LPH #69
Episode 69
Raja Ular
(Pov Yandi)
“Yan, penasaran gue kenapa mereka meminta datang ke sekolahan sore-sore gini ya?” tanya Xavi saat aku, Xavi, Yosi dan Zen bertemu di lobi sekolahan yang terlihat lengang sekitar jam empat sore. Wajar karena sekolah sedang libur satu bulan karena pergantian tahun ajaran baru.
“Mungkin sebagai senior, ada yang ingin mereka sampaikan untuk terakhir kalinya. Gimana menurutmu Yos?” aku meminta pendapat Yosi sambil mulai berjalan menuju lokasi yang di maksud.
“Salah satunya itu sih. Mungkin ada agenda lain,” tukas Yosi sambil menyalakan sebatang rokok. Begitu juga dengan Zen. Huh, aku perhatikan mereka berdua makin lama- makin kenceng ngrokoknya. Cuma aku dan Xavi yang sama sekali tidak tertarik dengan rokok.
“Agenda lain?” aku penasaran.
“Zen, cerita gih yang tadi sore kita bahas di rumah lo,” Yosi meminta Zen untuk menjawab pertanyaanku. Yosi sepertinya sebelum kesini, dia mampir ke rumah Zen yang rumahnya memang dekat dengan sekolah.
“Pada dasarnya kita sudah tidak ada masalah lagi dengan para anak kelas 3. Semuanya selesai di aula. Meskipun begitu, besar kemungkinan mereka akan membicarakan tentang hasil Studi Banding. Karena kekalahan sekolah kita, satu dari kelas 2 dan dua dari kelas 3. Jadi Feri dan Oscar punya ‘andil besar’ dalam kekalahan yang menempatkan kita pada posisi sangat sulit,” terang Zen.
“Njir, jadi Feri menghubungi elo siang tadi dan meminta kita berempat ke sekolahan sore ini, mau minta maaf ke kita?” komen Xavi.
“It’s not gonna be like that. Tidak mungkin para senior menundukkan kepala dan meminta maaf kepada kita. Itu Utopia,” tukas Yosi. “Well, sama persis dengan yang dikatakan Zen, pertemuan ini akan membicarakan Studi Banding. Mungkin mereka akan memberikan tips atau ‘bantuan’ nanti di kemudian hari.”
Yosi memberikan penekanan lebih pada kata ‘bantuan’. Aku menggelengkan kepala, menolak asumsi tersebut.
“Tidak mungkin mereka mengambil resiko berurusan dengan LPH demi membantu kita.”
“Gue menyukai ide bantuan tersebut Yan, bantuan mereka gue pikir tidak seperti Ander dan Opet dulu yang hadir secara frontal. Tapi lebih ke bantuan seperti nasihat, saran dan sejenisnya,” sahut Xavi.
Aku kembali menggelengkan kepala.
“Tidak, tidak. Aku tidak akan menerima bantuan apapun dari para senior yang sudah lulus dari sini. Aku yakin dengan support kalian bertiga, kita bisa melewati periode berat di tahun ajaran yang baru nanti...”
“Good answer boss. I’m pretty confidence we can handle any situation without any help from the outsider for fuck sake,” tukas Zen.
Zen sependapat denganku. Yosi dan Xavi pun mengangguk.
“Hell yeah!” sahut keduanya.
Tak lama kemudian kami sampai di rooftop gedung parkiran yang sepi, cuaca agak sedikit mendung, angin sore juga cukup kencang menerpa, menerbangkan daun-daun kering yang terlihat berserakan. Alasan kami berempat datang kesini setelah siang tadi aku mendapat WA dari Feri yang ingin bertemu denganku dan ketiga sohibku, sore ini jam lima di rooftop gedung parkir motor. Ketiga temanku malah antusias saat aku telpon mereka satu persatu tentang undangan pertemuan dengan Feri. Entah Feri datang sendiri atau dengan teman-temannya.
Itu aku tidak tahu dan justru membuatku dan teman yang lain makin penasaran.
Saat kami sampai di rooftop, aku melihat enam orang berpakaian jas rapi berdiri di tepian rooftop, membelakangi kami sambil merokok. Suara deheman dari Yosi membuat mereka menoleh ke belakang.
Feri, Jati, Deka, Darma, Budi dan Oscar.
Aku tidak terkejut dengan ketiga teman Jati, Darma dan Deka. Yang aku tidak sangka adalah kehadiran Oscar dan Budi. Mereka semua masih mengenakan jas hitam, celana hitam, kemeja dalaman putih, dasi hitam dan sepatu pantofel yang mengkilat.
Sepertinya setelah menghadiri acara seremonial pelepasan para murid kelas 3 di Grand Ballrom Hotel Crystal, mereka langsung kesini.
“Akhirnya kalian datang juga,” kata Feri sambil menatapku tanpa ekspresi.
Aku hendak mendatangi Feri namun Zen mencegahku. “Tunggu Yan. I felt Something Wrong.”
Ucapan Zen membuatku lantas menyadari raut muka ke enam senior kami yang terlihat serius, tidak ada senyum sedikitpun. Justru malah terasa hawa permusuhan dari ke enam orang tersebut.
“Hohoho, kok langsung terasa panas ya, ada apa nih kakak-kakak tercinta meminta kami kesini?” kata Yosi sambil maju beberapa langkah di depan kami.
“Yan, gue dan Yosi sebenarnya mempunyai satu dugaan lagi, namun dugaan tersebut pasti lo tolak mentah-mentah,” bisik Zen.
Aku menoleh ke arah Zen. “Bersiaplah untuk kontak fisik Yan, Xavi. Lo siap?”
“Gue gak secerdas elo sama Yosi dalam hal ginian, tetapi gelagat dan gestur mereka berenam sudah lebih cukup bahwa ‘sesuatu’ akan terjadi sebentar lagi. Zen, gue siap. Sangat siap,” jawab Xavi sambil mengepalkan kedua tangannya.
“Good. Yan, lo diem dan dengerin baik-baik. Biar Yosi melakukan tugasnya yakni membongkar kedok para senior kelas 3 saat ini juga.”
Kepalaku berdenyut saat mendengar perkataan Zen dan kewaspadaan yang di tunjukkan Xavi. Belum lagi sikap Yosi yang seakan menantang para senior.
“Kalian tahu kenapa kalian kami ajak bertemu disini?” tanya Feri menanggapi pertanyaan Yosi.
“Tahu.” sahut Yosi. “Pertama, yang jelas bukan pertemuan mengharukan antara junior dengan senior yang sudah lulus yang penuh dengan ramah tamah, air mata maupun kata-kata mutiara. Apa kalian ingin meminta maaf kepada kami karena gara-gara elo dan Oscar mengalah di Studi Banding, sekolahan kita kalah konyol! Kalah dan membuat kami semua, para generesi penerus kalian, berada dalam posisi memalukan. Kenapa kalian melakukan hal yang mencoreng harga diri kalian dan juga reputasi sekolah kita?”
