LPH #66
Episode 66
Akhir Adalah Awal
(pov : Yandi)
“Hiks...Maafin Dita...Dita masih sayang kamu Yank...” kedua tangan yang memelukku terasa semakin erat.
Ini suara Dita!
Aku benar-benar terkejut mendengar suara seseorang yang aku impi-impikan kini sedang memelukku dari belakang.
“Dita?”
“Hikss..”
Gitar segera aku letakkan dan berbalik badan sehingga pelukan Dita terlepas. Aku pegang kedua bahunya dan kulihat baik-baik, apakah ini memang kenyataaan atau aku sedang bermimpi. Kulihat kedua mata Dita sembap karena air mata saat kami saling beradu pandang, yang berdiri di hadapanku sekarang ini memang Dita. Ini kenyataan !!
Aku langsung merengkuh Dita dan memelukknya erat sekali. Dita juga membalas pelukanku tak kalah eratnya.
“Maafkan aku Dit.... aku gak bisa melindungi kamu..”
Dita menangis tersedu-sedu dalam pelukanku. Memeluk dan merasakan air matanya membasahi dadaku membuatku juga tidak mampu menahan perasaan yang kutahan-tahan selama ini, perasaan bersalah, tidak berdaya, lelah dengan semua masalah yang aku hadapi membuatku ikut menangis dengan Dita. Kami berpelukan erat, saling meluapkan kerinduan, kesedihan bercampur menjadi satu dalam tangisan. Kami berdua berbicara dengan bahasa tangisan, karena kami kedua lidah kami sama-sama kelu untuk berbicara.
Setelah tangisan Dita mereda hingga ia hanya terisak-isak, aku memegang kedua pipinya dengan tanganku dan menengadahkan wajahnya menatapku. Matany semakin sembap, matanya merah dan ia terlihat tirus. Aku menyeka pelupuk matanya yang basah. Lalu kucium keningnya.
“Aku sayang kamu Dit. Lebih dari sebelumnya.”
“Aku juga masih sayang kamu Yan. Aku sudah mencoba menjauhi dan membenci kamu tetapi aku gak bisa! Aku gak bisa karena aku tahu apa yang sudah terjadi kepadaku, karena kesalahanku sendiri. Aku sudah egois sama kamu, menyalahkanmu agar aku lega tetapi justru aku semakin tersiksa. Di saat aku sudah semakin putus asa, aku mendengar kamu bernyanyi lantang sekali. Dan pertahananku jebol, aku sudah tidak kuat menahan ini semua. Aku butuh kamu Yan. “
Aku kembali memeluk Dita setelah mendengar perasaaan yang ia pendam ia utarakan kepadaku, aku tahu betapa beratnya menyimpan hal itu sendirian. Aku memeluk sambil mengelus-elus punggungnya. Karena aku tahu benar Dita paling suka aku tenangkan dengan cara seperti ini.
“Hikss...Tetapi apakah kamu masih mau denganku Yan...? Aku kotor, aku sudah di nodai oleh orang lain...hikss.”
Tangisan Dita kembali pecah saat ia menyinggung tentang kehormatannya yang sudah terenggut paksa. Ia sendirian menanggung rasa malu, harga diri yang terkoyak aku bahkan merasa ngeri membayangkan jika Dita yang sudah tidak kuat menanggung itu semua lalu berbuat sesuatu yang khilaf yang bisa membahayakan nyawanya sendiri. Namun melihat Dita kini ada di depanku, aku berjanji akan menjaganya dan menemaninya melewati periode terkelam dalam hidupnya.
“Selama kamu masih mau menerimaku, aku akan menyayangi kamu Dit.Ijinkan aku menjagamu.”
Dita mendongakkan wajahnya dan mengecupku pipiku. “Aku mau kita sama-sama lagi Yan.....”
Aku tersenyum lega sekaligus bahagia.
Setelah kami sudah sama-sama tenang, aku lalu meminta Dita untuk duduk. “Aku ambil air minum dulu. Kasihan kamu nangis terus.”
Dita mengangguk. “Air putih hangat aja ya.”
“Iya.”
Saat aku menuruni tangga, aku melihat Mbak Asih menatapku sambil menyeka air matanya. Ia lalu menghampiri dan memelukku. “Mbak udah tahu semua dek, Mbak Wati cerita semuanya ke Mbak semalam. Tentang Dita, tentang masalahmu di sekolah, semuanya,” kata Mbak Asih sambil mengelusi kepalaku.
Mau tak mau aku jadi mellow lagi. “Maafin Yandi Mbak....”
“Iya, kamu jaga Dita baik-baik, temani Dita. Dia anak baik, cuma kamu yang ia butuhkan agar ia kuat dan menerima dengan ikhlas apa yang sudah terjadi. Bantu dan hibur dia agar bisa segera bangkit.” Mbak Asih menyemangatiku.
“Iya Mbak, Yandi akan menjaga Dita kali ini. Yadah, Yandi mau ambil minum dulu.”
“Dah kamu ke atas gih, temanin Dita. Mbak akan buatin teh madu hangat dan indomie rebus buat kalian. Mbak akan antar ke kamar kalau udah siap.”
Aku tersenyum senang, lega luar biasa. Saat aku hendak kembali ke atas, Mbak Asih berbisik kepadaku.
“Mbak suka kamu jadian sama Dita, Mbak itu sayang sama Dita. Kalau kalian berdua awet seterusnya sampai lulus SMA, Mbak dan Mas Sulis siap untuk menemui orang tua Dita untuk melamarnya.”
Aku terperangah sekaligus terkejut. Sementara Mbak Asih hanya tesenyum simpul lalu ke depan untuk membuatkan makanan dan minuman buatku.
Menikah dengan Dita setelah lulus SMA? Artinya di umur 19 tahun kami menikah. Masih sama-sama muda. Buat orang Kota menikah di umur 19 tahun masih sangat riskan, pernikahan dini. Namun buat orang kampung seperti aku dan Mbak Asih. Sudah hal yang lazim jika sepasang kekasih menikah di usia belia yang belia. Beberapa temanku malah sudah di jodohkan sejak lahir dan ya menikah juga setelah memenuhi syarat umur minimal menikah. Contohnya Mbak Asih yang menikah dengan Mas Sulis tak lama setelah Mbak Asih lulus SMA. Aku tidak bisa membayangkan ekspresi dan respon dari kedua orang tua Dita jika suatu hari nanti Mbak Asih dan Mas Sulis mendatangi keduanya untuk melamar Dita.
Orang tua Dita memang baik dan ramah kepadaku maupun ke Mbak Asih. Namun tetap saja Dita berasal dari keluarga yang kaya raya, berpendidikan tinggi. Apa mereka sudi anak gadis mereka si bungsu di lamar oleh kami dan punya suami orang kampung??
Entahlah.
Jujur saja, kalau di tanya sekarang, aku mau menikah dengan Dita sekarang juga ! Namun ini bukan waktunya untuk memikirkan hal itu. Minimal jika aku dan Dita, seperti yang Mbak Asih sampaikan tadi, bisa awet sampai kami berdua lulus SMA, kita lihat apa yang terjadi nanti. Yang jelas untuk saat ini akan akan lebih memproteksi Dita karena aku memang sayang sama dia. Aku tetap memiliki andil, perasaaan bersalah atas peristiwa yang menimpanya di malam tahun baru.
Saat kembali ke kamar, Dita hanya tersenyum dan mengangguk saat aku bilang Mbak Asih sedang membuatkan kita makanan dan minuman. Aku duduk bersila di lantai, sementara Dita duduk bersila di tempat tidur, aku bertanya kepada Dita dengan malu-malu.
“Dit, kamu gak kaget melihat penampilanku sekarang? Botak gini, belum lagi alisku di cukur abis.”
Dita tertawa lalu menutupi tawanya
“Mbak Wati udah cerita semuanya, semuanya. Termasuk peristiwa pengeroyokan yang menimpamu seminggu yang lalu. Aneh sih liat penampilan kamu sekarang. Tetapi nanti rambut dan alismu pasti tumbuh lagi kok. Semuanya akan kembali normal seperti sedia kala...”
Tiba-tiba Dita tercekat ketika mengucapkan beberapa kata terakhir. Dia pasti teringat, semuanya akan kembali seperti dulu termasuk hubungan kami tetapi tidak dengan status perawannya. Aku mencoba menguatkan Dita dengan menggenggam tangannya dan bilang.
“Semuanya akan baik-baik saja. Aku. Kamu. Kita.”
Saat Mbak Asih naik ke kamar membawa nampan berisi 3 teh madu hangat, 3 mangkuk indomie rebus telur yang masih mengepul dan semangkuk bakwan jagung yang masih panas.
“Gara-gara buatin kalian indomie, Mbak juga jadi pengen makan. Mbak gabung makan di sini ya, gak ganggu kan? Heee?”
“Ya enggak dong Mbakk. Gak apa-apa makan sama kita di sini. Biar lebih seru. Kangen sekali aku makan bareng Mbak Asih dan Yandi,” jawab Dita sambil terseipu malu.
Ini memang sederhana tetapi sudah lebih dari cukup untuk membuatku lapar dan bahagia.
Kata orang bahagia itu sederhana.
Aku setuju. Cukup makan indomie telur rebus bareng Mbak Asih dan Dita, 2 perempuan yang paling aku sayangi lebih dari apapun - selain almarhumah Ibu tentu saja - membuatku sangat bahagia. Suasana ini seolah seperti ruang gelap dalam diriku yang pekat seperti terang benderang.
Iya, semua akan kembali seperti semula.
Masalah terberat yang menggelayuti perasaaanku sudah selesai seiiring dengan kehadiran Dita dalam hidupku lagi. Dan aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Beban luar biasa berat yang di pundakku seolah sudah terangkat, tinggal menyisakan satu beban lagi yakni tentang masalah di sekolah lebih tepatnya arus konflik pusaran para bajingan yang haus pengakuan.
Aku merasa bisa menghadapi semua masalah di depanku dengan kepala tegak dan pikiran yang lebih tenang. Sebelum aku menghadapi semua rintangan, ada hal penting yang harus segera aku lakukan.
Meminta maaf kepada Xavi, Zen, Yosi dan Vinia atas sikapku yang tertutup dan kurang bersahabat belakangan ini.
Selama ada Dita dan para sahabatku, i can beat the world !!
Keesokan harinya saat di sekolah, hal pertama yang aku lakukan saat masuk ke dalam kelas sebelum mata pelajaran pertama dimulai adalah segera meminta maaf atas sikapku yang kurang menyenangkan kepada teman-temanku, terutama kepada Xavi yang sempat kuancam langsung. Mereka sumringah karena gestur dan ekspresiku memang jauh lebih baik, sudah seperti Yandi yang mereka kenal.
“Fiuh, lega banget gue karena lu udah normal lagi, jadi Yandi yang gue kenal. Serem banget lu Yan kemarin waktu gue tengokkin. Kerah baju gue lo pelintir ampe kecekik, mana lu botak licin sampai gak ada alis lagi. Makin gahar,” keluh Xavi.
Aku lalu merangkul Xavi dan memitingnya sambil tertawa.
“Sori, sori. Oh iya, makasih banget ya gitar pemberian kalian, bagus banget. Kalian tahu gak, berkat gitar itu, aku....bisa balikan lagi sama Dita.”
Mata Yosi, Zen dan Vinia nampak berbinar-binar saat mendengar kabar baik.
“Serius lho Yan? Karena gitar pemberian kami?” tanya Yosi sambil tertawa.
“Iya!” Aku mengangguk kepada Yosi.
“Glaaadd to hear that!!” ucap Yosi sembari mengajakku tos. Aku sambut tos dari Yosi dengan senang. Yosi tahu benar, kabar bahwa Dita dan aku bisa balikan lagi adalah kemungkinan terakhir yang sekaligus menyelesaikan semua kegelisahanku. Yosi tahu banget neraka yang aku alami akibat peristiwa yang menimpa Dita.
“Yandiii, selamat yaaa, eh kok bisa? Gimana-gimana ceritain dong!” bujuk Vinia sambil memegangi dan menggoyang-goyangkan lenganku.
Dering nada bel panjang menjadi penanda bahwa sudah memasuki jam pelajaran. “Nanti aja pas istirahat aku ceritain.”
“Awas lo gak cerita, gue sita lagi gitar lo hehe. Eh Zen kemana nih? Masih kosong bangkunya,“ tanya Vinia.
“Gak tahu, laci meja kosong sih.”
“Telat kali,” celetuk Yosi
“Kalau udah lewat jam 7, Zen belum kelihatan uda pasti dia gak masuk sekolah tuh. Zen kan gitu, memang gak pernah telat atau datang ketika guru sudah di kelas. Prinsip dia lebih baik nerusin tidur di rumah daripada datang telat ke sekolah. Untung dia pinter anaknya, hasu...” tukas Xavi.
Brak.
Tiba-tiba Vinia duduk di sebelahku sambil memasukkan tasnya ke laci.
“Gue duduk sini yaa, mumpung penghuninya gak masuk, hihihi,”
Aku tersenyum saja karena seru sih duduk semeja lagi dengan Vinia kayak dulu awal-awal kelas 1.
“Kenapa lagi dia gak masuk sekolah ? Baru juga sehari masuk udah gak kelihatan lagi...” timpal Yosi.
“Entahlah, tar gue telepon Zen pas jam istirahat.”
