Featured Post

LPH #7

Episode 7

Sekolah Baruku Yang Menarik





(pov : Yandi)


Aku berjalan santai dari halte bus ke sekolahan sambil bersiul-siul. Sekarang aku tidak perlu terburu-buru seperti kemarin. Karena tadi tepat jam 6 pagi aku sudah duduk manis di dalam bus, berangkat 30 menit lebih awal daripada kemarin. Aku lihat lagi jam tanganku, jam 6.35. jadi aku merasa tidak ada alasan untuk terburu-buru. Dari halte menuju ke sekolahku, aku bisa melihat banyak murid-murid. Ada yang juga naik bus, jalan kaki, naik motor bahkan beberapa ada yang sedang membawa mobil ke sekolahan. Sebuah pemandangan yang agak asing buatku melihat masih murid SMA tapi sudah bawa mobil ke sekolah. Anak orang kaya, batinku. Sebenarnya dibalik sikap santaiku, aku menyimpan sedikit rasa minder sekaligus grogi karena ini hari pertama aku masuk sekolah. Jika kemarin ratusan murid baru merasa lega karena sudah melewati hari pertama di sekolah dengan mengikuti upacara bendera bersama Kepala Sekolah dan guru-guru, sudah tahu kelasnya ada dimana, sudah mendapatkan tempat duduk dan tentu saja memiliki teman-teman baru.

Sementara aku? Posisi kelas 1-F dimana saja aku belum tahu, belum lagi masalah tempat duduk karena mau di kota di kampung, pepatah tempat duduk menentukan prestasi aku yakin juga berlaku disini. Ya meskipun aku tidak bodoh-bodoh banget tetapi bisa dapat tempat duduk dari tengah hingga belakang terutama yang dekat dengan jendela adalah keuntungan tersendiri. Makanya di tengah rasa minder, aku senang karena jam segini suasana sekolah belum terlalu ramai. Jadi saya yakin masih dapat tempat duduk kosong di belakang. Kupercepat langkahku karena ingin cepat memastikan tempat duduk, masalah siapa yang nanti menjadi teman sebangku nanti saja aku pikirkan toh aku orangnya termasuk gampang akrab dengan siapapun.

Saat hendak melewati pintu gerbang, aku melihat satpam yang kemarin ketus kepadaku karena aku terlambat masuk, sedang memasang sikap siaga di depan pintu gerbang. 

“pagi pak Sobri.” Aku sengaja menyapanya sebelum masuk ke dalam.

“pagi.” Balasnya sambil menatapku, mungkin dia merasa heran ketika murid-murid lain yang melewatinya melewati bersikap cuek, aku menyapanya dengan ramah. 

“pak kelas 1-F ada dimana ya?” aku berpikir sekalian saja aku bertanya kepadanya.

“dari lobi ada tangga ke atas, kamu naik saja terus ke kanan. Kelas 1-F ada di paling ujung sebelum ruang laboratorium.” Jelasnya.

Kuraih tangan pak Sobri tangan kujabat erat, “ terimakasih pak Sobri. Selamat bertugas.” Kataku lalu pergi meninggalkan pak Sobri yang masih terheran-heran melihat sikapku.

“hormatilah orang tua selayaknya kamu menghormati kedua orang tuamu, karena adat menghormati orang yang lebih tua menunjukkan budi pekerti yang baik.” Salah satu nasehat dari bapak tersebut yang mendorongku tetap menghormati pak Sobri terlepas dari perlakuannya kemarin. Tetapi bagaimanapun juga kemarin aku adalah pihak yang bersalah, justru pak Sobri adalah seorang yang amanah yang melaksanakan tugas dan kewajibannya. Tapi aku juga kepikiran perkataan axel tentang pak Sobri bahwa pak Sobri orangnya sok cari muka di depan guru. Tapi ah sudahlah, itu kan perkataan seorang tukang bolos yang baru sehari ah tidak baru beberapa jam kukenal yang berujung dengan keluarnya uang jajanku untuk membayar makanan dan minuman Axel serta teman-temannya kemarin di warung bang Roni.

