Featured Post

LPH #67

Episode 67
Takdir Para Begundal


(pov : Yandi)


Aku pun jadi ikut berdebar-debar menyaksikan satu persatu rokok mulai habis. Dan ketika Satya menjentikkan puntung rokoknya, maka semua rokok sudah habis. Kami semua otomatis memandang ke arah Pak Indra yang duduk sambil menyilangkan kaki.

“Kenapa lo semua ngeliatin gue?” tanya Pak Indra sambil memainkan batang rokoknya yang hampir abis.

Kami diam saja tidak ada yang berani menjawab, beberapa siswa malah tertunduk. Hanya aku, Edgar, Heru dan Satya yang berani menatap ke Pak Indra.

“Woi! Kalian bisu?! Ada orang tua nanya malah diam saja,” bentaknya.

“Gak Pak,” jawab Heru spontan.

“Terus kenapa diam pas gue tanya tadi?” kejar Pak Indra.

“Kami...ngelihat ke arah Pak Indra...Karena rokoknya sudah habis Pak,” jawab Heru terbata-bata.

“Memangnya kalau rokok kalian abis, terus kalian ngliatian gue, gue bakal kasih rokok lagi?” ujar Pak Indra sambil tertawa mengejek.

Aku geram juga mendengarnya, Pak Indra sedang mempermainkan kami. Pertanyaan Pak Indra sedari tadi hanyalah retoris. Dia tahu kami semua sedang tegang karena tadi ia bilang, hukuman baru dimulai setelah rokok yang dibagikan ke murid habis tersulut. Jadi ya begitu rokok habis, semua siswa reflek menatap Pak Indra sambil berharap-harap cemas menunggu hukuman atau lebih tepatnya siksaan fisik.

Ya semua siswa di sekolah ini tahu bahwa jam mata pelajaran olahraga mengalami perubahan konsep sejak kehadiran Pak Indra. Di era Pak Indra, setiap jam olahraga, kelas di bagi menjadi 2. Siswa cewek di pegang oleh Bu Susi,sementara siswa cowok tetap dengan Pak Indra. Saat bersama Pak Indra inilah, gabungan kelas yang memiliki jam olahraga bersamaan di gabung lalu dibawa ke ruang gym sekolah. Sementara yang siswa cewek lebih sering olahraga di outdoor. Gym sekolah menjadi tempat penyiksaan ala militer. Kami semua di tempa fisiknya, sampai di peras habis. Dulu gym sekolah berisi alat-alat fitnes standar tetapi lama-lama makin lengkap dan menjadi “neraka”.

Di gym ini lah kami dibantai secara fisik dan mental 90 menit hampir tanpa jeda. Jarang sekali kami bisa main bola atau basket. Atletik pun hanya sebulan sekali (itupun kami diminta lari maraton 7 kilometer). 90% mata pelajaran olahraga berubah menjadi latihan fisik ala militer. Kalau salah sedikit, terlambat, terlalu cepat bahkan terlalu awal, tamparan, pukulan dan tendangan mendarat ke badan kami disertai makian yang membuat siapapun kuping yang mendengarnya panas. Xavi yang punya hak istimewa menunjukkan solidaritas dengan tetap mengikuti kelas “militer” ini. Dan secara mengejutkan, Xavi terlihat paling menonjol dalam hal ini. Latihan dengan instruktur pribadinya yang pro-muaythai menunjukkan hasil nyata. Beberapa teman yang gak kuat sempat ingin melaporkan tindakan bar-bar Pak Indra ke Pak Tomo, namun aku mencegah mereka karena aku yakin Pak Tomo tahu benar apa yang dilakukan Pak Indra.

“Lu kenapa Yan, ngliatin gua? Gak terima atau sok jagoan lo?” hardik Pak Indra ke arahku, sialan, aku kok ngrasa jadi TO Pak Indra. Karena aku merasa apapun jawabanku bakal tetap di anggap salah, aku pun menjawab terus terang.

“Semuanya sudah menghabiskan rokok yang Pak Indra berikan. Dan seperti yang Pak Indra bilang di awal, setelah rokok habis, kami akan menerima hukuman.”

Semua anak kelas 2 menatap ke arahku, mungkin mereka tidak menyangka aku akan berterus-terang.  Pak Indra menghisap kuat-kuat rokoknya lalu dihembuskan ke atas sambil mendongakkan kepalanya. Pak Indra tersenyum sinis lalu kemudian melambaikan tangan ke arahku, memintaku untuk mendekat.

Bakalan kena hajar lagi ini. Saat aku mengencangkan otot perut serta rahang, bersiap untuk menerima pukulan atau tendangan, Pak Indra memintaku untuk membuka telapak tangan kanan.

NYESH!

Pak Indra menyundutkan ujung puntung rokoknya yang masih menyala ke permukaan telapak tanganku. Secara reflek aku hendak menarik tanganku karena sakit sekali saat bara api di sundut dan di jejalkan ke permukaan telapak tanganku, namun aku bertekad untuk tetap diam di tempat, menahan rasa sakit. Pak Indra terus menatap mataku saat ia melakukan hal ini. Saat puntung rokok sudah padam, Pak Indra berkata.

“Ambil semua puntung rokok yang ada disini lalu buang ke tempat sampah di pojok  sana kemudian kembali ke barisan. 15 detik. Lebih dari 15 detik, gue hantam ulu hati lu sampai muntah...”

15 detik? Di sini ada banyak ceceran puntung rokok dan tempat sampah jaraknya 50-60 meter di pojokan. Kalau bolak-balik 100 meteran. Baru juga aku mau komplain karena estimasi waktu 15 detik tidak akan cukup, Pak Indra sudah berteriak.

“Heh, kalian bajingan tengik ! Kalian yang hitung ! Di mulai dari lo jabrik ! Hitung yang keras !!”

David yang berdiri di deret paling kanan dan berambut jabrik, langsung memulai hitungan.

“SATU !”

Sialan ! Aku tidak punya pilihan ! Mana badan masih nyeri-nyeri gini ! Aku langsung berlari sekuatnya mengambil ceceran puntung rokok dan ku genggam kuat supaya tidk ada yang jatuh. Aku tidak memperdulikan jumlah hitungan, mau lebih dari 15 detik sekalipun akan aku tuntaskan! 50 meter bolak-balik dalam kondisi normal bukan masalah besar buatku, namun cedera di rusuk membuat setiap langkahku makin terasa nyeri luar biasa. Efeknya nafasku menjadi tidak beraturan. Aku pun berlari sambil berteriak untuk meluapkan rasa sakit.

Saat aku kembali masuk ke barisan dan berdiri di samping Edgar aku mendengar dia berteriak, “Lima belas!!”

Dalam kondisi baju penuh keringat karena hawa panas di aula, nafas memburu, badan sakit, aku kaget karena sepersekian detik setelah aku berdiri di samping Edgar, baru terdengar hitungan ke lima belas ! Ini berarti aku berhasil menyelesaikan tugas gila dari Pak Indra tepat di hitungan ke lima belas !! Aku pun mengepalkan tangan ke atas tanpa bersuara untuk melampiaskan keberhasilan.

Kulihat Pak Indra berdiri dan mendatangiku. Ia meremas pelan pundak kiriku dan tersenyum sinis.

BUGH !!

“HOEKKK!!”

Oksigen di paru-paru serasa meloncat keluar saat sebuah pukulan mendarat ke ulu hatiku. Sehingga aku memuntahkan sarapanku pagi ini ke lantai dan jatuh terduduk memegangi perut. Entah apa yang terjadi selanjutnya namun aku mendengar suara pukulan serta teriakan kesakitan di selingi suara orang muntah dan bunyi gedebug-gedebug. Saat rasa sakit berangsur membaik dan deru nafas kembali normal, aku lalu duduk dan melihat semua siswa sudah terkapar di lantai sambil memegangi perut. Sementara Pak Indra malah sedang menyulut sebatang rokok.

Kenapa Pak Indra memukulku padahal aku bisa menyelesaikan perintahnya dalam waktu 15 detik?  Dan kenapa pula ia menghajar mereka semua?  Timbul rasa marah dalam diriku, melihat tindakan semena-mena Pak Indra. Oke, kami semua memang salah karena sudah berkelahi di luar dan pantas menerima hukuman. Tetapi pukulan yang kami semua terima terasa tidak adil !!

“Kenapa lo ngliat gue kek gitu, bocah?” tanya Pak Indra santai saat perlahan aku bisa berdiri dan mengangkat kedua tangan ke atas, merenggangkan badan dan mengambil nafas pelan-pelan setelah kena hantaman. Aku bersyukur Pak Indra tidak memukul di rusukku yang sepertinya cedera paling parah dan mungkin saja ada luka dalam hasil perkelahianku semalam dengan Edgar cs.

“Kenapa Bapak memukulku dan kami semua ? Aku sudah berhasil melakukan perintah Pak Indra?” kataku setengah membentak.

“Berhasil melakukan perintah? Udah gagal gak sadar diri pula.”

“Gagal ? Gagal kenapa? Semua puntung rokok bisa aku ambil semua dan kubuang tong sampah di pojokan tanpa ada yang tercecer di lantai. Dan kita semua termasuk Bapak juga mendengar dan melihat  bahwa aku bisa kembali ke barisan sebelum Edgar berhitung di lima belas !!” kataku berapi-api. Urusan sama Pak Indra, mau salah atau benar tetap di hajar, jadi ya sekalian saja aku berterus-terang.

“24,4 detik. Bukan 15 detik seperti yang elo kira....” kata Pak Indra sambil mengepulkan asap rokok membentuk lingkaran dari mulutnya.

“24 detik? Apa maksudnya Pak..” kok bisa-bisanya Pak Indra bilang waktu yang aku perlukan untuk menyelesaikan perintahnya adalah 24 detik ?

“Kenapa lo bingung? Jadi gini bego. Mulai di hitungan ke 9, hitungan mulai di perlambat. Kasarnya mereka men-delay hitungan. Jeda 1 detik di perlambat jadi 2 detik. Sehingga sesaat sebelum Edgar sampai di hitungan ke lima belas, elo udah kembali ke barisan. Lu jelas gak akan memperhatikan hal ini, tetapi gue jelas tahu benar kalian anak kelas 2 memang sengaja memperlambat hitungan. Gue sengaja membiarkan ini semua, biar hukumannya rata. Yang lu dengar memang sampai di hitungan ke 15 tetapi faktanya 24, 4 detik,” papar Pak Indra sambil menunjukkan stopwatch yang entah kapan sudah ia pegang kepada kami.

“Hohoho, karena mereka ingin membuat elo lolos dari perintah gue, makanya kena pukul satu, kena pukul semua, itulah gunanya teman hahaha...”

Aku tertegun kenapa mereka melakukannya? Kenapa mereka sengaja memperlambat hitungan?

Pak Indra lalu duduk di kursi lipat mulai bertanya, “Sekarang gue minta salah satu dari kalian untuk bercerita kepada gue kenapa kalian berkelahi. Sebaiknya lupakan niat untuk menutup-nutupi masalah, karena kalau sampai kalian bohong, bakalan gue jadikan sansak hidup.”

Aku hendak bercerita namun aku terbatuk-batuk. Efek pukulan Pak Indra masih belum hilang benar. Kulihat Heru yang kemudian berdiri dan bercerita. Heru menceritakan dengan jujur apa yang terjadi semalam, kenapa aku dan para kelas 2 terlibat perkelahian. Heru juga bercerita tentang studi banding yang menjadi faktor utama kenapa aku sampai mendatangi mereka ke Barak. Pak Indra lalu meminta Heru untuk duduk sementara ia berdiri, ia berjalan pelan mondar-mandir di depan kami sambil memasukkan kedua tangannya ke saku celana.

“Kalian sekarang kembali ke kelas.”

Aku dan Heru berpandangan heran begitu juga dengan anak kelas 2 yang lain. Kami lebih terheran-heran dengan perkataan Pak Indra. Ini serius Pak Indra menyudahi hukumannya dan meminta kami kembali ke kelas?

“Kalian semua jadi tuli ya? Gue minta kalian balik ke kelas malah bengong.”

Antara heran dan senang karena tiba-tiba Pak Indra meminta kami segera kembali ke kelas, kami pun segera berdiri dan merapikan seragam lalu berjalan menuju pintu aula.