Feri dan yang lain tetap diam tanpa ekspresi saat mendengar tuduhan Yosi barusan bahwa baik Feri maupun Oscar sengaja mengalah di Studi Banding. Aku pun ikut terkaget-kaget mendengar penyataan Yosi.
“Simpel saja. Kami melakukannya, baik sengaja mengalah dan rela merendahkan harga diri di depan semua orang, demi meluluskan permintaan terakhir Joker,” jawab Feri.
Aku merinding mendengar julukan mendiang Axel meluncur dari mulut Feri. Apa-apaan ini? Feri dan Oscar sengaja mengalah demi Joker alias Axel?
“Joker? who the fuck is that?”musuh Batman?” ejek Yosi.
“Axel. Joker adalah julukan untuk Axel,” kataku lirih.
Yosi menoleh ke arahku saat aku menjelaskan ke Yosi siapa itu Joker. Ia sempat terdiam lalu tersenyum.
“Apa tujuan Joker sebenarnya? Kenapa ia ingin kalian mengalah dan membuat sekolahan kita kalah?” cecar Yosi.
Feri membuka jas dan melepas dasi hitam sehingga hanya mengenakan kemeja lengan panjang warna putih. Hal ini diikuti oleh kelima senior lainnya. Feri mengangkat kedua tanganya yang sudah terkepal.
“Kalau kalian mau tahu cerita sebenarnya? show me what you’ve got!”
“Deal!” teriak Yosi sambil berlari ke arah Feri. Xavi dan Zen juga berlari dari belakang. “Serang !!”
Aku masih terdiam melihat ketiga temanku yang tanpa pikir panjang langsung bergegas maju.
Kami Cuma berempat sementara di depanku saat ini berdiri enam senior kami. Ini sangat-sangat tidak seimbang. Aku masih belum bereaksi saat pukulan Yosi ke Feri bisa dipatahkan di susul pukulan balasan ke arah Yosi. Yosi terhuyung namun segera memantapkan pijakan dan memukul balik Feri. Sementara itu Zen terlibat baku hantam dengan Budi. Mereka berbalas pukul dalam jarak dekat. Terlihat seimbang sampai akhirnya Deka menendang perut Zen, membuat Zen kehilangan kesempatan menyerang. Hal ini dimanfaatkan Budi dengan memukul rahang Zen sehingga ia tersungkur. Hal yang paling mencengangkan justru terjadi saat Xavi menyerang Oscar! segala macam tendangan dan teknik pukulan yang Xavi punya, masih mentah di tangan Oscar. Oscar seolah tanpa emosi dengan tenang meladeni Xavi tanpa membalas serangan sampai akhirnya sebuah tendangan ke arah perut membuat Xavi tertunduk memegangi perut.
BAM !
Xavi terhempas. Bukan Oscar yang menendang Xavi melainkan Darma. Xavi langsung bangkit namun kemudian di cecar dengan rentetan pukulan Darma. Pukulan yang benar-benar keras, tidak ada keraguan di dalamnya. Kalau aku tidak melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, aku tidak akan mempercayai apa yang aku lihat sekarang ini. Saking bingungnya, aku sampai terlambat bereaksi saat Jati menerjang menendang dadaku sehingga aku terhempas ke belakang. Jati kemudian melancarkan tendangan ke arah wajah namun aku tepis dengan kedua lengan. Aku pernah duel dengan Jati, di tempat ini dulu. Tenaga dan daya serang Jati jauh berbeda dibandingkan dulu! Jati menendang sekali lagi karena ia penasaran saat aku berhasil memblok tendangannya.
BAM !! BAM !!
Sakit sialan! Karena semakin perih aku pun membuang segala keraguan dan menyerang balik ! saat Jati melancarkan tendangan yang kesekian kalinya, aku tepis dengan tangan kiri lalu kumasukkan pukulan ke betis Jati. Jati langsung terpincang-pincang. Kumanfaatkan dengan berguling koprol belakang sehingga posisiku kini duduk berlutut satu kaki. Memanfaatkan tumpuan, kini ganti giliranku yang menerjang Jati. Tapi seranganku terbaca Jati karena tangan kananku terkena pukulan dari samping saat Jati menggeser posisinya dengan cepat.
BAM!
Sepandai-pandainya aku menghindar, akhirnya satu tendangan kaki kiri Jati mendarat juga ke muka. Aku mengernyit kesakitan dan sesaat sebelum berbenturan dengan punggung sepatu Jati, reflek mataku terpejam. Aku kaget saat terasa wajahku ada yang mencengkeram erat. Saat kubuka mata, pukulan telak mendarat sekali lagi ke bagian muka.
“Ugh..” wajahku terhempas ke belakang, sekilas aku bisa melihat cipratan darah dari hidung setelah terkena hantaman berturut-turut. Tapi amarah dalam diriku yang semakin terpantik, membuatku masih bisa bereaksi dengan menjejakkan kaki belakang sehingga aku masih tetap berdiri meskipun kaki gemetar.
“Aku belum kalah!” aku berseru ke arah Jati. Di samping Jati, Oscar berdiri menatapku. Saat Jati hendak menyerang, ada seseorang yang menahan pundaknya. Hal ini membuat Jati mengurungkan serangan lalu melengos pergi. Orang tersebut adalah Feri.
Dua orang terkuat SMA NEGERI XXX, Feri dan Oscar kini berdiri di hadapanku tanpa ekspresi.
Bukannya aku malah merasa takut, semangatku justru berkobar-kobar!!
Feri tanpa basa-basi melancarkan beberapa pukulan yang bisa aku elak dengan susah payah, tapi tendangan dari Oscar tepat mengenai perut samping membuatku tanpa sadar mundur hingga terpojok di pagar pembatas. Aku melihat ke bawah,tinggi sekali kalau dilihat dari rooftop. Aku bisa meregang nyawa kalau terjatuh dari sini. Oscar dan Feri berjalan mendatangiku.
Mungkin aku masih bisa mengimbangi salah satu di antara mereka tetapi keduanya menyerangku bersamaan. Kesempatanku menang nyaris tidak ada. Tapi aku juga tidak mau pasrah di serang begitu saja, aku pun menyerang Oscar duluan. Aku lari kemudian meloncat mengarahkan tendangan ke wajah Oscar namun seranganku bisa di baca dengan jelas sehingga Oscar memblok dengan kedua siku membentuk X.
DUGH !
Justru ini tujuanku!
Aku berpura-pura menendang karena yakin Oscar akan memblok. Blok tangan dari Oscar itulah tujuanku! Kumanfaatkan blok Oscar sebagai tumpuan jejakan kaki karena targetku adalah Feri. Feri menampakkan ekspresi terkejut saat aku mengarahkan pukulan yang sangat telak ke arah rahangnya sehingga kacamata yang ia kenakan terlepas. Feri yang limbung membuatnya berada dalam posisi terbuka, berturut-turut dua pukulanku mengarah ke dada dan perut Feri.
Feri, senior kelas 3 yang paling aku hormati selain Axel, gak terbayang aku akan terlibat baku hantam dengannya demi sebuah jawaban.
“Hiaatt!!” aku mengeratkan kepalan tangan demi satu pukulan penghabisan berupa uppercut. Tidak mungkin Feri masih bisa bangkit setelah menerima pukulan ini.
