LPH #70
Episode 70
Lombok Eksotis !!!
(Pov Yandi)
Aku benar-benar lega saat roda pesawat akhirnya mendarat di landasan pacu bandara Lombok ! Perasaanku berkecamuk antara pusing dan mual, saat merasakan badanku serasa terhempas di kursi. Tetapi aku lega luar biasa karena dari jendela aku bisa melihat pesawat sudah ada di darat.
“Ya ampun yank, kamu pucet banget, jagoan kok naik pesawat takut hihihi, udah sampai kok ini,” bisik Dita yang duduk di dekat jendela. “Aow yank, tanganku sakit kamu remas.”
Oh aku langsung melepas pegangan tanganku ke Dita. Dita tertawa kecil karena ia pasti bisa merasakan tanganku basah oleh keringat.
“Aku naik ayunan aja pusing Dit, apalagi naik pesawat. Aku mabuk saat pesawat naik dan pas pesawat turku un. Kepala langsung nyut-nyutan dan keluar keringan dingin ini dahiku,” aku jujur ke Dita bahwa aku kurang menikmati pengalaman pertamaku naik pesawat.
“Hihihi, iya sama dulu aku juga gitu. Paling seram memang pas pesawat lepas landas dan pas mendarat. Nanti juga lama-lama terbiasa kok, tuh Zen aja masih tidur nyenyak,” hibur Dita.
Aku lihat Zen yang duduk di sebelah kiriku. Ia terlihat nyenyak sekali tidurnya. Bahkan sepertinya begitu ia duduk dan pasang seatbelt sebelum keberangkatan, ia sudah tertidur. Dan nyenyak sampai akhirnya pesawat mendarat di bandara Lombok. Zen tidak terlalu banyak berubah secara penampilan, hanya rambut di bagian keningnya yang di biarkan lebat sehingga kadang menutupi matanya. Zen yang pendiam memang cocok dengan model rambut ala misterius seperti itu sih.
“Ya wajarlah Zen bisa tidur, ia sering naik pesawat. Sementara aku kan orang kampung Dit, yang biasa naik bus atau kereta api.”
Dita mencubit pipiku. “Ihh gemes deh aku sama kamu yank,” kata Dita sambil memegang tanganku dan menyenderkan kepalanya di bahu. “Mimpi apa aku yank bisa ikut liburan ke Lombok sama kamu dan juga teman-temanmu.”
“Gratis pula tinggal berangkat, hehe.”
“Yank, Xavi orang tuanya kerja apaan? Sampai-sampai dia mau nanggung tiket pesawat PP ke Lombok pakai Garuda lho. Delapan orang lho. Udah gitu, dia juga nanggung semua akomodasi kita selama liburan,” bisik Dita sambil melirik ke deret di sebelah dimana Xavi duduk di pinggir, sementara di seat tengah dan dekat jendela, ada Asha dan Vinia. Sementara Dea dengan Yosi berada di seat belakang kami.
“Sssst, pokoknya Xavi itu ortunya kaya. Pake banget.”
Obrolan dengan Dita setelah pesawat mendarat, membuatku bisa melupakan perasaaan “tidak nyaman” yang aku tahan-tahan sejak pesawat ini mengudara dan mendarat belum lama ini. Aku kemudian membangunkan Zen saat pesawat sudah benar-benar berhenti dan penumpang yang lain mulai berdiri untuk membuka kabin, mengambil barang bawaan masing-masing. Kami berdelapan langsung turun dan berkumpul dulu di dalam terminal setelah buang air kecil. Xavi meminta kami hanya membawa koper kecil yang muat di kabin agar tidak terlalu lama di pengambilan bagasi setelah mendarat.
“Dit, Yandi mabuk ya?” tanya Yosi kepada Dita. Yosi yang kini tampil dengan style garang, rambut tegak bold spiky di cat grey melingkarkan lengannya ke leherku.
“Banget, untung aja gak muntah. Aku udah was-was kalau Yandi muntah hihi.”
“Wahaha jagoan tapi takut terbang,” celetuk Xavi yang ada di belakangku.
Wah baru ngeh aku kalau Xavi sekarang tingginya hampir sama denganku sekitar 175 cm. Rambut poni belah tengah, berbadan gemuk agak buncit kini sudah seakan tidak Nampak lagi. Postur badannya semakin ideal, tidak terlihat lagi pipi chubby-nya. Rambutnya pun kini sering di potong pendek. Kami sering mengejek perubahan fisik Xavi ini karena masa pubernya yang terlambat, pubertasnya ke trigger pasca jadian dengan Asha, hahaha. Itu hanya becandaan saja sih karena kami tahu benar, neraka yang yang Xavi alami sehingga ia seolah bertransformasi menjadi Xavi yang seperti sekarang ini.
