LPH #71
Episode 71
Menuju Gili
(POV Yandi)
Setelah kami semua menyantap dessert dan menyelesaikan makan malam, baru Xavi bercerita tentang perubahan rencana keberangkatan ke Gili esok pagi.
“Teman-teman, berdasarkan masukan brilian dari Zen, besok kita gak jadi nyeberang lewat Teluk Kodek tetapi lewat dermaga hotel. Kita check-out jam 12 siang, jadi besok pagi teman-teman bisa nikmatin fasilitas hotel yang lain, mumpung kalian ada di hotel bintang 5.”
“Horeeeeeee!!” kami semua bersorak-gembira mendengarnya.
“Sama satu lagi saran gue, besok kalau bisa bangun jam lima pagi terus nongkrong di sini buat liat sunrise sambik ngopi atau ngeteh. Super duper keren!”
Dita langsung menggamit lenganku. “Yankk, besok bangun pagi jalan-jalan di pantai sambil liat sunrise yaa!”
“Iya, asal kamu bisa bangun pagi.”
“Bisa dong, nanti aku bobo di kamarmu ya, biar gak di tinggal.”
Aku agak kaget karena berarti Dita ingin bobok bareng denganku malam ini.
“Kamu bobo di kamarku, aku bobok di kamarmu, gitu?”
“Ihhh, ya enggak. Aku kangen, kangen bobo sama kamu lagi....” kata Dita pelan sambil menatapku.
Aku tentu saja senang mendengarnya. “Iya.”
“Ya ampun kita ke Gili jam 12 siang? Bisa gosong nih kulit siang-siang ke pantai,” ujar Dea.
Yosi langsung merangkul Dea. “Biar tambah eksotis hehee,”
“Woi, udah pasti kalian mesti siap gosong lho ya. Seminggu di Gili, kita bakal sering panas-panasan kek bule,” ujar Xavi sambil tertawa.
“Gak apa-apa De, gue aja sengaja gak bawa sunblock. Gue pengen nikmatin liburan di pantai tanpa pusing mikirin penampilan haha,” kata Vinia.
“Serius Vin, elo gak bawa sunblock? Siap gosong elo mah ahaha. Kalau Dita, Asha gimana” tanya Dea kepada 2 cewek yang lain.
“Aku sih bawa sunblock De, cuman aku sependapat sama Vinia sih, kalau dikit-dikit pake sunblock kok ya ribet,” jawab Dita.
“That’s my girl ! Toss Dit!” ujar Vinia senang dan mengajak Dita toss. Dita menyambut toss dari Vinia sambil tertawa. Untuk satu alasan, senang rasanya melihat keduanya bisa akrab seperti ini.
“Duo eksotis kalian emang. Sha elo gimana?”
“Ya kalau gue memang gak pake sunblock karena gue bakalan tetap pakai jilbab, baju dan celana panjang meski di pantai De, heeeee.”
“Gak khawatir belang-belang Sha?”
“Biarin, hitung-hitung bukti ke nyokap kalau gue memang pergi ke sini, hihi.”
“Yawdah, besok cewe-cewek gak usah pake sunblock ! Mari membuat kulit kita eksotis!!” ujar Dea.
Kami semua tertawa mendengar obrolan tersebut.
“Xavi, jadinya kita sewa boat dari hotel ya?” aku bertanya kepada Xavi.
“Enggak Yan, gue udah minta ijin dari pihak hotel buat merapatkan speed boat gue di sini besok dan tentu saja di bolehin karena itu memang akses khusus untuk tamu hotel.”
“Wiiihhh gilak, lu punya speed boat Xav?” tanya Yosi.
“Punya Mama. Bukan punya gue,” jawab Xavi santai.
“Anjir, maksud gue ya gitu juga. Eh tapi bukan elo yang bawa speed boat kan? Gue aja masih ngeri kalau elo yang bawa mobil, apalagi lu bawa speedboat, njiir,” kata Yosi.
“Kayaknya Bli Gusti yang bawa tuh speedboat, bener ga?” aku mencoba menebak.
