LPH #81
Episode 81
Giant Killing : Battle Royale
(POV Yandi)
Pak Indra sudah memberikan aba-aba.
Namun kami bertiga belum ada yang bergerak.
Aku, Heru dan Galang masih diam dengan sikap berdiri biasa saja. Tidak ada kuda-kuda atau mengangkat kedua kepalan tangannya laiknya orang yang mau berkelahi. Mungkin apa yang mereka pikirkan sama sepertiku. Kami bertiga ada semacam beban sebagai kelompok pertama yang di adu. Arah format pertarungan ini akan susah di tebak dan lagi pula ini bukan tipe perkelahian yang asal serang. Harus pandai bersiasat.
Opsi pertama, aku bekerjama dengan salah satu dari mereka berdua untuk sehingga jadi dua lawan satu. Jika dia sudah kami bereskan, “kerjasama” berakhir dan kami saling berhadapan satu lawan satu.
Opsi dua, aku menghambur serang habis keduanya. Buat pingsan Heru dan Galang dengan cepat jadi akan lebih mudah mengeluarkan mereka berdua dari ring.
Namun opsi kedua lebih menarik, lebih efektif. Kalau bisa satu lawan satu pukulan, malah jauh lebih bagus. Mungkin memang akan sedikit boros tenaga karena aku mesti mengerahkan pukulan terbaik dalam satu serangan. Tapi tidak masalah, yang penting aku cepat mengakhiri sesi ini.
Hanya saja...
“Bang, kita beresin Yandi dulu, baru kita bisa berantem satu lawan satu, bagaimana?” ajak Galang mengambil inisiatif lebih dulu, mengajak Heru melawanku. Dia mengulurkan salam ke Heru.
Heru tertawa. “Bangsat, masih bau kencur udah berani nyuruh-nyuruh gue. Tapi boleh juga.” Heru menjabat tangan Galang dan kini mereka berdua sudah memasang pose siap untuk berkelahi melawanku.
“Saatnya balas dendam, “ kata Heru yang rupanya masih menaruh dendam kepadaku. Oke baiklah, pada akhirnya aku memang harus langsung kekuatan penuh melawan mereka berdua.
Aku memukul-mukul mitt, “Mau siapa dulu yang mau maju?” aku menggertak kedua. Heru dan Galang lalu berjalan berlawanan arah sehingga kini mereka berdua berada di sisi kanan dan kiriku.
Heru di kiri.
Galang di kanan.
Cerdas juga mereka dan juga bisa langsung nyetel. Mereka paham bahwa aku pasti kesulitan mengatur fokus jika lawan berada di kedua sisi. Cuman ada di film saja ketika ada satu tokoh yang di kepung dan di keroyok oleh banyak lawan, pada akhirnya yang menyerang satu-satu bergantian. Kalau di RL ya, semua lawan bakalan maju serentak dan menyerang bersamaan. Untuk mendobrak situasi seperti ini, setiap serangan ke lawan yang datang dari berbagai arah mesti efektif, satu serangan satu lawan tumbang! Aku yang semula berada di dekat tali ring, bergerak maju ke depan dan berhenti di tengah-tengah. Selain menjauhkan diri dari pinggir ring, aku ke tengah agar memiliki ruang yang lebih lebar.
Aku menunggu.
Siapa yang bergerak lebih dahulu, dia yang akan orang pertama yang akan kulumpuhkan.
Rupanya mereka menyerang bersamaan. Heru meloncat sambil memukul, sementara Galang memanfaatkan jangkauan kakinya yang panjang dengan menendang ke arah kaki. Aku pun mengangkat kaki kanan yang di sasar tendangan Galang. Bukan cuma sekedar aku angkat, aku memutar pinggang menendang ke arah Heru.
BUGH !
BUGH !
Pukulan Heru mengenai wajahku meski tidak telak tapi sempat langsung kubalas dengan tendangan ke arah pahanya. Heru meringis kesakitan namun pipi dan pahaku juga terasa perih.
Seperti pepatah, “Langsung di garuk selagi gatal.” Mumpung sudah mulai baku hantam, langsung serang saja. Heru yang kuincar karena sedikit banyak aku sudah menakar kekuatannya.
BUGH!
Wajahku kembali terkena pukulan dari Heru saat aku terburu-buru mendekatinya.
Panas, perih!
Sesungguhnya menyepelekan lawan adalah hal yang sangat fatal saat terlibat perkelahian, entah perkelahian jalanan atau di atas ring seperti sekarang. Dan ini yang kurasakan sekarang karena aku sedikit memandang Heru sebelah mata. Karena bagaimanapun juga, Heru salah satu senior yang sudah kenyang terlibat perkelahian. Sepersekian detik aku lupa dengan keberadaaan Galang dan dia memanfaatkan kelengahanku dengan menendang tepat ke punggung, membuat tulang belakangku nyeri seperti kena hantam kursi.
“Ugh..”
Galang melingkarkan lengan kanannya membekap leherku. Karena ia punya postur tinggi, mudah baginya untuk memitingku dari belakang. Ia berusaha mengunci dengan mengeratkan tangan kiri.
“Kena lo!” kata Galang.
Heru yang melihatku kesulitan di jerat oleh Galang, memanfaatkan kesempatan dengan mencoba memukulku sekali lagi. Kali dengan segenap kekuatan yang punya.
Bakalan. Sakit. Kalau. Kena.
Sialan.