“Ya wajarlah, pengalaman pertama,” kataku membela diri.
“Apa? Yandi muntah?mabuk udara?” timpal Vinia tiba-tiba.
“Enggak.....nyaris..” aku jawab apa-adanya. “Silahkan kalian bully anak kampung sepertiku yang baru kali ini naik pesawat,” kataku pasrah.
Mereka semua tertawa mendengar jawabanku dan entah kenapa aku pun jadi ikut tertawa, mentertawakan betapa cupunya diriku. Biarin dah.
“Guys, barang gak ada yang ketinggalan kan ? Kalau gak ada, ayo kita kemon ! Udah di tungguin di luar,” kata Xavi.
“Siapa yang jemput Xav? Agen?”
“Enggaklah ngapain pake agen segala. Ada yang jemput ntar. Ini udah semua? Gak ada yang perlu ke toilet lagi? Kalau udah beres semua, barang bawaan oke, kita cabut nih,” ujar Xavi bergaya bak seorang pemandu wisata.
Karena memang kami semua belum pernah ke Lombok, kecuali Xavi dan Vinia, yang beberapa bulan yang lalu pernah show di Kota Lombok dalam rangka promo album terbarunya, kami pun menurut dengan Xavi. Ramai juga bandara Lombok, baik wisatawan domestik maupun turis asing karena waktunya memang bersamaan libur pergantian tahun ajaran baru dan libur musim panas, boleh di kata ini peak season.
Begitu rombongan kami keluar dari terminal, kami langsung di dekati para sopir Taxi namun kami menolak dengan sesopan mungkin. Kami mengikuti Xavi yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Hingga akhirnya, seorang cowok awal 20 an datang dengan tergesa-gesa menuju rombongan kami. Ia langsung menyalami Xavi saat melihatnya.
“Halo Mas Xavi. Apa kabar mas? Lancar perjalanan dari XXX? Gak delay kan ya? Maaf mas aku agak telat karena susah cari parkiran.”
“Baik bli gak apa-apa gak masalah. Guys, kenalin ini Bli Gusti. Bli Gusti yang akan antar kita jalan-jalan keliling Kota Lombok sebelum nanti sore kita menuju Gili Trawangan. Kita jalan ke parkiran ya, kalau nunggu di lobi, antrenya mayan panjang.”
“Siap juragan!” sahut Yosi sambil hormat.
“Su’e lu Yos, jangan panggil juragan. Panggil saja Tuan Muda Xavier.”
“Anjir, malah ngelunjak.”
“Haha udah yuk ah, yayang gue udah laper nih,” ujar Xavi sambil melirik Asha.
“Ih apaan sih,” kata Asha lalu mencubit pelan perut Xavi.
Kami kemudian mengikuti Bli Gusti yang ternyata membawa mobil sejenis jetbus khas travel gitulah. Tapi jetbus yang ini punya seat hanya 8 sehingga terlihat lega sekali di dalamnya. Sambil mengobrol ringan dengan Dita dan teman yang lain, dari jendela aku bisa melihat pemandangan sepanjang jalan yang kami lewati dari bandara menuju pusat Kota Mataram yang masih banyak lahan-lahan kosong, beda dengan Kota XXX yang semakin penuh sesak, macet dan banyak gedung maupun hotel baru di dirikan. Aku lihat sudah jam 11 siang, perut mulai lapar karena cukup jauh ternyata ke pusat Kota. Bukan hanya aku, teman yang lain pun juga lapar karena snack yang di edarkan selalu habis dalam waktu singkat.
“Bli, ke tempat ayam taliwang, Taliwang Irama yak. Teman-teman gue udah pada lapar keknya,” kata Xavi sambil makan salad sayuran yang ia kemas dalam tupperware.
“Bukan keknya lagi, udah lapar beneran ini. Masih jauh gak nih? Kalau masih jauh, bisa-bisa gue gigit daging Dea yang kenyal nih !” celetuk Yosi.
“Ih bego !” sahut Dea sambil mentoyor kepala Yosi.
Kami semua tertawa melihat reaksi Dea mendengar celetukan Yosi. Dea dan Yosi memang pasangan unik kalau aku bilang, saling panggil dengan “elo”, “gue” dan ya seperti barusan, Dea juga gak segan nampol Yosi.
Aku gak mungkin bisa pacaran model gitu hehe.
