LPH #75
Episode 75
Trouble Is A Friends
(POV Yandi)
“Tadi Pak Indra bilang, Toni akan menjadi asisten Pak Indra di sini? Kalau boleh tahu, apa peran Toni di sini Pak?Apa dia trainer boxing di sasana SMA NEGERI XXX?” pertanyaaan Bram membuat kami berempat kembali ikut berkumpul. Bram dengan lantang dan lugas berani bertanya ke Pak Indra, sebuah pertanyaan yang seolah mewakilili kami semua.
“Tugas Toni? Tidak, tidak. Dia tidak akan menjadi mentor kalian, justru sebaliknya.”
“Sebaliknya?” tanya Bram lagi.
Pak Indra lalu naik ke atas ring dan kemudian menepuk-nepuk kepala Toni.
“Toni akan jadi lawan kalian. Lawan terakhir lebih tepatnya. Mulai minggu depan, kalian semua yang ada disini akan bertarung di atas ring ini dengan format yang sangat ‘menarik’.”
Terdengar gumam pelan dari semua orang yang ada di sini, tapi kami berempat memilih diam dulu.
Bram mengangkat tangan. “Saya tidak bermaksud mengacaukan pesta kesenangan Pak Indra, tetapi karena keterbatasan fisik, saya meminta izin agar di perbolehkan mundur dari event. Saya hanya akan jadi beban,” tukas Bram tegas dan lantang.
“Pengecut,” bisik Xavi.
Aku tidak bisa menyalahkan Bram sih karena secara fisik dia yang paling tidak memungkinkan.
“Permintaan di terima karena elo emang gak pantas ada di sini. Agar setiap angkatan ada 5 anak, maka posisi Bram akan di gantikan oleh anak dari kelas 2. Heh ! Jancuk !!!”
Pak Indra berteriak sambil menatapku.
“Saya Pak?” kataku sambil menunjuk diriku sendiri.
“Ya iyalah! Elo kan anak yang paling gue benci. Paling jancuk ! Elo itu tipikal anak waktu gue dulu masih sekolah disini, lo bakal jadi anak yang gue bikin remuk dari hari pertama. 1 anak dari kelas 2 yang gantiin Bram, elo yang pilih. Besok lo kasih namanya ke gue!” hardik Pak Indra kasar.
Aku tidak mengerti darimana asal-muasal kebencian Pak Indra kepadaku, dari awal ia memang sengaja mengincar dan mencari-cari kesalahanku. Tapi apapun perkataan dan perintahnya, aku turuti saja.
“Baik Pak.”
“Selama 2 minggu ke depan, kalian semua yang ada di sini, bisa bebas berlatih di sini setelah sepulang sekolah. Saran gue buat kalian, mulailah berlatih memukul dengan glove model half mitt. Mitt tersebut ada di box perlengkapan. Siapkan mental dan fisik kalian, karena tenaga, fisik dan mental kalian akan gue peras habis!! Sekarang kalian bubar semua, kita kumpul lagi jam 6 pagi, hari Minggu depan!”
Pak Indra membubarkan kami tanpa memberikan clue atau petunjuk apapun tentang format yang akan ia pakai, aku berani bertaruh, apapun format yang ia terapkan, pasti sadis dan punya efek tidak main-main.
***
Kami berempat tidak langsung pulang setelah di siksa Pak Indra, tetapi kami ke rumah Zen untuk istirahat sekaligus membicarakan banyak hal.
“5 bajingan dari tiap angkatan berarti ada 15 anak. Penasaran gue format yang mau di pakai guru keparat itu,” keluh Xavi yang tiduran di lantai teras Zen.
“Ganjil sih emang 15 anak, kalau sistem gugur bakalan ada yang lolos otomatis, tapi apapun formatnya, sepertinya siapapun yang menang bakalan lawan Toni,” tambah Yosi.
“Yan, siapa dari angkatan kita bakal lo pilih? Tentu saja selain kita berempat,” tanya Zen.
Aku sudah menetapkan pilihan dan aku yakin ketiga temanku juga setuju.
“Wira. Ada komentar?”
“Wira? Boleh juga,” jawab Yosi.
“Seandainya Rudi sudah gabung XYZ, gue bakal usulin dia. Wira ya? Not bad. Di bandingkan sama anak-anak lain, dia bukan bajingan anak kemarin sore,” ujar Zen yang punya pilihan sendiri namun setuju juga dengan pilihanku.
“Jadi penasaran gue, emang lumayan banget ya si Rudi? Wira juga keras juga lo anaknya. Sebelum gue akrab sama Wira, gue jiper juga kalau ketemu dia,” timpal Xavi.
“Dari 3 orang yang dulu gue datangin Rudi, Yusuf dan Gom. Rudi yang paling impresif. Secara fisik dia memang kecil tetapi karakternya garang. Dia emang beneran bajingan namun salah pilih pergaulan. Fanboy-nya Oscar. Jadi gak sabar pengen ngetes lagi Rudi sekalian sama Yusuf.”
“Haha ya segera lo atur gih, gue juga penasaran mereka berdua mau elo tes seperti apa.”
“We’ll see. By the way Yan, tentang Toni, how strong he is?” tanya Zen.
“Apakah Toni kuat? Sudah pasti. Dia yang pegang SMA SWASTA XXX. Satu level dengan Axel, meskipun Axel pernah mengalahkannya. Berdasarkan cerita Axel, Toni tipikal lawan yang susah ia benci, satu dari sekian banyak orang yang setelah duel, bisa di ajak nongkrong.”
“Kalau Axel dengan Toni cukup dekat, bagaimana jika seandainya Axel juga memberitahu tentang rencana besarnya kepada Toni?” Zen melemparkan satu pengandaian yang cukup logis.
“Bisa jadi tetapi sangat sukar dicari kebenarannya. Kecuali Toni sendiri yang saat kita tanya, dia langsung menjawab. Hanya saja apapun jawaban Toni, kita tidak punya dasar untuk mengecek kebenarannya. Karena semua kunci dan rahasia, ikut terkubur bersama mendiang Axel.”
“Tapi teori dari Zen tadi memang menarik sih, gue jadi ikut kepikiran. Oke, anggap saja Toni ‘terlibat’ sama halnya keterlibatan Feri dan Oscar di rencana terakhir Axel, peran apa yang di jalani Toni? “ ujar Yosi yang coba bermain-main dengan teori dari Zen.
