LPH #64
Episode 64
Painfull Hero
(pov : Yandi)
Aku tersadar setelah aku merasakan hampir sekujur badanku pegal, perih, nyeri, ngilu. Terutama di bagian punggung belakang saat aku bisa menggeliat. Namun saat aku hendak membuka mata, ternyata aku agak kesulitan. Terutama di bagian mata sebelah kiri.Ketika aku bisa ngebuka mata, hanya mata sebelah kanan yang bisa ngliat. Sementara yang kiri tetap tidak bisa aku buka. Reflek aku meraba mata kiriku, ternyata tertutup perban. Perih dan bengkak di bagian kelopak mata.
Tirai warna hijau di sebelah kanan nampak familiar dan bau khasnya. Oh tidak aku berada di klinik masih mengenakan baju yang kotor dan lusuh.
Setelah beberapa saat aku baru ingat peristiwa yang terjadi kepadaku. Terakhir aku berkelahi dengan orang bertopeng duri. Tetapi dua pukulanku seperti tidak berefek apa-apa. Kesadaranku nyaris hilang ketika aku ditampar beberapa kali, panas luar biasa mukaku. Itu adalah tamparan paling perih dan sakit yang pernah aku terima. Hingga hidungku berdarah. Di ambang kesadaran, badanku seperti terlempar hingga kepalaku membentur dinding keras sekali.
Namun hantaman di kepala tersebut yang justru membuatku bisa “bangun”. Darah yang mengucur menutupi pandangan mata tidak aku perdulikan. Perasaan dipermalukan yang membuatku sanggup untuk melawan rasa sakit, aku berdiri sambil merambat ke dinding. Saat orang yang bertopeng VENOM mendatangiku sambil membawa baton stik. Aku menyerangnya namun seranganku sangat serampangan, asal pukul sehingga dengan mudah si Venom menghindariku. Lalu tiba-tiba aku terkena pukulan keras sekali mengenai telinga kanan.
Selanjutnya aku tidak ingat apa-apa lagi.
Baru ini aku tersadar.
Rasa sakit yang kualami sekarang ini seperti mirip dengan rasa sakit akibat tawuran di aula.
Siapa yang membawaku kesini??
SREEKKK !!
Tirai yang tadinya tertutup rapat tiba-tiba terbuka dari luar. Mbak Asih diikuti seorang pria mengenakan seragam khas Polisi.
“Kamu udah siuman dek?” Mbak Asih mendekatiku sambil memegang keningku. “Kamu demam.”
“Aku dimana ini Mbak ?”
“Kamu sekarang ada di klinik Medika. Bu Shinta yang menghubungi Mbak bahwa kamu di rawat di klinik.”
Aku bingung. Tidak mungkin para penyerangku yang telah membawaku kesini.
“Biar Bapak jelaskan apa yang terjadi. Saya Ramli dari Polsek X4. Jadi begini dek, pagi tadi ada salah seorang warga yang menemukanmu pingsan tergeletak di pinggir jalan. Awalnya kamu dikira korban pembunuhan karena banyak darah di bagian wajah dan banyak luka-luka,setelah di periksa ternyata kamu masih hidup. Lalu warga melapor ke Polsek X4. Jadi kamu segera kami bawa ke klinik agar segera mendapatkan pertolongan. Setelah kami olah TKP, kami menemukan dompetmu.
Isinya kosong namun beruntung kartu siswa masih ada, sehingga kami bisa melacak ke sekolahanmu. Singkat cerita, dari Bu Shinta, wali kelasmu kami dapat alamat rumah kerabatmu. Setelah Bu Shinta mengabari kakakmu, kami lalu datang ke rumah dan menjemput kakakmu untuk memastikan apakah kamu adalah Yandi Raharjo. Syukurlah ternyata benar,” papar Pak Polisi yang ramah dan sabar ini.
“Dek, kamu masih ingat gak siapa yang menyerang dan memukuli kamu hingga seperti ini? Bukan hanya memukulimu, mereka juga menggunduli rambut dan mencukur kedua alismu?” tanya Mbak Asih.
Apa ? Aku di gunduli dan kedua alisku di cukur? Reflek dari tadi aku merasa ada yang sedikit berbeda. Aku mengelus kepalaku dan memang benar aku digunduli hingga licin. Okelah, rambutku digunduli mungkin ketika aku pingsan di Catacomb, tetapi saat meraba kedua alisku juga licin !!!! Ini penghinaan....Saat aku meraba, aku menyentuh salah satu bagian di kepalaku yang masih tertutup perban. Langsung aku meringis karena perihsekali.
“Kepalamu bocor dan mesti dijahait 14 kali pagi tadi. Sama kamu ada gejala gegar otak ringan,” jelas Mbak Asih yang kali ini terlihat gurat khawatir, tidak ada ekspresi dia hendak memarahiku. Tapi beda cerita kalau aku cerita sesungguhnya ke Mbak Asih dan di depan petugas Polisi kalau aku dibantai lalu di buang oleh sekelompok orang bertopeng yang menyebut diri mereka dengan LPH. Jadi aku mesti mengarang cerita.
