Featured Post

LPH #72

Episode 72
Riuhnya Surga Dunia


(POV Yandi)


Pesta barbeque yang di siapkan Bang Kopet benar-benar memanjakan kami semua. Mulai dari daging, ayam, sosis, aneka seafood segar, jagung, sayur-sayuran serta seabrek cemilan dan berbagai jenis minuman mulai dari bir, sirup, jus semua terhidang di meja makan panjang yang di tata di pelataran Villa. Chef Adi dibantu beberapa orang sudah sibuk sedari tadi di depan grill. Pesta jadi makin meriah karena ternyata juga tepasang sound system yang memutar lagu-lagu barat yang tengah popular, ya istilahnya lagu-lagu Top 40 kekinian. Lampu warna-warni juga terpasang di atas, pokoknya jadi keren banget ini pelataran.

“Gila, gak mungkin kita bisa ngabisin ini semua Bang. Ini sih cukup untuk tiga puluh orang!” kata Yosi sambil mengunyah sate daging barbeque yang di tusuk dengan tusuk besi.

“Haha.Ya terserah si boss aja lah,” jawab Bang Kopet sambil mengunyah hot dog.

“Gak perlu makan nasi juga kenyang ini mah,” Vinia turut berkomentar.

“Hihihi, hitung-hitung diet, gak makan nasi,” tukas Dea.

“Memang sih gak makan nasi tetapi ini makanan berat semua De.”

“Hahah udah enjoy aja Vin! Toss dulu dong,” Dea mengangkat botol bir bintang yang di sambut Vinia dengan sekaleng bir.

Gila nih, semua temanku pada minum bir semua terkecuali aku, Dita dan Asha.

“Sha, sepertinya Xavi lupa dengan diet ketatnya,” kataku saat melihat Xavi bolak-balik ambil hamburger, ikan bakar dan cemilan lainnya sambil menyeruput sebotol bir.

“Iya Yan, biarin deh. Sesekali, dia biasanya disiplin dan cerewet masalah makanan. Mau makan aja dia mesti ngitung kalorinya dulu.”

“Haha, iya juga sih, mumpung lagi liburan.”

Aku lihat Zen juga tengah asyik ngrokok, ngebir, makan kentang goreng sambil ngobrol dengan Bang Kopet. Wah sudah akrab mereka berdua. Padahal Zen biasanya gak gampang akrab dengan orang yang baru di kenal. Tapi baguslah, Zen yang biasa pendiam juga sepertinya menikmati pesta dan liburan yang baru di mulai. Rasanya menyenangkan karena lima hari ke depan kami akan bersenang-senang di GilI Trawangan. Semakin malam, makanan siap santap yang terhidang semakin banyak di meja dekat kolam renang dan kami gak mungkin menghabiskan ini semua. Lalu Xavi pun berinisiatif untuk mengajak warga dan para turis asing maupun lokal yang kebetulan lewat di depan villa untuk bergabung ke dalam pesta.

Tentu saja tidak ada yang bisa menolak makanan dan minuman gratis !

Pelataran Villa tadinya cuma kami berdelapan di tambah Bang Kopet, Chef Adi dan stafnya, jadi semakin riuh dan ramai. Aku amati mayoritas turis asing yang bergabung. Satu dari sekian banyak bule-bule yang ikut gabung, ada empat bule yang cukup mencolok karena tingkah mereka yang agak kasar saat mengambil makanan dan terlebih saat mereka membawa satu kerat kaleng bir di meja mereka, seolah itu satu kerat khusus untuk mereka. Namun selama masih gak berbuat onar, gak masalah sih. Selang beberapa lama, aku lihat salah seorang bule yang berambut pirang lalu menghampiri Xavi.

Bro,there is another beer?”

Sesaat sebelum menjawab pertanyaan si bule, dari arah belakang, Bang Kopet menggelengkan kepala, seakan memberi kode ke Xavi. Xavi pun sepertinya tanggap dengan kode tersebut.

I’m sorry bro. We don’t have it anymore. But we still have some juice.”

Pppfffttt..Juice is for pussie. Beer for man,” sahut teman si bule pirang, seorang turis berkulit gelap dengan rambut dreadlock yang tiba-tiba menghampiri. Ia hanya mengenakan celana pendek dan kaos singlet yang ia kenakan menampakkan badannya yang besar. Sekilas aku langsung teringat dengan Nando.

You’re crazy rich Asian kiddo. Just buy another beer for us, won’t hurt your wallet,” tambahnya dengan nada kasar. Dari badan dan mulutnya tercium aroma alcohol yang cukup menyengat. Sepertinya mereka sudah dalam keadaan mabuk sebelum di undang Xavi untuk bergabung dengan kami.

Nope, take our juice or leave this place, sir,” tegas Xavi.

Si negro tertawa.

Hey ! why are you take so long ! where is the beer?” teriak satu orang bule berkepala botak yang mengenakan jersey sepakbola warna merah putih. Tulisan vertikal di bagian jersey tertulis ABN AMRO dan logo berbentuk lingkaran bergambar kepala seorang prajurit yang mengenakan helm, sangat familiar buatku yang menggemari sepakbola. Itu jersey klasik milik Ajax Amsterdam.

Opgebruikt (habis) !” Jawab si bule pirang ke arah si bule botak

Deze kleine jongen bood ons sap aan. Hij heeft ons zelfs gezegd om te vertrekken (Bocah ini menawari kita jus. Jika tidak mau, kita di minta pergi) haha,” si negro berkata sesuatu sambil tertawa.

Jersey Ajax Amsterdam dan bahasa asing yang mereka ucapkan, aku berani bertaruh mereka turis dari Belanda. Tapi aku dan Yosi diam saja karena tidak mengerti satupun arti katanya.

Verdomme (sialan) !” si bule botak mengumpat keras sekali, membuat semua orang langsung melihat ke arahnya. Si bule botak bahkan berjalan menghampiri kami dengan berjalan agak sempoyongan. Namun satu bule lagi yang berbaju sablon warna-warni khas kaos pantai dan berambut hitam keriting langsung memegang bahu si botak, temannya.