Ketika Pak Halim guru Bahasa Inggris yang galak dan suka memarahi siswa yang ribut dengan bahasa Inggris masuk ke kelas, kami berempat langsung memperbaiki posisi duduk. Aku sendiri sudah sangat siap untuk semua mata pelajaran hari ini. Berkat Dita, aku bisa kembali berpikir jernih dan bersemangat dalam hal apapun.
Betapa arti seorang Dita sangat besar sekali di hidupku saat ini. Aku tersenyum sendiri saat mengingat Dita sebelum akhirnya memasang wajah serius saat semua siswa berdiri saat doa pagi di bacakan oleh Lastri.
***
“Wuihhh sakti banget ya lagunya Box Car Racer! Sampe Dita luluh gitu,” komen Yosi saat gue selesai bercerita kepada Xavi, Vinia dan Yosi saat kami duduk-duduk di bangku taman dekat kantin yang kebetulan kosong pada jam istirahat pertama.
“Entahlah, aku sendiri gak yakin Dita tahu dan dengar apa yang aku nyanyikan pada saat itu,” kujawab sambil mengangkat kedua bahuku.
“So sweet banget sih kalian berdua,” puji Vinia.
“Semoga kalian berdua baik-baik terus deh Yan. Lo jadi berubah, beda banget sewaktu ada masalah dengan Dita.”
Aku tersenyum mendengar perkataan Xavi. Kalau boleh jujur, sebenarnya pangkal masalah bukan karena aku dan Dita putus. Aku yakin kalau kami putus dengan cara baik-baik, efeknya tidak akan separah seperti yang kemarin. Aku bisa lebih berlapang dada. Namun cara kami putus kemarin sungguh sangat buruk, banyak salah paham, terbawa emosi dan kejadian naas yang menimpa Dita membuatnya semuanya menjadi semakin buruk.
“Gue coba telepon Zen dulu yak. Udah gue WA terkirim sih cuma belum di baca. Last seen dia kemarin malam jam setengah 10,” terang Xavi sambil pergi menjauh mencari lokasi yang tidak terlalu banyak berisik.
“Gue toilet dulu dah, bentar lagi bel masuk kelas,” kata Yosi.
Saat Yosi pergi, kini aku berdua saja dengan Vinia duduk di bangku.
“Yan, ada sesuatu yang jauh lebih buruk terjadi di antara kalian berdua kan? Antara elo dengan Dita. Gue sedikit banyak udah bisa baca sifat elo. Lo itu pada dasarnya punya hati, jiwa yang tegar. Lo itu kuat. Tetapi lain cerita ketika orang-orang terdekat elo yang mengalami atau tertimpa masalah yang berat dan tetapi elo gak bisa berbuat apapun buat dia. Itu yang terjadi antara elo dengan Dita. Ada hal lain yang lebih besar yang membuat kalian putus. Kemarin gue sedih banget melihat tatapan mata elo yang biasanya bersinar, penuh semangat, murah senyum hilang terganti dengan Yandi yang muram, tatapan kosong, introvert.”
Aku benar-benar tertegun karena Vinia dengan mudah bisa membaca perasaaanku dengan gamblang dan tedeng-aling. Aku menatap Vinia lekat-lekat. Dari tatapanku ini, Vinia seharusnya bisa mengartikan bahwa semua ucapannya memang benar.
“Gue gak minta elo untuk bercerita tentang apa yang terjadi antara elo dengan Dita.Yang penting elo sudah kembali ceria, sudah kembali menjadi Yandi yang aku kenal.”
Vinia mengakhiri perkataannya dengan seulas senyuman. Senyuman yang sempat membuat hatiku berdesir. Vinia, aku jadi ingat kalau kamu boleh dikata sendirian menghadapi perasaan kehilangan seseorang yang kamu sayang. Aku tidak bisa menghibur dan menemanimu melewati masa duka sepeninggal Axel. Aku pun tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara kamu dengan Axel. Tetapi sepertinya kamu satu di antara segelintir orang yang tahu tentang kondisi kesehatan Axel yang sebenarnya.
Vinia…
Saat bel tanda jam istirahat pertama telah usai, aku dan Vinia pun kembali ke kelas dan mengikuti pelajaran demi pelajaran dengan fokus. Saat jam istrahat kedua, Vinia pergi ke sekre Osis bareng beberapa anak OSIS dari kelas lain. Sementara itu aku, Yosi, dan Xavi memilih melewatkan jam istirahat kedua di balkon samping kelas kami, mengobrol santai sambil minum Coca-Cola dingin.
“Tar pulang sekolah mampir ke rumah Zen yuk, itu anak di telepon gak di angkat-angkat. Padahal ya aktif.”
“Lu tumben khawatir banget sama Zen,” cetus Yosi.
“Lagi sakit kali dia, kan bagaimanapun luka Zen yang paling parah di antara kita semua,” kataku memberikan pendapat.
“Iya juga sih, ugh bangsat ! masih dendam gue sama Gom ! dia ngilang gitu aja dari sekolahan kita. Entah karena di keluarkan dari sekolahan atau dia yang pindah sekolah…” geram Xavi. “Yos, lu gak dapat info dimana Gom sekarang?”
Yosi menggeleng. “Gak tahu, Gom bukan hanya pindah sekolah tetapi dia juga pindah domisili ke kota lain. Entah di mana. Takut dia pasti datang lagi kesini.”
“Kok Pak Tomo ngebiarin Gom pindah gitu aja tanpa di kasih hukuman sih? Enak bener! Teman kita nyaris mati lho di tangan Gom dengan cara pengecut !!”
“Santai men, santai. Bokap Gom kan polisi, jadi pasti bokapnya udah pasti ngelobi nego dengan Pak Tomo tuh. Sepertinya lu emosi parah sama Gom. Kalau ketemu dia, berani lo duel sama Gom?” goda Yosi sambil menyikut pelan lenganku.
“Weitss, berani lah. Kamu liat aja badan Xavi. Jagoan muaythai nih, tinggal tunggu panggilan pelatnas saja haha,” aku menambahi perkataan Yosi.
Iya pelatnas. Pelatnas Olimpiade. Olimpiade Matematika, hahaha.”
“Sial, kok gue yang kalian bully. Duel dengan Gom? Beranilah !! pengen gue tendang ginjalnya,” gerutu Xavi.
Aku dan Yosi tertawa. Aku merangkul Xavi. “Tenang bro, kalem.”
“Eh Sapi, kalau lo memang penasaran banget sama Gom, lo pake koneksi nyokap lo aja gih. Kan pasti gampang nglacak keberadaan seorang anak polisi.”
“Ah iya juga ya. Gue lupa kalau punya Mama sakti hehe. Oke, oke. Tar lah gampang. Mama gue lagi gak bisa di ganggu karna kerjaannya di Freeport. Nanti pulang sekolah kita ke rumah Zen ya!”
“Beres!” aku dan Yosi menjawab bersamaan.
Sesuai pulang sekolah kami bertiga ke rumah Zen. Tetapi sepertinya tidak ada orangh di rumah, aku ketuk-ketuk tidak ada yang menjawab. Sepertinya Zen sama Mamanya sedang pergi.
“Zen ada urusan keluarga kali, gak ada orang nih rumah,”ujar Yosi.
“Bisa jadi, yowislah. Kita balik aja deh. Yosi, lu anterin pulang Yandi yak. Asha udah nunggu nih, heeee,” kata Xavi sambil garuk-garuk kepala.
“Ah sialan lu, mentingin Asha daripada temen,” komen Yosi sebal.
“Gak usah di antar Yos, aku pesan Go-Jek aja dari sini. Duluan aja deh kalian. Udah di tunggu pacar masing-masing tuh.”
“Eh gue gak jemput Dea sih hari ini Yan. Dea pergi sama temannya sepulang sekolah. Gue anterin pulang aja gak apa-apa Yan. Sekalian gue mau ke rumah Rio. Kan searah rumah elo.”
“Ya kalau gak ngrepotin, ayo aja sih.”
“Aelah lu gitu amat ma gue, santai aja. Cabut sekarang aja yuk, panas banget hawanya.”
“Oke.”
“Sorry lho Yan, next time gue yang anter deh,” ucap Xavi sambil menangkupkan kedua telapak tangannya ke arahku.
“Kalau kamu nganter naik motor, mending aku naik Go-Jek deh. Kalau kamu nganterinnya naik mobil Jeep Rubicon milikmu, baru aku mau haha,” balasku.
“Bereeessss itu mah! Njir jadi inget, udah seminggu lebih tu mobil gak gue panasin.”
“Dasar lu pe’a. Punya Rubicon Cuma di simpen doang di garasi rumah. Gak di rawat pula. Mending pinjemin ke gue seminggu gih!”
“Oke, besok sore lu ambil mobilnya ke rumah gih. Asha gak mau gue ajak jalan-jalan pake tuh mobil, dia lebih suka kemana-mana naik motor. Ajaib memang pacar gue yang pinter itu.”
“Hahasu, gampang benar lu minjemin tuh mobil. Eh beneran elo mau minjemin tuh mobil ke gue?”
“Iyaa. Sekalian tolong lo cek deh dan bawa servis yak, udah saatnya di servis tuh.”
“Okeee! Nahhh gittuuu !! ahahaha demen gue punya teman tajir tapi baik hati kayak elo Xav,” puji Yosi.
Aku Cuma ketawa aja mendengarnya.
“Penjilat benar lo. Yadah, cabut yuk guys!”
“Ok!”
Kami pun berpisah, Xavi kembali ke sekolah untuk menjemput Asha sementara Yosi mengantarku pulang sampai ke rumah.
***
“Halo guys…”
Aku dan beberapa teman yang sedang ngumpul di depan kelas 1D menengok ke arah sumber suara. Itu suara Zen. Aku kaget melihat Zen yang muncul dari tangga memakai sweater warna merah namun tangan kirinya terbalut alat penyangga lengan. Loh tangan kirinya Zen kenapa?
“What…the…fuck..is..happen…with YOUR LEFT ARM DUDE ?!!” Teriak Xavi terkejut. “Di pukulin orang lu?”
Astra langsung mendekati Zen. “Siapa yang berani mukulin elo Zen?”
“Jangan-jangan orang suruhan Gom?” sambut Riko memanaskan suasana.
“Woi kalian, diem dulu nape sih. Pada sotoy. Biar yang punya lengan yang jelasin,” sergah Yosi.
Zen Cuma tersenyum santai. “Cuma jatuh, kepleset terus jatuh dari tangga kemarin. Gue pikir Cuma terkilir, tapi kok nyerinya beda. Sama nyokap gue langsung di bawa ke rumah sakit Ortopedi karena sepertinya lebih dari sekedar terkilir. Setelah di cek eh ternyata tulang hasta kiri gue patah cuy. Di operasi pasang pen segala akhirnya. Makanya gue gak bisa masuk sekolah kemarin.”
“Bangke..lu santai banget sih Zen. Kek biasa aja padahal tangan lo patah…” komen Yosi.
“Haha Cuma patah tulang doang, lagipula udah dapat penanganan. Cuma ya itu gue bakal risih karena 2 bulan ke depan gue pake gips dan penyangga tangan gini. Rada susah-”
“Susah buat coli ya ?” celetuk Xavi tertawa.
Kami semua langsung tertawa mendengar celetukan Xavi, tak terkecuali Zen.
Saat mengamati Zen, aku sedikit heran karena di wajahnya masih ada meskipun sudah agak samar, seperti bekas luka lebam. “Yan, lu percaya omongan Zen? Tuh lihat, wajahnya ada bekas lebam-lebam gitu. Kalau jatuh dari tangga,gak mungkin sampe kek gitu juga sih mukanya,” bisik Yosi.
“Untuk saat ini, kita percaya sajalah dengan perkataan Zen tentang penyebab tulangnya patah Yos. Meskipun kalau memang tangannya patah karena terjatuh masih cukup masuk akal sih. Kalem aja Yos gak usah tanya-tanya dulu.”
Yosi mengangguk. Kami yang bergerombol di dekat pintu kelas segera masuk dan kembali ke ruang kelas masing-masing saat bel tanda masuk kelas terdengar. Saat kami berempat masuk ke dalam kelas, teman sekelas terheran-heran melihat Zen. Terutama Vinia yang langsung setengah berteriak.
“Ya ampuuunn Zennn. Lo ngapain lagi siiihhh?” sambil geleng-geleng kepala, gemas mungkin Vinia kepada Zen. Baru sehari masuk, kemudian gak masuk sehari tanpa keterangan, eh pas masuk tahu-tahu tangan uda kebalut gips.
Lagi-lagi Zen hanya tersenyum santai. “Kepleset Vin.”
Hari berikutnya, semuanya kembali berjalan normal baik di sekolahan maupun hubunganku dengan Dita. Tidak ada keributan maupun percikan dengan anak sekolah lain seperti yang kami takutkan. Pokoknya keadaan benar-benar tenang. Sehingga aku pribadi bisa fokus belajar penuh menjelang ujian kenaikan kelas dimana para Guru sering mengadakan ulangan dengan mendadak. Jika kami anak kelas 1 dan 2 sibuk belajar untuk ujian kenaikan kelas, siswa kelas 3 disibukkan dengan berbagai macam tes. Mulai dari pra-UN untuk menghadapi Ujian Akhir yang menentukan kelulusan hingga Try-out untuk SPMB yang di adakan oleh sekolah.
