LPH #73
Episode 73
Unforgiven Heroine
(POV Yandi)
Keesokan harinya sekitar jam setengah 10 pagi, kami memulai eksplore Gili Meno dengan bersepeda ria. Di mulai dari bersepeda mengelilingi pulau, setelah beberapa kali singgah di lokasi pantai yang berada di sisi Timur yang memiliki butiran pasir halus dan view memukau, pantai yang lebih landai untuk foto-foto, Xavi lalu mengajak kami lanjut eksplore dengan berjalan kaki melewati bagian dalam hutang mangrove, rumah-rumah penduduk lokal yang selalu tersenyum jika bertemu dengan wisatawan ramah-ramah, keramahan yang selalu mengingatkanku bahwa tempat seindah ini masih berada di Indonesia.
Indonesiaku yang kaya raya dengan keindahan alamnnya dari Sabang hingga Merauke, aku bangga sekali menjadi orang Indonesia ! Saat kami sedang menikmati pedesaaan di bagian dalam Gili Meno yang begitu rimbun lengkap dengan suara burung-burung yang berkicau beterbangan di antara pohon-pohon, Xavi ternyata membawa kami mampir ke satu lokasi, sebuah taman burung.
“Gili Meno Bird Park guys alias taman burung yang punya banyak sekali koleksi burung dari berbagai ras ya infonya ada 200 jenis burung sih. Kalian tunggu di sini bentar, gue beliin tiket masuknya dulu.”
Setelah Xavi membelikan tiket, kami pun langsung menjelajahi setiap sudut dari taman burung ini. Di dalam bird park ini, terdapat berbagai macam jenis burung dan kami terkejut karena juga ada satwa lain seperti seperti buaya dan kancil. Kami berkeliling melihat satu per satu jenis burung dan tentunya tidak lupa memencet sambil foto-foto. Setelah satu jam berkeliling di dalam bird park dan kami merasa puas, aku dan teman-teman mengikuti Xavi melanjutkan eksplorasi menuju tujuan selanjutnya, yaitu Danau Meno. Setelah berjalan sekitar 300 meter dari bird park, akhirnya kami pun tiba di pinggir Danau Meno yang di kelilingi hutan bakau atau mangrove.
Keadaan sekitar danau sangat tenang dan damai serta sangat teduh. Di sini ada terdapat beberapa gazebo yang bisa digunakan untuk beristirahat dengan santai. Melihat suasana danau yang tenang, damai dan teduh kami kemudian memutuskan untuk duduk santai sejenak di sebuah gazebo sambil menikmati semilir angin sepoi-sepoi yang menyejukkan jiwa. Keberadaan danau ini jadi kejutan yang menyenangkan buat kami yang tidak tahu ada danau garam di salah satu Gili. Kami tidak terlalu lama di sini, setelah foto-foto dan istirahat sebentar, Xavi kembali mengajak kami jalan kami menuju satu lokasi yang membuat para cewek senang bukan kepalang. Yakni kawasan penangkaran dan penetasan telur penyu. Ada empat kolam seukuran sekita 1x1 meter dimana di setiap kolamnya terdapat belasan ekor anak penyu hijau.
“Yang di kolam di bagian sana, itu kolam khusus untuk anak penyu yang berusia 8-9 bulan. Penyu-penyu tersebut sudah siap untuk di lepas ke lautan lepas. Kalian mau ikut proses pelepasan penyu ke perairan gak? Sore-sore gini biasanya ada kegiatan pelepasan penyu. Bukan cuma ikut lihat lho, kalian bisa ikut pegang dan melepas satu persatu penyu di pasir, sebelum mereka berpetualang di lautan.”
Cewek-cewek langsung berteriak karena senang dengan penyu-penyu lucu. Aku teringat betapa bebas dan banyaknya penyu di perairan sekitar Gili Meno saat snorkling kemarin, hal ini menjadi pertanda bahwa keberadaan penangkaran ini tidaklah sia-sia, kesempatan para anak penyu yang di lepas dan kemudian bertahan menjadi penyu dewasa, sangat tinggi.
Kami para cowok jadi tukang foto saat cewek-cewek mulai beraksi melepas anak penyu yang langsung merayap di pasir menuju lautan. Usut punya usut, ikut prosesi pelepasan anak penyu rupanya tidak gratis, karena ada semacam donasi 100 ribu per anak penyu yang di lepas untuk perawatan, pemeliharaan penangkaran ini. Cewek-cewek langsung merangkul Xavi setelah tahu hal tersebut sebagai ucapan terimakasih karena ada cukup banyak anak penyu yang dilepaskan, puluhan mungkin jumlahnya. Sehingga kalau di total, Xavi keluar uang jutaan untuk donasi ke tempat ini.
Luar biasa memang temanku yang satu ini.
Kami kemudian makan siang di resto tepian pantai, makan bersama pacar dan teman-teman terdekat sambil menikmati pemandangan pantai yang begini indah, membuatku benar-benar senang dan ya sedikit melupakan beban masalah yang akan menungguku di Kota XXX.
Bodo amatlah, itu urusan nanti. Yang penting liburan dulu !
Selesai makan, kami check-out dari hotel dan menunggu jemputan dari Bang Kopet yang dengan sigap menjemput kami. Di saat aku mengira kami akan kembali ke Gili Trawangan, ternyata speedboat malah mengitari Gili Meno dan menjauh dari Gili Trawangan.
“Njiir, kita berpetualang kemana lagi Dora?” tanya Yosi sambil merangkul Xavi dan menirukan narasi yang ada di serial kartun anak-anak Dora The Explorer. Kami tergelak mendengarnya.
“Kita ke Gili Air, Doraaaaa!” teriak Xavi.
“Memang gak lengkap kalau kalian udah di Gili Trawangan, Gili Meno tapi gak sekalian ke Gili Air,” ujar Bang Kopet sambil melajukan speedboat dengan kecepatan sedang.
“Kenapa Bang?” tanya Vinia.
“Gili Air itu bole di bilang campuran antara kedua Gili sebelumnya. Buat wisatawan yang menyukai hingar-bingar kehidupan malam namun juga ingin merasakan keindahan suasana pantai yang nyaman dan tenang. Di bagian timur pulau itu ya mirip Gili Trawangan, berjejer cafe, bar tempat bule-bule pada pesta, mabuk. Di bagian barat pulau, surganya pecinta pantai, snorkling dan scuba diving. Dari ketiga Gili, Gili Air memiliki jumlah penduduk tetap yang lebih banyak. Jadi lokasi di sana benar-benar hidup. Semuanya itu ada di dalam satu paket lengkap yakni Gili Air,” terang Bang Kopet.
Mendengar cerita Bang Kopet sembari menyaksikan langsung Gili Air yang semakin dekat, dengan air laut yang begitu indah membuatku benar-benar excited.
Sekitar jam 2 siang kami sampai di Gili Air, seperti sebelumnya, selesai mengantar kami, dia kembali ke Gili Trawangan. Setelah berjalan beberapa lama, kami mengikuti Xavi hingga berhenti di depan sebuah villa yang berada di pinggir pantai yang tenang dan memiliki bagian depan berupa bangunan joglo besar khas Jawa. Pernik-perniknya juga Jawa banget lah. Di sekeliling Villa ini banyak pohon sehingga terlihat asri dan nyaman. Hawanya enak. View di depan villa, jangan tanya deh keindahannya. Mantap soul !
Aku melihat papan nama di antara bangunan ini.
Sunrise Resort.
Setelah membagikan lima kunci kamar (sama seperti formasi sebelumnya) Xavi lalu bilang bahwa acara di Gili Air santai dan membebaskan kami sih. Yang mau lanjut snorkling, berenang, keliling pulau, tidur istirahat atau nongkrong minum-minum sama bule atau bahkan ngobrol-ngobrol dengan penduduk lokal, di persilahkan.
“Besok setelah check-out kita balik ke Gili Trawangan. Oke guys, selamat bersenang-senang. Kamar ada di samping kolam renang.”
Saat kami masuk ke bagian dalam villa, wuih langsung ketemu kolam renang yang sangat keren karena di sekitan kolam renang, di tumbuhi pohon-pohon rindang sama seperti di bagian depan villa. Aih, belum lagi kamar-kamar yang berada tidak jauh dari pantai, juga sangat menarik. Beratap rumbai-rumbai gitu. Bahkan di depan kamar ada sepeda yang bisa buat boncengan sama Dita kelililng pulau. Wih menyenangkan!
Aku dan Dita saling berpandangan saat masuk ke dalam dan melihat ranjang yang begitu besar dengan taburan bunga ,terlihat rapi bersih dan memiliki aroma yang begitu harum.
Di sat yang sama, aku juga mulai kepikiran dengan para murid baru di sekolahku nanti. Murid baru di SMA NEGERI XXX jelas bukan murid biasa, mereka yang masuk ke sana, terutama siswa cowok, sudah tahu benar apa yang akan menunggu mereka nantinya. Suka atau tidak, aku sudah harus memikirkan strategi ke para murid baru. Aku lalu membuka ponsel, mengetik pesan WA baru.