“Sebagai trainer mungkin? Seperti halnya Maya?” celetuk Xavi.
“Indra sama sekali gak menyinggung tentang peran Toni di situ, dia hanya jelaskan peran Toni sebagai lawan terakhir. Gue yakin Toni bakalan serius siapapun lawannya nanti. Anjir, kalau siapapun orang yang nanti jadi lawan Toni, semisal Yandi, terus Yandi kalah, apa kabar nasib kita coi di depan anak SMA SWASTA XXX, makin suram, makin jatuh reputasi kita,” keluh Yosi sambil duduk di kursi yang ada di sampingku.
“LPH.”
Aku menggumamkan nama LPH saat Yosi menyebutkan situasi dimana semisal aku yang jadi lawan terakhir Toni dan aku kalah. Kekalahanku jelas akan mempengaruhi psikologi dan mental semua bajingan yang ada di SMA NEGERI XXX termasuk kru XYZ dan sudah pasti berpengaruh ke urusan konflik dengan sekolah lain.
“Apa Yan? LPH?”tanya Yosi. Dia rupanya mendengar saaat aku menyebut nama LPH.
“Kalau aku memang jadi penantang Toni dan seandainya aku kalah melawan Toni, padahal dia sudah berstatus orang luar alumni dari sekolah lian, apakah LPH akan diam saja?”
“Bangsat, benar juga tuh kata Yandi. Kalau Yandi kalah lalu LPH diam saja, kita demo aja!” tukas Xavi.
“Kalau elo mau demo ke LPH, lo berangkat sendiri, gue gak ikut-ikutan,”jawab Zen santai sambil meminum teh.
“Anjir, itu hiperbola Zenn. Siapa juga yang mau berurusan sama sekumpulan grup underground. Tapi kalau Yandi kalah dan LPH gak bergerak, itu berarti Toni di anggap tidak melanggar rules dong ya. Kok bisa gitu?”
Mendengar perkataan Yosi dan Xavi, otakku langsung mengolah info tersebut dan menambahkannya dengan info lain. Aku terkejut sendiri saat akhirnya memiliki kesimpulan yang cukup logis.
“Kalau aku kalah lawan Toni dan LPH diam saja, hal itu karena Toni itu masuk ke sekolah kita via Pak Indra, wali kepala sekolah. Apapun yang terjadi di sasana, LPH akan menganggap itu bukanlah perkelahian liar, berbeda dengan kasus Oper dan Ander yang terlibat tawuran di aula.”
“Wait Yan, penjelasan lo membuat logika gue agak cidera. Bagaimana mungkin elo bisa berkata tawuran di aula yang di dalamnya ada Opet, Ander bisa di katakan liar alias melanggar rules LPH? Padahal itu tawuran di aula atas sepengetahuan dan seizin Pak Tomo lho,” tanya Xavi.
Yosi melempar bekas gelas Aqua kosong ke arah Xavi.
“Bego banget dah lo Xav. Pak Tomo waktu itu kan istilahnya cuma mengundang para siswa bajingan yang masih aktif di sekolah. Opet dan Ander-nya aja yang cari penyakit. Gue sih paham perkataan Yandi. Singkatnya kedatangan Ander dan Opet itu ilegal dan jelas melanggar rules LPH. Tetapi khusus Toni, boleh di bilang kehadirannya akan di anggap legal. Benar kata Yandi, kedatangan Toni melalui jalur resmi lewat Indra yang mengundangnya menggunakan istilah asisten,” tukas Yosi.
“Penjelasan lo masih abu-abu Yos,” sahut Zen tiba-tiba.
“Nah, cakeeppp. Tolong Zen lo jelasin dah, sepertiny kita ada di frekuensi yang sama, tapi gue susah untuk ungkapinnya.”
Aku ketawa karena Xavi seperti dapat dukungan dari Zen. Aku sih sengaja diem dulu, ingin mendengar pendapat teman-teman tentang kedatangan Toni, melanggar rules LPH atau tidak.
“Kalau kasus Opet Ander mereka memang murni 100% melanggar rules dan kedatangan Toni memang resmi karena di minta Pak Indra. Perkara status Toni akan aman 100 % jika memenuhi 2 syarat. Pertama, dia instruktur resmi yang di tunjuk pihak sekolah untuk mengawal ekskul boxing. Kedua, Toni tidak punya hubungan darah dengan Pak Indra. Kalau 2 syarat itu terpenuhi, Toni aman.
Tetapi sayangnya, pertama, statement Pak Indra pagi tadi bahwa Toni bukanlah instruktur, Toni seperti di jadikan lawan terakhir buat siapapun yang lolos sampai tahap akhir. Ini benar-benar area abu-abu. Sementara syarat kedua, anggap saja Toni memang anak dari Pak Indra. Logis jika kita, maupun para bajingan yang tahu benar situasi saat ini, akan menganggap pilihan Pak Indra sangat tendesius yakni untuk melemahkan semua siswa yang di cap bajingan oleh pihak sekolah. Apalagi satu lagi anak Pak Indra, Vino menjadi bajingan yang pegang SMA SWASTA XXX, sekolah yang saat ini menganggap kita semua sebagai anjingnya.”
“Kalau itu tujuan Indra, yakni melemahkan kita, apa untungnya buat dia?”tanya Xavi.
“Semua akan kembali ke tujuan utama sekolah ini, jadi SMA terbaik di negeri ini. Kita para siswa bajingan yang memiliki potensi membuat kekacauan, sedang di seleksi untuk di singkirkan oleh orang nomor 1 di sekolah kita yang sebenarnya siapa lagi kalau bukan Pak Tomo, yang menginginkan kita di berangus tanpa kita sadari. Gue berani taruhan, siapapun nanti yang kalah, akan dapat hukuman yang bisa mengancam status kesiswaan kita,” jelas Yosi.
Xavi geleng-geleng. “Bajingan..Gak kebayang kalau gue kena DO dari sekolah sini sebelum lulus hanya karena kalah berantem. Bisa di coret nama gue dari penerima warisan tunggal dari Mama,” keluh Xavi.
“Ah lebay, gak mungkin lah nyokap lo segitunya,”cibir Yosi.
“Serius Yos, yang kita omongin tuh Mama gue. Si Ratu tega bertangan besi. Kalau gak punya sifat keras dan tegas, gak mungkin Mama bisa handle jabatannya yang sekarang.”