Xavi menggeleng
“Enggak Yan, Bli Gusti cuma nganter sampai sini aja. Dia malah udah balik ke Mataram malam ini. Karena kita gak jadi nyebrang lewat Teluk Kodek.”
“Lhoo, udah pulang Bli Gusti? Foto-foto kita Bukit Malimbu gimana dong?” ujar Dea.
“Tenang De, kameranya udah gue pegang. Aman ! Besok kita di jemput sama Bang Kopet, dia yang bawa speedboat, bukan gue. Puas lo Yos.”
“Syukurlah!” kata Yosi sambil tiba-tiba saja sujud syukur.
“Bangke, segitu nya lo Yos takut banget gue yang bawa speedboat, su’e.”
Kami semua tertawa.
“Bang Kopet? Siapa lagi tuh?”
“Ya dia katakanlah orang kepercayaan Mama buat kelola Villa di Gili Trawangan. Tadi gue udah kontak Bang Kopet dan dia siap merapat jam 12 tepat di sini besok.”
“Keren emang EO andalan gue yang satu ini !” Vinia spontan merangkul Xavi.
“Ya iya dong, pokoknya sama gue, kalian semua akan dapat first class experience selama liburan sama gue. Cheers dong!” Xavi mengangkat gelas minumannya yang berisi wine. Cuma aku dan Asha yang diam karena kami berdua minum teh saja, sementara Dita dan yang lain minum Wine. Aku agak heran juga saat Dita mau ikut minum Wine. Xavi sempat membujukku untuk mengicip wine, gak bikin mabuk, katanya. Tapi aku tetap menolak sama dengan Asha.
“Eh, kalian berdua kok diam, angkat gelasnya, kita bersulang, gak apa-apa meski isinya teh haha,” kata Xavi.
Aku dan Asha pun akhirnya ikut mengangkat gelas dan bersulang. Selanjutnya, setelah makan malam selesai, Xavi membebaskan kami untuk menghabiskan waktu. Xavi dan Asha sepertinya melanjutkan minum di Paviliun karena angin dan cuaca semakin dingin. Sementara Yosi dengan Dea pindah tempat duduk di pinggiran kolam renang sambil menenteng gelas berisi wine. Sementara Zen dan Vinia rupanya pergi ke dermaga untuk merokok dan sesekali kulihat mereka mengobrol sambil di selingi tawa. Sekarang tinggal aku dan Dita saja yang masih duduk di sini. Menghabiskan waktu bercerita sepanjang malam.
***
Tepat jam 12 siang, sebuah speedboat merapat di dermaga hotel. Setelah berhenti dan menambatkan tali, seorang pria mungkin berusia 40 tahunan berbadan agak gemuk, mengenakan kacamata dan topi baseball warna coklat yang dipakai terbalik turun dari speedboat dan menghampiri kami semua yang sudah siap untuk berangkat.
“Halo selamat siang Mas Xavier, halo semuanya, saya Dian,” sapa orang tersebut ramah, setelah menghampiri dan menyalami Xavi terlebih dahulu, baru ia bersalaman dengan kami semua.
“Panggil saja beliau Bang Kopet guys, mantan playboy penakluk gadis-gadis muda penghuni kosan semasa mudanya di Jogja, hahaha,” kata Xavi.
Kami semua tertawa mendengarnya.
“Aish, bukan playboy cuma rajin sebar brosur aja kok,”
“Sebar brosur apaan bang?” tanya Yosi.
“Brosur isi biodata + nomor telepon di sertai keterangan. Jomblo? Minat? PING!”
“Njieerrrr.”
Suasana jadi tambah menyenangkan karena Bang Kopet orangnya humoris, beda dengan Bli Gusti yang agak pendiam.
“Ini udah siap semua? Kalau udah, ayok lah naikl. Cuma lima belas menit nyeberang ke Gili Trawangan.”
Kami pun satu persatu naik ke atas speedboat, setelah berpamitan dengan manager The Lombok Lodge, yang juga kenalannya Bang Kopet, Speedboat pun melaju dengan mantap menuju Gili Trawangan !!