YANDI
MALAM NANTI KUMPUL DAN BISA NGOBROL BENTAR?
JAM 11 MALAM, DI DEPAN VILLA.
09.34
Aku mengirim japri ke Yosi, Zen dan Xavi.
Tak lama kemudian, satu persatu jawaban datang. Aku tersenyum karena ketiganya menyanggupi untuk pertemuan malam nanti.
“Yank, balik kamar yuk. Makin dingin di sini, kekenyangan kena semilir angin malam gini, jadi ngantuk deh,” pinta Dita.
Aku pun berdiri dan menggenggam tangan Dita. “Yuk.”
Sesampai di kamar, setelah mengobrol bentar denganku, Dita tak lagi menyahut. Yang ada malah terdengar dengkuran halus dari Dita. Aku pun berbaring di samping Dita dan mengecup keningnya. Aku pun sebenarnya agak mengantuk karena capek juga, tapi gak lucu kalau aku meminta pertemuan namun malah ketiduran. Aku pun beranjak dari tempat tidur, memilih membuat segelas kopi hitam tanpa gula agar membuatku minimal terjaga hingga tengah malam. Sambil menyesap kopi perlahan, aku membuka-buka Youtube, karena masih ada waktu 2 jam sebelum ngobrol banyak dengan ketiga sohibku. Keasyikan menonton cuplikan berbagai macam video tentang sepakbola membuat waktu 2 jam tak terasa. Setelah mencuci muka, aku menyambar jaket yang tergeletak di sofa dalam kamar. Saat aku membuka perlahan pintu kamar, tiba-tiba Dita terbangun dan bertanya.
“Yank, mau kemana?”
“Aku mau ke depan yank, mau ngobrol dengan Yosi, Zen dan Xavi.”
“Belum ngantuk toh kamu Yank, jam berapa ini?”
“Baru jam 11 kok.”
“Yadah deh, jangan malam-malam Yank, biar besok pagi kita bisa lihat sunrise.”
“Oke.”
Setelah Dita kembali tidur, aku lalu keluar dari kamar sambil menenteng sebotol air mineral. Sampai di depan, sudah ada Yosi dan Zen yang sudah terlebih dahulu ngobrol, ngrokok dan ngebir. Aku pun bergabung dengan mereka.
“Xavi belum datang.?” kataku sambil duduk di kursi panjang pinggir pantai, bersebelahan dengan Zen.
“Belom.” sahut Yosi.
“Halo guys! Belum mulai kan ya?” ujar Xavi menyalami kami bertiga lalu duduk di sebelah Yosi.
“Kalau ngomongin hal yang mau di bicarakan sama Yandi sih belum. Tapi ngomongin elu udah mulai haha.”
“Lah ngomogin gue? Kalian pasti ngomongin kebaikan gue yaaaa?”
“Woi, kebaikan mah gak boleh di banggain, jatuhnya jadi pamer, sombong!”
“Wahahahaha kalau sombongnya sama kalian sih gak masalah.”
“Ngehe. Xav, jawab jujur, lu main udah berapa sesi sama Asha?”
Pertanyaan dari Yosi tiba membuat Xavi yang sedang meminum air mineral langsung tersedak.
“Uhukk…uhukkk…uhukk….”
Kami tertawa karena Xavi malah tersedak sampai terbatuk. Kami menunggu hingga Xavi sudah tidak terbatuk.
“Anjir maksud pertanyaan lo apaa?”
Yosi merangkul Xavi lalu bertanya lebih gamblang. “Lo udah wik-wik berapa kali sama Asha malam ini?”
“Asu lo Yos, ini yang kalian maksud dengan ngomongin gue.”
“Wahahaha. Jawab jujur! Kan elo yang atur agar kita bertiga yang punya pasangan, bisa sekamar pas di Gili Meno dan lanjut sampai di villa sini. Masak iya 2 hari ini, kalian bobok sekamar di tempat seindah dengan hawa yang paling enak buat wik-wik, malah main PUBG.”
“Elo sendiri gimana dulu?”Xavi membalas dengan membalikkan pertanyaan tersebut ke Yosi.
“Gue? Gue bakalan jawab apa adanya kalau kalian bertiga juga cerita hal sebenarnya kapan pertama kali kalian ML. Kalau semua sepakat, gue bakal cerita jujur,” tantang Yosi kepada kami semua.
Sialan, aku bisa ikut kena nih. Jadi haus.
“Gue pertama ML pas kelas 3 SMP sama suster di rumah sakit,” ujar Zen.
“Uhukk…uhukkk…uhukk….” Aku tersedak mendengar jawaban Zen yang tanpa basa-basi dan enteng saja menjawab pertanyaan Yosi.
“Wakaka serius lo Zen?” Yosi bertanya.
“Serius. Umur si suster 13 tahun lebih tua dari gue.”
“PROFICIAT SUHU! Tosss dulu bro!” Yosi yang terkesan dengan pengakuan Zen langsung mengajak Zen bersulang.
“Bajingan juga elo Zen, sekarang gue tahu alasannya kenapa lo paling suka pinjem DVD bokep gue yang genre MILF. Jangan-jangan elo sejak saat itu kena sindrom oedipus complex?”
Zen mengangkat kedua bahunya sambil menjawab “Mungkin..”
Heran aku dengan Zen, dia lempeng banget sih jawabnya.
“Pantesaaan aja elo keknya gak selera punya sama cewek-cewek di sekolahan. Jangan-jangan selera elo sama Bu Shinta, Maya, Mama gue atau bahkan sama Mbak Asih?”
“Woiiiiii, apa-apaan tuh, kenapa Mbak Asih ikut kamu sebut-sebut?” aku protes ke Xavi karena mencatut nama Mbak Asih sembarangan.
“Selow aja Yan, itu sarkasme saja,” terang Xavi.
Sementara Yosi dan Zen tertawa saja.
“Gak lah. Buat gue seks bukan sekedar kek kita masukkin kartu debit ke dalam ATM, puas pakai cabut terus pergi. Intinya, gue lagi gak tertarik berhubungan dengan cewek manapun apalagi seks. Sekian dari gue, next elo Yos,” terang Zen menutup pengakuannya yang menurutku cukup mencengangkan.
“Damn, lo jujur amat Zen. Oke giliran gue ya? Pengalaman gue gak sebanding dengan elo sih Zen meskipun sama seperti elo, gue pertama ML pas kelas 3 SMP. Bilik kamar mandi di Rockspeed jadi saksi bisu gue ML sama pacar gue.”
“Rockspeed? Tempat minum yang di Jalan Dermaga?” aku bertanya ke Yosi.
“Iya.”
“Anjirr, apa enaknya sih ML di tempat sempit, toilet bau pesing?” tanya Xavi.
“Haha memang gak ada romatis-romatisnya, tetapi saat itu gue lagi mabok setelah menang drag race dengan taruhan yang cukup mayan. Cewek gue dulu juga terus provokasi gue akhirnya ya gue seret di ke kamar mandi dan gue exe di situ, wahaha. Jadi ya seks buat gue bukan barang baru. Gue pertama jadian sama Dea aja langsung ML cuy. Di Lombok ini ya hampir ada kesempatan, gue sama Dea berasyik-masyuk. Dan jadi makin intens ketika kami sekamar sih. Oke cukup dari gue. Next, YANDI !penasaran gue dengan jejak jagoan kita ini, hahaha.”
Sialan, malah aku duluan yang kena tunjuk di banding Xavi. Aku sempat bimbang dan rada kurang nyaman bercerita hal pribadi tersebut karena pengalaman pertamaku justru bukan karena keinginanku tetapi permintaan Dita yang sampai memohon-mohon kepadaku karena ia sering bermimpi buruk. Aku memang nakal sedari kecil, tetapi tidak urusan cewek. Pas aku pacaran dengan Arum pas SMP, hanya sebatas ciuman dan ya raba-raba dikit gitu lah. Jadi hubunganku dengan Dita, menjadi pacaran paling gila sih. Setelah meneguk air mineral, aku pun mulai bercerita.
“3 hari lalu di The Lombok Lodge. Pengalaman pertamaku ML. Selanjutnya kalian simpulkan sendiri saja.”
Ketiga temanku langsung bersorak dan menepuk-nepuk pundakku.
“Wahaha mantul boskuu!!!” teriak Yosi.
“Gue malah kaget elo bisa nahan nafsu sampai 3 hari lalu Yan. Dari awal gue ngira elo dan Dita malah udah ngeseks dari awal jadian. Salut bro!”
“Widiihh, honeymoon ini mah namanya !!”
“Next, Xavi!” aku langsung mengalihkan pembicaraan kepada Xavi.
Xavi agak gugup saat kami bertiga menatapnya. Ia seperti mencari kata-kata yang tepat sebelum akhirnya ia bicara apa adanya.
“Gue belum pernah ML dengan cewek manapun, termasuk Asha. Bodo amat kalian mau percaya atau enggak,” ujar Xavi lempeng.
Kami bertiga berpandangan sebentar lalu tertawa.
“Turut berduka cita brooo,” sahut Yosi.
“Anjing lu Yos, pake turut berduka cita segala, emang gue mokad,” protes Xavi.
