LPH #65
Episode 65
Moment of Truth
(Pov Yosi)
"Met sore bang, bang Sadli ada ?" Setelah masuk ke barber shop, gue langsung menghampiri salah seorang barber yang sedang menyapu bekas potongan rambut customer di lantai. Dari tiga barber, hanya dia yang sedang tidak melayani customer. Dua lainnya sedang handle customer.
Si abang barber yang gue tanya langsung noleh, "Ada di atas, lagi ada tamu sih. Ada perlu apaan?"
"Mau nanya sesuatu sih. Tapi kalau Bang Sadli lagi sibuk, yaudah bang makasih."
"Oke," jawabnya.
Gue emang gak kontak dulu sih, langsung kemari setelah ke tempat Dea. Sepertinya gu mesti janjian dulu dengan bang Sadli. Tapi gue udah penasaran ingin segera bertanya dan memastikan langsung kepada Bang Sadli. Entah dia mau jawab jujur atau tidak.
Tentang LPH. Karena saat Yandi bercerita kemarin, gue menemukan kesamaan dengan hal yang diceritakan bang Sadli dulu. Sebuah kesamaan yang tidak mungkin hanya kebetulan semata.
"Eh cuy, tunggu."
Gue menoleh ke belakang saat di panggil.
"Iya bang,"
"Nama lo siapa?"
"Yosi bang."
"Lu naik aja langsung ke atas. Di tunggu bang Sadli di atas."
Gue bingung kok tiba-tiba gue udah di tunggu. Setelah bilang makasih gue lalu naik ke atas. Sampai di atas gue langsung di sapa.
"Halo Yos ! Baru kelihatan lu. Sini duduk. Pas banget lu kesini. Ayo ngopi sini," sapa bang Sadli.
Gue pucat.
Gimana gak pucet. Gue lihat bang Sadli sedang ngopi bareng tiga orang. Tiga orang yang juga gue kenal.
Bang Trias, Bang Taka dan Bang Sindu.
Keempat orang yang gue duga adalah Leader LPH sedang ngumpul di sini semua.
"Ayo Yos, gak usah takut, sini. Kalau kami lagi gak pake topeng LPH, kami ramah kok, haha," panggil Bang Taka.
Gue berdiri tertegun mendengarnya.
"Gak usah sok kaget, lu pasti nemuin Sadli karena mau nanya tentang LPH kan...," Lanjut Bang Taka sambil menyulut rokok dan menatap gue tajam. Bang Sadli yang biasanya kalem juga berubah ekspresinya.
Shiit...
Gue di skakmat.
“Duduk sini Yos,” seru Bang Trias sambi menepuk-nepuk kursi sofa single seat yang berada di ujung meja. Dan saat gue duduk, di samping kiri gue ada Bang Sadli, Bang Taka. Di samping kanan ada Bang Sindu dan Bang Trias. Dan keempatnya sedang duduk bersandar di sofa sambil menatap ke arah gue. Anjing posisi duduk gue yang ada di ujung membuat gue seperti orang yang hendak di hakimi.
Masak iya gue lari? Cemen banget.
Tetapi asli ini gue di pelototin empat orang yang membuat gue makin yakin mereka adalah leader LPH membuat gue jiper. Ketika gue hanya ingin mengkonfirmasi tentang LPH ke Bang Sadli, selain dia salah satu alumni SMA NEGERI XXX, Bang Sadli termasuk yang paling asyik di ajak ngobrol dibanding ketiga temannya. Namun kini gue malah ketemu sama semuanya dan bang Taka tadi sudah menyinggung tentang LPH. Bangsat, berarti mereka sudah memprediksi gue akan bertanya tentang LPH setelah ketemu dengan Yandi. Hitungan mereka, Yandi pasti cerita apa adanya ke gue. Karena udah terpojok dengan suasana ankward dan aura permusuhan yang terasa sekali, membuat gue gak ada pilihan selain membalas menatap mata keempat orang tersebut.
KREK ! Bang Sindu yang sedang meminum nescafe kaleng tiba-tiba meremas kaleng minumannya sehingga membuat gue kaget dan reflek mengangkat kedua kepalan tangan dan kaki.
“HAHAHAHAHAHAHAHHAHAHAHAHAHAHAHAHAH!! Anjirr udah cukup, ngerjain nih anak. Udah pucet tuh!” celoteh bang Taka.
Bang Trias dan bang Sindu tertawa sambil memegangi perut. Bang Sadli tertawa tergelak sambil geleng-geleng kepala.
Apa-apaan nih !!!
“Santai, santai Yos, kami cuma ngerjain elo. Lu mau minum apa ? Mandheling mau ? Tubruk atau drip” tanya bang Sindu.
“Tubruk aja bang pake gula dikit,” gue jawab sembari mengangguk karena entah gue mesti marah atau senang setelah melihat reaksi mereka berempat.
Bang Sindu membuatkan kopi manual di pojok ruangan yang jadi dapur kecil. Lantai dua ruko Bang Sadli ini memang keliatan compact. Tidak terlalu besar tetapi nyaman dan dia punya banyak jenis minuman mulai dari kopi, bir dingin, coca cola dan lainnya. Bau harum kopi langsung semerbak. Dan ketika di sajikan ke gue, gue langsung menyeruput sedikit.
Jos.
“Yos, tadi kami cuma bercanda santai aja, kami bisa dibunuh abang lo kalau ngapa-ngapain elo,” ujar bang Taka.
Gue bisa merasakan tensi dan suhu yang tadi naik langsung kembali normal dan gue kini bisa mulai santai. Meskipun tidak sepenuhnya.
“Namun untuk LPH, kami benar-benar serius,” tegasnya.
Gue diam saja dan memilih menyeruput kopi.
“Yos, lo dengerin baik-baik, gue mewakili ketiga bangsat ini akan memberitahu ke elo satu rahasia, rahasia yang gue yakin berhubungan dengan tujuan elo datang kemari dan kebetulan pas kami semua sedang berkumpul,” ujar Bang Sadli.
Benar kan dugaan gue, mereka sudah memprediksi gue akan datang ke tempatnya setelah mendengar cerita dari Yandi karena Bang Sadli tahu benar kalau gue temenan deket sama Yandi. Baiklah jadi gue gak perlu repot nanya ini itu, biar Bang Sadli yang menjelaskan semuanya.
“Baik Bang, i’m listening.”
Bang Sadli mengangguk lalu memulai cerita dengan membuat satu pernyataan tegas.
“Kami berempat memang benar seperti dugaan elo, kami adalah leader LPH generasi ke 33, komunitas bawah tanah yang berusaha menjaga perseteruan antar para bajingan di tingkat SMA tetap berada pada tempatnya, tidak boleh melibatkan pihak luar, termasuk alumni, yang bisa menguntungkan salah satu pihak. Pada dasarnya kami memiliki banyak mata dan telinga atau informan yang ada di setiap SMA, STM entah swasta atau negeri yang berjumlah puluhan di Kota XXX ini. Kita memang siswa berandalan, bajingan tetapi kita semua masih punya martabat untuk tidak mengadu ke orang lain dan meminta mereka untuk membantu membalas dendam atau membantu memenangkan suatu perseteruan.
Dari pengalaman para senior LPH dan kami, memang SMA NEGERI XXX, SMA SWASTA XXX dan STM XXX adalah tiga sekolah yang paling menonjol di Kota XXX baik dari sisi kualitas sekolah, sistem pendidikan, maupun akar berandalan yang mengakar kuat meski setiap tahun terjadi regenerasi. Konflik atau perseteruan tidak akan jauh-jauh dari ketiga sekolah itu dah. Siapapun bajingan no 1 dari ketiga sekolah tersebut dari jaman dahulu selalu memiliki ambisi untuk saling mengalahkan. Demi menjaga kemurnian ego tersebut, LPH dibentuk untuk mengawal dan menjaga. [i]Long story short[/i], Kami LPH adalah ‘watchdog’ yang mengawasi dengan ketat perseteruan di ketiga sekolah tersebut.”
Mendengar pemaparan Bang Sadli, membuat gue terhenyak sekaligus senang, komunitas bawah tanah yang masih jadi misteri di kalangan kami para siswa ternyata memang benar ada. Bahkan kini gue sedang bersama mereka berempat, para leader LPH generasi ke-33. Tetapi satu persatu berbagai pertanyaan langsung muncul di benak gue.
“Bang, kemarin berdasarkan cerita Yandi, ada lima leader LPH. Selain kalian berempat, memangnya ada 1 leader lagi? Karena Bang Niko cuma mengenalkan gue ke kalian berempat. Sebentar-sebentar, Bang Niko apakah dia tahu tentang LPH?”
Bang Sadli tersenyum kecil sambil menghisap rokoknya mendengar rentetan pertanyaan gue, sementara ketiga temannya tertawa.
“Ya tahu lah ! Justru karena abang sepupu lo itu kami semua jadi generasi ke- 33 LPH. Awalnya kami serasa dipaksa untuk jadi algojo, namun lama-lama asyik juga...Apalagi kalau pas ada street judgement...hahaha!” sahut bang Taka.
“Maksudnya gimana bang?”