“Kalian lolos kali ini dan opsi kalian cuma satu yakni menang. Jangan pernah terlintas di pikiran kalian, apa yang terjadi kalau kalian kalah. Percayalah, kalian tidak ingin mengetahui apa yang bisa gue perbuat ke kalian jika kalian kalah di Studi Banding.” ujar Pak Indra.

***

Sampai di kelas, semua teman-temanku tidak berhenti bertanya apa yang sebenarnya terjadi di antara aku dengan anak kelas 2. Aku diam tidak bergeming, tidak berminat untuk menjawab semua ocehan teman-teman yang aku yakin penasaran luar biasa. Saat jam istirahat pun, teman-teman XYZ berkumpul dan kembali bertanya. Serta di berikan tambahan pertanyaan, hukuman apa yang aku terima di dalam aula.

Tapi aku tetap diam saja, aku tidak ingin memperumit masalah yang sebenarnya sudah selesai malam itu juga. Namun kepalaku juga pusing mendengar mereka semua seolah menginterograsiku.

“Kalian bisa diam gak? Kepalaku makin pusing dengar kalian semua. Nanti akan aku ceritakan, tetapi tidak sekarang,” kataku sambil berdiri dari kursi kantin dan pergi begitu saja menuju kelas.

Dari sekian banyak teman-temanku, cuma Zen yang nampak santai. Saat aku kembali ke kelas, ia ternyata sudah ada di kelas, sedang sibuk membuat sketsa di buku khusus.

"Zen, tar malam kumpulin anak-anak. Jam 8 malam di rumah Xavi,” kataku sambil duduk di kursi.

"Lo mau jelasin ke anak-anak tentang Studi Banding?" timpal Zen tanpa menoleh ke araku

Zen langsung bisa menebak apa mauku.

"Iya, waktunya semakin dekat. Mereka harus tahu sekarang."

"Beres. Ini mau semuanya? 30an orang? Menurut gue gak usah semuanya Yan. Cukup beberapa teman yang kita tahu dulu aja. Selain Yosi, Xavi cukup lah Wira, Astra, Riko, Dodo, Bagas," usul Zen.

"Oke, kamu atur saja."

Zen mengangkat jempol kanannya.

"Gimana tangan kiri?"

"Udah lumayan. Gak perlu lepas pen kata Dokter," jawab Zen sambil menggerak-gerakkan lengan kirinya.

"Zen, kamu beneran gak mau cerita tentang siapa orang yang sudah membuat tanganmu patah?"

"It's not a big deal. Santai saja. Toh udah mau sembuh ini. Gue masih bisa ikut Studi Banding, tenang."

Aku yang hendak meminum Aqua yang aku simpan di laci langsung berhenti dan menatap Zen.

"Kamu gila apa. Kamu baru seminggu lepas gips. Enggak. Kamu gak usah ikut. You're out of the game. Period."

Zen hendak protes tetapi ia lalu mengangkat pundaknya. “Terserah deh, you’re the bos.”

Setelah pulang sekolah, aku hendak beristirahat karena badan masih sakit tetapi Dita mengajakku pergi keluar makan seafood di Pantai Marina, aku malas sebenarnya karena ingin istirahat saja. Tetapi di saat yang sama aku juga gak ingin menambah masalah dengan bertengkar dengan Dita,, jadi ya aku turutin saja. Setelah cuci muka dan mengganti baju, aku pamit sama Mbak Asih mau pergi sama Dita. Mbak Asih cuma mengangguk dan bilang hati-hati, udah gitu aja. Masih marah dia sama kelakuanku. Tapi tidak semarah sebelum-sebelumnya, karena Mbak Asih sedikit banyak sudah tahu apa yang kuhadapi di sekolahan selain urusan akademik.

“Ya ampun, kamu berantem lagi?” tanya Dita ketika aku menunggunya di teras rumah. Ia kaget mendapati wajahku lebam-lebam.

Aku cuma nyengir. “Ya gitulah, tapi gak apa-apa kok.”

“Gakpapa kok seminggu sekali babak belur gitu, kamu gak kasian sama badanmu sendiri?”

“Ya biasalah yank, aku maunya juga semua masalah bakalan selesai cukup dengan bicara baik-baik, tetapi karena situasi memaksa, ya mau gimana lagi. Kamu tenang saja, kekasihmu ini punya bakat lumayan dalam hal bicara pake bahasa laki-laki. Heee.”

“huh!  Bakat kok berkelahi !”

Sebelum Dita makin ngomel gak jelas, aku pun langsung memotonng pembicaraaan, “Jadi pergi makan seafood gak nih?”

“Jadilah! Eh yank, kita kesana bawa mobil saja lah, kasian kamu motoran ke sana, pasti badanmu juga pegal-pegal dan nyeri tuh.”

“Oke tuan putri.”

Kami lalu menuju Resto Seafood di sekitaran Pantai Marina naik mobil Dita, karena aku gak bisa nyetir mobil jadi Dita yang bawa. Sore-sore duduk di pinggiran pantai sambil makan ikan kakap bakar, cumi bakar, udang, kepiting saos bersama Dita secara ajaib membuatku yang tadinya malas-malasan jadi merasa lebih baik baik. Entah ini perasaaanku saja atau gimana,  tetapi aku melihat ada perubahan dalam diri Dita. Dita terlihat lebih dewasa, sudah berkurang sifat manjanya. Pembawaannya pun jauh lebih santai dan ya pengertian, tidak gampang ngambek untuk hal-hal sepele.

“Yank, makasih ya udah nemenin, aku tahu kamu capek pengennya istirahat,” katanya saat kami sudah sampai depan rumah.

“Gak apa-apa, tadinya aku memang capek, tapi bisa berduaan sama kamu di pinggir pantai sambil makan seafood, jadi hilang rasa capeknya.”

Dita tertawa, “Diih, bohong banget. Yaudah yank, kamu mandi terus istirahat ya.” Dita memajukan wajahnya dan mencium bibirku, aku pun membalas pagutannya. Kami berciuman sebentar karena khawatir kelihatan sama tetangga dan keluarga hee.

Aku sebenarnya ingin bilang ke Dita kalau malam ini aku mau ke tempat Xavi, tetapi kuurungkan karena tidak perlu cerita ke Dita, bisa tambah khawatir dia. Sesampai di rumah aku langsung mandi dan baring-baring karena masih jam setengah tujuh. Aku minta Zen mengumpulkan beberapa teman jam 8an malam, masih ada waktu buat rebahan bentar.

Aku terperanjat kaget saat mendengar ponselku berdering cukup nyaring. Segera kuambil ponsel yang kuletakkan di atas meja. Zen yang menelepon rupanya. Jam di ponsel menunjukkan pukul 20.44 ! Haduh aku ketiduran !

“Zen ! Sori-sori, aku ketiduran abis pergi sama Dita. Teman-teman sudah kumpul ya?”

“Hehehe, anak-anak sih udah disini semua. Santai aja Yan, kalau elu memang capek banget, besok malam aja.”

“Gak enak lah kalau udah pada kumpul, malah di undur. Ni aku mau kesana, tunggu.”

“Selow aja kenapa sih, ini bukan rapat DPR kali, santai saja. Anak-anak juga malah pada nge-jam di studio Xavi. Lu mandi dulu saja, makan sekalian juga gak masalah, tar aku bilang ke anak-anak.”

“Dah, abis mandi, aku kesana.”

“Oke.”

Setelah menutup telepon aku langsung mandi. Mbak Asih bertanya aku mau pergi kemana lagi. Saat aku jawab mau ke rumah Xavi, Mbak Asih memberikan kunci motor Mio-nya. “Pakai motor aja biar gak kemalaman, kalau sampai kamu pulang di atas jam 12 malam, Mbak akan dengan senang hati membantu memecahkan jerawatmu yang ada di dekat pipi kanan,” ujar Mbak Asih santai.

Glek...Ini ancamannya jauh lebih menyeramkan. Aku mesti langsung bicara ke pokok masalah nih ke teman-teman biar aku bisa pulang sebelum jam 12 malam. Aku memang lumayan tahan pukul, tetapi aku lebih memilih bermain aman dengan tidak cari perkara dengan Mbak Asih yang punya pukulan mungkin setara dengan Pak Indra. Hiiii...

Aku sampai di rumah Xavi sekitar jam setengah 10. Karena Pak Midin, sekuriti yang berjaga di pos rumah Xavi sudah kenal baik denganku, saat aku hendak turun dari motor hendak menekan bel, Pak Midin dengan sigap sudah membukakan pintu gerbang. Setelah mengucapkan terimakasih, aku parkir motor di dekat pos sekuriti dan langsung menuju gazebo di belakang.

Aku lihat Zen dan Yosi sedang duduk-duduk di kursi tepi kolam renang sambil rokok’an. Segera kuhampiri mereka sambil meminta maaf.

“Sori...sori...aku baru datang..” sambil menyeruput minuman di gelas yang ada di dekat Zen. Namun aku kaget karena rasanya pahit sekali, aromanya juga beda. “Apaan nih ? Teh basi?!” sambil menyemburkan minuman di mulut.

Yosi dan Zen tertawa. “Iya teh basi, teh basi kesukaan pakde Jack Daniels. Hahaha!” tukas Yosi.

“Yan, Yan, datang-datang main minum aja, itu bukan teh kali, tuh Yosi yang bawa. “ ucap Zen pelan.

“Kampret !” aku mengumpat lalu mengambil Aqua yang ada di kulkas kecil di dalam Gazebo. Aku juga mengambil susu kotak Indomilk coklat untuk menghilangkan rasa pahit yang menempel di lidah.

“Makanya kalem aja Yan, santai. Lu sendiri malah buru-buru, jadi nenggak JD kan,” goda Yosi.

“Namanya juga haus, lagian elo Yos. Pake bawa minuman kek gitu lagi. Di mana yang lain?”

Yosi cuma nyengir.

“Di studio Yan. Yos, telepon anak-anak di atas dah, suruh ke bawah. Ponsel gue uda mati habis batere.”

Yosi tidak menjawab, ia langsung bangkit dari kursi. “Mana pada dengar kalau lagi asyik nge-jam. Gue samperin ke atas aja.”

“Eh apa ngobrol di atas aja biar kamu gak bolak-balik?” kataku.

“Gak usah, kita ngobrol di sini saja biar bisa dengarin elo ngedongeng sambil ngrokok dan minum teh basi, hahaha.”

Setelah Yosi pergi, Zen kemudian bilang sesuatu kepadaku. “Sebelum lo datang kesini, Yosi cerita kalau dia sudah dengar apa yang terjadi antara elo dengan anak kelas 2.”

Aku lalu duduk di kursi yang tadi di duduki Yosi. “Ya aku gak heran sih kalau Yosi udah tahu duluan, kenalan dan teman dia kan banyak di luar sana.”

“Yap, namun bukan itu yang mengganggu pikiran dia. Yosi mencium gelagat campur tangan Bram. Yosi curiga Bram yang mempersiapkan semuanya, agar elo mendatangi anak kelas 2 di tempat tongkrongan mereka dan terjadi perkelahian.”

“Apa komentarmu setelah Yosi mengatakan hal itu?”

“Gue no comment. Dari situ gue tahu kalau Yosi belum tahu apa-apa tentang Studi Banding. “

“Wow, kamu memang jenius langsung bisa menyimpulkan itu semua.”

Zen hanya tertawa kecil. “Kalau Yosi sudah tahu tentang Studi Banding, dia tidak akan menyinggung tentang kecurigaannya tentang Bram. Karena sudah pasti Bram yang mendorong elo untuk mendatangi anak kelas 2 dan 3. Bram pasti gerah ngelihat lo gak ada gregetnya hehehee.”

Emang pinter banget temanku yang satu ini. Ngobrol sama dia secara tersirat aja uda langsung bisa nangkap.

“Hahaa iya benar banget. Benar yang kamu sampaikan, Bram memang sudah mengkalkulasi semuanya.  Pendekatan ke anak kelas 2 memang mesti pakai jalur otot dulu baru bisa di ajak bicara. Beruntung apa yang terjadi kemarin malam di Barak tidak sia-sia.”

“Udah dapat lo line-up yang maju Studi Banding?”

Aku menggangguk. “Udah. Nanti aku sampaikan ke kalian semua.”

“Oke..”

Tak lama kemudian aku liat Xavi, Yosi, Wira, Riko, Astra, Bagas dan Dodo sudah menuju kemari.

