Featured Post

LPH #22

Episode 22
Kekuatan Sang Tangan Kanan


(pov : Yandi)


Setelah turun dan membayar driver go-jek yang mengantarku berangkat ke sekolah pagi ini, aku langsung melesat menuju gerbang sekolah dimana Pak Sobri sudah nyaris menutupnya. Pak Sobri melihatku berlari menuju ke arahnya. Tolong pak, jangan sampai aku bolos sekolah lagi. Enam hari sudah aku tidak masuk sekolah akibat luka yang kuderita seusai dikeroyok anak buah Leo cs. Tapi aku bingung juga karena seolah Pak Sobri menungguku untuk masuk dan ketika aku berlari melewatinya dan sukses berada di dalam halaman sekolah, aku menoleh ke arah Pak Sobri satpam sekolah.

“Makasih pak!” teriakku.

Dia tersenyum dan mengacungkan jempol kepadaku. Aku tersenyum senang. Ternyata efek berlaku sopan dengan Pak Sobri dengan mencium tangannya setiap aku masuk gerbang membuat aku jadi akrab dengan beliau.

Sudah jam 7.10. duh mana jam pertama hari pelajaran Fisika, ketemu lagi sama Bu Wahid yang killer. Suara berisik akibat pintu kelas yang kubuka terlalu keras membuat semua teman di kelas menatapku. Bu Wahid yang sedang berdiri di depan kelas menatapku tajam. Aku menghampiri Bu Wahid memasang muka melas dan menunduk.

“Maaf bu Yandi telat.”

“Yasudah cepat duduk sana.” jawab Bu Wahid dengan wajah masam.

Wow, Bu Wahid yang terkenal cerewet tumben sedang malas menanyai murid yang datang terlambat. Kulihat Vinia duduk sendiran, dia tersenyum melihat kedatanganku. Sudah seminggu ini aku tidak bertemu Vinia. Aku membalas senyumannya.

“Halo Vin.” Bisikku saat melewati Vinia karena aku duduk di kursi dekat tembok alias kursi di sebelah kiri. Sementara Vinia duduk di kursi sebelah kanan.

“Hai yan.” Balasnya juga dengan suara berbisik.

Setelah aku duduk di kursi, Bu Wahid lalu menjelaskan halaman-halaman di buku materi + soal Fisika kelas 1 yang harus kami pelajari dan selesaikan soal-soalnya. Di akhir jam pelajaran kedua, buku soal harus dikumpulkan. Bu Wahid meminta Bagas, ketua kelas agar nanti membawakan buku-buku soal yang sudah dikumpulkan, ke mejanya yang berada di lantai 2 gedung guru. Selesai menjelaskan tentang tugas yang ia berikan, Bu Wahid lalu pergi.

“Eh serius nih Bu Wahid ga ngisi pelajaran hari ini?” tanyaku ke Vinia.

“Yoi, tadi sebelum lo masuk, Bu Wahid bilang ada rapat pagi ini jadi beliau meninggalkan tugas untuk dikerjakan semua siswa.”

“Rapat guru? Tumben. Rapat kok pagi benar. Tapi bagus deh. Bisa santai sampai jam setengah sembilan.”

“Santai apaan kita dapat tugas ngerjain 5 halaman nih. Baru juga masuk langsung dapat tugas kek gini, mana ketinggalan pelajaran Fisika banyak lagi nih.” Keluh Vinia manyun sembari berpangku tangan.

“Hehe tenang, kalau Fisika mah Zen jago. Kita tinggal nyalin kerjaan dia.”

Aku lalu menengok ke belakang kea rah tempat duduk Zen dan Yosi. Eh teman yang kuharapkan bisa membantu justru nampak sedang tiduran di atas meja. Boro-boro ngerjain, lha Zen malah tiduran di atas tasnya yang ia taruh di meja. Aku lihat Zen duduk sendirian di meja belakang. Yosi yang sebangku dengan Zen gak kelihatan. Kemana dia? Apa masih belum sembuh lukanya? Perasaan dibandingan dengan Yosi, kondisiku jauh lebih parah. Kemarin sore dia juga datang ke rumah sakit padahal f4 uda janjian ketemu di rumah sakit untuk mendengarkan cerita Xavi tentang hasil pertemuan antara mamanya dengan pihak sekolah. Sepertinya Yosi masih merasa sakit hati dengan perkaatan Xavi tempo hari. Fiuh, semoga tidak ada perang dingin diantara Yosi dan Xavi.

“Ehms sepertinya sang professor sedang ngantuk berat haha,” Kata Vinia yang ikut menengok ke arah meja Zen. “eh Yosi juga gak ada?” lanjutnya.

“Sepertinya mencret Yosi kambuh. Vin, kamu udah nengok Xavi?”

“Sudah. Semalam jam 9 dari bandara gue langsung ke rumah sakit.”

“Jam 9 malam? Bukannya uda gak boleh besuk jam segitu?”

“Iya sih, tetapi pasien kelas eksekutif macam Xavi asal dia mau terima tamu, suster sih oke-oke aja.”

“Oh jadi kamu uda tahu ya kalau Xavi itu anak orang kaya?”