We gaan, Indonesische mensen zijn altijd gierig geweest. Ze zouden dankbaar moeten zijn omdat we dit land hebben gekoloniseerd (Kita pergi. Orang Indonesia memang dikenal pelit sejak dulu. Mereka seharusnya berterima kasih karena kita pernah menjajah negeri ini),” cerocos si bule keriting yang badan dan lengannya penuh dengan tato.

Hahaha je hebt gelijk. Gelukkig kunnen we morgen deze vuile plek verlaten (kamu benar Untungnya, kita bisa meninggalkan tempat kotor ini besok),” tambah si negro.

Saat si negro dan si pirang sudah berbalik badan hendak pergi, tiba-tiba saja Xavi berkata cukup lantang di depan semua orang.

Waarom ga je nu ook niet naar huis? Ik heb nog steeds genoeg zakgeld om je een gratis boottocht te geven, inclusief vliegtickets naar Nederland (Kenapa elo gak pulang saja sekarang? Gue masih punya cukup uang saku untuk memberi elo tiket boat gratis, termasuk tiket pesawat ke Belanda), ” Wajah Xavi terlihat sedikit emosi.

Aku dan Yosi berpandangan, kami terheran mendengar Xavi bisa membalas, entah apapun orang Belanda tersebut katakan, dengan bahasa Belanda yang sangat lancar. Tapi kemudian aku sadar jika Papa Xavi berdomisili di Amsterdam, sudah pasti Xavi sering berkomunikasi dengan bahasa Belanda karena Xav pernah cerita dia lahir di Amsterdam dan baru di usia 4 tahun dia pindah ke Indonesia. Jadi wajar bangetlah Xavi paham perkataan para turis Belanda tersebut.

“Gue gak paham apa yang di katakan Xavi, tapi keliatan keren banget asli!” puji Yosi.

“Btw, intinya tuh bule ngomong apaan Xav? Elu kayaknya kok rada emosi.”

Namun Xavi diam saja tidak menjawab pertanyaan Yosi.

We nodigen jullie allemaal uit om gratis te drinken. in plaats van dankbaar te zijn, ben je dat wel mokkend als een kind als het bier op is (kami mengundang kalian semua untuk makan minum gratis. bukannya berterima kasih, kalian justru merajuk seperti anak kecil saat bir habis), ” lalu terdengar lagi seseorang berkata dalam bahasa Belanda. Kami tambah kaget karena ternyata Zen yang mengatakan hal tersebut!

Zelfs jij hebt ons land beledigd, klootzak (Bahkan kalian telah menghina negara kami, bajingan) !!” tambah Zen sambil menjentikkan puntung rokok lalu memegang leher botol bir.

Aku dan Yosi langsung berpandangan, apapun itu, kami mencium tanda-tanda keributan sebentar lagi bisa pecah ! aku langsung berlari menghampiri Zen agar dia tidak bertindak bodoh di sini. “Yos, kamu tetap di sini dengan Xavi!”

wow deze apen begrijpen en kunnen nederlands spreken (wah para monyet ini mengerti dan bisa bahasa belanda) !” sahut si negro yang berniat mendatangi Zen. Di susul si pirang sehingga aku, Zen dan kedua bule berdiri berhadapan. Mereka besar sekali. Namun rupanya Bang Kopet, Chef Adi dan teman-temannya bertindak lebih cepat. Mereka mencoba menenangkan para bule pembuat onar. Beberapa turis lain yang mencoba membantu menenangkan. Aku pun menarik Zen mundur hingga kami berada di tepi kolam. Situasi baru reda saat satu staf Chef Adi muncul dari dapur membawa troli berisi 1 krat bir bintang.

Take this beer and then leave.”

Si keriting menyahut. “For fuck sake, why didn't you take out the drink from earlier. Willem, take that beer,” ujar si keriting memerintahkan ke salah satu rekannya.

Orang yang bernama Willem, si pirang, langsung membopong 1 krat bir dengan entengnya. Orang Eropa memang punya fisik superior di bandingkan kami orang Asia. Di saat kami semua bisa bernafas lega karena keributan bisa di hindari, tiba-tiba si negro mendorong badan Zen cukup keras sehingga ia tercebur dalam kolam renang. Aku, Yosi dan Xavi langsung bereaksi keras namun kami bertiga dicegah oleh Bang Kopet, Chef Adi dan para cewek.

“Biarkan mereka pergi,” kata Bang Kopet.

FUCK YOU NIGGA!!” teriak Yosi yang di pegangi Dea dan Vinia.

Si negro hanya tertawa dan mengacungkan jari tengahnya seraya berkata, “Fuck je Indonesisch (persetan kamu orang Indonesia).

Keadaan baru tenang ketika keempat turis Belanda tersebut pergi sambil tertawa. Aku kemudian mengulurkan tangan ke Zen yang berusaha keluar dari kolam renang, ia benar-benar basah kuyup.

“Zen, elo gak apa-apa? Ponselmu?” Vinia datang untuk membantu.

“Gue gak apa-apa, ponselku mati terkena air,” jawabnya tenang.

Aku justru tidak terlalu mengkhawatirkan ponsel Zen, ponsel mati tercebur air masih bisa di perbaiki asal tidak langsung di nyalakan, tetapi di keringkan dulu selama beberapa hari di dalam karung beras. Karena beras punya karakter menyerap air. Setelah kering, bisa di bawa ke tempat service. Pokoknya ponsel mati bukan masalah besar, yang membuatku khawatir adalah melihat tatapan mata Zen.

Terakhir kali aku melihat tatap mata Zen seperti ini, saat kami terlibat tawuran di aula sekolah. Intinya, Zen benar-benar marah besar, ia hanya menatap keeempat bule pergi begitu saja. Asha datang membawakan handuk besar.

“Terimakasih. Xavi, gue balik kamar dulu, mau mandi.”

Zen lalu kembali ke kamar. Pesta pun saat itu selesai, sound system di matikan, anak buah Chef Adi membereskan sisa makanan dan minuman, para turis lain yang melihat keributan dari awal, pamitan dan merasa bersimpati karena kebaikan dan keakraban malam ini di rusak oleh para bule pembuat onar. Dua orang perempuan berambut pirang menghampiri kami.