“Tetap bersyukur kalau kamu di coret dari daftar pewaris Xav,” kataku berkelakar untuk meredakan ketegangan.
“Lha kok gitu Yan?”
“Asha bakalan tetap setia sama kamu meski kamu di coret dari penerima warisan. Kan Asha udah teruji dia bukan cewek yang matre.”
“Aihhh benar juga elo Yan, tapi jangan deh, amit-amit.”
“Emang sih Asha gak matre, tapi bisa aja elo di putusin sama Asha karena dia gak suka sama anak nakal yang sampai kena DO dari sekolah,” tambah Yosi iseng.
“Ahhh taik elo semua, udah-udah bahas yang lain. Suram banget,” tegas Xavi.
“Hehe memang suram banget tantangan di depan mata kita. Kita seperti kena tekan dari mana-mana. Aku setuju, setuju banget dengan yang kalian utarakan tadi. Sebengis-bengisnya Pak Indra, menurutku dia hanya menjalani perannya sebagai guru ‘killer’ dalam artian yang sebenarnya, beliau yang menjalankan tugas kotor dari Pak Tomo yang tidak ingin mengotori tangannya secara langsung.
Tanpa persetujuan atau instruksi dari Pak Tomo, gak mungkin sekolah secara iseng bangun sasana dan Pak Indra mengundang Toni tanpa sepengetahuan Pak Tomo. Ini semua bagian dari rencana Pak Tomo. Aku juga setuju banget sama Yosi dan aku udah punya pemikiran bahwa Pak Tomo memiliki kecenderungan untuk menyingkirkan semua siswa bajingan dengan bantuan Pak Indra. Untuk saat ini, kita tidak perlu pusing memikirkan status Toni, apakah ia melanggar rules atau tidak karena itu bukan urusan kita, itu urusan LPH.
Prioritas kita saat ini adalah dobrak semua tantangan yang ada di depan mata dengan serius, apapun rencana yang di siapkan Pak Indra dan Pak Tomo, kita libas habis ! Kita ikuti rencana mereka sebaik mungkin dan selanjutnya kita lihat apa yang akan terjadi. Termasuk kemungkinan bisa saja aku mesti melawan kalian, seperti halnya Dejan cs yang di minta melawan teman-temannya sendiri. Kalau situasinya seperti itu, aku bakalan serius loh kalau harus melawan kalian,” kataku panjang lebar.
Jika Xavi memasang ekspresi kaget tentang kemungkinan kami akan saling melawan di arena, ekspresi Zen dan Yosi terlihat lebih santai. Mereka pasti sudah memperkirakan itu semua.
“Elo juga Yan, jangan pikir gue bakalan mellow sama kalian lho hehehe,” celetuk Yosi.
“Gue juga, gue malah jadi penasaran kalau gue mesti ngelawan teman sendiri. Pasti seru,” ujar Zen singkat.
Aku tersenyum mendengarnya. “Xav, kamu gimana, kamu siap jika situasinya seperti itu? Melawan sahabatmu sendiri?”
“Siap gak siap, gue mesti siap. Gue juga bakalan tunjukkin ke kalian hasil gemblengan Maya yang super kejam.”
Kami berempat tertawa, lebih tepatnya mentertawakan jika seandanyai skenario yang paling kami khawatirkan justru bisa jadi kenyataan.
“Gila yah, lawan kita sepertinya bukan cuma dari sekolah lain, Pak Tomo pun sepertinya juga rese,” tukas Yosi.
“Makin greget Yos,” timpal Zen.
“Oia, tar malam jadi kumpulin semua kru XYZ?” Xavi bertanya kepadaku.
“Jadilah, aku mau menerangkan situasi kita secara keseluruhan ke teman yang lain. Tanpa ada yang aku tutup-tutupi. Karena posisi kita bakalan berat. Kalau ada yang memutuskan mundur, aku tidak menahan atau membenci mereka. Tapi kalau masih pada tetap gabung XYZ ya aku mau kita tetap solid,” kataku menerangkan.
“Santai Yan, 100% gak akan ada yang mundur selangkah pun. Anak-anak XYZ yang sekarang ini sudah teruji dengan ikut semua ke aula, meskipun ya level berikutnya bakalan lebih perih sih. Resiko terbesarny kini bukan cuma babak belur, patah tulang dan cedera fisik semata, tetapi juga ada resiko kena DO dari sekolahan.”
“Iya Yos, maka dari itu semua anak XYZ mesti tahu resikonya sedari sekarang. Apapun keputusan dan pilihan mereka, akan kita hormati. Karena bagaimanapun mereka sudah ikut tawuran bareng kita di aula.”
“Yep. Ini tar mau kumpul di mana? Rumah Xavi?”
“Ya kalau yang mau kita bahas hal sepenting dan serahasia ini ya di rumah gue juga gak apa-apa, kita bisa ngobrol blak-blakan dengan tenang. Kita gak mungkin bisa ngobrol dengan tenang di cafe dan sejenisnya.”
“Setuju gue sama Xavi,” ujar Zen.
“Oke yadah Yos tar kasih tahu teman-teman semua, ketemuan di rumah Xavi hari ini jam 8 malam. Kasih keterangan semuanya harus hadir tanpa kecuali. Yang gak bisa datang, suruh kontak ke aku langsung,” kataku.
“Beres boss. Gue share di grup sekarang.”
Aku lalu numpang ke kamar mandi Zen karena perut mulai mulas. Setelah selesai menuntaskan hajat, aku kembali ke teras rumah. Ketiga temanku sedang sibuk sendiri-sendiri. Aku lalu duduk di kursi yang tadi aku tempati.
"Halo Ri. Ada apa ?"
Aku mendengar Yosi yang duduk di sebelahku menjawab panggilan telepon dengan suara cukup jelas.
"Serius?? Seriuss looooo?!"
Tiba-tiba saja Yosi berdiri dan suaranya kini meninggi. Aku, Zen dan Xavi jadi penasaran dengan reaksi Yosi yang sepertinya mendapat kabar buruk.
"Bajingan..oke,oke, gue susul sekarang!"
Setelah Yosi menutup telepon, ia segera pamitan kepada kami semua karena ada urusan penting katanya.
"Kenapa lo pucet gitu Yos?Dea positif hamil apa?"kelakar Xavi.