Sebelum pukulannya mengenaiku, aku menahan nafas, berpegangan di kedua lengan Galang yang membelitku dari belakang. Galang yang tidak menyangka aku akan bergantungan, secara reflek menahan badanku dengan cara menguatkan pijakan dan mengetatkan pitingan di leher, nafas yang kuhirup sebelum menahan nafas cukup membantu. Aku sengaja bergantungan agar aku punya ruang memanfaatkan kedua kaki yang bebas. Saat bergantungan di lengan Galang ini lah, aku memblok pukulan sekaligus menendang Heru dari arah depan. Heru tersentak mundur karena wajahnya mencicipi telapak sepatuku. Mukanya jelas merah antara sakit dan malu.
Karena gerakanku barusan, badan Galang ikut terdorong ke depan. Sehingga kami berdua terjatuh dengan posisi yang sama-sama tidak mengenakkan. Kami berdua segera bangkit berdiri, mumpung Heru masih mengerjap-ngerjapkan mata karena kena tendanganku, aku serang si Galang dari depan.
SYUT !SYUT !SYUT !
Aku terkesan karena tiga pukulan beruntunku bisa di elakkan Galang. Untuk orang yang dominan serangan kaki, Galang lincah dan cekatan. Footwork-nya lincah. Seperti Xavi. Oh, sepertinya Galang punya background salah satu disiplin ilmu bertarung. Taekwondo mungkin? Tapi entah. Galang lebih raw.
Memang dia bisa mengelak, namun ada satu dua pukulan yang mesti ia tahan langsung. Galang terkejut, dahinya mengernyit saat memblok pukulan kirikuku. Dia merasakan tekanan dan kekuatan pukulanku. Tangan dan lengan Galang kurus, panjang membuat efeknya jadi terasa makin menyakitkan.
Ayo Galang, sampai kapan kamu terus menangkis dan mengelak, batinku, tanpa mengendorkan serangan. Aku sengaja memancing kemarahannya dengan mendobrak semua blok dan tangkisan. Kubongkar perlahan-lahan, keringat dingin mulai nampak di wajahnya.
BUGH !!
Setelah menepis tinju kiriku yang agak ngawur, Galang membalas dengan melancarkan tendangan kaki kanan menyilang dari jarak dekat. Aku sebenarnya sudah menduga ia akan menyerang dengan kaki. Namun ternyata ini sudah di antisipasi oleh Galang. Saat aku merapatkan lengan kiri ke badan, sebagai tameng. Tendangannya memang teredam. Tetapi serangan susulan berupa dua pukulan cepat ke arah wajah, membuat aku bisa merasakan darah mengalir dari salah satu lubang hidung.
Wah dia punya pukulan lumayan juga. Kuhiraukan rasa perih dan kepala sedikit berkunang-kunang. Kutinju betis kiri Galang saat ia coba kembali menendangku. Galang meringis kesakitan sambil memegangi betis yang kupukul cukup keras sehingga tumpuan kakinya jadi agak goyah karena dalam beberapa detik ia berdiri dengan kaki kanan saja.
Ini kesempatanku untuk melumpuhkan Galang!
Kusapu kakinya sehingga ia jatuh terduduk.
Sebenarnya dalam posisi seperti ini, aku berada di atas angin sehingga satu atau dua pukulan sudah cukup membuat Galang pingsan.
Tetapi aku lupa bahwa ada satu lawan lagi di atas ring.
Heru memukul samping kepala dan mengenai kuping kiri, aku jelas berteriak kesakitan. Bahkan untuk sesaat aku tidak bisa mendengar teriakanku sendiri karena kupingku berdesing, seperti suara microphone yang melengking keras saat jika terlalu dekat dengan speaker.
NGIIIIIIIINGGGGGG!
Itulah yang kurasakan sekarang. Dengingan di kuping yang mengundang rasa pusing, membuatku agak hilang keseimbangan.
Selanjutnya Heru menghajarku tanpa ampun. Punggung, perut dan kepala jadi sasaran, Galang juga turut memanfaatkan keadaan. Mereka memukuliku dari kedua arah. Heru di belakang dan Galang di depan. Yang bisa lakukan saat ini adalah menutupi area kepala, melindunginya dengan kedua kepala serta menahan nafas untuk mengencangkan otot perut yang juga jadi ”sasaran tembak untuk mengurangi sesak. Mau gak mau aku hanya bersikap defensif karena rasa sakit di kuping belum reda benar.
Tapi ketika kepala bagian belakangku kena pukulan hal ini memicu amarahku! Apalagi aku mendengar salah seorang temanku berteriak dari sisi ring.
“JANGAN BERCANDA YAN ! CEPAT BERESKAN !”
Jujur saja, sedari awal permainan ini di mulai, aku merasa biasa saja, datar dalam artian aku melawan Heru dan Galang karena perintah. Tidak ada sisi emosional. Dengan Heru aku pernah berkelahi melawannya sebelum studi banding. Sesudahnya kami terlibat beberapa kali obrolan, tidak ada masalah personal. Sama halnya dengan Galang. Aku tidak memiliki masalah dengannya.
Amarahku timbul bukan karena tindakan Galang dan Heru yang kompak memukuliku sekarang, aku justru marah dengan diriku sendiri. Sampai kapan aku mesti seperti sekarang ini? Dimana mesti ada trigger yang membuat aliran darahku mengencang, menaikkan kadar adrenalin. Kalau aku bertemu dengan lawan yang jauh lebih kuat, lebih beringas tapi secara emosi, aku masih merasa “biasa saja”, aku bisa habis.
Di periode masa remajaku yang penuh dengan kekerasan, itu adalah sikap bodoh, karena membiarkan diriku sendiri jadi sansak. Suka atau tidak aku mesti segera mengubah kelemahan. Harus langsung panas dan serius. Di mulai dari hari ini. Percuma aku kemarin meminta keempat temanku sebisa mungkin secepatnya menang, sementara aku malah membuat diriku berada di posisi yang susah.