“Udah. gue sering chat sama Xavi di WA. Lha kalian semua kalau gue nanya di grup gakk pernah ada yang jawab kecuali Xavi. Yadah mending gue chat pribadi dengan Xavi. Dia cerita semuanya, mulai dari dia diserang siswa tak dikenal hingga masuk rumah sakit sampai cerita tentang hasil investigasi penyerangan Xavi versi sekolah. Yan, kamu keren banget bisa selametin Xavi. Yosi dan Zen juga keren karena membela dan mencari tahu tentang pelaku meskipun akhirya kalian bertiga mesti berkelahi dengan para bajingan di sekolah ini. pokoknya kalian itu sahabat yang benar-benar luar biasa dan itu membuat Xavi benar-benar terharu. “

“Apa yang kami lakukan itu sebuah tindakan yang wajar kok kalau ada sahabat kita yang disakiti oleh orang lain. apalagi diserang dengan brutal sepeti yang dialami Xavi.”

“Gak Yan, gak semua teman akan berani menempuh cara yang seperti kalian pilih.”

Aku tersenyum mendengar perkataan Vinia, Vinia juga tersenyum lalu membalik-balik buku soal Fisika.

“Xavi juga cerita tentang alasan kenapa selama ini dia menutupi identitasnya sebagai siswa dengan orang tua terkaya di sekolah ini, gilaaa temen kita si sapi ternyata anak tunggal seorang Presdir Freepot haha. Eh Xavi ding, gue jadi takut nih kelepasan manggil Xavi dengan sapi di depan tante Clara.” Lanjut Vinia.

“Hahaa, udah ketemu sama mama nya Xavi?”

“Udah ya waktu semalam pas gue jenguk Xavi, gue ketemu sama nyokap Xavi. Bayangan gue tentang tante Clara yang tegas dan galak kalau tampil di TV seolah hilang. Pas ketemu di rumah sakit kemarin beliau tampil santai, keibuan meskipun aura kecantikan dan ketegasan Tante Clara masih terpancar kuat, makin kagum gue sama beliau.”

“Ya gue juga setuju. Dan satu lagi sangar, kamu juga tahu kan apa yang Tante Clara lakukan kepada Pak Albert dan Pak Robert? Hukuman yang mereka terima sadis banget.”

“Menurut gue wajar, karena ibu manapun di dunia ini pasti tidak akan rela anaknya disakiti, apalagi disakiti dengan cara se bar-bar para pelaku lakukan.”

Aku tersenyum dan mulai mengeluarkan buku soal Fisika dan ala tulis. Kemudian mulai membuka halaman yang diminta Bu Wahid untuk kami kerjakan.

“Duh mati. Lima halaman soalnya tentang hukum utama hidrostatis, hukum pascall, hukum Archimedes, hukum stokes. Ini sih mau ngawur jawabnya juga susah. Minimal kita mesti belajar dulu bab tentang fluida statistik baru bisa jawab soal-soal seperti ini.” kataku sambil garuk-garuk kepala.

“Hahaha samaa. Gue juga gak bisa kalau langsung suruh ngerjain.”

Kami berpandangan lalu tertawa bersamaan. Aku mengedarkan pandangan ke teman sekelasku. Ada yang masih asyik ngobrol. Ada yang malah buka laptop, ada yang main handphone. Bahkan Kevin yang kini duduk dengan Queena di kursi paling belakang di deretan ujung yang biasa ditempati Leo dan Gom, mereka nampak duduk sampai menempel kedua lengan mereka. Intim sekali sepertinya mereka berpacaran. Ah bodo amat. Gom sama Leo kemana ya? Apa Leo bersiap ikut pindah ngikut bapaknya? Sementara dua siswa paling pintar dalam kelasku, Asha dan Tinka sepertinya serius mengerjakan soal-soal.

“Yan,” Vinia memanggilku.

“Ada apa?”

“Kalau kalian bertiga sampai sedemikian rupa membela Xavi, lalu kalau misalnya ada cowok
yang nyakitin hati gue, kalian juga bakalan membela gue gak?hihihi.”

“Nyakitin hatimu? Pacarmu nyakitin kamu? Ya jelaslah kami pasti bantuin. Sini kasih identitas pacarmu, biar kami yang urus hahaha.”

“Hahaha.pacar? gue masih jomblo keles.”

“Masak penyanyi muda pendatang baru yang sedang naik daun, masih jomblo sih.”

“Yeeee, gak percaya. Lagi ribet banget gue sekarang, sibuk rekaman album perdana ditambah lagi ada show off-air yang mayan padat. Dari ijin gak masuk 3 hari bisa molor jadi enam hari kayak kemarin tuh. Kalau gue terlalu sibuk, kasian tar pacar gue gak pernah dapat jatah haha.”

“Hah? Jatah? Jatah apaan?”

Vinia tertawa makin keras sampai menutupi mulutnya.

“Enggak-enggak lupain. Gue belum minat punya cowok sekarang ini. yang perkataan gue tentang cowok yang nyakitin gue itu Cuma misalnya kok. Eh gue mau ke kamar kecil dulu sekalian mampir kantin buat beli snack. Lo mau nitip gak?”