Aku lihat Oscar sudah mulai masuk sekolah menjelang persiapan ujian. Entah cidera apa yang ia alami di Catacomb sehingga hampir 2 bulan lebih ia absen. Saat kami berpapasan di lorong sekolah, kami hanya saling menatap. Aku mengangguk ke arahnya namun ia hanya melihatku tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Aku tidak ambil pusing dengan sikapnya. Pokoknya otak, pikiran dan tenaga semua siswa, termasuk kami para bajingan tengah di perah abis dengan berbagai kegiatan di sekolah, hampir tidak ada waktu untuk berpikir aneh-aneh. Sampai aku gak menyadari kalau rambutku mulai tumbuh dan kedua alis pun sudah kembali normal.
Hingga akhirnya, tepat seminggu sebelum pelaksanaan UAN bagi anak kelas 3, ketenanganku terusik saat mendapat WA dari Bram sesaat setelah aku sampai di rumah.
BRAM
Yan, tar malam bisa ngobrol santai? Udah dekat loh waktunya.
14.19
Setelah meletakkan tas di atas meja belajar dan melepas seragam hingga hanya pakai celana pendek dan kaos singlet, aku merebahkan badan di tempat tidur. Aku tahu benar maksud dari Bram yang ingin bertemu denganku. Apa lagi kalau bukan tentang persiapan “Studi Banding”.
Tiba juga waktunya bagiku untuk mulai memikirkan hal ini...
YANDI
Oke. Mau ketemu di mana?”
14.23
BRAM
Coffepedia. Jam 8?
14.26
Coffepedia? Bram memang sepertinya membuatku tidak bisa menolak ajakannya. Tahu juga dia di dekat rumahku ada kedai kopi yang enak. Coffepedia itu kedai kopi yang dekat dengan rumahku. Jalan kaki kesana 10 menit juga sampai. Kedai kopi dimana aku dulu tersihir dengan kecantikan seorang cewek misterius yang tengah menikmati kopi dengan wajah sendu. Cewek yang akhirnya aku ketahui identitasnya, bernama Indah satu sekolahan denganku.
Cewek yang memiliki reputasi...Ah sudahlah.
YANDI
Ok
14.31
BRAM
GREAT! Gue tar kesana sendiri.
14.33
Apa maksudnya Bram dia bilang akan datang sendiri? Apa dia kira aku bakal khawatir kalau dia datang bersama temannya? Gak masalah sih buatku. Aku sempat ingin WA ke Yosi tentang ajakan Bram bertemu nanti malam. Tetapi aku mengurungkan niat. Sebaiknya aku tidak usah cerita ke siapa-siapa dulu tentang pertemuanku dengan Bram malam nanti. Aku lalu turun ke bawah untuk makan siang, setelah kenyang aku pun baca-baca komik di kamar. Semilir angin membuatku mengantuk. Ah tidur dulu saja lah.
***
Saat aku sampai di halaman parkir Coffepedia, aku melihat Bram sedang berdiri di balkon lantai 2 menatapku sambil tersenyum. Ia melambaikan tangannya yang memegang sebatang rokok ke arahku. Aku cuma mengangguk dan menyusulnya ke teras balkon lantai 2 yang menjadi space khusus perokok. Cukup penuh di atas sini meskipun di hari biasa. Bram sudah mendapat tempat di pojokan.
“Dari jam berapa kamu disini?” aku bertanya ke Bram karena kulihat asbak di meja sudah penuh oleh abu rokok dan gelas yang kopinya sudah habis.
“Tadi jam setengah 8an. Eh udah pesan belum?”
“Belum.”
“Mas! Mau pesan!” Bram memanggil waitress yang baru saja mengantar minuman di meja dekat kami.
“Mau order apa?” tanya si waitress dengan sigap sambil mengeluarkan kertas kecil dan pensil dari saku kemejanya.
“Gue pesan Gayo Apple Cider. Vietnam Drip.”
“Mandheling ada mas?” aku bertanya dulu ke waitress.
“Ada.”
“Oke, aku mandheling. Pour Over.”
“Ada lagi?”
“Aqua botol yang sedang 2 deh,” tambah Bram.
“Beres. Di tunggu pesanannya. Atas nama?”
“Masukkin ke bill atas nama Bram, table 28.”
Setelah waitress pergi, aku berbincang hal yang ringan dengan Bram tentang kopi. Karena ia sama sepertiku, juga penikmat kopi.
“Pokoknya kalau gue lagi gak pegang bir, ya ngopi,” kata Bram sambil mengeluarkan vape dan beberapa flavour dari tas kecil yang Bram taruh di atas meja.
“Lu cuma ngopi? Gak ngerokok, atau nge-Vape gitu?” tanyanya.
“Gak doyan.”
“Hehe baguslah. Bir doyan?”
Aku menggeleng.
“Air putih. Kopi. Teh. Tiga itu aja lah kesukaanku.”
“Susu emang gak doyan lu haha,” ujar Bram sambil mulai menikmati Vape. Asapnya lumayan banyak. Untung kami duduk di dekat balkon yang outdoor jadi asapnya bisa langsung segera hilang.
Aku tertawa saja. Pembicaraan mulai serius saat kopi pesanan kami sudah di antar.
“Lu udah tahu kan kenapa gue ngajak ketemu malam ini?”
“Tahu. Studi Banding.”
“Gimana persiapannya? Siapa saja yang akan ikut? Seperti yang terakhir kita ngobrol panjang di warung makan kakakmu. Kita mesti menang. Gak ada pilihan lain.”
Aku menggeleng. “Aku sama sekali belum memikirkannya. Belum sempat,” kujawab dengan santai. Aku yakin jawaban dariku akan membuat Bram cukup kesal. Namun tanpa aku duga, Bram hanya tersenyum tidak menampakkan ekspresi kesal sedikitkpun.
“Sudah aku duga, heeee. Makanya gue pengen ngobrol tentang ini semua ke elo. Yang akan gue sampaikan ke elo ini sifatnya hanya saran. Semua keputusan ada di tangan elo. Kalau menang, nama lo bakal di segani. Kalau kalah, nama lo bakal jadi bahan tertawaan.”
Aku agak kesal mendengarnya, mana aku ada waktu untuk mikirin itu semua sementara kegiatan dan tekanan di sekolah dalam hal akademik semakin terasa.
“Bukan elo doang yang banyak tugas atau tuntutan di sekolah Yan. Gue dan semua murid terutama anak kelas 3 juga merasakan tekanan yang gak kalah berat. Tetapi itu gak bisa lo jadiin alasan. Resiko jadi bajingan nomor 1 ya mikirin kek gini juga.”
Sialan, kenapa Bram bisa tahu apa yang aku pikirkan? Apa memang aku ini orangnya gampang di tebak ya?
“Karena kamu tahu bahwa aku memang belum bergerak untuk mempersiapkan semuanya, maka maksud pertemuan malam ini adalah kamu akan memberikan saran atau langkah yang mesti segera aku laksanakan karena waktunya semakin mepet. Benar kan?” Kini gantian aku yang membaca langkah Bram. Aku sih sudah tahu saran dari Bram, pasti dia akan memintaku untuk bergerak mendekati anak kelas 2 dan 3. Itu gambaran umumnya. Tetapi untuk pendekatan yang lebih tepat, jujur saja aku kurang tahu.
“Nah itu tahu. Lo udah tahu kan syarat Studi Banding termasuk komposisi dari tiap angkatan? Dari kelas 1, itu bukan masalah. Karena anak kelas 1 boleh di kata mayoritas sudah jadi pengikut XYZ. Sama halnya dengan anak kelas 3. Separuh angkatan kelas 3 itu sudah menaruh respek sama elo sejak kejadian di aula. Lo udah dapat pengakuan dari mereka. Sekarang tinggal elo yang nentuin. Lo pilih anak kelas 3 yang pro atau anak kelas 3 yang kontra sama elo,” beber Bram sambil menyeruput kopinya.
Aku meneguk pelan kopi Madheling yang khas sebelum memberikan tanggapan.
“Kelas 3 yang pro - kontra?”
“Feri, Deka, Darma, Jati dan gerombolannya, mereka itu pro. Oscar, Budi dan Budi cs, mereka kontra. Kalau elo gak bisa deketin pihak kontra, pilihan untuk mendekati pihak pro akan jadi pilihan yang logis dan cepat.”
Benar juga saran Bram. Kalau aku meminta Bang Feri untuk ikut, aku yakin dia bersedia sih. Idealnya memang bang Feri dan salah satu di antara Oscar atau Budi. Oscar jadi opsi alternatif jika Budi menolak. Entah apa yang ia pikirkan tentang diriku karena sudah nekat membantunya saat di hukum oleh LPH. Sialan, ini tidak akan semudah yang aku perkirakan untuk memilih dua orang dari siswa kelas 3.
Memang aku belum tahu siapa saja yang akan aku ajak, namun untuk komposisi aku sudah menentukannya.
“Nah itu untuk gambaran anak kelas 3. Untuk anak kelas 2, gue bisa bantu dengan langsung merekomendasikan 2 nama yang seharusnya elo udah bisa tebak. Edgar dan Heru.”
Aku mencibir kedua nama yang Bram rekomendasikan, terutama Edgar yang sudah bertindak culas dengan membawa senjata. Untuk Heru sendiri, aku tidak terlalu mengenalnya dan belum pernah terlibat kontak fisik denganku. Hanya Edgar dan Farid yang pernah aku lawan.
Bram tertawa melihat reaksiku, ia menghembuskan asap Vape ke langit-langit. “Masih gak terima lo dengan tindakan Edgar di aula? Hehe. Dia memang culas dan oportunis. Namun secara fakta dan kemampuan berkelahi, Edgar jauh lebih superior di bandingkan para bajingan dari kelas 2 lainnya seperti Heru, Satya, Farid dan David. Suka atau tidak suka, Edgar mesti lo pilih. Ya anggap saja, lo cuma akan pilih 1 orang dari kelas 2 dan seperti yang gue bilang, lo harus dekatin Edgar.”
Sialan...Bram benar, Edgar mesti aku pilih.
“Tetapi Yan, Edgar itu sudah di tebak. Edgar itu bukan siswa yang loyal maupun fanatik jika menyangkut nama sekolah. Buat dia harga diri dia jauh lebih tinggi daripada nama sekolah. Egois. Kemungkinan dia untuk menolak ajakan elo 50 : 50. Dia tidak akan ambil pusing jika sekolah kita kalah sekalipun, selama gak menyeret harga dirinya. Kalau Edgar menolak, ya terpaksa lagi lo mesti deketin Heru. Heru sih gak usah lo minta dengan omongan aneh-aneh, cukup lo bilang akan libatkan dia di Studi Banding, dia saat itu juga akan langsung bersedia. Tapi ya itu, Heru gak setangguh Edgar.”
Keningku langsung mengkerut mendengar penjelasan Bram. Fiuh, anak kelas 2 sepertinya jauh lebih susah untuk di dekati. Tapi aku harus tetap melakukannya. Jika memang Edgar menolak, Heru akan jadi penggantinya. Meskipun menurut Bram Heru tidak sekuat Edgar, namun mau gimana lagi. Harus ada perwakilan setiap angkatan untuk Studi Banding.
“Sepertinya aku akan mendekati siswa kelas 3 terlebih dulu, baru ke kelas 2,” kataku memutuskan.
“Good. Anak kelas 3 sedang bersiap untuk perang UN minggu depan, jadi kalau elo mau deketin mereka terlebih dahulu, lo harus lakukan besok. Besok kan hari Sabtu, suasananya lebih santai, malah kemungkinan besok kita pulang lebih awal karena infonya ada meeting para guru utk persiapan UN. Jadi besok lo mesti memperoleh kesepakatan dengan anak kelas 3 yang lo pilih, hari itu juga. Gue sih gak peduli, itu hak lo. Bahkan gue tidak terlalu khawatir dengan siapa dan berapa anak kelas 3 yang lo pilih. Mapping kekuatan seluruh bajingan dari kelas 3 elo udah tahu benar, baik yang pro maupun kontra dengan lo. Gue sih yakin lo akan membuat pilihan yang tepat...”
Bram mengatakannya sambil menatapku. Aku balas menatap Bram sambil mengangguk-angguk kecil.
“Aku usahakan, setelah berita meninggalnya Axel, aku belum ada kontak-kontak dengan para senior, termasuk Feri.”
“Better you pull it off tommorow. Pengaruh anak kelas 3 akan sangat-sangat menentukan di hari H. Baik dari segi kekuatan maupun faktor X.”
“Faktor X?” sepertinya obrolan dengan Bram masih panjang malam ini.
“Studi Banding dilakukan di hari yang sama dengan pengumuman kelulusan. Karena hari kelulusan itu akan menjadi hari terakhir bagi mereka the moment to settle everything for the last time. Sebab keesokan harinya, mereka sudah resmi menjadi orang luar. Mereka sudah tidak diperbolehkan untuk ikut campur ke urusan kita para bajingan kelas 1 dan 2.”
“Tetapi kan baru pengumuman kelulusan, belum ada serah terima ijazah dan upacara pelepasan anak kelas 3. Jadi setelah di nyatakan lulus pun, secara status mereka masih siswa kelas 3.”