“Kemarin siang aku main ding-dong di dekat terminal lama. Kemudian pas mau pulang, aku dipalak... Pas aku kasih duit mereka gak mau, karena gak sampai limapuluh ribu. Mereka malah mencoba merampas ponselku. Aku melawan dan berhasil mengalahkan dua orang pemalak... Namun saat aku hendak segera pergi, teman para pemalak datang mengejarku. ...Jadi aku lari namun pada akhirnya aku ketangkap karena kurang kenal daerah sana.... Pas dipukulin itulah aku pingsan dan gak ingat apa-apa lagi,” aku mengarang sebisaku dan selogis mungkin. Pak Ramli hanya mengangguk-angguk saja.
“Kamu masih ingat dengan orang yang memalak dan memukulimu?” tanya Pak Ramli.
“Aku....lupa...pak...Wajah mereka. Biasa saja sih, yang jelas usia mereka 20 an ke atas...ugh,” aku menjawab dengan terbata-bata sambil sedikit mengerang kesakitan saat mengubah posisi kepala saat berbaring.
“Daerah terminal lama memang termasuk rawan, banyak preman. Seharusnya kamu jangan pergi ke sana sendirian atau kalau perlu setelah ini kamu jangan main kesana lagi. Selain terminal lama, tempat kamu ditemukan warga juga jadi tempat rawan akhir-akhir ini. Bulan lalu ada dua orang yang ditemukan dengan kondisi mirip denganmu, korban begal, tetapi luka mereka jauh lebih parah. Kalau gak ditemukan warga dan dibawa ke klinik lebih cepat, mereka berdua bisa meninggal di lokasi. Oke, Mbak Asih saya mohon diri dulu. Kalau ada perkembangan kasus ini akan saya kabari.”
“Iya Pak makasih banyak udah ngrepotin Bapak, saya sih yang penting adik saya bisa cepat pulih,” Mbak Asih lalu menjabat tangan Pak Ramli.
“Cepat sembuh ya dik, biar bisa kembali ke sekolah. Udah, gak usah bangun. Permisi,” sahut Pak Ramli ketika aku hendak bangun menjabat tangan beliau namun beliau memintaku untuk tetap berbaring. Setelah Pak Ramli pergi, Mbak Asih membuka seluruh tirai sehingga aku bisa melihat dua orang pasien yang juga sedang di rawat sedang berbaring ditemani sanak keluarga.
“Mau minum?” tanya Mbak Asih.
Aku mengangguk.
“Air putih ya,” kata Mbak Asih sambil membukakan sebotol air mineral yang masih baru dan sedotan panjang. Jadi aku masih bisa minum tanpa menegakkan kepala. Sambil mengelap leher wajahku yang berkeringat, Mbak Asih aku lihat malah sambil menahan senyum.
“Kenapa Mbak senyum-senyum sendiri?”
“Kalau lihat kamu gundul plontos kek gini, kamu jadi kayak anak kecil. Kamu dulu kan sering di plontos sama Bapak. Sudah gitu item lagi, jadi kayak dakocan,” Mbak Asih tertawa namun sambil menutup mulutnya.
“Asem, dakocan.”
“Udah gitu, alismu ilang pula. Mbak marah sih sama orang yang udah cukur alismu ini, Mbak hajar malahan kalau ketemu pelakunya. Tapi tiap ngliat kamu dik plontos licin tanpa alis, lucu bener hahahha!” akhirnya Mbak Asih tertawa lebar sudah gak kuat menahan tawanya.
Aku pura-pura sebal namun aku senang karena Mbak Asih masih bisa tertawa lepas. “Mbak, maaf ya udah seriing banget ngrepotin Mbak.” Aku meninta maaf ke Mbak Asih, entah semakin lama semakin sering aku merepotkan Mbak Asih. Ada kalanya dia marah besar, lain waktu dia tidak marah justru memanjakanku, seperti sekarang ini.
“Ya mau gimana lagi, kita tinggal berdua saja sekarang ini. Mending kamu bikin repot Mbak daripada ngrepotin orang lain.” Mbak Asih mengambil botol mineral setelah aku selesai minum dan ditaruh ke meja.
Aku tersenyum kecut dan perasaan bersalahku semakin besar.
“Mbak , gak jualan hari ini?”
“Warung tetap buka kok, Mbak kemarin ambil 1 orang lagi buat bantu-bantu di warung. Kasihan Mbak Wati kalau apa-apa sendiri semisal Mbak ada perlu atau lagi belanja ke pasar.”
“Oh iya, orang mana mbak?”
“Orang di gang sebelah. Mas Asep. Udah langganan juga ma kita kan, jadi udah tahu apa yang mesi dikerjain. Mayan buat bikin minuman, cuci-cuci piring peralatan, bersih-bersih warung kadang belanja ke pasar. Biar Mbak Wati khusus buat masak-masak aja.”