“Ndu, loe jelasin dah, biar lo gak main ponsel mulu,” Bang Taka melempar pertanyaan gue ke Bang Sindu.
“Sebentar, gue lagi gak main kampret, gue lagi balas e-mail dari supplier,” jawab Bang Sindu singkat.
“Awalnya Niko yang jadi kandidat leader LPH setelah generasi 32 ‘pensiun’ tetapi dia menolak karena sudah fokus 100% menjelang persiapan seleksi timnas junior U-19. Namun PURGE, leader LPH generasi 32 tidak mau tahu. Kalau Niko menolak, dia harus mencari penggantinya. Lalu otak culas abang lo mendapat jalan keluar dengan cara menjebak kami,” tiba-tiba saja bang Trias yang malah menjelaskan ke gue.
“Menjebak? Jebak gimana maksudnya bang?”
“Suatu hari sebelum Niko pergi TC, dia meminta kami berlima datang ke satu tempat. Di lokasi yang cukup jauh dari Kota, daerah dekat kawasan perkemahan gitu lah. Kami tidak curiga karena ia katanya memang ingin bakar-bakar sate, sosis, daging sambil minum dikit-dikit. Sesampai di tempat yang sudah menyala api unggun, tiba-tiba saja dari kegelapan kami berlima di kepung puluhan orang bertopeng. Saat kami masih bingung apa tujuan dan maksud mereka, kami sudah di serang. Gila, kami masing-masing malam itu ngelawan 4-5 orang sekaligus secara maraton hingga akhirnya mereka tumbang menyisakan kami berlima yang masih berdiri meskipun sekali sentuh kami juga roboh dan gak bisa bangkit karena cidera berat. Lalu pada saat itulah muncul Niko beserta seseorang mengenakan topeng PURGE, mereka berdua tepuk tangan,” jelas Bang Trias.
“Bangsat, itu semua rencana Niko untuk merekomendasikan kami berlima di depan generasi 32. PURGE dan segerombolan orang bertopeng yang sebelumnnya menyerang kami lalu melepas topeng kemudian bilang, ‘Tugas kami sudah selesai. Sekarang kalian berlima menjadi leader LPH Generasi 33. Have fun!’. Anjing kan tiba-tiba aja kami jadi leader LPH generasi ke 33 tanpa bisa menolak. Niko cuma ketawa-tawa saja, bangke abang lo emang, badan gue pasti ngilu kalau inget tuh kejadian, ” sambar Bang Taka yang kini mengambil alih pembicaraan.
Gue tertawa mendengarnya. “Oia, PURGE leader LPH generasi 32 ? Kalian kenal?”
“Iya, dia ternyata kakak kelas gue dulu, Joseph. Dia kakak kelas gue dulu di SMA SWASTA XXX. Dia udah kelas 3 saat gue kelas 1, namun reputasinya udah gue ikutin sejakgue masih SMP. Joseph itu siswa bajingan paling kuat pada jamannya. Dari kelas 1 hingga kelas 2 dia anak SMA tak terkalahkan. Anak STM XXXX dan SMA NEGERI XXX aja takut sama Joseph. “Ni foto orangnya, dia idola gue banget dah.”
Bang Taka menunjukkan satu foto di ponselnya.
Joseph a.k.a PURGE - LPH Generasi 32
Wow.
“Buset, lu nyimpen foto Joseph segala? Lu naksir ma dia? njir?” celetuk Bang Trias.
“I awe him so much dude, jaman SMP itu gue sedang nakal-nakalnya dan butuh satu figur idola. Dan cerita tentang betapa kuatnya seorang Joseph membuat gue ngefans. Dan dia [i]humble[/i] sama juniornya. Namun yang membuat gue kagum adalah kepintarannya selalu satu langkah lebih maju dibanding para rivalnya. Hanya saja, di dunia begundal, susah untuk selalu menang. Baru ketika pada saat ia kelas 3 SMA, Joseph kalah saat meladeni tantangan anak kelas 1 dari Diklat XXX. Para penyerang kami selain Joseph, ternyata mereka memang gabungan para alumnus dari berbagai sekolah satu angkatan gitulah” ujarnya.
“Anak kelas 1 Diklat XXX? Bang Niko?”
“Siapa lagi.”
“Joseph kalah dari Bang Niko?”
“Yep! Itu salah satu duel paling ngeri yang pernah gue lihat langsung. Joseph kalah duel satu lawan satu itu lawan bocah 16 tahun itu seperti negara ini tiba-tiba turun salju. Kalau gue gak liat langsung perkelahian mereka, gue gak bakal percaya sih kalau Niko menang.”
Haha Bang Niko waktu kelas 1 setingkat SMA memang lagi gila-gilanya sih.
“Lo pernah dengar nama Joseph, Joseph Strada kan?”
Gue mencoba mengingat-ingat dan akhirnya menyerah karena perbedaan tingkatan yang terlalu jauh. “Belum pernah.”
“Payah lo, kan awal mula tradisi ‘Studi Banding’ si Joseph yang memulai. Semua ide dari dia. Untuk urusan kehebatan duel Joseph memang bukan tandingan abang lo, tetapi dia jauh lebih cerdas dan visioner. Wait, dari roman muka lo yang kelihatan bingung, gue tanya dulu ke elo. Elo tahu kan apa itu ‘Studi Banding’?”
Gue menggeleng.
Bang Taka menepuk jidat. Lha bangsat, gue emang baru dengar kali ini.
“Tentang hal itu, mungkin Sadli bisa cerita lain waktu. Kalau elo terlalu banyak menerima informasi bawah tanah dalam satu waktu, otak lo bisa kram. Eh gue boker dulu dah,” ujar Bang Taka sambil tertawa.
“Bangsat, elo yang dari tadi kentut, asu!” seru Bang Trias sambil melempar bantal sofa ke arahnya.
Gue lalu berpaling ke Bang Sadli yang sedang menatap layar tabletnya. “Bang, ‘Studi Banding’ itu apaan? Penasaran gue.”
“Lain kalai aja gue cerita tentang hal itu,” jawabnya sambil tersenyum.
Gue tersenyum kecut, padahal udah penasaran gini. Oke baiklah, sepertinya untuk hari ini khusus tentang LPH saja dulu. Gue gak heran sih kalau Bang Niko sempat jadi kandidat leader LPH karena dia memang undisputed bastard i’ve ever known, my role model. Namun gue bersyukur dia tobat di saat yang tepat menjelang naik ke kelas 3 dan selanjutnya memilih fokus di karier sepakbolanya.
“Dah beres urusan kerjaan! Gimana-gimana Yos, masih ada pertanyaan tentang LPH yang masih pengen lo tanya?” sahut Bang Sindu sembari meletakkan ponselnya di meja.
Gue lalu ingat satu pertanyaan yang belum kejawab.
“Leader LPH satu lagi selain kalian berempat siapa bang?”
“Namanya Dewa a.k.a DEAD. Dia seangkatan dengan kami. Lu mesti ingat sewaktu Niko mesti di gips tangan kirinya karena lengannya retak. Nah itu akibat perkelahiannya dengan Dewa. Bajingan terakhir yang ia lawan sebelum abang lo tobat.”
Gue terperangah mendengarnya karena gue ingat banget karena gue juga ikut menyelinap menonton perkelahian mereka di Ruko Lama dulu. Bang Niko duel dengan bajingan top dari STM XXX saat mereka kelas 2. Bang Niko menang dengan susah payah dan cederanya cukup berat sampe retak lengannya retak dan mesti di gips.
“Kok bisa-bisanya Bang Niko mengajak Dewa masuk ke LPH?”
Bang Sindu mengangkat kedua pundaknya. “Entahlah, cuma abang lo yang tahu, kapan-kapan lo tanya aja ke dia langsung. Eh, lo gak di kenalin ke Dewa waktu abang lo waktu itu pulang?”
“Enggak bang, makanya gue bingung waktu Yandi cerita ada lima orang leader LPH. Saat Yandi cerita hal tersebut, feeling gue mengatakan kalian terlibat namun kalian cuma berempat.”
“Kalau lo mau kenalan sama Dewa, tuh datang aja ke Muscle and Co. Dia kerja di sana sebagai instruktur fitness.”
“Errr, enggak ah,” gue menolak saran Bang Taka. Muscle and Co adalah salah satu tempat fitness dan gym yang terkenal di Kota XXX. Tidak ada alasan kenapa gue harus mendatangi Dewa lalu mengajaknya berkenalan.
“Hahahah Oia tentang Yandi. Dia cerita gak kalau dia di minta memilih dua dari kami sebagai cara alternatif kalau dia mau pergi dari Catacomb.”
“Cerita bang. Yandi bilang pertama dia bantai sama orang bertopeng duri lalu selanjutnya ia di hajar dengan stik baton oleh lawan keduanya yang memakai topeng VENOM.”
“HAHAHAHAHAHAHAH!! Yoi. Coba lo tebak orang bertopeng duri dan bertopeng Venom tersebut siapa?”
“Ehm, gak tahu gue bang.”