Hai guys, we are also from the Netherlands and we feel embarrassed by their behavior. on behalf of Dutch citizens, we apologize. Indonesia and Lombok are beautiful places,” kata salah seorang bule perempuan berbadan langsing.

Thank you. Are those guys your friends?” aku bertanya mewakili teman lain yang masih kelihatan emosi.

No, we don’t but we were same hotel with them and they were indeed rude, just mess around and make us Dutch people feel embarassed with their barbaric behaviour.

Thank God, this is their last day in Gili Trawangan. That's all we want to say. Btw, thank you for your hospitality,” sambung si mbak bule yang satu lagi yang berbadan agak gemuk.

Kami lalu bersalaman dengan kedua cewek bule asal Belanda yang amat sangat baik hati tersebut. Kami sempat foto bareng dengan mereka sebelum keduanya pergi. Saat kami hendak ikut Bang Kopet beres-beres, beliau melarang dan meminta kami untuk istirahat saja karena sudah jam 12 malam. Saat para cewek sudah naik ke atas untuk istirahat, kami bertiga nongkrong di depan minibar sambil minum kopi

“Xav, tolong lu cerita secara singkat, apa yang terjadi sebenarnya. Gue dan Yandi gak ngerti di bagian bahasa Belanda, dari reaksi elo dan Zen yang langsung ngegas, udah pasti omongan mereka gak enak di dengar. Apalagi salah satu dari mereka sempat nyebut-nyebut Indonesia kalau gue gak salah dengar.”

Xavi terdiam sejenak dan menyeruput kopi kentalnya.

“Intinya, mereka tadi marah saat gue gak kasih mereka bir lagi karena mereka sudah mabuk dan mulai menghina negara kita dengan bilang, orang Indonesia memang pelit padahal seharusnya kita berterimakasih karena Belanda pernah menduduki negara ini. Mereka juga bilang, mereka lega besok pagi sudah cabut dari Gili Trawangan yang ia sebut dengan penuh dengan sampah. Ya gue emosi, mereka menghina negara lain yang di kunjungi dengan bahasa mereka sendiri, sombong parah. Terus gue bales, ‘gak usah nunggu besok, gue punya duit untuk anterin kalian pake speedboat gue dan sekalian beliin tiket peswat ke Belanda malam ini juga’.”

“Wakakaka untung lo tajir parah yem jadi ngomong seperti itu. Eh terus si Zen nambahin apa ? Gue sama Yandi kaget liat Zen bisa ngomong Belanda, njiir.”

“Zen tadi ya bilang, mereka orang yang tidak tahu terimakasih, sudah di undang ke pesta baik-baik, eh malah cari masalah cuma masalah bir. Sudah gitu pake acara menghina Indonesia pula.”

“Woahh, udah nyinggung nasionalisme ini mah, dasar bule anjing ! Pantas aja tuh dua bule cewek sampai repot minta maaf ke kita,” tukas Yosi yang terlihat geram.

“Gue juga salah sih karena asal ajak orang lewat untuk gabung di pesta, gue gak perhatiin kalau keempatnya ternyata sudah teler dan punya hobi merusuh..” ujar Xavi.

Eh, kalian tadi lihat mata Zen gak saat keluar dari kolam renang?” aku bertanya ke Yosi dan Xavi.

“Ya, gue lihat tadi. Zen super saiya mode ON,” komen Xavi.

Aku mandi dulu terus coba tenangin Zen deh. Tahu sendiri dia yang paling nekat. Apalagi keempat bule itu baru pergi besok, aku khawatir Zen bakal nyari mereka tuh, kataku.

Xavi dan Yosi berpandangan.

“Oke, Yan. Cewe-cewe biar istirahat. Gue sama Yosi mau ke depan dulu.”

“Ngapain?”

“Cariin bir buat Chef Adi dan teman-temannya, itu krat bir yang tadi di keluarin terkahir kan stok buat mereka setelah beres-beres. Orang Gili minum bir udah kayak elo minum air putih deh. Ayok Yos.”

“Yowislah, kataku.”

Setelah keduanya pergi ke depan, aku lalu mandi dan sambil memikirkan sesuatu. Satu rencana yang yah agak berbahaya sih. Tetapi ketika ada orang asing yang berani menghina bangsa ini, apa aku, kami harus tinggal diam?

***

"Mo kemana Zen?" aku menyapa Zen saat ia berjalan melintasi pelataran Villa. Dia tidak melihatku yang duduk di kursi  bawah pohon kelapa yang agak gelap sehingga dia agak terkejut saat aku memanggilnya.

Zen yang mengenakan pakaian serba hitam termasuk topi baseball yang juga warna hitam, berhenti berjalan.

"Jangan cegah gue Yan."

Aku lalu berdiri dan menghampirinya. "Siapa yang mencegahmu? Kita punya niat yang sama. Mereka sudah keterlaluan, harus kita balas namun tetap saja berbahaya kalau kamu kesana sendirian."

Zen tersenyum dan kami berdua toss. Aku menegakkan tudung jaket dan mengeratkan talinya.  Saat kami sudah di depan Viila, kami melihat seseorang, bukan hanya satu tetapi dua berdiri di seberang jalan.
"Apa gue bilang, Zen dan Yandi pasti gak mungkin diam saja. Gue menang taruhan, 5 DVD JAV Soapland yang masih ada di rumah, resmi jadi milik gue."

"Lu memamg bangsat Yos, koleksi gue yang berhargaa. Arghg."

Rupanya Xavi dan Yosi sudah ada di luar.

"Gak akan gue biarkan kalian pergi bersenang-senang sendirian tanpa mengajak kami, terutama gue sebagai tuan rumah di sini" ujar Xavi yang tumbenan pakai pakaian serba hitam, menghampiri aku dan Zen.

Yosi juga ikut menghampiri dan bilang sesuatu. "Gue dan Xavi uda keliling cari tahu dimana bule-bule bangsat itu nongkrong."

"Dapat?"