“Yan, Yosi masih sangat tidak suka dengan Bram dan dia memiliki kekhawatiran kalau kedekatan elo sama Bram akan memberikan pengaruh-pengaruh buruk ke diri lo. Dan gue sependapat dengan Yosi. Bram itu orang yang berbahaya, penuh tipu muslihat. Axel memang pernah memberikan pesan agar elo merangkul Bram karena dia adalah bajingan paling berpengaruh di sekolah saat ini.

Aku mengangguk saja. “Tenang saja, apapun keputusan penting yang akan aku ambil, kalian adalah orang pertama yang aku beritahu dan meminta pendapat.”

Setelah semua teman-temanku, bagian inti XYZ sudah berkumpul, aku meminta maaf terlebih dahulu karena sudah terlambat datang. Reaksi mereka sama seperti Yosi dan Zen, yang memintaku santai tidak perlu minta maaf. Setelah basa-basi sejenak, aku langsung menceritakan event besar di depan mata yang.

“Kalian sudah pernah mendengar istilah Studi banding?”

Semua orang mengangguk.

“Wah kita mau jalan-jalan kemana nih? Asyik?” celetuk Bagas.

Kami semua langsung menatap Bagas. “Kenapa lo pada ngeliatin gue? Ada yang salah?”

“Bego. Itu Study Tour!” sahut Wira.

“Udah gak usah ribut lu berdua. Yan, gue udah dengar kabar tentang Studi Banding, banyak kabar burung yang gak jelas, namun aku yakin hal tersebut berhubungan dengan hal berbau bajingan dan perebutan kuasa. Benar gak” tanya Yosi.

“Ya, kamu benar Yos.”

“Cihuy!! XYZ tawuran lagi ya!! Ikut gua mah !!” sambar Riko berapi-api.

“Taik lo Rik, nafsu aja gede tapi keoknya cepet benar, kalau di aula kemarin gak gue tolongin, uda jadi perkedel lu di injak-injak temannya Oscar,” sindir Dodo.

“Bangke... Beda urusan itu mah kalau satu lawan banyak, coba kalau duel satu lawan satu, pasti menang gua !” jawab Riko ngotot.

“Guys, sebaiknya kalian tenang. Biar Yandi bisa cerita secara lengkap,” Zen menengahi. Riko dan Dodo yang hendak debat lagi langsung tenang.

“Studi banding kalau dalam istilah sepakbola, adalah pertandingan persahabatan. Pertandingan ujicoba. Namun konsekuensi atau hasil akhirnya akan sangat menentukan. Yang kalah, akan menjadi anjingnya pemenang. Studi banding adalah duel 5 lawan 5 antara sekolah kita dengan-”

“STM XXX!” sambar Xavi.

“Anjir..STM XXX? Gue belum pengen mati muda nih.!”

“Gila, lawan STM XXX?”

“Akhirnya....”

Aku tersenyum mendengar respon mereka namun kemudian menggeleng. “Bukan, lawan kita adalah SMA SWASTA XXX.”

“Loh, bukannya kita cs’an sama anak SWASTA XXX? ? Memang sih kita pernah nyaris tawuran dengan mereka dulu saat video lu sama Puput kesebar, tetapi masalah kemudian selesai dan hubungan kita dengan mereka adem ayem, bahkan pas BIG BANG banyak banget loh anak SWASTA XXX yang ada di lokasi. Mereka pasti dapat free pas dari anak sekolahan kita sendiri. Intinya, kita gak ada masalah sama mereka. Jadi buat kepentingan dan tujuan dari Studi Banding yang jadi duel 5 lawan 5 seperti yang lo bilang tadi,” tanya Astra.

“Itu pertanyaan yang keren Tra. Jadi gini, hubungan baik antar sekolah kita dengan  SMA SWASTA XXX itu diciptakan dan terus juga dengan susah payah, bahkan darah. 7-8 tahun yang lalu, hubungan kedua sekolah bak anjing dengan kucing.”

“Kita kucing, mereka anjingnya,”celetuk Bagas.

“Eh, sekali lagi lu motong omongan Yandi, lu pulang sono gih !” ujar Yosi yang kesal dengan celotehan Bagas.

“Zen, patahin aja tuh lidah Bagas,” tambah Wira.

“Ampun-ampun, oke, gue tutup mulut mulai dari sekarang,” kata Bagas sambil membuat gerakan seolah menutup resleting di mulutnya.

“Ayo lanjut Yan!” kata Yosi yang terlihat sudah tidak sabar mendengar secara lengkap tentang sejarah Studi Banding.

Setelah situasi mulai tenang, aku pun memulai bercerita tentang  sejarah Studi Banding. Dulu kedua antara SMA NEGERI XXX dan SMA SWASTA XXX sering terlibat tawuran dan gesekan-gesekan. Faktor kedekatan lokasi dan gengsi, membuat permusuhan keduanya sudah di hindari. Hal ini membuat seorang siswa, siswa bajingan nomor 1 SMA SWASTA XXX, anak SMA terkuat di masanya, bernama Joseph mencetuskan Studi Banding untuk mengakhiri perseteruan yang hampir tidak ada habisnya. Studi Banding adalah duel 5 lawan 5 antara kedua sekolah yang di gelar setiap tahun di hari pengumuman kelulusan anak kelas 3 yang di umumkan secara nasional dan serentak. 5 bajingan yang jadi wakil tiap sekolah harus berasal dari kelas 1, 2, 3. Tidak boleh kelas 3 semua atau tidak mengikutsertakan anak kelas 1. Setiap perwakilan angkatan harus ada. Untuk komposisi, siswa yang di anggap siswa bajingan no 1 dari kedua sekolah yang berhak menentukan.

Tujuan dari Studi Banding adalah menentukan posisi kedua sekolah menjelang tahun ajaran baru. Siapa yang lebih superior. Studi Banding ini disambut baik oleh kedua perwakilan sekolah. 1 hari penuh 5 perkelahan frontal antar sesama bajingan dari kedua sekolah di gelar, terbukti mampu meredam gejolak sepanjang tahun. Studi Banding sekaligus menjadi “pesta perpisahan” bagi para bajingan dari kelas 3. Pesta perayaan masa muda yang meletup-letup, pertumpahan emosi dan masalah yang terpendam atau belum selesai, semua akan di lakukan dan di selesaikan hari itu juga.

“Di 3 tahun pertama, SMA SWASTA XXX selalu memenangi studi banding. Namun setelahnya hingga tahun lalu, sekolah kita yang jadi pemenang studi banding. Berkat kolaborasi Boy dan Axel yang ikut serta dalam Studi Banding, kita jadi pihak yang menang. Tahun lalu di bawah Axel, sekolah kita menang telak 4-1.”

“Buset 4-1. Siapa tuh yang nyekor” tanya Xavi.

“Axel, Edgar, Oscar, Boy. Yang kalah Opet lawan Toni.”

“Toni yang sekarang pegang SMA SWASTA XXX? Menang dia lawan Opet? Ngeri juga Toni.”

“Yan, meskipun ini ibaratnya cuma pertandingan ujicoba, pasti tetap saja ada hukuman atau kondisi tertentu yang mesti di turuti oleh pihak yang kalah. Gak mungkin para bajingan dari sekolah yang kalah, bisa tetap tenang tanpa ada aturan khusus yang mengikat mereka. Tujuan agar sepanjang tahun berikutnya tidak ada gesekan atau tawuran, gue yakin cuma tujuan luarnya doang. Masih ada tujuan yang jauh lebih...serius.” papar Yosi sambil menatapi.

Yosi memang jeli dalam hal ginian.

“Memang benar Yos, siapapun pemenangnya memang akan membuat suasana dan hubungan kedua sekolah tetap kondusif minimal sampai studi banding berikutnya. Namun ada hal lain yang harus di tanggung oleh pihak yang kalah sebagai bagian konsekuensi atas kekalahannya. Sebuah konsekuensi berat dan memalukan bagai mencoreng muka para bajingan dengan arang di depan umum. Namun konsekuensi ini baru berlaku jika ada situasi tertentu.”

Aku kemudian menceritakan konsekuensi bagi pihak yang kalah dalam Studi Banding.

“Bangsat....parah...parah...bahkan di ludahin di depan umum pun terasa jauh lebih baik daripada terima konsekuensi seperti itu,” kata Yosi sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Iya, parah benar. Anjing memang otak yang udah buat aturan Studi Banding..” komen Astra.

“Joseph Strada, dulu teman abang gue. Abang gue bisa hormat banget sama dia, padahal abang gue beda sekolah sama dia,” ujar Wira menimpali perkataan Astra.

“Gak kebayang kalau kita kalah...Yan, lu harus bawa kemenangan buat kita Yan !!!” pekik Xavi.

“Jadi itu sebabnya lo kemarin berantem sama Edgar cs?” tanya Yosi.

Aku mengangguk sambil meneguk Aqua, bercerita hal seperti membuatku haus. Kulihat sudah jam 11.13. Sialan, udah jam segini. 15 menit lagi aku mesti pulang nih.

“Edgar dan kawan-kawan beres. Gak sia-sia aku babak belur kek gini.”
“Untuk kelas 3 gimana Yan? Feri cs udah oke kan?” tanya Zen tiba-tiba setelah sedari tadi cuma diam sambil rokok’an.

“Aku ada dua kabar kalau untuk para senior. Kabar baik dan kabar buruk dulu. Mau dengar yang mana dulu?”

“Aish, gue paling sebal kalau orang nawarin mau dengar kabar yang mana dulu. Buat gue, itu tetap kabar buruk,” gerutu Bagas.

“Lebay lu Gas. Kabar yang buruk dulu deh Yan,” sahut  Xavi.

“Kabar buruknya, Feri menolak untuk ikut serta dalam Studi Banding.”

Teman-teman langsung mengeluarkan sumpah serapah mendengar keputusan Feri.

“Feri kan sudah tahu konsekuensinya kalau sekolah kita kalah! Meskipun dia gak ikut,kalau sekolah kita kalah, dia jelas masuk kotak lho !”

“Udah bodo amat kayaknya Feri sama urusan ginian, setelah Axel pergi, dia sepertinya ikut ‘pensiun’,” kata Riko.

Aku pun menenangkan teman-teman. “Kita harus hormati keputusan bang Feri. Jangan marahlah sama dia, kalau gak dibantu sama bang Feri, udah habis kita semua di aula kemarin...”

Teman-teman pun terdiam mendengarnya. “Lanjut kabar baik deh Yan,” sahut Zen.

“Entah sih kalian akan menafsirkan ini kabar baik atau buruk, tetapi buatku ini jadi kabar yang baik. Pengganti Feri adalah... Oscar.”

Mereka semua bingung dan menatapku.

“Serius lo Yan? Kok elu bisa ngajak Oscar?”

“Aku gak meminta Oscar cs untuk ikut serta karena jujur aku masih bingung gimana cara deketin mereka, termasuk Oscar. Namun tindakanku ini rupanya membuat Oscar tersinggung karena ia merasa aku telah lancang karena tidak mengajak dia. Oscar sudah bisa menebak kalau Feri tidak akan ikut serta sehingga dia memaksaku agar memasukkan dirinya. Oscar tahu aku tidak punya pilihan lain. Gimana menurut kalian?”

Sekilas aku sempat memperhatikan Yosi dan Zen. Yosi mengacungkan jempol ke arahku.  Zen mengangguk-angguk.

“Meskipun Oscar itu bajingan tengik yang nyaris membuat kita semua celaka, tetapi kita mesti realistis guys. Feri tidak mau ikut tetapi Oscar masuk. Kita semua tahu kalau Oscar jauh lebih kuat dibandingkan Feri. Jadi ini termasuk kabar yang sangat baik buat gue,” ujar Xavi.

“Itu sih gue juga tahu Xav. Tapi Oscar itu kan licik, bisa jadi pas hari H nanti dia menghilang atau malah sengaja kalah biar generasi selanjutnya yang menanggung konsekuensi,” Astra menyampaikan kekhawatirannya.

“Kalau Oscar memang benar memiliki niat tersebut, dia benar-benar kacau. Harga dirinya sudah tidak berharga,” pungkas Riko.

“Kalian tenang saja, apapun motif Oscar untuk saat ini aku akan mengandalkan dia. Namun aku yakin Oscar jelas tidak akan membiarkan dirinya kalah begitu saja. Dia memang licik tetapi untuk urusan pride, dia tidak mungkin membuang harga dirinya, di momen terakhirnya sebagai siswa SMA NEGERI XXX.”