Yosi diam dan malah menatapku. Ia seperti agak ragu-ragu sebelum akhirnya ia mendekatiku.
"Yan, boleh ngobrol bentar?"
"Boleh."
Yosi lalu bilang ke Xavi dan Zen bahwa ia mau bicara 4 mata denganku.
"No probs," jawab Zen enteng. Ia lalu mengajak Xavi masuk ke dalam rumahnya.
"Anjrit, pakai rahasia-rahasia kalian berdua, ngehe!" tukas Xavi, menatap kami dengan penuh curiga.
"Nanti gue ceritain, tapi gak sekarang," jawab Yosi datar.
Xavi mengangkat kedua bahunya lalu menyusul Zen yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah.
"Sepertinya kamu dapat kabar buruk?" aku bertanya ke Yosi yang terlihat gelisah. Ia sempat membakar rokok sebelum menjawab pertanyaanku.
"Barusan Rio nelpon gue. Lo masih inget Rio dan Tejo?"
Aku tentu saja ingat teman Yosi yang bernama Rio dan Tejo. Keduanya sohib Yosi saat masih aktif ikut balap liar. Bahkan kami pernah menemani Yosi saat terlibat event berbahaya di Hanggar. Pengalaman yang gak mungkin bisa aku lupain.
"Iya ingetlah. Kenapa memangnya."
Yosi diam saja dan membuang muka sambil terus menghisap rokoknya.
"Rio barusan kasih kabar kalau Tejo, masuk ke Rumah Sakit. Tejo sekarang di ICU saat ini, kondisinya kritis. "
"Apa?" Dia tabrakan atau gimana?" Aku terkejut mendengarnya. "Di RS mana Tejo di rawat? Ayo kita tengok?"
"Bentar, gue belum selesai ngomong." Wajah Yosi makin pucat. "Tejo ditemukan di depan bengkel miliknya dengan kondisi babak belur, beberapa tulangnya patah dan.." Yosi menggantung perkataannya.
"Dan apaa?" Aku kesal karena Yosi bercerita sepatah-patah.
"Lidah Tejo terpotong, lebih jelasnya di potong dengan sengaja oleh siapapun orang yang sudah membuat ia sekarat."
Aku gemetar mendengarnya.
"Se...serius...?"
"Di rolling door bengkel, ada tulisan yang di duga di buat dengan darah Tejo."
"Apa tulisannya?"
"Nama kita bertiga. Gue, Rio dan elo."
***
Aku dan Yosi segera bergegas menuju ruang ICU tempat di mana Tejo di rawat. Di sana ternyata sudah ramai teman-teman Tejo yang juga teman Yosi. Yang aku kenal hanya Rio.
“Gimana Ri, kondisi Tejo? Itu serius lidah Tejo hilang?” Yosi langsung bertanya kepada Rio yang tengah duduk sendiri, agak menjauh dari yang lain.
“Iya serius. Ini Tejo langsung operasi.”
“Ketemu memang sambungan lidahnya?”
Rio menggeleng. “Polisi sudah menyisir di sekitaran TKP Tejo ditemukan tapi tidak ada potongan lidah milik Tejo. Karena pendarahannya makin parah dan berkat persetujuan keluarga, Tejo langsung di operasi. Halo Yan apa kabar?” Rio menyapaku setelah beberapa saat.
“Baik.”
“Baguslah, dengan rambut cepak gitu, makin kelihatan cadas lo Yan. Btw, Yos, elo udah cerita ke Yandi tentang temuan lain di TKP?”
Aku tahu maksud dari pertanyaan Rio adalah tentang adanya 3 nama kami yang tertulis dengan darah di rolling door bengkel. Yosi mengangguk. “Udah, siap-siap kita bertiga ke panggil polisi untuk di mintain keterangan karena ada nama kita di TKP.”
“Gak akan,” ujar Rio sambil menggeleng pelan.
“Kok bisa? Polisi pasti manggil kita bertiga, minimal jadi saksi.”
“Sebelum ambulan dan Polisi datang, Mas Karjo langsung mengapus tulisan nama kita bertiga yang tertera di rolling door.”
“Apa??!” aku dan Yosi kaget mendenarnya.
“Kenapa Mas Karjo nglakuin itu?”
“Lo tanya sendiri aja sama orangnya, tuh! gue sedari tadi nanya gak di gubris,” ujar Yosi sambil menunjukk ke arah seorang pria berusia 40 tahun yang sepertinya berjalan ke arah kami. Kedua lengannya penuh tato dan berkulit agak hitam. Tatapan matanya, aku hapal benar, tatapan mata orang yang tidak asing lagi dengan kekerasan.
“Halo bro,” sapanya ramah.
“Haloo Mas Karjo. Mas gimana Tejo?”
“Operasi dia Yos, sekalian operasi pasang beberapa pen di tangan sama kaki. Parah sekali kondisinya, tapi yang penting nyawanya bisa tertolong,”jawab pria tersebut dengan nada tenang. Kalau aku tebak, orang yang bernama Mas Karjo ini kakak dari Tejo, karena kentara sekali kemiripan keduanya.
“Berarti Tejo bakalan ...bisu seumur hidupnya..” sahut Yosi pelan.
“Yang penting nyawanya selamat dulu Yos. Gue tahu adik gue itu kuat mental. Asal bukan tititnya yang kepotong, setelah nanti ia sembuh dan penyesuaian, dia akan baik-baik saja.”
Yosi dan Rio ketawa sebentar lalu menutup mulutnya saat mendengar perkataan Bang Karjo. Aku pun setengah mati menahan tawa. Memang benar sih, cowok manapun bakalan pilih mati daripada selamat tapi penisnya kepotong. Adik kaka sama kocaknya.
“Yos, ini yang namanya Yandi?” tanyanya sambil menatapku.
“Iya Mas ini yang namanya Yandi,” jawab Yosi.
Aku langsung mengulurkan tangan dan Mas Karjo menjabat tanganku. Tangannya kasar sekali, khas seorang pekerja keras.
“Karjo.”
“Yandi Mas.”
“Gak nyangka yang pegang SMA NEGERI XXX kek begini chasingnya hahaha. Dari luar kelihatan kalem tapi dalamannya sangar. Rio, Yandi, Yosi ada hal penting yang mau gue sampaikan ke kalian bertiga, ikuti gue. Kita ngobrol di luar.”
