Featured Post

LPH #3

Episode 3
Dasar Pemuda Lemah




“Yan, baru pulang sekolah ? ta ambilin makanan. Mau pake sayur dan lauk apa? Ini sayur asemnya sudah jadi, gorengan juga masih panas. Tinggal bikin sambel terasi, wuis mak joss banget.” tanya Mbak Wati saat melihatku masuk ke dapur lewat pintu samping rumah. Mbak Wati sendiri lagi sibuk menggoreng berbagai macam lauk mulai dari berbagai macam gorengan, ayam, ati ampela, ikan bandeng dan ikan kembung.

“Oh enggak Mbak Wati makasih, nanti aku ambil sendiri saja. Tapi bau sayur asemnya memang sedep banget.”

“Memang Mbak mu itu pinter banget masak sayur asemnya, belum jadi aja uda pada dipesan sama tetangga-tetangga. Yowis, nanti tak sisihkan semangkuk sayur asem dan sambal terasi buat Yandi biar gak kehabisan.”

“Hehe iya Mbak makasih. Mbak Wati aku ke atas dulu ya, mau ganti baju terus istirahat bentar baru makan.”

“Iya sama-sama.”

Mbak Wati adalah tetangga yang rumahnya hanya selisih 2 rumah di belakang. Mbak Asih yang awalnya apa-apa sendirian ngurusin warung makannya, mulai dari belanja sayuran, masak, bersih-bersih dan jaga warung, lama-lama kewalahan juga karena warung yang semakin ramai. Setelah konsultasi dengan Mas Sulis dan dihitung-hitung lagi keuntungan dari warung makan jika di kurangi dengan biaya bayar orang buat bantu-bantu dan ternyata masih ada sisa keuntungan yang lumayan, Mas Sulis setuju kalau Mbak Asih cari 1 orang buat bantu-bantu di warung. Tugasnya adalah bersih-bersih warung, bantu masak lauk pauk, cuci peralatan, gelas dan piring kotor dari pagi sampai tutup. Untuk belanja sayuran dan memasak menu makanan, tetap Mbak Asih yang turun tangan sendiri. Untuk belanja sayuran, Mbak Asih sudah tidak perlu repot-repot lagi tiap subuh pergi ke pasar untuk belanja seperti dulu karena dia sudah dapat tukang sayur yang bisa mengantar semua keperluan sayur dan bumbu masakan ke rumah setiap hari pas jam setengah lima pagi. Setelah woro-woro ke tetangga sekitar siapa tahu ada yang tertarik buat bantu Mbak Asih, banyak ibu-ibu yang tertarik tapi karena rata-rata semua punya anak kecil yang tidak bisa ditinggal.

Lalu malam harinya Mbak Wati datang ke rumah. Mbak Wati datang ke rumah setelah dengar kabar kalau Mbak Asih sedang cari orang buat bantu-bantu di warung Mbak Asih. Mbak Wati kemudian bercerita kepada Mbak Asih kalau beberapa hari yang lalu dia baru saja kena PHK karena pabrik tekstil tempat dia bekerja sedang dilanda krisis sehingga terpaksa mengurangi sekitar 500 jumlah karyawannya dan Mbak Wati adalah salah satu karyawan yang terkena dampak pengurangan karyawan. Mbak Asih yang merasa iba mendengar cerita Mbak Wati, kemudian menerangkan bahwa dia memang butuh 1 orang untuk membantunya di warung dan Mbak Asih juga berterus terang bahwa dia hanya sanggup membayar sekian rupiah untuk upahnya. Jadi kalau Mbak Wati setuju dengan besaran upahnya, Mbak Asih dengan senang hati menerima Mbak Wati untuk membantunya. Apalagi selain tetangga sendiri, Mbak Wati sebenarnya juga salah seorang pelanggan yang sering membeli makanan di warung Mbak Asih. Pada akhirnya Mbak Wati setuju dengan jumlah upah yang ditawarkan apalagi Mbak Asih juga menjelaskan meskipun kerja dari pagi hingga malam, Mbak Wati bisa dapat makan gratis selama bekerja dan warung Mbak Asih juga berencana tidak akan buka setiap hari dimana khusus hari minggu warungnya tutup biar dia
bisa istirahat ataupun refreshing dengan Mas Sulis.

Kebetulan pas Mbak Asih sedang cari orang buat bantu-bantu di warung makan dan pas Mbak Wati datang ke rumah, aku sedang berada di rumah Mbak Asih selama 3 hari karena ada liburan panjang. Jadi meskipun sedang gak nguping, aku jadi tahu isi pembicaraan mereka. Ya kira-kira hal itu 3 bulan yang lalu. Dari info Mbak Asih, Mbak Wati adalah seorang janda yang belum mempunyai anak. Orangnya baik dan ramah. Dia jadi janda karena lebih memilih bercerai dengan suaminya yang ternyata sudah menikah siri dengan perempuan lain tanpa sepengetahuannya. Karena senang dengan pekerjaan Mbak Wati dan cocok, Mbak Wati jadi orang kepercayaan Mbak Asih.