Lima menit kemudian kami sampai di rumah makan yang terlihat biasa saja baik dari segi interior maupun eksterior yang dari papan nama tertera Lesehan Taliwang Irama 1. Saat kami masuk wow ramai sekali karena bertepatan dengan jam makan siang. Namun kami tak perlu repot cari tempat duduk karena Bli Gusti mengarahkan kami menuju ke pendopo yang berada di belakang dimana di atas meja yang sudah tersusun sudah ada tulisan “Reserved”. Wuih canggih memang pelayanan dari Bli Gusti nih.
Udaranya tidak panas malah semilir angin di sini jadi begitu duduk lesehan kami merasa nyaman.
“Guys, di sini menunya banyak dan lengkap, tetapi rekomendasi gue Ayam Taliwang khas Lombok. Kalian gak bisa ngaku datang ke Lombok kalau belum nyicip Ayam Taliwang. Ayam Taliwang itu pake ayam kampung pilihan, penyajian macam-macam sih ada yang di goreng lalu di bakar, ada yang di rebus lalu di bakar,” kata Xavi sambil mengedarkan buku menu makanan.
“Xav, lama-lama lu gue bakar juga deh. Udah laper gini lu masih nerangin, ikut aja deh semua. Terserah mau di bakar, di goreng, di rebus, di cincang, di geprek. Apa saja penyajiannya yang penting cepat dah,” cerocos Yosi yang memang kelihatan paling buas kalau lapar.
“De, Yosi buas ye kalau lapar, bisa sabar juga lo hadapin dia,” komen Vinia iseng.
“Iya Vin, dia cerewet emang kalau urusan makan. Yos, kalau lu udah kelaperan, beli ganjel perut di Indomaret sana!” Dea sepertinya jadi ikut sebal dengan reaksi Yosi.
“Yailah woi, ini malah jadi ribut. Yadah gue pesenin Ayam Taliwang yang bakar aja deh, ini semua doyan pedas kan ya?”
“Setujuuuuu!” kata kami serempak.
Singkat cerita, kami semua ngikut aja rekomendasi dari Xavi dan segera memesan minuman selera masing-masing. Aku dan Dita memilih minuman favorit kami sih es jeruk. Tak butuh waktu lama, setelah minuman datang, bau semerbak ayam bakar berarom pedas langsung terasa menggugah selera. Apalagi saat Ayam Taliwang di bagikan lengkap dengan plecing kangkung, cabe rawit, irisan tomat, terong, kacang. Ada 1 jenis sambal lagi yang agak asing. Xavi kemudian menerangkan ke kami kalau itu sambil beberuk campuran dari cabe rawit, cabe merah keriting, kencur, bawang merah, bawang putih, terasi matang serta gula garam.
“Tips singkat, peras jeruk nipis ke atas ayam bakar. Selanjutnya selamat makan guys!” ujar Xavi.
Ya ampun, meja makan langsung ramai saat kami semua mulai makan, Empat centing nasi dalam waktu singkat langsung ludes dan kami kembali menambah 2 centing nasi. Nasi hangat di padu dengan Ayam Taliwang. Dita yang biasanya gak terlalu suka pedas, sekarang makan sampai keringetan peluh di keningnya haha.
“Kepedesan ya yank?”
Dita mengangguk sambil menyeka peluh di dahi. “Iyaa, tapi ini enak bangett yank. Sambal dan bumbunya mantap! Daging ayamnya juga lembut gurih,” kata Dita.
Karena peluh di kening Dita masih banyak, aku lalu mengambil beberapa lembar tisu lantas mengelap keringat di Dita hingga kering.
“Makasih yank,” ujar Dita tersenyum manis sekali.
Saat aku hendak berdiri untuk mencuci tangan, tanpa sengaja aku melihat ke arah Vinia yang duduk lesehan di seberang meja depanku. Vinia yang sepertinya sedang menatapku langsung memalingkan muka dan agak salah tingkah. Aku gak mikir macem-macem juga sih. Setelah cuci tangan, sambil membawa minuman, aku lalu mendekati Zen yang sedang merokok sendirian di spot khusus untuk perokok.
“Udah kenyang Zen?” kataku.
Ia mengangguk sambil menunjukkan rokoknya. “Empat sehat, di tambah sebatang rokok jadinya, Lima. Sempurna,” kata Zen datar.
Aku dan Zen berpandangan lagu tertawa bareng.
“Garing ya hehe.”
“Iya, kayak kerupuk kena pejuh kuda.”
“Pernah liat pejuh kuda kamu Yan?”
“Pernah. Di bokep punya Xavi. Covernya SOAPLAND JAV tapi pas aku play DVD di laptop, yang muncul cewek di kawin sama kuda. Gila.”