Kami bertiga mengikuti Mas Karjo yang ternyata berada di tempat burjo dekat Rumah Sakit. Setelah ikut pesan, aku cuma pesan kopi, kami berempat duduk melingkari meja kecil yang berada di teras, cukup nyaman di mana kami bisa ngobrol dengan tenang.
“Udah dapat kopi semua, oke gue mulai. Jadi gini, sebelum gue nemu Tejo sekarat depan bengkel, Tejo sempat hilang kontak beberapa hari. Sebangsat-bangsatnya adik gue, dia biasa ngabarin ke gue lagi dimana apalagi kalau sampai gak pulang. Jadi ketika 3 hari dia gak kasih kabar dan ponselnya gak bisa di telepon, feeling gue mulai gak enak. Apalagi terakhir dia kasih kabar, dia lagi ada di Kota FFF, 4 jam kalau motoran santai. Gue udah mikir bisa saja tuh anak mati di jalan, entah terlibat tabrakan atau apalah.
Jadi ketika tiba-tiba pagi tadi gue dan bini nemu Tejo dengan kondisi yang yah cukup parah depan bengkel, gue agak surprise dalam artian positif karena Tejo bisa pulang sampai rumah. Hanya saja, ketika gue cek kondisinya kelihatan banget habis kena siksa sampai patah tulang kaki dan tangan, belum lagi darah yang luar biasa banyak dari mulutnya, gue langsung yakin Tejo sengaja di kerjain sama orang. Apalagi gue nemu tulisan ini di rooling door.”
Mas Karjo menunjukkan foto di layar ponselnya. Sebuah foto rolling door dimana di bagian tengah ada bercak darah yang membentuk tulisan. Meskipun tulisannya jelek dan kecil namun bisa dengan jelas terbaca tulisan tersebut menunjukkan tiga nama.
Yosi
Rio
Yandi
“Tapi kenapa elo hapus Mas, tolong kali ini di jawab, capek gue sedari tadi nanya di jawab,” tanya Rio ketus.
“Ya maaf Ri, elo tahu sendiri gue sibuk ngurus administrasi, belum lagi di tanya-tanya sama Polisi. Bini gue saking panik dan takut liat kondisi Tejo, dia malah nelpon ke Polisi dulu. Gue tahu urusan bakal panjang kalau sampai Polisi liat tulisan yang ada nama kalian. Makanya sebelum polisi datang, gue foto dulu tulisannya baru kemudian gue hapus. Bini udah gue ancam untuk tutup mulut masalah ini, pokoknya kalau di tanya-tanya Polisi, arahin ke gue.”
“Terus, Mas Karjo jelasin gimana ke Polisi tentang Tejo?” aku bertanya ke Mas Karjo
“Ya, Polisi sini udah hapal lah sama Tejo. Jadi tanpa gue jelasin, Polisi uda bisa punya kesimpulan yang sama kek gue. Tejo terlibat masalah, entah sama gangster mana. Paling males deh Polisi kalau kasus kek gini. Apalagi si Tejo tengil korbannya, yang udah bolak-balik kena sel karena ketangkap pas judi kartu lah, judi sabung ayam lah, pas ikut balap liar lah, kena razia di lokalisasi lah. Singkatnya, ini kasus masalah antar bajingan. Gue pun udah bilang, gak bakal buat laporan pengaduan yang penting nyawa Tejo selamat. Cuma buang-buang waktu sama duit kalau perpanjang urusan ini.”
Benar-benar blak-blakan sekali Mas Karjo ini.
“To the point saja, Mas Karjo melindungi kami dari Polisi agar kami bisamencari tahu siapa pelakunya bukan? Cara bajingan mesti di balas dengan cara bajingan pula,” ujar Yosi.
Mas Karjo menyeringai dan mematikan rokoknya ke asbak yang ada di meja.
“Tepat sekali, meski Polisi kelihatannya tidak tertarik dengan kasus ini, mereka akan tetap mengawasi gue untuk beberapa waktu untuk mencegah aksi balas dendam dan membuat konflik gangster semakin meluas, jadi gue gak akan bisa turun tangan sendiri maupun minta anak-anak buat cari tahu. Lagian kalau gue yang cari tahu siapa pelakunya, bakalan lama. Akan lebih cepat kalau kalian bertiga yang bergerak.”
“Kami?” ujar Rio mengulangi perkataan Mas Karjo.
“Tentu saja. Kalian berempat pasti terlibat dalam satu masalah yang sama. Setelah Tejo, kalian bertiga sasaran berikutnya. Kalau sudah fix ketahuan siapa nama kelompok yang udah membuat adik gue bakalan bisu seumur hidup, kasih namanya ke gue. Yang pasti gangster yang mengincar kalian sangat kejam dan tidak segan menculik, menyiksa. Singkatnya kalian berurusan dengan gangster yang berbahaya.”
Kami bertiga langsung suram mendapati kenyataan yang di terangkan dengan amat sangat gamblang oleh Mas Karjo.
“Sebelumnya aku minta maaf mas karena apa yang di alami Tejo aku yakin 99% berhubungan dengan even yang pernah aku ikuti beberapa waktu yang lalu. Karena keegoisan gue, yang lain jadi ikut kena getahnya. Jadi tentu saja, gue yang memulai masalah ini maka gue juga yang mesti menyelesaikannya,” kata Yosi tegas.
“Bukan salah elo Yos! Gue yang ajak Tejo dan Yandi untuk ikut ke Hanggar. Kalau gue gak mereka berdua, mereka tidak akan terkena masalah.”
Aku menggeleng-gelengkan kepala, sudah terlambat untuk salin menyalahkan.
“Sudah cukup, daripada kalian saling menyalahkan diri sendiri lebih baik kita semua bersepakat bahwa kelompok bajingan yang sudah membuat Tejo berada di ruang operasi saat adalah pihak yang lebih pantas di salahkan. Yos, sekarang kita bertiga yang jadi target berikutnya jadi kita bertiga juga yang mesti menyelesaikan,” aku menengahi Yosi dan Rio.
Mas Karjo hanya senyum-senyum. “Naif rasanya kalau gue cuma membebankan masalah sebegini berbahaya kepada kalian bertiga. Nanti gue bakal kontak beberapa teman gue yang di luar Kota untuk bantu kalian karena kalian berurusan sama gangster sadis. Yadah, nanti kita ngobrol lagi. Gue mesti balik ke rumah untuk kopi beberapa surat penting untuk administrasi di Rumah Sakit. Kalian hati-hati, waspada.”