“Gak heran kalau gue mah, Asha. Dia punya karakter kuat. Pertanyaan gue, terus elo kalau di kamar berdua sama dia, ngapain aja? Emang lo gak coba rayu-rayu gitu?” Zen bertanya ke Xavi yang makin sering minum untuk menutupi rasa groginya.
“Persis seperti yang elo bilang Zen, gue malah sama sekali gak mencoba merayu dia. Ya bobok bareng aja sih standar peluk cium. Gue pernah sekali coba remas dadanya, langsung ngambek dan minta gue tidur di sofa cuy.”
“Good girl! Jarang banget cewek model dia sekarang. Lu beruntung bisa dapat cewek seperti Asha yang bisa terima elo apa adanya dan masih punya prinsip no having seks before married,” Zen memberikan saran kepada Xavi.
“Yap, aku setuju dengan pendapat Zen. Mungkin dia bukan cewek berhijab yang benar-benar kaku sama cowok, yang masih berpikiran terbuka gitu lah.”
“Penasaran gue sama elo Xav. Lo pake jasa dukun mana bisa dapetin Asha? Terus pake ilmu pelet apa? Jarang goyang atau semar mesem?” Yosi bertanya pelan ke Xavi
“Woi bangsat! Gue ngapain pake gitu-gituan. Taik. Asha bisa terima cinta gue karena ia tahu bahwa gue adalah cowok paling tulus, paling berkualitas, paling baik, paling pengertian, paling-”
“Banyak koleksi bokepnya!” aku memotong omongan Xavi yang makin narsis. Kami berempat lalu tertawa lepas.
Pembicaraan khas cowok ini membuat kami makin enjoy. Jadi ini saat yang tepat aku menceritakan kenapa aku perlu diskusi dengan mereka bertiga.
“Jadi begini, aku mengajak kalian bertiga untuk membicarakan suatu hal yang yah, mau gak mau mesti kita bicarakan secepatnya. Menyambung tentang obrolan kita di malam setelah kita dapat kado perpisahan dari para senior. Salah satu adalah pembahasan mengenai bagaimana kita akan menghandle anak kelas 1 nantinya, karena suka atau tidak, keberadaan mereka akan sangat berpengaruh terhadap rencana besar kita secara keseluruhan.
Ingat, kita gak akan bisa sepenuhnya bergantung ke Edgar cs. Masih ada krisis kepercayaan dengan kita dengan mereka. Jadi akan lebih baik jika kita bisa ‘bungkus’ anak kelas 1 dengan cara yang yah tepat, bukan melulu dengan jalan adu keras. Tujuan kita adalah respek mereka, bukan membuat merek sekedar takut dan mau gabung dengan kita. Apalagi tahu sendiri posisi sekolah kita, kalau ini balap MOTO GP. Kita bukan hanya berada di pole position paling akhir, tetapi posisi kita masih berada di belakangnya lagi. Bukan nol lagi tetapi minus.So, dari kalian, ada saran bagaimana pendekatan kita nantinya?Yos, Zen, Xavi?”
Aku langsung saja to the point ke mereka bertiga, karena ini sebenarnya kelanjutan dari diskusi kami bertiga di rumah Xavi pasca kami di berikan kado maha berat dari senior kelas 3 dan juga mendiang Axel.
“Dari kita berempat, sepertinya ini ranahnya Yosi. Secara dia yang paling banyak punya koneksi, banyak kenalan dan paling paham situasi di Kota XXX. Udah jadi bajingan sedari mulai bisa coli sendiri,”
Aku dan Zen tertawa tergelak mendengar celotehan Xavi, waakakakakkaka.
“Bacot lu Sapii,” seru Yosi.
“Gue setuju banget sama elo Xav, 100 % termasuk Yosi yang sudah jadi bajingan sedari mulai bisa coli sendiri,epic sekali. Gue dan Yandi kan bukan orang Kota XXX asli,” timpal Zen.
“Waktu dan tempat saya persilahkan ke bajingan coli…”
“Su’e lo pada. Sebenarnya setelah obrolan kita berempat malam itu, gue udah mulai cari informasi sih tentang scene bajingan di SMP-SMP yang cukup menonjol dalam urusan kebengalan. Situasinya gak jauh beda dengan jaman gue SMP. Jadi gini, kalau di tingkat SMA, STM ada tiga sekolah yang jadi top three di Kota XXX. Sekolahan kita, SMA SWASTA XXX dan STM XXX, nah di tingkat SMP ada big four. Sekolahan gue dulu, SMP NEGERI X6, SMP NEGERI X9, SMP SWASTA X1 dan SMP SWASTA X2.
Jadi kebanyakan bajingan dari keempat sekolah tersebut yang patut di pantau, karena ya mayoritas bakal keserap ke tiga SMA Big Three. Gue udah kantungin beberapa nama sih, ada yang gue kenal banget karena jadi adik kelas gue dulu, beberapa ada yang baru naik daun menjelang kelulusan SMP. Dan ada kemungkinan bakal muncul nama kejutan di luar keempat SMP yang gue sebut tadi. Overall menarik deh,” terang Yosi.
“Wuih jadi kamu udah mulai mapping Yos?” aku cukup terkesan dengan penjelasan Yosi yang ternyata sudah terlebih dahulu berinisiatif bergerak terlebih dahulu mencarii informasi.
“Iya, tetapi masih secara umum sih. Untuk sementara gue keep dulu nama-nama calon bajingan punya potensi jadi adik kelas kita. Kalau sudah fix, semisal si fulan masuk ke sekolah mana, gue baru enak jelasinnya.”
“Wah berarti kita mesti nunggu sampai 2 minggu lagi donk, itu pun gak langsung bisa ke mapping setelah hari pertama tahun ajaran baru di mulai, pasti butuh beberapa hari,” kata Xavi memberikan pendapat.
Yosi tersenyum. Senyumannya Yosi menandakan dia punya rencana.
“Itu kalau orang biasa, hal itu gak berlaku buat kita XYZ. We’re extraordinary group,” sesumbar Yosi di depan kami bertiga.
“How?” kejar Xavi penasaran.
“Pengumuman penerimaan siswa baru di BIG THREE di lakukan secara serempak tepat 1 minggu lagi. Meskipun di umumkan serempak, namun pada dasarnya dua hari sebelum pengumuman, pihak sekolah sudah mengantungi nama-nama siswa yang lolos seleksi sekaligus lolos interview dari pihak sekolah alias lewat pintu belakang. Percayalah guys, di sekolah kita, masih berlaku sistem ‘orang dalam’, cuma rate di sekolah kita yang paling tinggi. Makin kecil nilai si siswa, makin gede pula setoran atau sumbangan ke sekolahan. Ya istilah kek lelang kursi gitulah, ada sekitar sepuluh kursi yang di lelang di SMA NEGERI XXX. Sepuluh penawar tertinggi, akan masuk. Nilai bidding per kursi paling kecil bisa 50 jutaan hingga ratusan cuy. Dari sepuluh kursi tersebut, di angkatan kita ada beberapa nama yang menarik. Gom, Leo, Rudi dan juga Sigit. Selebihnya murid non bajingan.”
“Wuih sadis elo Yos, darimana lo tahu tentang kursi yang di lelang di sekolahan kita?” Tanya Xavi.
Aku juga tertarik asli mendengar penuturan Yosi.
Setelah membakar sebatang rokok, Yosi menjawab dengan enteng, “Dari googling kok gue tahunya, hehehe.”
“Aih setann, gak mungkin hal sesensitif itu bisa di browsing dengan mudah. Yadah lo lanjut cerita lagi, belum kelar itu tadi cerita elo ka? Eh bentar,itu nama-nama siswa seangkatan kita yang masuk lewat jalur bidding war dari pintu belakang, pada bermasalah semua ya.”
“Iya benar, Gom, Leo, Sigit, Rudi kan satu komplotan. Eh Rudi itu yang rambutnya afro anak 1-B yang pernah kamu datangin kan Zen?” aku bertanya ke arah Zen.
“Yap, udah jadi jinak dia sekarang. Dia sama Yusuf dari 1-C. Pasca gue buat keriting tangan mereka, mereka jadi gak mau terlibat lagi konflik di sekolahan. Padahal mereka berdua cukup lumayan. Terutama si Rudi tuh.”
“Coba kamu prospek mereka berdua Zen,”kataku.
“Wait-wait Yan. Gue gak salah dengar nih? Elo mau tarik Rudi dan Yusuf ke XYZ?” protes Xavi seakan tidak mempercayai perkataanku barusan.
“Kenapa tidak?Gimana Zen?”
“Beres. Lo tenang aja Xav. Mereka berdua bakal gue uji dulu sebelum bisa masuk ke grup kita kok,” jawaban dari Zen membuat Xavi sedikit tenang.
“Yos, ada komentar?”
“Rudi dan Yusuf ya.. Gue gak terlalu kenal sama mereka berdua, kalau gue bilang mereka berdua Cuma salah pilih teman nongkrong aja sih. Kalau mereka bisa lewatin Zen, berarti gak masalah kalau mereka gabung XYZ.”
