mengangguk sambil tersenyum, perlahan raut muka Vinia terlihat lebih tenang, maka aku pun melepas pegangan tanganku. Vinia pun menarik tangannya. Kami berdua tersenyum sambil saling pandang.

“Vin, aku harap kita bisa seperti sedia kala, berteman baik tanpa ada perasaan canggung. Aku sudah menceritakanya apa yang terjadi di antara kita ke Xavi, Yosi dan Zen. Mereka bertiga mengaku akan tetap bersikap biasa saja dan malah berharap aku dan kami bisa segera baikan.”

Vinia tertawa kecil, “Memangny kita berantem ya Yan?”

“Enggak lah, cuma salah paham saja kok. Are we okay now? everything is clear?”

Vinia tersenyum sambil memamerkan barisan giginya yang berderet rapi dan membuat tanda V dengan jarinya. Fiuh lega juga.

“Btw, itu tadi kok elo  bisa kepikiran main lagu David Bowie sih? Mana bisa pas lagu yang paling di sukain Om Marvin pula. Dan yang lebih asyiknya lagi, tanpa ada latihan atau reherseal, elo bisa kompak gitu main sama teman-teman Om Marvin.”

Aku ketawa.

“Ya kebetulan aja kok Vin.”
”Kebetulan gimana?”

“Kebetulan karena aku pernah pelajari chord lagu tersebut. Bahkan itu satu-satunya lagu David Bowie yang penah aku kulik. Gara-gara aku pernah nonton filmnya Ben Stiller yang pakai itu lagu jadi soundtrack utamanya, bahkan ada adegan musikalnya di film tersebut. Gitar pemberianmu sangat membantuku.

“Oh iya??Film Ben Stiller yang judulnya apa?”

“The Secret of Walter Mitty.”

“Film tentang apa tuh?” bagus?”

“Menurutku sih bagus, cuma ya selera orang kan beda-beda. Menurutku bagus, belum tentu buat orang lain itu film bagus. Kalau kepengen nonton tuh film, ada di flashdisku.”

“Jadi penasaran, besok aku minta filmnya yaa!”

“Beres.”

“Yan, kok elo kelihatannya gelisah gitu liatin jam mulu?” tanya Vinia.

Wah Vinia rupanya ngelihat gelagatku yang bentar-bentar lihat jam tangan. Gimana aku gak gelisah, ini sudah jam 22.05. Udah masuk injury time ini, aku mesti segera pulang tapi aku masih bingung menyudahi pertemuanku dengan Vinia. Padahal, aku begitu menikmati mengobrol dengan Vinia di tempat yang cozy seperti di BOWIE. Apalagi setelah aku selesai perform, home band masih lanjut main lagu-lagu blues tanpa vokalis sih. Pure instrument musik Blues.Terkadang saking bagusnya musik blues, tidak perlu ada sentuhan vokalis. Setiap solo gitar di dalam musik blues, seolah sudah mampu “berbicara” banyak kepada para penikmatnya.

Tapi aku sudah kadung janji sama Mbak Asih untuk pulang tepat waktu, terlepas dari ancaman hukuman yang di berikan kepadaku jika aku pulang lebih dari jam setengah 11.

“Aku mesti pulang Vin, udah di ultimatum sama Mbak Asih maksimal jam setengah 11 harus sudah sampai rumah.”

“Oh..Kirain..” nada suara Vinia terlihat sedikit kecewa saat tahu aku mesti pulang sekarang.

“Kirain apa?”

“Enggak. Yaudah bareng yuk, aku juga mau balik.”

Aku dan Vinia lalu bersiap pulang. Semua makanan dan minuman kami di BOWIE gratis. Si bartender lagi-lagi bersiul saat melihat kami pulang bareng.

“Ecieee, mau lanjut kemana nihh? Hayoo buruan pulang, kalian masih anak sekolah.”

“Berisik lo Bang. Eh si Om kemana?”

“Lagi di belakang. Mau gue panggilin?”

“Gak usah, tar makin di bully gue,” kata Vinia sambil melirik ke arahku. “Yadah, titip salam aja, makasih traktirannya.”

“Oke, bye. Bro!” Adam memanggilku. “Awas, jangan sampai Vinia pulang dalam keadaan baret-baret. Bisa di sate lu sama si bos.”

Aku tersenyum dan mengacungkan jempol. Aku  dan Vinia kemudian berjalan menuju parkiran. Aku mengantar Vinia sampai ke mobilnya.

“Hati-hati yah.”

“Oke, elu juga hati-hati Yan.”

“Sip.”

Aku menunggu hingga mobil Vinia keluar dari parkiran. Setelah Vinia pulang, aku melihat jam 22.17.