Xavi menunjukkan layar ponsel ke arah kami. "Bang Kopet sudah share loc posisi mereka. Dia juga ada di sana."

"Bang Kopet?"

"Iya, dia ada di sana sama teman-temannya untuk jaga-jaga. Kalau nanti situasinya makin kacau, mereka akan turun tangan."

"Cukup kita Xav. Gue gak suka kalau ada orang lain ikut campur."

"Woles Zen. Bang Kopet dan temannya baru turun kalau ada bule lain, yang gak ada urusannya, ikut campur."

Zen membakar rokok. "Okelah. Oia, gue gak mau di salahin sama cewek-cewek kalian lho yah, kalau kalian kenapa-kenapa."

"Haha songong banget lu Zen, mentang-mentang jomblo," kata Yosi sambil merangkul pundak Zen. "Ini urusan laki. Cewek-cewek biar tidur tenang di villa."

"Urusan sama pacar kita masing-masing, di pikir belakangan saja. Ayoklah mulai jalan. Makin dingin di sini. Ayo Xav, tunjukkin arahnya," kataku.

"Setuju sama Yandi!" Sahut Xavi yang kemudian berjalan di sampingku. Sementara Yosi dan Zen di belakang kami.

Xavi mendahului beberapa langkah di depan kemudian balik badan menghadap kami.
"Akhirnya XYZ bisa bersenang-senang lagi malam ini,heehehe."

"Yoii," sahut Yosi di belakang.

Aku amati Xavi, hampir tidak ada rasa takut. Dia malah seperti kegirangan. Jauh berbeda dibandingkan ketika ia ikut tawuran di aula sekolah. Baguslah, aku tidak perlu mengkhawatirkan, meskipun apa yang akan kami lakukan malam ini, resikonya besar.

Setelah berjalan agak jauh menuju ke pinggiran pantai yang spotnya agak gelap karena penerangan dengan obor-obor yang di tancapkan di pasir, dari kejauhan kami bisa melihat keempat bule itu sedang duduk di kursi depan sebuah cafe yang cukup ramai berada di pinggir pantai. Mereka berempat tengah tertawa terbahak-bahak dengan suara keras, tanpa mereka sadari jika Bang Kopet dan beberapa temannya mengamati di dekatnya. Bang Kopet lalu terlihat menelepon.

Xavi melihat ada panggilan masuk di ponselnya, “Halo Bang, gimana bang?” Xavi mengangkat dengan loudspeker sehingga kami juga bisa mendengar.

Sebelum kalian datang ke sini, gue mau nanya sekali lagi, kalian siap dengan resikonya? Gue yakin kalian belum pernah berkelahi dengan bule. Bule mabuk pula. Bule mabuk itu jauh lebih berbahaya dan cenderung nekat,” Bang Kopet memberikan peringatan kepada kami.

“Kami memang belum pernah lawan bule, bahkan mereka akan jadi lawan berpostur paling besar yang pernah kami ajak duel. Bisa saja kami knock out bang kalau kena hantaman mereka. Tapi kami rasa peluang kami lebi besar. Karena semakin besar postur lawan, sasaran pukul jadi makin lebar. Beda halnya dengan mereka yang mengincar kami yang berpostur lebih kecil,” aku menyela Xavi yang hendak menjawab pertanyaan Bang Kopet.

[i]Wuahahahha, ini Yandi ya? Memang pantas kalau kami jadi pemimpin di sekolahanmu. Jawabanmu mantap sekali. Oke, kalau kalian udah mantap. Karena ini weekend, tempat ini jadi ramai. Dan mayoritas bule, ada kemungkinan besar mereka akan ikut campur tapi tenang, gue dan teman gue-gue total ada 4 meja, siap berjaga-jaga biar gak ada yang ikut campur.

Pak Ferdi juga ngawasin ini, kebetulan malam ini beliau lagi main ke sini dan ya gue ceritain sekalin tentang kejadian di Villa. Kata beliau, kalau kalian bisa kasih pelajaran ke mereka, urusan di belakang akan di anggap beres. Oia, ini cafe milik teman gue. Ntar kalau ada yang rusak, kita yang mesti ganti.”

Aku diam saja karena aku tidak mengenal siapa itu Komandan Ferdi.

“Beres Bang, tolong di kondisikan aja ke yang punya cafe. Makasih yak. Ini gue atur strategi dulu sama teman. Kami ada di samping sih.”

Oke. Hati-hati. Kalau elo kegores dikit, gue bisa di gorok sama Mamimu,” jawab Bang Kopet sambil tertawa.

“Sialan lo Bang...”

Setelah sambungan telepon usai, kami bertanya ke Xavi tentang siapa tu Pak Ferdi.

“Beliau  kasat Intel Polres Lombok Utara. Gugusan Gili ini masuk ke wilayah Lombok Utara. Gue gak begitu kenal sih, itu kenalannya Bang Kopet. Yang jelas karena kasus penangkapan bule yang bandar narkoba di sini beberapa bulan yang lalu, intel jadi sering main ke sini.”

“Asemmm, enak benar ya jadi intel di kawasan ketiga Gili. Kerja tapi hawanya liburan,” celetuk Yosi.

“Gue ambil si negro,” ujar Zen tiba-tiba. Dia gak ada senyum-senyumnya sama sekali, sedari tadi tangannya masuk ke jaket, sepertinya dia sudah tidak sabar.”

“Gue yang pirang,” sahut Xavi.

“Yos, aku ambil si keriting, kamu lawan si botak,” aku menyela Yosi.

“Ah fuck, tahu aja lo Yan kalau gue mau ambil yang keriting. Yadah lah.”
Aku tersenyum saja. “Jadi, ini mau pake cara gimana, langsung kita serang pas mereka lengah atau kita kenalan dulu?”

“Langsung saja kita hajar, toh kompeni kalau nyerang pribumi juga gak pakai perkenalan,” sahut Zen.

Kami malah tertawa mendengar Zen berkata seperti itu.

“Ngakak gue Zen. Oke kita langsung serang nih, oia ini kita cuma kasih kenang-kenangan ke mereka kan ya?” ujar Xavi.