Perkelahianku dengan Puput jadi bukti sahih, bahwa aku memang sebenarnya bukan tipe orang yang bisa berkelahi begitu saja.
Aku yang sebelumnya dalam posisi jongkok, langsung berguling ke depan. Bertepatan dengan ayunan sepakan kaki dari Galang dan Heru. Mereka terlihat kesal karena tendangan yang aku yakin sebagai serangan pamungkas menemui kegagalan. Oke, sudah cukup bermain aman, sesi selanjutnya aku yang akan mengambil inisiatif serangan !
Aku berlari menerjang ke arah Heru terlebih dahulu, Heru nampak kaget karena mungkin ia bisa merasakan perubahn sikap dan mental. Heru tahu ia tidak akan sanggup memblok pukulanku, sehingga menghindari dengan terus bergerak. Sehingga tanpa sadar ia berjalan mundur tidak melihat jika Galang tersenyum licik.
WUSH… BUGH !
Galang mengeluarkan teknik tendangan berputar yang amat sangat kencang. Tendangan memutar di sertai loncatan dengan gerakan kaki kanan membentuk kaitan dimana bagian telapak mengenai wajah Heru.
Heru terlempar ke samping meneriman tendangan tak terduga dari Galang. Melihat keganasan dan kecepatan serangan Galang, membuatku lengah, karena begitu kaki Galang menginjak canvas, ia kembali meloncat dan berputar 360 derajat. Kaki kanan yang tadinya di tekuk ke dalam, di rentangkan ketika momentum putaran kaki menghasilkan daya serang mengerikan.
Sekuat-kuatnya aku, kalau kena tendangan dengan teknik double spinning kick, aku tidak tahu apakah masih bisa berdiri dengan tegak. Aku kehilangan daya untuk sekedar menghindar, maka sepenuhnya aku bergantung dengan insting dan refleks badanku.
Kedua lututku menekuk sementara badanku condong arah belakang. Mirip seperti scene iconic di film Matrik saat Neo menghindari tembakan peluru. Aku berusaha sebisanya menjauhkan wajah dari kaki Galang yang seolah memiliki mata yang mengejar sasaran.
Sialan, tetap saja, kaki Galang memang punya daya jangkau luar biasa!
BUGH !
WUSH !!!!
*****
@ Sasana SMA NEGERI XXX
Di saat yang sama…
*****
(POV Galang)
Gue melihat semua orang menatap ke arah gue. Ekspresi mereka identik. Terkejut, shock atas apa yang sudah gue lakukan di atas ring. Dua lawan gue terkapar, mungkin pingsan. Tentu saja, tidak mungkin mereka berdua tidak pingsan terkena salah satu teknik paling berbahaya di taekwondo.
Sasana terasa sepi, tidak ada yang bersuara. Padahal ada tujuh belas orang ( dua di antaranya pingsan) di sini sekarang. Bahkan dari anak kelas 1 yang satu angkatan dengan gue, tidak ada sorak sorai.
Haha ya wajar sih.
Mereka pasti kaget melihat dua bajingan, bukan sembarang bajingan kelas kaleng-kaleng kalau kata orang, bisa gue taklukkan dalam waktu ya mungkin berselang beberapa detik. Gue tersenyum sendiri bisa memamerkan kehebatan gue di depan semua orang.
"Elo belum bisa di anggap sebagai pemenang jika belum melemparkan mereka berdua keluar dari ring," kata Indra dingin ke gue.
Mata kami beradu, jika di hari-hari biasa gue tidak pernah membalas tatapan beliau akan tetapi ini sudah jauh berbeda.Ini bukan lagi antara guru dengan murid. Tetapi sudah murni urusan antar laki-laki. Dan memang benar, ini belum sepenuhnya selesai, belum tuntas.
Gue menyeret kaki Heru dan menggulingkan badannya lewat bawah tali ring sehingga badannya berdebum jatuh di lantai. Tidak ada satu temannya yang coba menangkap Heru. Berkat bantuan Heru yang menjadi pengalih perhatin yang baik, gue bisa menundukkan siswa yang konon terkuat di SMA NEGERI XXX sekarang ini.
Pffftt… The strongest delinquet my ass!
Satu selesai.
Tinggal satu orang lagi yang perlu gue buang keluar. Tapi aku merasakan adanya aura ancaman yang membuat bulu kuduk gue merinding saat melihat Yandi berdiri sambil memegangi lehernya.
"Boleh, boleh...." Kata dia sambil memutar-mutar leher dan menepuk-nepuk pundaknya.
Bajingan. Ini tidak mungkin.
Mustahil ada orang yang setelah terkena tendangan memutar gue di bagian kepala, masih bisa berdiri. Memang ia terlihat sedikit kacau, lebam di sana-sini, sisi mulutnya berdarah tetapi tatapan matanya tidak berubah, bahkan sekarang malah terlihat terlihat lebih tajam daripada sebelumnya.
Mungkin tendangan gue tadi sedikit meleset dan kurang telak, gue membatin mencoba menelaah dan memberikan sugesti positif ke diri gue sendiri. Saat gue sedang memantapkan pijakan, kedua kaki gue malah secara reflek mundur saat melihat Yandi berjalan ke arah gue. Sosok Yandi seperti terlihat membesar. Gue mundur hingga gue terdesak di pojok ring.
Bajingaan, kok bisa begini? Masa iya gue takut?!
Yandi memang bukan orang pertama yang masih bisa bertahan/sadar, meski kena spinning kick ke bagian samping kepalanya. Tapi biasanya kalau lawan gue bisa bangkit setelah kena jurus tendangan pamungkas dari gue, biasanya gue kalah. Fucking hell…
Dan alam bawah sadar, terutama badan gue mengingat dengan jelas. Akibatnya ya seperti sekarang ini, gue malah memposisikan diri gue di spot yang sangat menguntungkan bagi Yandi.