“Nitip air mineral botol yang dingin aja.”

“Oke. Yan?” tanya Vinia setelah berdiri.

“Lo gak nawarin diri buat ngawal gue gitu ke kamar mandi? Tar kalau ada yang nyerang gue gimana.” Ujar Vinia dengan muka serius.

Hah, ngawal Vinia pergi ke kamar kecil?

“Hahha serius banget jadi orang! Kalem,” lanjut Vinia

“Sial, ni uang buat beli air mineral,” Kataku sambil menyerahkan uang Rp 5 ribu.

“Udah gak usah, gue yang bayarin,” ujarnya lalu pergi.

Dasar Vinia, diluar sisi keartisannya, dia teman yang menyenangkan. Gak heran banyak orang yang menyukai Vinia. Entah disukai karena suara dan performanya yang keren di panggung, karena keramahannya atau karena fisiknya yang memang menarik. Secara bodi, kalau gue amati secara diam-diam dada Vinia tergolong standar tidak besar tidak kecil juga. Lekukan pinggulnya tidak terlalu lihat karena ia mengenakan seragam dan rok yang agak longgar di badan. Pokoknya ramping. Tapi diluar kestandaran bodi Vinia, dia cantik tentu saja. Udah gitu dia punya sifat tomboi dan cuek. Sifat yang membuatnya gampang akrab dengan teman cowok. akrab dengan teman cowok? sial jadi keinget kejadian tempo hari waktu aku gak sengaja ketemu dengan Dita di Mall Biru.

Ya waktu itu aku berniat menghindar tetapi karena rupanya Dita juga melihat dan memanggilku, aku tidak bisa menghindar. Sebenarnya aku sendiri juga bingung kenapa tiba-tiba aku menghindari Dita. Kalau melihat Dita jalan sendirian atau jalan dengan teman ceweknya mungkin aku tidak akan menghindar, tetapi aku bisa melihat sendiri bagaimana Dita nampak enjoy sekali jalan berdua dengan cowok sampai gandengan tangan, peluk-pelukan meskipun ya sepertinya Eko sih yang pegang-pegang tangan dan meluk-meluk pundak Dita, tapi Dita juga gak menolak sih di pegang tangan maupun di peluk pundaknya sama cowok tersebut. Aku cemburu? Entahlah.

Saat kami bertemu di mall dan ia memanggilku, mau tak mau aku pun berhenti dan menghampirinya. Dita kemudia menanyakan banyak hal mulai dari kenapa aku gak pernah balas WA -nya ? aku jalan sama siapa? Ke mall ngapain? Sampai akhirnya Dita tiba-tiba memegang pipiku yang agak bengkak di depan Eko dan bertanya aku kenapa. Aku bingung dengan reaksi Dita karena toh aku bukan pacarnya. Aku nyaris kelepasan bilang mo nonton film di XXI, tapi aku langsung bilang baru selesai nonton film dan mau pulang. Karena kalau aku bilang mau nonton film, bisa-bisa Dita mengajakku nonton film bareng dengan mereka. Kalau itu terjadi pasti aneh sekali rasanya. Dan aku juga yakin cowok yang sedang jalan dengan Dita gak suka kalau tiba-tiba aku ikut nonton film bareng.

Sekilas aku melihat tatapan Eko yang tidak bersahabat karena Dita menjelaskan ia sebagai teman masa kecilnya kepadaku. Kami bersalaman singkat, aku menyapanya ramah dengan mengenalkan nama, sementara Eko cuma diam dan membalas jabatan tanganku dengan dingin. Ini sih sudah pasti Eko tidak suka dengan kehadiranku.

Setelah bersalaman dengan Eko dalam suasana yang tidak enak, aku mohon diri. Dita sempat ingin mengucapkan sesuatu namun Eko langsung menarik tangannya dengan alasan mesti cepat beli tiket film sebelum kehabisan. Aku sih gak masalah Dita mau jalan dengan siapapun, karena memang kami Cuma temenan. Meskipun yah aku akui aku agak gak suka melihat dita jalan dengan cowok lain, haha. Kamu siapanya toh Yan. Gadis semanis Dita pasti banyak yang suka. Lagipula aku sudah bersikap tidak baik dengan Dita karena beberapa kali dia WA mengajakku jalan atau sekedar bertanya kabar, aku hanya membaca dan tidak membalas WA-nya sama sekali.

Fiuh, sama seperti Vinia yang sibuk dengan karir dan tidak berpikir untuk punya cowok saat ini. Aku juga sepertinya belum ada waktu untuk mencari pacar karena situasi gesekan antara teman-temanku dengan kelompok Leo dan Oscar yang bisa terjadi sewaktu-waktu, membuat energi dan pikiranku habis terkuras. Meskipun dalam hati pengen juga punya pacar, ya minimal dengan punya pacar aku memiliki peluang jikalau nanti aku mimpi basah lagi aku memimpikan maen enak-enak dengan pacarku.

Ting.

Terdengar notifikasi ada pesan WA masuk di ponsel yang kuletakkan di meja. Karena sedang tidak ada guru aku jadi berani naruh ponsel di atas meja. Kubuka pesan yang masuk, waw baru aja selesai di pikirin, Dita kirim WA.