Setelah Mas Karjo pergi, kami bertiga tetap melanjutkan pembicaraan.
“Eh Yos, kalau Mas Karjo udah sampai kontak teman-temannya yang di luar kota, berarti udah genting ini mah.” Perkataan Rio memantik rasa penasaranku tentang sosok Mas Karjo, seorang pemilik bengkel modifikasi motor cukup terkenal di kalangan anak-anak motor di Kota XXX.
“Ya iyalah, meskipun kelihatan santai, dia pasti dendam setengah mati sama pelakunya. Cuma ya itu dia gak bisa gerak leluasa karena bakalan di awasi sama Polisi. Mas Karjo memang hanya meminta kita menyelidiki atau cari nama kelompok, selebihnya dia yang akan urus. Kalau gue sih, gak mau nyerahin nama gangsternya ke Mas Karjo dan selebihnya cuci tangan dari masalah ini. Gak bisa gitu, kita juga ambil bagian langsung saat ngehabisin kelompok tersebut. Inget lho kita juga jadi sasaran mereka,” terang Yosi. Sebelum Yosi berbicara lebih jauh, aku menyela perkataannya,
“Yos, Mas Karjo itu siapa sebenarnya?aku udah bisa rasain dia bukan pemilik bengkel biasa saja.”
Yosi memintaku unuk menggeser kursiku lebih dekat.
“Memang benar, Mas Karjo itu bukan tukang modif motor biasa. Dia dulu adalah salah seorang member gang yang dulu sempat di takuti yakni JONG XXX. Tidak semua orang tahu tentang JONG XXX karena leader kelompok tersebut pada suatu hari menghilang secara misterius, entah dibunuh orang atau memang pergi dari Kota XXX, nobody know. Sehingga kelompok tersebut ada yang bilang hiatus, ada yang bilang udah bubar namun sebenarnya para anggota JONG XXX tetap solid dan konon sampai hari ini masih mencari tahu keberadaan leader mereka. Info ini jangan kasih tahu orang sembarangan lho ya. Gue tahu cerita ini karena Tejo sendiri yang cerita ke gue dan Rio. Bukan lewat mulut dari Mas Karjo sendiri.”
“Beres. JONG XXX,” aku menggumam pelan. “Mereka pasti cukup mengerikan,”
“Jangan tanya deh, meskipun sangar tetapi mereka bukan pembuat onar. Mereka para bajingan tua yang gak rese selama orang lain sopan. Orang-orang yang ada di Rumah Sakit tadi juga, gue yakin 2-3 di antaranya juga member JONG XXX.”
“Gak kebayang kalau anggota JONG XXX yang tersebar di mana-mana, suatu hari berkumpul dan merayakan pesta reuni dengan menyerang para gangster tolol yang sudah membuat adik dari dedengkot JONG XXX cacat,” ujar Yosi.
“Makanya. Antara keren, seram dan beringas campur jadi satu.”
“Yos, kembali ke topik tentang beberapa nama kelompok yang dulu terlibat Deathwish, feelingmu dari kelompok gangster mana?”
“Selain gue, ada 7 kelompok lagi. Tapi sebaiknya kita kerucutkan ke kelompok yang leadernya gue kalahin langsung saat Deathwish. Bara dari Blood Creep, lawan gue yang pertama yang kek orang albino tuh. Lalu Diaz dari Black Luna. Lawan gue berikutnya si keparat Bram. Dari ketiga orang itu, cuma Bara dari Blood Creep yang mati di tempat. Dan Blood Creep satunya kelompok yang coba serang gue saat gue lagi kencing, beruntung ada Yandi yang nyelamatin gue.”
Aku teringat bahwa malam itu Yosi di serang di kamar mandi, beruntung aku benar-benar waspada pada saat itu dan melihat beberapa orang tidak di kenal yang mencurigakan mengikuti Yosi dari belakang. Sepertinya sudah jelas siapa kelompok gangster yang mengincar kami.
“Blood Creep, mereka pelakunya,”kataku yakin.
“Yep, mereka gangster yang mengincar kita. Mereka masih menyimpan dendam kepada kita berempat. Saat mereka menculik, menyekap dan menculik Tejo kita tidak tahu sejauh mana Tejo buka mulut. Tapi kita langsung saja ke kesimpulan terburuk. Blood Creep selain sudah tahu nama kita, mereka juga tahu dimana tempat kita tinggal atau sekolah. Dengan kata lain, kita target yang benar-benar terbuka di mata para pemburu kita.”
“Anjing !” umpat Rio sambil menghabiskan kopinya kemudian membakar sebatang rokok lagi.
Untuk pertama kalinya, aku bersyukur karena aku sudah putus dengan Dita. Gak kebayang jika seandainya mereka mengincar Dita untuk memancingku. Agak khawatir juga dengan Mbak Asih tetapi karena kami tinggal area yang cukup ramai, aku rasa mereka tidak akan bertindak bodoh dengan mengganggu Mbak Asih. Aku lega karena sasaran mereka hanya akan terfokus kepadaku.
“Yos, sebaiknya kamu jangan pergi-pergi dengan Dea dulu sampai selesai masalah. Agar Blood Creep hanya fokus ke kita,” aku memberi saran kepada Yosi.
“Iy Yan, gue juga kepikiran seperti itu, nanti gue omongin sama Dea. Eh Ri, lo juga mest hati-hati. Kurangin dulu hobi lo keluyuran dugem di club malam. Club malam bakal jadi tempat yang paling ideal bagi mereka untuk menyergap elo.”
“Beres, paling kalau gue bosen, gue bakal nongkrong di Rockspeed. Gue pasti aman di situ, don’t worries. Terus, kita mesti gimana sekarang? Kasih nama Blood Creep ke Mas Karjo?”
“Itu gampang, tetapi balik lagi. Blood Creep sejauh ini baru terduga karena kita gak punya bukti kuat, hanya asumsi belaka. Bakalan fatal kalau sampai salah sasaran. Gue bakal selidikin, cari tahu dan memastikan bahwa memang Blood Creep yang mengincar kita.”
“How do you investigate them?” aku bertanya ke Yosi.
Yosi menatapku sambil memutar-mutar batang rokok di jari-jarinya.