Cuacanya cukup panas sebenarnya, tetapi angin laut yang menyejukkan, udara dingin, bau air laut benar-benar membuat kami kegirangan. Dan tak lupa foto-foto di atas speedboat. Kalau lebih suka membidik pemandangan sih, mulai dari The Lombok Lodge yang dari laut, deretan Bukit Malimbu yang mempesona dan tak ketinggalan foto luatan luas dimana banyak juga kapal-kapal lain yang juga berlalu lalang. Pulau Gili Trawangan yang tadinya terlihat kecil, kini semakin dekat. Pepohonan yang rindang di sepanjang pantai, kapal-kapal yang terparkit di sekitaran bibir pantai, hamparan pasir putih, deburan ombak yang kadang tinggi kadang landai, belum lagi ramainya suasana di pelabuhan kecil Gili Trawangan.
“Oke, adik-adik, kita sampai di Gili Trawangan, hati-hati turun dari boat ya,” kata Bang Kopet setelah mematikan mesin. Speedboat berhenti sekitar lima meter dari bibir pantai sehingga kami turun dan langsung basah-basahan. Karena kami semua sudah memakai celana pendek, tas punggung dan sepatu gunung yang bertali, jadi turun di pinggiran pantai bukan masalah buat kami.
Begitu sampai di darat, kami langsung di ajak Bang Kopet menuju ke satu tempat dimana kami bisa istirahat sebentar meminum air kelapa yang sangat menyegarkan sambil duduk di kursi kayu pinggir pantai menikmati suasana Gili Trawangan yang ramai dengan iringan suara deburan ombak serta angin yang cukup kencang. Di sini kami jelas langsung mengeluarkan ponsel untuk membidik pemandangan yang begitu indah ini, hawanya panas sih tetapi kami semua siap untuk kepanasan alias menghitamkan kulit sesuai kesepakatan gak usah pakai sun block segala.
Aku langsung mengajak Dita untuk berfoto selfie yang menggelendot manja kepadaku terus. Aku bahagia melihat ia tertawa senang dan sejauh ini menikmati perjalanan serta berbaur dengan teman-teman yang lain. Kami berdelapan begitu cair deh, bahkan Zen yang paling pelit senyum saja beberapa kali aku lihat tertawa lebar. Kami semua memang membutuhkan liburan ini.
“Woi cepetan habisin air kelapanya, kita mau snorkling nih bentar lagi!” teriak Xavi yang duduk-duduk di kursi dekat denganku, membuatku berhenti melamun tentang kejadian pagi tadi. Fiuh, seks memang luar biasa. Aku senang karena pengalaman pertamaku dengan Dita terjadi dengan penuh kesadaran, berlangsung lembut dan sangat romantis, tidak hanya di landasi nafsu semata.
“Wah langsung snorkling kita?” aku bertanya.
“Iya, keburu ramai ntar Yan.”
“Haha, pada gak ada yang dengarin omonganmu Xav,” kataku geli.
“Iya nih, buset pada kalap gini. Zen aja yang biasanya anteng udah beraksi dari tadi foto-foto pakai kamera ponselnya.”
“Yadah santai saja, gak usah buru-buru,” aku memberikan saran kepada Xavi.
Aku melihat Zen memang sedari tadi membidikkan kamera ponselnya, sementara Yosi dan Dea asik selfie, sementara Dita, Asha, Vinia juga sedang asik wefie dan bergantian saling foto dengan berbagai macam pose. Semuanya terlihat senang dan enjoy.
“Makasih banget ya bro,” kataku ke arah Xavi yang sedang menyeruput air kelapa hijau.
“Ada apa Yan tiba-tiba bilang makasih?”
“Makasih karena udah ngajak kita-kita liburan ke sini yang yah boleh dibilang cuma bawa badan saja, karena semuanya kamu yang ngatur.”
Xavi hanya tersenyum kecil.