Di saat gue coba berlari menghindar ke kiri, Yandi membentangkan tangan kanannya, menghalangi jalur. Gue mundur. Hal yang sama terjadi saat gue hendak berlari ke kiri.
"Tetap di situ," kata Yandi tenang.
Shit, gue gak bisa gerak.
"Lihat ke atas," lanjutnya.
Goblognya, gue malah reflek melihat ke atas.
DUGH !!!!!!!!!!!!
Dua detik kemudian, gue sesak nafas saat rusuk kanan gue seperti kena hantam palu godam.
Ba...jing...ann. Apakah dia menyembunyikan palu di balik mitt-nya, batin gue sambil mengerang memegangi rusuk kanan. Susah nafas pula..haaaaaaah
Gue muntah tapi hanya air liur yang keluar. Gue bahkan gak bisa ngapa-ngapain saat pundak gue di tepuk Yandi. Yandi senyum ke gua sambil mengatakan.
"Maaf ya...."
Satu bayangan hitam melesat ke arah wajah gue.
Taik.lah.
*****
@ Sasana SMA NEGERI XXX
Di saat yang sama…
******
(POV Yandi)
“Lo kenapa sih?” tanya Xavi ketus saat aku duduk di kursi lipat yang tersedia di sekitaran ring.
Reaksi dia berbeda dibandingkan Wira, Yosi dan Zen yang memberiku ucapan selamat karena sudah memenangkan pertarungan pertama, saat aku turun dari ring.
“Eh, kenapa-kenapa?”
“Pikiran lo gak ada di dalam situ. Seharusnya elo bisa lebih cepat memenangkan pertarungan. Tapi elo terlihat lebih lamban, eksekusi kurang tajam dan terlalu sembrono. Bukan gue mengecilkan Galang dan Heru, mereka berdua kuat terutama Galang yang punya teknik dasar Taekwondo, tetapi di sekolah kita saat jika kita bicara perkelahian satu lawan satu, elo gak ada obatnya Yan. Elo di keroyok dua orang pun gue yakin lo pasti bisa menang, Jadi gue tanya sekarang, apa yang lo pikirin sekarang ini? Lo terlihat ‘berat’ melakukan ini semua,” Xavi mengatakannya tanpa senyum sama sekali, wah Xavi beneran marah denganku.
“Gak ada apa-apa kok, kamu lihat sendiri kan, Heru dan Galang bukan lawan sembarangan.
“Cik ! gue uda hampir hafal apa isi otak lo Yan. Tapi gue gak tahu apa yang lo pikirkan saat bertanding tadi.”
Xavi mengatakannya dengan terus terang. Namun aku malas untuk menceritakan apa yang berkecamuk di pikiranku saat aku berada di atas ring.
“Aku hanya lamban panas kok,” kataku singkat sambil melepas mitt. Lega rasanya tanganku terbebas dari mitt. Aku lihat Heru sudah sadar duduk di antara teman-temannya. Tengkuknya di kompres dengan plastik berisi batu es. Sementara Galang aku lihat tidak ada lagi. Rupanya setelah Pak Indra menyatakan aku sebagai pemenang, dua petugas medis keluar dari satu ruangan membawa tandu. Keduanya dengan cekatan membawa Galang masuk ke dalam ruang medis seperti UKS.Yah, aku menghajar Galang cukup kuat sehingga ia merosot jatuh pingsan dalam posisi terduduk. Mungkin setengah jam lagi ia sudah siuman.
“Woi, Sapi, elo ngapa sih? Ini Yandi biar ambil nafas dulu kenapa. Kita juga tahu Yandi agak aneh tadi, tapi gak perlu lo konfrontir sekarang juga. Yang penting Yandi lolos ke sesi selanjutnya,” kata Yosi menghampiri kami berdua.
Yosi sebelumnya sedang berbicang dengan Wira dan Zen Mungkin menebah arah event kali ini. Tapi sepertinya ia mendengar kekesalan Xavi dan menegurnya.
Xavi diam saja.
“Lo gak apa-apa Yan?” cuma luka luar aja kan?” tanya Yosi
Aku tersenyum sembari mengacungkan jempol. “Yoi.”
Obrolan kami terhenti ketika Pak Indra mengambil megaphone dan berteriak-teriak macam kami semua yang ada di sasana sekumpulan orang tuli.
“SELANJUTNYA, YANG GUE PANGGIL NAMANYA LANGSUNG NAIK KE ATAS RING. ATURANNYA SAMA SEPERTI YANG GUE TERANGKAN DI AWAL !”
Suasana langsung jadi kembali sunyi.
“Semoga giliran gue, gak sabar gue bungkem bacot anak kelas 1 dan 3,” ujar Yosi sambil meninju-ninju telapak tangannya.
“XAVI !!”
Kami menoleh ke arah Xavi yang langsung berdiri. “Gue duluan ye,” sindir Xavi sambil menepuk pelan pundak Yosi.
“Sial lu!”
“Jangan kalah!” kataku.
Xavi menjawab santai. “Pasti. Kalau lebih dari 10 menit gue belum bisa menang, gue belikan kalian berempat iPhone 11 Pro,” tukas Xavi sambil berjalan menuju ring. Zen dan Wira menyemangati Xavi yang mengenakan sepatu Adidas hitam, celana jogger abu-abu dan kaos putih polos.