DITA
Have a nice day.
07.42

Aku tersenyum, tumben banget Dita kirim WA pagi-pagi begini di jam sekolah. Meskipun Cuma ucapan simpel, tetapi rasanya menyenangkan ada yang perhatian. Aku klik foto profil WA Dita. Dit, kamu memang manis, gak nolak kalau jadi pacarmu, halah mimpi, batinku. Aku lalu membalas dengan mengetik, have a nice day too, tapi langsung kuhapus karena terlalu standar. Aku lalu iseng membalasnya dengan mengirim pesan berupa emoticon.

YANDI
( ˘ ³˘)♥
7.43

Setelah terkirim langsung centang biru yang berarti pesanku langsung dibaca.

DITA is typing...

Wah Dita langsung membalas nih.

DITA
( ˘ ³˘)♥
( ˘ ³˘)♥
7.44


Waaaahhhhhh ciumanku berbalas dengan ciuman dari Dita, meskipun Cuma di WA hehe. Pas mau aku balas lagi, aku melihat jam di ponsel udah jam 7.45. wah cepet banget ! berarti tinggal 45 menit lagi buku soal-soal Fisika mesti dikumpulkan! Aku langsung menengok ke belakang, karena meja dibelakangku adalah Mona dan Dian.

“Mon, uda selesai belum? Pinjem dong.”

“Belom kelaarr, susah ini soalnya. Lagian ih enak banget idup lo tinggal nyalin hasil kerja keras gue ngerjain nih soal,” ucap Mona ketus.

Aku langsung merasa gak enak karena kena skakmat dari Mona.

“Maaf gara-gara gak masuk seminggu, aku jadi belum sempat belajar mata pelajaran yang ketinggalan nih. Mona…mona baik deh..aku beliin pulsa deh.”

“Wah uda mulai pake uang suap nih. Hihih,” sahut Dian teman sebangku Mona yang juga sedang asyik mengerjakan.

“Pulsa?hmm lo beliin gue pulsa Rp 50 ribu, gue kasih contekan. Deal or no deal,” jawab Mona singkat.

“Haduhh kejam nih. Pulsa Rp10 ribu aja deh mon.” bujukku.

“Boleh..” jawab mona.

“Asyik.”

“Tapi pulsa Rp 10 ribunya dikirim lima kali sekaligus,” sambung Mona sambil tertawa jahat.

“Akhh sama aja dooong!” keluhku.

Mona dan Dian tertawa bersamaan. Aku berpikir sejenak, Rp 50 ribu dalam posisi krismon akibat beberapa hari gak diberi uang saku sama Mbak Asih karena kami sedang perang dingin, jelas sangat berharga. Karena aku ingat benar, uang di dompet tinggal Rp 83 ribu. Tapi daripada kena omel Mbak Asih lagi gara-gara dapat nilai jelek, aku pun mengangguk tanda kalah dalam perjanjian melawan Mona.

“Oke deal. Awas kalo elo bohong, tar 15 menit selesai, tunggu.”

“Iyee!”

Aku lalu mendatangi Zen yang posisinya masih tidak berubah seperti tadi pagi, gila ni anak tidur mulu.

“Woi Zen..ada tugas nih dari Bu Wahid, lo ga ngerjain apa?” tanyaku sambil memukul bahunya pelan.

“Hmmmppphhh.” Zen mengeliat sebentar, ya ampun sampai ngiler Zen tidur.

“Eh parah tidur sampe ngiler di kelas.”

“Ganggu aja lo Yan.”

“Orang ngingetin malah dibilang ganggu.”

Zen bangun lalu membuka tasnya dan mengeluarkan buku soal Fisika.

“Yan nitip kumpulin ke depan,” katanya sambil menaruh buku soal Fisika di depanku.

“Kamu mau ngumpulin buku kosong? wah cari penyakit sama Bu Wahid.!”

“Udah gue kerjain semua soal di buku ini. udah, jangan ganggu gue. Gue ngantuk berat, masih ada waktu 30 menit lagi buat tidur..zzzzz.”

Aku garuk-garuk kepala, kamu udah ngerjain semua soal di buku Fisika? Orang kita baru sampe pertengahan semester, masak kamu udah selesai ngerjain semua. Pasti Zen mimpi ngerjain nih. Aku lalu iseng membuka buku soal Fisika miliknya. Kubuka di halaman 44-49. Aku serasa tak percaya melihat seluruh soal pilihan ganda dan soal isian sudah terisi secara rapi ! aku buka-buka semua halaman soal Fisika sampai halaman terakhir!! Gilaaaa semua sudah dijawab sampai habis tidak tersisa soal satu pun di buku!! Jenius!! Tapi aku sempat sangsi dengan jawaban dari Zen. Iseng kubawa buku Fisika Zen ke meja Asha yang ada ada di tengah tapi beda deret. Aku ingin meminta pendapat dari salah satu makhluk cantik dan pintar di kelas yang kutahu jago banget pelajaran Fisika .

“Halo Sha,” sapaku seramah mungkin.

Asha tersenyum manis.