“Gue udah pernah berada di posisi dimana apapun permintaan gue selalu di turuti oleh Mama selama gue ranking 1, termasuk permintaan ke Mama untuk bangun Villa di sini ketika gue lulus SD karena gue menyukai berada di pulai kecil ini karena udah bosan liburan ke Villa di Uluwatu Bali. 1 tahun kemudian Villa tersebut jadi dan gue benar-benar gembira saat Mama membawa gue liburan ke sini. Tapi beberapa hari kemudian, gue bosan dan sedih. Hampa.”
“Kenapa?”
“Gue menikmati kemewahan ini sendirian, gue hampir gak punya teman. Buat apa gue punya istana sekalipun tetapi gue hidup sendirian di dalamnya? Hampa. Gue beda dengan kalian bertiga yang sepertinya bajingan sedari dulu. Gue cupu, sering di manfaatkan teman sendiri. Tapi ketika gue kenal dengan kalian, hidup gue berubah ke arah tak terduga, ke arah yang sangat positif. Kadang gue mikir, apa gue mesti berterimakasih ke Leo, Sigit dan Bembi, karena berkat mereka, turning point hidup gue di mulai dari situ. Setahun terakhir ini adalah the best moment of my life ! Karena bisa ikut tawuran, belajar muay-thai, belajar disiplin dan tempaan fisik dari Maya, bisa belajar main drum, drum yang sebenarnya dan main musik sama kalian dan gue bisa jadian dengan cewek yang benar-benar tulus sayang sama gue tanpa memperdulikan latar belakang gue. Yang terpenting, gue bisa mendapatkan empat sahabat terbaik, sahabat gue dunia akhirat lah.”
Suasana langsung jadi agak mellow tapi aku mengerti dan paham benar maksud perkataan Xavi. Aku merangkul pundak Xavi. “Kamu pantas mendapatkan itu semua bro.”
Xavi mengusap matanya yang kelihatan berkaca-kaca. “Gue gak nangis, gue kelilipan pasir.”
“Hahaha, gak usah malu. Kita laki-laki juga manusia biasa, ada kalanya membiarkan air mata tumpah itu jauh lebih baik daripada menahan dan terus berpura-pura bersikap kuat. Yang penting setelah kita selesai nangis, kita bisa mendapatkan kekuatan baru untuk melanjutkan kehidupan apapun yang ada di depan kita.”
“Elo sering nangis Yan?”
“Aku dulu di kampung, nakal luar biasa. Dan aku gak pernah menangis dalam situasi apapun. Bahkan saat nenek dan kakekku meninggal pun, aku cuma sedih tapi gak bisa keluar air mata, sekeras apapun aku mencoba untuk menangis. Gue baru bisa menangis saat sadar, kedua orang tuaku meninggal karena bencana tanah longsor, yang pernah aku ceritakan ke kalian. Itu rasanya bendungan air mata di dalam diriku benar-benar tumpah tak terkendali.”
Aku jadi ikut tercekat sendiri saat menceritakan hal tersebut, momen paling mengguncangkan dalam hidupku, yang merubah hidupku untuk selamanya tanpa ada peringatan apapun sebelumnya. Termasuk menimbulkan ketakutan, trauma akan hujan deras di sertai petir menggelegar.
“Buset, kita lagi liburan malah jadi mellow gini,” aku memotong pembicaraan yang cukup menyedihkan.
Xavi kemudian berdiri di depanku dan bilang. “Sebanyak apapun harta, uang yang gue peroleh dari orang tua gue, takkan ada artinya kalau gue gak punya kalian semua. Jadi gue akan membagi kemewahan atau apapun yang gue punya untuk kalian semua !” Xavi mengulurkan tangannya, mengajakku untuk berdiri.
Aku tertawa dan menyambut uluran tangannya. “Elu sahabat gue nomor satu Yan ! Elo orang paling berjasa dalam hidup gue, tanpa elo hari itu yang menolong gue, mungkin gue udah bunuh diri akibat kesepian dan depresi.”
“Sama-sama. Yadah yuk, snorkling ! Gak tahan aku pengen segara berenang dan menyelam di lautan biru yang begini indah nampak di depan mata!”
