Featured Post

LPH #26

Episode 26
Yang Terjadi, Terjadilah !!



(Pov Yosi)



“Hoaaaaheemmm.”

Entah gue sudah menguap berapa kali dari bangun jam 6 pagi ini hingga sekarang ini saat gue sedang berhenti di lampu merah. Secangkir kopi hitam yang gue sesap tadi sebelum berangkat hanya cukup untuk menjaga gue tetap sadar saat naik motor ke sekolah. Wajarlah gue ngantuk berat. Selepas dari THE HANGAR, jam 3 pagi gue baru sampe rumah. Tidur cuma 3 jam belum cukup buat gue. Tapi karena gue udah janji bakalan masuk sekolah hari ini, maka gue menyeret diri gue sendiri dari ranjang sampai kamar mandi terus berangkat sekolah. Memang benar kata orang, musuh terberat itu bukan orang lain tetapi diri kita sendiri. Oke tadi pagi boleh dikata gue yang menang melawan diri gue sendiri, namun gue mengaku kalah dan ego gue yang menang saat semalam Jack menawari gue untuk ikut The Deathwish : Last Man Standing. Mereka telah menawarkan sesuatu yang jelas gak mungkin bisa gue tolak, yakni adrenalin dan tentu saja Bram. Gue jelas tolol karena setuju untuk ikut even gila tersebut karena gue yang gak punya pengalaman bertanding, bahkan hanya modal melihat sekali The Deathwish, setuju untuk ikut dimana musuh gue Bram menjadi raja yang belum terkalahkan di The Deathwish.

Amatir melawan Legend.

Tapi dengan sistem gugur, gue belum tentu bakalan langsung ketemu Bram, bisa jadi gue mesti melawan beberapa peserta lain yang gue sama sekali buta siapa saja. Menurut keterangan Jack, selain gue dan Bram, ke enam peserta The Deathwish : Last Man Standing lainnya adalah para jawara drag race dari sekitaran Kota HHH. Bisa jadi ke 6 peserta itu para ketua geng motor dari Kota-Kota lain. Besarnya hadiah, “kebebasan” untuk menjatuhkan lawan jelas membuat para pesertanya beringas dan tidak akan segan untuk sampai membunuh lawan saat bertanding. Ya sesuai nama event nya sih, setelah event ini selesai hanya akan ada 1 orang yang tersisa berdiri di puncak.

Kalau gue kalah nanti malam, bisa jadi ini hari terakhir gue berangkat sekolah dan ketemu sama anak-anak.

Fiuhh. Bohong banget kalau gue gak takut tapi gue gak mungkin mundur.

This is point there is no turning back.
Kill or to be killed !

TINNNNN !!! TINNNNN !!! TINNNNN !! TINNNNN !! TINNNNN !!

Suara klakson motor yang dibunyikan dengan kasar di belakang gue membuat gue kaget! Lampu sudah hijau rupanya tapi caranya ni orang klakson ngajak ribut ! Gue menengok ke belakang dan melihat seorang pengendara motor NMAX yang memakai jaket hitam terus mengklakson.

“Woiy ! Cepatan maju njing ! Elo budeg apa!”

Tiba-tiba orang yang dibonceng pengendara NMAX tersebut melempar makian gue. Matanya melotot. Bahkan kini si pengendara NMAX mendorong-dorong motor gue dari belakang.

Bangsat bener nih orang. Gue lihat mereka berdua sepertinya masih SMA karena keliatan celana abu-abu yang dipakai. Gue hendak turun dari motor dan mendatangi mereka namun karena gue menghalangi pengendara motor yang lain dan bunyi klakson makin keras, maka gue lalu membalas ucapan pengendara NMAX dan temannya.

“Biasa aja dong klaksonnya. BABI lo pada! Kalau berani berhenti depan.”