Mas Asep, aku ingat tetangga yang tinggal di gang sebelah. Sering makan di warung juga. Orangnya sama seperti kami sih, perantau dari kampung. Tetapi beda daerah asal.
“Bukannya Mas Asep jualan mainan keliling ?”
“Iya, beberapa hari yang lalu pas selesai makan, dia lunasin utang sekalian pamitan. Waktu Mbak tanya kenapa kok tiba-tiba pamitan. Mas Asep cerita sejak SD Binamarga yang jadi tempat dia biasa mangkal jualan, di relokasi, dia jadi susah dapat pembeli. Dari tempat kita kan SD Negeri jauh-jauh, yang dekat itu malah SD Swasta yang anak orang kaya, jadi gak laku dagangan Mas Asep. Akhirnya dagangannya di jual ke pasar, uangnya buat bayar utang dan mau pulang ke kampung. Karena Mbak kasihan dan kebetulan Mbak emang mau cari orang 1 lagi buat bantu-bantu di warung, jadi Mbak tawarin mau bantu kerja di warung gak. Bayarannya gak seberapa, tetapi cukup sih untuk kebutuhan sehari-hari. Apalagi dia dapat jatah makan di warung. Begitu aku tawarin, dia langsung bilang mau-mau gitu sambil cium tangan dan sujud syukur dek. Haduh, antara terharu senang lihat reaksi Mas Asep.”
Mbak Wati ini meskipun orangnya galak tetapi kalau urusan bantu orang, paling ringan tangan apalagi kalau dalam posisi bisa nolong orang. Kadang kalau ada pengemis orang kurang mampu yang pesen makan cuma pake nasi, kuah sama krupuk, air putih aja bisa di kasih ayam goreng dan kasih es teh. Gratiis gak mau dibayar. Mbak Wati juga gak keberatan kalau ada yang hutang di warung. Biasanya tukang-tukang yang ada projek di sekitaran situ. Mbak Wati santai aja sih kalau ada yang ngutang tetapi gak di bayar dan orangnya pergi gitu aja.
“Biarin dek, kita berprasangka baik saja, siapa tahu ada keperluan mendesak lainnya. Gak bikin kita miskin atau bangkrut kok, bagian dari ilmu sedekah,” terang Mbak Wati.
Fiuh, Mbak Wati memang luar biasa sih dia. Sikap welas asih ini nurun dari Orang tua kami yang kalau nolong tetangga atau saudara gak pake hitung-hitungan. Semisal ketika ada edaran sumbangan perbaikan mesjid di kampung, bapak lagi gak pegang banyak duit. Beliau akan nyumbang tenaga, ikut nukang di mesjid tanpa minta bayaran atau jatah. Ibu apalagi, paling gak bisa kalau ada tetangga mau pinjam duit untuk makan. Gak bisa kalau gak kasih pinjaman meski cuma sepuluh, duapuluh ribu atau beberapa liter beras. Dan kalau ada tetangga punya hajatan, bisa seharian ibu bantu masak, tata piring atau gelas sampai acara selesai. Jadi tidak heran jika sifat ringan tangan Bapak, Ibu dan Mbak Asih juga menular kepadaku.
Mbak Asih tahu benar bahkan hapal kalau pada dasarnya ketika aku terlibat perkelahian, aku bukan berada di pihak yang memulai. Aku hanya sebagai pihak yang bereaksi. Terutama ketika ada teman yang memang tidak bersalah, dianiaya atau di bully. Mana mungkin aku tinggal diam. Memang untuk kasus Oscar, bisa jadi pengecualian. Nuraniku lebih mengalahkan akal sehat, saat melihat Oscar dikeroyok tanpa peduli duduk permasalahan atau Oscar musuh kelompok kami, namun karena dia tetap seniorku di sekolah, aku nekat membantunya. Gak terbersit di pikiranku kalau aku membantu Oscar untuk cari muka atau pamer kekuatan.
Kalau kemudian aku kena batunya, di bantai LPH. Itu resikonya. Aku marah ? jelas !! apalagi aku digundulin sampai alis di cukur. Namun LPH bukan tandinganku. Level mereka berbeda.
LPH, peraturan tidak tertulis, judgement street…
Sepertinya jika aku bertanya kepada Yosi, dia akan membuatku lebih mengerti tentang itu semua.
“Mbak, kapan aku bisa pulang?”
“Besok pagi. Ini udah jam 7 malam. Tapi kamu mesti tetap istirahat di rumah, rawat jalan paling tidak seminggu. Mbak sudah kirim surat ijin dari Dokter klinik ke Bu Shinta.”
Duh seminggu…
“Mbak, ponsel Yandi ada gak?” aku baru inget tentang ponselku.
“Gak ada dek, Polisi Cuma nemu dompet. Mbak coba telepon juga udah gak aktif. Biarin lah ponselnya kan bekas Mbak. Nanti Mbak belikan yang baru dan nomermu yang lama bisa di aktifkan lagi di Operator Center.”