“Yan, menarik lho tadi yang di sampaikan Astra, meskipun terlalu skeptis tentang Oscar, lo harus punya plan B jika seandainya Oscar tidak muncul. Siapa yang akan jadi penggantinya? Gue juga penasaran dengan komposisi 5 orang yang lo pilih,” tanya Zen kali ini cukup panjang dia bicara.

Aku tersenyum mendengarnya. Zen pasti penasaran karena pagi tadi ia sudah kutegaskan tidak akan masuk ke line-up studi banding.

“Kelima siswa yang aku pilih. Dua orang dari kelas 1. Satu orang dari kelas 2 dan dua orang dari kelas 3.”

Semua orang langsung riuh saat aku menyampaikan komposisi untuk Studi Banding.

“Anjir, kok kelas 3 nya dua orang yang lo pilih? Oscar sama siapa?” ujar Dodo sambil sok mikir.

“Setuju gue kalau dari kelas 2 cuma lo pilih 1 orang Yan. Kelas 2 kan bangsat semua isinya, gak ada yang bisa di percaya,” tegas Wira.

“Lo bakal ajak siapa Yan yang dari kelas 1?” tanya Xavi menggebu-gebu.

Aku menatap Xavi. Aku tahu ia pasti penasaran. Dari kelas 1 ada 2 spot, satu spot jelas aku, sementara satu spot lagi Xavi pasti berpikir aku akan pilih salah satu dari dia, Yosi atau Zen. Xavi sepertinya akan cukup kecewa atas apa yang akan kuucapkan.

“Aku dan Yosi yang akan maju dari angkatan kita,”kataku tegas di depan semua orang.

Hell yeah!!!” kata Yosi sambil mengangkat kepalan tangannya ke udara.

Sementara senyum Xavi langsung menghilang. “Tanpa mengurangi respek gue terhadap keputusan elo, apa gue sama sekali gak masuk perhitungan elo Yan? Setelah apa yang gue lakukan selama hampir 6 bulan ini, gue latihan fisk membentuk badan, otot dan latihan dengan muaythai profesional, gue tetap Xavi yang lemah di mata lo?”

Hedeh, reaksi Xavi terlalu berlebihan.

“Hei, hei apa-apaan lo Xav ngomong kek gitu?” sergah Yosi. “You can buy fist and shape your muscle, but you can’t buy guts and experience, real experience of street fighting.”

Aku menepuk jidat karena Yosi mengatakan hal sesensitif seperti dengan blak-blakan. Yang Yosi katakan memang benar sih, mau Xavi latihan sparing sama Connor McGreggor sekalipun tetap akan beda di bandingkan dengan seorang bajingan yang sudah terbiasa adu keras perkelahian jalanan. Keberanian dan mental Yosi apalagi, dari sisi keberanian boleh kubilang, Yosi yang paling nekat, sesuai dengan julukannya di dunia balap liar, Daredevil. Xavi, dia memang menunjukkan determinasi dan progress yang luar biasa dalam 5-6 bulan terakhir ini. Tetapi Yosi memiliki faktor X yang membuat Yosi menjadi opsi utama untuk menemaniku sebagai wakil dari kelas 1 di Studi Banding. Aku bersyukur karena Zen baru sembuh dari cedera, jadi aku bisa memaksanya untuk menerima keputusanku untuk tidak mengikutsertakanya dalam line-up. Kalau Zen sedang fit, aku pasti bingung memilih Zen atau Yosi. Keduanya punya ketangguhan yang setara menurutku.

Xavi rupanya tersinggung dengan omongan Yosi yang kayaknya agak kurang kontrol karena pengaruh minuman. Xavi paling tidak suka jika di remehkan orang. Xavi langsung berdiri dengan tangan terkepal.

“Ya kalau lu pengen ngrasain pukulan gue yang lu bilang cupu, gue gak keberatan kasih sampel ke elu Yos.”

Yosi tertawa mencibir. “Lebay lu.”

Mendengar cibiran Yosi, Xavi hendak mendekat ke arah Yosi namun segera di cegah oleh Dodo. Hadeh, malah jadi berantem gini. “Xav, kamu gak perlu bereaksi seperti itu. Keputusanku sudah bulat, Yosi yang akan maju. Kalau kamu menganggapku sebagai pemimpin kelompok kita, apapun keputusanku kamu harus terima.”

Wajah Xavi memerah, ia lalu melepaskan rangkulan Dodo dan ngeloyor pergi masuk ke rumah.

“Yah, ngambek tu anak,” tukas Yosi.

Aku lalu menatap Yosi dan memperingatkannya. “Jaga ucapanmu Yos! Dalam hal pengalaman kamu memang di atas Xavi, tetapi dalam hal determinasi dan tekat, kamu tidak lebih baik daripada Xavi.”

Yosi mengangkat kedua tangannya, gestur yang menunjukkan ia tidak ingin berdebat lagi tentang masalah ini. “Yan, gue susul Xavi,” kata Zen.

Aku senang karena Zen selalu memiliki inisiatif dan paling kalem.

“Ada yang mau ditanya lagi gak?” kataku.

Bagas mengacungkan botol Aqua ke atas. “Yan, pagi tadi di aula, lu sama anak-anak kelas 2 di apaain sama Pak Indra?”

“Cuma dikasih nasihat saja,” kataku sambil setengah tertawa.

“Pfftt, taik. Bohong banget lu. Pasti di hajar ya kalian?”

“Hee ya anggap saja begitulah, kalian udah tahu sendiri kan betapa ringan tangannya Pak Indra. Di aula kami ditanya tentang penyebab perkelahian, karena tidak ada pilihan lain, salah satu anak kelas 2 bercerita tentang Studi Banding yang menjadi alasan di balik perkelahianku dengan anak-anak kelas 2.”

“Memang gila lo Yan, nekat datangin dan mau saja di keroyok sama Edgar,” timpal Yosi. “Lalu apa reaksi dari Pak Indra saat mendengar itu semua?”

“Pak Indra memberikan wejangan singkat bahwa kita wajb menang di Studi Banding,” jawabku singkat.

“Kalau.....seandainya, sekolah kita....kalah nanti?” tanya Astra ragu-ragu.

“Kita semua bakal kena siksa neraka dunia dari beliau...” Kataku sambil menatap mata temanku satu-satu persatu.

Kecuali Yosi, mereka langsung memasang ekspresi wajah yang sama.

Pucat past.

“Anjing. Si Indra tua bangsat.. Kalian berdua mesti wajib menang, wajib dan kemudian kita berdoa satu kemenangan lagi, sudah cukup untuk membebaskan kita dari siksa nerasa si setan tua,AMIN,”pungkas Wira.

Aku cuma tersenyum kecut mendengarnya.

****


Aku lega sekali saat keesokan harinya di sekolah, Xavi dan Yosi yang malam sebelumnya terlibat sedikit salah paham, sudah kembali seperti biasa. Entah apa yang sudah di katakan Zen kepada Xavi sehingga dia kini lebih tenang dan menerima keputusannku dengan hati lapang. Yosi juga dengan ksatria meminta maaf terlebih dahulu karena ia kurang kontrol karena pengaruh minuman.

“Heh, itu Yosi dan Xavi ngapain kok malah maaf-maafan kayak orang open house pas Lebaran? Abis berantem mereka?” tanya Vinia sambil melihat kearahku dan juga ke  Zen.

“Gak berantem kok Vin, cuma adu argumentasi saja, biasa cowok mah.” kataku menenangkan.

“Syukurlah, karena gue gak enak nih jadi cewek yang mereke perebutkan,” Vinia tertawa mendengar guraunnya sendiri.

“Masak lu mau jadi pelakor Vin. Yosi dan Xavi kan uda punya cewek,” celetuk Zen.

“Ihhh Zenn, lu gak bisa santai amat sih, gue bercanda kali,” jawab Vinia sambil mencubit lengan Zen kuat-kuat. “Tuhhh ! Gue cubit aja lo gak ngefek, parah benar lo jadi cowok dingin benar,” lanjutnya.

“Emang gue mesti teriak kesakitan gitu? Emang gak terasa kok.”

Ahaha aku tertawa melihat Vinia yang kesal sendiri melihat betapa datarnya emosi Zen. Hari ini moodku jauh lebih baik daripada kemarin, sehingga aku bisa fokus ke setiap pelajaran sehingga tanpa terasa, kegiatan belajar di sekolah untuk hari ini sudah tuntas. Aku dan teman-teman memilih santai dulu tidak buru-buru keluar dari kelas saat waktunya pulang. Setelah agak sepi, baru aku menenteng tas sambil berjalan keluar.

"Yan!" Aku yang baru keluar dari kelas kaget karena Bagas tiba-tiba menghampiriku sambil setengah berteriak.

"Kenapa sih ah lo pake teriak segala, berisik!" ujar Xavi ketus.

"Ini penting Xav. Yan, tadi gue kan cabut paling awal pas bel pulang. Nah, lo tahu gak siapa yang gue lihat sedang nongkrong di depan sekolahan kita?"

"Ada Atta Halilintar?" sahut Yosi ngasal.

"Atau Lucinta Luna? Aihh eike ngefans banget sama tuh cowok!" tambah Xavi sarkas.

Bagas melirik kesal ke arah Yosi dan Xavi yang tertawa cekikikan.

"Ada berapa Anak SMA SWASTA XXX yang nunggu di depan? " tanya Zen yang keluar dari kelas belakangan sama Vinia.

"Njiir darimana lo tahu ada anak SMA SWASTA XXX di depan?" tanya Bagas.

"Ya melihat reaksi elo yang berlebihan, siapa lagi kalau bukan mereka. "

"Emang paling susah ngebuat elo terkejut bro, haha."

"Lu belum jawab pertanyaan gue Gas."

"Cuma 4 motor sih, yah 7 atau 8 anak gitu."

"Toni ada?" Aku menyela pembicaraan.

"Ada, sama beberapa kawannya."

"Oke. Mari kita temui Toni," kataku.

Namun Vinia tiba-tiba berdiri di depan kami membentangkan kedua tangannya seakan menghadang kami berlima.

"Kalian mau berantem lagi? Aku lapor ke Pak Tomo langsung kalau kalian mau berantem!"

"Enggak kok Vin, kami cuma ngobrol aja sama mereka," aku mencoba menenangkan Vinia. Hingga dia tenang namun akhirnya dia mengikuti kami.

Kulihat tongkrongan depan sekolahan ramai, ada Edgar cs. Ada juga Darma, Deka, Jati dan lainnya. Bahkan kulihat Budi sedang berbicara dengan Toni. Namun Oscar dan Feri tidak ada di antara mereka.

Budi langsung mendatangiku terlebih dahulu. "Yan, gua gak mau tahu. Dari kelas 3, gua dan Oscar yang akan ikut studi banding. Muak gua melihat Toni sama cecunguk-cecungukknya." Budi kemudian pergi di ikuti beberapa anak buahnya dari kelas 2.

Aku diam saja, memang dari kelas 3 ada dua spot. Satu untuk Oscar, sementara satu spot belum aku tentukan salah satu di antara Jati, Deka atau Darma. Untuk Budi, aku tidak akan memasukkannya. Kalau dia tidak terima, itu urusan belakangan.

"Halo Yan, apa kabar?" sapa Toni sambil mengulurkan tangan. Dia terlihat ramah dan bersahabat.Kusambut dengan jabatan tangan. Terasa kokoh genggaman tangan Toni. Ada beberapa wajah yang tidak asing bersama Toni.

"Baik."

Toni mengajakku menjauh dari keramaian. Meskipun semua mata tetap memandang kepada kami.Termasuk para teman-teman Toni yang beberapa di antaranya aku pernah ketemu lansung. Wajah mereka tidak ada ramah-ramahnya sama seklai

"Udah tahu kan kenapa gua kesini?" katanya sambil menyelipkan rokok di mulutnya. Aura Toni langsung berubah serius. Toni menyulut rokoknya sambil terus menatap ke arahku

"Studi Banding. Kami sudah siap.”

"Bagus kalau elo udah tahu dan sudah menyatakan kesiapan. Seperti tradisi sebelumnya, pemenang memilih lokasi dan sistemnya, terbuka atau private. You decided."