Lalu gue melajukan motor, gue lihat dari spion pengendara NMAX mengejar gue dan setelah udah agak jauh dari persimpangan gue lalu menepikan motor di dekat taman kemudian turun. Sepertinya biar gak ngantuk gue mesti bakar adrenalin dulu nih. Mayan ada yang nemenin olahraga.Tak lama kemudian pengendara NMAX berikut temannya melepas helm dan turun mendatangi gue yang berdiri santai. Teman si pengendara NMAX yang memakai jaket merah ADIDAS lalu berdiri di depan gue. Rambutnya cepak, postur dan tinggi badannya sama kayak gue, Kini kami berdiri berhadapan.

“EH ELO NANTANG GUE ! LO BELUM TAH-”

BRUGH!

Tanpa banyak cing-cong gue kirim pukulan tangan kanan dan mengenai rahangnya. Si jaket merah langsung tersungkur di tanah dan gue lalu mencengkeram kerah lehernya bersiap untuk mengirim pukulan susulan tapi dia lalu merengek minta ampun.

“Ampun...ampun..” Ratapnya.

“Cih, makanya jangan sok jagoan di jalan. Dan kalau ada yang ngajak berantem gak usah banyak bacotan lagi.”

Gue lepas cengkraman gue di kerah lehernya. Kini gue mendatangi si pengendara NMAX yang berbadan agak gemuk dan agak pucat mungkin setelah melihat temannya kalah dan minta ampun.

“Lo kalo di jalan, klaksonnya biasa aja bos, gak usah neken klakson kayak setan tadi dan jangan asal main doronng motor orang di jalan. Ngerti lo?”

“I..i..ya...sori..UGH!”

Wajah si pengendara NMAX langsung mendelik saat gue pukul perutnya. Dia jatuh berlutut sembari memegangi perutnya.

“WOIYYY BOCAHHH !! JANGAN BERANTEM DI MARI!!! GUE LAPORIN KE POLISI LOOOO !”

Gue melihat ibu-ibu penyapu jalan mendatangi gue sembari mengacungkan gagang sapunya ke arah gue. Haha.

“Engga berkelahi kok bu ! Ini cuman akting haha!”

Gue lalu naik motor dan memacu motor gue, meninggalkan 2 bocah sok jagoan terkapar di taman. Kantuk yang tadi terasa berat ternyata menghilang karena aksi gue barusan. Lega banget rasanya bisa mukul orang lagi haha. 5 menit kemudian gue udah sampai di gedung parkiran motor. Gue dapat parkir di lantai 1, karena masih belum terlalu ramai. Gue lihat jam tangan masih jam 6.35 pagi. Sepertinya sebelum masuk kelas gue mesti minum kopi hitam panas yang pahit nih di kantin biar tetap bisa melek selama di kelas.

“Yosi !”

Gue menoleh ke arah tangga dan gue lihat Riko, anak 1E yang kemarin sama Sigit ikut turun membantu kami di Ruko Lama.

“Halo Rik.”

Riko lalu mendatangi gue.

“Kemana aja lu? Lu abis sakit apa? Muka lo kayak capek banget gitu. Elo orang paling most wanted dah. Hahaha, Yandi tuh nyariin elo mulu.”

“Gue gak sakit, cuma ada urusan lain. Eh Rik, ngopi di kantin dulu yuk, ngantuk banget gue.”

“Yuk! Jam segini masih enak nongkrong di kantin.”

Gue sama Riko lalu menuju ke kantin dan memesan 2 kopi hitam. Gue pesan kopi hitam tanpa gula. Setelah kopi disajikan gue mulai ngobrol-ngobrol dengan Riko. Gue gak masuk enam hari dan menon-aktifkan nomor hape yang diketahui anak-anak selama gue gak masuk sekolah jelas membuat gue ketinggalan banyak berita tentang sekolah dan tentu saja perkembangan kasus Xavi serta permusuhan kubu Feri cs dengan Axel cs. Riko hanya menghela nafas saat gue bertanya tentang hal tersebut dan mengutuk gue karena sok matiin handphone. Gue cuma tertawa karena pasti ada banyak banget kabar yang belum gue dengar.