Akupun melanjutkan perjalananku menuju kelas baruku mengikuti petunjuk dari pak Sobri. Aku sedikit kaget karena mendapati beberapa kelas yang aku lewati sudah ramai baik di dalam kelas maupun mereka yang sedang duduk-duduk di tempat duduk depan kelas. Aku melihat papan penunjuk kelas satu per satu. Kelas 1-D, 1-E dan kulihat papan penunjuk bertuliskan 1-F berada di paling ujung sebelum ruang berkaca yang pintunya tertutup tetapi tidak tertutup tirai, itu ruang laboratorium. Sama seperti kelas lainnya banyak murid yang sedang ngobrol di depan ruangan, ada yang jongkok, duduk di tempat duduk dan juga sandaran di tembok pembatas. Itu rupanya teman-teman baruku. Tetapi dari 3 kelas yang aku lewati aku melihat banyak pemandangan segar. Apalagi kalau bukan pemandangan para siswa ceweknya. Murid cewek disini memakai rok panjang sangat berbeda dengan rok pendek sewaktu mba asih. Tetapi meskipn menggunakan rok panjang tetapi ketat-ketat sekali sampai bentuk pinggul maupun pantat mereka tercetak sempurna. Belum lagi seragam atasnya yang kebanyakan juga ngepas badan dan pendek di bagian bawah. Wow atas bawah ketat membuat tubuh-tubuh ranum ini begitu nikmat untuk dilihat. Apalagi wajah mereka juga rata-rata cantik, meskipun tidak semua siswa cewek memakai model ketat atas bawah, ada juga siswa cewek yang seragam atas bawah agak longgar, pokoknya sopan. Dan ceweknya yang memakai jilbab putih senada dengan warna seragam juga banyak, wuh mereka yang memakai jilbab juga tidak kalah cantiknya dengan mereka yang memakai model seragam ketat. Justru yang tertutup malah membuat penasaran hehe. 

Jika aku senang melihat para siswa ceweknya, lain halnya dengan penampilan siswa cowok. Ternyata banyak murid cowok yang memiliki rambut panjang, memang tidak sepanjang layaknya perempuan tetapi cukup panjang hingga sebahu. Ini adalah pemandangann yang ganjil untukku. Apakah mereka tidak takut kena hukuman dari guru karena rambut mereka yang menyalahi aturan ? Ya aku belum tahu sih tentang peraturan di sini tetapi ketika aku SMP (SMP di kampung tentu saja), ada peraturan di sekolah yang melarang siswa cowok memiliki rambut belakang melebihi kerah seragam dan rambut samping menutupi kuping. Tapi ya namanya anak sekolahan pasti ada beberapa murid yang sepertinya menganggap remeh peraturan tersebut. 

Hingga pada suatu hari saat aku kelas 3 SMSP, selepas upacara bendera rutin setiap senin pagi, pak Sabar seorang guru BP, sepertinya sudah kehilangan keSabarannya. Sebelum semua murid-murid dibubarkan, pak Sabar meminta semua murid cowok melepas topi sekolah yang kami kenakan. Karena tidak tahu apa maksudnya, maka para murid cowok menanggapi santai. Tetapi situasi menjadi ribut ketika pak Sabar menarik ke depan beberapa murid cowok. Aku pun turut penasaran kenapa pak Sabar menarik mereka keluar dari barisan. Namun lambat laun aku dan teman-teman mulai menyadari kenapa mereka di tarik keluar dari barisan dan diminta berdiri di dekat tiang bendera. Pak Sabar sedang melakukan razia kerapian rambut karena 4 murid yang maju ke depan memiliki rambut melebihi kerah seragam !!!