Bukan, bukan masalah itu ponsel butut atau masalah nomor ponsel. Semua kontak di ponsel tersebut juga ada back-upnya di gmail. Yang membuatku sedih dan merasa kehilangan adalah foto-foto di ponsel.
Foto bersama teman-teman bisa aku minta lagi tetapi ada foto-foto yang jauh lebih berharga. Yakni foto-fotoku bersama Dita. Setiap aku pergi bersama Dita, aku sering mengabadikan momen bersamanya. Aku selalu menunda-nunda ketika ada keinginan untuk mengcopy foto-foto di memory card ke flashdisk. Namun kini terlambat. Hilang sudah semua foto-fotoku dengan Dita.
Dita, aku kangen, kangen banget sama kamu Dit…
Keesokan harinya aku sudah boleh pulang. Mbak Wati Cuma geleng-geleng melihatku turun dari taksi dengan wajah lebam dan plester menutupi mata kiri karena masih bengkak di sekitaran mata. Namun gelengan kepala Mbak Wati berubah jadi tawa ketika aku melihatku dari dekat.
“Ya ampun Yann! Itu alismu kemana? Duh itu kenapa kamu juga gundul sih,” komen Mbak Wati sambil tertawa.
Aku Cuma bisa tertawa garing lalu berjalan pelan-pelan menaiki tangga menuju kamar. Aku menolak saat Mbak Asih memintaku untuk beristirahat di kamarnya agar aku gak perlu naik-turun tangga. Begitupun juga saat Mbak Wati atau Mas Asep hendak membantuku naik ke atas. Aku gak mau ngrepotin. Sampai di kamar, aku segera berbaring hati-hati karena punggungku masih terasa sakit. Begitu aku bisa berbaring dan dapat posisi nyaman, ditambah dengan hembusan angin sepoi-sepoi dari jendela yang aku buka setengah, aku menguap dan segera terlelap.
Aktivitasku di rumah lebih banyak berbaring, tiduran sambil baca komik atau novel yang dulu aku beli namun sama sekali belum aku baca. Ketika aku diminta untuk bedrest dan tidak ada ponsel, aku jadi punya lebih banyak waktu untuk membaca buku. Di saat aku merasa bosan di kamar, Yosi, Xavi, Astra, Wira dan Riko tiba-tiba sajamasuk ke dalam kamar yang pintunya yang memang kubiarkan terbuka. Dan reaksi pertama mereka saat melihatku adalah sama persis.
Berusaha menahan tawa saat melihat penampilanku.
Karena jengah, aku lalu bilang ke mereka. “Kalau mau ketawa, ketawa aja. Gak usah d tahan.”
Detik itu juga mereka tertawa lepas, Xavi ketawa ngakak sampai sakit perut, Yosi ketawa sampai nangis, Astra ketawa sambil hadap tembok, Wira ketawa sambil nunduk, Riko ketawa tetapi mukanya ditutupin tas.
Asu..
Mereka baru berhenti tertawa ketika aku bilang, “Udah puas belum ketawanya?Kalau masih pada ketawa mending pulang aja sana, aku masih mau istirahat.”
Setelah semua berhenti tertawa, selain “penampilanku” yang baru, mereka menyadari bahwa cidera dan lukaku cukup parah. Terlihat dari plester di muka, terutama perban yang menutupi mata sebelah kiri dan perban memanjang di atas kepala. Masih terlihat sisa lebam. Karena aku tidak ada kabar, hanya ijin sakit, dikiranya aku sakit demam atau apa. Namun cukup melihat luka dan cidera yang kualami, sudah pasti mereka tahu itu akibat perkelahian.
“Lu berantem? Sama siapa?” tanya Yosi.
“Kenapa lu gak kasih kabar ke kita sih Yan? Nomor lu dari kemarin gue telepon gak aktfi, di WA cuma centang satu,” Astra ikut bertanya.
“Iya, waktu kami tanya Bu Shinta, beliau bilang lu sakit dan butuh istrihat. Gak bilang sakitnya kenapa,” timpal Xavi.
“Jangan-jangan lu digebukkin anak STM XXX atau anak SMA SWASTA XXX?” tanya Wira tiba-tiba.
“Atau malah dihajar kru CHC?” celetuk Riko.
Keempat temanku langsung menatap ke arah Riko. “Woi mabuk lu gak ada hubungannya Yandi dengan peristiwa penyerangan CHC keles,” tegas Wira.
Reflek aku memandang ke arah Yosi. Dia juga langsung menengok ke arahku. Dengan gerakan halus, dia menyilangkan satu jari di depan mulut. Kode bahwa dia masih menyimpan rahasia besar yang aku ceritakan kepadanya. Aku mengangguk pelan. Sebenarnya kalau di runut secara tidak langsung aku masih terhubung dengan peristiwa penyerangan kru CHC sih karena Dita itu pacarku. Motif paling gampang ya pacar Dita balas dendam ke Roy sampaia terbunuh dan melukai kru CHC lainnya. Baguslah, motif atau dugaan yang berkembang tentang peristiwa penyerangan kru CHC karena perseteruan antar geng adalah motif yang paling dipercaya masyarakt dan teman-temanku.Yang penting kasus Dita tidak ikut terekspose. Aku sedikit lega karena pelaku utama Ro sudah mati, meski bukan mati di tanganku.