“Gila...DVD nya masih di tempat lo?”
“Masih.”
“Pinjem Yan. Gue barter sama DVD Miyabi di bukkake 180 menit nonstop. Punya Xavi juga, belum gue balikin.”
“Deal.”
“Deal.”
Kami bersalaman dan kemudian tertawa terbahak-bahak karena obrolan absurd barusan. Aku senang bisa membuat Zen tertawa lebar, karena akhir-akhir ini aku makin jarang lihat Zen tertawa selepas ini. Ya semenjak peristiwa di aula yang nyaris merenggut nyawanya.
Saat kemarin Yosi menunjukkan berita kematian Gom yang penuh tragedi karena mati akibat gantung diri di iringi dengan skandal video porno sejenis, membuatku benar-benar shock. Berita tersebut terlalu kejam terutama buatku, teman sekelas, para guru dan mungkin semua orang yang mengenal Gom, terlebih keluarganya. Refleks feelingku mengatakan Zen terlibat, entah gimana caranya karena sebelum berita ini tersebar, tidak ada yang tahu keberadaan Gom. Karena Gom-lah yang sudah menusuk Zen yang bisa berakibat fatal jika Zen tidak cepat mendapat penanganan.
Zen yang pernah kalah duel dengan Budi saja bisa sedemikian sengit balas dendam ke dia. Jika tidak di cegah teman yang lain saat pecah tawuran di aula, Zen mungkin sudah menyandang status pembunuh.
Itu Zen hanya urusan kalah baku hantam.
Sementara tindakan Gom jauh lebih dari itu semua, urusan bunuh orang segala. Rasanya tidak mungkin Zen akan merelakan dan memaafkan Gom begitu saja. Tapi sepertinya aku terlalu berlebihan. Kematian Gom karena perbuatannya sendiri, oleh tangannya sendiri karena tidak kuat menanggung malu karena aibnya tersebar. Semoga feelingku salah.
Ya, kecurigaanku terhadap Zen yang berhubungan dengan kematian Gom jelas terlalu berlebihan dan mengada-ada.
Aku dan Zen kemudian mengobrol singkat tentang hal ringan seputar musik, tentang ide kami membuat lagu sendiri karena kami merasa punya materi lagu yang cukup lumayan dengan genre rock, meskipun masih berupa sesi jamming mentah tanpa lirik dan tanpa judul. Kami baru beranjak saat Xavi berteriak kepada kami bahwa acara makan-makan sudah selesai dan saatnya pergi. Bli Gusti kemudian mengajak kami keliling Kota Mataram yang menyenangkan. Karena cewek-cewek mulai ngantuk, Xavi lalu meminta mereka untuk tidur.
“Kalian bobo dulu mayan 30-45 menit karena lokasi yang mau kita tuju agak jauh dari sini. Ntar di bangunin begitu kita sampai di tempat yang sangat keren ! Kalian pasti suka !” ujar Xavi bersemangat.
“Oh aku pikir kita langsung ke Gili Trawangan.”
“Enggak Yan, kita nginep semalam di hotel daerah Senggigi. Biar kalian bisa istirahat dulu, baru besok paginya kita nyebrang ke Gili Trawangan.”
“Ikut saja lah Yan, si bos in yang punya acara. Awas aja kalau bawa kita ke tempat gak jelas,” ujar Vinia.
“Gorok leher Bli Gusti kalau kalian nanti nyesel ke tempat yang mau gue tunjukkin,haha.”
Bli Gusti yang bawa mobil cuma senyum-senyum saja.
Dan mobil pun melaju ke satu daerah yang Xavi bilang akan keren, ah aku merasa bersemangat sekali ! Dita, Dea, Asha, Vinia pun satu-persatu tertidur karena Bli Gusti enak bawa mobilnya dan ya orang kekenyangan ujungnya pasti ngantuk. Jadi kami tetap ngrasa nyaman selama di jalan. Aku pun mulai mengantuk tetapi aku ingat ada hal lain yang kelupaan. Yakni kasih kabar ke Mbak Asih kalau kami sudah sampai di Lombok. Saat aku mengirim pesan WA ternyata ada penyesuaian zona waktu karena Lombok berada di Zona Waktu WITA yang lebih awal 1 jam di banding Kota XXX yang masuk zona WIB.
Oke, beres kasih kabar ! Aku pun duduk santai dengan sedikit merendahkan sandaran tempat duduk, menikmati pemandangan di luar yang kami lewati.
Aku sedikit terperanjat kaget saat kursi sedikit bergetar saat melewati satu ruas jalan yang kurang bagus. Sepertinya aku ketiduran. Aku lihat Dita masih tertidur pulas. Hampir semua orang tertidur, kecuali Zen yang sedang sibuk dengan ponselnya.