“Ya, cukup berikan mereka kenang-kenangan sampai mereka tepar hingga pagi saja. Zen, tetap kontrol lho ya.”

Zen cuma diam saat menasehatinya.

“Tapi gede juga lho mereka, 185 an cm ke atas semua cuy,” ujar Yosi.

“Mereka memang besar tapi lamban, kita kecil tetapi lincah, itu jadi satu keuntungan. Apalagi mereka mabuk. Asal bisa kasih serangan efektif, badan segeda mereka juga bakalan keok.”

“Akan susah untuk menyerang atau memukul wajah karena faktor tinggi badan, namun saran sih, fokus serangan ke dua titik saja. Ketiak dan ulu hati. Akan lebih mudah kalau nyerang bawah ketiak dan ulu hati di banding memukul rahang atau wajah mereka. Mau seberapa besar badan, kalau kepukul di ketiak bagian dalam, pasti ngefek,” terang Zen.

“Woah nice info gan, gue dari dulu pengen nonjok armpit tapi gak pernah kesampaian,” komen Yosi.

“Ya iyalah, susah lu nonjok armpit orang yang tingginya sama bahkan lebih pendek. Tapi setuju gue sama Zen, lebih baik mengincar vital point mereka di perut, ulu hati dan ketiak. Itu akan cepat mengakhiri perkelahian jalanan,” tambah Xavi.

“Oke, hati-hati guys, anggap saja, kena sekali pukulan dari mereka, game over. Eh sebelum kita kesana, bahasa belandanya untuk ‘Kalian turis apa pengemis’ apa?” aku bertanya sambil nyengir.

“Huahahahahahah!!!” ketiga temanku langsung ketawa.

Zijn jullie, toerist of bedelaar,” jawab Zen.

Sin juleja..apa tadi? Susah haha.”

“Huahhaa, udah kalau gak bisa, lu tinggal bilang ‘Stront’ yang kencang depan muka mereka semua, udah pasti rame tuh. Semabok-maboknya mereka, pasti langsung emosi jiwa. Btw, Zen gue baru tahu kalau elo mahir juga bahasa Belanda. Waar leer je de Nederlandse taal (Di mana kamu belajar bahasa Belanda) ?” tukas Xavi memberikan satu kata yang lebih simpel dalam bahasa Belanda. Lantas Xavi bertanya sesuatu ke Zen dengan bahasa Belanda.

Zelfstudie, omdat ik op internet kwam op het IT-forum, waarvan de meeste Nederlandse leden waren (Belajar sendiri, karena gue gabung sama forum IT di Internet yang kebanyakan membernya orang Belanda),” jawab Zen dengan fasih.

Aku dan Yosi berpandangan.

“Bajingan lo berdua! Ngomong pakai bahasa kompeni di depan pribumi ! Udahlah jadi emosi gue, ayok buruan kita samperin !” ujar Yosi sambil bersungut-sungut.

Kami lalu mengejar Yosi yang sudah lari duluan ke arah empat bule keparat.

STROKE!!!!”

Aku terkejut saat Yosi tiba-tiba berteriak di depan mereka. Keempat bule tersebut kelihatan bingung.

STROKE!!!!” Yosi kembali berteriak ke mereka.

DA FUCK ARE YOU SAYIN, MORRON !” si botak berdiri langsung berdiri dari kursi.

Gawat.

“Bego benar itu Yosi! Yang benar ‘Stront’ bukan stroke woi!” ujar Xavi yang berlari di sisiku sehingga aku jadi lari sambil ketawa.

“Emang ‘Stront’ artinya apa?”

Stront’ itu artinya shit alias TAIKKKKK ahahahha!”

Aku tertawa terpingkal-pingkal, asli baru ini aku mau berantem malah ketawa ngakak gini. Aku lalu berteriak keras sekali ke arah mereka sambil meloncat menendang pundak si keriting yang duduk di kursi pinggir.

STRONT !!!!!”

DUGH !

Akibat tendanganku si keriting terjungkal dari tempat duduknya dan terguling  di pasir. Xavi juga melakukan serangan serupa. Setelah menapakkan kaki di atas meja, ia menerjang sambil menekuk lutut kanan sehingga telak mengenai wajah si pirang, yang terjatuh terdorong ke belakang. Wuih jurus muay-thai Xavi keluar ! Udah mirip sama Tony Jaa!

PRANK !

“Arrghhh!!”

Aku menengok ke belakang dan melihat si negro berteriak keras saat wajahnya memerah karena darah mengalir dari atas kepalanya. Di belakangnya Zen tersenyum sambil memegang botol bir yang di pegang lehernya. Sialan juga si Zen, udah aku bilang jangan bertindak di luar batas ! Aku segera menyambar botol yang di pegang Zen sehingga bisa kurebut dan aku buang jauh-jauh.

“KONTROL ZEN!!” aku berteriak ke arah Zen yang hanya tersenyum tipis. Zen kemudian menjambak rambut si negro dan di hantamkan ke atas meja beberapa kali dan di akhiri tendangan ke samping kepalanya hingga si negro terlempar dari kursinya, terjerembap di pasir.

Keributan yang kami timbulkan tentu saja menimbulkan kepanikan para pengunjung. Ada yang berteriak-teriak sambil marah dan mengumpat dengan bahasa masing-masing, tak sedikit yang memilih menyingkir. Reaksi mereka wajar karena di saat mereka tengah asyik ngobrol sambil minum, tiba-tiba saja ada segerombolan orang berwajah lokal menyerang keempat turis seolah tanpa sebab.

Aku sempat melihat sekeliling, ada segerombolan bule yang sepertinya agak mabuk, hendak mendatangi kami, entah mereka bagian dari turis Belanda atau mereka hendak ikut campur mungkin tidak terima ada bule di keroyok orang lokal. Namun Bang Kopet dan orang-orang yang bersama dia langsung berdiri, mendorong menjauh mereka yang mencoba mendekat.

Don’t you dare to interfere, this is a personal matter, none of your businees, so just get the fuck out!” Hardik Bang Kopet.

What kind personal matter?? This spoiled brads attacking peoples in public area!” salah seorang bule komplain.