“Jadi gimana Xav?” aku bertanya sekali lagi.
“Ya okelah.”
“Oke,biar selanjutnya Zen yang atur. Yos,lanjut lagi cerita tentang rencanamu tadi. Kepotong karena informasi yang cukup mindblown tentang sekolahan kita,” kataku sambil memainkan botol kosong yang sudah kuhabiskan.
“Pindah dalam aja yuk. Kalian gak kedinginan apa, ini tengah malam guys, anginnya kenceng, bisa masuk angina kalau kelamaan nongkrong. Rokok gue cepet abis gara-gara angin juga,” pinta Yosi.
Perkataan Yosi membuatku melihat ke sekeliling. Sudah sepi, tidak ada satupun orang lewat, hanya ada lampu petromax remang-remang. Dan benar juga kata Yosi, semakin lama angina semakin kencang. Meskipun aku pakai jaket, cukup terasa juga.
“Yadah yok, pindah ke tempat duduk dekat kolam?”
“Ya, ke situ aja.”
“Tanggung amat pindah ke situ, angin bakalan tetap berasa. Kita cari café aja, dekat-dekat sini kalau gak salah ada café tempat minum,” saran Zen.
“Masih buka?” aku spontan bertanya kepada Zen.
Ia ketawa mendengar pertanyaanku. “Yan, kita ada di satu pulau yang mayoritas isi bule, jam 12 malam mah, malah lagi ramai-ramainya.”
“Njir kalau ramai-ramainya, berisik donk. Gue gak pengen kejadian ribut lagi sama bule nih,” ujar Xavi yang sepertinya kurang setuju kalau kami pindah ke bar atau café.
“Atau gini, kita pindah ke balkon kamar gue. Meskipun balkonnya rada kebuka, tetapi tetap jauh lebih nyaman di situ sih. Kita tetap bisa ngobrol dengan bebas, asal gak pake acara teriak-teriak dan yang penting bisa sambil ngrokok,” saran Zen yang kini mengusulkan kami pindah tempat ke balkon yang ada di kamarnya. Kami semua setuju kali ini, karena Zen dan juga Vinia masing-masing dapat 1 kamar sendiri.
“Yos, bagi rokok dulu.”
Yosi merogoh bungkus rokok yang ada di saku kemejanya. “Waduh Zen, abis nih. Kita ke minimart dulu aja yuk, cari rokok, minuman dan cemilan.”
“Boleh.” Zen kemudian memberikan kunci kamarnya kepadaku. “Kamar no 7. Kalian masuk saja dulu, tar kami nyusul. Kalian mau nitip apaan di Minimart?”
“Yogurt sama roti tawar,” pinta Xavi.
“Anjir, cemilan lo roti tawar sama Yogurt. Aneh kek orangnya,elo apa nitip apaan Yan?” Yosi tidak memperdulikan Xavi yang meninju pelan bahunya.
“Apa ya. Susu ultramilk yang Vanilla sama kacang atom Garuda deh.”
Yosi langsung ketawa mendengar titipanku. “Bangsat, apa enaknya sih minum susu sambil makan kacang atom? Kalian berdua emang sama anehnya. Yadah, kalian tunggu di kamar Zen aja.”
Yosi dan Zen lalu cari minimarket, sementara aku dan Xavi ke balkon di atas kamar Zen. Fiuh, di sini jauh lebih baik, tidak terlalu dingin sih. Anginnya ketahan sama pepohonan yang tumbuh di sekitaran kamar villa.
“Yan, elu pasti tiap malam dan tiap pagi pas bangun tidur,lo ML dulu sama Dita ya? Asyik bener lo ah. Pertahanan Asha udah kek timnas Italia, rapet dan bertahan total. Kalau gue salah bertindak, gue bisa di cap cowok kepala selangkangan sama Asha.”
“Ya baguslah, saranku jangan sampai kamu khianatin kepercayaan dari Asha. Jaga kehormatannya dan kepercayannya baik-baik. Kepercayaan itu sangat mahal harganya,” rasanya kecut sekali memberikan nasihat kepada Xavi sementara aku sendiri sudah gagal menjaha kehormatan Dita.
Aku lalu berbaring di balkon bertumpukan kedua tangan sebagai alas, lantai balkon yang terbuat dari susunan kayu membuat kami merasa hangat, menatap lampu 5 watt yang terpasang di bagian atap model rumbai-rumbai.
Xavi kemudian juga berbaring sama sepertiku.
“Thanks Yan. It’s mean a lot. Meskipun gue akui, gue paling pervert di antara kita berempat, jika ukurannya seberapa banyak koleksi bokep, tetapi gue gak akan macam-macam sama Asha, gue benar-benar sayang sama dia.”
Aku dan Xavi lantas mengobrol tentang berbagai hal hingga Yosi dan Zen membawa 2 kantong plastic berisi snack cemilan, beberapa minuman dan rokok. Udah jam setengah 1 malam, tetapi masih banyak yang perlu kami diskusikan malam ini.
Setelah beberapa kali hisapan rokok, Yosi lanjut bercerita tentang rencananya.
“Gue cerita sampai mana tadi ya?”
“Sampai sekolah yang sudah pegang database murid baru yang diterima beberapa hari sebelum pengumuman,” kataku.
“Kita hack database tersebut sebelum di umumkan. Jadi di hari pertama tahun ajaran baru, kita sudah punya mapping bajingan dari big four SMP, pada lanjut di mana,” terang Yosi sambil membuat beberapa lingkaran dari asap rokok yang ia hisap. Lingkaran asap tersebut membumbung ke udara dan langsung hilang tersapu angin di luar.
“Cerdas! Jadi kita bisa langsung tahu perimbangan kekuatan anak baru di Big Three sekaligus?” aku bersemangat mendengar rencana Yosi.
“Yep, maka dari itu gue minta Zen yang paling canggih urusan gituan untuk hacking database sekolah, 3 sekolah aja cukup sih. Gimana bro? gampang kan?”
“Lima menit,” jawab Zen sambil mengubah posisi duduknya yang tadi bersila menjadi duduk bersandar ke tiang.
“Apanya yang lima menit?” Yosi balik bertanya.
“Gue cuma butuh lima menit buat masuk ke server ketiga sekolah dan ambil data lengkap para siswa baru mulai dari nama, alamat, profil orang tua. Besok sabtu malam gue eksekusi. Tar datanya langsung gue kasih ke elo saja ya Yos? Lo tinggal masukkin nama siswa bajingan, enter, muncul deh dia lanjut ke SMA,STM mana,” terang Zen.
“Wuih, gak sia-sia elo ngendon di rumah 1 bulan karena Gom. Okee broo!” sahut Yosi.
“Tapi lo mesti punya data nama lengkap siswa bajingan dari SMP lho? Lo hapal emang nama-nama lengkap mereka?”
“Njiir, benar juga. Kalau nama panggilan sih gue hapal tapi kalau nama lengkap, gue gak tahu,” Yosi garuk-garuk kepala.
“Zen, kamu sekalian tarik database dari siswa yang lulus dari empat SMP yang di sebut Yosi tadi saja. Kemungkinan malah ada foto ijasah dari siswa-siswa tuh,” aku memberikan saran ke Zen.
“Ah, baru juga gue mau ngomong gitu heee. Oke, tapi gue baru bisa tarik database yang dari SMP setelah kita balik ya.”
Aku mengacungkan jempol kepada Zen.
“Zen, keren juga lu !” puji Xavi.
“Ah biasa saja. Mau gue ajarin?”
“Mau, mau ! sekalian ajarin hack sosmed dooonk,” kata Xavi sambil nyengir.
“Anying, lu ngapain sok nge-hack sosmed orang?” tanya Yosi.
“Wah gak jadi gue ajarin deh, bahaya kalau elo orang secabul elo bongkar-bongkar sosmed selebgram.”
“Yaahhhhhhh,”
Kami tertawa melihat reaksi Xavi yang kecewa karena Zen berubah pikiran.
“Sip,jadi beres ya. Kalau sabtu gue udah terima dari Zen, segera gue olah deh. Terus kalau bisa, hari Minggunya kita kumpul bentar. Biar gue kasih gambaran lengkap. How?”
“Oke, kumpul di rumah gue aja, sambil latihan band tipis-tipis,” usul Xavi.
“Beres,” kujawab cepat.
“Idem,” tukas Zen.
“Senang gue punya teman-teman yang pinter buat konspirasi kek kalian, hoho.”
Selanjutnya kami mengobrol hal yang lebih santai sambil menghabiskan cemilan dan snack. Sampai sekitar pukul setengah 3 pagi kami baru memutuskan kembali ke kamar masing-masing karena pokok bahasan yang penting sudah kami sepakati. Saat aku kembali ke kamar, mencuci muka dan melepas baju celana hingga hanya memakai boxer, aku berbaring di samping Dita yang masih lelap tidur. Aku beruntung memiliki ketiga sahabat seperti Zen, Yosi dan Xavi yang seolah kami bisa saling melengkapi dengan karakter masing-masing. Sejak awal aku di jadikan “pemimpin” mereka, aku sudah membiasakan untuk sering mengajak mereka diskusi tentang banyak hal yang menyangkut urusan di sekolah. Memang gak mudah awalnya menyatukan 4 pikiran jadi 1 ide besar, namun di situlah peranku. Aku yang mengambil keputusan terakhir jika ada hal susah untuk kami sepakati.