“Sha mau tanya bentar boleh? Ini aku sudah selesai ngerjain soal-soal Fisika yang diminta Bu Wahid untuk kita kerjakan. Tapi aku gak yakin, apakah sudah benar atau enggak. Boleh minta tolong sebentar gak? Tolong kamu cek jawabanku ini benar atau enggak. Gak usah di cek semua. Kamu cek aja random. Boleh ya?”

“Wah uda selesai semua? Pintar banget elo yan. Gue aja belum selesai,” sahut Asha.

Karena merasa dia tidak menolak, kuletakkan buku milik Zen ke hadapan asha dan kubuka di halaman 45. Asha menyusuri semua jawaban dari pilihan ganda dan beberapa soal isian. Di bagian bawah soal isian, sudah tertulis rapi jawabannya. Baru nyadar tulisan Zen itu rapi banget!

“Keren banget kamu yand! Menurutku semua jawaban dari pilihan ganda, benar semua. Bahkan soal isian juga sama dengan jawabanku. Bahkan elo nulis rumusnya dengan lengkap dahulu baru lo tulis jawabannya,”ujar Asha takjub.

Gila, orang sepandai Asha saja bisa memuji hasil jawaban Zen. Tiba-tiba aku jadi merasa malu sendiri karena telah berbohong dengan mengakui ini adalah buku soal milikku. Aku lalu mengucapkan terimakasih kepada asha dan segera kembali ke mejaku. Tentu saja untuk menyalin semua jawaban dari Zen hahaha.

“Eh sori lama, tapi ketemu Pak Sofyan guru music terus ditanya banyak soal proses rekamannku. Nih minuman elo.” Kata Vinia sembari meletakkan minuman di atas meja.

“Yoi gak apa-apa vin. Eh cepetan disalin deh jawaban soal-soal Fisika. Setengah jam lagi mesti dikumpulkan,” Kataku sambil menyalin dengan terburu-buru.

“Eh buku punya siapa ni yang lo contek?”

“Punya Zen. Tu anak misterius dapat kunci jawaban kali, semua soal di buku soal Fisika udah keisi semua.!”

“oh iya! Hebat banget!” Vinia langsung bergabung denganku dan menyalin semua jawaban dari buku milik Zen. Tapi di beberapa soal, aku sengaja menjawab salah agar tidak terlalu mencurigakan karena mendapat nilai identik dengan Zen.

“Yan, nih uda selesai jawabannya. Gue tunggu sampai jam istirahat, kalau pulsa belum masuk gu-” Celetuk mona dari belakang. Tapi langsung kupotong dengan menengok ke belakang.

“sorriii mon, gak jadi. Aku dapat jawaban yang lebih memuaskan dan yang penting gratis hahaha.”

“Akkh dasarr. Awas loe kalau minta tolong lagi.” ujar mona cemberut.

“Hahaha,”aku tertawa melihat wajah cemberut Mona.

Aku lalu kembali sibuk menyalin jawaban.

Dan setelah semua jawaban terisi penuh, alarm tanda pelajaran Fisika telah usai pun berbunyi. Setelah semua buku dikumpulkan ke bagas, aku bisa bernafas lega. Pelajaran ketiga yakni pelajaran Ilmu Administrasi Negara pun dimulai, Pak Guruh mengisi pelajaran dengan lebih banyak menerangkan tentang konsep pemerintahan di negeri ini. karena beliau menerangkan dengan enak tanpa terasa jam istirahat pun datang. Saat aku ingin mengajak Vinia ke kantin dia minta maaf karena mesti menghadap Bu Rini, guru bp di sekolah dan menjelaskan tentang ijin nya yang molor dari tiga hari menjadi enam hari. Setelah Vinia pergi, aku mendatangi Zen yang menguap lebar.

“Zen ! kantin yuk!”

“Gak ah, masih kenyang dan gue masih ngantuk,” kata Zen lalu memeluk tas di atas meja dan kembali tidur. Kampret banget! Antara kami berempat memang Zen ini termasuk orang yang paling cepat mengantuk. Tapi dia sangat sensitive, sedikit sentuhan atau panggilan dia bisa langsung terbangun. Ckckc sepertinya aku mesti makan sendirian. Di depan kelas aku ketemu Riko dan Sigit. Rupanya mereka menungguku di depan kelas dan mereka setuju aku ajak makan di kantin. Di kantin kami Cuma memesan makanan, setelah makanan jadi lalu dibayar kami membawa makanan ke luar. Nongkrong di bangku dekat parkiran motor. Akus sempat melihat Leo, Oscar dan beberapa anak kelas 2 naik ke lantai atas. dasar bajingan, tunggu tanggal mainnnya, batinku geram. Saat opor lontong ayam yang kupesan sudah siap lalu kubayar tiba-tiba ada orang yang merangkul pundakku dari belakang. Reflek aku menengok ke belakang. Kulihat yang merangkulku adalah Axel, teman pertamaku di sekolah saat kami bolos.

“Halo Yan.” Axel menyeringai ke arahku.

“Kenapa minta bayarin makanan lagi.” jawabku kesal. Karena jujur saja aku masih gak ikhlas saat dulu dipalak alus sama Axel di warung burjo Bang Roni.