“Nickname di LPH itu biasanya sesuai dengan topeng yang dipakai. Sadli itu GUY. Taka itu SAW. Trias itu PIG. Dan yang bertopeng duri itu adalah Dewa yang punya nickname DEAD. Dan terakhir gue, gue adalah VENOM,” ekspresi Bang Sindu langsung berubah sangar dengan tatapan tajam.
LPH GENERASI KE- 33
Sadli a.k.a GUY
Dewa a.k.a DEAD
Trias a.k.a PIG
Taka a.k.a SAW
Sindu a.k.a VENOM
Gue tertegun. Gila, Yandi secara gak sadar udah ngajak berkelahi dengan Dewa, mantan topdog STM XXX. Lalu VENOM yang sudah membuat Yandi susah tidur dengan posisi berbaring karena luka berat di bagian punggung adalah akibat perbuatan orang yang ada di hadapan gue. Bang Sindu yang punya Cafestoria juga mantan topdog SMA NEGERI YYY (satu sekolahan juga dengan Rio sohib gue).
“Bagaimana keadaan Yandi? Suka gak dia dengan kenang-kenangan dari kami agar jadi orang jangan sok naif,” tanya Bang Sindu.
“Seminggu di gak masuk sekolah, secara fisik dia semakin membaik namun secara mental, emosinya sedang naik-turun. Bang, apa emang perlu sampe segitunya hajar Yandi? Kan dia gak ngerti tentang ‘aturan tidak tertulis’. Udah gitu dia di botakin sampe alisnya dicukur segala....”
“Oscar, Opet dan Ander adalah contoh sempurna tentang bagaimana kami bekerja menjaga keteraturan. Dan Yandi juga menjadi contoh yang baik bagi siapapun orang yang sudah menghalangi kami bekerja, tanpa peduli dia siapa dan dari mana, dia juga akan menjadi pesakitan. Termasuk elo sekalipun, kalau elo campur tangan turut membantu orang yang sudah melanggar aturan, tanpa ragu kami akan ngebantai elo. Niko itu orangnya fair play, 100% dia gak akan ngebela elo atau siapapun orang yang dengan sadar atau tidak sadar telah melanggar aturan. Paham?” tegas Bang Sadli.
Gue mengangguk. “Paham bang.”
“Anything else?”
“Ada 1 lagi sih bang. Tentang berita penyerangan anak CHC. Bang, emang benar kalau yang nyerang kru CHC itu anak STM XXX?”
Bang Sadli cuma mengangguk-angguk. “Ya benar, lebih tepatnya anak Deadsquad. Deadsquad itu geng turun-temurun yang ada di STM XXX. Pada dasarnya di STM XXX itu ada beberapa kelompok, namun yang terbesar adalah Deadsquad. Dewa yang memulai Deadsquad ketika ia kelas 1. Deadsquad adalah rival beratnya Bloody Hell. Mereka memang kalah di bantai habis oleh Bloody Hell namun Bloody Hell itu sebenarnya ‘one man show’. Begitu Boy lulus dan menghilang dari Kota XXX, geng tersebut bubar dan tercerai berai dengan sendirinya. Lain halnya dengan Deadsquad, mereka tetap solid meskipun setiap 2 tahun sekali berganti pemimpin. Sudah ada tradisi dan sistem yang mengakar kuat. Jadi siapapun pemimpinnya, Deadsquad akan tetap ada.”
“Anton. Anton yang menjadi pemimpin Deadsquad sekarang ini kan?”
“Iya.”
“Jadi Anton adalah orang yang memprakarsai penyerangan ke CHC?
Bang Sadli menggeleng sambil mematikan puntung rokoknya ke asbak. “Secara de jure memang Anton bos Deadsquad. Namun secara de facto, orang yang merencanakan dan ikut terlibat langsung dalam aksi penyerangan CHC bukanlah Anton melainkan calon penggantinya. The next Deadsquad’s leader.”
“Virgil? Virgil bos berikutnya Deadsquad setelah Anton lulus?” gue tahu benar di STM XXX sana bercokol satu bajingan seangkatan dengan Bram bernama Virgil yang merupakan saudara sepupu Leo.
“Tidak. Anton sudah menunjuk anak kelas 1 sebagai penggantinya langsung dan Virgil yang tidak terima karena di sebut-sebut sebagai kandidat utama pengganti Anton, kalah telak saat ia menantang duel anak tersebut. Dan anak kelas 1 itulah yang sudah menyerang dan kemungkinan besar berbuat nekat sampai menghabisi nyawa Roy.”
Gue terhenyak saat mendengar aktor utama penyerangan CHC adalah leader berikutnya Deadsquad saat Anton lulus. Dan dia seangkatan alias satu generasi yang sama dengan gue.
“Siapa? Siapa nama anak tersebut.”
“Elang.”
“Hohoho sejarah kembali terulang.” celetuk bang Trias.
“Kok bisa gitu bang?”
“Ya ketika Anton memilih Elang sebagai penggantinya lalu Virgil tidak terima lalu akhirnya dia kalah saat duel dengan Elang, sama persis dengan kejadian saat Dewa menunjuk Anton langsung sesaat setelah Dewa berhasil menjinakkan Anton. Siapa tuh anak kelas 2 yang gak terima dengan keputusan Dewa? Lupa gue namanya. Ndu, siapa ndu? Kan adik kelas lo dulu sewaktu di SMP.”
“Kiki Lazuardi atau biasa di panggil KilL,” jawab Bang Sindu.
“Ah iya KilL, si bajingan yang dengan nekatnya melempari mobil polisi dengan bom molotov pas tawuran pas pecah tawuran STM XXX dengan sekolahan gue dulu STM YYY. Ya langsung di kejar dan digebukkin polisi sebelum di gelandang ke kantor. Tapi ya berkat koneksi bokapnya, dia cuma di sel 3 bulan dan gak di keluarkan oleh STM XXX. KilL itu ya sama persis reaksinya dengan Virgil. Baru setelah ia di knockout sama Anton, sampai minta ampun si Kill ke Anton.” ujar Bang Trias memperjelas.
“Gue belum pernah ketemu atau ngelihat anak yang namanya Elang sih. Tetapi dengan pola yang sama dengan pendahulunya, bisa jadi Elang itu prototype bajingan yang sejenis dengan Anton,” tambah Bang Sadli sambil melirik ke arah gue.
Feeling gue langsung gak enak. Elang....Gue mesti mulai cari informasi tentang anak kelas 1 STM XXX bernama Elang.
“Wihh pada ngomongin si KilL yak. Kangen juga gue sama tuh bocah,” tukas Bang Taka yang sudah kembali bergabung.
“Halah, kangen duitnya paling,” seru Bang Trias.
“Ya iyalah, dia kan pelanggan tetap di tatooshop gue. Apalagi kalau Brutal Black Project jadi, wuih 100 juta men !!”
“Brutal Black Project? Maksud lo tato yang cuma ngeblok hitam doang itu?”
“Yoi. Lagi populer tuh! Memang kelihatannya simpel cuma bikin tato item doang gitu. Tetapi tidak semudah itu nak Fergusso! Itu gak bisa sekali jadi. Minimal dua layer baru tato hitamnya keliatan cakep, density warnanya terlihat sama. Nih gue kasih lihat foto customer gue yang masih di tahap awal Brutal Black Project !”
Bang Taka mengambil tablet dari tas nya lalu di letakkan ke atas meja sehingga kami semua bisa melihatnya dengan jelas.
“Anjir, hitam doang gitu dari pundak sampe lengan?” celetuk bang Trias sambil geleng-geleng.
“Yap, ini tuh art of pain ! Bukan sekedar ‘hitam doang’.”
“Itu KilL mau kek gini juga?”
“Yep-yep. KilL itu keranjingan tato. Dari luar aja dia kelihatan bersih. Sekali dia buka kemeja, penuh tuh badan. Kerjaan gue semua tuh ! Waktu dia lulus, dia langsung minta di buatin tato tulisan KILL di pundak belakangnya. Tiap liburan semester dia pulang ke sini dan selalu mampir tempat gue. Dan ia ngiler saat gue cerita tentang Brutal Black Project dan pertengahan tahun ini, dia setuju untuk ambil bagian di Brutal Black Project dimana hasil akhirnya adalah seperti ini.”
Bang Taka menggeser foto sebelumnya. Dan kami yang melihat foto selanjutnya langsung merinding.
“Astagaaa, itu tato semua sebadan? Atau dia lagi pake kaos hitam?” tanya Bang Sindu sampai mengambil tab dan ia zoom. “Bangke, tatosemua ternyata..Sakit jiwa ini orang.”
“Itu tato semua lah. Dia cuma pake boxer hitam sih tetapi tertutup tato semua itu sampai pantat kecuali kontinya, leher ke atas, kedua pergelangan kaki dan tangan aja yang bersih. Kalau orang biasa kayak elo,wajar menganggap tuh orang sakit jiwa tetapi Brutal Black Project sebenarnya yang terpenting di prosesnya, terfokus di rasa sakit dibanding ke desainnya. It’s like a rite of passage, a ritual, that we believe we want to push our body physically to it’s limit. Ah ngomong sama orang ‘normal’ seperti kalian tentang Brutal Black Project percuma dah haha, gak akan paham essensinya.”