Kami lalu menghampiri teman-teman yang lain untuk berkumpul dan bersiap untuk snorkling. Semua barang bawaan tas, termasuk di simpan di boat. Bang Kopet lalu membagi-bagikan peralatan untuk snorkling yakni jaket sepatu katak, jaket pelampung dan kacamata khusus selam yang di lengkapi selang pernafasan. Setelah memberikan briefing singkat cara bernafas menggunakan masker snorkling kami langsung menuju boat. Di dalam boat, kami sempat foto-foto menggunakan masker ini karena wajah jadi kelihatan lucu, apalagi sambil mengemut selang pernafasan melai mulut, wajah jadi semakin aneh! Dari kami berdelapan semuanya bisa berenang sih, jadi acara snorkling pasti jadi lebih seru ! “Jaket pelampung di pakai hanya awalan saja,” kata Bang Kopet.
“Kalau udah kecelup air dan pengen nyelam, bisa di lepas. Kita menuju Gili Meno yang pemandangan bawah lautnya paling ajib dan nanti ada kejutan buat kalian di bawah sana,” lanjutnya.
Perkataan Bang Kopet membuat kami makin bersemangat. Tak lama kemudian boat berhenti di satu titik dan kami pun langsung meloncat terjun ke laut. Kami semua langsung terpesona dengan keindahan bawah laut karena nampak jernih sekali,kami bisa melihat ikan-ikan yang cantik berseliweran di antara terumbu karang yang masih alami. Tentu saja acara snorkling gak lengkap tanpa sesi foto-foto.
Bang Kopet membidikkan kamera digitalnya kepada kami semua yang langsung bergaya dengan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. Lalu Bang Kopet menunjukkan satu titik dimana kami bisa berdiri di atas karang yang tingginya hampir selevel dengan permukaan air laut. Satu persatu kami berfoto bergaya berdiri di atas karang tersebut sementara yang lainnya mengapung di sekitarnya sehingga seperrti orang berdiri di atas laut haha.
Bang Kopet lalu meminta kami naik untuk di ajak pindah ke spot lain. Di atas boat kami melepas sejenak masker yang sangat ketat sekali di muka, ya wajar sih itu untuk mencegah air laut masuk ke dalam bagian kacamata maskernya. Kami semua juga melepas jaket pelampung. Boat lalu menuju ke satu titik dimana di sekitarnya ternyata sudah ada beberapa kapal. Pasti ada sesuatu di dasar air karena ramai sekali. Bang Kopet meminta kami untuk menunggu 1-2 grup yang naik kapal untuk naik dan pergi.
Setelah hanya tersisa satu kapal, baru kami terjun di laut. Awalnya aku tidak bisa melihat sesuatu yang spesial di bawah. Sampai akhirnya aku kaget karena melihat deratan manusia berpasangan berdiri membentuk lingkaran di dasar laut ! Aku ngeri dan butuh beberapa saat untuk mencerna bahwa yang aku lihat tersebut adalah patung! Aku pun menyelam mendekati patung-patung tersebut. Ukiran di wajah tiap patung juga sangat nyata dan detail. Ternyata ada patung manusia lagi yang berbaring telentang mengitari patung yang berdiri. Pemandangan dari dasar sini sungguh luar biasa indah ! Keberadaan beberapa ikan berwarna-warni yang cukup berani berenang di antara patung-patung dan penyelam melengkapi semuanya. Refleksi sinar matahari yang menembus air laut menciptakan keindahan tersendiri, ini kejutan yang sangat menyenangkan dan tak terduga, ada patung sekeren di sini.
Aku dan teman yang lain menyudahi berenang mengitari patung-patung ini saat ada serombongan penyelam juga turun. Untuk memberikan kesempatan para penyelam tersebut untuk menikmati keindahan yang langka di sini. Kami semua kembali di boat dan Xavi memutuskan untuk menyudahi snorkling kali ini. Sepanjang perjalanan kembali ke Gili, Bang Kopet menjelaskan tentang 48 patung manusia yang kami lihat di dasar laut. Patung tersebut bukan hanya untuk hiasan belaka, tetapi untuk mengembang-biakkan terumbu karang. Wah keren sekali tujuannya.