That four guy, insulted our nation and disturb our party. If you understand Dutch language, you will understand what i mean if you saw this video, Bang Kopet lalu menunjukkan ponselnya ke para bule.

Oke, i’m from England but i understand what thay Douchebag say about your country. It was so rude. So this is none of our business then,” kata Si bule setelah selesai melihat video, mungkin video keributan berbalas makian di villa tadi.

Thank you mate,” ujar Bang Kopet menyambut jabat tangan dari si bule dari Inggris yang menaruh respek kepada kami. Si bule tersebut kemudian meminta temannya untuk tidak ikut campur. Fiuh syukurlah, jadi kami bisa konsen menghadapi empat bedebah londo ini.

SON OF A BITCH !” umpat si keriting yang sudah berdiri dan nampak marah. Ia melihat ke sekeliling dimana ketiga temannya juga di serang dan lantas terlibat perkelahian dengan Yosi, Xavi dan Zen. Aku memasang kewaspadaan tinggi jadi aku tidak sempat untuk memperhatikan ketiga temanku. Karena ini lawanku gede banget !

“I’M GONNA FUCKING KILL YOU BOI !”

Si keriting menyerangku dengan membabi-buta, nafasnya agak terengah-engah di tambah dengan kondisi yang sudah teler, membuatku bisa menghindari pukulannya yang terkesan ngawur. Ia terjerembap ke pasir saat aku jegal kakinya. Orang-orang yang menonton lalu mentertawakannya. Asli aku rada takut ketika si keriting mengusap mukanya yang penuh dengan pasir, tatapan matanya berubah. Ia tertawa menyeringai. Aku gak boleh main-main, kepalan tangan si bule gede banget. Entah apa aku masih bertahan, tidak pingsan jika terkena bogem mentah darinya. Aku pun bersiaga dengan mengangkat kedua kepalan tangan.

Si keriting menerjang dengan kecepatan  yang sama, tapi pandangan mataku langsung kabur ! Sialanm si keriting melempar sejumlah pasir ke mukaku! Gawat....

Aku terjengkang dan terguling hingga ke pantai saat aku di pukul di bagian muka. Meskipun rasanya seperti kena bola sepak yang kena muka, tapi aku bersyukur karena reflek aku menutup muka dengan kedua tangan jadi tidak kena secara frontal. Aku basah kuyup dan gelagepan karena deburan ombak mengenai muka. Secepat mungkin aku mengusap mukaku yang di lempar pasir dengan air luat. Bunyi dan aura seseorang yang berlari ke arahku, terdengar jelas menimbulkan kecipak dan percikan, karena penglihatanku belum pulih karena ada pasir yang masuk ke mata. Aku menghindar dengan berguling ke samping dan kemudian berlari ke samping. Mencoba mengulur waktu agar penglihatanku pulih.

Saat penglihatanku pulih, hal pertama yang kulihat adalah satu kepalan tangan meluncur ke arahku bak roket ! Aku bisa selamat dengan cara merendahkan pinggang dan menunduk!

SWINGGGGG !!

Bunyi pukulan membelah udara terasa sangat dekat sekali! Instingku yang terlatih, menyelamatkanku dari bahaya ! Telat sepersekian detik, aku pasti knock-out dan hal berikutnya bisa saja lebih berbahaya. Mungkin karena terkejut aku masih bisa menghindar denga cara menunduk, badan si keriting seakan mematung, tangannya masih terentang lurus. Pada saat itulah aku mencium kesempatan ! aku hantam perut tepat di ulu hati dengan tangan kanan lalu tangan kiri mencium kesempatan dengan menghantam ketiak atau armpit si keriting yang terbuka.

BUGH ! BUGH !!

Si keriting mengaduh kesakitan. Kesempatan untuk mengakhiri perkelahian ! Kupukul rahangnya dengan sebuah uppercut kanan. Kepalanya tersentak ke atas, namun ia berdiri tegak. Kupukul lagi perutnya dua kali secara beruntun, namun masih belum juga roboh.

Saat kutatap kedua bola matanya yang agak kebiruan, ia malah tersenyum dan mencoba mendekatiku. Reflek aku mundur.

Bastaard..uhukk,” tanpa kuduga, baru juga ia maju selangkah, ia muntah darah lalu terhuyung dan akhirnya ambruk tepat di hadapanku dengan posisi tertelungkup. Wajahnya timbul tenggelam oleh pasang surut ombak. Kupegang satu tangannya dan kuseret menjauh dari pantai menggunakan dua tangan karena berat sekali badannya, agar ia tidak mati di sini. Aku ngos-ngosan dan terduduk di sampingnya. Baju dan celanaku basah kuyup karena berkelahi di pinggir pantai. Aku menoleh ke belakang dan aku lihat Yosi sedang duduk di kursi sementara si botak terkapar tertelungkup tidak jauh darinya. Yosi tersenyum memamerkan bagian dalam mulutnya yang berdarah. Xavi? Dia malah sedang selfie sambil menduduki punggung si pirang. Ia tidak terluka sama sekali. Good! Zen ? Dimana dia?

Ternyata Zen masih belum selesai, lebih tepatnya belum selesai menyiksa si negro. Saat si negro mencoba berdiri berpegangan di meja, Zen mengambil kursi kayu lalu ia lemparkan ke arah si negro dan mengenai badannya. Saat terlentang itulah, Zen langsung menduduki dada si Negro yang kemudian secara membabi-buta memukuli wajah Si Negro yang sepertinya pingsan setelah kena lemparan kursi. Zen baru berhenti memukul saat Bang Kopet menahan kepalan tangan Zen dan memintanya untuk berhenti.“Kita cuma kasih pelajaran ke mereka orang, bukan buat bunuh orang,” ucap Bang Kopet.

Zen mengibaskan pegangan tangan Bang Kopet lalu menjauh sambil menyulut rokok. Aku baru ngeh kalau Zen bibirnya berdarah saat ia berdiri di dekat obor yang menjadi penerangan di tempat ini. Bang Kopet menghampiri Zen dan mereka terlibat pembicaraan yang cukup serius. Aku memberikan kode ke Yosi dan Xavi untuk memberikan waktu keduanya untk berbicara. Zen hanya merokok sambil menatap ke atas saat Bang Kopet bicara. Mungkin karena sebal melihat Zen yang cuek, Bang Kopet lalu memanggil kami bertiga untuk berkumpul.