“Udah bangun lo Yan?” sapa Xavi. “Lihat ke jalan deh, buka jendelanya kalau perlu biar pada bangun. Kita sampai di daerah Senggigi Guys!!” teriak Xavi.
Dari dalam mobil aku melihat pohon kelapa semakin sering terlihat, jalanan juga semakin meliuk-liuk. Dan saat aku buka jendela di sampingku, bau khas pantai langsung tercium !! Luar biasa indahnya saat melihat bentangan pantai dan langit biru nan cerah yang ada di sisi kiri kami. Yang tertidur juga bangun semua dan terpesona dengan keindahan pantai. Saat Yosi meminta Bli Gusti untuk berhenti sebentar untuk foto-foto, Xavi bilang beberapa menit lagi kami sampai.
Dan saat mobil kami terparkir, kami semua langsung keluar dari mobil dengan girang ! Xavi meminta kami mengikutinya naik ke bukit kecil. Ketika kami sampai, aku benar-benar terpana dengan keindahan tempat ini !
“Selamat datang di Bukit Malimbu, spot terbaik di pulau ini untuk menikmati sunset. Gimana Vinia, masih minat untuk gorok leher Bli Gusti?” ujar Xavi dengan nada riang.
“Ashaa ! Cowok lo mayan jugaa !! Wuahahaha indahnyaaaa!” teriak Vinia menggoda Asha lalu membentangkan kedua tangannya menghadap ke lautan.
“Beruntung cuaca cerah guys, kalian lihat 3 pulau kecil yang di sana?” tunjuk Xavi mengarah ke satu lokasi. Terlihat jelas 3 pulau yang berdekatan.
“Yang paling depan itu Gili Air, di belakangnya ada Gili Meno dan yang di belakang, itu tujuan kita besok dan untuk 5 hari ke depan, Gili Trawangan. Dan itu yang paling jauh, kelihatan gunung kan? Itu Gunung Agung di Bali. Oke yang mau foto-foto silahkan, pas setengah jam lagi sunset. Selesai sunset kita cus ke hotel.”
Tentu saja kami semua langsung berteriak kegirangan dan mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan momen ini dengan foto-foto di spot keren ini. Tak lupa kami foto bareng dengan bantuan Bli Gusti yang ternyata membaca camera Digital. Bli Gusti kemudian mengarahkan kepada kami untuk bergaya bermacam-macam dengan berdiri di ujung tebing yang hanya berbatas semak belukar tinggi. Sesi foto di mulai dari foto berpasangan bergantian. Aku dengan Dita, Yosi dengan Dea dan Xavi dengan Asha. Benar-benar romatis abis bisa foto sama pacar di tempat sekeren ini. Namun suasana langsung canggung ketika Bli Gusti mengira Vinia dan Zen adalah sepasang kekasih.
“Lebih rapat lagi, mas peluk pacarnya dong, yang mesra gitu,” pinta Bli Gusti mengarahkan Vinia dan Zen foto berdua dengan background lautan.
Kami semua menatap ke mereka berdua, Xavi dan Yosi malah ketawa-tawa, tidak berniat untuk memberitahu ke Bli Gusti.
“Maaf bli kami baru banget jadian, di tambah cowok gue yang ganteng tapi cool ini pendiam. Jadi maklum ya. Beb, ayo mesraan dikit napa. Malu nih masak cuma foto kita yang gak mesra,” ujar Vinia yang aku yakin itu adalah ucapan dan tindakan spontannya, dia tidak mau ribet menerangkan ke Bli Gusti.
“Nah gitu, keren ! Tahan!” seru Bli Gusti saat Vinia yang berdiri sebelah kanan Zen langsung memeluk erat pinggang Zen. Zen yang menyadari akting Vinia, mulai enjoy. Ia memeluk pundak Vinia. Sehingga mereka berdua kini berfoto layaknya sepasang kekasih.
Selesai sesi foto couple, selanjutnya para cewek foto bareng. Para cewek terlihat lebih kreatif dalam berpose, lain halnya dengan gaya foto kami berempat yang mengundang komentar dari Dea.
“Kalian foto kaku amat sih ah, malah kayak ngajak berantem sama orang.”
Kami berempat tertawa. “Sialan, tapi iya juga sih De, banyakan gaul sama tiga bajingan ini, gue ketularan langsung pose ala preman kalau di foto,” ujar Xavi.
“Hei, watch your language..” tegur Asha sambil tersenyum.