Namun, Aku terlalu meremehkan ketahanan fisik Feri. Setelah terkena tiga pukulanku, ia masih sanggup bereaksi dan memblok uppercut dengan menyilangkan kedua siku. Uppercutku pun terhenti.
Dengan mulut berdarah, Feri tersenyum. “Kena.”
Feri menangkap pergelangan tanganku, ditarik mendekat dan satu sodokan lutut ke bagian perut, membuatku muntah mengeluarkan air liur. Otot perutku sebenarnya cukup tebal dan tahan serangan, namun sodokan lutut dari Feri terasa kuat sekali. Di saat aku masih merasa kesakitan, instingku mengatakan ada sesuatu yang berbahaya tepat di sampingku. Saat aku menoleh, satu kepalan tangan Oscar yang besar melaju dengan kencang dan keras, menghempaskan wajahku, membuat darah dari kedua lubang hidungku semakin mengucur deras. Karena cengkeraman Feri, hanya kepalaku yang tersentak sementara badanku yang serasa kehilangan pijakan dipaksa tetap berdiri.
“UGH !!!!” aku mendelik saat selang beberapa detik setelah kena pukulan kiri Oscar, tulang rusukku serasa di hantam palu godam karena uppercut Feri dalam jarak dekat. Feri melepas cengkeraman tangannya di pergelangan tangan, membuatku terbebas. Namun Feri melepas pegangannya bukan tanpa alasan, ia kembali menghadiahiku uppercut kiri tepat ke arah dagu, yang membuatku sempat blank, gelap. Badanku serasa melenting ke atas. Di saat aku sudah lupa dengan semuanya karena berada di batas kesadaran, satu benturan yan sangat keras mengenai belakang punggungku, membuat badanku secara otomatis jadi tegak, berikutnya sekelebat bayangan mengarah ke wajahku.
BAM !!
Satu tendangan menyamping, entah dari Oscar maupun Feri, mengakhiri duel tidak seimbang ini. Rasanya seperti dalam gerakan lambat, aku tumbang. Seperti berdiri di tengah ruangan yang begitu terang lalu tiba-tiba ruangan itu padam, gelap gulita. Ini bukan pertama kalinya aku pingsan saat berkelahi. Sensasi pingsan itu tak ubahnya seperti orang tidur, tahu-tahu terbangun dan untuk sesaat lupa dengan segala kejadian sebelumnya.
Tapi ini aku merasa aneh, aku justru masih sadar! Bahkan aku merasa yakin saat ini aku berdiri diam di satu tempat yang gelap.
Cras!
Dari arah depan, muncul nyala api dan bayangan seseorang tengah menyalakan rokok dalam situasi gelap. Cahaya pemantik api lalu padam, hanya menampakan ujung rokok yang menyala merah. Aku tidak bisa melihat dengan jelas siapa orang tersebut, tapi aku mengenali siluet bayangan, gestur maupun perawakannya yang tinggi ramping.
“Axel…” suaraku tercekat saat aku menyebut satu nama.
“Don’t give up… whatever it takes..”
“Kenapa? kenapa aku tidak boleh menyerah? Menyerah jauh lebih mudah daripada bangkit dan melawan.”
“Because you have to pass step by step to the hell that I have prepared for you. For the sake of being the best and the strongest. There is no option for you to surrender. Just keep forward, take that path with dignity in your heart, body and soul.”
“Bagaimana aku bisa tahu, aku sudah berada di jalan yang tepat?”
“You will find out… So long my lil bro…Ini salam perpisahan kita.”
Suara Axel yang tadinya lantang kemudian bergema, gema yang perlahan menghilang seiring dengan padamnya bara di ujung rokok. Aku tidak bisa merasakan lagi kehadiran Axel. Sunyi sekali tempat ini.
Sepersekian detik kemudian, kegelapan yang ku lihat sudah berganti dengan pemandangan cahaya menjelang terbenamnya matahari yang tertutup awan. Langit yang tadinya penih awan kelabu, sekarang terlihat lebih hidup dan bercahaya meski temaram. Seolah memberikan pesan kepadaku, selalu ada cahaya di balik awan hitam sekalipun.
Terimakasih Axel, sekarang kamu bisa beristirahat dengan tenang. Aku merasakan lelehan air mataku tumpah. Aku menatap langit senja berlinang air mata mengingat Axel.
Aku sudah mengerti semuanya apa yang menjadi keinginanmu. Keinginanmu kini menjadi keinginanku juga.
I’m gonna make you proud.... Whatever it takes!
Aku yang tadinya terbaring langsung terduduk, badanku rasanya kebas tidak merasa sakit sama sekali. Padahal saat mengusap hidung dan mulut, masih ada darah. Saat aku meludahkan darah yang ada di dalam mulut, perih asin mendominasi. Aku melihat Feri dan Oscar berdiri membelakangiku. Mereka pasti mengira aku sudah pingsan.
Aku lihat ketiga temanku juga sudah babak belur lebam, berdarah baik mulut, hidung. Zen melawan Budi dan Darma sekaligus. Zen mengorbankan punggungnya kena pukulan Budi demi merobohkan Deka dengan cara menandukkan kepalanya ke arah hidung Deka. Hantaman Zen membuat hidung Deka mengucurkan darah banyak sekali hingga mengotori kemejanya. Deka malah tertawa saja, memamerkan deretan giginya yang berdarah. Zen lalu mengakhiri perlawan Deka dengan tendangan ke samping kepala Deka hingga ia terjungkal, bergulingan, pingsan. Hanya saja, serangan Zen ke Deka, membuat Budi leluasa menyerang.
Dari belakang, Budi memegang tangan Zen lalu ia lontarkan sekuat tenaga hingga Zen membentur tembok pembatas. Zen sempat menahan dorongan tersebut sehingga mengurangi efek tabrakan, tetapi Budi terus merangsek dan memegang rambut Zen lalu menghantamkan wajah Zen di tiang besi berbentuk pipih sehingga menimbulkan bunyi. Saat Budi sekali lagi ingin menghantamkan wajah Zen, Zen masih belum habis. Ia menjejakkan kaki kanannya ke tiang sehingga menciptakan daya dorong ke belakang cukup kuat. Budi yang tidak menyangka, ikut terdorong setelah sebelumnya wajahnya terbentur kepala Zen. Badan Budi berdebum cukup keras di lantai sementara Zen berada di atasnya. Aku terkejut dengan gerakan Zen selanjutnya saat ia berguling ke belakang dari posisi telentang di atas badan Budi. Zen berjongkok di dekat kepala Budi, lalu mengirim combo pukulan ke wajah Budi.
BAM !BAM !BAM !BAM !BAM !
Terlihat buku-buku tangan Zen mengelupas memerah saking kerasnya hantaman. Aku sempat khawatir Zen akan kehilangan kontrol tetapi aku lega saat Zen berhenti memukul Budi yang akhirnya terkapar pingsan dengan kondisi cukup buruk.