“Kalian tangguh juga haha. Bajingan. Oke, kalian sudah memberikan mereka sesuatu yang akan terus mereka berempat ingat. Sekarang, kalian kembali ke Villa dan beristirahat. Selanjutnya gue yang akan urus mereka. Mereka akan gue bawa balik ke Lombok besok pagi. Tagihan kerusakan akan gue infokan besok.”

Kami pun mengangguk. Zen berjalan paling depan di susul Yosi dan Xavi. Saat aku juga ingin menyusul mereka, Bang Kopet memegang pundak gue.

“Elo harus awasin Zen, dia akan jadi teman yang sukar untuk dikendalikan,” ujar Bang Kopet.

“Iya Bang, aku ngerti.”

“Selama dia masih menaruh respek sama elo, kalian akan baik-baik saja.”

Aku mengangguk saja.

“Dah, elo pulang dan istirahat. Jaga teman-teman lo agar jangan terlibat keributan lagi si sini. Kalian kan mau liburan, senang-senang, bukan untuk cari masalah.”

“Iya bang, makasih banyak, maaf merepotkan.”

Fiuh, hari yang benar-benar menguras fisik dan emosi.

***

Keesokan harinya, kami berempat bangun kesiangan dan mendapati para cewek sudah jalan-jalan sendiri. Gila, badan baru berasa sakit. Jujur saja, hari ini aku ingin di villa saja tetapi memaksa kami untuk ikut. Saat kami sarapan yang kesiangan karena jam 10an baru makan, kami sarapan sambil membahas soal semalam.

“Kita sepertinya beruntung ya, londo bangsat itu sudah teler berat. Gue malah ragu, mereka tepar kalah karena efek minuman atau efek serangan, hahaha,” ujar Yosi.

“Iya benar, gue kena sekali untung gue sempat blok tipis-tipis, malah sempat kena banting sampai ke pantai. Teler aja tahan pukul, apalagi kalau sadar.” aku mengamini perkataan Yosi.

“Makanya, tapi untung dah mereka teler, gue bisa praktekkin ninju ketek orang hahaha. Langsung lemes tangan si botak cuy, bukan hanya lemas, tapi ada efek ke badan, karena serangan berikutnya si botak tumbang juga.”

“Gue malah belum sempat praktek oi, si pirang lemah, gue kasih low kick ke paha, middle kick ke ulu hati terakhir gue sikat pake siku, tepar dia...” ujar Xavi sambil membusungkan dada.

“Anjir, sombong benar lo. Zen, si negro kek nya alot juga tuh. Tapi parah juga lho ya, elo hajar terus padahal si negro uda pingsan. Itu kalau di UFC, kalau lawan udah pingsan tapi masih lo hantam tanpa ragu, bisa kena diskualifikasi tuh.”

“Kan semalam real fight, bukan UFC Yos. Kalau bukan gue yang hantam dia sampai mukanya berdarah-darah, ya pasti gue yang di hajar sampai mati sama si negro...” Zen menjawab dengan santai sembari memakan omelete telur dengan saus sambal.

Sebelum hawanya percakapan mengarah ke yang tidak menyenangkan, aku lalu mengalihkan pembicaraan dengan berkata, enaknya hari ini tidur atau malas-malasan di villa sambil ngopi.

“Yang gak ikut, gak boleh stay di villa, cari penginapan sendiri...” ancam Xavi.

“Memang mau kemana kita? Keliling pulau? Kan udah kemarin,” Yosi sepertinya sama sepertiku, lagi malas mau jalan-jalan.

“Kita ke pulau sebelah, Gili Meno. Bukan hanya kesana, tetapi kita menginap semalam di sana. Vinia tadi gue telepon, dia lagi sama cewek-cewek sedang belanja suvenir dan semacamnya, bentar lagi mereka sampai. Pokoknya begitu para cewek datang, kalian bawa baju peralatan secukupnya terus kita cuss berangkat.”

Oke, sepertinya acara tidur seharian batal. Tak lama setelah menyelesaikan acara makan, para cewek datang jadi kami semua lantas bersiap membawa tas, baju ganti dan peralatan pribadi masing-masing. Tepat jam 11 kami naik speedboat yang di bawa sama Bang Kopet menuju Gili Meno. Patung di dasar laut kemarin kalau gak salah, ada di wilayah perairan Gili Meno, membayangkan keindahan biota laut di sana membuatku jadi semangat. Sesampai di sana, kami langsung di suguhi pemandangan yang menggugah selera para pria.

Cewek-cewek bule berambut pirang berbikini sedang berjemur di pinggi pantai, seksi-seksi dan cakep pula.

“Mata woi mata,” sindir Vinia.

Kami nyengir saja sih kena sindir Vinia

Di sini tidak semeriah dan seramai di Gili Trawangan, bahkan jauh lebih tenang. Keberadaan hutan bakau membuat Gili Meno terlihat damai buatku. View ke arah pantai dan Gili Trawangan di bawah langit biru dan pasir putih tidak kalah mempesonanya. Setelah mengantar kami, Bang Kopet balik ke Gili Trawangan. Xavi lalu mengajak kami menuju satu hotel yang berada di tepi pantai.


“Mahamaya.”

Aku bergumam membaca papan nama hotel yang di depannya persis ada semacam gubug untuk kami berteduh menunggu Xavi yang seperti biasa membereskan semua akomodasi. Di pelataran hotel sudah ada meja kursi warna putih yang tertata rapi, di atasnya ada jaring untuk menahan panas.

 
Saat kami menunggu Xavi sambil foto-foto, Xavi lalu keluar dari lobi dan meminta kami berkumpul sebentar.