XYZ menerapkan aturan orang Indonesia sekali, musyawarah untuk mencapai mufakat hahaha.
Aku tersenyum sendiri. Setelah mengeratkan pelukan ke Dita, kucium keningnya. Aku mesti segera tidur, karena aku sudah janji kepada Dita, bahwa kami akan jalan-jalan memburu sunrise di Gili Air.
Aku sudah bersumpah, apapun janjiku kepada Dita, akan kutepati, sebagai salah satu cara untuk memupus rasa bersalahku. Perasaan bersalah yang sampai kapanpun tidak akan bisa hilang.
***
Setelah makan siang bersama di resto tepi pantai Gili Air, kami lalu kembali ke Gili Trawangan yang full entertainment.
Snorkeling, berenang, makan, tidur, jalan-jalan, bercinta sepuasnya.
Repeat.
Itulah aktivitasku dengan Dita selama berkeliling di ketiga Gili. Benar-benar seperti honeymoon! Hingga tak terasa kami sudah 6 hari berada di Lombok. Besok sore, kami sudah harus kembali ke Kota XXX. Berat rasanya kembali ke Kota XXX yang sarat masalah di sana. Di malam terakhir di Gili Trawangan, kami berdelapan makan malam di resto yang sedari awal memang menarik perhatian kami semua karena bangunannya yang hampir semuanya terbuat dari bambu, banyak sekali bambu. Ketika malam, tempat ini terlihat sangat indah, padu padan yang sempurna antara lampu-lampu dengan arsitektur yang ramah lingkungan. Pengunjung resto yang selalu ramai, menandakan bahwa tempat tersebut bukan hanya mengandalkan keindahan desain eksterior tetapi juga menyajikan makanan berkualitas.
“Kita makan malam di sini guys, gue tahu dari awal kalian pasti tertarik dengan tempat ini. Pearl beach lounge. Masuk yuh, gue ada reservasi untuk malam terakhir kita di surga dunia ini,” terang Xavi saat ia membentangkan kedua tangannya di depan tempat eksotis ini.
Kami tentu saja kegirangan, karena meskipun full eksterior dari bambu, tempat ini mewah sekali. Ketika masuk, interior bambu semakin mendominasi. Lampu warna kuning temaram sangat cocok dengan warna alami bambu, sekilas aku malah bisa mencium aroma bambu segar, sesuatu yang hanya bisa aku rasakan saat di kampung.
“Di sini makanannya enak-enak, ada seafood, khas Eropa, khas Indonesia pokoknya banyak pilihannya. Jadi silahkan pilih sesuai selera. Bebas, asal habis saja”
Sambutan para pelayan juga luar biasa ramah, dengan sabar mereka melayani dan menjelaskan menu makan malam yang tertulis dengan bahasa Inggris. Harga yang tertera di menu juga cukup,cukup mahal haha. Kami semua terkesan saat pesanan kami di sajikan dengan waktu yang cepat. Makan malam yang berlangsung hangat dan ceria ini menjadi semakin seru saat kami mulai berbagi cerita tentang hal-hal paling berkesan selama berlibur di Lombok.
Kami menutup makan malam dengan ucapan terimakasih tak terhingga kepada Xavi tentu saja, yang membiayai liburan kami selama seminggu penuh, menyediakan akomodasi dan pelayanan kelas 1, mengajak kami berkeliling tiga pulau Gili yang menakjubkan dan di perkenankan menginap di hotel, villa bintang 5. Termasuk pengalaman baru yang kami semua sepakat, tidak ingin kami ulangi lagi di kemudian hari yakni tawuran dengan bule gila haha. Aku ngeri juga sih membayangkan estimasi biaya yang Xavi keluarkan untuk liburan mewah kami berdelapan.
Xavier, you’re the best entertainer dude!
***
Sudah sejam lamanya aku mencoba untuk pejamkan mata. Nafas halus dari Dita di sebelahku tak membuatku bisa tertidur juga. Seperti biasa, ia tertidur lelap seusai bercinta denganku. Aku duduk bersandar di ranjang. Ini malam yang menakjubkan hanya saja ada sesuatu yang terasa mengganjal, perasaan bersalah lebih tepatnya karena tidak memenuhi satu permintaan Vinia. Tadi setelah acara makan malam dan kami berjalan menuju villa, tiba-tiba Vinia berjalan di dekatku.
“Yan, bisa temani aku bentar gak cari souvenir buat anak-anak APOLLO? Gue malah belum sempat cari oleh-oleh buat mereka. Dita, boleh pinjam cowokmu bentar gak? Gak lama kok,” Vinia bertanya kepada Dita.
Entah kenapa aku langsung bisa menangkap kesan tidak suka Dita. Aku udah hapal benar gesture Dita, ketika ia sedang senang, sedang marah, sedang kecewa dan lainnya.
“Terserah!” suara Dita agak meninggi dan ia langsung berjalan mendahului kami semua.
Hadeh, ngambek lagi. Aku sedikit banyak mengerti kenapa Dita ngambek karena setelah makan malam, rencananya kami berdua mau menonton film layar tancap di halaman salah satu hotel di Gili Trawangan berdasarkan rekomendasi dari Dea dan Yosi yang sudah mencobanya semalam.
“Ups, si tuan putri marah sepertinya pangerannya mau gue pinjam bentar, yaudahlah. Susul tuh si putri kerajaan takutnya dia nyebur ke laut,” jawaban Vinia mengandung sarkasme yang untungnya gak di dengar oleh Dita. Sial, aku pikir hubungan Dita dengan Vinia sudah normal tetapi sepertinya hanya bertahan di awal liburan saja.
Aku sempat bimbang tapi Vinia mengibas-ibaskan tangannya seolah memintaku untuk segera pergi. Tapi karena tidak punya pilihan, apalagi teman-teman yang lain mulai bertanya ada apa. Bingung sepertinya mereka lihat Dita tiba-tiba lari duluan. Fiuh, pikiranku masih di liputi sosok Vinia. Setelah ku tinggalkan dia tadi, bayangannya sangat menggangguku. Jujur aku sama sekali tak mempunyai perasaan ke Vinia. Tapi saat melihat ekspresinya tadi, perasaanku terganggu. Ekspresi seperti menginginkan seseorang yang menemaninya malam ini dan jelas-jelas ia memintaku langsung untuk menemaninya.
Sekilas ku melihat lagi ke Dita. Tidurnya sangat pulas, tarikan nafasnya seiring dengan gerak dadanya yang naik turun dengan pelan. Ketika tadi aku susul Dita yang menunggu di kursi depan kamar, Dita mengaku tersinggung saat Vinia pakai istilah “boleh pinjam cowokmu” yang terkesan menyindirnya.
“Aku sebenarnya gak masalah kamu jalan temani Vinia, tetapi pilihan katanya itu lho! Gak enak banget,” terang Dita.
Butuh beberapa lama membujuk Dita agar moodnya kembali membaik, meskipun akhirnya ia luluh tetapi ia menolak ketika aku tanya jadi gak nonton film layar tancap pinggir pantai.
“Sudah kadung males aku yank,”katanya.
“Terus kamu mau apa? Ini malam terakhir kita di Lombok lho.”
Dita langsung memeluk dan memepet badanku ke dinding.
“Aku mau bercinta sama kamu yank, sampai puas, besok kita sudah tidak bisa seperti ini lagi.”
Dan selanjutnya kami bercinta hingga benar-benar lemas kehabisan tenaga. Aku bisa satu kamar dengan Dita di bawah karena janjian dengan Yosi yang sekamar dengan Dea di atas. Melihat Dita sudah tertidur pulas, aku ingin bicara dengan Vinia karena aku tidak ingin pulang dengan membawa perasaaan tidak nyaman. Aku beranjak dari ranjang sepelan mungkin karena tidak ingin membuat Dita terbangun. Setelah menutup pintu kamar, aku berjalan keluar. Tak lupa aku membawa ponsel, aku mau telepon Vinia mengajaknya berbicara. Tapi saat aku keluar dari kamar, aku lihat seseorang sedang duduk di pinggir kolam dalam posisi membelakangiku. Vinia dia Vinia, aku yakin. Ini sudah hampir tengah malam. Di samping kanannya, beberapa botol bir menemaninya malam ini.
“Hadeh, minum-minum dia!” aku bergumam sendiri kemudian mendekatinya.
Vinia menyadari kedatanganku. Ia menoleh dan mengernyit, saat menyadari jika aku yang sedang mendekatinya.
“Yandi?” gumam Vinia.
“Kamu masih belum tidur, Vin?” tanyaku ke Vinia. Dia hanya menggelengkan kepala, lalu tak lagi menatap kepadaku.