“Hahaha, byajingan tu sapi, makin sombong aja tuh bocah. Gue doakan dia menang….dalam waktu 15 menit. Jadi kita berempat dapat ponsel baru,” ujar Yosi sambil berkacak pinggang. Aku merasa sudah cukup istirahat lalu aku dan Yosi menghampiri Wira dan Zen. Kami berempat berdiri mengamati dari dekat ring ketika lawan pertama Xavi di panggil Pak Indra.
“MAX! MAJU LO MONYET!” seru Pak Indra dengan kasar.
Wah lawan Xavi dari kelas 1 adalah anak yang nyaris di tusuk Zen dengan garpu dulu, aku lega sih. Karena entah nasib itu anak bakal gimana kalau ketemu Zen di sesi pertarungan bebas kali ini.
“Hohoho, beruntung tuh anak gak ketemu gue,” gumam Zen.
Aku melirik Zen sambil geleng-geleng kepala, respon Zen cuma tersenyum .
“Yah, malah lawan Xavi. Gue padahal ngincer itu anak. Dari sekian banyak anak kelas 1, dia yang wajah dan sifatnya paling punch-able,” gerutu Wira.
“Yaelah Wir, lo ngincer bocah. Tuh lu incer si Bigmac atau Goku, baru gue salut,” kata Yosi.
“Ya baguslah! Kemungkinan satu dari mereka bakal jadi lawan gue! Liat aja! Gue hentak pala’nya!”
“Hahah kita lihas saja nanti ! btw, Xavi harusnya menang lawan Max tapi entah dengan anak kelas 3. Semoga dia dapat Farid. Dari lima orang dari kelas 3, Farid yang paling receh,” terang Yosi kepada kami.
“FARID! SI BERUK NAIK LO SEKARANG !” teriak Pak Indra.
“Hah ! Xavi bakalan menang mudah nih! Emang hoki mulu si Xavi,” komen Wira.
“Brengsek benar, gak jadi dapat iPhone 11 Pro nih kalau lawan Xavi cuma Max dan Farid,” keluh Yosi.
Aku tertawa mendengar perkataan Yosi yang memancing rasa penasaran Wira dan Xavi.
“Ha?Apa hubungannya iPhone dengan Xavi?”
“Tadi di belakang Xavi sesumbar bakal menang kurang dari 10 menit. Kalau dia kalah atau menang lebih dari 10 menit, Xavi akan membelikan kita iPhone 11 Pro.”
“Haissh, su’e juga tuh Xavi. Yadah, mari kita berdoa Xavi menang tapi lebih dari 10 menit, amin,” tukas Wira.
Aku, Yosi dan Zen juga merespon dengan kompak, “Amin.” dan kami berempat tertawa.
Kulihat anak kelas 1 dan 3 menatap ke arah kami, mereka sepertinya heran melihat kami masih bisa tertawa di tengah suasana seperti sekarang. Ya mau gimana lagi, suasana tegang seperti malah membuat jadi grogi, menambah pressure yang tidak perlu. Kami berempat berhenti tertawa ketika pertarungan ke dua antara Max vs Xavi vs Farid di mulai.
Xavi sepertinya serius dengan janjinya. Ia bergerak terlebih dahulu dengan berlari ke arah Farid dan secara mengejutkan Max juga menerjang ke arah yang sama. Farid terkesiap dirinya menjadi sasaran keduanya. Farid hanya bisa memblok pukulan Xavi, namun tidak dengan sodokan lutut dari Max.
Tangkisan dari Farid pun mengendur seiiring dengan rasa sakit yang berasal dari perut. Bak seekor hiu yang mencium darah, Xavi memanfaatkanya dengan menyarangkan pukulan ke arah rahang, membuat Farid sempoyongan dan memegang tali ring. Max mencium kesempatan menyingkirkan satu lawan, ia langsung menendang ke arah dada Farid, sebuah tendangan yang membuat Farid melesak keluar dari sela-sela tali. Farid sempat berusaha menggapai tali tetapi ia tidak dapat menjangkau.
BUGH!
Farid terlempar keluar begitu saja, ia bergulingan di lantai sembari memegangi dada dan perut. Mulutnya berdarah karena pukulan dari Xavi. Farid kalah tanpa sekalipun mengayunkan satu serangan. Kini terjadi duel satu lawan satu. Xavi melawan Max. Keduanya sama-sama agresif dan tidak ada yang mau kalah satu sama lain. Kalau istilah pertandingan sepakbola, kedua tim bermain terbuka, saling serang.
“Ngalahin lawan cepat-cepat ya gak gitu juga kali,” celetuk Zen.
Aku tertawa mendengar perkataan Zen mengomentari Xavi vs Max.
“Iya njir, ini rusuh banget. Udah gak pake teknik-teknikan, pukul, tendang, piting, banting hahaha,” tambah Yosi.
Memang benar, perkelahian Xavi dengan Max mirip gak pake strategi aneh-aneh. Benar-benar baku hantam secara harafiah. Keduanya sama-sama sudah berdarah. Xavi mimisan sementara Max di sudut bibirnya. Baru kali ini aku melihat Xavi berkelahi tanpa mengandalkan teknik ya ia punya. Keduanya sama-sama memegangi kerah lawan, saling pukul dan elak.
“YIHAAAA!4 MENIT LAGI GUE DAPAT IPHONE!!AYO MAX SEMANGATTT !!” Yosi berteriak ke arah mereka.
Xavi menoleh ke arah Yosi dan membuat ia sedikit lengah. Satu pukulan Max menyambar pipi Xavi membuatnya ia jatuh terduduk.
“Begoo, kenapa lo teriakin? Buyar dah tuh,” tukas Wira.
“Ups, ahahaha.” ujar Yosi.
Ekspresi Xavi terlihat kesal, sementara Max memanfaatkan posisi dengan mengayunkan tendangan seperti menendang bola.