Pas naik ke atas aku melirik ke arah Mbak Wati, meskipun cuma kerja di warung, Mbak Wati tetap menjaga penampilannya dan sepertinya juga tahu memiliki kelebihan di bagian bokong. Karena jeans yang dikenakan Mbak Wati selaku bermodel ketat sehingga bokongnya semakin menonjol. Kehadiran Mbak Wati ini juga yang membuatku taMbakh semangat tinggal dengan Mbak Asih di kota. Hadeh baru lihat bokong janda pas sedang nungging aja sudah bisa membuatku tergoda.

Dasar pemuda lemah.

Setelah beberapa lama menikmati pemandangan bokong Mbak Wati yang sedang nungging, aku buru-buru ke atas karena takut ketahuan. Meskipun sebentar tapi hal tersebut sudah cukup membuatku berdebar-debar. Setelah masuk ke dalam kamar, pintu kututup dan kubuka baju seragam dan celana abu-abu lalu kugantungkan di gantungan baju belakang pintu. Kamar terasa pengap, meskipun ada ventilasi di bagian atasnya. Kubuka jendela kamar lebar-lebar dan adanya udara masuk ke dalam membuat hawa di kamar lebih enak. Aku melihat ke atas dan agak mendung. Mungkin mau hujan nanti malam jadi pantas saja sedari siang cuacanya begitu panas. Aku kemudian rebahan di kasur sambil buka ponsel. Hampir jam 2 siang. Kulihat ponsel ku sepi tidak ada pesan masuk satupun, baik di Whatssap, BBM maupun SMS. Kemudian kubuka Facebook, sama saja ga ada komentar ataupun like dari teman-temanku. Ya gimana mau dapat komen, terakhir aku buat status di Facebook ternyata sudah 2 bulan yang lalu. Status itu pun cuma singkat,
Panas.


Gak ada komentar, tapi dapat 5 like. Ku klik tanda jempolnya agar aku bisa tahu siapa yang memberikan jempol. Yang menyukai statusku ada Wawan, Hasan, Ardi, Susi dan Arum. Semuanya temanku SMP di kampung. Dari 5 orang itu, Arum yang paling menarik perhatianku. Karena Arum adalah mantan pacarku semasa SMP. Aku dan Arum pacaran lumayan lama yakni 1 tahun 2 bulan. Kami putus pas kelas 2 dengan sedikit drama dan mungkin pengkhianatan yang menyertainya. Arum itu termasuk cantik dan sangat aktif di kegiatan sekolah terutama OSIS di SMP. Berakhirnya hubungan kami bermula dari adanya gosip di kalangan teman-temanku kalau Arum itu lengket banget sama Sakti, ketua OSIS sekaligus kakak kelas kami di SMP. Kemana-mana hampir berdua baik pas kegiatan di sekolah maupun pas di luar sekolah. Aku juga sedikit mengamini kabar itu karena akhir-akhir ini dia mulai berubah. Jadi tidak terlalu peduli denganku.

Bahkan ketika aku tidak bisa masuk sekolah selama 6 hari karena sakit gejala demam berdarah, Arum cuma sekali nengok, itupun ramai-ramai bareng sama teman sekelas yang lain. pas aku SMS minta yah mbo di jenguk sendiri ga usah bareng teman yang lain, dia cuma iya iya tok, gak pernah datang. Aku telpon susah banget di angkat, kalaupun di angkat ngomong ga bisa telpon lama-lama karena sedang belajar banyak PR. Pas aku mulai sudah merasa baikan dan besok bersiap masuk sekolah, wawan temanku datang ke rumah. Dia cerita tadi sore lihat Arum dan Sakti pulang bareng selesai sekolah, kelihatan mesra banget boncengan motor sampe nempel di punggung Sakti. Wawan cuma berusaha menyampaikan apa yang dia lihat karena dia teman baik ku dan tahu kalau Arum itu pacarku. Hati ini rasanya perih banget. Akupun berniat ngobrol serius dengan Arum besok pas di sekolah.