Aku sedikit khawatir karena sudah beberapa bulan ini aku belum potong rambut hingga bagian belakangku cukup panjang dan agak melebihi kerah seragam. Aku dan beberapa temanku yang berambut panjang mulai resah dan coba-coba jongkok di antara barisan namun kami langsung segera berdiri karena ketika melihat hasan, anak kelas sebelah yang jongkok sembunyi di antara murid cewek ketahuan bersembunyi langsung ditendang pak Sabar hingga terjengkang lalu diseret ke depan dengan menjewer kupingnya dan aku yakin harga diri hasan turun beberapa ratus ribu rupiah di depan para siswa cewek yang cekikikan melihat pemandangan tersebut. Dan akhirnya kami pun pasrah berdiri menanti penghakiman pak Sabar. Si Wawan hanya senyam-senyum di dekatku karena melihat aku gelisah. Wawan bisa tenang karena dia selalu konsisten dengan rambut cepak ala ABRI sejak aku mengenalnya saat TK. Saat pak Sabar sudah berada di depan barisan kelasku, beliau melihat-lihat sejenak. Lalu bak polisi buru sergap, satu persatu murid cowok yang jelas-jelas melanggar hukum bab kerapian langsung diseret ke depan. Adi, Budi dan Hendi adalah teman sekelasku yang sudah digiring ke depan. Aku menahan nafas ketika pak Sabar melihat ke arahku dengan tatapan menyelidik. Aku sengaja bersikap hormat dalam posisi istirahat di tempat. Aku baru berani menghembuskan nafas ketika pak Sabar melewatiku. Aku tidak percaya pak Sabar bisa melewatkanku ! aku girang sekali dan berjanji sepulang sekolah nanti siang langsung mampir ke kios pangkas rambut khas Madura milik mas nur di pasar. Tapi kegiranganku hanya bertahan 5 detik karena setelah melewatiku, pak Sabar lalu kembali dan berdiri di depanku.

“mau maju secara sukarela atau bapak bantu maju ke depan?”ancam pak Sabar kepadaku.

Asuuu, batinku sebal. Aku sempat mendengar tawa rekan sejawatku dalam hal tindak kenakalan yakni si Wawan pecah ketika melihatku maju ke depan. Di akhir razia terkumpul 13 siswa cowok yang dikenalkan pak Sabar ke seluruh murid dan guru sebagai contoh buruk dalam hal kerapian. Aku dan ke 12 siswa cowok yang menjadi martir penegakan hukum di sekolah cuma bisa menunduk bak maling ayam. Ketika semua guru dan murid lain sudah dipersilahkan kembali ke kelas, kami diminta pak Sabar menunggu di bawah pohon jati rindang yang entah berumur ratus tahun yang ada di halaman sekolah. Lalu pak Sabar datang bersama seorang bapak-bapak yang menenteng sesuatu di tangannya. Kami terkesiap karena mengenali siapa bapak-bapak tersebut. Bapak tersebut adalah pak Ujang tukang cukur rambut keliling yang biasa mangkal di dekat sekolah. Kami semua terkesiap sekaligus gelisah karena kami semua tahu reputasi yang disandang oleh pak Ujang di kampung kami yakni “bapak tukang cukur rambut spesialis model rambut kuncung !”. pak Ujang ini terkenal sekali dikalangan anak-anak SD karena hampir semua bocah SD di kampungku bahkan dari jaman aku SD juga potong rambut dengan pak Ujang. ahh tega banget pak Sabar mendatangkan pak Ujang. Karena sebentar lagi 13 siswa nakal menyandang predikat baru nan memalukan yakni gerombolan si kuncung.

Satu persatu rambut kami yang tebal di eksekusi dengan tangan dingin pak Ujang di bawah pohon jati. Pak Ujang hanya butuh waktu 5 menit untuk menyelesaikan potongan mahakaryanya. Jadi dalam waktu 65 menit kami semua sudah selesai dipotong. Pak Ujang nampak puas melihat hasil karyanya karena sepertinya baru kali ini dia memotong rambut anak SMP. Sementara pak Sabar tersenyum melihat hukuman yang dia terapkan kepada kami. 

“ingatlah satu pesan bapak, berani gondrong lagi maka bersiaplah berhadapan dengan pak Ujang.” Ujar pak Sabar.

Kami semua tertunduk malu.

“nah sekarang kalian kembali ke kelas masing-masing.”lanjut pak Sabar.