GAWAT !
Aku agak menahan nafas melihat Max mengarahkan tendangan ke arah wajah Xavi, namun Xavi, entah reflek atau hasil tempaan latihan, ia berhasil menghindari sepakan Max dengan cara berguling ke belakang. Begitu posisinya sudah kembali normal, Xavi meloncat dari posisi jongkok, ia menerjang Max yang masih kaget karena tendangannya meleset.
“Gameover,” ucap Zen.
Dan aku setuju, ayunan lutut kanan Xavi khas Muaythai tepat mengenai perut Max. Mata Max mendelik, satu pukulan dari atas membuat Max jatuh telungkup mencium canvas.
Max pingsan.
Kami bersorak karena Xavi bisa memenangkan pertarungan. Xavi nampak terengah-engah, mengambil nafas sebentar sebelum akhirnya menggulingkan badan Max hingga keluar dari ring.
Dalam waktu 8 menit sekian detik, Xavi memenangkan battle kedua.
Aku tidak menyangka Xavi bisa menerjang Max dari posisi berjongkok tanpa ancang-ancang.
Wow, sudah sepesat inikah Xavi?
“Rolling belakang yang Xavi lakukan sebelumnya, membuat Xavi punya pijakan yang kuat dan stabil untuk meloncat dari posisi jongkok. Meski momentumnya tepat, tanpa di sertai otot kaki yang kuat, serangan Xavi tidak akan sedahsyat yang kita lihat barusan,”kujelaskan kepada teman-teman tentang apa yang barusan kami lihat.
“Haha sialan juga Xavi, sok nyimpen jurus!”
Kami berempat mengerubungi Xavi yang turun dari ring denga kepala tegak.
“Sorry, kalian tetap pakai Android saja, gak cocok pake iPhone,” kata Xavi sambil nyengir ke arah kami. Xavi menang tidak kurang dari 10 menit, berarti kami gagal dapat iPhone. Haha.
Xavi merangkulku. “Sori Yan, gue tadi agak berlebihan pas ngomong sama lo. Mungkin gue terlalu grogi jadi perlu pemanasan.”
“Iya, santai. Dah kompres-kompres dulu sana,”
Xavi lalu pergi ke ruang ganti.
“Mantaaap dua pertandingan, XYZ menang dua-duanya! Hahaha!!” kata Wira sesumbar. Ia sengaja meninggikan suara.
“Woi Wira, kalem aja napa. Kita memang menang, tapi lawan sesungguhnya masih belum keluar semua. Dejan dan Goku dari kelas 1. Dari kelas 3 masih ada Edgar dan Satya,” kata Yosi.
“Iya, maap-maap, terlalu semangatt, gue Yos,” jawab Wira.
Aku setuju, di situasi seperti sekarang ini, tidak perlu sesumbar dan memancing hal yang tidak perlu. Aku dan Xavi memang lolos ke sesi berikutnya, entah seperti apa nantinya jika sudah terseleksi 5 orang, namun unggul 2-0 membuat kami berada di atas angin.
“Semoga nama gue yang di sebut pliisss!” pinta Wira saat Pak Indra yang duduk sofa empuk nan nyaman sudah berdiri memegang megaphone. Pertanda sesi ketiga segera dimulai.
“ANDREASS ANAK HARAM ! MAJU !”
Anak kelas yang bertubuh pendek gempal, dengan rambut agak kribo maju mendekati Pak Indra sembari menyeret kursi lipat.
“Eh anjir ngapain tuh hobbit nyeret kursi? Jangan bilang dia mau naik ke atas ring sambil bawa kursi dah!” cerocos Wira.
“Wah-wah, sepertinya dia tersinggung dengan perkataan Indra, hahaha. Goblog sih kalau dia terpancing emosinya,” komen Yosi.
“Iya itu bagian dari intimidasi ala Pak Indra. Tapi gue paham kalau seandainya si Andreas emosi berat. Bajingan manapun kalau di panggil anak haram, uda pasti bawaannya pengen bunuh orang” ujar Zen turut memberikan pendapat.
Aku memilih diam dan mengamati.
“Woiii, seriusss tuh bocaah?” Yosi setengah berteriak kaget saat Andreas berdiri di depan Pak Indra yang duduk bersandar di sofa sembari tersenyum mengejek. Pak Indra bahkan tetap tenang saat Andreas memegang kedua kaki kursi yang masih terlipat lalu mengangkatnya seolah hendak ia hantamkan ke Pak Indra.
“Anjirr, itu ngapain?” Xavi yang sudah mengganti baju bertanya kepada kami.
BRAKKK !!!!!
“Setan…anak setan !!! Bikin kaget !” Wira berteriak spontan saat Andreas menghantamkan kursi tersebut ke samping Pak Indra. Pak Indra hanya mengangguk-anggukan kepala tanpa berkedip, ekspresinya tetap tenang. Setelah membanting kursi tepat di samping Pak Indra, Andreas menuju ke ring. Wajahnya memerah pertanda dia sudah panas dan sepertinya sudah tidak sabar untuk baku hantam,
“Eh jangan-jangan Andreas itu juga anak Pak Indra?” celetuk Xavi.
“Ngaco lo Sapi, abis kena pukul si Max, otak lo miring 5 derajat? Andreas memang brangasan dia. Pas SMP dia pernah mukul balik Guru Olahraga ketika si Guru dengan sengaja melempar bola basket tepat kena muka si Andreas karena menguap saat si guru menjelaskan tentang aturan basket. Eh bujug itu Andreas langsung loncat mukul si guru, coba kalau gak di pisah sama teman-temannya, udah di injek-injek itu guru.”