Aku melihat situasi yang lain dimana Yosi berdiri terengah-engah hingga memegangi kedua lututnya, ia terlihat kepayahan meskipun lukanya tidak separah Zen. Tidak jauh dari Yosi, Darma yang tadinya terduduk di lantai, dengan susah payah bisa berdiri. Setelah sama-sama mengatur nafas, keduanya menerjang secara bersamaan dengan lengan kanan sama-sama terentang. Hasilnya Yosi dan Darma roboh bersamaan karena serangan identik yang mereka lakukan, sama-sama mengenai sasaran. Mereka mengerang telentang di lantai. Darma yang berhasil bangkit terlebih dahulu hendak menghujamkan injakan ke arah badan Yosi namun gagal karena Yosi menahan injakan kaki dengan kedua tangannya. Yosi membalas dengan menyampu kaki kiri Darma hingga ia jatuh terduduk. Yosi memasukkan jejakan kaki ke wajah Darma cukup keras hingga mulut Darma mengeluarkan darah. Yosi mengakhiri perlawanan Darma dengan sebuah sepakan ke arah samping kepala mengenai kuping Darma. Darma pun pingsan dengan posisi duduk, ambruk ke samping.
Perhatianku teralih saat melihat Jati terjengkang ke belakang tidak jauh dari Yosi, sementara Xavi dengan pelipis benjol dan lebam cukup besar di bagian mata sebelah kiri, memasang kuda-kuda bak petarung Muay-Thai.
“Bangun lu!” teriak Xavi yang terlihat semakin jantan dan tangguh.
Proses memang tidak akan mengkhianati hasil, boleh dibilang Xavi adalah yang paling fit dan kondisi prima di antara kami berempat. Diet ketat dan latihan gila, membuat perubahan besar dalam diri Xavi.
Jati yang terprovokasi segera bangkit berdiri, mengusap kemeja putih yang memiliki tanda sepatu tepat di bagian dada. Jati berjalan mendekati Xavi dengan kedua tangan tetap di samping badan, hal ini memancing Xavi yang menyerang terlebih dulu. 2 pukulan kombinasi Xavi rupanya bisa di elakkan Jati. Jati lalu memasukkan uppercut dalam jarak sedemikian dekat mengincar dagu Xavi. Xavi berupaya menghindar dengan memundurkan kepala belakang.
Sekilas memang serangan Jati terlihat gagal, karena Xavi masih bisa tersenyum dan berdiri tegak saat Jati melompat ke belakang. Hanya saja, ekspresi Xavi langsung berubah saat ia hendak maju. Ia seperti orang mabuk, kedua kakinya gemetar seperti tidak mampu menopang badannya. Sepertinya uppercut Jati menyerempat dagu Xavi, efek pukulan menjalar hingga ke otak Xavi, efeknya kedua kaki Xavi gemetar hingga Xavi pun terduduk lemas dan kemudian terbaring telentang. Jati pun terduduk di lantai dengan baju kemeja penuh dengan bercak keringat. Ia nampak ngos-ngosan.
Xavi boleh saja unggul dalam hal fisik namun ia benar-benar kalah pengalaman melawan jati yang sudah veteran dalam hal perkelahian jalanan.
Menyaksikan sejenak duel ketiga temanku melihat senior, membuatku menyadari aura para senior kelas 3, tidak lagi memancarkan hawa permusuhan. Feri dan Oscar masih berdiri mematung membelakangiku. Sepertinya aku mesti berterimakasih ke Feri dan Oscar, berkat mereka, aku bisa “bertemu” dengan Axel untuk terakhir kalinya.
Entah itu Axel yang sebenarnya atau cuma fantasi alam bawah sadarku, namun aku merasakan ketenangan. Perlahan aku mulai bisa mengerti tindakan para senior kelas 3 yang menghajar kami berempat. Aku memang harus “melewati” kedua seniorku tersebut. Tidak ada cara lain dan hanya hari ini aku bisa membuktikan kelayakanku di depan mereka.
“Permisi, kita belum selesai,” kataku dengan suara tenang. Kuludahkan gumpalan darah yang terkumpul di dalam mulut.
Oscar dan Feri menoleh bersamaan ke belakang. Ekspresi keduanya sama-sama terkejut saat melihatku sudah bangkit berdiri. Oscar tersenyum dan mendatangiku perlahan. Kali ini Feri tetap diam di tempat, seolah memberikan waktu khusus bagi Oscar untuk menghadapiku.
Meskipun aku bisa bangkit lagi, tetapi aku merasa waktuku terbatas, aku mesti menyelesaikan duel secepatnya sebelum daya tenagaku benar-benar habis terkuras. Tidak ada jalan lain selain adu keras dalam jarak dekat. Perlahan aku pun berjalan mendekati Oscar sehingga kini kami berdiri saling berhadapan meskipun aku mesti agak mendongak ke atas karena postur Oscar yang lebih tinggi.
Kami saling menatap lekat-lekat, tanpa ada yang mengedipkan mata maupun berbicara. Meskipun terlihat tenang, kedua tangan kami mengepal keras bak menggenggam granat, bersiap melancarkan pukulan penentuan. Kami mematung, menunggu timing yang tepat. Satu kilatan cahaya dari langit, membuatku terkejut dan kalah start. Aku menerima satu pukulan yang sangat keras mengenai pelipis, membuatku berkunang-kunang dan pusing. Di susul satu pukulan ke arah perut. Aku tidak memperdulikan rasa sakit, aku justru lebih khawatir dengan suara gemuruh pertanda hujan bisa turun kapan saja.
Ketakutanku terhadap hujan, membuat adrenalin menderu kencang. Saat Oscar mengarahkan tendangan, aku pegang kaki kanannya, dan kuapit di antara lengan kiri.Lalu kusapu kaki kiri Oscar yang menjadi tumpuan. Ia pun terjatuh dengan posisi telentang, aku segera menduduki perutnya dan segera kuhajar Oscar dengan membabi-buta. Awalnya Oscar membentuk blocking kuat, namun pukulanku lama-lama menembus pertahanannya. Kupukul menyamping kedua blocking Oscar sehingga kedua tangannya terentang lebar dan wajahnya benar-benar terbuka.
Saat aku hendak memukul wajah Oscar yang terbuka, ada tangan yang melingkari leherku dan mengeratkannya. Lalu aku diseret menjauh dari Oscar, ini pasti Feri ! Aku lalu mempercepat langkah mundur ke belakang untuk mendesaknya ke pagar pembatas rooftop. Namun Feri lebih cerdik, dengan memanfaatkan daya dorongku, ia membantingku ke belakang, dunia serasa terbalik saat aku terhempas di lantai dalam posisi tertelungkup. Selanjutnya Feri menendangi perutku berulang-ulang, ia memusatkan serangan ke satu titik, ulu hati. Pada akhirnya aku pun muntah darah akibat serangan ini. Aku terbatuk-batuk cukup hebat,nyawa rasanya pisah dari raga untuk beberapa detik. Saat Feri menegakkan badanku, aku sudah kehabisan stamina dan pasrah saja. Feri kemudian melepaskan pegangan di baju, sehingga tubuhku lunglai merosot. Pada saat itulah, Oscar menendang badanku dari arah depan,membuat bergulingan di lantai. Aku tidak sanggup untuk berdiri karena serangan beruntun ke arah badan, membuatku sesak nafas.