Kami semua semakin tertunduk malu karena membayangkan harga diri kami jatuh sampai jutaan rupiah karena masuk kembali ke dalam kelas dengan rambut kuncung. Habis sudah. Dan saat aku, Adi, Budi dan Hendi kembali ke dalam, sontak seisi kelas mentertawakan kami. Bahkan bu narsih guru bahasa Indonesia juga tertawa terbahak-bahak. Dan dari kelas lain pun juga terdengar tawa pecah. Aku hanya bisa menunduk berjalan ke tempat dudukku. Wawan yang menjadi teman sebangku, dengan khidmat langsung berdiri mempersilahkan aku duduk di dekat jendela. Setelah aku duduk, aku cuma bisa membuang muka memandang keluar. Malu rasanya melihat tatapan geli dari seisi kelas.

“sabar yan sabarr ..” Wawan menepuk pundak mencoba menghiburku.

Mas nur, aku cuma butuh mas nur sekarang untuk membuang model rambut sial ini, batinku. Saat jam istirahat aku sengaja tidak keluar kelas, nitip Wawan untuk membelikan makanan. Lonceng tanda jam pulang yang aku tunggu-tunggu akhirnya terdengar. Kukenakan topi sekolah dan langsung melesat keluar begitu doa pulang selesai kami panjatkan. Rupanya bukan Cuma aku saja yang berlari, kedua belas siswa kuncung juga mengenakan topi dan berlari secepatnya keluar dari sekolah. Murid satu sekolahan kembali mentertawakan kami yang terbirit-birit pulang membawa rasa malu. Kami semua yang menjadi korban pak ujang berduyun-duyun menuju pasar lebih tepatnya ke kios pangkas rambut khas Madura milik mas nur. Mas nur yang tengah santai kaget melihat tiga belas anak SMP menyerbu kiosnya. 

“wah kalau sudah begini hanya ada 2 pilihan model rambut yang tersedia. Gundul total atau membuang kuncungnya jadi model cepak sisa 2 cm.” ujar mas nur sembari tertawa geli. 

Aku memilih rambut model cepak.



Makanya aku begitu heran melihat para murid cowok disini bebas berambut panjang. Ada yang dikucir dan ada yang membiarkan tergerai begitu saja (aku bersyukur karena tidak menemukan murid cowok berambut panjang yang mengepang dua rambutnya, amit-amit). Tetapi rasa heranku juga bertambah karena ada juga murid cowok yang berambut pendek tampil aneh-aneh. Mereka mewarnai rambutnya dengan warna terang blonde. Meksipun hanya satu atau dua orang tetap saja itu aneh. Aku heran sekolah negeri macam apa yang aku masuki sekarang. tetapi terlepas dari rambut yang mereka warnai, aku kagum dengan potongan rambut mereka yang rapi dan sangat modis sekali.

Aku menyapa ramah beberapa orang yang berada di depan kelas 1-F, lalu masuk ke dalam. Wah udah ramai sekali. Murid-murid cewe ada yang sedang asyik ngobrol, ada yang sedang mainan hape, ada juga yang tengah selfie. Sementara siswa cowok juga sedang berkumpul di belakang sambil memegang hape masing-masing. Sepertinya tidak ada yang memperdulikan kehadiranku. Aku pun mulai berkeliling mencari tempat duduk tetapi semua meja sudah ada tas yang tergeletak di atasnya seolah menjadi penanda bahwa sudah ditempati. Lalu aku melihat ada satu meja paling belakang dekat dengan jendela sepertinya masih kosong. Wah aku beruntung masih ada kursi di belakang. Aku segera menaruh tasku di meja dan duduk. Kulihat pemandangan dari jendela sini, wah jendelanya mengarah langsung ke jalan raya depan sekolahan. Menyenangkan sekali duduk disini. Semoga teman sekelasku juga menyenangkan. Tapi lagi asyik-asyiknya duduk mengamati pemandangan di luar yang ramai, tiba-tiba ada yang menegurku.