Aku jujur salut juga sama Toni, karena seharusnya dia dan semua anak kelas 3 lainnya mestinya fokus ke UN tetapi ia masih sempat-sempatnya ngurus hal seperti. Tapi sama sepertiku, para siswa bajingan yang di anggap nomor 1 di sekolah, mesti mengurus hal ini secara langsung.

“Jam 4 sore, Ruko Lama. Sistem semi private. Terbuka bagi siswa SMA NEGERI XXX dan SMA SWASTA XXX namun tertutup untuk sekolah lain.”

Deal !”Toni tersenyum sambil mengulurkan tangan dan kami bersalaman.

Semuanya sudah lengkap, baik dari sisi line-up maupun lokasi serta sistemnya.

Hitung mundur Studi Banding dimulai !!



*****
H-1 Studi Banding
@ TPU
*****

(Pov Bram)


Cresh!

Sambil menikmati rokok yang baru saja kubakar, gue terus memperhatikan makam yang sepertinya baru saja di keramik. Beberapa meter di bawah pusara, bersemayam salah satu siswa SMA NEGERI XXX yang di gadang-gadang sebagai penerus Boy. Gue pun ikut mengamininya. Dari segi kemampuan fisik, kecepatan pengambilan keputusan, problem solving, dia adalah yang terbaik di antara kami semua. Namun gaya hidupnya yang lekat dengan dunia malam dan perempuan, membuat dia seperti kehilangan arah dan mulai melupakan ambisi prihadinya menjadi siswa terkuat se-Kota XXX. Hingga pada akhirnya gen kanker keturunan yang ada di tubuhnya memutus nafas kehidupan seorang bajingan bernama Axel.

Pada akhirnya semua orang memang bakalan mampus, begitu juga gue. Maka dari itu gue akan menikmati setiap detiknya. Dan cara gue untuk menikmati kehidupan adalah dengan terus menciptakan tantangan dalam setiap aspek kehidupan gue. Setelah gue berhasil membuat Yosi remuk redam dalam hal mental dan psikologinya, gue menaikkan tantangan ke level yang jauh lebih susah dan berbahaya. Tantangan yang gue berikan kode khusus “Destroyer” yang merujuk ke siswa kelas 1 yang tidak pernah berhenti membuat kami terkejut dengan kekuatannya. Siapa lagi kalau bukan Yandi, anak kelas 1 yang memiliki kedekatan khusus dengan Axel.

Yandi adalah protype yang sempurna untuk mewujudkan ambisi gue.

Tahap pertama sudah berhasil dan hasilnya bagus bahkan melebihi harapan. Untuk tahap kedua dan ketiga masih belum. Gue mesti pelan-pelan dan tidak terburu-buru untuk mendoktrin Yandi. Jika ketiga tahap sudah tercapai, “nilai” Yandi akan berlipat-lipat, membuat gue berada di pole position yang tinggi dan memiliki value yang jauh lebih mengesankan di mata para sesepuh.

Ini akan membutuhkan waktu yang panjang dan waktu gue cuma 1 tahun untuk membuat semuanya terwujud Justru dengan tingkat kesulitan dan waktu yang terbatas, membuat gue semakin bersemangat. Gue hembuskan asap rokok ke atas sambil memandang langit.

Kurang dari 24 jam lagi Studi Banding akan dimulai sekaligus menjadi penanda tahap kedua misi “Destroyer”. Gue sudah memikirkan dua skenario, tentu lebih mudah jika skenario A yang terjadi namun jika yang terjadi sebaliknya, membuat rencana gue bak memutari jalan, lebih panjang jalurnya namun tetap memiliki garis finish yang sama.

Semuanya sudah siap.

Gue kemudian mengenakan headset dan memutar sebuah lagu yang membuat gue merasa sangat-sangat bersemanga, sampai mengangguk-angguk mendengar salah lagu dari band favorit gu, Green Day. Satu lagu buat bajingan yang sudah tidak ada lagi di dunia materi.



Kujentikkan puntung rokok ke arah pusara Axel lalu kuletakkan sebungkus rokok Mild yang masih baru tepat di bawah nisannya.

“Ini pertama dan yang terakhir kalinya gue kesini. Terimakasih karena elu udah mati secepat ini, terimakasih karena berkat kematian elu, elu membuat semuanya menjadi lebih mudah.  See you in hell comrade.

***

“Ngapain lu muncul di depan gue?” tanyanya ketus sambil meletakkan buku yang ia baca ke atas meja. Ia memang tidak pernah menyukai kehadiran gue disini, di private room sebuah cafe favoritnya.

Gue lalu duduk dan mengambil rokok miliknya yang masih setengah di asbak.

“Gue cuma mau mampir, santai.”

“Lu tahu kalau gue paling gak suka di ganggu di sini,” katanya sambil terus menatap gue. “Cepat katakan apa yang elo mau. 5 menit.”

“Besok adalah hari pengumuan kelulusan.”

“So?”

"Besok lo ikut gue."

"Ngapain? Bukan urusan gue."

"Terserah sih, tetapi kalau lo gak ikut ya, siap-siap aja semua orang tahu siapa elo sebenarnya. Dan itu jelas bukan hal yang baik buat elo..." kata gue santai sambil mematikan puntung rokok ke asbak lalu berjalan keluar. Anjing..gue kelepasan. Gue lupa kalau yang gue gertak bukan bajingan sembarangan. Gue langsung merasakan perubahan aura orang yang ada di belakang gue.

Gawat.

BRAK!!

Tiba-tiba saja gue udah terhimpit di dinding dengan posisi tangan kiri gue terpuntir di belakang. Rangga sudah berada di belakang gue. Rambut gue dipegang lalu dibenturkan keras sekali ke dinding.

DUGH ! DUGH ! DUGH ! DUGH ! DUGH ! DUGH !DUGH ! DUGH ! DUGH ! DUGH ! DUGH ! DUGH ! DUGH ! DUGH ! DUGH ! DUGH ! DUGH ! DUGH !DUGH ! DUGH ! DUGH ! DUGH ! DUGH ! DUGH !

"STOP !!ARGH" gue berteriak agar Rangga berhenti karena kepala gue langsung berkunang-kunang. Dinding depan ada bercak darah. Darah dari kening gue

Rangga menarik rambut gue dan memuntir pergelangan kiri gue dengan keras.

"Bukankah kita sudah sepakat lo gak akan menyinggung hal itu lagi? Sepertinya lo lupa diri dan nyaris melewati garis yang seharusnya tidak boleh lo langgar."

"Sorry Ngga..arggh.." puntiran Rangga semakin kencang membuat gue semakin kesakitan.

"Lo bukan tuan gue dan gue bukan anjing elo. Kita hanya  punya hubungan simbiosis yang sama-sama menguntungkan. Friends with benefit, ngerti?"

Bisikan Rangga membuat bulu kuduk gue merinding. Gue mengangguk cepat saat Rangga melepaskan pegangannya di rambut. Di saat gue mengira Rangga telah mengampuni dan melepaskan gue, pada saat itulah….

KREGH!

"AAARRGGGGHHH....NNJIIIIIIINNNGGGGGGGGGG!!!!!!"

Gue langsung merosot terduduk di dinding sambil memegangi pergelangan tangan kiri yang membiru bengkak setelah di puntir Rangga hingga patah.

"Ups! Patah ya. Gak apa-apa lah. Toh elo juga besok cuma bisa nonton doang, gak bisa ikut terlibat. Jadi kalau pergelangan elo gak sengaja gue patahin, gak ada bedanya. Ini peringatan pertama sekaligus terakhir," ancam Rangga.

"Ii...ya...Nger...ti...gue ngerti..."

"Good Dog..Bram..." ujar Rangga pelan sambil tersenyum dan menepuk-nepuk pipi gue. Setelah merapikan ke  rambut dan kacamatanya, Rangga kemudian menenteng tas selempangnya lalu pergi sambil bersiul.

"Bye.."



 Dugh!

Gue memukul lantai dengan tanan kanan untuk melampiaskan kekesalan.

Bangsatt !!!...Gue juga kalau boleh milih, gue gak mau tahu rahasia elo babiiiii !!!!!!!!


*****
Hari Pengumuman kelulusan
@ Kamar Zen
*****


(Pov Yandi)


Aku, Yosi, Xavi, Wira, Riko dan Astra berkumpul di rumah Zen menunggu pengumuman kelulusan yang akan segera di umumkan jam 10 pagi ini. Kalau dulu waktu SMP di kampung, pengumuman kelulusan di beritahukan dengan pihak sekolah menempelkan poster berisi seluruh nama siswa kelas 3. Namun di SMA NEGERI XXX, aku pikir tidak dengan cara tradisional seperti itu, karena pasti menimbulkan kericuhann jika semua siswa berebut melihat ke poster pengumuman. Kelas 1 dan kelas 2 di liburkan oleh pihak sekolah. Pokoknya hari ini hanya kelas 3 yang masuk, selain pengumuman kelulusan, Pak Tomo mengadakan sesi khusus dengan para siswa kelas 3.

“Yan, makin ganteng aja lo rambut di cepak gitu, haha,” kata Yosi.

“Biar gak ribet aja, lebih simpel. Aku dulu biasanya rambut cepak pendek 1-2 cm gini sih.  Eh Yos, nanti pengumuman kelulusannya kayak gimana ?"

"Nanti tepat jam 10 pagi, semua nomor ponsel siswa kelas 3 dan walinya akan mendapat link khusus. Mereka tinggal log-in dengan nomor induk siswa. Dari situ mereka bisa mengecek status lulus atau tidak berikut nilai UN," jelas Yosi.

"Canggih juga."

"Gue yakin tingkat kelulusan di sekolah kita 100% sih."

"Semoga di SMA SWASTA XXX dan juga STM XXX juga 100%," timpal Xavi.

Selebihnya kami bersantai ngopi sambil nonton film The Ant-Man 2 di kamar Zen. Kami menikmati suasana sebelum bertempur nanti sore, terutama aku dan Yosi.

"Yan, uda lo putusin siapa anak kelas 3 yang mengisi spot Feri."

"Udah. Deka."

"Setuju gua. Dibandingkan dengan Jati atau sohibnya, Darma. Deka lebih kuat. Di sekolah saat ini, cuma Feri, Oscar dan Budi yang posisinya di atas Deka. Selama kita berdua plus Oscar bisa ambil skor, kita menang. Jadi sebaiknya setelah lo maju, Oscar berikutnya baru gue," kata Yosi sambil memutar-mutar ponselnya.  Sedari tadi Yosi memang sudah gak fokus nonton film. Begitu juga denganku sih, aku udah pernah nonton tuh film dengan Dita. Jadi ya aku nonton sambil buka-buka ponsel.

"Bukan begitu aturan mainnya Yos."

"Maksudnya?"

"Sistemnya nanti bukan dengan semisal aku maju lalu dari pihak mereka maju. Begitu seterusnya."

"Lalu kek gimana?"

"Undian."

"Anjrit, ini mau berantem apa arisan kok pake undian segala."

"Ya gitulah. 5 dari kita dan 5 dari mereka akan ambil nomor. Kemudian yang pegang nomor 1 akan melawan pihak lawan yang juga pegang nomor 1. Gitu seterusnya."

"Hahahah gue demen nih! Ini sih bakalan greget! Karena lu atau gue bisa saja ketemu sama Toni. Malah lu bisa saja ketemu sama Puput."

Aku langsung meletakkan ponselku saat Yosi menyinggung nama Puput.

"Dia ikut studi banding?"

"Peluang Puput ikut serta 50%. Tergantung dia sih. Mana yang lebih dia pilih. Statusnya sebagai anak basket yang harus steril 100% dari segala macam masalah atau menuruti nafsunya sebagai salah satu bajingan."

Aku diam saja mendengarnya. Aku berharap Puput tidak ikur serta. Meskipun kami sudah berdamai, tetap bakalan canggung kalau Puput tetap ikut Studi Banding dan secara random kami dapat nomor undian yang sama.

"Lu tenang aja Yan, meskipun gue tadi bilang peluang Puput untuk masuk ke dalam line-up 50 %, gue yakin Puput tidak akan ikut serta. Karena 2 minggu lagi kompetisi Lig Basket Tingkat SMA sudah masuk ke babak 8 besar dan ada tim basket dari SMA SWASTA XXX. Kalau sampai Puput nekat ikut serta dan taruhlah nanti dia kenapa-kenapa semisal cedera berat, sudah jelas namanya akan di coret dari tim tanpa peduli statusnya sebagai kapten tim. Jadi Puput gue yakin akan menekan egonya sebagai bajingan dan berpikir logis ‘stay out of trouble’.”