Suasana hening, bercampur dengan suara desiran air di kolam. Samar-samar tedengar hentakan music-musik pesta dari tempat hiburan malam di sepanjang jalan Gili Trawangan. Aku kemudian duduk di sampingnya.Ku pandangi wajah sendu gadis ini dari samping, guratan kesedihan terpancar dari wajah cantiknya. Aku yang menyadari, sebagai teman harus menghiburnya malam ini.
“Ngapain kamu disini? Kenapa kamu gak tidur kelonan sama tuan putrimu yang manja dan lebay itu.”
“Lagi gerah aja.”
Vinia menoleh ke arahku lalu meneguk lagi minumannya hingga habis. Kaleng bir yang sudah habis, diremas Vinia hingga penyok lalu di lempar begitu saja ke dalam kolam renang. Aku baru bereaksi dengan memegang pergelangan tangannya saat ia hendak mengambil sekaleng lagi bir.
“Sudah cukup, kamu sudah banyak minum.”
Dia menoleh. “Lepasin…”
“Enggak.”
“Elo apa-apaan sih? Gue udah biasa minum bir! Gue gak akan mabuk,” sanggahnya, namun dari aroma nafasnya tercium bau alcohol yang cukup keras dan matanya memerah. Orang mabuk gak akan mengaku mabuk.
“Kamu mabuk dan membiarkanmu mabuk seperti ini sama saja, aku melanggar janji seseorang yang memintaku untuk menjagamu,” aku sempat ragu membahas hal sesensitif ini di depan Vinia yang emosinya entah kenapa berubah jadi labil.
“Janji..seseorang untuk menjagaku..” Vinia mengulangi perkataanku.
Aku mengangguk. “Entah apa reaksinya tetapi aku yakin mendiang Axel tidak akan suka melihatmu seperti ini.”
“Axel…” Mendengar nama Axel, Vinia yang tadinya mencoba berontak, langsung lunglai.
Vinia langsung menatapku tajam.
“Kalau begitu, biarkan gue minum sampai mabuk, biar Axel datang kesini sekarang juga dan menegurku langsung!”Vinia menantangku. Kali ini aku bingung entah mau menjawab seperti apa perkataannya. Sampai akhirnya aku jawab apa adanya.
“Axel sudah tenang di atas sana Vin. Tugas dia di dunia sudah selesai. Sementara tugas kita masih banyak. Dan satu di antara tugas tersebut, seperti yang aku bilang di awal tadi, sebisa mungkin aku akan menjagamu..
”
Vinia tersenyum sinis mendengar ucapanku.
“Ngejaga gue? Bercanda elo Yan. Itu tuan putri lo aja gak bisa lepas dari elo.”
“Dita sekarang sudah tidur, jadi aku bisa melaksanakan tugasku untuk menjagamu saat ini, menjagamu agar tidak mabuk dan tercebur ke dalam kolam renang. Emang kamu bisa berenang dalam posisi mabuk?”
Vinia menatapku. “Udah berapa kali gue bilang, gue gak mabuk.”
Tiba-tiba Vinia berdiri namun badannya langsung limbung sempoyongan. Aku segera menahan badannya dari bawah, sehingga aku bisa menangkapnya dan kemudian mendudukkan Vinia di lantai.
“Weekkk!” tiba-tiba Vinia seperti mual, dan aku reflek memegang belakang lehernya.
“Ngapain kamu Yan?” kata Vinia saat aku memijat-mijat belakang lehernya. Dia menyentuh tanganku, kemudian menarik paksa agar tak menyentuh lehernya.
“Ya sudah, maaf kalo aku salah.”
Vinia lalu mengubah posisi duduknya, ia menjadikan kedua lututnya sebagai tumpuan untuk menyembunyikan wajahnya. Pundaknya bergetar, Vinia menangis.
“Aku kesepian Yan..Axel tega ninggalin gue di saat gue sedang sayang-sayangnya. Jujur gue cemburu dengan kalian semua yang bisa menghabiskan waktu dengan orang yang kalian sayang di tempat seindah ini.”
Aku tidak tega melihat Vinia seperti ini. Aku mencoba untuk menenangkannya. Ku elus punggung belakangnya, tanpa mengeluarkan kata-kata. Aku juga memilih diam. Hanya suara tangisan Vinia saja yang terdengar malam ini. Aku tercengang mendengar pengakukan Vinia yang iri dengan kami. Kesepian dan rasa cemburu benar-benar meruntuhkan pertahanan Vinia yang selalu memasang sikap cuek.
Vinia tiba-tiba mengangkat wajahnya. Dan melihatku dengan mata berair. “Yan... gue pinjam bahu elo boleh gak?” Aku menjawab dengan anggukan kepala saja. Aku lalu duduk di samping Vinia dan kemudian terasa kepala Vinia bersandar di bahu kananku.
Entah apa yang sedang ia pikirkan, karena aku juga sedang memikirkan banyak hal. Aku membiarkan Vinia untuk menenangkan dirinya. Aku menoleh saat Vinia mengangkat kepalanya dari bahuku setelah sekian lama ia bersandar. Pandangan kami beradu, tatapannya sendu, tak lepas dariku.
“Yan.” ku dengar bisikan dia memanggilku.
Aku pun membalas tatapannya, dengan memberikannya senyuman lembut.
“Kamu… Udah gak sedih lagi?” Dia gak menjawab. Dia masih saja menatap ku.
Aku diam. Dia juga diam.
“Maaf kalau sikap gue kekanak-kanakan, menyebalkan ya gue,” kata Vinia sambil mengusap air mata dengan punggung tangannya. Namun tetap saja air mata tak kunjung kering. Aku hanya tersenyum dan reflek,aku menyeka kedua pipi Vinia yang basah oleh air mata, matanya semakin merah. Aku benar-benar gak tega liat cewek nangis di depanku.
Tapi reaksi Vinia membuatku kaget, ia memegang kedua pipiku. Dia tersenyum lembut, bahkan ku rasakan hembusan nafasnya menerpa wajahku. Wajah kami sangat dekat sekali.
“Yan...”
Sekali lagi Vinia memanggil namaku. Jujur saja, Vinia mempunyai posisi yang special dalam diriku. Kami memang berteman namun kadang aku berpikir, jika situasinya lain, bisa saja kami sudah pacaran karena kami mempunyai banyak sekali kecocokan. Aku terdiam ketika menyadari Vinia semakin mendekatkan wajahnya. Matanya mulai terpejam. Sangat pelan gerakan darinya, bahkan aku kini melirik ke bibirnya. Bibir merah itu, sudah sangat mengganggu pikiranku. Ku rasakan jantungku berdebar-debar.
Inilah letak kesalahanku.
Seharusnya aku menolak atau menahan bibirnya, tapi aku tidak sanggup. Bahkan aku menatap bibirnya yang merekah mendekat hingga akhirnya aku merasakan, bibir Vinia mulai bersentuhan dengan bibirku.
Sentuhan pertama bibir kami, membuatku ikut memejamkan mata. Kupegang kedua pipi Vinia dan kubalas ciumannya. Vinia melingkarkan kedua tangan di leherku. Aku pun terbawa perasaan, maka ku peluk tubuhnnya, tanpa melepaskan ciuman kami. Dengan lembut aku mulai melumat bibirnya. Memberikan kehangatan dan kekuatan dalam dirinya, seakan dengan sentuhan itu menjelaskan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tidak ada lagi yang perlu di khawatirkan.
Aku tersadar saat berciuman dengan Vinia dalam mata terpejam, bayangan Dita tiba-tiba muncul di pelupuk mata. Aku langsung melepaskan ciuman ini.
“Apa yang sudah kita lakukan Vin?”
Vinia langsung tertunduk.
“Yandi…”
Aku mendengar seseorang memanggilku. Tapi bukan Vinia yang memanggilku. Panggilan tersebut berasal dari arah lain. Saat aku menoleh ke arah samping, kulihat Dita berdiri. Badannya gemetaran, matanya terbelalak lebar.
Tolong, aku mohon Tuhan, jangan biarkan Dita melihatku saat aku berciuman dengan Vinia.
Aku terdiam tidak sanggup berkata apa-apa lagi, waktu rasanya terhenti.
“Ternyata feelingku benar….kalian berdua…memang punya hubungan..Yan, kamu tega. Kamu tega sekali mengkhianatiku..AKU SUDAH BERIKAN SEMUANYA BUAT KAMU.. “
Perkataan Dita barusan rasanya seperti sebilah pisau yang menancap langsung ke dadaku. Sakit luar biasa.
Aku segera berdiri dan hendak menyusul Dita, tetapi Dita langsung masuk ke dalam kamar, mengunci pintu dari dalam dan mematikan lampu. Aku mengetuk pintu beberapa kali namun Dita tidak bergeming, tidak ada suara terdengar sama sekali.
Aku lalu berjalan dengan gontai dan duduk di salah satu kursi, kubenamkan wajahku di antara lenganku.
“Yan, maaf…maafin gue…hiksss.”
Vinia menangis di sampingku, ia meminta maaf sambil memegang tanganku. Lucu rasaya, tadi aku berusaha menghibur Vinia tapi sekarang posisi berbalik. Aku kibaskan tangan Vinia. Aku tidak menggubris perkataan Vinia. Aku lalu berjalan menuju kursi panjang di pelataran Villa.