Bram tertawa kecil sambil meneguk Aqua. “Iya memang benar, tetapi hanya status administratif saja. Tetapi buat para bajingan, kita punya aturan tersendiri. Entah kapan pembatasan status ini berlaku, tetapi seingat gue hal ini sudah di teruskan dari generasi ke generasi. Bukan cuma di sekolah kita, tetapi hal ini juga berlaku bagi STM XXX, SMA SWASTA XXX dan sekolah setingkat SMA lainnya di Kota XXX. Menurut gue, bajingan yang memulai aturan ini brilian sekali karena dia berpikir luas. Karena pengumuman kelulusan itu kan serempak di Kota XXX, sementara untuk upacara pelepasan masing-masing sekolah bisa berbeda-beda. Sehingga kalau patokannya pasca upacara kelulusan, hal ini menjadi tidak fair. Singkatnya, Studi Banding akan menjadi Farewell Party terbesar para bajingan senior !!! They will fight for last time!” tegas Bram dengan tatap mata menerawang keluar.
Aku merinding mendengar dan membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
“Untuk Edgar, sebaiknya aku temuin di mana? Sekolah?”
Bram menggeleng.
“Jangan. Lo datang aja ke Barak. Barak itu tempat tongkrongan Edgar. Bukan hanya Edgar, di sana lo bisa ketemu Heru, David, Farid, Satya dan para gerombolannya. Berani lo nemuin Edgar dan mengutarakan maksud kedatangan elo di depan dia dan para bajingan kelas 2? Hahaha. Gak usah lo jawab Yan, itu sekedar pertanyaan retoris dari gue. Lo datangin Leo di Royal Cafe, markas gerombolan Oscar aja berani haha.”
“Barak? Kasih aku alamatnya.”
“Gue yang akan nganter elo kesana nanti. Tenang, gue cuma nganter di depan dan menunggu elo sampai selesai. Gue gak akan ikut campur.”
Aku mau menolak saran dari Bram tetapi sepertinya aku tidak punya pilihan lain.
“Kapan kita kesana?”
“Yang jelas setelah elo kelarin urusan dengan anak kelas 3. Kesepakatan dengan anak kelas 3 akan sangat menentukan dalam hal nego dengan Edgar dan lain-lain.”
“Besok aku selesaikan semua kesepakatan dengan para senior. Entah gimana hasilnya, yang jelas, aku akan berusaha semaksimal mungkin. Lusa, kita ke Barak.”
“Lusa? Yakin lo? Lusa itu hari Minggu malam. Dan itu malam dimana semua bajingan anak kelas 2 kumpul semua di sana. Semuanya. Jangan berpikir kedatangan lo nanti kesana cuma ngobrol lho ya. Bisa jadi nanti akan ada ya..kontak fisik. Karena gue tahu, banyak anak kelas 2 yang gak suka dengan elo. Dan kekalahan mereka di aula, bisa jadi makin membuat mereka semakin memusuhi elo. Kemungkinan satu atau dua orang yang masih penasaran bakal cari gara-gara. Lo paham kan maksud gue?”
Aku hanya tertawa kecil mendengar perkataan Bram. “Baguslah biar sekalian. Kalau cara untuk negosiasi dengan Edgar dan kawan-kawannya memang tidak cukup dengan bicara baik-baik, aku siap untuk berbicara dengan bahasa yang mereka pahami, dengan ini,” tegasku sambil mengelus-elus kepalan tangan kananku.
Bram yang hendak menghisap Vape sampai berhenti saat mendengar perkataanku barusan. Bram malah tertawa terbahak-bahak sambil sesekali bertepuk tangan. Aku lihat beberapa pengunjung nampak risih dan terganggu dengan reaksi Bram yang menurutku memang berlebihan.
“SAVAGE !! AHAHAHAH !! OKE, LUSA GUE ANTERIN LO KESANA !!!”
***
Pikiranku masih kesana-kemari setelah pertemuan dengan Bram malam ini. Aku mesti mulai bergerak besok, mendekati para senior. Di waktu yang sudah tinggal 1 minggu ini, aku memutuskan ingin mengambil cara paling gampang. Yakni meminta Bang Feri turut serta. Tentu lebih mudah meminta ke dia daripada ke kubu para senior yang kontra denganku. Jika Bang Feri bersedia untuk ikut, selanjutnya lebih mudah. Setelah menimang-nimang, akhirnya aku memberanikan diri untuk mengirim WA ke pada Bang Feri.
YANDI
Malam bang.
Maaf klo ganggu. Besok sepulang sekolah, ada waktu gak? Ada yang mau saya omongin. Terimakasih.
23.47
Terkirim namun tidak terbaca.
Aku berguling kesana-kemari di tempat tidur, namun masih belum terasa mengantuk. Ini pasti efek dua gelas kopi yang aku minum di Coffepedia bareng Bram. Banyak sekali hal yang kami bicarakan. Entah Bram yang pintar memilih kata atau apa, aku tidak merasakan hawa niat busuk darinya. Justru banyak informasi yang bisa aku peroleh darinya. Karena perkataan mendiang Axel yang meminta untuk ‘merangkul’ Bram, sedikit banyak mempengaruhiku sehingga aku juga bersikap terbuka kepadanya.
Sambil menunggu kantuk, aku pun mengambil headset dan membuka Youtube. Enak kayaknya baring-baring sambil nonton video klip Iwan Fals. Tetapi aku terkejut sekaligus surprise karena di halaman awal Youtube, video teratas yang muncul adalah video dengan thumbnail Vinia.
Vinia Feat Vincent dan Desta - hilang at Tonight Show
ANGGAP SAJA AIU RATNA = VINIA
SAMA-SAMA CANTIK DAN KEREN HAHA
Segera aku klik dan menyaksikan Vinia yang kolabs dengan 2 presenter kocak yang anak band menyanyikan lagu Hilang milik Garasi yang jadi soundtrack film beberapa tahun yang lalu. Wih cantik juga Vinia dengan rambut poni. Ia bernyanyi sambil main gitar akustik.
Daaaan, aku terhanyut. Benar-benar terhanyut menyaksikan penampilan Vinia. Suaranya bagus namun yang membuatku tertarik adalah lirik lagu Hilang yang ia nyanykan. Video ini di ambil dari footage Tonight Show tanggal 8 Januari 20xx.
Lima hari setelah kematian Axel.
"semua karena cinta ku menangis.
semua karena cinta ku tertawa.
semua karena cinta.
semua karena cinta.
yang kau tinggalkan hanyalah luka.
dan semua menghilang...
dan semua menghilang..."
semua karena cinta.
semua karena cinta.
yang kau tinggalkan hanyalah luka.
dan semua menghilang...
dan semua menghilang..."
Aku merinding saat Vinia bernyanyi di bagian tersebut. Hebat kamu Vin, bisa tetap tampil bagus tanpa menunjukkan emosi. Aku yakin di dalam hati Vinia, ia menangis menyanyikan lagu tersebut. Lagu yang menggambarkan perasaannya pada saat itu. Vinia mengungkapkan perasaan cinta, kehilangan sekaligus rindu dengan membawakan lagu Hilang. Entah kenapa aku lalu membuka WA dan mengklik foto profile Vinia.
Aku tersenyum sendiri karena Vinia menggunakan foto yang dulu kuambil saat kami tengah bersantai di studio Xavi. Tahu bahwa aku sedang memfotonya, Vinia membuang muka namun tetap memasang wajah tersenyum.
Aku kemudian mulai mengetik pesan.
Aku barusan lihat di Yotube, video kamu perform di Tonight Show Vin..
Sebelum ku tekan sent, aku sempat mikir agak lama. Jangan-jangan Vinia malah jadi sedih gara-gara aku mengingatkan masa dimana ia sendirian menanggung kabar duka. Akhirnya aku putuskan untuk menghapus pesan tersebut sebelum aku kirim. Fiuh. Saat aku tengah melamun sambil mendengarkan musik di ponsel, aku melihat ada notifikasi WA masuk.
VINIA
Lu ngetik apaan sih Yan? Belum tidur?
12.09
Wah Vinia belum tidur? Sepertinya ia tadi sedang melihat WA ketika aku tengah mengetik dan ia menyadari bahwa Yandi sedang mengetik..
Ku balas WA Vinia.
YANDI
Hehehe.
Belum tidur km?
12.10
VINIA
Belum, lagi nyariin yang namanya ngantuk belum ketemu dari tadi. Padahal aku capek baru balik dari studio jam 11 malam.
Eh perasaan gw yang nanya ke elo duluan deh tadi, knp blm tidur? Kok malah gw yang jawab duluan. Curang. Hayo cerita gih kenapa tadi kayaknya udah ngetik panjang malah gak jadi.
12.12
Bilang gak ya...Bilang aja deh..
YANDI
aku baru tahu kalau kamu pernah perform live di Tonight Show. Bawain lagu lamanya Garasi yang Hilang..Stunning as usuall..merinding aku dengar kamu nyanyi lagu itu Vin..
12.14
Vinia membacanya. Namun setelah aku tunggu-tunggu hingga 10 menit, dia tidak membalas. Mungkin Vinia udah ketiduran karena kecapekan.
TING. WA Masuk.
VINIA
Yan...bisa gw telfon gak sekarang?
12.26
Wah, tumben. Setelah kubalas dengan jawaban “bisa”, Vinia meneleponku.
“Halo Vin...wah belum ketemu juga ya sama ngantuk..hehe...ada apa Vin?”
Vinia diam saja tidak bersuara.
“Halo..hallo...?”
“Yan...hiks......hiks....gw udah gak kuat simpan ini sendirian...gw mau cerita semuanya ke elo...biar gw bisa ngrasa lega...karena sampai hari ini...gw...hati gw masih sakit....karena di tinggal Axel...hikss.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa saat Vinia menjawab panggilanku dengan menangis sesenggukan. Pertahanan dan ketabahan Vinia sepertinya kembali runtuh. Terakhir ia menangis ketika ia mengantarku ke makam Axel. Vinia pasti jadi sedih karena aku menyinggung tentang penampilannya saat bawain lagu Hilang.
“Cup...cup....cerita aja ke aku Vin, ceritain semuanya, biar kamu lega, biar kamu bisa move on, mengihlaskan Axel..”
***
Aku agak ngantuk saat duduk di deretan kursi paling belakang bus kota karena semilir angin dan udara dingin dari pintu belakang yang terbuka lebar. Hawa agak lebih dingin daripada biasanya karena mungkin efek hujan deras saat subuh tadi. Bus kota setiap sabtu pagi tidak seramai biasanya sehingga hanya ada beberapa penumpang yang berdiri di tengah. Teriakan kernet membuatku terjaga dan segera turun dari bus kota. Sebelum masuk ke dalam sekolah, aku mampir ke Alfamart dekat halte untuk membeli satu kaleng nescafe latte dingin untuk mengusir rasa kantuk. Masih jam 6.23 pagi. Masih awal. Jadi aku duduk-duduk dulu di kursi yang di sediakan di teras Alfamart sambil menghabiskan minuman. Fiuh, entah sugesti atau karena pengaruh kafein, rasa kantuk sudah tidak terlalu menggelayut di mata.
Saat aku tengah berjalan tiba-tiba ada yang menepuk punggungku dari belakang dengan cukup keras. Aku jelas kaget dan reflek menoleh ke belakang. Amarah langsung reda saat melihat siapa yang sudah membuatku kaget.
Vinia nyengir sambil membuat tanda V dengan jarinya.
“Haduh Vin, aku pikir siapa. Bikin kaget saja.”
Vinia tertawa tergelak kemudian berjalan di sampingku. Aku lega karena Vinia terlihat lebih segar, tidak nampak mata sembap karena nangis-nangis saat kami telpon-telponan dari tengah malam sampai jam 2 pagi. Rambutnya yang panjang di kuncir kuda bergoyang-goyang saat berjalan.
“Lho kamu berangkat naik apa?Gak bawa mobil?”
Vinia menggeleng. “Takut ketiduran kalau bawa mobil sendirian makanya gue kesini naik Go-Car. Elo juga kayaknya ngantuk banget, sampai pagi-pagi udah ngedoping, hee,”
“Kok tahu?”
“Gue tadi lihat elo duduk-duduk depan Alfamart, makanya gue berhenti di Alfamart juga. Baru mau gue datangin, elu udah jalan lagi. Padahal pengen minum kopi dingin juga nih.”
Aku langsung berhenti berjalan. “Vin, tunggu di sini bentar, 5 menit.” aku berlari meninggalkan Vinia yang nampak bingung melihatku.
Ketika aku kembali, Vinia menungguku dengan bersedekap.
“Lo ngapain sih tib-”
Vinia berhenti bertanya ketika aku menunjukkan sekaleng nescaffe latte dingin kepadanya.
“Nih minum.”
Waw, pipi Vinia memerah. “Idihh, manis banget sih kamu Yan.” Vinia tersipu-sipu sambil mengambil Nescaffe.
“Memang aku manis, kayak gula campur madu hutan.” Aku nyengir dan kami tertawa bersamaan lalu melanjutkan berjalan menuju sekolah.
“Yan, maaf ya gue ngrepotin elo semalam. Lo dengarin gue nangis-nangis gak jelas sampai berjam-jam. Gue jadi malu,” ujar Vinia pelan.
“Gak apa-apa Vin. Aku justru senang karena bisa sedikit menghibur dan meringankan beban elo.”
“Sedikit? Banyak. Banyak banget kali Yan. Rasanya lega, plong gitu. Jadi sepadan sama ngantuk-ngantuknya. Ngantuk tetapi hati senang, makasih ya. Pantas saja, Dita gak bisa jauh-jauh sama elo, heee.”