“Kita mulai dari kasus Xavi dulu deh. Pihak sekolah menyatakan 3 siswa dikeluarkan karena sudah mengaku menjadi pelaku penyerangan Xavi. Mereka adalah Nando, Saipul dan Kiko. Namun beberapa hari setelah ketiganya dikeluarkan, kepala sekolah dan wakil kepala sekolah kita diganti.”

“hah? Mereka terlibat? Itu gak mungkin banget! Udah ketahuan bohongnya. Pak Albert dan Pak Robert diganti? Ya baguslah karena mereka sebagai pimpinan mesti bertanggung-jawab. Terus penggantinya siapa?”

“Belum ada, selama beberapa hari ini sekolah kita belum memiliki kepala sekolah dan wakil kepala sekolah. Kabarnya minggu depan baru diumumkan. Dan sebelum pak Robert pindah tugas, dia meminta agar Leo dipindahkan ke kelas 1A.”

“Kenapa gak dipindah sekolah aja sih tuh Leo. Itu pasti Leo yang merengek minta bokapnya agar dia dipindah dari 1F. Leo tahu dia bakal mampus kalo masih sekelas sama kita. Apalagi fakta bahwa kelas 1D, 1E dan 1F itu anak-anaknya pro ke Yandi. Kalau Leo ke 1A kan dia deket sama gerombolannya tuh yang ada dari 1A, 1B dan 1C. Gue gak peduli sih siapa kepsek dan wakasek kita yang baru, terus ada kabar apalagi?”

Gue ngobrol sama Riko sambil sesekali meminum kopi pahit yang mengepul panas di dalam gelas kecil.

“Xavi sudah sembuh dan kemarin dia sudah masuk sekolah. Yang paling parah itu kabar tentang Zen. Jadi ketika kita semua babak belur dikeroyok sama aliansi Oscar dan masih dalam perawatan, Zen lalu bertindak sendirian tanpa sepengetahuan kita untuk melancarkan aksi balas dendam. Dia membantai 3 orang dari anak kelas 1 yang gabung ke aliansi Oscar. Gom, Yusuf dan Rudi mereka mengalami luka parah dibantai Zen dan mesti masuk rumah sakit dalam jangka waktu cukup lama. Tapi beberapa hari yang lalu tindakan Zen dibalas oleh Budi. Mereka duel satu lawan satu di Lapangan Banteng. Ya jelas saja Zen kalah telak, beruntung Yandi dan Sigit datang tepat waktu sebelum Budi bertindak lebih jauh.”

Gue menyesap lagi kopi hitam pahit ini.

“Siapa yang nyangka ya seorang Zen yang pendiam bisa bertindak berani bantai Gom, Rudi dan Yusuf sendirian. Tapi kalau lawannya Budi “maddog” ya gue gak heran kalau Zen kalah total. Ada 3 tipe orang yang berani meladeni tantangan seorang maniak macam Budi. Pertama, lo bajingan tingkat dewa seperti Oscar, Axel dan Feri. Kedua, orang bego yang udah dengar reputasI Budi tapi masih sok jagoan. Ketiga, elo gak tahu sama sekali reputasi Budi. Dan Zen masuk ke golongan ketiga.”

“Haha iya sih, sepertinya Zen itu sama kayak Yandi, bukan asli orang Kota XXX. Jadi mereka awam dengan para bajingan yang sudah merintis karier sebagai jagoan sedari SMP.”

Tepat saat kopi kami berdua sudah habis, bel tanda masuk sudah terdengar. Gue dan Riko segera menuju kelas masing-masing. Dan begitu gue masuk kelas, rasanya kikuk juga karena semua orang di kelas menatap gue yang baru masuk. Gue melihat Yandi, Xavi dan Vinia menatap gue. Gue cuma bisa nyengir lalu duduk sebangku dengan Xavi.