“Iyalah, lu emang paling istimewa di antara kami, dasar tukang jualan tinta,” ejek bang Sindu.
“Anjir tukang jualan tinta..” Bang Trias mentertawakan ejekan Bang Sindu. Sementara reaksi Bang Taka cuma tersenyum sambilmengacungkan 1 jari tengah ke dua temannya.
“Eh Kalau ngomongin Kill, gak lengkap kalau gak ngomongin adek kelas elo yang sok ganteng itu,” lanjut Bang Sindu.
“Bobi? Udah jadi anak band dia. Band indie genre Trash metal gitu.Cukup terkenal di scene music undergrond. Nama bandnya Nosebleed."
“Si barbie itu ngeband? Band metal pula?unbelieveable.”
“Vokal cuy malahan. Dia itu berbakat, teknik growl-nya termasuk top. Cuma karena masalahnya dengan Kill yang berlarut-larut, membuat bakatnya gak terlalu kelihatan di musik semasa SMA. Kadang-kadang dia masih kontak gue sih.”
“Lho emang sesepuh bajingan abnormal haha!”
Bang Taka melihat gue yang cuma diam karena kurang paham tentang dua nama yang sedari tadi mereka omongkan di depan gue. Bang Taka mengambil tabnya lalu menunjukkan satu foto ke gue.
“Ini yang namanya Kill, alumni STM XXX satu tingkat di bawah kami. Adek kelasnya Dewa. Dia anak yang berbahaya di jamannya.”
“Lalu ini namanya Bobi. Satu tingkat di bawah gue pas sekolah di SMA SWASTA XXX.Sifatnya mirip Axel, sama-sama penjahat kelamin juga.”
“Keduanya punya historis permusuhan yang cukup panjang yang menambah panjang daftar bahwa topdog STM XXX memang tidak pernah akur dengan sekolah manapun. Pokoknya satu generasi di bawah angkatan kami punya tipikal yang bersumbu pendek, jarang mau nongkrong bareng. Musuh ya musuh.Di jaman kami, setelah kami berkelahi dengan Dewa sekalipun, tetap ada respek dan sering di akhiri dengan nongkrong minum bareng. Kekalahan tidak terlalu buruk, jika memang kenyataannya ada orang yang lebih kuat dan kalah dalam perkelahian yang fair. Jadi terima saja fakta tersebut. Live with it.
Jadi itulah kenapa mungkin abang lo merasa kami berlima bisa jadi leader ke 33 LPH. Karena selama 3 tahun kami saling baku pukul, tawuran sana-sini, justru hal itu yang menumbuhkan respek satu sama lain dan tetap solid setelah lulus. Hanya saja begitu kami lulus, BOOM !! Boy datang menghabisi semua topdog dari berbagai sekolah dan dari berbagai tingkatan kelas. Mengacaukan tatanan dan memperuncing rivalitas antar sekolah. That motherfucker came form nowhere and destroy everything. And then , pufff !! Gone with the wind.. Omong-omong kalian tahu gak itu tadi orang yang lengannya full tato hitam siapa? Hanann, hahahahha!” papar Bang Taka.
Wow. Dimana-mana nama Boy selalu muncul.
“Hanan? Manager Wisedome, abangnya Roy?” tanya Bang Trias.
“Yoi, tahun lalu sih. Tiap kali gue tanya kapan lanjut lagi, dia selalu jawab, ntar dulu, haha. Gak tahan dia sakitnya, 4 jam nonstopprosesnya. Baru kali itu sih gue lihat dia sampai nangis. Wajarlah, ini jauh lebih sakit daripada tato biasa. Tato biasa gak gak akan seluas ini cakupannya. Kalian lihat sendiri tuh, 1 lengan penuh kena rajah semua, tidak terlewat 1 centi sekalipun.”
“Eh, btw, Hanan kemana? Aneh lho, adiknya mati dibunuh tetapi dia malah menghilang. Di saat kita semua mengira Hanan akan melakukan pembalasan dan terjadi kekacauan besar di Kota, eh malah gak terjadi apa-apa.”
“Tri, jadi lo berharap terjadi kerusuhan antara Hanan dengan Deadsquad gitu?” tegur bang Sadli ke bang Trias.
“Enggak kayak gitu juga, tetapi gak ada yang menyangka Hanan diam saja bahkan kabar yang gue dengar dia udah gak kelihatan lagi di Wisedom. Sebuah reaksi tak terduga dari seseorang yang pernah jadi petinju pro disertai titel residivis.”
“Nah, itu yang justru secara permukaan terlihat tenang, damai namun bisa jadi ketenangan tersebut bagian dari rencana Hanan. Bisa jadi Hanan memang sengaja menahan diri karena pihak kepolisian sudah memperingatkannya agar tidak melakukan aksi balas dendam. This quiet situation just adding more intense. Semoga ada ‘sesuatu’ yang tidak kita ketahui yang membuat Hanan urung berbuat jauh.”
“Ameen for that,” ujar Bang Trias. Di sertai anggukan dari Bang Taka dan Bang Sindu.
***
Keesokan harinya......
“Segitunya lu mikirin Yandi....” celetuk Dea membuatku berhenti melamun.
Dea tersenyum sambil meminum es teh.
“Sorry, tadi si Zen WA gue, kemarin di sama Vinia ke rumah Yandi, tetapi Yandi gak mau keluar kamar. Entah tidur atau memang dia lagi gak mau di ganggu bahkan sama kami temannya sendiri membuat gue mulai khawatir.”
“Masih belum sembuh sakitnya?”
“Kalau secara fisik, gue tahu Yandi itu punya daya tahan tubuh yang kuat jadi gue gak terlalu khawatir. Yang membuat gue lebih khawatir justru keadaan emosi dan psikisnya. Xavi aja kemarin langsung ditarik kerahnya sampai kecekik pas dia nekat foto Yandi. Padahal Yandi udah gak mau di foto.”
“Iya, kasihan dia. Cobaannya banyak banget.”
Gue mengamini perkataan Dea. “Yandi itu tipe orang yang gak terlalu mikir dirinya sendiri. Dia mau dihajar atau dibantai sama siapapun dia tidak akan se-[i]down[/i] seperti sekarang. Hantaman terberat bagi dia itu ya peristiwa yang menimpa Dita. Perasaaan bersalah terus menghantuinya. Yandi terus menerus menyalahkan dirinya, apalagi Dita seperti benar-benar tidak mau ketemu Yandi. Padahal rumah mereka hadap-hadapan.”
“Makanya itu Yandi jadi susah move on. Dia pasti keinget Dita terus.”
“Dita sendiri gimana di sekolah? De, lo belum buru-buru pulang kan? Kalau belum gue mau pesan minum lagi.”
“Pesan aja, nyantai gue. Bagi rokoknya kalau gitu,” pinta Dea.
“Eh boleh memang ngrokok di sini?”
“Tuh lihat di pintu.”
Gue menengok ke arah pintu dan terdapat tulisan Smoking Area. Artinya boleh ngrokok di sini. Tahu gitu gue ngrokok juga dari tadi. Gue lalu menaruh sebungkus rokok Mild di meja makan sama korek gas. Dea cuma geleng-geleng. “Masak iya gue mesti cemburu sama Yandi sih.”
Gue cuma meringis sambil garuk-garuk dan memesan lagi minuman es soda gembira kepada salah satu pelayan yang sedang lewat. Sementara itu Dea sudah asyik dengan rokoknya. Dea itu perokok cuma dia ngakunya baru ngrokok kalau sama gue. Gak berani dia ngrokok di depan abangnya. Bukan masalah buat gue sih.
“Lo tadi nanya apaan?” tanya Dea.
Gue mengambil rokok yang terselip di bibir Dea dan gue hisap. “Dita, gimana dia di sekolah,” setelah beberapa kali hisapan gue balikin lagi rokok yang tinggal setengah ke Dea.
“Biasa aja sih, selain kelasnya jauh gue juga jarang ketemu dia pas istirahat. Tetapi beberapa hari lalu waktu gue pulang agak sorean dari sekolah karena ada meeting dengan pengurus teater, gue lihat Dita lagi latihan Cheerleaders. Dan ya kelihatan biasa aja sih, gak ada yang terlalu berubah. Waktu Dita ngeliat gue, dia juga lempar senyum. Antara kasihan, simpatik gitu gue ngeliat Dita tetap berusaha terlihat biasa di sekolahan. Apapun itu, gue ikut senang. Dita tahu gak kalau Yandi gak masuk seminggu karena jadi korban penganiayaan?”
Dea sengaja gak gue kasih tahu cerita sebenarnya tentang LPH yang sudah menganiaya Yandi. Karena LPH bukanlah sesuatu yang bisa gue ceritakan kepada siapapun, termasuk ke Dea sekalipun.
“Gak tahu juga sih. Sepertinya Dita berhenti datang ke rumah Yandi, bahkan untuk beli makanan di sana sekalipun. Gue ikut stress ngeliat teman gue yang paling baik dan gak aneh-aneh seperti Yandi jadi depresi berat,” keluh gue sambil menuang Fanta ke dalam gelas lalu meminumnya.