“Hahahahaha santai, gue uda makan. Yan, kita ngobrol di atas yuk.”

Atas? setahuku di atas ada aturan tidak tertulis bahwa lantai atas itu khusus untuk anak kelas 3.

“Bukannya lantai atas Cuma buat kelas 3?”

“Halah, santai aja. Kenapa lo takut ketemu sama anak kelas 2 dan 3 yang udah ngeroyok elo kemarin?”

“Aku gak takut Cuma lagi gak pengen ribut.”

“Yaelah.” Axel merangkulku untuk segera naik.

“Eh bentar, makananku!”

“Bang Soleh! Antarin makanan pesanan teman gue ini ke atas ya!”

Axel berteriak ke salah satu pelayan.

“Siap bos!” sahut seorang pria muda yang mengenakan celemek.

“Sip. Ayok yan.”

Sambil dirangkul Axel aku berjalan bersisian dengan Axel. Dan aku baru sadar semua orang memandang ke arah kami berdua. Aku juga lupa bilang ke Riko dan Sigit karena mereka sudah keluar duluan tadi.

“Hei Nita cantik, makin cantik aja nih. Kapan kita jalan lagi,” goda Axel ke salah seorang siswi yang sedang asyik mengobrol dengan temannya. Sempat-sempatnya nih orang godain cewek.

“Dasar playboy!” tukas cewek tersebut galak.

“Hahaha kalau gak ganteng gue gak jadi playboy. Nita, gue tunggu telepon elo ya! Nomor gue masih sama,” ujar Axel sambil lalu.

“Yan, cantik gak Nita? Anak kelas 2 tuh. Lo mau gue kenalin gak.”

“Mantanmu ya?”

“Enggak. Tapi gue pernah tidur ma dia hahah, sedotannya bikin biji mengkerut ahahaha.”

Hadeh.

Begitu kami berdua sudah sampai atas, sama halnya dengan di bawah, semua mata tertuju ke arah kami berdua lebih tepatnya ke arahku.

“Xel kita ngobrol di luar kantin saja, disini penuh,” kataku.

“Lo takut ya di pelototin anak-anak sini?”

“Aku gak takut tapi kursi udah penuh semua.”

“Kalau penuh ya tinggal di bersihin. Lo tunggu sini.”

Axel lalu mendatangi salah satu meja yang berada di pojok selisih beberapa meja dari Oscar dan Leo. Sialan keduanya kini menatap ke arahku. Oscar dengan tatapan dinginnya sementara Leo dengan tatapan penuh kebencian. Sabar, sabar belum saatnya aku habisin kamu anak manja.

Brakk !!

Tiba-tiba terdengar keributan. Aku lihat Axel memegang kepala belakang salah seorang anak lalu dihantamkan ke meja lalu kerahnya ditarik ke belakang sehingga ia terjengkang bersama dengan kursi yang diduduki. Lalu anak yang duduk di samping anak malang tersebut berdiri namun Axel menendang perutnya hingga ia terdorong ke belakanng dan menghantam dinding pembatas, hampir saja anak tersebut jatuh dari lantai 2 beruntung ada seseorang yang memegang kakinya sebelum ia terlempar keluar. Dua teman dari anak yang telah dihajar Axel langsung berdiri. Bukan hendak menyerang Axel namun langsung pergi. Beberapa anak langsung membawa orang yang dihajar Axel ke bawah.

“Sip, sini yan. Ada meja kosong disini, hee!” teriak Axel sambil melambaikan tangan ke arahku.

Edan, ternyata membersihkan versi Axel adalah dengan menghajar orang yang duduk disini. Setelah menata beberapa kursi yang terguling di lantai akibat perbuatan Axel, Aku segera duduk berdua bersama Axel.

“Gila, maen hajar saja. Gak takut kena hukuman dari sekolah?”kataku.

“Santai saja. Duh jadi haus abis bersihin meja.”

“Anak kelas 3 yang kamu serang pasti bakal balas dendam tuh.”

“Mereka bukan anak kelas 3 kok. Mereka sepertinya anak kelas 2. Cih Oscar bangsat, aturan yang gue buat dimana lantai atas kantin hanya khusus untuk anak yang seangkatan dengan gue dilanggar begitu saja. Main seenaknya bawa bocah dari kelas 1 dan 2.”

“Jadi aturan dimana lantai atas kantin khusus untuk kelas 3 kamu yang buat? Lha kamu kan tinggal kelas harusnya gak boleh ikut duduk di sini.”

“Hahaha awalnya memang khusus untuk anak kelas 3 tapi karena gue gak naik kelas ya jadi gue ubah jadi khusus buat anak angkatan gue hahaha lagian gue kan yang buat peraturan jadi bebas dong. Eh sebelum kita ngobrol, gue lanjut bersih-bersih dulu.” Axel berdiri lalu memegang kursi yang kaki-kaki kursinya berbahan kayu.