“Eh iya beb, maaf. Keceplosan ngomong bajingan, eh !” Xavi reflek menutup mulutnya. Asha langsung bersedekap memasang wajah masam.
“Wahahahaha kena omel juga lo akhirnya !” teriak Yosi girang.
Sebelum sunset sempurna, kami berdelapan foto bareng berbagai macam pose dan di akhiri dengan pose meloncat kami berdelapan secara bersamaan !
“Hitungan ketiga langsung loncat yaa! Loncat sambil teriak ‘cheeeseee’ ! Aba-aba dari saya. SATUU...DUAAA...TIGAAA !!!
“CHEESSEEEEEEEEEEEEEEE!!!” Teriak kami bersamaan dan sepertinya kami semua bisa meloncat secara serempak.
Dan ketika di cek, hasilnya luar biasaaaaaaaaaa !!!
Fiuh capek juga padahal cuma foto-foto, di lima menit terakhir kami menikmati matahari yang mulai terbenam turun di ufuk barat sana, temaram senja pun mulai terlukis di langit dengan semburat cahaya keemasan menimpa awan dan terpantul di lautan yang membiru menuju gelap.
Dita menggenggam tanganku erat sekali sambil menyandarkan kepalanya di pundakku. Berdiri bersama pacarku, dan sahabat-sahabatku menikmati sunset di tempat seindah ini.
What a moment to remember...
****
“Oke guys, kita sampai di hotel tempat kita menginap semalam disini. Dari hotel ini ke teluk Kodek, hanya 10 menit,” terang Xavi saat mobil berhenti di lobi.
“Teluk Kodek, tempat kita nyeberang ke Gili?” tanya Vinia.
“Iya. Besok kita nyebrang ke Gili Trawangan pake kapal boat jam 10 pagi. Btw, ini salah satu Hotel favorit Mama gue loh kalau di Lombok.”
Setelah kami turun, Bli Gusti dan Xavi masuk ke dalam menemui resepsionis, sementara kami menunggu di luar sebentar.
“The Lombok Lodge,” aku bergumam membaca hotel yang di pilih Xavi untuk kami menginap 1 malam di daerah Senggigi. Hotel ini pasti mahal benar, karena berada di sebuah bukit yang menghadap ke laut. Bangunannya terlihat minimalis namun tetap memperlihatkan kesan mewah bergaya kontemporer. Saat aku berjalan berkeliling sebentar ada kolam renang dimana di pinggiran kolam ada kursi dengan matras putih berjejer. Tambahan pencahayaan berupa lilin di samping kursi, cahaya lampu kuning yang mirip pijar lilin menambah kesan “mewah.” Di dekat Kolam renang ada semacam paviliun dengan tempat duduk menghadap ke laut lepas yang pasti memanjakan para tamu hotel. Di depan kolam renang juga terhampar kursi-kursi di lapangan rumput yang juga mengarah ke lautan.
“Buset, mewah banget ini hotel,” celetuk Yosi.
“Wow,” ujar Vinia yang sedang menatap ponselnya dan membuat kami penasaran.
“Kenapa Vin?”
“Kalian tahu gak rate menginap di sini?” tujuh juta per malam cuyy!! Dan hanya tersedia 9 elegant minimalis lodges dengan fasilitas Wi-fi, 32-inch smart TV, Bose speaker system, iPad. Setiap kamar di lengkapi dengan mesin Nespresso, iPod Docks, private balkon dengan pemandangan laut, kamar mandi free-standing tubs dan room service 24 jam. Gila-gila, singkatnya ini hotel bintang 5 termahal di kawasan Senggigi,” kata Vinia sambil membacakan review tentang hotel ini dari situs travelling sepertinya.
“Wohoooo berarti malam ini cuma ada kita dong, tidak ada tamu hotel lainnya ! Sapi-sapi ! Sha, setelah lulus SMA kalian cepat nikah gih! Masa depan kalian berdua bakalan cerah !” kata Yosi kepada Asha yang hanya senyum-senyum saja.
Asha, kami semua menyukai hubungan dia dengan Xavi. Setelah Xavi mengajak dia trip ke Lombok, Asha baru tahu siapa Xavi sebenarnya, yakni anak tunggal dari orang nomor 1 di Freeport yang tentu saja gak perlu di ragukan dan repot-repot menghitung aset kekayaan Tante Clara, mama Xavi, belum lagi ayah Xavi yang tinggal di Amsterdam adalah seorang pengusaha berlian di Belanda. Jadi ya si Xavi ini anak miliuner dah. Bukan sekedar anak orang kaya biasa.
“Selera nyokap Xavi memang highclass!” tambah Vinia.