Dea tersenyum sambil membenarkan ikat rambutnya.
“Untuk saat ini, lo dan teman-teman yang lain mesti jadi teman yang siaga buat Yandi. Minta atau gak minta tolong, tetap usahakan beri perhatian. Biar dia ngrasa dia tuh gak sendirian menghadapi ini semua. Selebihnya, tergantung kepada Yandi sendiri.”
Gue diam memikirkan perkataan Dea. Dea benar, untuk saat ini gue dan teman yang lain mesti mengerti benar posisi Yandi sekarang ini. Tetapi masalahnya, tidak ada teman yang tahu tentang peristiwa Dita. Hanya gue dan Dea yang tahu masalah ini. Apa gue cerita ke anak-anak ya.
“Bingung gue,” keluh gue yang kesekian kalinya di depan Dea.
“Apalagi?”
“Tentang Dita. Cuma kita berdua yang tahu. Zen, Vinia dan Xavi gak ada yang tahu. Setahunya mereka, Yandi depresi karena setelah berita meninggalnya Axel dan penganiayaan yang ia alami.”
“Yos, jangan coba-coba lo cerita rahasia tentang Dita tanpa sepengetahuan Yandi. Untuk kasus Dita, semakin sedikit yang tahu semakin baik. Semakin banyak orang tahu, simpati dari orang lain justru bisa menambah rasa bersalahnya. Pokoknya, jangan cerita ke siapapun, oke?”
“Huah, pusing gue. Yaudahlah, mo balik sekarang?”
“Bentar, abisin rokok dulu tanggung.”
Setelah Dea menghabiskan rokok dan ke kamar mandi, kami berdua lalu pulang. Gue kemudian mengantar Dea naik motor Beat. Di jalan gue melajukan motor dengan santai, karena gak buru-buru. Dea memeluk gue dari belakang. Kami sama-sama diam karena tidak enak berbicara sambil naik motor kek gini. Sehingga di sepanjang arah pulang menuju kosan Dea, pikiran gue kembali melayang-layang. Kali ini gue mikirin tentang hal yang gue bicarakan dengan Bang Sadli cs kemarin. Pada dasarnya LPH itu bukan ancaman buat kami atau siapapun selama kami tidak melakukan dosa besar dengan melanggar “Aturan tidak tertulis”. Mereka akan berada berdiri di pihak yang netral dalam berbagai konflik yang berpotensi akan terjadi.
Gue yang sedang berpikir banyak hal sambil melamun menoleh ke kanan saat berhenti di lampu dan tepat di samping gue, ada seseorang seumuran gue yang menarik-narik gas motornya yang berada di dalam posisi netral. Berani juga dia mengendarai motor tanpa mengenakan helm di jalanan protocol area kota. Ia mengendarai Kawasaki. Kawasaki KLX 250, motor trail dengan. Cakep !!! motor seharga 63 juta memang gahar.
BRUM ! BRUM !! BRUM !!!
Dan ia menatap ke arah gue sambil menyeringai.
“Oh jadi seseorang yang dijuluki Daredevil ternyata berhenti main drag race karena cewek…”
BRUM !!
Apa? Gue gak salah dengar nih?Yang jelas ia juga sudah memanggil gue dengan julukan gue di dunia drag race illegal.
“Apa lo bilang?!” gue langsung bertanya dengan nada tinggi. Membuat Dea kaget dan meminta gue mengacuhkan orang tersebut.
“Males gue ngulang, lo udah dengar dengan jelas yang gue bilang tadi,”katanya santai.
“Mo cari gara-gara lu?” hardik gue sambil berdiri, tidak lagi duduk di jok motor.
“Emang lu berani ribut sama gue depan cewek lo,” jawabnya sinis.
“Eh lo pergi sono jauh-jauh!” semprot Dea.
“Weits galak juga, selera cewek lo boleh juga. Memeknya pasti juara nih sampe lo ogah adu balap lagi.”
SETAN !!
Dea menahan gue yang hendak turun dari motor.
TIN! TIN !!! TIN !! TIN !!! TIN !!!
“Woi jalan !! udah hijau tuh!!! kalo kalian mau ribut, minggir sana ! jangan di jalan ! bikin macet!” seru salah seorang bapak-bapak yang berteriak di belakang gue sambil terus menekan klakson.
“Yos, cepat jalan. Biarin aja dia,” bujuk Dea. Karena terus di klakson dan Dea terus meminta untuk segera jalan gue pun kembali di jok, orang tersebut kembali tertawa sinis.
“Daredevil…Daredevil my ass..”
“Anjing lu!”
Gue lalu memacu motor dengan cukup kencang untuk melampiaskan emosi. Dea sampai mengeratkan pegangan dan sepertinya berteriak agar gue memelankan laju motor. Siapapun boleh ngehina gue,[i]but don’t you dare insult my girl!![/i] . Saat gue mulai memelankan laju motor, tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara motor dengan knalpot kencang mendekati gue.
Si keparat itu lagi!!
Saat ia berada di samping gue, ia menekan-nekan gasnya sambil tertawa.
“PENGECUTTTT !!!”
Lalu ia melajukan motornya mendahului gue sekitar 10 meter di depan. Karena terbawa emosi, gue pun menyusulnya hingga kami sejajar dan membalas hinaannya.
“APA LO KONTOL !!!”
“DAREDEVIL IS JOKES! Hahaha!”
Lagi-lagi ia menarik gas dan kembali mendahului gue hingga beberapa meter di depan. Ia meliuk-liukkan laju motornya zig-zag karena ia tahu gue berusaha mengejarnya. Dan tiba-tiba ia melaju lurus sehingga gue bisa masuk dan kembali sejajar dalam kecepatan 100 km/jam.
“YOSIII….KALAH…SAMA….MEMEEEEEEK…..HAHAHHA KEJAR GUE KALAU BISA !!!”
Brum !! brum !!!
Ia kembali menekan gas dan untuk kesekian kalinya ia di depan gue. Dia sengaja menyesuaikan speednya dengan kecepatan Beat yang gue pakai. Beat jelas tidak mungkin bisa mengejar motor trail 250 cc! Ini jelas-jelas tantangan buat gue.! Berbeda dengan sebelumnya, ia sama sekali terus menjaga jarak dengan gue. Kami meliuk-liuk di jalan raya hingga gue mencapai kecepatan 120 km lebih !!! gue udah posisi menunduk untuk membelah angin namun tidak bisa optimal karena Dea sudah semakin kencang memeluk gue sambil berteriak-teriak. Sekencang apapun gue boncengin Dea, Dea belum pernah sehisteris seperti sekarang ini. Mungkin karena ia tahu gue mengebut dengan perasaan penuh emosi!
Bahkan saat mendekati persimpangan yang 3 detik lagi berubah warna jadi orange, orang itu tanpa ragu terus menekan gasnya. Pertanda ia tidak akan berminat untuk stop di lampu merah. Padahahal jarak masih ada 50 meter. Karena gue udah kebawa emosi, lampu merah pun gue hajar. Gue mengebut dan nyaris menabrak mobil yang datang dari arah kiri seandainya gue gak cekatan menghindar.
“BERHEEENTIIIIIIIIIIII YOOOOOOSSSSSSSSSSSS !!!” Dea berteriak makin keras saat gue menambah kecepatan hingga topspeed di angka 140 km/jam tanpa memperdulikan Dea yang ketakutan. Saat gue sudah berhasil menyusulnya, orang itu rupanya tidak menekan gasnya. Ia sengaja mengambil kecepatan yang sama dengan gue.
NYALI LU BOLEH JUGAAA !!
Motor kami berdua melaju paling kenceng di sisi kiri, namun lama-lama pindah ke jalur kanan alias jalur untuk roda empat! Di tengah adrenalin yang seolah naik drastis, gue baru menyadari bahwa 100 meter di depan sana ada perlintasan kereta api. Dengan kecepatan yang sekarang ini, 5 detik kemudian kami pasti sampai tepat di perlintasan. Namun saat palang kereta mulai turun, orang itu menambah kecepatannya sehingga membuat gue tertinggal.
NGEEEEEEEEEEEENGG !!
Secara nekat, dia menunduk dan berhasil menerobos kedua sisi palang yang mulai menutup turun. Sebenarnya gue yakiiinn masih bisa sempat masuk tetapi teriakan, tangisan Dea dan cubitan keras di perut membuat gue pada akhirnya menekan rem !!! bakalan beda cerita kalau gue sedang sendiri. Udah pasti gue kejar tu brengsek !! Gue tentu saja tidak langsung gue mengerem frontal depan belakang karena dalam kecepatan tinggi lalu mengerem tiba-tiba, motor bisa kehilangan keseimbangan dan kami berdua bisa terlempar ke depan. Gue tekan-tekan tuas rem ban belakang keras-keras lalu gue tambah dengan menekan tuas rem depan.
CIIIITTTT!!! Ban motor sampai berdecit di aspal dan tepat berhenti pas sebelum palang yang sudah menutup sempurna!!!
“Mau mati muda lu bocah !!” teriak seorang penumpang pria dari dalam mobil saat motor gue berhenti tepat di samping kirinya.