Sepertinya aku mesti ngebut kencang malam ini.

Tepat jam 22.29 aku sampai di rumah. Aku sengaja tidak mematikan mesin motor saat membuka pintu samping, agar Mbak Asih tahu kalau aku pulang tepat waktu. Gak sia-sia aku ngebut sampai libas semua lampu merah. Gak malu-maluin juga nih kalau balap motor sama Yosi. Haha. Setelah aku memasukkan motor di dapur, lampu kamar Mbak Asih padam. Kepulanganku rupanya benar-benar di tunggu sama Mbak Asih. Wuah lega bisa lolos dari lubang jarum!

Aku lalu cuci muka dan sekalian gosok gigi agar serat-serat daging yang nyelip di gigiku bisa bersih. Saat di kamar, kubuka 1 daun jendela agar angin malam masuk. Aku lebih suka angin malam mengisi kamar dan membuat hawa jadi sejuk daripada menyalakan kipas. Ku lepas kemeja dan celana jeans yang kupakai tadi, sehingga kini aku hanya mengenakan celana kolor dan kaos singlet. Bunyi bip pelan terdengar berasal dari kantung saku celana jeans. Ada pesan masuk di WA ku. segera kuambil ponsel dan berbaring di kasurku yang nyaman. Aku cek WA, ada beberapa pesan masuk. Namun yang paling menarik perhatianku adalah adanya WA dari Vinia.

VINIA
Udah sampai rumah?
22.35

VINIA
Wah jangan2 ada yang kena setrap nih gara2 pulang telat
22.46

Aku tersenyum sendiri saat membaca pesan tersebut maka segera kubalas karena Vinia sedang online.

YANDI
enggak kok, tadi sampai rumah tepat jam 22.29. selamat dari kemurkaan mba Asih.
22.54

Pesanku langsung dibaca Vinia saat itu juga.

VINIA
Emang galak banget ya Mbak Asih? Kelihatannya kalem tuh, persis kayak adiknya. Haha.
22.55

YANDI
Beuh, jangan salah. Dari luar tampilannya Mbakku kalem kayak Desy Ratnasari tapi kalau udah marah besar jurusnya karate tingkat sabuk biru bakalan keluar. Udah kenyang aku di gebukkin mbakku.
22.56

VINIA
Hahahaha, jagoan kok takut sama mbak-mbak.
22.57

YANDI
bukannya takut, tapi aku respek. Kalau mbakku sudah marah besar, berarti memang aku yang salah. Karena bagaimanapun, cewek tak pernah salah hahahahah.
22.58

VINIA
Wah2 seksis sekali pendapat anda bung.
22.59

YANDI
bercanda Vin, bercanda.
23.00

VINIA
Hehe iya, yawdah, gue mulai ngantuk nih.
23.01

YANDI
oke, met istirahat ya Vin.
23.02

VINIA
Makasih udah nemenin gue tadi di BOWIE.
23.03

YANDI
Iya. Makasih udah mengajakku ke tempat yang keren.
23.04

VINIA
Sama2. Yan, jangan lupa, besok aku minta file film yang ada soundtrack Space Oddity-nya David Bowie.
23.05

YANDI
Oke,ada di flashdisku kok, itu flashdisk selalu ada di tasku.
23.06

Setelah beberapa menit,tidak ada balasan dari Vinia. WA ku pun belum di baca. Dia pasti sudah tertidur. Aku lalu letakkan ponsel Karena aku pun juga sudah menguap sedari tadi. Angin sepoi-sepoi yang masuk ke kamar juga membuatku makin ngantuk. Tiba-tiba ponselku kembali bergetar singkat 1 kali. Di saat aku mengira Vinia yang mengirim pesan, aku kaget karena ternyata bukan dia yang barusan kirim WA. Aku tercengang sendiri saat membaca nama pengirimnya.

DINI BOWIE
Kamu kok keren sekali sih tadi pas perform.
Aku jadi ngefans loh

-dinii-
23.34

Kulihat profil picture si pengirim.

Waw. Ini Dini yang di Bowie tadi?



= BERSAMBUNG =

5 comments for "LPH #77"

  1. Maturnuhun bos serpanth..uploadnya

    ReplyDelete
  2. Akhirnya yang di tunggu datang juga.
    Matur sembah nyuwun update nya om serphant

    ReplyDelete
  3. Cieeee yandi yang udeh dapet restu

    ReplyDelete
  4. Pentolan lemah dengan rambut panjang whahaha

    ReplyDelete
  5. Tinggal 10 eps lagi bisa nyusl eps 97

    ReplyDelete

Post a Comment