“Ah bisa aja. Gak di minum tuh kopinya? Kalau gak mau, aku minum sini,” kataku bercanda.
“Yee, masak baru di kasih mau di minta lagi. Nanti gue minum di kelas sebelum pelajaran. Eh lo ngantuk banget ya?”
“Haha enggak, cuma bercanda.”
Selanjutnya kami berdua berjalan hingga sampai di kelas. Ketika pelajaran pertama di mulai, aku kurang bisa konsentrasi karena masih memikirkan percakapanku dengan Vinia. Aku tidak menyangka jika hubungan Vinia dan Axel sudah sejauh itu, wajar jika reaksi Vinia begitu emosional saat tanpa sengaja aku membuatnya teringat awal-awal kepergian mendiang Axel. Karena aku memiliki pengalaman di tinggal kedua mendiang orang tuaku dalam peristiwa tanah longsor di kampung, aku bisa berbagi cerita bagaimana aku menyikapi dan berusaha bangkit sehingga bisa mengikhlaskan kepergian orang tuaku. Ceritaku bisa sedikit banyak membuat Vinia belajar ikhlas, tidak lagi berusaha menghindar atau bahkan melupakan.
“Kamu gak akan mungkin bisa melupakan Axel. Sama halnya denganku yang gak mungkin bisa melupakan kedua orangtuaku. Sama kayak kamu, sesak rasanya kalau tiba-tiba aku merindukan mereka. Rindu tak bertepi dan tak berujung. Ikhlas, terima kenyataan dan lanjutkan hidup dengan segala kenangan tentang orang yang kita sayangi, Vin.”
Aku mengingat lagi perkataanku semalam kepada Vinia. Huh, Sabtu yang mellow.
Aku jadi ingat sesuatu! Diam-diam aku membuka ponsel di bawah laci meja dan membuka pesan WA yang belum sempat aku baca pagi tadi.
FERI
Nanti jam istirahat pertama, gue ada di tempat seperti biasanya.
5.21
Fiuh, lega karena Bang Feri ada waktu buat ketemu, meskipun singkat hanya maksimal 20 menit sesuai durasi jam istirahat. Jadi aku mesti langsung ke pokok permasalahan. Tempat biasa yang di maksud Bang Feri adalah bangku di lantai 2 kantin yang berada di ujung, spot yang jadi tempat tongkrongan Bang Feri dengan teman-teman dekatnya. Aku punya firasat, Bang Feri tahu apa yang hendak aku bicarakan. Karena aku yakin dia juga terlibat di Studi Banding tahun lalu. Semoga Bang Feri untuk terakhir kalinya bisa ikut serta. Meskipun yah dia bisa saja kehilangan motivasi karena tidak ada lagi kompatriot terdekatnya, mendiang Axel.
Setelah susah payah berkonsentrasi melewati 4 mata pelajaran, akhirnya bel istirahat yang aku tunggu-tunggu berbunyi juga.
“Zen, aku ke kantin duluan yak, ada urusan penting.”
“Bareng aja, gue juga mau ke kantin. Laper,” sahut Zen, teman sebangkuku.
“Aku mau ketemu sama bang Feri, di lantai 2.”
“Ketemu sama Feri? Urusan apaan?”
“Tentang studi banding, nanti aku ceritakan lebih lanjut. Kalau teman-teman nanya aku kemana, bilang aja lagi di panggil Pak Tomo atau siapa gitu, terserah.”
“Beres.”
Setelah menepuk pelan lengan Zen sebagai ucapan terimakasih, aku langsung buru-buru keluar,karena waktuku tidak banyak. Aku sempat dengar saat Yosi memanggilku namun tidak aku gubris. Beberapa teman dari kelas lain menyapaku saat aku melewati mereka, aku balas dengan mengangguk. Aku langsung menuju lantai 2 kantin, banyak anak kelas 3 yang heran mendapatiku, area khusus untuk para senior. Aku tidak terlalu memperdulikan tatapan mereka, karena tidak ada yang menegur atau mengusirku, sebuah reaksi yang berbeda dibandingkan ketika dulu aku secara tidak sengaja naik ke kantin lantai 2.
Justru aku malah mengucapkan permisi saat melewati Oscar dan Budi. Keduanya terlihat biasa saja saat melihatku, terutama Oscar. Aku kemudian mengalihkan perhatian ke Bang Feri yang sudah menungguku. Ia duduk sendirian. Dua teman dekatnya, Bang Deka da Bang Darma sedang mengobrol dengan Jati, duduk di lain meja yang berada cukup jauh. Ketiganya mengangguk dan terlihat ramah saat aku menyapa mereka.
Ketika aku sudah sampai di meja Bang Feri yang sedang membaca sebuah buku, aku tidak langsung duduk. Aku bertanya, “Boleh aku duduk di sini Bang?”
Bang Feri melirikku lalu menutup buku yang ia baca tadi, “Silahkan.”
Setelah di ijinkan aku baru duduk. Aduh kenapa aku malah grogi sih, padahal kalau aku inget-inget, Bang Feri ini termasuk senior yang ramah dan friendly.
“Gak pesan minum ?” tanya Bang Feri.
“Belum sih bang.”
“Tebs mau?” Bang Feri berdiri sambil menawarkan minuman.
“Eh aku aja Bang yang beli,” aku segera berdiri karena merasa sungkan.
“Santai..”
Bang Feri lalu menuju ke stand minuman yang ada di Lantai 2. Dia membeli 2 botol Tebs dingin. 1 botol di berikan kepadaku. “Makasih Bang,” kataku khidmat.
“Waktu gue gak banyak, jadi sebaiknya lo langsung to the point Yan,” tegas Bang Feri.
"Aku ingin minta tenaga Bang Feri. Di studi banding,"jawabku terus terang saat Bang Feri langsung bertanya apa mauku.
Bang Feri tidak langsung menanggapi permintaanku. Ia menatapku sejenak sebelum meminum Tebs. Aku pun jadi ikut mulai minum.
"Gue belum bisa memutuskan apakah akan ikut atau tidak. Namun sepertinya elo mesti cari orang lain. Daripada lo nungguin gue dan berharap banyak tetapi ketika Hari-H gue gak muncul di sana. Setelah kepergian Axel, gue kehilangan motivasi untuk berkelahi dengan siapapun. Terlebih motifnya hanya tentang siapa yang lebih kuat. Gue udah gak tertarik dengan hal semacam itu lagi Yan," jawab Bang Feri dengan suara tenang dan teratur. Dari balik kacamata yang ia kenakan, tatapan matanya terlihat tajam. Pertanda bahwa ia sebenarnya sudah mengambil keputusan dengan menolak secara halus permintaanku.
Sepertinya efek kepergian mendiang Axel yang tiba-tiba, benar-benar membuat Feri terguncang. Aku jadi ingat ketika Pak Tomo membuat pengumuman di hari pertama kami masuk sekolah etelah libur tengah semester, setelah upacara bendera selesai, Bang Feri adalah satu dari sekian siswa yang tidak kuasa menahan tangisnya. Bang Feri yang merupakan siswa terpandai dari kelas 3 dan partner in crime Axel tidak malu atau sungkan menangis tersedu-sedu. Jadi jika Bang Feri mengatakan bahwa keputusannya kecil kemungkinan untuk ikut Studi Banding, aku bisa mengerti. Sangat mengerti. Aku bahkan menghormatinya sehingga aku tidak berniat untuk meminta Bang Feru untuk mempertimbangkan keputusannya kembali.
“Baik Bang, aku mengerti. Terimakasih sudah meluangkan waktu, semoga sukses dan lancar untuk UN-nya Bang.”
Saat aku hendak mohon diri, Bang Feri memintaku untuk tetap duduk. Ia lalu memanggil Bang Deka dan Bang Darma. “Gue memang tidak bisa ikut, tetapi mereka berdua siap untuk maju ke Studi Banding,” kata Bang Feri.
“Iya Yan, lo gak usah khawatir. Gue dan Deka akan ikut ke Studi Banding. Untuk yang terakhir kalinya. Kami akan berikan 110% persen kemampuan. Sehingga kami bisa meninggalkan sekolah ini dengan kepala tegak,” tegas Bang Darma.
Bang Deka mengangguk ke arahku. “Itupun jika kamu percaya dan memilih kami sebagai sebagai wakil anak kelas 3. Jika lo ada pilihan lain, kami akan tetap respek sama keputusan elo,” tambah Bang Deka.
“Terimakasih banyak bang, makasih sudah merepotkan.”
“Gak lah ngrepotin Yan. It’s about pride dude, for fuck sake.,” tanggap Bang Darma sambil tertawa dan menghabiskan minuman Bang Feri.
“Itu minuman gue,” kata Bang Feri datar.
“Ups haha, kaku banget lo. Feri tuh mesti gini kalau dekat ujian, bawaanya tegang sampe kulit mukanya kaku gak bisa di pake buat senyum,” celetuk Bang Darma.
Aku pun mohon diri untuk kembali ke kelas saat bel tanda masuk terdengar. Sambil berjalan gontai kembali ke kelas, aku berpikir banyak hal. Fiuh, di luar dugaan hasilnya tidak semulus yang aku harapkan. Bang Feri, senior kelas 3 yang menjadi opsi pertamaku meleset. Meskipun kemudian dia “menawarkan” kedua temannya sebagai pengganti dirinya, Bang Deka dan Bang Darma, tanpa mengurangi rasa hormat, sepertinya belum cukup kuat karena masih ada dua opsi senior kelas 3 yang memiliki ketangguhan lebih.
Siapa lagi kalau bukan Oscar dan Budi.
“Hei bangsat,” aku menoleh ke belakang saat mendengar seperti ada yang memanggilku. Namun tidak ada oran yang sepertinya memanggilku dengan sebutan bangsat.
“Di atas!” seru seseorang dari atas lantai 2 gedung parkir motor saat aku melintasinya untuk kembali menuju kelas.
Aku mendongak di atas dan melihat Budi bersama Oscar menatapku, tatapan mereka tajam. “Kami ada urusan sama elo, cepat kesini,” perintah Budi.
Serius nih mereka mau cari gara-gara di saat seperti ini? Tapi aku melihat tidak ada kemungkinan mereka mau cari masalah denganku di area sekolah. Aku lihat semua murid tidak ada yang di luar kelas, semua sudah kembali ke kelas masing-masing. Aku juga seharusnya sudah berada di kelas saat ini. Tetapi sikap Oscar dan Budi membuatku penasaran. Ah aku datangin sekarang sajalah, nanti tinggal cari alasan telat kembali ke kelas. Untung saja habis ini ada Pak Sarni, guru Tata Negara yang terbilang santai dan jarang marah di kelas.
Aku pun segera naik ke atas dengan cepat, takut ketahuan Guru. Saat berada di lantai 2 gedung parkir, aku lihat Oscar dan Budi sedang duduk-duduk di atas motor di pojokan. Spot yang cukup tersembunyi dan kami bisa bicara dengan bebas di sana.
“Ada apa Bang?” aku bertanya dengan sopan sembari memasang sikap waspada tentu saja.
“Santai aja, lemesin tuh pundak. Gue panggil elu kesini bukan mau ngajak elo berantem,” tegas Budi. “Justru sebaliknya.”
Aku kurang paham dengan perkataan di bagian akhir dari Budi. “Maksudnya?”
“Lo mesti masukkin gue ke line-up Studi Banding. Ini bukan permintaan maupun negosiasi. Ini adalah hal yang harus lo penuhin,” tegas Oscar dengan nada keras dan serius.
Aku gak salah dengar nih? baru juga aku tadi pusing mikirin perwakilan dari kelas 3 gara-gara Bang Feri menolak, kini orang yang menjadi rival Axel dan orang yang lebih kuat daripada bang Feri, memaksaku untuk memasukkan namanya ke dalam Studi Banding.
“Kenapa begitu Bang?” aku bertanya dahulu.
“Setelah Feri menolak ajakan elo, lo pikir ada siswa kelas 3 lain yang lebih tangguh? Lo kurang ajar kalau sampai lebih memilih Deka dan Darma dibandingkan gue atau Budi,” ujar Oscar dengan nada tajam.
Darimana ia tahu kalau Bang Feri menolak ajakanku ? Bahkan tentang Deka dan Darma.
“Kalau lo cuma bisa pilih salah satu di antar kami berdua, gue yang akan maju. TITIK.”
Oscar dan Budi lalu pergi begitu saja, tanpa berusaha mencoba mendengar reaksiku. Saat Oscar sudah melewatiku, ia berdiri diam lalu berkata sesuatu dalam posisi membelakangiku.
“Jangan salah sangka, gue lakuin ini bukan buat elo. Tetapi tentang harga diri gue, gue akan sangat menikmati Studi Banding gue yang terakhir. Setelah gue beresin urusan di Studi Banding, giliran elo selanjutnya yang gue beresin. Selain itu....Gue juga gak mau punya hutang budi ke siapapun, termasuk sama elo.”
Kemudian Oscar dan Budi pergi begitu saja.
Hutang budi ke aku? Sepertinya perkataan Oscar merujuk ke tindakanku dulu yang tanpa sengaja membantunya menghadapi segerombolan kru LPH. Tetapi apapun alasannya, aku merasa lega karena ketiadaan bang Feri bisa digantikan oleh Oscar yang jauh lebih kuat. Kalau nanti Oscar menantangku berduel, aku siap untuk re-match.