“lu siapa?” 

Aku menengok ke samping dan melihat seorang cowok berpostur tinggi kurus dengan rambut tegak berdiri menatapku dengan pandangan tidak bersahabat.



“halo. Namaku Yandi. Duduk sini saja kalau kamu mau. Disini masih kosong kok, tapi aku duduk di kursi dekat jendela ya.” Jawabku sambil mengulurkan tangan, menawarkan jabat tangan.

“gue gak tanya siapa nama lo. Dan asal lo tahu, ini tempat duduk gue sama teman gue ! jadi lo enyah sekarang!” aku kaget karena suaranya meninggi.

Plak ! bukan hanya membentak dan menyuruhku segera pindah, dia juga menampik tanganku ! emosiku mulai terpancing tapi aku tetap mencoba sabar.

“oke, maaf, maaf aku gak tahu kalau meja ini sudah ada yang menempati. Karena meja lain sepertinya sudah terisi semua.” Sebelum aku berdiri sembari menenteng tas, kulihat nama di seragamnya.


    LEO - 1F 

“gue gak peduli lu duduk mana asal jangan pernah duduk di meja ini. Lu beruntung bukan gom yang mergokin elo duduk sini. Kalau dia yang mergokin elu, lu bakalan abis.”ketusnya sambil terus melotot ke arahku. 

Aku tidak tahu apa maksudnya, yang pasti Leo sedang memberikan peringatan kepadaku. Aku langsung berdiri dan mencoba melihat meja lain. dan aku baru sadar bahwa semua orang di kelas sedang menatap ke arah kami berdua terutama ke arahku.

TEEEEEEEEETTTT!

Terdengar suara bel berbunyi, sepertinya ini pertanda bahwa jam pertama pelajaran segera dimulai dan aku tidak tahu jadwal pelajaran hari ini sama sekali. Daripada bingung memikirkan jam pelajaran pertama apa hari ini, sebaiknya aku segera mencari tempat duduk. Semua murid sudah kembali masuk ke dalam kelas dan yang terakhir masuk ada siswa cowok berbadan besar dan berambut cepak. 

“di depan masih kosong. Depan meja guru.” 

Ada seorang cewek berjilbab mengenakan kacamata yang memberikan saran karena sepertinya dia menyadari aku masih bingung karena belum dapat tempat duduk.

“depan meja guru?” tanyaku memastikan.

“iya.” Jawabnya singkat.

“terimakasih.”

Karena tidak punya pilihan lain aku pun menuju meja yang paling dijauhi para murid, yakni meja tepat di depan meja guru. Dan memang masih kosong. Aku segera memasukkan tas ke dalam laci meja dan duduk. Ah ini kursi paling dihindari karena membuat pergerakan murid yang duduk disini akan terbatas karena tepat berhadapan dengan guru yang mengisi pelajaran. Dan sepertinya aku juga duduk sendirian disini. Tapi meja ini tidak terlalu buruk karena tetap dekat dinding dan dekat dengan jendela. Tepat di belakangku ada dua orang cewek. Di meja samping kananku ada dua orang cowok berkacamata. Fiuh, yasudahlah. Yang penting bisa sekolah, batinku menghibur diri sendiri.

Lalu seorang guru wanita berjilbab yang masih terlihat muda dan anggun masuk ke dalam kelas. Wow cantik sekali.


“selamat pagi anak-anak.”

“pagi bu Sinta.” Jawab semua orang. Aku diam saja karena belum tahu siapa nama guru ini.

Guru yang bernama bu Sinta tersebut lalu menaruh tas di meja guru. Bu Sinta menatapku.

“ibu rasanya baru melihatmu sekarang.” Ujarnya.

“iya bu. Nama saya Yandi bu. Yandi Raharjo. Kemarin tidak masuk sekolahah karena….sakit.” jawabku sopan. Aku nyaris bilang kemarin tidak masuk karena terlambat dan tidak boleh masuk, namun aku segera berbohong dan beralasan sakit.

“oh Yandi Raharjo. Kamu bawa surat dokter gak?”