“Ada yang masih punya cukup tenaga untuk melawan kami?” ujar Feri. Samar-samar aku bisa melihat Zen, Yosi dan Xavi yang semula terduduk, langsung bangkit berdiri.
“Maju sini kalian bertiga,” tantang Oscar.
Aku tidak bisa melihat dengan jelas apa yang selanjutnya terjadi. Aku lalu dengan susah payah merangkak ke pagar pembatas untuk duduk bersandar. Setelah bersandar,aku kini bisa mengamati apa yang terjadi. Kulihat Xavi entah apa yang terjadi sudah terkapar, sementara itu Yosi melawan Oscar, Zen melawan Feri. Yosi menyerang Oscar dengan sangat agresif, beberapa pukulan memang mengenai Oscar namun hal itu tidak cukup untuk merubuhkannya. Lewat satu pukulan balasan, Yosi terhempas. Dia masih sadar, cuma sepertinya sudah mencapai batas kemampuannya. Tinggal Zen yang masih, ah, Zen tumbang juga setelah tendangan Feri mengenai samping kepalanya.
Aku dan ketiga temanku sudah memberikan perlawanan yang sangat maksimal melawan para senior kelas 3. Jadi kekalahan ini tidak terlalu buruk.
“Kalian memang tidak mengecewakan kami. Kami semua bisa pergi dari sekolah ini dengan lega,” kata Feri sambil mengambil jas dan dasi yang tergeletak di lantai. Diikuti oleh senior yang lain.
“Tunggu!” aku berseru kepada Feri. Ia tidak boleh pergi dulu sebelum mengungkapkan cerita sebenarnya.
Tentang Axel. Tentang Joker.
Feri menghampiri Darma yang sedang menyulut rokok. Ia meminta sebatang dan membakarnya. Feri lalu duduk di atas pagar pembatas.
“Semuanya berawal ketika gue menerima video berisi pesan terakhir Axel, yang ia rekam sehari sebelum ia meninggal. Setelah berbasa-basi, di akhir video, Axel menjelaskan satu rancangan rencana yang luar biasa kompleks. Dia tahu dia tidak akan bisa hidup sampai rencana itu tercapai. Rencana besar tersebut adalah menempatkan kalian, XYZ ,di titik terbawah. Di mulai dengan kekalahan di Studi Banding. Axel sudah memprediksi komposisi yang akan lu pilih untuk Studi Banding. Tinggal gimana caranya agar siapapun dari kelas 2 dan kelas 3 yang lu pilih, agar mau untuk ‘mengalah’,” jelas Feri.
“Oscar, kenapa lu mau mengalah di Studi Banding? Bukankan elu membenci Axel?kenapa lo mengorbankan harga diri lo demi mewujudkan rencana Axel?” Tanya Yosi lantang.
Oscar tidak langsung menjawab. “Gampang saja, dua tahun ke depan menyaksikan kalian jadi anjing sekolah lain, sudah cukup membuat gue puas,”ujar Oscar singkat.
Sialan, sedemikian bencikah dia dengan kami anak kelas 1?
“Singkatnya begini, kekalahan di Studi Banding adalah settingan. Edgar juga tahu rencana ini. Karena gue sudah berbicara dengannya. Namun ia tidak perlu berakting ‘pura-pura kalah’ karena ia dapat jackpot melawan Tony. Mau serius juga ia bakalan tetap kalah melawan Tony. Jika tiga orang dari kelas 2 dan 3 ‘kalah’, maka meski elo dan satu orang teman elo yang maju dan memang, hasilnya akan sia-sia. Meskipun jujur saja, penampilan lo dan Yosi sangat impresif,” papar Feri sambil mengusap kacamata dengan ujung baju, lalu ia kenakan. Ekspresi Feri sudah kembali menjadi Feri yang kukenal.
“Tapi…kenapa Axel menginginkan kita kalah? Bajingan macam apa yang justru menginginkan kekalahan. Kekalahan di Studi Banding pulak! bertepatan dengan bergeraknya STM XXX setelah beberapa tahun ‘tertidur’. Bayangkan, kami jadi anjing-nya SMA SWASTA XXX melawan STM XXX! HINA SEKALI!” Yosi sudah sedemikian emosi sehingga ia menyahut omongan Feri dengan nada tinggi.
Feri tersenyum kecil dan menghisap kuat rokoknya.
“‘Karena lebih menyenangkan jika mereka generasi penerus kita, memulai dari titik nol. Lalu perlahan mereka mendaki naik mengalahkan satu persatu lawan hingga akhirnya berdiri di puncak setelah mengalahkan rival terbesar kita, STM XXX.’
Itu bukan omongan gue, gue Cuma mengulangi perkataan Axel. Memang terasa tidak logis permintaan Axel. Tapi itu bukan permintaan Axel, melainkan alter ego Axel yang lain, yakni Joker yang menyukai kekacauan. Kalian bertiga bisa bertanya kepada Yandi, kenapa Axel mendapat julukan Joker. Oia,tentang pergerakan anak STM XXX, Axel juga sudah memperkirakan bahwa tahun depan STM XXX akan bergerak seiiring dengan kelulusan Anton. Jadi selamat menikmati jalur neraka yang sudah di siapkan Axel, terutama elo Yan. Semuanya akan bergantung ke elo. Nama baik serta reputasi puluhan Tahun SMA SWASTA XXX mulai hari ini resmi berada di tangan elo.”
“..Because you have to pass step by step to the hell that I have prepared for you. For the sake of being the best and the strongest. There is no option for you to surrender. Just keep forward, take that path with dignity in your heart...”
Mendengar penjelasan Feri membuatku langsung terngiang perkataan Axel.Dalam kondisi sakit parah ia masih sanggup menyusun rencana segila ini?
“Fer,kenapa elo mengabulkan rencana Axel? Gue masih tidak bisa mengerti logika cara berpikir elo dan para anak kelas 3. Rencana tolol Axel yang menempatkan para penerusnya di posisi hina akan jadi ampas kalau elo tidak melakukannya,” Yosi masih mengejar Feri dengan pertanyaan yang sama.
Feri menjentikkan puntung rokoknya ke lantai. Ia mendatangi Yosi yang sudah berdiri.
“Semisal suatu hari lo dapat kabar Yandi mati tiba-tiba dan ia meninggalkan pesan sekaligus permintaan terakhir ke elo dan elo mempunyai kapasitas untuk memenuhi permintaan tersebut. Apa lo akan diam saja dan mengabaikan permintaan terakhir Yandi tersebut?” Feri membalas ucapan Yosi dengan sebuah pengandaian sekaligus pertanyaan.
Yosi sekilas menatap ke arahku, ia tidak mampu menjawab pertanyaan balik dari Feri.
Feri menepuk pelan pundak Yosi. Feri kemudian berjalan menuju tangga ke bawah.