Buruk…ini buruk sekali..aku mesti gimana..
***
“Yan…yan…woii”
Aku tergagap bangun saat seseorang menggoyang-goyangkan pundakku. Kulihat Xavi berdiri dengan wajah terheran-heran
“Lu ngapain tidur di luar?mabuk lo?”
“Ini jam berapa…jam berapa ini…”
“Jam 10. Kita kesiangan semua cuyy.”
Aku langsung menghambur masuk ke dalam kamar, namun kamar bersih tidak ada siapa-siapa. Dita dan tas Dita tidak ada.
“De, kamu lihat Dita gak?” aku bertanya kepada Dea dan Asha yang baru turun dari tangga.
“Lha kok tanya ke gue, gue baru bangun ini. Lagian bukannya lo tidur sama Dita di bawah?”
Xavi sepertinya curiga dengan sikapku yang serba gelisah. Ia menyusulku
“Yan, duduk dulu,lo kenapa sih kek orang bingung.”
Sikapku yang seperti orang bingung membuat teman-temanku yang lain langsung berkumpul. Semua bertanya ada apa, dimana Dita? Kenapa aku tertidur di bangku luar? Namun aku tidak sanggup menjawab semuanya. Kulihat Vinia turun dari tangga dengan wajah pucat lesu, berantakan. Ia tertunduk diam.
“Xavi ada apa ? kok tumben pagi-pagi udah ramai tapi wajahnya pada tegang gitu, terutama Yandi. ”
Bang Kopet rupanya menghampiri kami. Belum sempat Xavi menjawab, keterangan Bang Kopet berikutnya membuat kami semua tertegun kaget, terutama aku.
“Oia, pagi tadi jam 6 aku nganterin Dita ke seberang. Dan langsung aku kontak teman saya buat antar Dita ke bandara. Seharusnya sih pesawat yang di tumpangi Dita sudah mendarat di Kota XXX. Kasian dia nangis-nangis minta antar cepat karena neneknya meninggal. Dia bilang sengaja gak kasih kabar ke kalian biar gak ganggu acara dan gak ribet. Eh kok pada bengong.”
Aku jelas kaget bak di sambar petir! Jadi Dita nekat pulang duluan? Meskipun aku khawatir luar biasa aku agak lega karena Bang Kopet yang mengantar ke seberang dan selanjutnya kawan Bang Kopet yang mengantar ke bandara.
Aku langsung lari ke dalam kamar, menyambar tas ransel yang berisi dompet, charger dan beberapa baju baru yang masih belum aku pakai. Saat aku keluar aku langsung memohon ke Bang Kopet agar di antar ke seberang dan juga di carikan mobil yang bisa antar ke bandara saat ini juga.
“Bang tolong anterin Yandi ke seberang dan kontak Bli Gusti agar booking tiket buat Yandi sekalian siapin mobil jemputan ke bandara,” tukas Xavi cepat.
“Teman, aku balik duluan, nanti pasti aku jelaskan semuanya, maaf kalau aku ngrusak rencana di hari terakhir.”
“Hati-hati Yan!santai saja, yang penting masalahmu selesai duluan!”
Aku melambaikan tangan dan kemudian bergegas barenga Bang Kopet.
Aku tahu benar, Dita nekat pulang Karena ia tidak mau lagi menemuiku. Dita jelas berbohong tentang berita duka dari rumah bahwa neneknya meninggal, karena aku tahu benar, kedua kakek dan nenek Dita dari pihak Papa dan Mamanya sudah meninggal semua tahun lalu.
Jujur selama di perjalanan, aku pun bingung, jikalau Dita memang mau aku ajak bicara, aku tidak tahu mesti bercerita atau membela diri. Karena di lihat dari sisi manapun, aku dengan sadar-sesadarnya menyambut ciuman Vinia. Perasaanku langsung ciut jika Dita ternyata mendengarkan dari awal percakapanku dengan Vinia. Atau malah sepenggal percakapan kami yang menyinggung kalimat “sebisa mungkin akau akan menjagamu”.
Aku gak bisa menyalahkan Dita jika ia mendengar tepat di bagian tersebut hingga akhirnya aku berciuman dengan Vinia.
Vinia, aku pun tidak bisa menyalahkannya karena ia dalam kondisi agak terpengaruh alcohol dan di tambah suasana hati yang lagi kacau akibat kesepian.
Intinya, di lihat dari segi manapun, 100 ah bukan, 1000 % aku lah yang patut di persalahkan.
Sampai di Teluk Kodek, aku langsung menyalami Bang Kopet mengucapkan beribu-terimakasih sekaligus permintaan maaf karena sudah membuatnya repot bolak-balik.
“Ah gak usah sungkan ! Yan, ada Bli Gusti yang uda nunggu di parkiran mobil. Cus langsung kesana, karena barusan dia WA kalau dia dapat tiket Lombok-Kota XXX jam 12 siang alias 90 menit lagi. Selebihnya tiket full booked semua sampai jam 20 malam.”
Aku langsung meloncat turun dari boat, tidak perduli jika celana dan sepatuku basah. Aku benar-benar berpacu dengan waktu. Karena dari sini ke bandara internasional Lombok terhitung cukup jauh, bisa 1 jam sendiri perjalanan. Setelah aku ketemu Bli Gusti, dia sudah paham bahwa ia mesti buru-buru mengantarku.
“Tenang mas, saya yakin 40-50 menit kita udah sampai di bandara! Tapi ya itu, mas siap-siap saya ajak ngebut pol. Oia, udah aku cek-in online. Nanti mas langsung masuk ke terminal B2 saja, gak usah cek in di counter keberangkatan lagi.”
Aku mengangguk dan menurut saja. Aku bahkan datar saja, pikiran kemana-mana meski kelihatan jelas Bli Gusti bawa mobilnya super ngebut ! sambil jalan, aku coba telepon ke nomor Dita tetapi tidak aktif. Aku makin kesal saat mendapati ponselku lowbat tersisa 5%.
Sekitar jam 11.20 kami sudah sampai di bandara, gila tepat 50 menit! Setelah bersalaman dan mengucapkan beribu-ribu terimakasih,aku langsung lari ke dalam terminal keberangkan.
“Perhatian untuk Tn. Yandi Raharjo, Penumpang Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA 443 Silakan naik pesawat segera melalui nomor gerbang 6. Terima kasih.
Attention to Mr. Yandi Raharjo, Garuda Indonesia passengers with flight number GA 443 Please board the flight immediately through gate number 6.thanks.”
Aku makin panik saat mendengar namaku di panggil untuk segera naik ke atas pesawat, gak lucu kalau aku ketinggalan pesawat !!
Arghhh!
***
“Mas…sudah sampai..”
Aku tergagap bangun saat si sopir Taxi membangunkanku. Aku rupanya tertidur selama perjalanan dari bandara Kota XXX menuju ke rumah. Aku langsung melihat ke sekeliling. Mobil Taxi berhenti di depan Warung Sederhana Mbak Asih.
Aku sudah sampai di rumah.
Aku bersyukur sempat menjelaskan arah lokasi rumah dan si sopir Taxi ternyata juga hapal dengan daerah rumahku.
Argo menunjukkan tarif 69.000. Aku berikan satu lembar uang 100 ribu tanpa meminta kembalian. Aku sempat bertanya ke si sopir taxi ini jam berapa. Karena sudah agak gelap dan warung Mbak Asih sudah tutup.
“Ini jam setengah 5 sore mas, memang mendung lagi ini.”
Setelah mengucapkan terimakasih, aku langsung keluar dari mobil dan menujur Rumah Dita. Rumah Dita terlihat sepi, bahkan lampu teras pun masih belum menyala. Aku tekan bel rumah yang berada di gerbang luar, tidak ada respon.
Aku mohon, semoga Dita sudah sampai di rumah.
Itu saja yang ada di pikiranku, aku sudah pasrah jika memang kali ini kami benar-benar putus. Setelah hampir 10 menit aku menekan bel tanpa ada respon, aku memutuskan untuk pulang dulu ke rumah. Sepertinya Mbak Asih sedang pergi, karena tumben jam segini warung sudah tutup dan rumah tertutup rapat. Aku masuk ke rumah lewat pintu samping.
“Hei Yan, mana oleh-olehnya dari Lombok ? ya ampun, makin tambah hitam kamuuu!”
Baru juga aku masuk, ada yang menyapaku. Saat aku menoleh ke belakang, Mbak Wati yang mengendarai motor berhenti di dekatku.Aku bingung mau ngomong apa, boro-boro bawa oleh-oleh, baju celanaku aja banyak yang aku tinggal.
“Lah malah diam, eh kok kamu pulang gak bareng sama Dita?”
Aku yang tadinya lesu langsung semangat mendengar celetukan Mbak Wati.
“Dita sudah sampai rumah Mbak?”
“Udah, tadi sekitar jam 11 an.”