Sampai di dermaga Gili Trawangan. Kami lalu membawa tas berisi baju ganti dan membilas di salah satu tempat bilas umum yang tersedia banyak di sepanjang pinggir Gili Trawangan. Segar rasanya bisa mandi air dingin yang menyegarkan di sini. Setelah semuanya selesai bilas, kami mengikuti Xavi dan Bang Kopet menuju Villa.
“Villa gue ada di tengah pulau, karena bakalan gak bisa tidur buat orang yang kalau tidur menuntut suasana tenang, karena sepanjang malam nonstop, full hiburan malam di kawasan ini sampai pagi,” terang Xavi.
Justru malah menyenangkan bisa jalan-jalan dulu melihat suasana kawasan Gili Trawangan yang di dominasi turis asing yang yah banyak yang hanya memakai bikini dan baju minim-minim gitu lah. Aneka toko, hotel, bungalow, cafe, minimarket berjajar. Luar biasa ramai. Beberapa kali rombongan kami mesti menepi saat ada dokar yang di tarik kuda lewat, namun roda yang di gunakan agak berbeda di banding dokar yang aku tahu. Xavi memberitahu kalau itu sebutannya cidomo. Perbedaan dengan dokar dengan cidomo hanya di bagian ban. Cidomo menggunakan roda mobil bekas. Bau kotoran kuda juga lumayan tercium tapi gak masalah sih buatku.
Selain cidomo, para pengendara sepeda juga berseliweran. Wah enak nih keliling Gili Trawangan sambil naik sepeda. Dari pemandangan bungalow, villa, hotel mewah, restor, cafe mewah, pemandangan agak berubah saat kami masuk ke dalam gang. Rumah-rumah atau toko yang menjual aneka souvenir kini yang mendominasi sepanjang jalan. Setelah 10 menit berjalan, rumah-rumah mulai jarang dan kini full perkebunan pohon-pohon kelapa di kiri kanan. Aku dan Dita menikmati apa saja pemandangan yang ada di sini, termasuk saat melihat sepasang bule sedang berciuman di sepanjang jalan.
Saking menikmatinya pemandangan dan udara segar, tanpa terasa kami sudah berada di pelataran Villa.
“Anjing.....ini villa elo Xav? gilaaaaaaak! Bagus banget!!!” komentar Yosi.
“Selamat datang di Villa Luna, villa milik gue tempat kita menginap di Gili selama lima hari ke depan. Anggap saja rumah sendiri kawan,” terang Xavi.
“Anjir rumah sendiri, gak mungkin gue bakal punya villa kek gini di Gili Trawangan.”
“Ayok gue ajak keliling tentang Villa ini. Sebenarnya ini Villa kalau gak gue atau Mama pakai, di sewakan untuk umum. Villa Luna namanya. Dan Bang Kopet manager di sini. Dia yang urus semuanya. Bang Kopet juga yang akan meng-entertain kita dengan service selayaknya tamu.”
“Siap mas, pokoknya kalau ada apapun yang kalian butuhkan bilang ke saya. Kalau ada peribahasa tamu adalah raja, kalau yang datang Mas Xavi dan teman-temannya, ini levelnya sudah Sultan Arab juragan emas, haha. Oia mas-mbak, saya tinggal bentar ya, mau prepare buat bakar-bakarannya. Di dapur, Chef Adi sedang bersiap untuk menyiapkan makanan, karena kalian pasti lapar setelah snorkling.” kata Bang Kopet ramah lalu pergi.
“Ah Chef Adi? Bentar ya guys,” kata Xavi lalu menuju belakang. Tak lama kemudian Xavi berjalan bersama seorang pemuda yang mengenakan kaos dan celana jeans serba hitam. Dari kedua lengannya nampak penuh tato. Rambutnya tersisir klimis ke belakang.
Kami lalu berkenalan dengan Chef Ardi dan kemudian kami di tanya ingin di siapkan makanan apa,
“Chef Ardi ini spesialis masakan Italia lho, meskipun dia juga mahir di masakan western dan local. Tapi masak iya ada Chef ahli membuat spaghetti, kalian minta di buatin sayur asem, haha.Kalian semua doyan spaghetti Carbonara ? karena menurut gue ini jam makan yang tanggung, kita makan spaghetti udah pasti lumayan kenyang kok. Gimana?”