“Ya bisa aja kali, kru CHC main hantam aja anak-anak yang di curigai termasuk bagian dari pelaku penyerangan. Apalagi anak dari sekolahan kita, SMA SWASTA XXX dan STM XXX,” jelas Riko.
“Kalau pake dasar logika seperti yang elu sampaikan barusan, udah pasti ramai sekarang berita para siswa dari ketiga sekolah yang di serang. Bisa jadi kita juga sasaran. Tetapi buktinya keadaan yang di prediksi mencekam karena aksi pencarian pelaku penyerangan ke CHC untuk balas dendam, gak terjadi. Gak ada berita kerusuhan atau tawuran dalam seminggu terakhir ini, adem ayem ini Kota XXX,” balas Wira.
“Ya bisa saja kru CHC tiarap dulu karena patroli dan penjagaan polisi di titik-titik lawan tawuran di perketat,” Riko masih tak mau kalah.
Wira lalu menimpuk Riko dengan topi yang ia kenakan. “ Justru omongan lu barusan mempertegas bahwa CHC gak mungkin bergerak atau nyerang Yandi karena alasan pengetatan keamanan oleh Kepolisian.”
Good ! Aku suka dengan pemikiran logis dari Wira. Riko yang kena skakmat dari Wira cuma meringis dan memakai topi yang di lempar ke arahnya. “Ya namanya juga pendapat.”
“Dasar lu berdua netijen pakar ilmu tawuran, daripada ngemeng gak jelas, tuh tanya sama teman kita yang jadi korban,” sergah Astra.
“Hahaha, emang tuh dua orang. Malah ribut sendiri. Yadah pada diem gih, kelihatan lempeng banget tuh wajah Yandi. Biar dia yang jelasin,” ujar Xavi menengahi.
Aku cuma geleng-geleng sambil tersenyum. Kangen banget aku ke sekolah dan ngumpul sama mereka. Aku lalu menceritakan kebohongan yang sama yang aku ceritakan di depan Mbak Asih dan petugas polisi. Sepertinya “cerita” tersebut dipercaya oleh keempat temanku, kecuali Yosi yang hanya manggut-manggut. Astra menimpali bahwa ia dulu juga sering main di arena ding-dong dekat terminal lama, namun ketika terminal tersebut sudah tidak jadi pemberhentian bus, daerahnya sana jadi rawan kejahatan. Banyak preman.
“Gue juga pernah kena palak preman waktu main ding-dong di sana. Duit 25 ribu melayang, untung waktu itu gue gak bawa ponsel, kalau iya bisa kena rampas juga tuh ponsel. Abis itu gue kapok dah. Mending gue main PS aja di rental deket rumah,” komen Astra yang malah memperkuat kebohonganku.
“Lu gak berniat balas dendam kan Yan? Mereka preman lho,” tanya Xavi khawatir.
“Ya enggaklah, udah lupa juga muka orang-orang yang udah palak dan ngeroyok,” jawabku singkat.
“Jadi kapan lu bisa masuk ke sekolah lagi? Vinia kangen tuh haha. Dia mau ikut jenguk tapi ada acara off-air. Jadi nitip salam aja dia. Eh gue foto lu aja ya, gue share di grup kita berlima. Pasti kaget dia lihat penampilan elo haha. Zen juga udah aktif WA tuh, rencananya dia bisa masuk seminggu lagi,” tukas Xavi sambil hendak mengambil fotoku.
Namun aku segera menutup mukaku dengan guling.
“Ya elah Yan. Gak usah malu.”
“Gak, bukan masalah malu. Toh nanti aku masuk sekolah, alis sama rambutku masih belum tumbuh. Satu sekolahan bisa ngelihat. Yang jelas saat ini aku lagi gak ingin di foto.”
SETTT!!
Tiba-tiba Xavi mengambil guling yang aku pakai untuk menutupi kamera ponsel.
KLIK !
Emosiku langsung naik karena Xavi dengan lancang memfotoku.
“UDAH AKU BILANG AKU GAK MAU DI FOTO !!!! MASIH NEKAT !! HAPUS SEKARANG !!!!” aku berteriak dan reflek aku menarik kerah baju seragam Xavi ke arahku. Aku pelintir kerah bajunya.
Tawa Xavi langsung hilang dan reaksiku membuat teman-temanku kaget.
“Eh Yan, santai Yan, aku cuma bercanda, aku hapus, aku hapus, lepasin dulu, itu, aku kecekik.”
Sontak teman-teman langsung memegangi kami berdua. Yosi mencoba melepaskan cengkramanku di kerah Xavi. Namun aku benar-benar memeganginya dengan kencang-kencang.
“Yann!! Sloww Yan !!! Ini kecekik si Sapii!!” teriak Yosi panik.