“Blood Creep itu kalau gak salah homebasenya di Kota BBB. Jadi ya gue bakalan manfaatin jaringan underground yang gue punya. Yadah, sebaiknya kita balik istirahat dulu dah, ngantuk parah gue bangun subuh terus di siksa sama di sekolah. Ri, inget pesan gue, hati-hati lo di sekolahan dan pilih tempat nongkrong baik-baik. Kalau gue sama Yandi sih bakalan aman-aman saja.”
“Beres. Eh kalian naik apa ke sini tadi?”
“Aku tadi bareng sama Yosi. Yos, kamu langsung pulang duluan saja.”
Yosi menggeleng. “Gak apa-apa gue anterin lo sampai rumah. Sekalian ada yang mau gue omongin ke elo sih.”
“Yawis, Ri, balik dulu. Hati-hati,” kataku.
“Beres Yan.”
Setelah Rio balik, Yosi mengantarku sampai di rumah. Sesampai di depan rumah, Yosi lalu mengutarakan hal yang mau ia sampaikan kepadaku.
“Yan, sebaiknya kita gak udah ceritain masalah ini ke Zen dan Xavi. Jangan di bahas di pertemuan nanti malam. Biar fokus Blood Creep tetap ke kita tanpa melibatkan orang lain.”
“Iya, aku juga berpikir demikian. Setelah apa yang terjadi pagi tadi di sekolahan, cerita tentang Blood Creep akan menambah tekanan yang tidak perlu. Ini masalah kita bertiga, bukan XYZ. Yawis pulang istirahat sana Yos, hati-hati, sampai ketemu ntar malam.”
Yosi mengacungkan jempol kepadaku. Setelah bersalaman, Yosi pergi. Sebelum masuk ke rumah, aku memperhatikan rumah Dita yang sepi. Seminggu lalu aku dan Dita snorkling bareng di Gili Trawangan. Kini aku sendirian di sini, tidak akan ada Dita yang merajuk manja kepadaku, meminta mengantarku kesana-kemari.
Yang menungguku sekarang adalah masalah, masalah dan masalah yang bertubi-tubi datang, seakan tidak mau antri. Belum selesai masalah A, kini langsung di hantam masalah B, C, D dan seterusnya.
Trouble is a Friends, hidupku sekarang ini persis seperti judul lagu dari Lenka.
Fiuh, yang aku butuhkan saat ini adalah tidur, satu-satunya keadaan dimana aku bisa tenang terbebas dari segala masalah.
1 jam kemudian…
Sialan, harapanku untuk tidur dengan tenang ternyata tidak bisa jadi kenyataan. Mana bisa aku tidur dengan pikiran begini berat, pikiranku berkeliaran dengan liar kesana-kemari memikirkan berbagai hal salah satunya tentang masalah baru yang bisa saja membahayakan keselamatanku. Aku lantas menyerah untuk mencoba tidur, aku langsung bergegas mandi, bantu-bantu bentar di warung, kemudian makan siang.
Selesai makan, aku sempat menimang-nimang tentang tindakan yang akan kulakukan. Semakin aku ragu-ragu, semakin aku galau. Ah bodo amatlah. Aku kemudian menelepon seseorang, yang seperti dugaanku, dia terkejut karena aku bukan hanya meneleponnya tetapi aku juga ingin berbicara 4 mata langsung dengannya siang ini juga, setelah di sepakati tempat kami bertemu jam 1 siang ini, aku meminjam motor Mbak Asih.
“Tumben pergi sendiri, gak sama Dita?” tanya Mbak Asih saat aku sudah mengenakan jaket dan bersiap untuk pergi.
Aku cuma tersenyum kecut mendengarnya, gak usah aku jawab, lama-lama Mbak Asih juga pasti tahu kalau dengan Dita sudah putus. Setelah berpamitan, aku lalu meluncur menuju Warunk Upnormal di bilangan Grahita. Saat aku sudah sampai, aku lihat dia sudah ada di sampai dan duduk di lantai 2. Aku segera masuk dan memesan minuman es caffe latte. Selesai order dan bayar, aku lalu menuju lantai 2. Saat aku sampai di atas, dia melihatku dan langsung memamerkan senyumnya.
“Hallo Yan,” sapa orang yang sambil mengulurkan tangan.
“Bram,” kujabat tangannya.
“Duduk-duduk. Udah pesan lo?”
“Udah, cuma pesan minum saja, aku masih kenyang.”
“Jadi,ada apa gerangan kamu ingin bertemu denganku? Apa kamu mau membahas tentang apa yang terjadi di sekolah pagi tadi, tentang Toni?” tanya Bram sambil tersenyum.
Aku menggeleng. Aku sudah kenyang membicarakan tentang Toni pagi tadi. Ada hal lain yang lebih urgent.
“Antar aku ke tempat Jack.”
Senyum Bram langsung menghilang. “Pardon?”tanyanya dengan wajah keheranan seolah ingin memastikan dia tidak salah dengar.
“Bisa mengantarku untuk bertemu dengan Jack hari ini?”
Bram langsung terdiam dan menyalakan rokoknya.
“Kalau niatmu ingin bertemu dengan Jack karena masalah Tejo, sebaiknya urungkan niat elo. Karena kalaupun dia membantu elo, dia tidak akan membantu dengan gratis. Dia akan meminta pamrih yang kadang tidak sebanding dengan apa yang sudah lakukan.”
Kini gantian aku yang kaget saat Bram menyinggung tentang Tejo. Namun dengan cepat aku bisa menguasai diri, tentu saja bajingan seperti Bram sudah mengetahui tentang kejadian yang menimpa Tejo, entah dia sudah mengetahui sampai sejauh mana.
“Kamu tahu apa yang terjadi dengan Tejo?”
“Tentu saja, bukan hanya gue,semua bajingan di Kota ini juga tahu apa yang sudah menimpa Tejo. Meskipun gue yakin, hanya bagian kulit yang mereka tahu. Apa, kenapa dan siapa yang menyerang Tejo tidak akan ada yang tahu. Sama seperti gue. Tetapi ketika lo barusan menyebut nama Jack. Saat itu juga gue tahu korelasi antara elo, Tejo dan Bram. The Deathwish, semua berawal dari The Deathwish, benar kan?”
Sialan, niatku langsung kebaca Bram dengan mudah. Kalau sudah seperti ini apa boleh buat, entah apa reaksi Yosi jika ia tahu kalau aku menemui Bram sekarang ini.