Aku cukup lega mendengarnya. “Yos, kamu ada gambaran gak kira-kira dari SMA SWASTA XXX siapa yang akan maju?”

“Sekolah kita sama SMA SWASTA XXX dalam hal urusan siswa bajingan ya 11-12 lah. Gue gak tahu komposisi mereka nanti tetapi dari kelas 1 ada 3-4 bajingan yang sangat menonjol. Alan, Bayu, Coki dan Vino. Nama terakhir punya DNA bajingan kerad sama seperti abangnya,  Toni.”

Aku terkejut mendengarnya.“ Vino adiknya Toni?”

“Yoii, meskipun punya abang seperti Toni, Vino membangun reputasinya sendiri. Anak kelas 2 pun segan sama Vino. Vino sudah pasti jadi rival kita langsung Yan.”

Aku mengangguk-angguk. Aku tidak terlalu terkejut mendengarnya karena aku dan Zen pernah bertemu langsung dengan Vino. Dia sangat temperamental. Selanjutnya Yosi memberitahu beberapa nama dari kelas 2 dan 3 SMA SWASTA XXX yang kemungkinan besar mengisi line-up. Suasana yang tenang kemudian heboh saat Zen yang sedari tadi sibuk di depan laptop, tiba-tiba berteriak.

“Guys…Gue barusan mendowload data nama-nama siswa kelas 3 setingkat SMA, STM yang ada Kota XXX. Dan hasilnya sesuai prediksi dan harapan kita, tingkat kelulusan di SMA NEGERI XXX, SMA SWASTA XXX dan STM XXX adalah 100% .”

Kami jelas terkejut dengan perkataan Zen.

“Si anjir, mana-mana gue lihat !” ujar Xavi yang langsung mendatangi Zen.

“Gilaa lu Zen, dia ngehack database Dinas Pendidikan Kota XXX loh!”

“Gampang sih,” jawab Zen enteng.

“Ngehe’ lu Zen, taw gitu lu kasih tahu dari semalam, jadi kita gak usah kumpul di rumah elo pagi ini, masih ngantuk gue cuy,” sahut Riko.

Aku lega karena monster seperti Anton, lulus hari ini. Meskipun aku belum pernah ketemu langsung dengannya, tetapi peringatan dari Axel betapa bahayanya Anton, membuatku sedikit banyak senang karena mulai besok dia tidak akan menjadi masalah buat kami.

Iya, tapi baru besok.

Satu keadaan yang membuatku terusik dan menimbulkan pertanyaan dalam diriku sendiri. Sebuah pertanyaan yang sudah lebih dari cukup untuk membuatku mengeluarkan keringat dingin.

***

Akhirnya Studi Banding yang di nantikan oleh kedua kubu datang juga tepat di depan mata kami. Ruko Lama kini di penuhi oleh ratusan siswa dari kedua sekolah yang memiliki hubungan aneh, berteman namun bak menyimpan bara dalam sekam. Semua orang memandang ke arahku saat aku datang bersama anak-anak XYZ full squad sekitar 30-an orang. Saat aku datang ke Ruko Lama, ternyata Toni sudah ada bersama para anak buahnya. Termasuk adiknya Vino. Kami hanya saling menatap dan mengangguk satu sama lain.

“Bangsat, dimana anak kelas 2 dan 3? gak lucu kalau mereka ternyata tidak muncul di sini. Sekolahan kita akan jadi bahan tertawaan hingga puluhan tahun ke depan,” ujar Xavi kesal.

“Santai bro, ini masih awal,” kata Astra.

“Justru hal ini membuat kita terekspose bahwa meskipun Yandi jadi orang nomor 1, tetapi ia masih belum bisa membuat semua bajingan kelas 2 dan 3 berada di dalam kendalinya, ini bukan situasi yang baik dan membuat kita kalah 1 langkah dibandingkan SMA SWASTA XXX yang terlihat solid,” ungkap Zen.

“Keparat, akhirnya mereka datang juga, tuh !” tunjuk Yosi ke satu arah.

Kulihat dari dua lorong yang berbeda, 2 kelompok massa yang berjumlah puluhan bergerak masuk ke area parkir Ruko Lama yang akan menjadi arena duel. Edgar dan Oscar berjalan di barisan terdepan kelompok masing-masing.

“Syukurlah, bajingan kakak kelas kita masih punya kebanggaan dan tanggung jawab,” celetuk Wira.

Ketika massa dari kelas 2 dan 3 sudah bergabung dengan XYZ, Edgar, Heru, Oscar, Budi lalu menghampiriku. Yosi ikut menghampiriku.

“Oke, Yan. Lima orang sudah lengkap disini! ayo kita hampiri Toni!” seru Heru.

“Bukan, bukan seperti ini line-up yang akan maju ke Studi Banding. Aku dan Yosi sebagai wakil kelas 1, Edgar wakil dari kelas 2 dan untuk kelas 3. Oscar dengan Deka.”

“Lu gak sedang bercanda kan? Lu lebih pilih Yosi dibanding gue?” sergah Heru.

“Ops, ada yang lupa ingatan kalau dirinya gue skak mat di aula belum lama ini,” sindir Yosi.

Heru dan Yosi saling beradu pandang. Hawa permusuhan langsung terasa.

“Deka? Lu mau kasih Deka maju? Si cungkring itu lemah, lawan gue aja gak bisa apa-apa dia!” protes Budi.

“Posisi Deka gue yang ambil, karena lu gak pernah bisa kalahin gue, jadi lu gak bisa protes.” kata seseorang dari belakang.

Aku terkejut saat tahu siapa yang sudah mengatakan hal tersebut. Bang Feri !!! dia datang!! Aku tidak tahu apa yang membuatnya berubah pikiran tapi itu bukan hal yang penting saat ini.

“Gue pikir lu udah gak tertarik hal ginian, ciih!” Budi tidak bisa memprotes dan lansung kembali ke belakang di ikuti Heru yang masih menggerutu. Aku luar biasa senang sekali karena dua senior terkuat di sekolahku, akhirnya melengkapi line-up.

Ketika tinggal kami berlima, Yosi, Edgar, Feri dan Oscar menatapku. Sepertinya mereka menungguku untuk berkata sesuatu. Aku bingung mesti bilang apa karena masih merasa sungkan hingga akhirnya meluncur kalimat singkat dariku.

“Untuk Axel.”

Yosi tersenyum dan juga mengulangi perkataanku. “Untuk Axel !!”

Sementara Edgar, Feri dan Oscar diam saja.

Aku lalu berjalan ke tengah lapangan parkir di sisi yang sama kelima siswa SMA SWASTA XXX juga maju ke depan. Aku lihat Toni, Vino dan 3 siswa yang belum aku tahu namanya, mengisi line-up.

Kami berjalan menuju titik yang sama hingga pada jarak 3 meter kami sama-sama berhenti dan saling adu pandang. Lima siswa saling berdiri berjajar saling berhadap-hadapan.

“Saksinya siapa?” tanya Oscar.

“Saksi?” aku menoleh ke arah Oscar. Aku bingung mendengarnya.

“Kita perlu saksi netral yang akan menilai dan menjaga situasi tetap kondusif sampai Studi Banding selesai,” bisik Yosi.

Lalu perhatian kami tertuju ke salah satu barisan yang seolah membukakan jalan. Dari belakang muncul 3 orang yang mengenakan pakaian, jaket, topi dan masker yang menambah kesan misterius.




“3 Leader LPH akan menjadi saksi Studi Banding,” jelas Toni santai.

Aku terkejut dengan kehadiran ketiga Leader LPH yang menjadi saksi. Meskipun mereka tidak memakai topeng, namun dari gestur, tidak salah lagi mereka memang Leader LPH. Kemudian salah seorang dari mereka yang mengenakan topi bucket maju mendekati kami dan mengeluarkan 2 kotak dari kedua sakunya. Sementara temannnya yang satu lagi mengeluarkan benda berbentuk kotak, yang diletakkan di bawah. Dari kotak tersebut mengalir celotehan keras nan pedas khas hip-hop beritme cepat.



“Nah, kalau sambil dengerin musik romantis kek gini, baku hantam jadi makin seru. Sekarang ambil nomornya.”

Sepertinya kami akan baku pukul diiringi dengan musik-musik keras dari speaker yang di bawa leader LPH.

Toni maju mengambil kotak yang ada di tangan kiri, aku pun ikut maju mengambil kotak di tangan kanan. Kubuka kotak kecil yang ternyata berisi 5 buah dadu. Kuambil satu secara acak, dan selanjutnya aku minta yang lain untuk mengambil keempat dadu yang tersisa. Aku amati dadu berwarna hitam yang kupilih. Semua tanda bulat di blok warna hitam kecuali 1 sisi berisi 3 bulatan yang berwarna putih.

Aku mendapat nomor 3.

“Yang pegang dadu nomor 4 maju,” seru salah satu leader LPH. Rupanya yang memulai duel pun tidak urut dari nomor 1, 2, 3, 4, 5 melainkan di panggil dengan acak. Hal ini membuat kami semua mesti siap jika sewaktu-waktu dadu yang kami pegang disebut.

Aku deg-degan dan menunggu salah seorang di antara kami yang memegang dadu bersimbol 4 maju. Edgar maju dengan tegap dan tanpa ragu, ia sempat menengok ke arahku namun tidak berkata apa-apa. Aku mendengar suara riuh para penonton saat dari SMA SWASTA XXX si pemegang Dadu simbol 4 adalah Toni, bajingan yang pernah Axel singgung, memiliki perbedaan kekuatan tipis dengannya.


Gawat.

“Lempar dadu kalian ke gue! Dan tetap di tempat sampai gue berikan tanda.”

Toni dan Edgar melempar dadu yang mereka pegang ke arah leader LPH. Setelah di cek, si bucket hat, berteriak lantang. “NO RULES !”

BUGH !

Edgar tertelungkup sambil memegangi perutnya. Sementara Toni menatap Edgar yang seperti bersujud di bawah kakinya.

Gila… Yang barusan terjadi adalah Edgar yang terlebih dahulu membuka serangan dengan pukulan namun Toni sudah mengantisipasi dengan mengelak sambil memasukkan tendangan ke bagian perut.

“Selesai sudah,” keluh Yosi.

Toni lalu berjongkok di depan Edgar yang masih belum bisa bangkit dan menepuk-nepuk kepalanya. “Keluarkan senjata lu Ed, gak usah malu, semua orang sudah tahu seperti apa elo itu,”

SET !!

Edgar membuat gerakan cepat ke arah Toni yang sedang jongkok. Toni bereaksi cepat dengan berdiri.

Ada luka sayatan memanjang di perut Toni, sepertinya tidak terlalu dalam, lebih seperti goresan. Meskipun cuma goresan, terlihat darah merembes membahasi baju Toni.

“Hehehe, nah gitu dong. Ini baru seru, kenapa gak dari awal lo keluarin..” Toni masih santai padahal dia nyaris kena sabetan benda tajam yang di pegang Edgar.

Edgar yang masih belum bisa berdiri dengan sempurna, membungkuk sambil mengacungkan pisau lipat ke arah Toni.

“BENCONG LU BAWA PISAU !!”

“GAK ADA OTAK !!!”

“PENGECUT LO BABI!!”

“LU GAK BISA KELUAR DARI SINI HIDUP-HIDUP ANJING!!”

Teriakan caci-maki serta umpatan dari anak SMA SWASTA XXX nyaring terdengar saat Edgar mempersenjatai dirinya dengan sebilah pisau. Tidak ada satupun orang dari sekolahanku yang membela Edgar, termasuk teman-teman Edgar. Mereka terdiam. Ini memalukan, buatku pribadi. Memang tidak ada peraturan, kalau ada yang bawa senjata pun tidak masalah. Namun selama sejarah Studi Banding, belum pernah sampai ada yang tewas. Edgar benar-benar sudah membulatkan niat untuk membunuh siapapun lawannya di Studi Banding.

Yang berikutnya terjadi adalah Edgar terus berusaha merangsek menyerang menggunakan pisau. Toni dengan lincah masih terus mengelak, gerakan Toni terasa effortless. Sialan, Toni terlihat mempermainkan Edgar yang sudah agresif dan gelap mata.