“Wasuw, sampe segitunya, terus di kena hukum dari sekolahan kalian gak?” tanya Wira.
“Gak di hukum sih, cuma di keluarkan dari sekolah keesokan harinya. Dasar anaknya sebenarnya pinter, tapi sumbu dia sependek badannya.”
Kami tertawa mendengar penjelasan Yosi.
Andreas sepertinya tahu ia sedang jadi bahan pembicaraan kami. Ia mendekati sisi ring dan tiba-tiba meludah sejauh-jauhnya ke arah kami. Unutng kami sempat menghindar.
“BACOT !! NGERUMPI KAYAK EMAK-EMAK ! SINI LO !”
Tindakan dan perkataan Andreas bak orang kesurupan ini jelas memantik amarah. Xavi dan Wira terlihat paling emosional.
“Eh anjing lo yaaaaaa! Pake ngeludah segala!!! PAK INDRAA, NAMA GUE WIRAAA !! PANGGIL NAMA GUE JADI LAWAN ITU BOCAH LAKNAT PAK !!”
Aku menepuk jidat melihat Wira jadi ikut kesurupan. Terlebih saat Pak Indra tidak mempedulikan permintaan Wira dan malah memanggil….
“YOSI TAIK KUCING!”
Yosi tertawa saat justru namanya di panggi. “Tenang bro, untuk urusan jinak-menjinakkan bom, gue ahlinya, lo duduk tenang saja.”
Kami memberikan Yosi sentuhan kepalan sebelum ia naik ring. Terjadi hal yang mengejutkan karena begitu Yosi masuk ke dalam ring, Andreas langsung menyerang. Yosi kaget dan tidak sempat mengantisipasi. Dua pukulan masing-masing ke perut dan pipi meluncur mengenai sasaran. Membuat Yosi sedikit terhuyung ke belakang. Bukan Yosi namanya kalau dia tidak bisa melakukan serangan balasan. Pukulan susulan Andreas di tampik dengan satu tangan dan celah terbuka buat Yosi untuk mengirim pukulan perkenalan.
Tapi tinju Yosi bisa di tahan dengan telapak tangan kiri Andreas, aku lihat ia menyeringai. Tapi seringai dari Andreas tidak bertahan lama, karena Yosi mencengkram kerah kaos Andreas lalu Yosi menandukkan keningnya ke arah hidung Andreas. Satu tendangan ke pinggang membuat mereka berdua kini menjauh.
“Boleh juga anak kelas 1 itu, nyalinya sebanding dengan kemampuannya,” ujar Zen.
“Anjir, Yosi sama Andreas main sendiri, itu Edgar gak di ajak, haha.”
Aku lihat di sudut ring, Edgar malah berdiri bersandar sambil memegangi kedua sisi tali ring. Rupanya yang dari kelas 3, langsung pentolannya.
Saking asyiknya aku lihat baku pukul Yosi dengan Andreas, aku lupa masih ada satu orang yang di panggil. Edgar bersikap santai, ia menikmati dan menunggu saja.
“Lho kok udahan? Ayo dong lanjutkan. Kalau udah jelas siapa yang menang, baru main sama gue,” tandas Edgar santai. Edgar sang pemimpin dari anak kelas 3 coba memprovokasi.
“Bacot ! lu maju sekalian juga anjing! Gak takut gue sama cowok yang pakai bedak!” balas Andreas kasar.
Muka Edgar langsung memerah di hina seperti itu. Namun Edgar itu opportunis, dia tidak segan merendah atau di rendahkan dulu jika ada peluang untuk membalas dua kali lebih sakit. Jadi Edgar menahan diri, bahkan sesekali ia menatap ke arah teman-temannya sambil mengangguk. Aku mencium sesuatu yang tidak beres, Edgar punya rencana busuk. Apa cuma aku yang memperhatikan atau ada orang lain yang juga menangkap gelagat buruk?
Aku pun meningkatkan kewaspadaan dengan memperhatikan ekspesi dan gerak-gerik Edgar. Sambil sesekali melihat ke arah Yosi vs Andreas.
Di bandingkan sebelumya, duel keduaya lebih menariik dan lebih hidup karena Andreas rupanya bisa mengimbangi Yosi. Dan dia pandai memanfaatkan keunggulannya.
Yakni postur yang pendek mungkin sekitar 160an cm namun dia punya badan gempal sedikit kekar. Karena Yosi jauh lebih tinggi daripada dia, Andreas terus menyerang dari jarak dekat hal ini memaksa Yosi memukul dengan ayunan ke bawah. Serangan dari Yosi bisa di mentahkan dengan cara merangsek maju. Memepet Yosi. Yosi juga tidak tinggal diam. Ia tahu lawannya pendek dan agresif. Pukulannya sesekali masuk telak ke wajah Andreas.
Tapi laksana banteng, Andreas terus menyeruduk, hingga Yosi terpojok di sisi ring. Lalu dengan membabi buta, Andreas berteriak sambil mengayunkan pukulan dari jarak dekat mengincar badan Yosi. Yosi yang sadar ia tidak mungkin bisa menangkis semuanya, memutuskan untuk berani adu pukul dari jarak dekat. Tapi Yosi sepertinya kalah dalam hal power, ia terdesak. Ia menjambak rambut Andreas ke atas sehingga ia mendongak lalu ia hantam kening Andreas dengan siku kanan.
BUGH!!!!
Keras sekali hingga pelipis Andreas sobek dan mengucurkan darah. Darah mengalir menutupi sebagian wajah Andreas. Andreas mengerang kesakitan dan mengendurkan serangan. Yosi melihat ruang dan bergerak membelakanginya, satu tendangan ke samping kepala mengakhiri perlawanannya.