Aku baru melepas cengkeramanku saat wajah Xavi mulai merah. Ku dorong Xavi hingga menjauh. Yosi kemudian merangkulku dari samping, sementara Astra segera mengambil ponsel Xavi dan menghapus fotoku yang diambil Xavi di depanku.
“Tenang, tenang Yan! Ini gue hapus, gue hapus foto lu. Dah aman,”ujarnya cepat.
“KALIAN GAK TAHU KAN APA YANG SUDAH AKU ALAMIN DAN RASAKAN SEMENJAK PERISTIWA MALAM ITU DI AULA SEKOLAH !!! AKU NGRASAIN NERAKA DUNIA TAHU GAK ?! KAMU XAVI! HARUSNYA KAMU TAHU KAPAN WAKTUNYA BERCANDA, KAPAN HARUS SERIUS !!!” aku berkata keras kepada teman-temanku sambil menuding ke arah Xavi yang kujadikan sasaran kemarahan. “Lepasin Yos...” aku juga meminta Yosi untuk melepas rangkulannya.
“Maaf...maaf Yan. Sumpah aku cuma bercanda tadi,” Xavi mencoba mendekatiku tetapi Wira menahan Xavi untuk tetap di tempat. Aku bisa melihat raut muka bersalah dari Xavi. Segala hal termasuk kemarahan, kesedihan, kekecewaan, penghinaan, tekanan mental dan deraan fisik yang aku tahan-tahan, pada akhirya meledak juga dan kulampiaskan di depan teman-temanku. Aku ngrasa bersalah tetapi mulutku terkunci untuk meminta maaf.
“Udahlah, kalian pulang sana. Aku masih mau istirahat,” aku lalu berbaring sambil menahan sakit di bagian punggung. Aku memiringkan badan menghadap ke dinding. Lalu mereka pamitan dan sekali lagi bilang minta maaf serta menunggu kembali kedatanganku di sekolah.
DUK.
Aku bisa mendengar pintu kamarku ditutup dari luar dan kamar yang tadinya ramai kini sepi.
“Nah, mereka berempat udah pulang. Sekarang lu mesti cerita ke gue, cerita yang sebenarnya Yan. Gue tahu elu capek tetapi lu mesti cerita sekarang, biar gue bisa bantu elu !”
Aku terkejut karena mendengar satu temanku ternyata masih tetap tinggal. Itu suara Yosi.
Aku lalu kembali berbaring kemudian duduk.
“Sory Yos, emosiku sedang labil. Tadi aku gak bermaksud marah atau nyakitin.”
“Iya gue tahu, nanti gue jelasin ke Xavi. Dia pasti ngerti. Sama halnya gue mengerti betapa beratnya cobaan yang elu hadapin. Secara mental, psikis dan fisik udah terlihat jelas lu benar-benar kecapekan. Tentang konflik di sekolahan ,tentang berita meninggalnya Axel, dan tentang Dita. Kalau gue jadi elo, entahlah gak terbayangkan.”
Aku menatap langit yang mulai mendung. Setelah menghela nafas panjang, aku ceritakan kepada Yosi peristiwa yang sebenarnya aku alami hingga luka-luka seperti ini. Yosi pendengar yang baik sama dengan Zen, dia mendengarkan semua ceritaku tanpa menyela omonganku sedikitpun. Ekspresinya tetap tenang ketika aku cerita tentang keputusanku menolong Oscar. Namun ekspresinya langsung berubah kaget hingga kedua alisnya naik ketika aku menyinggung tentang LPH, Catacomb dan lima orang bertopeng yang sepertinya menjadi leader LPH. Aku bercerita bagaimana ketika mesti memilih dua dari lima leader sebagai satu-satunya jalan keluar kami dari Catacomb. Tetapi aku kalah total dan aku dihabisi begitu saja.
“Kenapa aku di gunduli dan kedua alisku di cukur oleh mereka, aku yakin ini menjadi salah satu hukuman sekaligus peringatan, biar aku ingat bahwa ada urusan yang seharusnya tidak boleh aku campuri.”
“Ternyata LPH memang ada. Last People’s Hood. Komunitas bawah tanah yang menjaga satu ‘aturan tidak tertulis’ yang tidak ada yang berani coba-coba melanggarnya. Mereka sepertinya ingin menjaga setiap masalah yang terjadi di satu sekolah, di selesaikan sendiri oleh murid disana. Haram hukumnya jika membawa orang lain. Untuk kasus Oscar, entah dia nekat atau menganggap LPH hanya mitos, justru secara terang-terangan melibatkan alumni ke urusan internal sekolah, dalam hal ini urusan para bajingan seperti kita. Karena memang tidak ada orang yang secara langsung melihat kelompok misterius tersebut. Identitas mereka apalagi. Yang jelas mereka pasti bukan bajingan sembarangan. Lu udah ngrasain sendiri kan?”
Aku mengangguk mengiyakan penjelasan Yosi.