“Gue sudah memikirkan masak-masak tentang permintaan Axel tersebut, pada akhirnya gue mengabulkan permintaan Axel karena gue percaya sama kalian semua. Hari esok kalian akan sangat berat, jauh lebih berat dibandingkan jaman Boy sekalipun. Kalau kalian bisa menuntaskan rencana Axel, kalian akan menjadi legenda SMA NEGERI XXX. Take care you guys !that was a good fight! Ini adalah hadiah perpisahan terbaik yang bisa kami dapatkan dari para junior cadas seperti kalian.”
Feri tersenyum dan mengangguk ke arahku, sebelum akhirnya ia pergi.
Jati, Deka, Darma memberikan tepuk tangan kepada kami berempat sambil berjalan tertatih-tatih.
“Gue yakin kalian akan jadi grup legenda SMA NEGERI XXX!! CIAOOO !” teriak Darma.
“Ciaooo pala lo anjing! sakit bangsat,” umpat Yosi kesal mendengar perkataan Darma.
“Hei Xavi, boleh juga teknik muay thasi lo! Gue Cuma menang pengalaman aja dari elo. Kalau kita sebaya, boleh jadi gue yang kalah !” aku mendengar Jati berteriak sambil mengacungkan jempol ke arah Xavi.
Xavi membalas Jati dengan acungan jempol. Sementara itu, Deka hanya mengangguk dan bersalaman denganku. Akhirnya ketiga senior tersebut mengepalkan tangan ke atas hingga mereka menghilang di turunan tangga.
Budi dan Oscar berjalan menghampiri kami berempat. Aku mengangkat telapak tangan, diikuti ketiga temanku.
Keduanya melewati kami dan men-toss ! Oscar melakukannya tanpa mengucapkan sepatah kata apapun. Sementara Budi secara khusus mengatakan sesuatu kepada Zen.
“Hell-boy !! bantai mereka semua!” seru Budi.
“Tentu saja…”jawab Zen.
Setelah para senior pergi, kami berempat langsung telentang di lantai, tanpa perduli kotor, badan kami sakit semua babak belur, capek luar biasa.
“Keparat emang Axel, udah almarhum juga, bukannya minta doa, justru malah membuat kita menyumpah serapah ke dia!” tukas Xavi kesal.
“Dia selau berbicara ‘awas ada ular’ ke kita, tapi gak tahunya ularnya dia sendiri ! bukan Cuma ular, tetapi dia rajanya ular!” ujar Yosi.
“Axel…mengerikan ya dia..Jadi kagum gue sama dia,” komen Zen. “Yan, sambil kita istirahat sejenak, kalau elo gak keberatan, lo bisa mulai cerita tentang kisah Axel The Joker.”
Aku terdiam.
“Sebelum aku mulai bercerita tentang Axel The Joker, aku ingin bertanya ke kalian, apakah kalian siap menghadapi tantangan yang sudah di siapkan para senior kita? Terlihat luar biasa berat, tetapi menjadi salah satu legenda di SMA NEGERI XXX saat kita lulus dua tahun lagi, tentu akan menjadi penggenap masa sekolah kita yang menarik bukan?”
“HELLL YEAAHH!!” teriak Xavi sambil mengepalkan kedua tangannya di udara. Di ikuti dengan Yosi yang berteriak lantang,
“I FUCKING LOVE THIS SCHOOL !!!” pekik Yosi.
“IT’S GONNA BE FUN GUYS!” teriak Zen tak mau kalah.
Kami berteriak, telentang menghadap ke langit, mengeluarkan semua suara yang tertahan.
Sebuah perpisahan yang menakjuban namun di saat yang bersamaan juga menyakitkan baik fisik maupn mental.
Suara gemuruh di langit membuatku tersadar.
“Sebaiknya kita pindah ke tempat lain, sebelum hujan, karena ceritanya panjang.” kataku beralasan sambil mencoba berdiri dengan tertatih-tatih.
“Yok ah, ke rumah gue aja yuk! Nginep! Daripada lo semua kena semprot karena pulang dalam kondisi babak belur, tar gue panggil dokter pribadi ke rumah buat kasih obat ke kita semua.”
Usulan Xavi tentu saja kami terima dengan senang hati, terutama aku. Tidak boleh ada yang tahu, siapapun tanpa terkecuali, kalau aku lelaki pembenci hujan, lelaki yang “takut” dengan hujan dan masa lalu.
*****
Malam harinya
@ Nest
*****
(Pov Kobra)
“Bal, Rambo sudah datang?” gue bertanya ke Kabal, mandor produksi yang sedang nongkrong di depan gudang sambil rokok’an. Biasanya dia nyantai setelah kelar kerjaan, kalau belum selesai, gak mungkin berani dia pasang batang hidung di sini.
“Udah bos, dia lagi di belakang.”
“Lo cari dia, bilang kalau gue tunggu di ruangan. Sekarang”
“Siap !”
“Oia, gimana produksi hari ini? Sesuai target?”
“Hari ini cuma bisa ekseksui 50.000 butir bos, karena beberapa campuran sold out. Tibing belum dapat pasokan lagi dari luar karena polkis lagi sering razia.”
“Sejak kapan kita takut razia? Memang Leak belum kasih jatah ke polkis?”
“Ada sedikit masalah sama ormas sini bos, kata Leak mereka naikin jatah nyaris 50 %.”
“Apa? KENAPA Leak GAK LAPORAN KE GUE! BAJINGAN!”
Kabal gue lihat agak memucat, sepertinya ia tidak sengaja mengucapkan hal tersebut depan gue.
BAM !!
Gue hajar Kabal hingga ia terjengkang dari bangku, gue injak dadanya. Sepatu bot yang gue kenakan saat ini, udah lebih dari cukup membuatnya sesak nafas.
“Sepertinya elo tahu masalah ini dan kelepasan ngomong ke gue..”
“huggg!! Ma...ap...ma..app...bos..bukan...nya...gue. Nyembunyiin..tapi....kata Leak, dia akan cerita...sendiri ke bos...secepatnya...”
“TOLOL !!” Darah gue mendidih, ingin rasanya gue gorok leher si Kabal saat ini juga, beruntung Kabal kemampuan yang gue butuhin dan belum ada penggantinya.
Gue lalu melepas pijakan kaki di atas dada Kabal dan duduk di bangku.
“Leak, lagi dimana lo?” gue langsung menelepon Leak, orang yang gue kasih tugas buat kirim-kirim “proposal” ke polkis, ormas dan beberapa pihak yang perlu gue sumpal mulutnya dengan segepok uang demi kelancaran bisnis.
“Lagi di rumah bos, bentar lagi ke meluncur TKP,” jawab Leak dengan suara agak kencang. Background musik dandut koplo yang tadinya terdengar kencang, tidak lagi di dengar. Bangsat, malah pesta minum-minum di rumah ini anak.
“10 menit lagi lu gak muncul di ruangan gue, gue bakar rumah lo sama semua penghuninya..” ancam gue.
Langsung terdengar suara bersik seperti botol, gelas jatuh dan pecah. Sempat terdengar suara cewek mengomel.
“SIAP BOS !OTW!”