Aku menggeleng dan sepertinya kali ini tidak dianggap berbohong karena memang tidak bawa surat dokter.

“yasudah ibu maklumi. Tapi lain kali kalau tidak masuk sekolah karena sakit bawa surat dokter ya,”jawab bu Sinta ramah. 

“iya bu.” Jawabku.

“karena kemarin kamu tidak masuk sekolah, sebelum kita mulai masuk pelajaran pertama pagi ini yakni pelajaran Bahasa Indonesia, Yandi kamu pimpin doa lalu perkenalan di depan kelas. 

Apa..perkenalan di depan kelas! Keringat dingin langsung mengucur. Aduhh.

“ini bacaan doa pagi. kamu baca doa dari situ saja. Ayo Anak-anak ayo semua berdiri ! kita berdoa dulu.”

Setelah semua orang berdiri, aku segera membacakan doa pagi. Setelah selesai berdoa. Semua orang kembali duduk.

“terimakasih. nah sebelum mulai pelajaran, kita perkenalan dulu. Karena ada teman kalian yang kemarin tidak masuk sekolah karena sakit. Yandi ! maju ke depan sekarang. Ayo perkenalan.”

Aku segera maju ke depan kelas dan mulai memperkenalkan diri. Aduh grogi sekali rasanya saat aku berdiri di depan kelas dan semua orang memandang ke arahku. 

“selamat pagi teman-teman, selamat pagi bu Sinta. Kenalkan nama saya Yandi. Nama lengkap saya Yandi Raharjo. Hobi olahraga.”

“rumah dimana?” tanya seorang cewek imut berambut pendek yang duduk di deret tengah.

“cieee Farah naksir Yandi ni yee?” celetuk seseorang.

Lalu terdengar suara ciyeeee panjang, hadeg makin grogi.

“apaan sih, kan gue cuma nanya.”

Aku mencoba tersenyum

“disini saya tinggal bersama kakak saya di daerah Palmas. Asal saya dari Kampung. Baru pindah ke Kota 3 hari yang lalu.” Aku langsung mengutuk diriku sendiri karena memberikan info tidak penting.

“owh anak kampung toh, pantesan…”

Tiba-tiba terdengar celetukan yang terdengar jelas dari arah meja belakang. Aku melihat Leo yang mengatakannya.

“iya saya memang anak kampung. Tapi saya tetap bangga jadi anak kampung yang bisa sekolah di kota.” Aku tersenyum ke arah Leo. Di samping Leo, di kursi yang aku duduki pagi tadi ada cowok berbadan besar yang aku lihat pagi tadi. Mendengar jawabanku mereka berdua menatap ke arahku dengan pandangan menantang, terutama teman Leo. Aku balik menatap mereka sebentar lalu mengedarkan pandangan ke seisi kelas.

“baik terimakasih Yandi kamu boleh kembali duduk.” Sahut bu Sinta. “nah anak-anak hari ini ibu bagikan silabus mata pelajaran selama kalian di kelas 1. Selain silabus ibu akan berikan beberapa judul buku mata pelajaran bahasa Indonesia yang akan kita pakai selama 1 semester ini.”

Ibu Sinta lalu mulai menulis di papan tulis beberapa judul buku. Aku pun mulai menyalin.

Dan petualanganku sebagai seorang pelajar dari kampung yang melanjutkan SMA di kota pun resmi dimulai. Dan sepertinya bakalan menarik karena selain teman sekelas yang cantik-cantik, bu guru yang tak kalah cantiknya, peraturan-peraturan sekolah yang menarik, belum sehari masuk sekolah tampaknya aku sudah dapat musuh saja, Leo dan temannya yang memiliki tatapan cukup mengintimidasi.

 Aku memang anak kampung tetapi kalau mereka memukulku duluan, aku akan memukul balik mereka dua kali lebih keras. Tapi untuk saat ini aku akan tetap merendah dan bersabar karena bagaimanapun juga, aku tidak mau menyusahkan mba asih.

 
= BERSAMBUNG =

No comments for "LPH #7"