Duel yang memang terlalu jauh perbedaannya ini berakhir sesuai dengan prediksi kami semua saat, Toni menendang ke atas tangan Edgar yang memegang pisau sehingga pisau terlempar ke atas. Di saat yang bersamaan, sebuah tendangan memutar dari Toni mengenai samping kepala Edgar, Edgar bahkan sudah pingsan sebelum ia roboh ke bawah.

TEP !

Toni menangkap pisau lipat Edgar yang terlempar di udara. Mata pisau yang tajam di lipat masuk ke dalam bilah. Toni memasukkan pisau lipat tersebut ke kantung kemeja Edgar. “Lo gak pernah berubah,” katanya pelan lalu berjalan santai di sambut teriak kemenangan anak SMA SWASTA XXX.

Melalui Toni, SMA SWASTA XXX membuka skor pertama di Studi Banding. 

1-0.

Heru dan Farid langsung menggotong Edgar keluar. Hantaman di kepala akibat tendangan Toni membuat mulut Edgar sampai mengeluarkan busa,pertanda betapa kerasnya efek serangan Toni.

“Dadu nomor 1!”

“Bro, gue maju duluan, tenang gue pasti samakan kedudukan. Meskipun lawan gue si Jalu, mantan anggota tim basket, kata Yosi. 

Mantan anggota tim basket? Teman Puput?




Orang yang jadi lawan Yosi ini kalau aku gak salah ingat, aku pernah bertemu dengan dia saat dulu untuk pertama kalinya aku pergi ke pantai bersama Dita. Jalu akan jadi lawan berat buat Yosi karena Jalu berpostur tinggi ideal khas anak basket. Dan Jalu memanfaatkan dengan baik keunggulan postur dan fisiknya dengan terus menyerang Yosi yang kewalahan. Setelah sekian pukulan yang bisa Yosi hindari dan tepis, pukulan kombinasi kiri-kanan berhasil mendobrak pertahanan. Kepala Yosi tersentak ke belakang dan dari hidungny mengucur darah segar saat tinju kiri telak mengenai wajah Yosi. Yosi mencoba bertahan tetap berdiri meski kakinya goyah, namun tendangan ke lengan kiri membuat Yosi jatuh terdorong ke samping.

“Mampus !!” lawan Yosi berusaha mengakhiri duel dengan mengarahkan tendangan ke arah wajah Yosi. Ini serangan yang sangat berbahaya. Bangkit Yos!

BUGH !!!

“Arrrgghhhhhh !!!!” teriakan keras terdengar bagaikan lolongan anjing kesakitan.

Itu bukan teriakan Yosi, melainkan teriakan parau dari Jalu. Tadi Yosi sempat memblok tendangan kaki kanan Jalu dengan menyilangkan kedua lengannya membentuk huruf X. Setelah terblok, Yosi meninju bagian belakang lutut Jalu sangat keras sampai Jalu berteriak dan roboh tidak sanggup berdiri. Jalu mengerang memegangi lututnya.

Yosi setengah meloncat sambil menjatuhkan diri ke arah Jalu, bukan sembarang menjatuhkan diri karena sekaligus mengirim pukulan ke wajah Jalu yang tidak bisa berbuat apa-apa, berusaha menangkis pun tidak karena fokus Jalu sudah sedemikian rupa terarah ke bagian lutut.

BUGH !!BUGH !!BUGH !!BUGH !!BUGH !!BUGH !!BUGH !!

Rentetan pukulan Yosi membuat kami menyamakan kedudukan. Ia menyeka darah di hidungnya dan berjalan kembali ke arahku  dengan sempoyongan.

1-1 !

“Bangsatt,” erangnya sambil terduduk di bawah.

Beberapa teman yang kutugaskan membawa peralatan P3K langsung mengobati mencoba menghentikan pendarahan di hidungnya.

“Kamu gak apa-apa?”

Yosi menjawab dengan mengacungkan jempol. “Jalu terpaksa berhenti bermain basket karena cedera berat. Titik yang kuhantam tadi adalah salah satu titik cedera di belakang lututnya. Gue gak berniat memanfaatkan kelemahannya tersebut, tetapi gue terpaksa melakukannya,” ungkap Yosi.

“Kita gak ada pilihan lagi, istirahatlah,” kataku sambil menepuk pelan pundaknya.

“Dapat dadu nomor berapa lu Yan?” tanya Yosi.

“Dadu nomor 3 !” seru salah satu leader LPH.

“Tuh nomor daduku di sebut.” aku lalu berdiri sambil melepaskan jaketku.

“Lawan lu namanya Ucok, mantan anak ekskul basket, salah satu sohob Puput. Ucok masih aktif main tapi sekarang lebih sering main di 3 on 3 street basket yang keras, hati-hati,” kata Yosi memberikan informasi tentang lawanku.

Di tengah lapangan lawanku yang bernama Ucok sudah menungggu, wajahnya memerah, otot-otot di pergelangan tangannya terlihat menegang dan mengeras. Ia pasti emosi sekali dan ingin membalaskan dendam atas kekalahan kedua temannya, Puput dan Jalu.




Aku mesti ambil poin dari dia, tak peduli seberapa kuat Ucok!

“Akhirnya gue dapat kesempatan untuk menjajal orang yang sudah membuat Puput hilang nyali. Gue gak akan memberikan kesempatan buat elo bangkit, bakalan gue patahin kaki lo, nyet,” ancam Ucok.

“Yaudah sini, gak usah pakai ceramah,” kubalas omongan Ucok.

Setelah psywar, aku dan Ucok bergerak bersamaan saling mendekat sehingga kami kini berdiri berhadap-hadapan. Kami berdiri dekat sekali hingga kedua lutut kami bersinggungan. Kemudian jual-beli pukulan dalam jarak dekat pun terjadi. Kami saling memegang leher belakang dan saling adu sekuat-kuatnya. Rahang dan pipi kami masing-masing menjadi sansak dan target serangan, Ucok hampir tidak mengedipkan mata saat adu pukul denganku, pertanda ia memiliki nyali dan percaya diri dalam demonstrasi murni kekuatan dan ketahanan. Pukulan Ucok menyakitkan dan tajam sekali, terlebih ia memukul dengan sedikit memajukan ruas jari tengahnya sehingga efeknya menjadi lebih menyakitkan. Perasaanku campur aduk perpaduan antara adrenalin yang naik, rasa kebas di bagian muka yang secara simultan menerima hantaman.

Aku meningkatkan daya gempur saat pukulan Ucok mulai melemah, ia sudah tidak mampu lagi bermain dalam jarak dekat, semua pukulanku pasti serasa mencabik-cabik mukanya. Ucok bahkan mulai memukul perutku, namun sudah terlambat ! aku sudah berada di puncak adrenalin! Pukulannya sama sekali tidak terasa!

TAP !

Kutangkap tinju kanan Ucok yang mulai melemah, kuremas sekaligus kupelintir ke kiri hingga pergelangannya ikut tertarik dan badannya meliuk. Kumanfaatkan posisi Ucok yang begitu terbuka dengan mengirim pukulan dari atas tepat ke mukanya yang sedang mendongak ke atas.

BAM !!

Badan Ucok berdebum ke bawah dan pingsan dengan luka memar cukup parah. Aku salut dengan keberaniannya beradu kuat denganku secara frontal. Aku segera membalik badan menghadap teman-temanku sambil mengangkat kepalan tangan kanan ke udara.

2-1 ! kami memimpin !

Saat kembali ke barisan, aku merasa optimis, karena Feri dan Oscar masih menunggu giliran. Sementara di pihak lawan, dua-duanya adalah anak kelas 1. Secara logika, 1 kemenangan lagi pasti bisa di dapat, entah dari Feri atau Oscar, sehingga bisa SMA NEGERI XXX tahun ini bisa meneruskan tradisi memenangi Studi Banding tahun ini !

Yosi mengacungkan kedua jempolnya, sementara bang Feri memberikan tepuk tangan kecil.

“Dadu nomor 5 !”

Oscar berjalan maju ke depan dan melewatiku begitu saja.

Aku lalu ikut duduk dibawah bersama Yosi. Aku lihat lawan Oscar adalah seorang siswa bertubuh gempal. Sedari tadi ia terus memamerkan tawa dan tidak terlihat gentar meski lawannya adalah Oscar. “Kalau Oscar meremehkan lawannya, si Bayu bisa membalikkan prediksi kita semua bahwa Oscar akan mengunci kemenangan sekolah kita, bisik Yosi.




“Di sini ada kamar mandi gak ya?” aku bertanya ke Yosi.

“Mau kencing lu?”

Aku mengangguk. “Aku udah gak tahan nih!”

“Haha di sini udah gak ada kamar mandi, orang udah rusak semua gini rukonya. Kalau mau kencing, sana di belakang pojok. Bawa air sendiri buat cebok, hehe. Auhh. Aauhh” Yosi mengaduh kesakitan saat ia tertawa. Sepertinya bagian dalam mulutnya terluka.

Aku lalu menenteng Aqua menuju ke salah satu sudut Ruko, beberapa teman menyalamatiku atas kemenanganku melawan Ucok.

Setelah mendapat spot di pojokan yang cukup jauh, aku pun mengosongkan kantung kemihku. Baru juga aku menarik risliting ke atas saat selesai pipis, aku mendengar suara teriakan dan tepukan tangan keras sekali. Aku melihat jam di tanganku, gila, udah selesai nih ? belum ada 5 menit Oscar udah menang ! Ini berarti kami yang menang! Aku pun bergegas kembali ke areal parkir, namun aku melihat ada sesuatu yang janggal, karena aku melihat teman-temanku justru terlihat tenang, tidak ada sorak-sorai.

Ah gila, ini gak mungkin ! Saat aku menerobos barisan, hal yang aku lihat sungguh sukar untuk dipercaya. Kulihat Oscar terbaring telentang, sementara lawannya hanya tersenyum lebar ke arah kami, meski hidung dan bibirnya berdarah.

“Apa yang terjadi Yos!?”

“Kekhawatiran gue terbukti, Oscar meremehkan Bayu. Ia tidak langsung mengeluarkan serangan penuh, sehingga Oscar benar-benar tidak menyangka saat uppercut kanan Bayu membuat otaknya bergetar seperti kena setrum yang mengalir dari rahang dan dagu.

Aku mendengus kesal karena bisa-bisanya Oscar bermain-main meremehkan lawan di saat krusial seperti ini.

Skor kini sudah sama kuat 2-2 ! duel terakhir yang otomatis mempertemukan Feri melawan Vino, akan menjadi penentuan pemenang !





“Fer, semangat dikitlah. Di tinggal Axel mati kok kayak di tinggal pacar aja lu,” ejek Vino.

Feri tetap diam tenang, ia tidak terpancing omongan Vino. Ia melepas kacamatanya dan ia masukkan ke kotak kacamata yang ia simpan di saku celana.

“Yah lawan gue mayat idup nih, asu lah!” kata Vino kesal karena lawannya tidak terpancing provokasi.

Pertarungan kedua minim baku pukul karena sama-sama mengincar kelemahan yang muncul dari pihak lawan. Vino terlihat tenang di awal saja, namun lambat laun sifat aslinya muncul setelah dua pukulan Feri mengenai rahang dan pipinya. Vino menaikkan percepatan serangann di kombinasi dengan footwork yang gesit sambil mengirim pukulan pendek cepat ke Feri. Dalam satu momen, pukulan ke badan Feri membuat Feri jatuh terduduk. Vino mencium kesempatan dan berlari mengarahkan lututnya ke arah Feri yang terduduk di tanah.

BUGH!

Ujung lutut kanan Vino mengenai wajah Feri telak, kulihat dari mulut Feri mengucur banyak darah. Namun Feri masih sadar. Ini kalau bukan bajingan tangguh, udah pasti pingsan. Seakan tidak puas Vino menjambak rambut Feri, Vino terus mengayunkan lututnya dalam jarak dekat ke muka Feri.

BUGH!BUGH!BUGH!BUGH!

“SUDAH CUKUP VIN ! KITA MENANG !” pekik Toni sambil menarik kerah belakang baju Vino.

Vino menyeringai berlari ke arah teman-temannya disambut sorak sorai para siswa SMA SWASTA XXX.