Yosi terlihat lega.
“AWAS YOS!!!!” aku berteriak memperingatkan Yosi karena aku melihat gerakan tiba-tiba dari arah belakang. Edgar !! Dia berlari membawa satu benda, satu kursi lipat yang masih terlipat. Yosi mendengar teriakanku tetapi ia tidak bisa bereaksi. Ia hanya sempat menengok ke belakang.
BANG!
Edgar menghantam kepala Yosi bagian atas dengan bagian alas kursi yang berbahan kayu di lapis spoon tipis. Saking kerasnya hantaman, membuat Yosi langsung ambruk tidak sadarkan diri. Dari sela-sela rambut mengalir darah, membasahi canvas.
Sementara Edgar hanya tertawa.
“Selesai.”
Edgar mengincar kelengahan Yosi dan Andreas lalu ketika Andreas berhasil di kandaskan, Edgar sudah memegang kursi lipat yang aku yakin di berikan oleh salah satu temannya dari sisi ring. Selanjutnya ia melakukan sesuatu yang memang menjadi spesialiasinya,
LICIK !!!
Sontak tindakan dan perkataan Edgar memicu amarah kami berempat. Kami berempat langsung lari naik ke atas ring, sementara teman-teman Edgar juga berlarian naik ke atas. Edgar mundur ke pojokan sambil tertawa. Di saat kami sudah berhadap-hadapan di ring dan sebelum pecah tawuran antara kami dengan anak kelas 3, Pak Indra menghardik dengan megaphone yang memekakkan telinga.
“YANG TIDAK BERKEPENTINGAN TURUN DARI RING ! JIKA ADA YANG BERKELAHI DI SINI TANPA SEIZIN GUE, GUE LANGSUNG DO KALIAN HARI INI JUGA ! BUKAN CUMA GUE DO, GUE PASTIKAN TIDAK AKAN ADA SATUPUN SEKOLAH DI KOTA INI YANG AKAN MENERIMA KALIAN KALAU GUE DO. EDGAR TIDAK MELANGGAR PERATURAN KARENA GUE SUDAH SAMPAIKAN DI AWAL, TIDAK ADA LARANGAN MEMAKAI SENJATA,”
Aku emosi tetapi akhirnya bisa membujuk Wira, Zen dan Xavi untuk turun dari ring. Suka atau tidak, Pak Indra benar. Kami pun bisa saja bawa senjata tetapi tidak pernah terpikir bagi kami untuk mengambil opsi tersebut, kecuali satu bajingan laknat bernama Edgar, sesuatu yang harusnya kami bisa antisipasi.
Saat semuanya sudah turun dari ring, Xavi datang menghampiri Pak Indra.
“Pak, teman gue luka parah, bocor kepalanya hingga berdarah ! cepat panggil tim medis!”
“Apa maksud lo? Lo buta plus tuli? Duel baru di anggap selesai jika lawan sudah keluar dari ring. Yosi dan Andreas masih ada di atas ring,” tukas Pak Indra.
Aku menggamit lengan Xavi, menariknya menjauh dari Pak Indra.
“Sudah, sudah. Begitu Yosi keluar dari ring, kita langsung bawa ke ruang medis.”
Xavi pun kembali tenang. Tetapi di saat kami mengira, duel akan segera selesai, Edgar secara kurang ajar, menepuk-nepuk wajah Yosi dengan ujung kursi lipat yang masih ia pegang.
“Gak seru kalau duel selesai cepat ini. Apa gue patahin beberapa tulang Yosi dulu ya?haha,” ejek Edgar.
Bangsat ! ini sudah keterlaluan kalau Edgar hendak menyiksa Yosi sebelum ia mengeluarkannya dari ring. Zen lebih dulu bereaksi, ia berjalan mendekati sisi ring lalu mengatakan sesuatu yang bisa di dengar oleh kami semua yang ada di sasana.
“Kalau lo sampai melukai Yosi lebih dari yang sekarang. Elo bakal gue bakar hidup-hidup sampai mati, persis di depan muka orang tua lo. GUE SERIUS. AMAT. SANGAT. SERIUS.”
= BERSAMBUNG =
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThx suhu, for updet. Semoga sehat slalu lancar jaya
DeleteHu tanya nehh, diforun sebelumnya kan part liburan ke lombok itu 1part, nah dimari jadi 3part kalo gak salah. Apa episodenya gak tabrakan tuh jadinya?
ReplyDeletetul sekali,,,part lombok versi blog, udah gw pecah2 jadi empat episode sehingga bisa sesuai dengan urutan yang ada..
Deletejadi no problemo
mantapppppp
ReplyDeleteHahaha, zen jangan seris serius, aku belum siap
ReplyDeleteTerakhir baca diforum, sampai di eps. ini.
ReplyDeleteTerima kasih atas update-nya suhuu 🙇🏻♂️
Reaksi zen yang paling ane suka ini om...
ReplyDeleteGue serius..Amat.Sangat.Serius
Wkwkwk
Dark banget
Mantap...!!! Dan menegangkan...
ReplyDeleteTetep semanat huuu
ReplyDeleteKentang Om Panth... 😷😅... Thanks Updatenya... 🙏🙏
ReplyDeleteYak langsung mulai chapter 81
ReplyDeleteHehehe
Tengkyu om Panth
Ngopi dulu
Taman Indonesia Kaya nya knp dioret oret oom?
ReplyDeleteom tanya donk yg chapter #82-#84 ga ada ya?
ReplyDeletetrnyta dulu pas nglanjutin kelebihan euyy
ReplyDeletewkwkwkwkk
njiiirr jd ikutan naik nih hbis baca kata2 zen