“Hai guys, hehe.”

“DASAR YOSSII!!! KEMANA AJA LOOO!” Teriak Vinia.

“Gue kira lo amnesia, lupa jalan ke sekolah Yos.”Celetuk Xavi sambil pasang senyum lebar.

Yandi?

“Selamat datang kembali kawan.” Yandi bersikap tenang dan menyalami gue.

Gue cuma garuk-garuk kepala dan bilang maaf membuat khawatir, gue bilang bahwa gue gak masuk karena ada acara keluarga penting dan sengaja gak mengaktifkan nomor hape karena memang sedang tidak bisa diganggu.

“Maaf ya guys, gue gak apa-apa kok. Tuh gak luka-luka kan.” kata gue.

“Iya syukurlah kalau lo gak kenapa-kenapa, uda cukup gue lihat kalian keluar masuk rumah sakit. Xavi masuk rumah sakit duluan. Udah mau sembuh giliran elo sama Yandi yang terkapar. Eh giliran Xavi sama Yandi udah sembuh, elo ngilang terus tiba-tiba dapat kabar Zen yang ganti masuk rumah sakit. Hadeh dasar laki-laki! Hobi kok ya berantem!”

“Daripada hobi mainin hati cewek, masih mending hobi berantem hahaha.” tukas gue.

“Aaaaarrgghhh itu beda !”

Gue, Yandi dan Xavi tertawa saja melihat reaksi Vinia, sang bidadari di antara kami berempat.

“Temenan sama kalian itu mesti siap mental ya. Oh iya awas aja kalau salah satu dari kalian uda hobi berantem tapi juga punya hobi mainin hati cewek. Bakalan gue sunat!” Ancam Vinia.

“Waduh, gue paling sial dong, hobi berantem enggak, tapi dikeroyok orang iya. Hobi mainin hati cewek enggak, tapi dikhianati cewek iya.” Ujar Xavi.

“Ahhh sapi bapeerr haha.” Goda Vinia.

Tiba-tiba Yandi berdiri dan meminta Xavi untuk duduk sebangku dengan Vinia. Xavi sih senang-senang aja dan bilang oke. Sebelum Xavi tukar tempat duduk, Xavi mengulurkan tangannya dan bilang maaf ke gue karena dia udah nyinggung hubungan gue dan Bram. Gue membalas jabat tangan Xavi dan gue juga bilang minta maaf karena mungkin uda nyinggung dia ketika di rumah sakit, Lega juga rasanya karena uda maaf-maafan dengan Xavi. Yandi sama Xavi pun akhirnya bertukar tempat duduk dan kini gue sebangku sama Yandi.

Sigit pagi tadi kirim WA. Dia bilang bahwa semalam kamu tiba-tiba meneleponnya dan bertanya tentang kondisi Zen. Yos, aku cuma mau tanya kenapa tiba-tiba kamu menelepon Sigit dan bertanya tentang Zen. Pasti ada seseorang yang memberitahumu bahwa Zen masuk rumah sakit. Aku yakin kamu mendengar kabar Zen bukan dari teman-teman sekolah karena tak ada satupun dari kami yang bisa menghubungimu." ujar Yandi tiba-tiba.

Gue berasa langsung di skatmat.Gue diem karena bingung mau menjawab seperti apa.

"Gak usah di jawab yos kalau kamu memang gak mau jawab. Aku tidak mau mencampuri urusanmu, apapun yang kamu lakukan selama belakangan ini aku yakin jauh lebih penting daripada ke sekolah. Aku cuma minta kamu jangan meniru perbuatan Zen yang bertindak sendirian menyerang salah satu pengikut Oscar. Karena mereka mereka pasti akan membalas. Saat ini kita tidak akan mengimbangi kekuatana mereka. Jadi tetap tenang,oke?"