PLAK !!!!
Muka gue ditampar Dea dari belakang. Selanjutnya ia lalu turun dari motor dan berjalan ke belakang. Gue gak bisa muter karena motor yang lain mulai ramai dan memenuhi jalur. Saat gue berteriak memanggil-manggil Dea, kereta lewat dan melaju tanpa ragu di jalurnya. Sialan !! ngambek parah si Dea !! karena gue gak bisa menepi, gue berniat begitu palang kebuka, gue segera menyeberang rel kemudian memarkir motor di bahu kemudian menyusul Dea yang udah gak kelihatan. Di saat gue sudah merasa panik dan tidak sabar menunggu palang kereta di buka, mata gue menangkap seseorang sedang berdiri di pinggir jalan layang. Ia berdiri menaiki 1 pagar pembatas lalu mengacungkan kedua jari tengahnya ke gue sambil memandang sinis.
Gue pun membalas dengan melakukan hal yang sama!
Bakalan gue cari tuh anak, pasti !!!!!
*****
@ Kelas 1-F
Hari pertama masuk setelah absen seminggu
*****
(POV Yandi)
Seisi kelas langsung hening ketika aku masuk ke dalam kelas 5 menit menjelang jam pertama. Di pikiran mereka pasti bingung melihat ada satu siswa botak, tanpa alis dan bekas jahitan di kepala tiba-tiba masuk. Aku memang sengaja tidak berusaha menutupi dengan memakai topi atau menaikkan hoodie jaket. Aku tidak peduli dengan reaksi semua orang. Pak Sobri yang berjaga di pos security aja sampai bengong melihatku datang. Butuh beberapa saat hingga ia mengenaliku.
"Yandi? Kamu kenapa kok gitu?!"
Aku cuma diam melewatinya begitu saja tanpa berusaha menjawab. Padahal biasanya aku salaman sama dia kalau ketemu.
Dan pertanyaan di iringi tertawa semakin banyak terdengar saat aku duduk di samping Zen yang mengangguk kepadaku.
"Udah sembuh Yan?"
Aku cuma mengangguk. Sementara dari belakang seseorang memijat-mijat pundakku. Wellcome back bro!!"
Aku menoleh, Yosi ternyata. Aku tersenyum dan kulihat Xavi cuma mengangkat tangan sambil tersenyum gugup. "Hai..Yan."
Sepertinya ia masih nampak takut-takut denganku karena kejadian kemarin. "Sorry Xav. Kemarin aku sedang kebawa emosi." Kuucapkan permintaan maaf sambil menjulurkan jabat tangan.
Xavi menjabat tanganku dengan ekspresi senang. "Enggak Yan, gue yang minta maaf."
Obrolan singkat dengan temanku terhenti sejenak saat Pak Sarjito, guru pelajaran Ilmu Sejarah masuk. Pak Sarjito hanya mengangguk kepadaku saat melihatku berdiri untuk berdoa sebelum memulai pelajaran. Beliau termasuk salah satu guru yang ramah denganku karena aku cukup menonjol di mata pelajaran ini.
Saat pembacaan doa oleh Asha selesai, kami duduk kembali, aku merasakan ponsel yang aku taruh di dalam tas bergetar. Secara sembunyi-sembunyi aku buka. Ternyata ada beberapa pesan WA di grup XYZ dan grup F4 (grup khusus berisi aku, Zen, Xavi, Yosi dan Vinia) dan ada WA pribadi dari Vinia.
VINIA
senang melihatmu sudah kembali masuk =)
07.14
Aku lalu menoleh ke meja di sebelah kanan. Vinia tersenyum sambil melambai kecil. Aku balas dengan senyuman. Untuk selanjutnya ponsel aku matikan karena aku ingin segera kembali fokus d pelajaran.
Pada saat jam istirahat pertama kami berlima menuju tempat favorit kami untuk menghabiskan makanan. Tepatnya di gedung parkiran motor. Saat aku berjalan dari kelas menuju kantin, aku bisa merasakan aku menjadi pusat perhatian semua siswa dari kelas 1 hingga kelas 3. Reaksi siswi cewek hampir serupa, mereka mentertawakanku. Ada yang tertawa keras-keras ada yang mencoba menutupi tawanya. Aku sih tidak ambil pusing dan terus berjalan dengan tenang. Sementara reaksi siswa cowok terutama para bajingan, agak di luar dugaanku. Tidak ada yang tertawa. Mereka hanya melihatku dengan pandangan biasa saja. Bajingan dari kelas 2 macam Edgar, David, Heru yang berpapasan denganku lebih memilih membuang muka. Sementara reaksi anak kelas 3 jauh lebih santai, mereka menyapaku ada yang mengangguk ke arahku.
Sepertinya omongan Bram memang benar, tidak ada siswa cowok yang berani mentertawakanku, minimal tidak tertawa di depanku.
Aku di kantin hanya memesan es coffemix dan 2 buah pisang goreng, sementara Vinia, Yosi, Zen dan Xavi memilih menu makanan nasi.
“Lo Cuma pesan itu aja?” tanya Zen ketika kami sudah duduk di kursi yang tepat berjumlah lima. Sepertinya semua siswa di sekolah sudah tahu bahwa spot ini menjadi tempat kami berlima biasa berkumpul sehingga tidak ada yang mencoba menempati.
“Gila yah, gue sampai lupa lho kapan terakhir kita bisa kumpul berlima kek gini di sini,” celetuk Vinia sambil mulai makan bubur ayam.
“Hahaha sama. Sebelum UTS kayaknya sih,” jawab Xavi.
“Maklum, kita semua orang sibuk, hee,” tukas Yosi.
“Lo nyindir gue Yos?” jawab Vinia cepat.
Aku hanya menyimak pembicaraan mereka bertiga saja, belum ada minat untuk ikut nimbrung sampai akhirnya Yosi menyindirku.
“Sepertinya nambah lagi nih 1 orang Zen versi dua. Sama pendiamnya. Ayolah Yan, jangan diem-diem bae. Gak kangen apa lu ngumpul-ngumpul kek gini?”
Zen hanya tersenyum saja mendengarnya sementara aku jawab dengan singkat, “Ini aku lagi makan.”
“Yan, gimana kasus lo? Udah ketangkep belum orang-orang yang sudah menganiaya elo?” tanya Vinia.
Aku agak bingung mendengar pertanyaan Vinia. “Maksudnya?”
“Kejadian yang menimpa elo masuk Koran lokal. Lo jadi korban penganiayaan beberapa preman yang biasa berkeliaran di terminal lama. Efeknya jadi banyak razia preman sama pihak kepolisian,” tukas Zen.
“Makasih Zen,” ucap Vinia kepada Zen.
Ternyata cerita karanganku dimuat di Koran berdasarkan kesaksianku ke Pak Ramli.
“Gak tahu aku Vin, gak ngikutin berita itu.”
“Yaudahlah yang penting lu gak apa-apa. Itu ngeri juga bekas jahitan di kepala. Masih sakit gak?”
Aku menggelengkan kepala.
“Itu nanti pitak gak ya, eh maaf Yan,” celetuk Xavi spontan lalu meminta maaf buru-buru.
“Beda-beda tiap orang mah. Abang gue dulu pernah juga akibat tawuran kena lempar pecahan botol hingga sobek mesti di jahit sampe 20 kali. Ya sama kek Yandi, mesti di gundulin dulu. Tapi pas rambutnya mulai tumbuh, ya normal aja tuh. Rambut di sepanjang luka masih lebat. Jadi gak kelihatan bekasnya. Tenang aja Yan, rambut elo tebal kaku jadi gue pikir bakalan sempurna nutup bekas luka jahitan. Untuk alis juga paling dua minggu udah tumbuh normal,” papar Yosi seakan mencoba menenangkanku.
“Aku gak peduli sih tentang bekas luka jahitan jadi membuatku pitak atau tidak dan tentang alis. Masa bodoh,” kujawab dengan tenang dan spontan.
Jawabanku membuat keempat temanku terdiam. Dan suasana langsung jadi aneh. Aku pun juga agak heran dengan jawaban yang meluncur tiba-tiba dengan nada sinis padahal niat Yosi sih baik. Tetapi untuk meminta maaf atas ucapanku barusan juga tidak aku lakukan sehingga menambah [i]aknward[/i].
Di kami semua terdiam seakan kehilangan bahan pembicaraan, tiba-tiba Vinia mengeluarkan ide.
“Eh nanti abis pulang sekolah, kita langsung cuss ke mall yuk ! nonton fim ‘Bohemian Rhapsody’. Reviewnya kereeen jadi pengen nonton!”
“‘Bohemian Rhapsody’? Film tentang Queen?Boleh yuk !” tanya Yosi.
“Bukan ke Queen lebih ke Fredy Mercury sih. Bagus kok filmnya, keren terutama ending filmnya pas konser Queen di Wembley pas acara LIVE AID tahun 1985. Gue berani bilang, Rami Malek yang jadi Freedy Mercury bakalan masuk nominasi Best Actor di Oscar dan kemungkinan besar menang.”
“Eh, elu udah nonton?” tanya Vinia.