“Iya benar. Pelaku penyerangan Tejo adalah satu di antara kelompok yang ikut Deathwish.”
Bram tersenyum sinis. “So what? Kalau semisal gangster A yang nyerang Tejo, apa tujuan elo dengan menemui Jack?”
“Yosi bercerita bahwa ada perjanjian di The Deathwish yang menyatakan bahwa aksi balas dendam antara grup yang terlibat Deathwish sangat di larang, jika ada yang nekat melanggar, akan di kenakan hukuman berat.”
“HUAHAHAHAHAHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHHA!” Bram tertawa keras hingga menepuk-nepuk meja. “Lucu banget elo Yan, asli ngakak gue.”
Keparat, aku paling tidak di tertawakan di remehkan seperti ini. Bram rupanya langsung tahu bahwa aku sedang menahan amaran saat ini, ia langsung berhenti tertawa dan kemudian bertanya.
“Dari dulu Yosi memang tidak pernah teliti, keegoisannya membuat ia bertingkah sembrono. Asal lo tahu Yan, di perjanjian tentang Deathwish memang mengatur hal persis yang seperti lo katakan tadi. Namun Yosi sudah gelap mata dan main tanda tanagn saja. Ia tidak memperhatikan bahwa aturan tersebut hanya berlaku 1x 24 jam setelah Deathwish selesai.
Jadi ketika Deathwish selesai, Yosi pemegang titel Last Man Standing, 1 x 24 jam berikutnya, kekebalan yang di miliki semua grup yang terlibat Deathwish sudah tidak berlaku. Jadi jika salah satu gangster peserta Deathwish ingin membalas dendam setelah 1x24 jam, itu sah-sah saja dan bukan lagi menjadi urusan Jack. Asal lo tahu, di saat gue baru aja sembuh pasca operasi besar akibat cedera yang gue alami saat kalah beradu nekat dengan Yosi, orang-orang Grindordeath udah cari gue buat balas dendam.”
“Apa? Grindordeath?”
“Iya, Surya lawan gue adalah bos dari Grindordeath, dia koma setelah jatuh dari motor saat melawan gue. Anak-anakny langsung menaruh dendam kesumat karena gue udah membuat bos kebanggan mereka mati enggak, hidup juga enggak. Beruntung karena sebelum gue lawan Yosi di pertandingan terakhir, gue sudah mengadakan kesepakatan dengan Jack.”
“Kesepakatan apa?”
“Kesepakatan bahwa Jack akan menjamin keselamatanku dari semua gangster yang terlibat Deathwish. Jack benar-benar menepati janjinya, setelah gue lapor ke Jack kalau anak-anak Grindordeath cari masalah sama gue, Jack langung kirim orang untuk membereskan semua anak Grindordeath sampai tidak ada yang tersisa.”
“Apa…apa maksudmu dengan kalimat ‘sampai tidak ada yang tersisa.’ ?”
“Yan..Yan..Jack itu salah satu bos mafia, lo pasti bisa nebak apa yang gue maksud dengan kalimat ‘sampai tidak ada yang tersisa.’.”
Pembantaian, damn.
“Lalu apa
“Saran gue sederhana, jangan pernah elo minta sesuatu ke Jack kecuali dalam keadaan yang benar-benar genting. Kalau itu lo lakukan, elo akan terjebak dalam lingkaran setan milik Jack, dia akan kasih elo kesepakatan yang tidak akan pernah seorang pun bisa tolak,” tegas Bram.
“Tapi gue yakinlah, tanpa meminta bantuan kepada Jack, abang si Tejo gak akan tinggal diam. Dia bukan orang sembarangan. Dian dan tema-teman setianya akan menggulung gangster yang sudah salah pilih korban pertama. Btw, kalau gue boleh tebak, kemungkinan besar kelompok Blood Creep, merekalah pelakunya. Ehm kalau memang terbukti mereka pelakunya, sepertinya para bajingan tua akan cukup kewalahan. Karena dari beberapa info yang gue peroleh tentang Blood Creep, mereka kini punya leader yang lebih solid dan jauh lebih kejam. Hmm, dengan koneksi Yosi sangat luas, dalam beberapa hari dia pasti sudah memiliki info tentang Blood Creep yang jauh lebih lengkap,” lanjutnya.
Blood Creep memang terdengar sangat berbahaya, tetapi orang yang ada di depanku saat ini, menurutku jauh lebih berbahaya. Secara fisik memang tidak seseram dulu, tetapi kombinasi dari pemikirannya yang cermat, intuisi yang tajam dan koneksi jaringan info yang teramat sangat luas, membuatku mulai menaruh perasaaan segan, Aku jadi ingin bertanya sesuatu.
“Bram, apa yang sudah di rencanakan Pak Indra dengan kehadiran Toni?”
Bram menghembuskan asap vapenya ke atas.
“Pertanyaan elo salah.”
“Maksudnya?”
“Seharusnya elo bertanya seperti ini,‘Apa yang sebenarnya di rencanakan oleh Pak Tomo?’. Yan, baik Pak Indra maupun Toni, mereka itu semut pekerja. Mastermindnya tetap Pak Tomo. Entah apakah elo dan teman-teman elo sudah berpikir sampai sejauh itu, tetapi yang jelas Pak Tomo punya rencana yang sayangnya bisa membuat gue, elo bahkan 15 bajingan yang ada di sasana pagi tadi atau lebih, di paksa angkat kaki dari sekolahan ini. Yang pasti, 2 minggu lagi semuanya akan menjadi jelas. Semuanya tergantung sama elo Yan.”
Aku terpekur mendengar penuturan Bram, karena prediksi juga sama dengan prediksi kami bahwa Pak Tomo memiliki rencana terselubung yang bisa mengancam keberadaan kami semua.
“Kok bisa gitu?”
“Lo harus,wajib, mesti menang lawan Toni, apapun format atau peraturan permainan kotor dari Pak Indra. Kalau elo menang, itu berarti elo memperpanjang nafas para bajingan di sekolah kita sekaligus menggagalkan rencana busuk Pak Tomo. JADI PILIHAN ELO CUMA 1, MENANG !!!”
= BERSAMBUNG =
Genderang Perang sudah mulai di tabuh
ReplyDeleteApi2 peperangan mulai dinyalakan