“Begini guys, awalnya kan gue udah booking Empat kamar. Satu kamar untuk dua orang. Namun saat gue cek, ternyata barusan ada tamu yang check-out jadi selain Empat kamar yang udah gue booking di awal, ada tambahan satu kamar lagi. Jadi total ada Lima kamar. Ehm, gimana ya, maksud gue....kan di sini tiga pasangan yah...anu...ehmm..” Xavi malah salah tingkah dan terbata-bata ngomongnya.

Kami malah jadi bingung melihat Xavi bingung.

“Kenapa sih lo? Aneh?”

“Gue paham. Biar gue jelasin kalau elo ngrasa sungkan,” sela Zen tiba-tiba.

“Dari kita berdelapan ada tiga pasangan, kecuali gue dan Vinia. Jadi yang berpasangan dapat satu kamar sehingga total dapat tiga kamar. Dua kamar lain buat gue dan Vinia. Gitu kan?Santai gue gak keberatan, ” terang Zen.

Xavi nyengir saja.

“Ya gitu guys, yang mau gue omongin. Jujur saja, di tempat seindah ini, yang datang sama pacarnya pasti ingin quality time. Gue dengan Asha, Yandi dengan Dita dan Yosi dengan Dea.”

“Ngerti gue sekarang. Ya ampun gitu aja lo sok malu-malu. Yadah tambah satu kamar lagi deh. Jomblo kek gue dan Zen memang mesti siap resiko jadi nyamuk nge-trip bareng yang punya pacar, timpal Vinia.

Ya setelah ada kesepakatan, akhirnya kami menempati 5 kamar. Aku sekamar dengan Dita, Yosi sekamar dengan Dea, Xavi sekamar dengan Asha. Sementara Zen dan Vinia masing-masing dapat 1 kamar sendiri-sendiri. Aku gak gimana gitu sebenarnya terutama sama Vinia. Dia berlagak sok cool, tapi aku tahu benar, dia pasti jealous dan mungkin membayangkan ia datang ke tempat seindah ini bareng dengan Axel. Setelah dapat kunci tiap kamar, kami masuk ke bagian dalam hotel yang ternyata terdapat kolam renang yang di pinggirnya ada payung-payung besar lengkap dengan bantalan duduk berwarna biru.


Keren!

Setelah menaruh tas kami lalu berkumpul kembali di lobi karena agenda berikutnya adalah snorkling. Dari hotel rupanya kami mendapat pinjaman gratis peralatan snorkling. Xavi rupanya menyewa kapal milik penduduk lokal yang memang menyediakan kapalnya menuju titik-titik snorkling di sekitaran Gil Meno.

“Kita menuju Gili Meno Wall guys,” terang Xavi saat kapal sederhana ini membawa kami  ke satu titik.

“Ini lokasi snorkling favorit gue karena tentu saja sangat indah, di sini terumbu karangnya bak dinding. Dan ada yang lebih spesial, di bawah kita ini ada banyak penyu-penyu liar.”

Aku tidak terkejut karena dari atas kapal, aku bisa melihat beberapa penyu berukuran cukup besar di dasar. Ya ampun bening banget air lautnya. Akhirnya kami pun selama kurang lebih 1 jam bersenang-senang di Gili Meno Wall. Setelah puas, kami kembali ke Gili Meno. Kami berdelapan langsung berbaring begitu saja di hamparan pasir. Udara di sini benar-benar sangat menyegarkan.

“Gosong-gosong dah,” kata Vinia sambil melepas kaos warna hitam yang ia kenakan sehingga hanya mengenakan bikini berwarna cerah. Bukan hanya Vinia, Dita dan Dea juga melepas kaos mereka yang basah sehingga kini ketiganya hanya berbikini.

Aku dan Zen diam saja, menikmati pemandangan para cewek-cewek nan seksi tengah bermain air di tempat yang memiliki pantai terbaik, terindah yang pernah aku kunjungi. AKu menarik nafas kuat-kuat, memasukkan sebanyak mungkin udara segar tanpa polusi di sini. Sekilas aku ingat udara segar yang ada di kampungku, terutama saat aku dan teman-teman kemping di atas bukit. Sangat menyegarkan.

Puas berenang dan berjemur, kami lanjut makan bakar-bakaran ikan seafood di salah satu resto yang berada di pinggir pantai sambil menunggu pemandangan matahari terbenam alias sunset. Pagi tadi aku melihat sunset dan sekarang meihat sunset semagis ini di temani Dita. Luar biasa. Ini lebih dari sekedar romantis, apalagi suasana Gili Meno sepi. Sambil menikmati sunset, Xavi bercerita bahwa Gili Meno ada penduduk lokal tetapi tidak seramai di Gili Trawangan atau Gili Air.

“Cocok buat destinasi honeymoon ya,” celetuk Vinia seolah menyindir kami yang punya pacar.

Xavi tertawa garing. Saat suanasan sudah gelap, lampu penerangan dari tiap penginapan, resto menyala, Xavi mengajak kami kembali ke hotel.

“Ini acaranya bebas, gue uda pesan 4 seat buat dinner, terserah bebas mau pada makan malam jam berapa kalau lapar,” ujar Xavi saat kami berjalan kaki menuju hotel.

“Terus besok gimana? Balik ke Gili Trawangan?” tanya Dea.

“Besok jam 9 kita kumpul di depan hotel, lalu kita eksplore Gili Meno. Kalau jalan kaki paling 90 menit karena luas Gili Meno cuma 3 kilometer, paling kecil di antara 3 Gili. Eh, atau mau naik sepeda aja? Hotel sedia sepeda sih.”

“Sepedaan aja Xav.”

“Oke, tapi kalau mau lihat danau asin kita jalan kaki ya, dekat kok. Lewatin rumah-rumah penduduk lokal, akses jalannya cuma jalan setapak dan gak beraspal.”

“Ada danau di tengah pulau ?” Aku bertanya ke Xavi dan cukup suprise mendengarnya.

“Ada donk. Dah besok pokoknya seru deh.”

“Yan, kita nurut tour guide kita aja deh, hihi,” ujar Dea.

Aku tertawa saja. Saat kami sampai di depan hotel, aku terkesima dengan suasana tempat makan yang berada di pasir putih dekat dengan bibir pantai.





= BERSAMBUNG =

2 comments for "LPH #72"

Post a Comment