Kami bertujuh pun ngikut saran Xavi sih, kan dia tuan rumah yang punya Villa, dia pasti tahu yang terbaik. Setelah mencatat minuman pesanan kami, Chef Ardi langsung kembalu ke dapur untuk menyiapkan delapan porsi piring Spaghetii Carbonara.
“Sambil nunggu makanan siap, kita keliling Villa bentar ya.”
“Eh Xav,tadi Bang Kopet bilang mau ada acara Bakar-bakaran, itu maksudnya bakar apa Xav?” tanya Vinia.
“Kita barbeque’an di sini nanti malam, pesta kecil-kecilan lah, pelataran villa gue segede gini, mubazir kalau gak bikin pesta, pokokknya semua makanan dan minunan enak ada di sini semua deh.”
Villa Luna ini memang gede banget sih halaman berpasirnya. Ada kolam renang yang luar biasa jernih. Di sekitar kolam renang juga terdapat banyak kursi panjang maupun kursi malas yang bisa di pakai buat baring-baring. Di antara pohon kelapa dengan pagar juga terdapat hammock.
Villa ini lebih mirip seperti pendopo besar yang terbuka dari segala sisi, mirip bangunan Joglo karena semua rangka maupun penopangnya terbuat dari bahan kayu berkualitas. Di bagian bawah ada semacam minibar dan kursi-kursi santai, pas buat nongkrong sambil minum kopi.
“Guys, di sini cuma ada 4 kamar ukuran king size. Di bawah dua kamar dan di atas dua kamar. Satu kamar bisa dua orang. Gue, Yandi, Xavi dan Zen akan menempati kamar di bawah. Yang cewek di atas.”
Xavi lalu menunjukkan dua kamar untuk cowok yang ada di belakang minibar dan dua kamar ini saling berhadapan satu sama lain.
Kamar ini terlihat sederhana tanpa ada TV seperti kamar hotel mewah kebanyakan.
“Jangan nyari remote AC dan TV ya, percayalah kalian gak akan butuh kamar ber-AC kalau nginap di sini karena konsep villa ini udah based eco-friendly jadi suhu udara di kamar bakalan sejuk. Dan ngapain juga kalian nonton berdiam diri di kamar sambil nonton TV sementara beragam hiburan ada di depan mata,” terang Xavi.
“Yan, lu sekamar sama gue yak di sini!” pinta Yosi tiba-tiba dan aku iyakan karena aku bebas sih mau sekamar dengan siapa saja.
“Joss,” aku dan Yosi langsung menaruh tas di kamar ini.
Saat kami melihat ke bagian kamar mandi, kami semua terpukau, karena outdoor !!
“Luas banget, kamar gue kalah gede oi sama kamar mandinya doang,” celoteh Vinia.“udah kalah gede, kalah cakep pula. Kamar mandi cewek kek gini juga di atas?”
“Iya, semua kamar seperti ini.”
Sebelum lanjut ke lantai dua, Xavi dan Zen menaruh tas mereka di kamar sebelah. Saat naik di lantai dua, di balkon juga terdapat sofa yang terlihat nyaman sekali.
“Ini kamar cewek, gimana cakep gak?” tanya Xavi saat membuka pintu kamar.
“Lucuu bangetttt kamarnyaaaaaaa!” seru Dea. “Dita, elu sekamar sama gue yuk!”
“Oke, aih nyaman banget,” jawab Dita.
Berbeda dengan kamar di bawah yang lebih sederhana, kamar untuk cewek di lantai 2 jauh lebih “hidup” karena ranjangnya yang seperti dipan memilili kelambu, karpet di lantai model batik serta ada kursi terbuat dari anyaman membuat kamar ini memang cocok untuk para cewek. Dan kamar mandinya sama persis dengan yang ada di bawah. Pemandangan dari depan kamar cewek juga menyenangkan.