Dua alumni yang dimaksud Yosi sudah pasti Opet dan Ander. Keterlibatan keduanya memang berdampak luar biasa terhadap jalannya tawuran. Aku setengah mati mengalahkan Opet sementara Ander juga berhasil dikalahkan oleh tagteam Yosi dengan Xavi. Jadi rasanya “wajar” jika aku ikut dihabisi karena udah lancang mencampuri hal yang tabu. Mendengar penej
“Yos, kamu kenapa?”
Aku bertanya ke Yosi karena aku heran dengan perubahan ekspresinya. Dia seperti terkejut sendiri dengan perkataannya. Entah di bagian mana.
“Yan, sepertinya...Gue tahu identitas asli orang-orang bertopeng yang lu hadapin...” jawab Yosi pelan.
“Apa? Kamu tahu identitas mereka? Serius?”
“Sebentar, tadi lu cerita ada lima orang bertopeng yang sepertinya jadi leader LPH? Yakin lu lima, bukan empat?” tanya Yosi seolah ingin memastikan.
“Yakinlah, ada lima. Yang aku hadapin memakai topeng berduri, yang satu lagi bertopeng Venom. Sementara tiga lainnya memakai topeng Babi, topeng Anonymous dari film ‘V For Vendetta’ dan topeng badut pembunuh di film ‘Saw’.”
“Lima orang ya, namun gue yakin empat dari lima leader LPH, gue kenal dan tahu identitas mereka.”
“Siapa mereka Yos?”
Yosi menatap gue. “Sori untuk sementara gue gak bisa cerita ke elo dulu Yan, gue mau pastiin dulu ke empat orang yang gue kenal. Yang orang kelima, gue gak tahu.”
“Pastiin ke mereka? Bagaimana? Kamu datang menemui mereka dan langsung nanya, ‘Kalian sebenarnya leader LPH, kan?’ gitu. Mereka kuat Yosi, gak mungkin mereka mau ngaku.”
“Ya gak gitu juga kali nanyanya Yan. Gak bisa langsung to the point. Tenang saja, di dunia nyata mereka tidak berbahaya atau minimal bukan tipikal orang hajar dulu baru nanya. Tentang kejujuran mereka, gue punya kartu AS yang gue yakin membuat mereka tidak bisa mengelak atau berbohong ke gue. Sebentar gue tanya, kalau semisal lu gue kasih tahu identitas asli keempatnya di RL, lu mau ngapain? Datangin mereka?”
Aku mengangguk.
“Iya.”
Yosi menepuk jidat mendengar jawabanku. “Mo ngapain lagi lu ? Balas dendam?”
Kali ini aku menggelengkan kepala. “Enggak, aku mau berterimakasih sama mereka.
“Lu mau berterimakasih? Gue malah semakin gak mau ngasih tahu ke elo identitas keempat leader LPH di RL Yan, serius.”
“Sebaiknya memang jangan. Kamu simpan saja rahasia identitas mereka. Demi kebaikanku dan kebaikan ‘mereka’. Terutama kebaikan orang yang sudah menggunduli rambut dan alisku.”
Aku menatap tajam ke arah Yosi dan aku bisa melihat dengan jelas Yosi mulai berkeringat.
Ada satu sifat asing yang mulai “tumbuh” dalam diriku, entah perasaan apa ini. Semakin aku merenung memikirkan berbagai cobaan yang sudah menimpaku, sifat asing tersebut semakin membesar.
Aku masih bimbang, apakah membiarkan perasaan asing itu tumbuh semakin besar atau mengendalikannya.
***
Ini hari ketujuh aku bedrest di rumah, nyeri di punggung sudah semakin membaik meskipun belum sembuh benar. Namun tidak jadi masalah karena aku juga mulai nyaman untuk tidur dalam posisi berbaring. Meskipun tidurku tidak pernah merasa nyenyak. Sering terbangun jam 1 atau 2 pagi lalu terjaga hingga pagi. Terlalu banyak yang aku pikirkan namun tidak ada satu pun pikiran yang membuatku tenang.
Besok aku sudah bisa masuk sekolah. Aku masih belum memakai baju setelah mandi kemudian aku berkaca di depan cermin lemari baju.
Masih ada 3 plester yang belum aku lepas karena belum kering benar lukanya, sedikit ada darah kering. Besok sih seharusnya sudah kering total. Aku mengelus luka memanjang di kepala bekas 14 jahitan yang sudah kering. Aku masih menduga kepalaku sempat tergores sesuatu yang ada di dinding sebelum terbentur sehingga luka sobeknya cukup panjang. Semoga nanti saat rambutku mulai tumbuh, luka ini bisa tertutup. Saat aku hendak membuka lemari, aku kembali mengamati wajahku.
Lebih tepatnya ekspresi wajahku yang terlihat lain. Lebih “dingin” daripada biasanya. Mungkin akibat aku yang memang beberapa hari ini lebih memilih berdiam diri di kamar dan jarang berbicara bahkan dengan Mbak Asih, Mbak Wati, Mas Asep dan Mas Sulis sekalipun, kalau ditanya hanya menjawab singkat-singkat saja. Beberapa teman yang menjenguk juga aku acuhkan, aku memilih pura-pura tidur dan mengunci pintu saat pintu di ketuk dari luar, termasuk ketika Vinia dan Zen datang ke rumah untuk menjenguk kemarin sore. Aku membiarkan Mbak Asih terus mengetuk pintu hingga akhirnya terdengar suara Vinia.