“BUAT KALIAN TIKUS-TIKUS GOT ANAK BUAH OSCAR, ANAK KELAS 1 DAN 2 YANG MENGIRA DENGAN MENJADI PENJILAT OSCAR BISA SEENAKNYA DUDUK DI LANTAI ATAS. SEBAIKNYA CEPAT ANGKAT KAKI DAN JANGAN PERNAH BERANI LAGI NAIK KE ATAS SINI. KALIAN BOLEH PILIH, KALIAN YANG PERGI DENGAN SUKARELA ATAU GUE LEMPAR DARI SINI ! GUE HITUNG SAMPAI LIMA. SATU..TIGA..”

Baru hitungan ketiga aku lihat puluhan anak-anak dari kelas 1 dan 2 langsung berduyun-duyun turun.


“Hahah kek gini anak buah elo Os? Anjing-anjing kayak gini elo andelin buat jadi orang nomor 1 di sekolah ini. eh bangsat, iya elo! Lo anak kelas 1 ngapain masih di situ! Gue eneg lihat banci! Makan nih kursi!” seru Axel sambil melempar kursi yang ia pegang ke arah Leo. Leo yang tidak mengira akan dilempari kursi hanya tertegun dan reflek melindungi kepalanya.

Brak!!

Kursi yang mengarah ke Leo kini terlempar ke samping tidak mengenai Leo karena sebelum mengenai kepala Leo, Oscar berdiri dan langsung menghantam kursi tersebut hingga terlempar dan jatuh ke meja kosong namun karena di atasnya banyak gelas dan piring sehingga pecah dan menimbulkan suara bising.

Oscar menyeringai ke arah Axel dan Axel menyeringai dan kembali memegang kursi. Gila, apa iya perang dimulai hari ini.

“Belom..belom waktunya Xel…nanti..sebentar lagi..kita punya banyak waktu untuk beradu pukulan sampai puas hehehe,” respon Oscar dengan tatapan mengerikan.

“Banyak bacot lo Os, mau berantem tapi kebanyakan gaya! Oi anak manja, gue hitung sekali lagi. lo masih duduk disitu, gue gak segan lempar semua kursi ke arah elo!” ancam Axel kepada Leo yang kulihat wajahnya memucat. Haha mampus, sepertinya sepanjang hidup baru kali ini dia hampir kena lemparan kursi.

Oscar mengatakan sesuatu ke Leo. Tak lama kemudian Leo bergegas turun. Oscar tersenyum dan kembali duduk di meja bersama beberapa anak dari kelas 3.

“Naaahhh kalau uda bersih gini kan enakk,” Kata Axel santai lalu kembali duduk seolah keributan yang ia timbulkan tergolong biasa dan bukan apa-apa untuknya.

Setelah situasi sudah tenang, Bang Soleh datang mengantarkan makanan dan juga minuman teh botol sosro.

“Eh bang, aku gak pesan minuman, aku uda bawa minuman sendiri,” kataku sambil menunjukkan air mineral yang kubawa dari kelas.

“Ini minuman buat Axel kok. Ini minumannya bosku!” kata Bang Soleh lalu meletakkan sebotol teh botol di hadapan Axel yang Cuma senyam-senyum. “Aih bang soleh, makasih lo ya! Ini gratis kan?” tanya Axel.

“Gratis dong buat bosku. Gue kebawah dulu bosku!”

“Yoi!”

Aku Cuma geleng-geleng kepala melihat Bang Soleh yang jualan opor lontong nurut banget sama Axel.

“Parah..tukang palak.” gumamku.

“Hahahah gue gak malak. Lo dengar sendiri kan dia yang kasih gratis hee.”

“Kamu mau ngomongin masalah apa xel? Aku sambil makan ya.”

“Yoi.”

Aku makan beberapa suap menunggu Axel bicara tapi Axel diam malah sibuk buka ponselnya. Aku pun masa bodoh dan melanjutkan makan.

“Sebenarnya yang mau gue omongin ke elo ini bukan buat elo Yan, tapi ke temanmu yang satu lagi.”

“Temenku ? siapa?”

“Yang tinggi rambutnya panjang. Gue lupa namanya.”

Aku langsung teringat Zen.

“Zen?”

“Ah iya Zen!”

“Zen memangnya kenapa?”

“Gue udah dengar apa yang sudah ia lakukan ke beberapa anak kelas 1 yang jadi pengikut Leo. Tolong sampaikan ke Zen gak usah buang-buang tenaga habisin kecoak dari kelas 1 lagi. kalau habisin kecoak anak kelas 1 itu percuma, buang waktu dan tenaga doang. kalau kalian memang mau habisin orang dari aliansi Oscar-Leo, sebaiknya incer anak kelas 2. Terutama Bram, Edgar dan Heru, mereka bajingan kelas 2 yang punya banyak anak buah. Kalian habisin duluan ketiganya, enam puluhan anak akan mundur dari aliansi Oscar. Perbuatan Zen yang membantai tiga anak dari kelas 1 pengikut Leo, Itu Cuma ngurangin maksimal tiga puluh kecoak doang. Jadi mesti main pintar dan efektif. Inget anak kelas 2 ! jangan sekali-kali kalian langsung main frontal. Tapi gue salut sama keberanian, kenekatan dan yang penting kesadisan Zen hahaha. Gue suka!”