Keesokan harinya, aku sudah sembuh dan bisa masuk ke sekolah. Teman-teman sekelas nampak senang aku sudah sembuh dan bisa masuk sekolah lagi, tapi sikap Arum justru biasa-biasa saja. Aku berniat mengajak bicara Arum pas jam istirahat di kantin. Dari jam pertama hingga istirahat pertama, rasanya susah banget konsentrasi. Pikiranku dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang bakal aku tanyakan langsung ke Arum. Bahkan aku pun sudah bersiap menghadapi skenario terburuk yakni putus kalau semua pertanyaan-pertanyaanku Arum tidak bisa menjawabnya dengan jelas. saat bel tanda istirahat berbunyi, aku segera mendekati Arum.

“Rum, makan bareng di kantin yuk. Lama ga makan bareng kamu, sekalian aku mau ngomong seesuatu sama kamu.”

“Duh maaf banget Yan, aku habis ini ada pertemuan rapat OSIS di jam istirahat ini. OSIS lagi sibuk banget nih. Besok-besok aja deh ya,” Arum berdiri hendak pergi, namun aku menghalanginya. Jujur saja mendengar jawaban Arum waktu isi aku terbawa emosi dan langsung tanpa basa-basi aku langsung bicara.

“Rum, kita masih pacaran kan? Terus apa hubunganmu sama Sakti ? teman-teman banyak yang bilang kalian kelihatan beda banget kayak orang pacaran.”

Arum yang hendak berdiri, diam lalu kembali duduk. Aku pun duduk di kursi di depan mejanya. Semua teman kami sudah pergi istirahat, tinggal kami berdua yang masih ada di kelas. Kurang lebih 3 menit aku menunggu Arum bicara, namun dia masih terus saja menunduk, tidak berani hanya sekedar untuk menatapku langsung.

“Rum kok diem? Kamu suka sama Sakti? Kata orang, diam itu tandanya setuju dan mengiyakan semua pertanyaan lho.”

Arum masih diem dan tetap nunduk. Kesabaranku sudah habis. Aku langsung berdiri.

“Sepertinya kabar itu benar, kamu pacaran dengan Sakti. Berarti kamu mengkhianatiku. Oke, kalau begitu ki-.”

Kita putus saja Yan.”

Aku tersentak. Harusnya bagian itu aku yang mengucapkan ! namun Arum tiba-tiba berdiri dan langsung memotong ucapanku.

“Yan, maaf kita sebaiknya putus saja. Terimakasih.” lanjut Arum kemudian dia pergi begitu saja. Meninggalkanku sendirian di dalam kelas seperti seorang pecundang. Sisa pelajaran aku lebih banyak melamun, karena tempat duduk ku di deretan belakang aku bisa melihat Arum dari belakang. Berbeda denganku yang patah hati, hancur berkeping-keping, sedih, Arum justru terlihat dia tetap santai, bahkan sering ketawa-tawa dengan diah teman sebangkunya. Akhinya bel pulang yang aku tunggu-tunggu berbunyi. Dengan lesu aku merapikan buku pelajaran dan buku tulis yang tidak aku apa-apakan sepanjang hari ini. Selesai rapi-rapi aku melihat ke arah bangku Arum dan bangkunya sudah kosong, Arum sudah pulang. Padahal aku masih berharap di jam pulang ini, Arum menemuiku dan bilang minta maaf lalu mengatakan bahwa dia masih ingin jadi pacarku dan kami berdua pun bisa pulang bareng lagi. Namun itu hanya harapan kosong. Dengan langkah gontai aku pulang dan kemudian aku melihat pemandangan yang sungguh dramatis, aku melihat di depan gerbang sekolah, Sakti menggandeng tangan Arum, keduanya nampak bahagia dan mereka pulang bareng berdua tanpa memperdulikan godaan dan suitan dari para murid lainnya.

“Sabar yan.. Sabar,” Wawan tiba-tiba berada di sampingku, mencoba menguatkan sambil menepuk-nepuk pundakku. Besok paginya aku kembali tidak masuk sekolah selama 3 hari karena jatuh sakit lagi.

Dasar pemuda lemah. Bagian kedua.

Hati ini masih terasa nyeri jika mengingat hal itu. Itu adalah masa-masa terburukku sebagai seorang laki-laki. Karena setelah putus dari Arum aku jadi malas pacaran. Tiba-tiba saja aku iseng pengen lihat foto profil Arum di fb. Dan aku pun mengklik nama Arum dan layar FB kini berpindah ke halaman profil Arum. Kulihat cover foto FB Arum hanya ada tulisan.

I love you Sakti.

Makclesss, rasanya seperti luka lama yang disiram oleh air keras. Ponsel tiba-tiba redup karena lowbat dan beberapa detik kemudian mati kehabisan batere. Ponsel kulempar ke atas tas sekolahku. Besok pagi rasanya aku kepengen bolos lagi.

Dasar pemuda lemah. bagian ketiga.


= BERSAMBUNG =

No comments for "LPH #3"