Kami baru ke lobi saat Bli Gusti meminta kami untuk berkumpul di lobi.
“Ini guys, satu orang satu kamar,” Xavi membagi-bagikan kartu akses ke kamar. “Kalian bisa istirahat mandi dulu atau terserah mau berenang juga bebas karena tamu di hotel ini cuma ada kita. Ini jam setengah 7, nanti kita kumpul di paviliun yang dekat kolam renang jam 8 malam untuk makan malam. Silahkan,” terangnya.
Cewek di berikan kamar nomor 1-4. Sementara cowok nomor 5-8. Nomor 9 di tempati Bli Gusti. Kami pun menuju kamar masing-masing sesuai nomor kamar. Aku di nomor 8 sementara Dita di nomor 4. Dita mengaku ingin tiduran bentar terus mandi. Ya istilah dia “me time” gitulah. Kami berdelapan pun akhirnya masuk ke kamar masing-masing, sementara Bli Gusti tadi ijin ke Xavi untuk keluar bentar.
Saat aku masuk ke dalam kamar beuh, aroma wangi yang tidak terlalu menusuk lembut langsung tercium. Membuat aku jadi semakin rilleks. Lampu kamar juga di setting kuning temaram. Ranjang yang ada di kamar berukuran king size cukup untuk 2 orang sebenarnya, tetapi aku suka dengan inisiatif Xavi bahwa 1 orang dapat 1 kamar untuk menjaga privasi masing-masing. Di depan ranjang ada sofa yang serba putih, menambah kesan bersih dan elegan. Aku lalu membuka tirai dan menggeser pintu kaca. Serta merta angin malam langsung berhembus menerpa, membawa aroma pantai yang menyegarkan. Menginap di sini seperti gak butuh AC, cukup buka dikit jendela beuh langsung sejuk. Di teras kamar tersedia tempat duduk berlapis sofa yang juga berwarna putih. Gila, enak banget pasti ngopi di luar sini sambil menikmati angin malam dan suara deburan ombak yang terdengar meskipun samar.
Karena diberitahu Dita sebelum berangkat, bahwa di hotel atau villa pasti tersedia peralatan mandi lengkap berikut handuk, maka tas ku hanya berisi beberapa baju, kemeja, celana panjang dan celana pendek jeans. Setelah mengambil pakaian bersih, aku bergegas menuju kamar mandi karena karena badanku lumayan berkeringat sejak dari Bukit Malimbu. Saat aku membuka pintu menuju kamar mandi, lagi-lagi aku terpukau melihat kamar mandi yang sedemikian bagus dan bersih. Kombinasi putih dan warna abu-abu ternyata sempurna.
Lebih bagus kamar mandi di hotel ini dibanding kamarku. Aku pengen nyoba berendam di tube sih tetapi karena rada bingung, akhirya aku langsung mandi saja dengan shower yang ku setting dengan air dingin. Aku lebih suka mandi dengan air dingin di banding air hangat sih dari dulu. Terasa lebih menyegarkan.
Selesai mandi segar banget rasanya. Ngopi ini enak ini. Di kamar ada sejenis mesin pembuat kopi, heater juga ada lengkap beserta dengan beberapa pack kecil bubuk kopi bertuliskan Kopi Sembalun Rinjani. Wah sepertinya kopi arabika asli lombok sini nih. Karena aku gak bisa pakai mesin kopinya jadi ya aku buat kopi tubruk aja. Sambil menenteng segelas kopi panas Sembalun Rinjani dan 1 sendok kecil gula, aku bersantai di teras kamar. Ya ampun bagus banget viewnya. Gemerlap lampu dari 3 Gili dan langit cerah penuh bintang membuat malam jadi semakin sempurna. Sambil sesekali menyeruput kopi nikmat ini, aku mengirim WA ke Dita kalau aku mau ke kamarnya untuk menjemput makan malam.
Jam 8 lebih 15 menit aku dan Dita menuju pavilion yang berada pelataran luar.Di pavilion ternyata baru ada Zen. Asha,Xavi, Dea dan Yosi bahkan Vinia belum kelihatan.
“Lho, baru kita doang ini,” kataku sambil duduk di bangku samping Zen.
“Iya, lagi pada asik sendiri",kata Zen cuek sambil mulai membakar rokok.
“Ha...ha..” aku tertawa dengan nada garing karena aku tahu benar apa maksud perkataanya yang sedikit banyak juga menyindirku. Dita aku lihat juga cuma nyengir aja.
Untung saja ankward moment tidak berlangsung lama karena sejurus kemudian teman-teman yang lain sudah berdatangan. Jadi kami sudah lengkap berdelapan. Saat semua sudah duduk, hanya Xavi dan Asha yang masih berdiri.