Gue cuma nyengir sambil meyakinkan Yandi bahwa gue baik-baik saja dan gue gak akan bertindak secara gegabah seperti hal yang dilakukann Zen. Dalam hati gue tahu apapun yang terjadi di The Hangar pasti akan menimbulkan masalah dan mungkin memicu pertarungan lebih cepat. Entah gue atau Bram yang menang, sesuatu yang buruk akan terjadi.

Perkataan Yandi jelas membuat dilema buat gue, karena pertarungan gue dengan Bram tidak serta selalu berhubungan dengan konflik yang ada di sekolah. Ini murni masalah pribadi. Bram yang gue anggap kakak dan mentor gue, tiba-tiba saja sengaja berdiri menjadi musuh nomor 1 gue. Pengkhianatan Bram atau lebih tepatnya penjebakan Bram membuat gue benar-benar kehilangan muka di depan Yandi dan Zen. Saat Yandi meminta gue untuk jangan terlalu percaya dan berharap bantuan pihak lain, gue berulang-kali bilang bahwa semuanya aman terkendali, bahwa Bram dedengkot bajingan kelas 2 yang memiliki banyak pengikut akan berada di pihak kita seandainya pecah tawuran di Ruko Lama. Bram utang nyawa ke gue jadi gue santai-santain saja.

Tapi apa lacur, kenaifan dan rasa percaya diri yang terlalu tinggi justru membuat gue dan teman-teman hancur di Ruko Lama. Orang yang paling gue andalkan justru menikam gue dari depan tepat di hadapan teman-teman gue.

Rasa sakit seluruh badan tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rasa malu yang gue tanggung! Rasa malu ini yang membuat gue gak sanggup bertemu teman-teman. Dan sindiran panas yang dilontarkan Xavi tentang Bram yang jadi pengkhianat benar-benar menusuk harga diri gue, harga diri seorang pecundang yang begitu polos. Gue gak pantas untuk merasa tersinggung dengan perkataan Xavi yang memang benar. Gue adalah orang yang menjerumuskan teman-teman ke dalam kekalahan. Kekalahan yang berbuntut panjang dan membuat saling serang pihak kami dengan pihak Oscar yang memang benar seperti Yandi katakan, memiliki segalanya untuk sekali lagi menghabisi anak kelas 1 ! Satu-satunya hal kenapa Oscar cs tidak menyerang kami duluan karena faktor mama Xavi. Kabar bahwa mama Xavi adalah seorang pejabat BUMN yang memiliki kekuasaan besar sudah pasti mereka ketahui. Mereka pasti waspada dan tidak akan gegabah menyerang kami secara frontal, Sehingga Oscar cs memasang strategi reaktif.

Elo silahkan serang kami, tapi pasti akan kami balas. Namun selama elo tetap diam, kami akan membiarkan kalian.

Dan tanpa kami duga, justru Zen yang terpancing duluan. Sehingga serangan balasan Budi kepada Zen memiliki dasar logika bahwa kami yang menyerang duluan sehingga wajar kalau kami balas.

Pikiran-pikiran tentang konflik yang membuat kami terjebak dalam pusaran konflik kekuasaan antare Axel + Feri cs melawan Oscar cs, membuat gue lebih banyak diam selama sebangku dengan Yandi. Gue yakin Yandi pasti menyadari perubahan sikap gue ini tapi gue salut sama Yandi yang tidak menekan gue untuk bercerita lebih jauh kalau gue gak yang memulai cerita. Maaf Yan, gue bakal cerita semuanya tetapi tidak hari ini dan tentu saja kalau gue masih diberikan umur panjang oleh Tuhan dengan cara keMbakli dari The Hangar dalam keadaan masih utuh.

"Woiy ! Ngelamun aja lu! Ayo makan bareng-bareng, uda bel istirahat." Seru Xavi tiba-tiba seolah meMbakngunkan gue dari lamunan.