“Udah. 2 kali malahan. Pertama sama Asha, yang kedua nonton sendiri. Dan gue mau banget nonton yang ketiga kalinya bareng sama kalian.”
“Ciee lengket benar sama Asha,” goda Vinia.
“Awas lu jangan spoiler sepanjang film!” ancam Yosi.
“Zen, Yandi, kalian ikut kaaan?” bujuk Vinia.
“Gue ikut, bosen di rumah.” Jawab Zen.
Senyum Vinia yang tadinya mengembang langsung hilang saat aku menggelengkan kepala. “Maaf aku gak ikut.”
“Lhoo, kenapa? Kan elo biasanya paling semangat kalau nonton film rame-rame Yan,” Vina terlihat kecewa.
Aku diam saja tidak membeberkan alasan kenapa aku memilih untuk tidak ikut. Bahkan aku berdiri lalu pamit untuk balik duluan karena mau ke kamar mandi. Secara fisik, aku memang mulai pulih. Tetapi aku mulai tidak terlalu suka tempat ramai ataupun berkumpul.
Aku Cuma sedang ingin menyendiri dulu, entah sampai kapan.
Sampai rumah aku langsung tidur karena capek, capek dengan segala macam hal yang aku pikirkan. Aku baru bangun sekitar jam 7 malam, cukup lama sebenarnya, sekitar 3 jam aku tidur. Namun badan rasanya malah gak karuan. Mau berapa lama aku tertidur, selama pikiranku masih gak tenang seperti ini, percuma saja. Setelah mandi aku merasa jauh lebih baik, guyuran air dingin yang langsung mengenai kulit kepala, membuat pikiran jauh lebih tenang. Lebih adem. Saat aku keluar kamar mandi, aku lihat Mas Asep membawa tas gitar.
Kenapa Mas Asep bawa tas gitar?
“Yan,ini ada titipan dari temanmu.”
“Teman? Siapa Mas?”
“Teman sekolah Yandi, cewek yang penyanyi terkenal yang cakep pisan itu.Vina ya? Namanya?
“Vinia?”
“Ah iya Vinia! Pas tadi kamu mandi dia datang. Waktu aku bilang kamu sedang mandi dan mas minta untuk tunggu, dia bilang sedang buru-buru dan menitipkan ini. Lalu dia pergi.” Mas Asep menyerahkan 1 tas gitar. Wah tasnya tipe hardcase.
“Yadah, aku beres-beres warung dulu. Udah mau tutup.”
Setelah Mas Asep kembali ke depan, aku membawa tas tersebut ke kamar. Dan saat aku buka.
CTIK
Mataku terbelalak melihat gitar akustik yang baguss banget. Ketika aku baca kartu yang ada di hardcase tertulis “Samick Greg Bennett Design D8 Dreadnought Acoustic Guitar”.
Ini gitar. Mahal..
Saat aku ambil gitar tersebut, ada amplop yang terjatuh. Saat aku buka ternyata berisi kartu ucapan.
LITTLE GIFT FROM US.
**Vinia-Xavi-Yosi- Ze**
Aku tidak bisa ngomong apa-apa.
Aku tersentuh dengan pemberian mereka. Saat aku mengambil ponsel untuk mengucapkan rasa terimakasih di grup, ternyata ponselku mati total jadi aku charge dulu.
Kupegang gitar baru ini, sangat nyaman sekali. Dan suaranya sangat jernih, senarnya pun sudah ter-stem dengan baik. Lalu aku teringat lagu lama, sambil mengingat kembali kunci-kuncinya aku juga berusaha mengingat kembali liriknya.
Lirik lagu tersebut benar-benar merasuk dan mengena sekali, menggambarkan dengan sempurna perasaanku. Perasaan yang aku bingung bagaimana mengungkapkannya dalam satu lagu. Saat ponselku sudah 10% baterainya segera aku hidupkan untuk browsing chord gitar beserta liriknya. 30 menit kemudian, aku mulai menyanyikannya dengan gitar baruku.
Aku membuka jendela kamar terlihat langsung jendela kamar Dita yang terbuka, lampunya menyala namun tertutup tirai kelambu. Biasanya kami sering telpon-telponan sambil saling melihat dari jendela masing-masing. Namun sudah itu sudah berlalu. Aku ambil gitar dan berdiri di depan jendela.
“Dita ! inilah perasaanku ! dengarkan Dit!” aku berteriak di jendela, entah jika orang yang ada di bawah sana mendengarnya. Aku perlu mengungkapkan semua kegelisahanku, demi kebaikanku sendiri, demi semuanya.
Aku bernyanyi dengan semua suara yang aku miliki, aku sudah mengeluarkan semuanya.
Tiba-tiba ada yang memelukku dari belakang dan menangis terisak di punggungku.
*****
@ Kelas 1-F
Hari pertama masuk setelah absen seminggu
*****
(POV Zen)
Sepulang dari mall, setelah menonton ‘Bohemian Rhapsody’ bareng anak-anak minus Yandi.Gue keluar lagi karena gilak sebulan di rumah benar-benar membosankan. Semuanya berkat Gom.
Kapan-kapanlah gue main ke tempat Gom. Untuk saat ini ada hal yang lebih penting. Siapa lagi kalau bukan Yandi. Tadi setelah nonton film, Vinia punya ide untuk memberikan gitar kepada Yandi. Karena musik bisa menjadi penyembuh, menjadi cara terbaik untuk menyalurkan perasaan yang tidak bisa dikatakan secara gambling. Kami semua setuju dengan Vinia. Setelah patungan, kami memutuskan membelikan gitar akustik Samick yang yah cukup mahal tetapi sepadan dengan harganya.
“Duit masih bisa nabung atau minta ke ortu lagi, tetapi teman seperti Yandi Cuma ada 100 tahun sekali. Gue pengen ikut kasih sesuatu ke Yandi. Jadi ini lebih dari sekedar lu yang beliin Xav, kita semua ingin berpartisipasi.” kata gue saat Xavi ngotot saat ingin membeli gitar dengan uangnya sendiri tanpa perlu kami patungan. Xavi mengerti sehingga total harga kami bagi berempat sama besarnya.
Saat pertama gue lihat Yandi pagi tadi di sekolah, dengan penampilan barunya, gue bisa ngrasain ada sesuatu yang berubah dalam dirinya yang terlihat jelas dari gesture, ekpresinya yang kaku. Yandi yang murah senyum, ramah dan paling senang jika ada acara nonton bareng, bisa terlihat dingin saat mengatakan tidak bisa ikut nonton lalu pergi begitu saja.
Ada sesuatu yang jauh lebih besar, yang berdampak bukan hanya ke fisik tetapi juga mengguncang psikis serta mental Yandi. Tidak mungkin hanya karena kematian Axel atau peristiwa penganiayaan yang menimpa dirinya.
Namun untuk saat ini, gue tidak berusaha mencari tahu atau bertanya langsung ke Yandi. Gue ingin melihat perkembangan Yandi lebih lanjut.
Gue sedang motoran cari angin hingga ke daerah Kota XXX atas, dari sini gemerlap Kota XXX terlihat sangat indah dan menentramkan. Gue lalu berhenti di Indomaret untuk membeli minuman dan rokok. Saat gue sedang menikmati rokok sambil berjalan ke samping Alfarmart, agar bisa melihat view cakep, tiba-tiba ponsel gue bergetar.
IPUL CALLING…
Ngapain ini anak nelpon gue.
“Ada apa Pul?”
“Lagi ganggu gak bos?”
“Ganggu.”
“Hahaha. Kalau ganggu, gak usah di angkat telepon gue bos.”
“Gue lagi males ngobrol hal gak penting, gue matiin teleponnya.”
“Eh-eh bentar, gue ada info penting nih bos, tetapi bukan kabar baik sih.”
“Apaan?”
“Gue gak bisa cari tahu keberadaan Gom. Dia bukan hanya pindah sekolah, tetapi ia juga pindah beserta keluarganya. Semua teman dekatnya juga gak tahu ia pindah kemana.”
“Oh gue kira kabar apaan. Kan gue gak minta elo cari tahu keberadaan Gom.”
“Iya sih, tetapi gue gregetan bos.”
“Udahlah, urusan Gom ntar aja. Ada hal yang lebih penting yang mesti gue beresin dulu.”
“Okelah, eh bos, lagi sama Citra ya?”
“Enggak.”
“Hehehe, kirain. Yadah bos, sorri udah ganggu.”
KLIK
Gue hisap rokok kuat-kuat karena cuaca semakin dingin di sini. Melacak Gom sih perkara kecil. Bokap dia kan polisi, gue tingggal minta tolong Om Benny untuk cari tahu dimana bokap Gom bertugas, beres perkara.
Gom, gue lagi cara lain selain langsung bunuh dia sih. Enak benar kalau dia langsung gue matiin.
Dugh !!
Karena di tabrak seseorang, ponsel gue terjatuh ke trotoar cukup keras. Setelah gue ambil ponsel, gue langsung balik badan untuk menegur orang yang udah nabrak gue tanpa minta maaf.
"Mata lo kemana?!" Gue berteriak ke arah orang tersebut. Karena saat itu di trotoar cuma ada kami berdua. Dia langsung tahu bahwa gue meneriakinya.