“Sorry guys, rada molor dikit hehehe. Eh kenapa kalian malah pada duduk?”
“Lho bukannya elo yg bilang agar kami kumpul sini buat makan malam?” Vinia menjawab pertanyaaan Xavi dengan nada heran.
“Kan gue bilang kumpulnya memang di paviliun sinih, tapi makan malamnya di sana, di pinggir pantai, dekat dermaga kecil tuh. Udah di siapin buat kita semua. Kalian bakalan suka deh, yakin,” papar Xavi.
Kami bersorak sambil mengikuti Xavi yang terus menggandeng Asha, menuju ke bibir pantai menuju ke sofa-sofa berwarna putih yang tertata rapi di dekat sekumpulan batu karang.
“Waooowwwww,” kami berenam berdecak kagum saat melihat lokasi untuk makan malam.
Kami pun lalu duduk bercampur, aku memilih duduk dengan Yosi, Xavi dan Zen, Sementara Dita dengan Vinia, Asha dan Dea. Karena bagaimanapun kami tidak ingin membuat Vinia atau Zen merasa jengah ketika berkumpul seperti ini. Setelah kami duduk, datang seorang pria berpakaian ala chef menyapa dan memperkenalkan diri sebagai chef untuk makan malam ini. Xavi yang sepertinya tahu yang terbaik dan menyederhanakan pilihan kami, ia yang lebih banyak berbincang tentang pilihan menu makam malam.
Berdasar rekomendasi dari Chef Jiwa, Xavi memesankan kami semua BBQ Australian Beef with baked potato dan sour cream untuk menu utama, sedangkan untuk menu pembuka, dessert aku kurang ngerti karena nama makanann menggunakan istilah bahasa Inggris. Ya pokoknya makanan serta minuman kami percayakan kepada Xavi saja, kami tinggal makan ! Heee. Setelah Chef Jiwa pergi, kami lalu mengobrol santai sambil foto-foto tentu saja. Bukan hanya foto di meja makan, kami juga foto-foto di anjungan dermaga kecil yang ada situ.
“Xav,” panggil Zen ketika kami berempat berdiri bersandar di pagar dermaga sambil menatap lautan, sementara para cewek tak henti-hentinya berfoto.
“Ya bro ada apa?”
“Itu Gugusan Gili kan ya?”
“Iya. Besok kita menggila di sana. Kenapa emang? Udah gak sabar lo? Banyak yang bilang Gili Trawangan itu Ibiza-nya Indonesia. Pulau yang isinya pesta tiap malam, mayoritas bule di sana.”
“Daripada kita nyeberang ke Gili via Teluk Kodek, kenapa kita gak nyebrang dari sini aja? Jadi begitu check-out besok pagi, langsung cus pake boat ke sana. Udah deket itu, kita gak perlu repot ke Teluk Kodek dulu. Lagian, pasti hotel juga sedia boat yang bisa di sewa buat nganterin kita ke sana,” terang Zen.
“Anjir !” Yosi menepuk pundak Zen. “Cerdas banget elo bro! Iya gue setuju sama Zen ! Kalau kita bisa berangkat dari dermaga sini, besok pagi kita bisa nyantai dulu nikmatin fasilitas hotel. Masak kita cuma numpang tidur doang. Itu kolamnya gede banget pengen nyoba gue dan ada Lodge Spa. Sebelum menggila pesta di Gili, pengen relaksasi gue.”
“Pijet plus Yos?” kataku sambil tertawa.
“Enggaklah, biji gue bisa di kick Dea kalau ketahuan pijet aneh-aneh.”
“Haha. Iya Xav, aku setuju dengan usul keren dari Xavi.”
Xavi manggut-manggut. “Kenapa gue gak kepikiran ini sebelumnya ya? Hahaha! Bentar gue ke resepsionis dulu.”
Xavi kemudian ke lobi hotel mungkin untuk booking boat hotel yang bisa mengantar kami ke Gili besok. Pas Xavi udah balik, makan malam mulai di sajikan. Jadinya kami makan malam dulu, suasana makan malam yang luar biasa enak (dan mahal!) di lokasi seindah dan semewah ini bersama dengan orang-orang terdekatku, membuatku entah sudah yang keberapa kalinya untuk hari ini, mengucap syukur atas momen tak terlupakan ini.
= BERSAMBUNG =
Liburan ala bajinduls...
ReplyDeleteDipotong separo...mungkin biar episode nya pas. Krn kmrn ada part "asyik" yg dihapus
ReplyDelete