Kami berempat lalu menuju kantin dan memesan makanan serta minuman. Setelah dibayar kami lalu menuju tempat favorit kami nongkrong di jam istirahat yakni lantai 3 gedung parkir motor. Sambil makan kami saling bercerita, beruntung Xavi yang lebih sering menjadi topik daripada gue. Meskipun tanpa Zen, gue sadar bahwa gue merindukan momen kebersamaan dengan Yandi, Xavi dan Vinia. Kalau ada Zen pasti lebih seru karena celetukan-celetukan Zen itu lucu. Saking serunya kumpul sama mereka membuat sisa pelajaran di sekolah bisa gue nikmati tanpa sedikitpun berpikir bahwa nanti malam gue bakal adu nyawa di The Hangar.

Sepulang sekolah kami berempat berniat untuk menengok Zen tetapi sebelum kami kesana Zen mengirim WA di grup bahwa dia sudah pulang dan saat ini pergi ke rumah neneknya. Vinia yang kebetulan sedang ada sedikit waktu senggang lalu melempar ide untuk lanjut jalan-jalan lalu nonton film "Justice League" yang tengah diputar. Gue nyaris melonjak girang mendengar ide tersebut tapi gue sadar bahwa gue mesti pulang dan mesti istirahat agar bisa dalam kondisi terbaik saat turun di The Deathwish malam nanti.

Raut muka kecewa langsung muncul di wajah ketiga teman gue saat gue pamit ga bisa ikut jalan-jalan. Gue bilang gue agak gak enak badan, mungkin efek kelelahan tiap hari begadang sampai pagi belakangan ini membuat wajah gue terlihat lesu dan muncul kantung hitam di bawah mata gue. Yandi menatap gue tajam namun dia tidak berkata apa-apa selain meminta gue pulang hati-hati. Gue sempat menengok ke belakang ketika gue pamit duluan. Dalam hati gue mengucapkan, selamat tinggal kepada mereka bertiga. Kalau ini jadi hari terakhir gue kumpul sama kalian, gue sudah merasa senang.

Sampai jumpa kawan, maaf gue pernah mengecewakan kalian semua ! Teriak gue dalam hati.

Gue lalu segera pulang, jam 2 tepat gue sampai di rumah dan langsung menelepon Rio.

"Halo Ri, gue udah di rumah. Lo ambil motor Satria gue sekarang gih, lo cek-cek kondisinya. Pintu rumah depan gak gue kunci, kunci garasi ada di tempat biasa. Tar kalau lo sampai rumah gue dan gue udah tidur, jangan bangunin gue .Gue ngantuk berat."

"Santai Yos. Aman. Lo istirahat aja. Eh elo jadi pergi ke sekolah hari ini?"

"Jadi, makanya gue ngantuk berat."

"Setengah jam lagi gue ke rumah elo deh. Masih pewe ini."

"Pewe?abis ngapain lo?"

"Abis bangun tidurlah ! Hahaha!"

"Anjing, enak banget elo bisa tidur. Ckckck bolos lagi lo. Keseringan bolos bisa dipecat lo."

"Hahaha sekolah gue mah santai. Gak seketat sekolahan elo. Yadah lo tidur sono gih."

"Hhhhooooaaaheemmmm..ya ngantuk parah gw. Tar malam gue yang ke rumah elo. Gak usah di jemput."

"Oke."

Klik.

Gue matikan telepon. Sebelum gue benar-benar ketiduran gue letakkan ponsel di meja dalam kondisi silent, minum air putih, ganti baju kaos singlet dan celana pendek, nyalaian AC di kamar dan menutup tirai kamar sehingga kamar gue gelap dan dingin. Segera gue meringkuk di balik selimut.

Apapun yang terjadi nanti malam, terjadilah. Yang pasti biarkan sekarang gue tidur sepuasnya.


= BERSAMBUNG =

No comments for "LPH #26"