Aku langsung merasa lega luar biasa saat mendengar Dita sudah sampai di rumah, beban berat langsung terangkat. Entah apa yang akan terjadi sama aku, seandainya Dita belum sampai di rumah sekarang ini. Mbak Wati yang peka, langsung bisa menebak bahwa ada sesuatu yang salah.
“Ada yang perlu kamu ceritakan ke Mbak?”
Aku mengangguk.
“Hadeh. Dasar ABG. Yadah kamu masuk cuci muka, mandi ganti baju, tar setengah jam lagi Mbak ke rumah. Oia, Mbak Asih dan Mas Sulis sedang pergi kondangan, makanya warung tutup awal.”
“Baik mbak.”
Setelah menaruh tas, aku Cuma cuci muka dan ganti baju. Aku charge ponselku yang mati total. Kuambil sebotol air dingin dan kuteguk. Aku menunggu Mbak Wati di dapur. Aku sudah bisa membayangkan apa reaksi Mbak Wati begitu mendengar ceritaku. Aku memutuskan akan bercerita apa adaya tentang apa yang terjadi di selama liburan di Lombok ke Mbak Wati.
“Ya ampuun, masih kucel gitu, kamu gak mandi to le?” sapa Mbak Wati saat akhirnya ia datang.
“Males Mbak, Mbak duduk gih, aku mau bercerita banyak.”
“Wah seru ini pasti kisah kalian selama di Lombok,” kata Mbak Wati dengan wajah sumringah. Namun lambat laun, guratan senyum di wajah Mbak Wati perlahan menghilang dan ketika aku sudah sampai di akhir cerita, yang nampak di wajah Mbak Wati adalah ekspresi marah, marah sekali.
“Udah ceritanya?” Mbak Wati bertanya dengan nada tajam.
Aku mengangguk.
PLAK !!!! PLAKKKKK !!!!!!
Mbak Wati menamparku keras sekali, bukan hanya 1 kali, tetapi 2 kali. Setelah menamparku, Mbak Wati langsung berdiri dan menghardikku.
“Kamu tahu gak kenapa Mbak cerai dengan mantan suamiku? Karena dia selingkuh, mengkhianati Mbak ! dia menikah siri dengan teman Mbak sendiri tahu gak! Mantan suami Mbak itu orangnya kasar. Mau di bentak-bentak, main kasar, ringan tangan ke Mbak, Mbak masih bisa tahan, tapi ketika Mbak tahu dia selingkuh, Mbak tidak bisa tahan! Di khianati itu sakit luar biasa ! seorang perempuan masih bisa sabar jikalau punya suami tukang mabuk, tukang judi bahkan penjahat sekalipun ! tapi tidak jika urusannya pengkhinanatan.
Kamu keterlaluan Yan, keterlaluan sekali, setelah apa yang Dita berikan kepadamu, kamu tega khianatin Dita…maaf kali ini, Mbak gak sudi membantumu,”kata Mbak Wati langsung pergi begitu saja. Kubenamkan mukaku di atas meja bertumpu dengan kedua lenganku. Antara capek, lelah, marah, kecewa bercampur jadi satu, aku melamun terdiam di dapur, pikiranku melayang-layang.
SIAPKAN HEADSET LALU DENGARKAN LAGU INI UNTUK MENYEMPURNAKAN SCENE TERAKHIR DI EP 73.
In my place, in my place
Were lines that I couldn't change
I was lost, oh yeah
Were lines that I couldn't change
I was lost, oh yeah
I was lost, I was lost
Crossed lines I shouldn't have crossed
I was lost, oh yeah
Crossed lines I shouldn't have crossed
I was lost, oh yeah
Yeah how long must you wait for it?
Yeah how long must you pay for it?
Yeah how long must you wait for it?
Oh for it
Yeah how long must you pay for it?
Yeah how long must you wait for it?
Oh for it
I was scared, I was scared
Tired and under prepared
But I wait for it
Tired and under prepared
But I wait for it
If you go, if you go
Leave me down here on my own
Then I'll wait for you (yeah)
Leave me down here on my own
Then I'll wait for you (yeah)
Yeah how long must you wait for it?
Yeah how long must you pay for it?
Yeah how long must you wait for it?
Oh for it
Yeah how long must you pay for it?
Yeah how long must you wait for it?
Oh for it
Sing it, please, please, please
Come back and sing to me, to me, me
Come on and sing it out, now, now
Come on and sing it out, to me, me
Come back and sing it
Come back and sing to me, to me, me
Come on and sing it out, now, now
Come on and sing it out, to me, me
Come back and sing it
In my place, in my place
Were lines that I couldn't change
And I was lost, oh yeah, oh yeah
Were lines that I couldn't change
And I was lost, oh yeah, oh yeah
Suara ketukan pelan di pintu, membuatku mengangkat muka, aku mengira Mbak Wati yang kembali namun ternyata…
Dita berdiri di depan pintu dapur. Ia tersenyum.
“Dit…a.Dita…” aku langsung menghampirinya. Saking emosionalnya aku ingin memeluknya namun Dita menahan dadaku, ia menggeleng.
“Aku kesini untuk bilang terimakasih untuk semuanya, untuk kenangan indah yang kita lewatin bersama Yan. Terimakasih kamu sudah menolongku dengan sepenuhnya menghapus jejak hina di badanku.
Kini, aku bisa melanjutkan hidupku dan kamu bisa melanjutkan apapun yang sebenarnya kamu mau,termasuk menjalani hubungan dengan Vinia. Aku akan mundur, aku tidak akan berdiri menghalangi kalian berdua. Aku Cuma minta satu hal sama kamu, jangan pernah kamu coba untuk dekati aku lagi dan berharap kita bisa bersama lagi. Itu tidak akan terjadi. Tidak akan pernah. Selamat tinggal Yan. Jodoh kita hanya sampai di sini,” katanya dengan kalimat teratur, tegas. Setelah mengatakan semuanya, Dita membalikkan badan dan pergi.
Aku cuma bisa melihat punggungnya sampai ia menghilang ke dalam rumahnya.
Aku tidak bisa apa-apa, mendengar ucapan perpisahan dari Dita. Aku terpaku saat ratusan bilah pisau menghujam hatiku. Sakit, luar biasa sakit. Yang aku bisa lakukan adalah menerima keputusan dan mengikhlaskan Dita.
Kisahku dengan Dita berakhir hari ini.
Aku ingin menangis, apalagi enam hari sebelumnya aku dan Dita benar-benar tidak terpisahan, bukan hanya tidak terpisahkan, tetapi raga dan jiwa kami benar-benar bersatu. Badanku lemas terbayang kenangan-kenangan yang masih segar di ingatan. Aku lalu terduduk di kursi, bingung mau apa karena kenyataan pahit yang aku terima, benar-benar mengguncangku.
Tanpa sadar, aku malah menghidupkan ponsel. Dan begitu ponselku hidup, puluhan pesan WA masuk serentak. Secara random aku tekan dan pesan WA pertama yang terbuka adalah japri dari Zen, 20 menit yang lalu.
ZEN
Vinia sudah cerita semuanya, hanya bercerita ke gue, bukan di depan anak-anak.
Aku no koment, itu urusan kalian bertiga.
Lu klik link ini dan dengarkan.
Saran singkat dari gue.
Ada hal lain selain cinta yang lebih penting.
PRIDE.
Persetan dengan cinta dan sejenisnya.
Cinta hanya membuat kita takut kehilangan.
Gue memilih tidak mempunyai cinta agar terbebas dari segala keterikatan.
Kebebasan membuat gue tidak mengenal rasa takut.
Karena bara api neraka akan melahap jiwa para pengecut !
16.57
Aku klik link lagu tersebut.
“Dan semua yang kujalani dan harapkan ternyata membuat kecewa
Pil pahit kegelapan akan mematikan rasa jiwa raga
Pil pahit kegelapan akan mematikan rasa jiwa raga
Menangis meratapi kebodohan memahami dan tinggalkan mimpi
Aku melantunkan lagu pedih menutup hatiku.”
Aku melantunkan lagu pedih menutup hatiku.”
Ada bagian dari liriknya yang cukup menohokku.
4 menit kemudian. Aku tersadar, ada hal yang jauh lebih penting daripada meratapi kesedihanku.
Pesan dari Zen secara tersirat memintaku untuk menepikan semua hal yang mengganggu focus kami termasuk urusan cinta.
Karena dalam hitungan hari, Neraka yang diciptakan Axel akan segera terbentang lebar di hadapanku dan tentu saja,
Aku tidak mau menjadi abu!
= BERSAMBUNG =
penutup episode di lombol nan mellow
ReplyDeletekhu...khu...khu...
Mellow benar om
DeleteSampai terharu ane
Relakan cinta ,wuhahahhaha
ReplyDeleteBegitulah cinta,deritanya tiada tara....
ReplyDeleteBy pat kai...
Selaen axel ,yandi nih yg dapet bibir tipis vinia. Auuuuwwwwww......
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteOm Panth, Saya SS biar klo ketemu Dita... Saya jelaskan semuanya... wkwkwk.... GaCor.... #DiRumahAja
ReplyDeletevinia lebih gurih dari dita wkwkwkw
ReplyDeleteBye Dita
ReplyDelete