“RAGE !! RAGE !! RAGE !! RAGE!!”

“Studi Banding selesai, skor 3-2  di menangi oleh SMA SWASTA XXX!!!” seru leader LPH. Mereka bertiga kemudian masuk ke dalam kerumunan dan menghilang begitu saja. Aku merasa gagal membawa kemenangan bagi sekolahku, kudapati wajah-wajah sedih para siswa SMA NEGERI XXX dan khusus untuk anak kelas 1, belum apa-apa mereka sudah pucat dan lesu, mungkin terbayang siksaan neraka dunia dari Pak Indra menanti kami semua. Sementara itu anak-anak SMA SWASTA terus berteriak, menyoraki kami, bahkan mulai ada yang memprovokasi. Keadaan bisa menjadi sangat berbahaya bagi kedua belah pihak.

“HAHAHAHAHAHAHAHAH! SUNGGUH PERTARUNGAN ANTAR GRUP PLAYGROUP YANG MENARIK !!”

Suara menggelegar nan asing membuat kami semua menoleh ke sumber suara, dari balik kerumuman yang langsung membukakan jalan, muncul seseorang berbadan besar, bersama dengan kawanannya berjalan menuju ke arah kami.

“Yan…Itu yang namanya Anton !!” bisik Zen yang tiba-tiba saja suda berada di sampingku bersama Xavi.

“Yakin?”

“Yakinlah, kan dia yang udah matahin tulang lengan gue.”

“APA !?” aku dan Xavi bereaksi sama.

“Bajingannn, ini gawat-gawat. Semua dedengkot bajingan STM XXX muncul semua di sini!!”

“Serius?”

Yosi mengangguk cepat. Lalu dengan cepat Yosi menyebutkan satu persatu nama dari mereka semua!


Anton, top dog STM XXX. Memang seram dia njir, puji Tuhan dia lulus tahun ini, fiuh.”


“Lalu itu Sandi, anak kelas 3, yang mukanya kek orang ngantuk. Jangan ketipu sama luarnya, dia sebelas dua belas sama Anton,” tunjuk Yosi kepada orang berambut hitam belah pinggir.


Virgil, anak punk itu, dia sepupunya Leo, udah pasti dia punya dendam pribadi ke kita.”



Aksan yang rambut panjang, kalau Pepeng yang pakai kacamata. Mereka berdua satu grup sama Virgil. Ketiganya yang pegang anak kelas 2 STM XXX.”


“Lalu untuk kelas 1-nya, yang akan jadi musuh besar kita. Yang blonde klimis itu namanya Reki. Dia termasuk bajingan yang pegang beberapa sekolah saat dia SMP. Keparat itu model-modelnya mirip dengan Edgar, sama liciknya.”



“Terus yang rambut cepak tentara, si bajingan yang pernah ngajak gue ribut jalan, namanya Ali. Terus yang rambut panjang belah tengah namanya Bima. Gue gak kenal mereka sebelumnya, gue dengar keduanya murid pindahan. Tapi jelas, mereka bahaya.”

Yosi menyebutkan semua nama bajingan STM XXX, kecuali 1 nama. Nama yang disebut-disebut sebagai pengganti Anton di STM XXX.

“Elang. Mana orang yang bernama Elang?”

Yosi menatap tajam ke arah sekawanan anak STM XXX yang datang ke Ruko Lama dengan tiba-tiba.

“Itu dia, yang paling belakang, itu dia yang bernama Elang, bajingan nomor 1 STM XXX penerus Anton !” seru Yosi.

Aku lihat seorang pemuda berjalan santai sambil menyulut rokok, ia menatap kami semua.


Elang, baru sekali lihat aku langsung tahu, namun aku langsung bisa merasakan hawa lain darinya.

“Deadqsuad sudah gue bubarkan seiiring dengan kelulusan pak tua bangsat ini. Gue akan membangun kru gue sendiri, kru yang akan menghabisi kalian semua, para sampah-sampah tak berguna yang hanya menjadikan perkelahian bak lelucon ! WARLORD. WARLORD adalah alat gue untuk menundukkan kalian semua,” kata Elang sesumbar.

“Bangsat, di saat kita kalah di Studi Banding, STM XXX bersiap menyerang kita! Sudah pasti SMA SWASTA XXX akan menggunakan kita sebagai umpan !!!” umpat Yosi pelan.

Hey bocah, santai dong! Kalian semua tenang saja, kami semua kesini untuk silahturahmi jadi selow saja. Ya seperti yang kita semua tahu, ini menjadi hari terakhir kita bajingan dari kelas 3. 3 Tahun yang penuh kekerasan dan kesenangan tanpa terasa selesai juga. Namun ketenaangan dan perdamaian dalam 1 tahun terakhir ini membuat insting kita semua tumpul. Oleh karena itu, di hari terakhir gue sebagai bagian dari STM XXX, gue cuma pengen menyampaikan satu pesan terakhir.  Nikmatilah liburan kalian baik-baik karena mungkin itu menjadi waktu liburan kalian yang terakhir kalinya ! hahahah!” kata Anton diplomatis.

Anton tertawa keras sekali, ia terus tertawa hingga akhirnya pergi bersama kawanannya.

Elang tetap berdiri diam, ia merokok sambil menatap ke arahku. Pandangan kami beradu.

Kilasan masa depan yang penuh kekerasan tiada akhir melibatkan Elang, berkelebat. Elang tersenyum lalu berjalan pergi.

Elang dengan WARLORD dan Vino dengan RAGE.

Tahun keduaku di SMA NEGERI XXX sepertinya akan brutal dan penuh darah.

Era baru para siswa bajingan sudah tiba!!





*****
@ Ruko Lama
Di saat yang bersamaan…
*****


(Pov Zen)


Tak lama setelah anak STM XXX pergi dari Ruko Lama, Vino menatap Yandi.

"Yan, lo tenang saja. Gue gak butuh bantuan kalian untuk menyerang STM XXX. Pemenang tidak akan meminta bantuan para pecundang menyedihkan. Gue malah lebih perlu kalian untuk mengelap setiap pantat anak-anak RAGE. Namun ya kalau terpaksa sekali, paling gue cuma minta kalian jadi martir buat test otot dengan anak WARLORD..." ujar Vino sesumbar dan kemudian ia pergi di ikuti semua anak SMA SWASTA XXX.

Ucapan Vino di depan muka kami semua membuat anak-anak merah mukanya terutama Yandi. Dia jelas akan menyalahkan dirinya sendiri, terlepas dia sudah melakukan tugasnya dengan sempurna saat mengalahkan lawannya. Gue juga marah, tetapi inilah konsekuensi atas kekalahan kami di Studi Banding.

Berdasarkan cerita Yandi yang ia dengar dari Axel, pada dasarnya hubungan SMA NEGERI XXX dan SMA SWASTA itu naik turun. Kadang terlibat perselisihan kadang akur. Kesamaan kedua sekolah cuma 1. Kami punya musuh yang sama, STM XXX.

Studi Banding ini selain untuk saling mengukur kekuatan antar angkatan dari kedua sekolah, juga menjadi even untuk menentukan siapa yang akan memegang komando jika STM XXX memulai perang. Karena menurut Axel, cara terbaik mengalahkan STM XXX adalah menggabungkan kekuatan antara 2 sekolah. Jika hanya salah yang maju, kans menang hanya 50 %.

Gue mengingat lagi cerita Yandi jika menjadi pihak yang kalah dalam Studi Banding dalam waktu yang salah.

"Jika terjadi situasi perang dengan STM XXX, maka pemenang Studi Banding memegang kendali instruksi atas kedua sekolah, dia berhak untuk meminta kru dari pihak yang kalah di saat genting seperti tawuran terbuka atau membantu untuk hal yang berhubungan dengan konflik. Pihak yang kalah harus menuruti instruksi dari pemenang Studi Banding, tanpa boleh membantah. Konsekuensi ini berlaku sampai di adakan Studi Banding tahun berikutnya."

Di tahun ini, jelas Axel tidak mengaktifkan klausa tersebut karena tidak ada perselisihan dengan STM XXX. Sehingga semuanya terlihat damai. Kematian Axel mungkin berbarengan dengan keputusan Anton untuk memulai perang dengan kami semua. Kemenangan SMA SWASTA XXX di tahun ini jelas akan sangat di manfaatkan Vino. Boleh dibilang, ia menguasai 2 sekolahan saat ini. Singkatnya, posisi kami sekarang jadi anjing bawahan bagi Vino dan RAGE dalam situasi panas melawan Elang dan WARLORD.

Gue lalu menghampiri Yandi dan Yosi yang masih tertunduk. Ruko Lama mulai sepi, Edgar cs, Oscar cs bahkan sudah tidak kelihatan. Hanya tinggal kami XYZ dan Feri cs. Keparat memang mereka, membiarkan Yandi menanggung semuanya. Gue berada di tengah mereka dan merangkul pundak keduanya.

"Good fight bro.We're Winning the Fight, but losing the battle. Seperti itu situasi kita sekarang. Di momen seperti, kalian berdua mesti harus menegakkan kepala. Karena XYZ menang. Yang kalah bukan bagian dari XYZ. Vino dan bajingan yang mengalahkan Oscar juga sama seperti kita, sama-sama kelas 1 dan sama-sama punya kakak kelas yang payah. Jadi skor sebenarnya bukan 3-2 tetapi XYZ 2, RAGE 2."

Yosi tersenyum kecil. Sementara Yandi masih tertunduk. Ia baru mengangkat muka ketika Feri berdiri di depan Yandi.

"Maaf, gue kalah di saat krusial. Kami sebagai para senior kelas 3 justru meninggalkan beban berat buat kalian semua. Ini akan terdengar seperti bullshit, tetapi gue percaya, elo akan bisa membuat keadaan jadi lebih baik. Elo akan jadi leader yang baik buat sekolah kita. Bukan hanya gue, sedari awal Axel juga sudah percaya sama elo Yan. Pilihan Axel tidak pernah salah. Orang pilihan Axel tidak pernah salah." kata Feri sambil menepuk pundak Yandi lalu pergi bersama anak kelas 3.

Mendengar Feri menyebut nama Axel, membuat Yandi menangis. Yandi kemudian mengusap air mata lalu ia berteriak dengan lantang kepada 30 anggota XYZ yang loyal.

"Semuanya ! Beri hormat dan berikan tepuk tangan kalian yang paling keras !! PALING KERAS !" Yandi lalu memberikan tepuk tangan yang sangat keras dan tentu saja kami terbawa suasana dan menuruti perkataan pemimpin kami.

"TERIMAKASIH !!! TERIMAKASIH !! TERIMAKASIH !!"

Dengan di pimpin Yandi kami memberikan penghormatan kepada Feri, Deka, Darma, Jati dan yang lain karena kami pernah bertarung bersama !!!

Feri dan teman-temannya tersenyum menatap kami. Mereka juga membalas dengan tepukan tangan yang tak kalah kerasnya. Gue lihat beberapa anak kelas 3 menangis, mungkin mereka menyadari waktu mereka sebagai remaja yang penuh kebebasan usai hari ini.

Mulai besok mereka akan beranjak menjadi orang dewasa.

Mulai besok mereka sudah bukan lagi bagian dari kami.

Begitu juga kami, XYZ. Dengan tangan terkepal, XYZ harus segera bangkit dan menghadapi semua masalah dengan kepala tegak !!!!

MASA DEPAN BUKAN MILIK MEREKA PARA PENGECUT ! TETAPI MASA DEPAN MILIK PARA PEMBERANI YANG BERJIWA BESAR!!


LPH FIRST GRADE
SELESAI.


= BERSAMBUNG =



8 comments for "LPH #67"

  1. Anjirrr kapan nih mulai perang 3 pasukan

    ReplyDelete
  2. Hufffftttt...!!!

    Gak sabar dengan pertempuran besar...

    Harus tetap menunggu...

    ReplyDelete
  3. Thanks gan..besok nyepi...
    Gas terus..

    ReplyDelete
  4. Ada yang kurang di episode ini... Tepuk tangan untuk Senior dari kru xyz... saya kira di eposide 69, ternyata bukan...

    ReplyDelete
    Replies
    1. MANTAP!! thanks remindernya! gue lupa karena sambungan pov zen gw ketik di ponsel.

      haha!


      UDAH GW TAMBAHIN POV ZEN after FINAL CLASH pov Yandi

      Delete

Post a Comment