Sebelum gue ke ruangan, gue bilang ke Kabal, menyuruhnya untuk bilang ke Rambo, datang ke ruangan gue jam setengah jam lagi. Kabal bilang siap sambil berpegangan ke bangku saat berdiri. Mulutnya berdarah, wajar sih karena dia kena bogem gue tanpa basa-basi dalam jarak dekat.
Tak lama setelah gue masuk ke ruangan dan menyalakan AC lalu menikmati JD yang gue tenggak langsung dari botolnya, pintu di ketuk dari luar. Gue lihat dari CCTV yang terpasang di atas pintu, Leak yang datang. Lewat interkom, gue jawab, “Masuk.”
Leak yang berambut keriting ala afro dan berbadan besar, mengenakan jaket kulit langsung masuk dan berdiri di depan meja gue.
“Hadir bos.”
Leak
Gue lalu duduk di atas meja kerja. Sengaja gue diam tidak berkata apa-apa. Leak menatap gue sesaaat lalu menundukkan pandangan.
“Lu tahu kenapa lu gue panggil kesini?”
Leak sempat terlihat ragu-ragu namun dia kemudian menggelengkan kepala. “Tidak tahu bos.”
“Yakin lo gak tahu?”
Gue ulang pertanyaan tersebut sebanyak 3 kali setiap Leak menggelengkan kepala sambil menjawab tidak tahu.
Gue agak kecewa karena Leak udah ikut gue lumayan lama, namun ternyata dia ‘ada’ main di belakang gue.
Gue kemudian menelepon pemimpin ormas yang gue tahu dapat jatah paling besar dan gue loudspeaker. “Mungkin lo akan ingat apa yang seharusnya lo bicarakan ke gue setelah dengar ini.”
“Salam Bib, apa kabar nih ente?” gue langsung membuka percakapan saat Tabib, ketua Ormas 666 mengangkat telepon gue.
Wajah Leak langsung memucat saat tahu siapa yang gue telepon.
“Salam, baik ane baik. Gimana-gimana, tumben malam-malam telepon? Apa tidak bisa besok saja?”
Cih, babi nih orang. Lama-lama gue agendain buat di berangus aja tuh Ormas. Pake sok ngatur kapan gue boleh nelpon dia.
“Alah baru juga jam 12 malam lebih dikit, Sori Bib, ada kerjaan dikit. Ane mau mastiin sesuatu aja.”
“Apaan ?”
“Bib, jatah kemarin-kemarin lancar kan ya? Ane sesekali pengen kroscek langsung ke ente, karena sudah lama kita gak ketemu minum khamr sambil booking harem, bareng.”
“Oh lancar-lancar gak ada masalah. Leak selalu on time.”
“Haha bagus-bagus, gak lebih gak kurang kan Dinar yang di kirim Leak?”
“On time, sesuai perjanjian, gak kurang gak lebih meski ya gak nolak kalau ente kasih persenan lebih.”
“Aish, pan tahun ini ente udah naikin 20% dari tahun lalu, masak iya segitu kurang?”
“Hehe bercanda doang ane, jangan di anggap serius. Ada lagi yang mau ente tanya?”
“Udah cukup Bib, makasih inponya, salam.”
“Salam.”
Klik.
Telpon terputus.
Fix, gue harus agendakan meeting dengan anak-anak secepatnya buat gulung Ormas 666 milik Tabib biar dia tahu, dia sedang berurusan dengan siapa.
“Gue tanya untuk yang ter-”
“Ampuun bosss, ampunnn !! Duitnya sudah gue ganti bosss, udah gue balikin dan malam tadi jam 9 sudah gue kirim ke polkis-polkis zona merah. Ini bos bisa cek history transfernya,” ujar Leak sambil bersujud depan gue dan memberikan ponsel yang menunjukkan aplikasi M-banking satu bank Swasta. Gue lihat histori aktivitas rekening, ada trans out 2 x dan 1 x trans in dengan nomimal identik Jadi memang benar dugaan gue. Leak sempat pakai “proposal” untuk kepentingan pribadi. Meskipun dia sudah mengembalikannya dengan utuh dan sudah di kirim ke polkis=polkis. Tetapi akibat alibinya ke orang distribusi dan produksi, jalur kiriman jadi zona rawan razia sebagai peringatan ke kami bahwa ada “kewajiban” yang belum tuntas.
Masalah memang selesai, besok pagi Jed dan timnya bisa mulai distribusi. Namun tetap saja, ini masalah yang gak bisa gue diamkan. Gue lalu duduk di kursi putar yang beada di depan meja. Gue buka laci paling bawah dan gue keluarkan sebilah pisau yang mengkilat, sapu tangan warna hitam dan 1 sekantong plastik kecil.
Gue sodorkan benda-benda tersebut ke ujung meja lalu meminta Leak untuk berdiri.
“Lu tahu, kata ‘maaf’ gak berlaku di geng kita dan sebagai gantinya sekaligus bentuk penebusan, lu tahu apa yang mesti lo lakuin.”
Leak menatap gue lalu mengangguk.
“Siap bos, gue siap menerima hukuman.”
Leak melepas jaket hitamnya kemudian menyingsingkan lengan kemeja hingga di atas siku. Ia kemudian meletakkan jari tengah tangan kirinya di ujung meja lalu memotong jari tengahnya dari pangkal hingga putus. Leak langsung membebat tangan kirnya dengan jaket hitam yang ia bawa. Leak kemudian memasukkan potongan jari tengahnya ke dalam kantong plastik kecil bekas paket shabu-shabu. Lalu ia membersihkan pisau yang ia gunakan untuk memotong jemari tengahnya sendiri dengan sapu tangan hitam dan tak ketinggalan membersihkan meja yang terkena ceceran darah. Setelah semuanya beres, Leak mengangsurkan pisau dan kantong plastik berisi potong jari tengahnya ke tengah meja. Sapu tangan hitam dimasukkan ke dalam kantung sakunya sendiri.
“Selesai bos! ” ungkap Leak dengan suara keras sambil menundukkan kepalanya
“Good, senior memang harus bisa jadi contoh yang baik. Le, ini terakhir kalinya lu berbuat salah. Sekali lagi lu main-main sama gue, leher lu gue tebas dengan tangan gue sendiri, ngerti?”
“Ngerti boss!” jawab Leak lantang.
Gue bisa lihat wajah Leak pucat dan mengeluarkan banyak sekali keringat dingin, gue tahu ia setengah mati menahan rasa sakit tetapi ia tidak berani mengelu di depan gue.
“Yadah sana lo pergi, kita ketemu lusa, sekalian dengan para mandor. Ada hal penting yang harus kita lakukan.URGENT. Oia, kalau lu ketemu Rambo di luar, suruh ia segera ke masuk temuin gue.”
“Baik boss!”
Setelah Leak pergi, gue ambil potongan jari tengah milik Leak yang berada di dalam kantung plastik dan berjalan menuju akuarium besar yang sudah memiliki ornamen aquascape.