Oke kelas 3 beres, saatnya mulai menyusun strategi pendekatan ke anak kelas 2. Strategi? Sepertinya strategi untuk menghadapi Edgar cs tidak terlalu rumit. Cuma butuh keberanian dan sedikit kenekatan.
Aku lalu bergegas kembali ke kelas karena aku sudah terlambat masuk hampir 10 menit. Semoga Pak Sarni masih mengijinkanku masuk ke kelas. Namun saat mendekati kelas, justru aku mendengar suara riuh mulai dari kelas 1D, 1E hingga depan kelasku sendiri 1F. Saat melongok masuk ke dalam kelas, tidak ada Pak Sarni. Justru malah teman-temanku sedang mengemasi buku dan peralatan tulis ke dalam tas masing-masing.
“Kemana aja lo Yan? Pas istirahat, ngilang duluan. Pas balik kelas telat pula. Sok sibuk lo ah,” cerocos Xavi.
“Hehehe ya gitu deh. Eh ini kita pulang awal ya?”
“Iya, guru-guru ada rapat jam 10. Yihaa weekend yang menyenangkan!”
Ternyata perkataan Bram tepat, bahwa kemungkinan hari ini kami pulang awal. Sakti juga si Bram.
“Mo pacaran lo ya?” tanya Yosi.
“Pengennya…”
“Lha kok pengennya? Kenapa? Asha sedang mens ya? atau dia malah belum telat datang bulan?OMG!” bisik Yosi sambil menahan geli.
“Sembarangan lo ngomong Yos. Asha sore ini sampai besok malam ke luar kota, ada acara 1000 harinya neneknya.”
“Hahaha! Yadah ntar malam, latihan band aja yuk ah. Gatal pengen main musik lagi nih!” sahut Yosi sambil merangkul Xavi.
“Latihan band apaan. Ini malam minggu. Yandi pasti udah di booking Dita ntar malam. Sementara Zen baru juga lepas gips kemarin. Lagian emang lo gak jalan sama Dea?”
“Oia lupa. Nasib kita sama Xav. Dea sama abangnya ntar mau balik rumah. Ada arisan keluarga di rumahnya besok. Zen gimana tangan lo?”
“Ya masih agak kaku sih karena dua bulan kebungkus gips. Justru gue perlu banyak aktvitas dengan tangan kiri. Kalau ntar pada nge-jam di rumah Xavi, gue ikut deh. Mungkin gak ikut jamming sih. Cuma main gitar, lemesin jari,” jawab Zen.
“Nice. Yan, ntar malam kalau lo selesai jalan ma Dita mau nyusul ke rumah, nyusul aja yak.”
Aku Cuma senyum-senyum saja mendengar percakapan temanku. Aku bilang Oke saja atas pertanyaan Xavi, meskipun dalam hati, setelah jalan sama Dita aku sebaiknya istirahat karena besok malam pasti melelahkan. Kami berempat dan Vinia pun mengobrol santai sambil keluar dari kelas. Acara jamming di rumah Xavi langsung berubah saat Vinia memberitahu ntar malam ada show di acara kampus FISIP UNIV XXX, lebih pilih nonton Vinia daripada nge-jam.
“Alah, paling kalian mau ngecengin mahasiswi-mahasiswi sana, dasar cowok opportunis!” kata Vinia saat mendengar Xavi mengubah acara ntar malam, di amini oleh Yosi dan Zen.
“Lo juga doyan Zen?” goda Vinia.
“Hehehe, masihlah.”
“Cari pacar dong! Tuh lo tinggal milih. Intan sama Hesti fans berat lo tuh. Bro, mending lo ajak Hesti dah daripad Intah. Kan Hesti mayan toge tuh, kalau Intan mah kutilang,” timpal Xavi.
“Dasar otak mulut sama cabulnya,” kataku sambil tertawa.
“Heran, gua sama Asha, kenapa mau pacaran sama cowok cabul ini sih!” tukas Vinia.
Hahaha menyenangkan memang kalau sudah ngobrol gak jelas sama mereka berempat. Kami lalu berpisah di lobi dan tidak nongkrong dulu karena masing-masing punya kesibukan. Sambil menunggu bus datang, aku membuka ponsel dan mengirim WA ke seseorang.
YANDI
kelas tiga beres. Besok ketemu di Coffepedia jam 9 malam.
10.14
Setelah mengirim WA tersebut, aku kemudian mampir ke apotik untuk membeli Betadine, salep, Hansaplat, beberapa roll kasa. Aku bakal butuh ini semua besok.
***
“Kita berhenti disini, itu Barak, elo kesana jalan kaki.” kata Bram menepikan mobilnya di depan sebuah angkringan. Sambil menunjuk ke sebuah kedai kopi yang bangunannya di dominasi bambu. Agak remang-remang dan berdekatan dengan areal persawahan. “Edgar cs, mereka biasa nongkrong di saung paling belakang sana.”
“Eh kalau semisal ribut disana gimana tuh?”
“Udah biasa, kalau pada mabuk atau rese, saling senggolan, emosional terus pecah perkelahian, lalu sama orang sana lo di giring ke tanah lapang belakang Barak. Di situ lo bisa berantem puas-puas dah, gak ada yang ganggu.”
“Serius?”
“Yoii. Yang berantem baru dilerai kalau sudah ada yang kalah atau sudah melampaui batas.”
“Oke,” aku lalu turun dari mobil. Baru juga jalan beberapa langkah, Bram memanggilku.
“Lo sendirian malam ini, dua jam lo belum keluar dari sini, gue bakal minta salah satu teman gue untuk jemput elo ke dalam.”
Aku menoleh ke belakang,” Gak usah repot-repot, aku bakalan keluar sendiri dari sana dalam keadaan baik-baik saja.Oia, gak nunggu aku. Aku akan pulang sendiri, makasih udah nganterin kesini.”
Bram tertawa mendengar perkataanku. Selanjutnya aku tidak perhatikan apakah Bram pergi atau turun dari mobil lalu mengawasi dari sini. Dengan santai aku berjalan menuju Barak. Wah malam ini ramai sekali, Barak ini lebih seperti tempat minum. Karena lebih banyak botol dan kaleng bir bertebaran di atas meja pengunjung. Karena tahu tujuanku dimana, aku menuju bagian belakang Barak melalui samping bangunan utama yang di penuhi kepulan rokok dan para pelayan cewek berbaju seksi yang mondar-mandir membawa nampan berisi minuman.
Tiba di bagian belakang bangunan utama, ada area outdoor yang juga ramai di isi oleh para pengunjung yang usianya masih muda-muda, antara SMA dan anak kuliahan gitu lah. Di paling belakang ada beberapa saung yang sudah terisi. Aku melihat saung yang berukuran paling besar menarik perhatianku.
Edgar. Edgar berdiri di depan saung sambil merokok, ia sedang menatap ke arahku dengan tatapan sinis. Di belakang Edgar, banyak anak kelas dua yang aku tahu namanya sedang minum ngrokok dengan santai. Termasuk para dedengkot bajingan dari kelas dua. Semua lengkap ada disana. Ada kali 10 an anak orang atau lebih.
Dari sikap dan gaya Edgar, sepertinya ia tahu bahwa aku akan mendatanginya. Aku sih tidak merasa heran, karena aku pun tidak berniat membuat mereka kaget dengan kehadiran. Potensi bahwa Bram sudah memberitahu Edgar tentang kedatanganku malam ini pun sudah aku perhitungkan, tidak ada masalah sih. Jadi aku tidak perlu repot memberitahukan niatku kesini. Aku lalu mendekati Edgar dan berdiri di depannya.
Kami berdiri berhadap-hadapan dalam jarak kurang lebih 5 meter.
“Gue pikir Bram bercanda saat dia bilang, bahwa satu hari nanti lu akan nongol kesini,” ujar Edgar sambil terus menghisap rokoknya. “Setelah apa yang elo tunjukkan di aula, perkataan Bram lebih terasa masuk akal. Meskipun yah gue gak nyangka elo akan datang secepat ini,” lanjutnya.
“Ya begit-“
Aku reflek memiringkan badan ke samping, saat melihat dari arah saung, sebuah botol bir kosong di lemparkan ke arahku. Suara pecahan botol yang berserakan di tanah, menarik perhatian para pengunjung lainnya. Kalau aku gak sigap, udah bocor kepalaku kena lempar botol.
Tak lama kemudian datang seseorang yang sepertinya berusia lebih tua daripada kami, mungkin ya berusia awal 30 tahunan. Ia berpakaian kemeja dan celana jogger warna abu-abu selutut.
“kalau kalian mau ribut, sana ke belakang. Jangan disini. Ganggu tamu.”
“Iya bang maaf. Ikutin gue Yan.”
Aku lalu mengikuti Edgar yang berjalan di jalan setapak yang agak menurun. Di belakang gue, semua teman Edgar juga menyusul. “Cari mati lo kesini, babi…” gertak David. Aku diam saja tidak menggubris perkataan David. Tak lama kemudian kami sampai di sebuah tanah berumput yang cukup terang karena adanya penerangan yang cukup. Edgar tiba-tiba melepas bajunya dan kemudian mengangkat kedua tinjunya.
“Kita olahraga sejenak sebelum bicara.”
Aku menengok ke belakang. Farid, Heru, Satya, David dan beberapa orang lainnya juga ikut melepas baju.
Di depanku ada Edgar.
Di belakangku ada 8-9 orang.
Dengan cepat aku pun melepas jaket dan bajuku, hingga kini kami yang berada di atas tanah lapang ini, bertelanjang dada.
“Finish him,” ujar Edgar singkat.
Main keroyokan rupanya. Aku sudah menduga. Sifat culas mayoritas dedengkot bajingan anak kelas 2 sudah terlihat sejak awal perseteruan. Aku langsung mengeraskan kepalan kedua tangan. Aku harus bermain efektif. Alih-alih menunggu mereka menyerangku duluan, aku justru yang berlari ke arah sekumpulan anak kelas 2 yang ada di belakang. Tindakanku ini cukup membuat dua orang lengah. David dan Farid yang berada di baris terdepan langsung tersungkur ke tanah sambil mengerang saat tinju kananku ke mengarah arah rahang David dan tendangan kaki kiri ke bagian rusuk Farid membuat keduanya tidak akan sanggup berdiri.
Namun yang lain lebih sigap, tendangan Satya ke bagian perut membuatku terdorong ke belakang dan nyaris terpeleset jatuh ke belakang karena permukaan tanah yang licin karena rerumputan yang basah. Tendangan Satya membuatku merasakan sakit namun efeknya hanya sebentar karena otot perutku lumayan kencang serta tahan pukul. Merasa mendapat angin, Satya mengarahkan tendangan susulan. Aku menghindar ke samping sambil menghantam betisnya telak. Efeknya jauh menyakitkkan karena Satya mengenakan celana pendek.
“Ketangkep lu!” seru salah seorang di antara mereka yang tiba-tiba sudah mendekapku dari belakang.
BAM ! Aku merasa pusing saat mukaku kena pukulan dari samping. Aku merasakan asin di mulut, rupanya bibir sampingku berdarah. Heru menyeringai. Pukulan dari bajingan yang disebut Bram levelnya di bawah Edgar memang terasa. Aku berupaya menendang tetapi pada akhirnya aku di kerumuni tiga sampai empat orang selain Heru. Aku dipukul, di tendang dari berbagai arah. Pusing dan kupingku berdengung keras saat satu pukulan mengenai samping kepala. Belum lagi perut dan badan menerima pukulan serta tendangan. Bisa gawat kalau begini terus. Sambil menerima pukulan ke arah muka, aku memajukan kepala ke depan lalu kusentakkan kuat-kuat ke belakang.
“Arrrggghhhhhhhh!!” teriak orang yang mendekapku dari belakang. Kuncian tangan yang terlepas membuat kedua tangan terbebas. Akupun berteriak meluapkan adrenalin karena di keroyok. Dalam jarak dekat, aku adu pukul dengan merake yang mengerumuniku.
BUGH !! Satu orang terkena tinju kanan hingga terdorong mundur sambil memegangi mulutnya yang berdarah cukup banyak. Sepertinya ada giginya yang tanggal. Berkurang satu orang membuatku bisa berbuat lebih. Berikutnya sambil mengeraskan otot perut dan rahang, dengan membabi-buta aku memukul ke segala arah.
Kekuatan penuh.
Daya serangku yang jauh lebih kuat daripada serangan mereka, membuat orang-orang di sekitarku kewalahan. Heru bahkan langsung pucat saat kedua tinju kami bertemu. Ia berteriak sambil memegangi tangan kanannya. Kepalan tangan kananku jauh lebih superior dibanding miliknya. Aku lalu menendang lawan di sebelah kiri ke bagian pahanya. Bunyi benturan cukup keras terdengar. Dia langsung terjatuh sambil mengusap-usap pahannya. Feelingku mengatakan orang berbadan besar di belakangku hendak menyerang. Dan benar saja, dengan hidung berdarah-darah ia menyeruduk ke arahku. Aku layangkan uppercut dari bawah ke bagian wajahnya.
BAM !!!
Ia berdebum ke tanah dalam keadaan pingsan.