Aku benar-benar bingung dengan perkataan Axel.

“Eh bentar-bentar, aku bingung disini. Apa maksudmu dengan kalimat, ‘Zen membantai tiga anak dari kelas 1 pengikut Leo’?” aku kehilangan nafsu makan setelah mendengar penjelasan Axel.

“Eh lo gak tahu sepak terjang teman elo si Zen habisin tiga anak kelas 1 dalam tiga hari terakhir? Detilnya lebih baik elo tanya ke Zen saja,“ kata Axel santai.

“Sialan Zen, dia lakuin semuanya tanpa sepengetahuan kami semua.” Kataku kesal.

Axel diam, dia menghabiskan minuman teh botolnya.

“Yan itu tadi, pesan buat Zen. Kalau sekarang ini pesan buat elo. Waktu elo duel dengan Nando, gue ikut melihat dan gue gak nyangka elo bisa dengan mudah bantai Nando sampai dia gak sekalipun balas satupun pukulan elo. Meskipun Nando itu goblok karena gak sadar Cuma dimanfaatin sama Oscar, tapi dia tetap anak yang kuat. Ya kalau dibuat peringkat, Nando itu orang terkuat nomor..”

Axel menghitung dengan jarinya.

“Enam. Ya, Nando itu secara peringkat, bajingan terkuat nomor enam di SMA NEGERI XXX. untuk nomor 1 jelas gue yang paling bajingan di sekolah ini dan sekaligus paling ganteng dan punya kelamin pria terbesar ahahah. terus dibawah gue alias nomor dua ada Oscar dan Feri. Kekuatan keduanya imbang tetapi jika bentrok sekali lagi entah kenapa feeling gue mengatakan Oscar lebih kuat dari Feri. Lalu nomor tiga ada Budi, sohibnya Oscar dia maniak bangsat, kalian jangan langsung berhadapan dengan Budi. Percayalah. Level Budi itu di atas Zen, jangankan Zen atau semua bajingan dari kelas 2. Bahkan Deka, sohib Feri yang jadi orang terkuat nomor empat pun kalah saat duel dengan Budi.

Lalu dibawah Deka ada Darma. Jadi ketika elo kemarin bisa kalahin Nando, secara kasar elo jadi nomor 6. Dan berita elo ngalahin Nando gue yakin udah terdengar di kuping para bajingan dari sekolah-sekolah lain. suka atau tidak, cepat atau lambat mereka akan semakin penasaran dengan elo. dengan Zen yang gue anggep anak buah elo, nyerang anak buah Oscar, berarti kalian seperti menceburkan diri dalam perang antara gue melawan Oscar cs.”

Axel menatap gue tajam, sikapnya yang kadang konyol kini berubah serius, raut mukanya mengeras.

“Kalau elo terlibat dalam perang besar di kota ini, pasang telinga dan pasang kewaspadaan tinggi-tinggi! Karena setiap saat elo bisa diserang tiba-tiba oleh segerombolan anjing bersenjata. Gak semua lawan elo itu bersedia melayani duel satu lawan satu. Tidak ada yang namanya perang sportif disini. Tujuan utamanya adalah menjadi yang terkuat. Dan untuk yang menjadi yang terkuat, semua cara halal untuk dilakukan. Singkat kata, hati-hati Yan. Bukan cuman buat elo, tapi juga semua teman yang ada di belakang elo. kalau suatu saat elo butuh bantuan gue, lo tanya ke Zen dia punya nomor gue. Dah ya, gue duluan. Mau cabut dari sekolahan dulu sebelum jam istirahat selesai, Adios amigo !” kata Axel sambil meneguk minumannya hingga habis.

Zen…banyak…banyak hal yang mesti kamu jelaskan kepadaku..saat Axel sudah berdiri, aku tiba-tiba penasaran tentang sesuatu.

“Antara kamu dengan Oscar siapa yang lebih kuat?”

Axel menyeringai.

“Pertanyaan tolol. Sudah jelas gue yang lebih kuat, hanya saja gue menang tipi sama dia. Di momen terakhir sebelum duel kami berakhir, gue beruntung bisa menghindari tinju kanannya yang luar biasa keras lalu Oscar selesai ketika tinju kiri gue sukses mengenai rahangnya. Kalau waktu itu gue kena duluan tinju kanannya, mungkin gue uda tamat. Hati-hati Yan, lo jauhin Oscar dan Budi, gue tahu lo dan Zen kuat tapi mereka berdua jauh, jauh lebih kuat dan brutal. Terutama Oscar dalam keadaan murka. Saat dia murka tinju kanannya seperti martil, keras bener!”

Axel kemudian pergi dengan santai.

Tetttt..teettttt..terdengar suara alarm tanda jam istirahat telah selesai.

Tapi bunyi tersebut seakan menjadi awal yang baru buatku. Oh Dengan mengalahkan nando, kini aku jadi orang terkuat nomor enam di sekolah ini. Lalu Oscar memiliki tinju kanan mematikan.

Aku tersenyum.

Sama dong, aku juga punya kekuatan terbesar di tinju kanan.



= BERSAMBUNG =

No comments for "LPH #22"