“Oke, berarti Vinia sekamar sama Asha ya! Vin, jangan di gigit ya kekasih gue yang lutu ini,”
“Ashiaap sultan !!” sahut Vinia sambil hormat.
“Oke guys, ini sudah jam 4 sore, setelah kita selesai makan, silahkan kalau ada yang mau tidur, istirahat atau jalan-jalan ke depan sana, atau mau renang, bahkan sepedaan, bebas ! Kalian gak mungkin nyasar kalau mau keliling pake sepeda karena gak sampai sejam kalau keliling pakai sepeda mengitari Gili Trawangan. Sepeda ada delapan di simpan di gudang bawah ya ! Acara bebas pokoknya !” terang Xavi.
“Mana seru sih kalau main sendiri-sendiri. Gini aja Xav, setelah makan kita keliling sepedaan bareng, sekalian foto-foto sambil nunggu sunset. Barbeque’an mo jam berapa?” Tanya Vinia.
“Ya di atas jam 7 sih, jam 8 juga gak apa-apa.”
“Yadah gini aja, selesai sepedaan, acara bebas. Yang penting jam 8 kita mulai barbeque’an. Gimana teman-teman?” Vinia memberikan usul yang sangat bagus menurutku sih. Dan ternyata teman yang lain juga setuju. Selesai menyantap spaghetti carbonara yang paling enak yang pernah aku makan, kami lalu bersiap dengan sepeda kumbang milik Villa Luna.
Acara sepedaan benar-benar menyenangkan ! dengan bersepeda santai, kami bisa sekaligus menikmati sore di pesisir pantai Gili Trawangan. Sesekali kami juga berlomba untuk mengayuh sepeda di jalanan yang berpasir, karena susah loh naik sepeda di jalan berpasir apalagi volume pasirnya lumayan tebal. Sepanjang perjalanan café tempat minum-minuman keras tersedia dan di jual bebas. Dan orang-orang local bak seperti minoritas di sini karena saking dominannya turis asing di Gili Trawangan. Semakin sore, hotel-hotel yang berada di tepian pantai juga sudah bersiap-siap. Kursi-kursi bantalan mulai di gelar di pinggir pantai untuk spot makan malam bagi pengunjung. Tempat ini memang menakjubkan. Xavi kemudian meminta kami untuk berhenti di satu tempat,lebih tepatnya di pantai seberang sebuah hotel, Hotel Ombak Sunset.
“Parkir sepedanya di pinggir saja gak apa-apa. Nah kita tunggu sunset di sini. Di sini spot terkenal yang viral lho, ada yang mau jus jeruk?” terang Xavi.
Aku dan yang lain mengangkat tangan. Haha.
“Itu yang buat spot ini viral yank,” kata Dita sambil menunjuk ke arah pantai.
“Itu? Ayunan yang di pinggir pantai?”
Dita mengangguk.
Aku lihat Dea dan Yosi sudah langsung pose aja di ayunan yang menghadap ke pantai. Awalnya memang terlihat biasa saja sih, apa uniknya sih main ayunan di tepi pantai.
Namun perlahan aku mengetahui keistimewan spot ini.
Ayunan ini jika di foto dengan sudut yang tepat saat matahari terbenam di ufuk barat sana, ternyata mengagumkan sekali. Kemegahan siluet Gunung Agung yang berada tepat di depan mata saat memandang, benar-benar mengesankan.
Kami kemudian bergantian berfoto secara berpasangan di ayunan tersebut sambil duduk di pasir sambil minum jus jeruk. Aku mengecup kepala Dita saat ia menyandarkan kepalanya di pundakku.
Bisa gak sih, hari-hari yang begini indah, damai dan tenang sedari kemarin aku tiba di Lombok, berlangsung selamanya?
= BERSAMBUNG =
Fotonya eksotis bosz...
ReplyDeletejoss gandhoss, liburan kelas sultan mah beda yakk. kayak ga ada batesnya. weleh-weleh. lanjut terus, master. sehat dan sukses selalu. have a good time.
ReplyDeletePremium
ReplyDelete