Aku lalu mundur beberapa langkah untuk mempeluas daya pandang. Nafasku memburu, keringat sudah membuatku seperti mandi keringat. Capek dan rasa sakit di badan masih bisa kuatasi. Sambil mengangkat kedua kepalan tangan, aku mengamati lawanku yang kondisinya sama sepertiku. Namun mereka lebih parah. Ada yang tetap duduk di tanah, ada yang tetap berbaring dan ada juga yang dari cara ia menatapku, ia masih sanggup untuk bertarung denganku. Kami memanfaatkan ini untuk mengambil nafas. Lambat laun, cuma ada 4 orang yang masih berdiri. Sisanya lebih memilih menyingkir. Nampak fua orang menyeret si bongsor yang pingsan dalam keadaan tertelungkup ke pinggir.
Kini tinggal aku berdiri berhadapan dengan Farid, Heru dan Satya. Farid berdiri sambil memegangi rusuk kanan, Heru berdiri sambil mengibas-kibaskan tangan kanannya dan Satya dengan kondisi kaki terpincang-pincang kembali mengangkat kedua tinjunya.
Mereka memang sering main keroyok tetapi secara personal para dedengkot kelas dua pada dasarnya memang kuat. Baguslah, karena paling tidak aku akan memiliki kakak kelas seperti mereka yang kemampuannya di atas-rata bajingan kebanyakan. Edgar yang dari tadi hanya mengamati lalu berjalan mendekat dan bergabung dengan temannya. “Kalian ambil nafas dulu, giliran gue yang maju.”
Aku dan Edgar berdiri saling berhadapan dalam jarak dekat dengan posisi kedua tangan terkepal di depan muka.
Yandi vs Edgar, ronde kedua.
BET !!
Aku mengelakkan kepala untuk menghindari pukulan kanan Edgar tetapi satu pukulan kiri menghempaskan mukaku ke belakang. Terasa darah merembes dari hidung.
“Untuk ukuran bajingan yang sering bawa senjata, pukulanmu boleh juga,” kataku singkat lalu kubalas dengan pukulan ke arah perutnya.
“Anj.....ingghhh...” responnya sambil terbata-bata.
“Aku kesini mau bicara baik-baik Gar. Tentang Studi Banding.”
“Lu kalahin gue dulu baru kita bicara !”
Brugh ! Dari posisi tertunduk tiba-tiba Edgar menyeruduk ke arahku. Aku terdorong hingga terjatuh. Kini Edgar berada di atasku lalu menghujaniku dengan pukulan bertubi-tubi. Aku berusaha memblok tetapi tetap ada beberapa pukulan yang masuk mengenai muka.
PLAP !!
Edgar terkejut saat kepalan tangan kanannya tiba-tiba kutahan dan kupegang kuat. “Bangsaatt!” umpatnya.
PLAP !!
Tinju kiri Edgar kutahan kuat-kuat. Sehingga kini kedua kepalan tangan Edgar berada dalam genggaman. Hal berikutnya yang terjadi adalah adu kuat. Jika Edgar menekan terus ke bawah, sementara aku yang berada di posisii kurang menguntungkan berusaha menahan sekaligus meremas kuat-kuat.
Kami berdua berteriak untuk meluapkan emosi dan adrenalin yang memuncak di tengah adu kekuatan. Dalam hal kekuatan, jelas aku yang lebih unggul. Edgar yang menyadari dia kalah dalam hal tenaga lalu membenturkan dahinya ke arah mukaku yang terbuka. Aku yang lengah dan tidak menduga serangan Edgar, sempat merasakan nge-blank karena saking sakitnya benturan. Aku bisa saja pingsan jika Edgar bersabar sejenak, ia terlalu dikuasai amarah sehingga kembali memukukuliku tanpa ampun. Pukulan Edgar justru menyelamatkanku, benturan di kepala membuat kesadaranku kembali meskipun diiiringi luka perih. Karena Edgar posisinya menduduki perut, kakiku masih bisa bergerak bebas. Kutendang kepala Edgar dengan kaki kanan, aku sengaja tidak terlalu kuat menendangnya karena kalau kutendang sekuat tenaga ke arah kepala bagian belakang, bisa fatal.
Edgar mendelik dan berteriak, secara reflek ia berhenti memukuli dan memegangi kepalanya yang kutendang. Aku segera berguling ke samping sehingga kini kami bertukar posisi. Aku di atas menduduki perut Edgar sambil menunjukkan kepalan tangan kanannku.
“Game over!” kataku lalu kuhantamkan kepalan tangan ke arah Edgar.
BUGH !!!!
Edgar menutup mata dengan tangan mencoba melindungi wajahnya. Sadar bahwa ia tidak terkena pukulanku, Edgar membuka matanya dan melihat tinju mendarat di tanah tepat samping kepalanya.
Aku membuang ludah bercampur darah yang ada di mulut. Kemudian aku beranjak berdiri. Ku ulurkan tangan kepada Edgar, menawarkan bantuan membantunya berdiri. Edgar masih diam sambil menatapku.
“Ayolah, aku ingin bicara denganmu dan juga ke teman-temanmu...”
Tep!
Edgar menyambut uluran tanganku. Dengan senang hati aku tarik Edgar sehingga ia bisa berdiri. Fiuh aku merasa lega karena usai sudah perkelahian ini. Di saat aku merasa sikap Edgar sudah melunak....
CRAS!!!
Rasa perih dan nyeri langsung terasa saat ujung suatu benda menyambar kening dan menimbulkan luka terbuka yang membuat darah mengucur. Aku berteriak kesakitan sambil memegangi luka. Saat aku lihat telapak tanganku bersimbah darah.
"Gue terkejut karena lo lengah. Bukan kah kamu tahu gue suka menggunakan benda seperti ini di saat terdesak? Bahkan lo sempat nyindir gue di awal."
Edgar mengejekku sambil menepuk-nepukkan baton stik ke telapak tangan kirinya.
"Dan gue lebih terkejut betapa lo masih memegang prinsip yang naif. Hal itu yang ngebuat gue makin benci sama elo. Lo menganggap orang seperti gue sebagai pengecut karena pakai senjata saat berkelahi. PENGECUT itu kalau gue pakai senjata sementara elo harus tangan kosong! Padahal gue gak peduli kalau lu pake senjata," ucap Edgar berapi-api.
Aku geram mendengarnya namun perkataan Edgar membuatku sedikit banyak tahu karakternya. Perbedaan cara pandang cukup besar di antara aku dan mungkin dengan senior yang asli anak Kota XXX. Jika aku dibesarkan di kampung yang sangat menjunjung tinggi "berkelahi secara jantan" dengan cara duel satu lawan satu tangan kosong alias tanpa senjata. Di kampungku, pihak yang kalah tetap dapat respek karena kalah secara adil. Sementara di Kota XXX, Edgar dan mayoritas bajingan lainnya punya prinsip yang berbeda,"Senjata dan main keroyokan hukumnya halal, yang penting menang."
Jika cara mendapat respek dari kalian dengan prinsip seperti itu, baiklah aku akan mengikuti gaya kalian. Kepalaku masih berkunang-kunang akibat pukulan baton. Tetapi untung lukanya tidak terlalu dalam dan pendarahan sudah berhenti. Aku melihat di sekelilingku, namun tidak ada yang bisa kujadikan senjata.
"Yan...."
Aku menoleh ke samping saat ada yang memanggilku. Heru maju selangkah sambil melemparkan sesuatu ke arahku.
TEP!
Aku reflek menangkapnya. Ternyata sebuah baton stik berbahan besi sepanjang 15 cm berwarna hitam. "Pakai itu" kata Heru. Aku menggenggam baton stik erat yang ujungnya meruncing namun tumpul di ujung.
"Duel sebenarnya baru di mulai Yan.."ujar Heru sambil mengeluarkan baton stik. Di ikuti oleh Satya, David dan Farid. Mereka berempat lalu bergabung dengan Edgar.
Perang dengan baton akan segera di mulai!
Situsinya bisa berjalan ke arah yang semakin membahayakan namun justru membuat adrenalinku terpacu! Aku pun menyerang terlebih dulu. Farid mencoba menyabetkan baton stik, aku menunduk.
PAGH ! PAGH! Paha dan perut Farid jadi sasaran empuk batonku.
Namun aku mengernyit karena akibatnya aku terkena tendangan David di ikutin sabetan baton Heru.
TAGH!
Edgar mencoba memasukkan pukulan baton tetapiku tangkis sehingga baton kami beradu. Sambil menangkis baton Edgar, kutendang punggung Satya. Satya mengerang hingga menegakkan punggung. Edgar yang kalap kembali memukulkan baton ke arah kepala. Kali ini ku tahan dengan telapak kiri.
Sialan !! Sakit sekali ! Panas nyeri rasanya. Tapi aku sengaja melakukannya karena di saat yang sama aku menyabetkan baton ke pundak kanan Satya untuk mengakhiri perlawanannya. Hanya saja karena melawan lima orang sendirian, aku tidak bisa mengelak saat Heru menusukkan ujung baton ke arah perut. Rasanya luar biasa sakit dan untuk sesaat mengurangi konsentrasiku.
BUGH! BUGH !
"Mampus lu!" seru Heru sambil memukuli punggungku hingga aku tertelungkup. Gebukan baton menjadi semakin kencang saat Edgar beserta David ikut memukuliku. Aku melindungi kepalaku dengan tangan kiri, karena aku gak mau kalah di sini.
WUT!
Kupukulkan baton sekuat tenaga ke betis Heru. Meskipun dia memakai celana jeans panjang, tetapi modelnya jeans skinny yang ngepas. Sehingga efek pukulan tetap terasa.
"ARGGHH!" Heru langsung rubuh sambil memegangi betis kanan. Berkurang satu orang, membuatku bisa melepaskan diri dari gebukan Edgar dan David dengan cara berguling ke depan.
Punggung rasanya gak karuan, yang pasti memar-memar cukup parah. Aku gerakkin aja nyeri apalagi kena gebuk lagi. Sialan, lagi-lagi punggungku cedera seperti waktu di gebukin LPH. Aku berhenti untuk mengatur nafas begitu juga dengan Edgar dan David. Tinggal mereka berdua yang masih sanggup memberikan perlawanan, sementara teman mereka kini hanya duduk mengamati. Setelah merasa sedikit lebih baik, aku berlari mengambil satu lagi baton yang tergeletak di rerumputan sehingga kini aku memegang dua baton sekaligus. Aku mesti melumpuhkan mereka secepatnya karena sudah gak karuan ini badan dan kepala.
David memukulkan baton sekuat tenaga hingga ia terdorong oleh kekuatannya sendiri. Kurendahkan pinggang lalu
BAM !
Tendangan kaki kiri telak mengenai wajahnya untuk yang kedua kalinya malam ini. Sebelum David roboh, kuhantam punggungnya dengan kedua baton.
BUGH ! BUGH !
David pingsan dengan mulut mengucur darah.
“Ugh!!” aku mengerang saat sodokan ujung baton Edgar sudah mengenai rusuk hingga baton di tangan kiri terlepas dari tangan. Kalau seandainya Edgar menggunakan pisau, aku pasti mati disini kena tusuk karena terasa sodokan Edgar yang begitu keras, membuatku sesak nafas karena saking sakitnya. Aku sempat menjejakkan kaki belakang dan menghindar saat Edgar menyabetkan baton ke arah muka. Terasa hembusan angin di muka. Nyaris saja. Edgar terus berusaha menyerangku hingga akhirnya pergelangan tangan kanannya berhasil aku pegang dengan tangan kiri.
BUGH !! BUGH !! BUGH !!
Giliranku yang memukuli badan, lengan serta punda Edgar beberapa kali hingga ia mengerang. Edgar berusaha membalas dengan menyerang mengggunakan tinju kiri. Pagh ! Mengenai pipi kiriku. Panas rasanya. Akhirnya, kusodokkan ujung baton ke samping perut dua kali. Edgar berteriak meluapkan rasa sakit. Kucekik leher Edgar kemudian ku angkat tinggi-tinggi baton.
“Aku menang...!”
Mata Edgar reflek terpejam saat baton kuarahkan ke kepalanya, kali ini aku akan serius memukulnya untuk menunjukkan bahwa aku pun bisa bersikap tegas.
Namun batonku tertahan, saat aku menengok ke belakang rupanya ada cowok berambut cepak yang memegang dan menahan baton. Aku tidak tahu siapa dia.
“Sudah cukup, lo yang menang. Ed, terima saja kekalahan lo dan buang sifat egois lo karena lo udah kalah total,” katanya kepada kami berdua. Perlahan ia mengambil baton dari tanganku.
“Fred, tolong yang tidak berkepentingan, lo bubarin. Dan tutup pagarnya. Sudah cukup.” Dia memerintahkan orang yang di awal meminta kami untuk berpindah tempat dan tidak membuat keributan di lokasi. Sepertinya orang ini atasannya.
Aku baru sadar jika hampir sekeliling tempat ini dipenuhi kerumunan. Rupanya perkelahian kami jadi barang tontonan. Fiuh, saking seriusnya aku berkelahi, aku sampai tidak menyadarinya. Emosiku mereda. Aku lalu jatuh terduduk. Akhirnya selesai juga....Capek gila dan yang lebih penting, badanku sakit semua. Semoga apa yang aku lakukan malam ini tidak sia-sia. Edgar juga sama sepertiku, ia langsung terbaring telentang di atas rumput begitu saja sambil memegangi sisi perut yang tadi aku sodok dengan ujung baton. Ia tidak berkomentar apa-apa.