Dia cuma menengok ke belakang lalu bilang sesuatu ke gue. "Mata gue di sinilah. Emang mata gue ada di meki emak lo."
Kepala gue langsung berdenyut saat ia meyinggung mama gue. Gue langsung berjalan ke arahnya dan mencengkeram kerah bajunya. Gue gak peduli kalau dia lebih tinggi daripada gue. Bahkan badannya pun lebih besar. Kemeja lengan panjang yang ia kenakan bermodel slim fit. Kekar badannya.
"Apa lo bilang? Lo hina Mama gue, bajingan."
"Serius? Lu mau cari gara-gara sama gue. Mood gue lagi jelek."
Gue cuma tersenyum.
BUGH!
Gue pukul orang tersebut. Orang tersebut hanya mengelus pipi yang kena pukulan gue. Sialan, rahangnya keras sekali.
"Mayan. Baguslah, pas gue lagi kesel, ada yang bisa jadi tempat pelampiasan. Kalau lu mau duel, di ujung gang itu ada tanah kosong. Kalau berani, kita kesana. Tapi sebaiknya lu pikir ulang kalau lu mau ngajak gue ribut. Just get the fuck out of my sight before you regret.."
Insting gue mengatakan orang ini berbahaya. Namun ego gue sebagai bajingan, pantang pergi kalau sudah di tantang orang membuat gue memutuskan untuk tetap diam.
"You talk to much, shithead !”
Gue lalu berjalan menuju gang yang ia tunjuk sebagai tempat due. Gue mendengar ia tertawa lalu berbicara di ponsel sambil mengikuti gue dari belakang.
"10 menit lagi lu jemput gue depan Indomaret jalan Kenari. Iya, gue ada urusan kecil sebentar. Pokoknya lu sampai di Indomaret, gue udah ada di sana."
Bangsat, jadi maksudnya dia bakal kalahin gue dalam waktu kurang dari 10 menit? Such a big mouth.
Setelah berjalan 50 meter, ternyata memang ada tanah kosong di antara rumah-rumah. Tanah kosong itu adalah lapangan badminton. Lingkungan sini banyak rumah-rumah besar yang bertembok tinggi dan berpagar rapat. Jadi sepertinya tidak akan ada yang peduli jika kami berkelahi di sini.
Gue berjalan ke tengah dan berbalik badan menghadap ke orang tersebut. Duel dengan orang berbadan sebesar ini, mesti gue habisi secepatnya. Gue yakin gue lebih gesit. Leher, dada. Dua spot itu yang akan jadi incaran gue.
"Lu yak-"
BAM!
Omongan orang itu terputus karena gue langsung menyerangnya dengan sebuah pukulan. Tetapi ia masih sempat blok dengan kedua lengannya.
"Mayan juga pukulan lo. Oke baiklah, percakapan usai."
Berikutnya kombinasi pukulan kanan kiri kanan gue bisa di tepis dan ia balas menyerang dengan pukulan kiri.
Wush! Terlalu lamban pukulannya! Gue menunduk untuk -URGH!
Gue mengerang karena tiba-tiba saja kepala gue di pegang dan di hantamkan ke lutut kanannya. Cukup telak karena gue sama sekali gak melihat gerakannya. Gue terhuyung beberapa langkah ke belakang karena mata gue mulai berkunang-kunang setelah hidung gue terkena lututnya. Dan hidung gue berdarah.
Hahaha ini keren !!!
Dia hanya berdiri tanpa memasang pose apapun. Seolah mengejek gue. Oke, ini baru di mulai. Gue berlari sambil menendangnya, sangat mudah terbaca. Karena ia menepisnya cukup dengan melindungi sisi kepala dengan lengan kiri. Begitu satu kaki menjejak ke bawah, gue langsung mengubah tumpuan kaki dan menendang perutnya.
Anj...ing....!!!
Gue yang nendang malah gue sendiri yang kaget karena gue bisa merasakan betapa tebal otot perutnya. Saat dia mengangkat tangannya hendak meninju gue dari atas, reflek gue mundur ke belakang.
Berbeda dengan sebelumnya, dia langsung mengejar dan mendorong badan gue sehingga gue bergerak ke belakang dengan cepat agar tidak terjerembap.
Kami baru terhenti saat punggung membentur tiang besi untuk memasang net.
BAM !! BAM !! dua tinju beruntun ke arah wajah gue dan di akhiri tinju kiri ke bagian rusuk.
“Uhuk! Uhukk!!”
Gue muntah darah..apa-apaan bangs- SHIT! Dunia serasa terbalik.
WUT !! BUGHH!!
Tahu-tahu gue sudah terbaring telentang di lantai lapangan badminton dengan punggung terangkat akibat reaksi hantaman yang sangat keras di bagian punggung.
Body slam....anjing...
Gue mengerang saat dada gue di injak dengan kaki kanannya.
"Just keep lay down, you punk ass! We're done here." katanya sambil menekan dada kiri gue dengan kakinya.
Kemudian ia berbalik dan merogoh saku kirinya. "Halo! Iya tunggu aja. Gue otw."
Gue belum kalah brengsek! Gue lalu mengambil batu batako yang teronggok di sisi lapangan. Sambil menggenggam batu batako gue lalu menyusul dari belakang.
Dan...
DUGH !!
Gue hantamkan batako ke kepala orang tersebut dari belakang.
Batakonya hancur jadi dua saat berbenturan dengan kepalanya. Dia langsung terhuyung ke depan sambil memegangi kepalanya.
Bangsat...dia gak roboh setelah gue hantam kepalanya...gue terkejut. Dan gue merasakan satu perasaan tidak enak.
"Cepat lari..."
Ada suara lain dalam kepala gue yang menyuruh gue untuk segera berlari. Suara tersebut seperti suara orang yang nyawanya terancam. Tapi gue gak bisa lari karena efek body slam membuat pinggul gue sakit.
Saat orang tersebut berbalik, ia memegangi kepalanya.
"Darah...hehehehe...."
Ia menyeringai dan berjalan mendekati gue.
Untuk pertama kalinya gue seperti anak kijang yang tengah terpojok, terluka dan ada seekor singa mendekati dengan hawa mengerikan. Bulu kuduk gue meremang.
Sial....sialan....
Karena gue terpojok, tidak ada pilihan lain selain mengangkat kedua kepalan tinju.
SYUT !! Gue pukul dengan tinju kiri namun ia menghindar ke kiri kemudian.
BUGH !
KREG!!
Gue bisa merasakan ada yang salah dengan tangan kiri, lebih tepatnya tulang hasta sebelah kiri.
BUGH !
Dia menghantam lagi di tempat yang sama.
KREEGGG!!
FIX.Tulang hasta kiri gue patah.
Sialan.
Tangan kiri gue langsung lunglai. Lalu rambut gue bagian atas di tarik ke atas.
"Siapa nama lo?"
Gue pukul rahangnya yang terbuka dengan segala kekuatan yang gue punya hingga sisi mulutnya berdarah.
"Hehehe..."
BUGH!!
Satu pukulan di ulu hati membuat nyawa gue seakan utk sepersekian detik melesat keluar lalu masuk lagi. Sakitnya tak bisa di ungkapkan.
"Siapa nama lo ?" Tanyanya sekali lagi.
"Ze...Zen..." Gue jawab dengan susah payah.
"Zen? Zen!" Dari cara ia mengulang nama gue dan perubahan ekspresinya. Sepertinya ia menyadari sesuatu.
"Zen dari SMA NEGERI XXX? Lo anak kelas 1 yang pernah duel dengan Eko kan?"
Cuma ada satu orang bernama Eko yang cukup meninggalkan kesan.
Eko, anak kelas 1 STM XXX. Kenapa ia bisa tahu? Jangan-jangan orang ini.." Siapa lo?"
Dia lalu mencekik gue dengan tangan kirinya yang kokoh dan dia cengkeram cukup kuat. Membuat gue tercekik.
"Urrgghhh!!"
Anton - STM XXX TOP DOG
Bangsat, jadi ini yang namanya Anton. Sekarang gue paham kenapa Axel pernah mengatakan jika gue atau Yandi ketemu dengan Anton, kami di minta untuk lari.
Hahaha ! jangankan lari...Ini gue malah ga sengaja mengajak dia berkelahi...gak heran gue di bantai dengan mudah...
Anton mengangkat tangannya sehingga kaki gue gak menapak, saat gue udah megap-megap, Anton melepas cekikannya dan menjejak dada gue sehingga gue terjerembap ke semak-semak.
“Silahkan kalau elo mau lapor ke teman-teman sekolah lo, gue sambut dengan senang hati, biar gue hancurin sekalian kalian semua.”
= BERSAMBUNG =
Wkwkwk zen ketemu gorilla
ReplyDeleteAnton, bukannya STM XXX...???
ReplyDeleteMaaf, Boss Serpanth...
Makasih untuk apdetnya...
maklum lae...kofee menitipisssss...
Deleteudah gw bnerin
Hahaha...gila selalu merasa kurang... Lanjut lg om panth๐๐
ReplyDelete