Akuariumnya terlihat kosong, tidak ada apa-apa selain aquascape yang cantik, sampai kemudian gue melemparkan potongan ruas jemari tengah Leak ke dalamnya. Beberapa detik kemudian sesekor ikan berjenis Black Piranha sepanjang 8 inci, yang mencium bau darah segar, langsung keluar dari persembunyian sambil memamerkan gigi-giginya yang tajam.
Black Piranha menyambar dengan cepat jari manusia yang masih fresh untuk makan malam. Rasanya menyenangkan melihat piranha tersebut dengan lahap mengoyak mencabik jemari Leak, sehingga air kolam agak keruh berwarna kemerahan karena darah.
“Malam boss,” sapa Rambo dengan suara gemetaran.
Entah ia takut karena melihat Leak keluar dengan tangan dibungkus jaket atau karena ia gagal melaksanakan perintah gue.
“Gak usah basa-basi,” kata gue.
"Bos, orang yang kita cari sudah gak pernah kelihatan di tempat dia biasa nongkrong,"
Gue yang sedang berdiri mengamati Black Piranha lalu menoleh ke arah Rambo yang berbadan kurus dengan wajah tirus, berpiercing, rambut dreadlock.
Rambo
"Lalu? Lu datang dengan tangan kosong ? Lu mau potongan kepala lo jadi santapan ikan ini? Ni Piranha belum kenyang cuma makan satu ruas jari tengah milik Leak.”
Rambo nampak menelan ludah, jadi tambah takut.
"Tapi kita udah dapat satu temannya. Satu dari tiga orang yang satu tim dengan dia waktu event. Pe, bawa dia masuk!"
Gua sebenarnya mau ngamuk karena Rambo gak becus! Tetapi gua tahan dulu. Lalu gua lihat Dope, anak buah Rambo, datang sambil menyeret seseorang. Dope lalu menjambak rambutnya. Wajah ini orang babak belur cukup parah. Dia sepertinya pingsan.
PLAK !! PLAK !! PLAK !! PLAK !!
Rambo menampari wajahnya.
"Bangun lo!! Sekarang katakan dimana tempat tinggal teman lo ?"
Dengan susah payah, orang ini membuka mata yang hanya nampak sebaris saja karena area kedua matanya bengkak.
"Fu...fuck...You.."
"Bangsat!"
BUGH!!
Rambo emosi lalu menendang mukanya hingga ada satu atau dua gigi yang tanggal. Dia pun pingsan dengan mulut berdarah-darah.
Gue lalu melambai ke arah Rambo, meminta ia mendekat.
"Sini gue bisikkin sesuatu."
"Ada apa bos?" kata Rambo mendekat dan sedikit membungkuk di depan gua.
“HEGH!!”
Gua cekik leher si Rambo dan gue dorong hingga mepet ke dinding. Gue angkat hingga hanya ujung sepatu Rambo yang menyentuh lantai. Kedua tangan Rambo memegangi tangan kanan gua, sementara kedua kakinya bergerak-gerak mencoba cari pijakan.
"Otak lo uda rusak gara-gara kebanyakan flaka? Lu bawa orang asing ke sini cuma buat lo hajar sampai pingsan!"
Rambo udah makin susah payah bernafas dan emosi gua sudah gak bisa di tahan.
"Tenang bos, kita gak sia-sia siksa ni orang. Dia kemarin keceplosan kasih tahu dimana TO bersekolah. Dan kita dapat jackpot. Karena TO rupanya satu sekolah dengan si ular."
Dope berusaha menyelamatkan Rambo dengan info yang berhasil mereka dapat. Badan Rambo langsung jatuh lemas saat gue lepas cekikan gua di lehernya.
"Besok kita kesana! Kita serbu sekolahnya!"
"Bos, sebaiknya kalau kita serbu, jangan ke sekolahnya. Itu daerah ramai. Resikonya besar."
Gua lalu duduk sambil membakar rokok surga. Lumayan juga si Dope ini, dibandingkan Rambo.
Dope
"Terus apa saran lo?"
"Gue akan ikuti aktivitasnya. Jalur sekolah, rumah dan tempat tongkrongan dia yang baru. Baru nanti kita beresin dia bos."
"Jangan eksekusi di tempat, bawa ke tempat kita. Akan lebih baik kalian bisa bawa dia dan si ular ke sini! Udah lama gue gak bedah orang hidup-hidup."
Dope mengangguk. “Beres bos.”
"Yadah kalian keluar sana, gua mau tidur!"
"Bo..s. Ini anak kita apain?di buang hidup-hidup atau di matiin?" tanya Rambo sambil menunjuk ke anak yang ia culik dan mengusap-usap lehernya.
"Buang aja. Gak usah dibunuh."
"Tapi nanti dia bisa kasih tahu ke teman-temannya tentang rencana kita bos," ujar Rambo.
Gua buka laci paling atas dan gue lemparkan benda yang ada di dalamnya ke arah Rambo. Rambo reflek menghindar. Sebuah gunting besar.
"Potong lidahnya pake gunting."
Saat Rambo mengambil gunting dan meminta Dope untuk membuka paksa mulut tuh anak, gua lempar botol JD hingga kena ke kepala Rambo dan kepalanya langsung mengucur darah segar. Rambo meringis kesakitan tetapi tidak berani menunjukkannya depan gua.
"Jangan di eksekusi di sini bego! Bawa ke basement!"
"Baik bos!"
Rambo lalu meminta Dope menyeret anak tuh anak keluar. Saat Rambo hendak menutup pintu dari luar, gue lemparkan sebungkus kecil paket berisi flaka.
"Jangan di pakai semua, biar lo gak berubah jadi mayat hidup!"
Rambo mengangguk senang, setelah mengambil hadiah kecil dari gua, Rambo pergi. Sambil menghabiskan linting ganja, gua memandang bendera berlogo geng gua yang terpasang di dinding.
Geng yang setahun belakangan ini reputasinya jatuh dan jadi bahan tertawaan semua orang karena kecerobohan Bara, leader Blood Creep sebelumnya, yang mati konyol di klub malam.
Komisiner kemudian menunjuk gue sebagai pengganti Bara. Gue lalu bekerja keras mengembalikan kodrat Blood Creep bukan hanya sebagai gangter paling ditakuti di Kota BBB tetapi juga pemain utama dalam bisnis drugs. Perlahan dua hal tersebut bisa berjalan bersamaan. Divisi Nighthawk yang mengurusi ranah gangster pimpinan Rambo dan Divisi WhiteHawk yang mengurus bisnis drugs di bawah kendali Lilith, yang sedang “cuti” sehingga gue mengurus langsung masalah distribusi hari ini.
"Kalian akan menjadi tumbal bagi kebangkitan Blood Creep dan perburuan segera dimulai...”
= BERSAMBUNG =
buat para pejuang rebahan yang kebanyakan tidur siang dan akibatnya susah mo tidur, selamat membaca!!!
ReplyDeleteepisode perpisahan XYZ dengan para seniornya.
SPRBJNDL
Makasih, Bosss...!!!
DeleteGacor... Mantapppp....
ReplyDeleteThanks boosss..bali nyepinya diperpanjang.. sesuatu bgt ini..temen rebahan
ReplyDelete