“Maaf bang, aku membuat keributan disini,” aku meminta maaf kepada orang tersebut. Dia kemudian berjongkok.
“Rese sih tetapi yang penting, ada hal positif yang sepertinya bisa di ambil setelah kalian berjibaku disini. Gue Trias, gue yang kebetulan punya ni tempat,” katanya memperkenalkan diri sambil menepuk pelan pundakku.
“Namaku Yandi bang.”
“Oke. Woi, kalian ngapain berdiri disana? Sini kalian ngumpul !” perintah Bang Trias kepada Heru dan yang lainnya. Sambil berjalan susah payah mereka lalu duduk di dekat kami. Sehingga kini kami semua berkumpul. Bang Trias lalu berdiri.
“Memang ini bukan urusan gue, tetapi karena kalian berkelahi di tempat gue, jadi gue mesti ikut campur. Gue cuma mau bertanya kepada kalian semua dan jawab pertanyaan gue dengan jujur. Pertanyaan gue sederhana, kalau kalian ada di posisi Yandi, apakah kalian berani melakukan hal sama yang dilakukan oleh Yandi? Gak usah kalian jawab dengan lantang. Cukup kalian jawab dalam hati dan gue minta jawab dengan jujur, terutama elo Ed.”
Aku lihat mereka semua tertunduk.
“Sudahlah, kalian bersih-bersih dulu, lalu pulang sana, kalau butuh obat P3K, minta ke Fredi,” bang Trias menatapku. “Lo kuat jalan ke depan gak?”
“Ku-kuat bang.”
“baguslah, kalian kuberi waktu 30 menit untuk istirahat dan bicara. Setelah 30 menit, kalian mesti pergi. Kalau masih ada di sini, gue yang akan seret kalian semua keluar, ngerti?”
“Ngerti bang,” jawab kami serempak.
Lalu bang Trias pergi. Kemudian aku menatap mereka semua satu-persatu, kecuali Edgar yang masih berbaring. Aku tidak merasakan lagi hawa permusuhan dari mereka.
“Aku butuh bantuan kalian semua, tanpa terkecuali. Karena bagaimanapun, kalian tetap seniorku di sekolah,” kataku memecah kebisuan.
Entah apakah mereka tetap diam dan belum beranjak dari sini karena memang menungguku untuk berbicara sesuatu atau memang badan mereka masih sakit semua.
“Memang bangsat elo Yan...Lo sama kayak Axel, sama-sama keras kepala, keberanian elo, gue akui. Sama satu lagi, lo memang benar-benar kuat...” kata Heru pelan.
Wah aku dapat pujian bahkan di samakan dengan Axel?
“Lo jangan besar kepala dulu...” sahut Edgar yang kini terduduk sambil menyeka hidungnya yang berdarah. “Mentang-mentang lo bisa survive malam ini, jangan pikir kami akan mengakui elo sebagai bajingan nomor 1 di sekolahan kita. Jadi orang terkuat bukan serta merta lo akan dapat respek dari kami. Masih belum dan banyak hal yang mesti lo buktikan...”
“Banyak hal yang mesti aku buktikan? Seperti dengan membawa sekolah kita menang di Studi Banding?”
“Itu salah satunya, namun Studi Banding hanyalah baby step. Ada hal lain yang jauh lebih besar...”
“Apa itu?”
Edgar tertawa sinis lalu dengan susah payah serta memegangi rusuk kirinya, Edgar berdiri dan menatapku tajam.
“Lo pikir gue akan kasih lo petunjuk A, B, C, D seperti yang dilakukan si ular itu? Hati-hati lo sama Bram. Seandainya Bram tidak punya anjing penjaga, dia sudah kami habisin. Tentang hal yang jauh lebih besar daripada Studi Banding, Lo cari tahu sendiri. Itu beban yang mesti lo pikul setelah lo menghabisi Oscar. Lo belum siap. Lo tidak se-visioner Oscar. Otak kampung kayak elo terlalu sederhana dan simpel. Secara fisik lo memang siap tetapi secara pemikiran lo belum pantas jadi orang yang sanggup dan mau menghancurkan rival kita. Ayo cabut!” Edgar lalu berjalan tertatih-tatih diikuti teman-temannya.
Seharusnya aku marah mendengar perkataan Edgar namun perkataannya punya banyak makna. Termasuk tentang Bram. Aku melihat para dedengkot kelas dua mulai meninggalkan lokasi sambil membawa baju masing-masing. Sepertinya kedatanganku sia-sia, meskipun aku menang atau bertahan, tetap saja aku tidak bisa membujuk mereka semua.
“Yan!”
Aku menoleh dan melihat Heru masih berdiri, sementara teman-temannya sudah menghilang dari pandanganku.
“Edgar memang sulit orangnya, ego dia tinggi sekali. Tetapi lo tenang saja. Gue, Edgar atau teman gue yang lain 100 % ikut Studi Banding...Btw, gue salut karena elo berani datang menghadapi kami semua. Ciao.”
Aku lega mendengar perkataan Heru, ternyata tindakanku tidak sia-sia malam ini. Oke, aku memang menduga aku akan terlibat baku hantam dan meninggalkan jejak bekas perkelahian. Namun aku tidak menyangka akan separah ini. Setelah mengambil kaus dan tas kecil yang kubawa, dengan berjalan tertatih-tatih sambil memegangi rusuk, aku menuju kamar mandi ke arah keluar Barak. Setelah mencuci muka, membersihkan darah kering yang ada di hidung, pelipis dan luka-luka lecet, aku mengoleskan salep ke bagian wajah dan badan yang lebam. Sementara untuk luka sobek, setelah aku bersihkan, aku berikan betadine kemudian di tutup dengan kasa dan hansaplat.
Sakit. Sialan. Tapi tetap bersyukur karena tidak sampai patah atau retak tulang. Meskipun luka yang membuatku meringis saat berjalan adalah luka sodokan yang membiru di rusuk kanan. Namun ya setelah aku berikan salep, jadi agak mendingan. Saat keluar dari Barak, aku melihat Bram sedang merokok bersama seseorang sambil bersandar di samping mobilnya. Orang yang bersama Bram tidak terlihat jelas karena ia berdiri di area yang cukup gelap. Saat mereka mereka melihatku keluar dari Barak, teman Bram lalu pergi naik motor.
Bram bertepuk-tangan saat melihatku datang.
“Lo emang gila Yan, hahahaha!”
Aku diam saja. Justru aku malah kepikiran dengan perkataan Edgar tentang Bram.
“....Hati-hati lo sama Bram. Seandainya Bram tidak punya anjing penjaga, dia sudah kami habisin....”
Siapa anjing penjaga yang di maksud Edgar?
***
Setelah mendapat omelan panjang lebar dari Mbak Asih setelah ia tahu wajahku (untuk yang kesekian kalinya) lebam-lebam, aku tetap memaksakan diri berangkat ke sekolah. Sebenarnya aku seperti mendatangi kandang singa karena nekat ke sekolah dengan luka yang jelas-jelas bekas baku hantam dengan dedengkot bajingan kelas 2. Aku akan menjadi sasaran tembak yang empuk bagi Pak Tomo. Apalagi inii hari Senin, pas upacara sekolah. Jika ia nanti menghukumku dengan sama seperti sebelumnya, yakni mengangkat meja atau membersihkan toilet sepulang sekolah selama 6 bulan berturut-turut, kali ini aku akan memilih opsi yang kedua. Badan serasa remuk gini, uda pasti aku gak kuat mengangkat meja selama 5 jam.
Tapi kalau aku absen hari atau besok toh sama saja, luka seperti ini baru bisa hilang tak berbekas kurang lebih 3-4 hari. Jadi yasudahlah, aku akan tetap berangkat ke sekolah.
Kehadiranku dengan penampilan seperti ini, tepat seperti dugaanku, memimbulkan sedikit kehebohan, untuk para teman-teman dekatku.
“Bujuugg, eluu berantem sama siapa lagi Broo?” komentar Xavi.
“Kena begal lagi lu Yan?” sindir Yosi sambil tertawa.
“Sepertinya elo berada di pihak yang menang,” ujar Zen.
“BODO AMAAAATTT ! ELO INI ! PADA GATAL APA KALAU PUNYA BADAN SEHAT ?” Reaksi Vinia yang paling keras dan ia terlihat marah melihatku seperti ini.
Sementara teman yang lain juga bertanya, aku berantem dengan siapa dan lain-lain. Aku hanya diam saja mendengar pertanyaan mereka. Ketika bel tanda upacara terdengar, aku dan seluruh siswa berkumpul membentuk barisan sesuai kelas. Pak Tomo yang tadinya sedang berbincang dengan Pak Soni, guru Matematika, langsung diam dan menatapku.
Pasrah udah, yang jelas aku lebih pilih bersihin toilet daripada angkat-angkat meja. Saat aku sudah berada di barisan tengah, tiba-tiba aku merasakan ada yang menepuk kepalaku cukup keras hingga topi yang kukenakan terlepas, aku berteriak keras sekali karena bagian kepala yang ditepuk adalah bagian yang benjol. Aku jelas marah dan saat menengok ke samping, orang yang sudah memukul kepalaku adalah Pak Indra.
“Kenapa? Gak terima lu gue colek?” hardik Pak Indra dengan suara keras. “Sok jagoan, sana keluar dari barisan!” katanya sambil mendorong punggungku dengan kakinya.
“Pak, jangan kasar dong sama murid,” protes Vinia.
“Kenapa? Elu keberatan? Colekan gue jelas bukan apa-apa buat seorang jagoan kayak dia. KENAPA LU MASIH DI SINI?CEPAT MAJU KE TENGAH LAPANGAN! APA PERLU GUE SERET?” bentak Pak Indra.
Aku emosi tetapi mau gak mau menuruti perkataan Pak Indra. Lalu aku pun maju dan berdiri di tengah lapangan. Menjadi tontonan semua siswa di sekolahkku termasuk para Guru termasuk Pak Tomo. Malu juga sih aku jadi pusat perhatian dengan kondisi yang terlihat jelas, menderita banyak bekas luka akibat berkelahi.
Rupanya, aku bukan satu-satunya murid yang ke sekolah dengan luka seperti ini.
11 siswa dari berbagai kelas angkatan kelas dua juga di paksa maju ke tengah lapangan oleh Pak Indra. Mereka yang maju adalah kakak kelas yang semalam terlibat baku hantam denganku termasuk Edgar, Farid, Heru, Satya dan David. Kami semua memiliki luka yang identik. Sontak kami pun jadi bahan pembicaraan semua murid.
“Maaf Pak Tomo dan guru yang lain, ijinkan saya membawa kedua belas siswa berandalan ini ke aula, untuk saya berikan hukuman karena sudah secara terang-terangan saling terlibat perkelahian. Selain saya hukum, saya juga akan cari tahu masalahnya. Biar tidak terjadi hal seperti ini lagi. Terimakasih.”
Pak Indra berbicara menggunakan mic sehingga suaranya lantang.
“Silahkan Pak Indra mendisiplinkan kedua belas murid ini,” jawab Pak Tomo tenang.
Pak Indra mengangguk lalu menyuruh kami berjalan menuju aula.
“Mampus dah kita kena Pak Indra, apa gue bilang, mending kita bolos sekolah aja,” bisik seseorang di belakangku.
PLAK !
Terdengar suara tamparan. “Siapa suruh lu ngomong, hah!”
Sepertinya siswa yang di belakangku kena tamparan. Sialan, ini akan jadi hari yang menyakitkan. Begitu kami sampai di aula yang berada di lantai dua, Pak Indra menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Ia lalu meminta kami berbaris. Dia kemudian membuka sebungkus rokok dan berjalan di depan kami.
“Yang mau rokok, ambil saja. Gak usah sok sungkan. Kita rokok’an dulu sebatang.”
Aku dan semua yang ada di aula, bingung mendengarnya. Edgar tanpa sungkan mengambil sebatang dan diikuti oleh semua siswa kecuali aku yang melewatkan rokok gratis.
“Gak suka lu sama Garpit?” tanya Pak Indra.
“Saya gak ngrokok Pak.”
“Oke.”
BUGH !!!
Aku langsung memegangi perut sampai terbatuk-batuk saat tiba-tiba Pak Indra meninju perutku dengan keras.
“Jagoan macam apa yang gak doyan rokok, cemen,” ejek Pak Indra.
Pak Indra lalu mengambil kursi lipat kemudian duduk sambil membakar sebatang rokok.
“Dah, kalian habisin rokoknya dulu. Santai saia, waktu kita masih panjang disini. Setelah selesai rokok’an, baru kita main-main,” ujar Pak Indra santai.
Saat aku berdiri setelah rasa sakit di perut mulai berkurang, aku melihat Farid dan beberapa siswa lain memegang rokok dengan tangan gemetaran...Termasuk Edgar.
= BERSAMBUNG =
makasih om serpanth atas updetannya....
ReplyDeleteiklannya dah sy klik, smg bisa membantu untuk updet selanjutnya...
thanks om
Lanjoooooot bro..serpanth
ReplyDeleteThanks om epant, ngerti banget sebagian org lg berdiam diri di rumah, kasi update terus tiap hari
ReplyDeleteUpdate yang menyenangkan di tengah ancaman virus 19
ReplyDeleteMakasih Om Panth
Ditunggu update selanjutnya