“Yawdah Mbak, sepertinya Yandi tidur, biarkan dia istirahat. Biar cepat sembuh dan masuk ke sekolah. Banyak temannya yang kangen.”
Maaf Vinia, Zen.
Aku benar-benar sedang ingin sendiri dulu. Bahkan ponsel baru yang dibelikan Mbak Asih, Xiaomi A2 dan simcard baru yang memuat nomor lamaku, sudah di urus Mas Sulis ke Operator Centre, masih dalam dus, belum aku pegang. Aku masih belum ingin terganggu oleh ponsel.
Aku lantas memakai baju dan kembali berbaring di tempat tidur melanjutkan membaca komik.
"Dek..ada temenmu nyari tuh."
Mbak Asih datang dan memanggilku saat aku sedang berbaring di kamar sambil membaca komik Tokyo Ghoul : Re.
"Temen ? Teman sekolah? Yosi atau Xavi?"
"Bukan. Bukan mereka. Mbak baru lihat. Bilangnya dia teman sekolah."
"Dia sendiri?"
"Iya sendirian. Sambil makan dia. Masih pake seragam."
Siapa ya? Penasaran. Yosi dan beberapa teman udah nengokin ke rumah kemarin.
"Udah cepet turun. Sama jangan kebanyakan baring. Warung juga lagi ramai," pinta Mbak Asih lalu turun.
"Iya Mbak."
Setelah memakai kaos aku lalu turun ke bawah dan menuju ke warung depan. Saat menuju warung aku bisa melihat punggung seseorang yang duduk membelakangiku. Seragam Batik Sekolah yang ia kenakan membuatku langsung tahu bahwa dialah yang mencariku. Saat dekat dengannya tiba-tiba dia menoleh ke belakang dan menyapaku.
"Halo Yan. Apa kabar?"
Ternyata Bram. Bram yang menemuiku kesini. Mau apa dia kemari.
“Kenapa kamu kesini?”
“Lapar, eh gue sambil makan ya. Enak banget nih opor ayamnya bumbunya joss.”
Aku pun diam menunggu Bram selesai makan karena dia hampir selesai. Sebenarnya aku hendak bertanya darimana ia tahu rumahku, tetapi menemukan rumahku tentu hal yang sangat mudah buat Bram.
“Huahh, Kenyaaang. Enak banget masakan di warungmu ini,”komentar Bram setelah menghabiskan makanan dan segelas es teh.
“Ini warung kakakku.”
“Haha iya sama saja.”
“Bram kamu belum jawab pertanyaanku.”
“Eits, santai dong. Mas pesen es teh 1 lagi ya, eh dua dink sama Yandi,” pinta Bram kepada Mas Asep. Mas Asep menjawab singkat, “Siap !” sambil mengambil piring dan gelas kotor dari hadapan Bram. Tak lama kemudian dua gelas es teh sudah di sajikan Mas Asep ke meja kami.
“Makasih Mas,” ucap Bram sopan.
Aku diam saja menunggu apa mau orang ini. Setelah meneguk sedikit minumannya, Bram baru berkata sesuatu.
“Sebenarnya udah gue jawab pertanyaan elo Yan. Lo tadi nanya kenapa gue kesini kan? Nah kan udah langsung gue jawab karena lapar. Harusnya pertanyaan lo lebih spesifik.”
“Oke, kalau kamu lapar, kenapa mesti makan di warung milik kakakku?”
“Nah itu baru tepat pertanyaannya. Gue memilih makan disini karena satu, gue lapar. Dua, gue pengen jengukkin elo. Lo kan udah hampir seminggu gak masuk sekolah.”
Aku terkejut karena Bram menyadari ketidakhadiranku.
“Apa perdulimu?”
“Ya, gue perdulilah. Gue tersentuh mendengar cerita dari Oscar kalau elo menolongnya saat di sergap oleh para pria pengecut bertopeng.”
Aku terkejut karena mendengar nama Oscar disebut Bram. Dan dia sepertinya tahu apa yang terjadi dengan kami berdua. Oscar, aku penasaran dengan kabarnya.
“Oscar, bagaimana keadaannya?”
“Tenang, dia masih hidup hanya saja untuk beberapa bulan ke depan kita gak akan ngelihat dia datang ke sekolah.”
“Apa? Apa yang terjadi dengannya? Seberapa parah lukanya?”
“Itu yang gue suka dari elo Yan! Loe sama Oscar aja perhatian bener, bahkan nekat nolong dia dari LPH. Meskipun gue berani bertaruh, lu gak tahu kenapa Oscar di serang. Kalau lo masih khawatir sama Osscar, tar gue kasih alamatnya, lo tengok sendiri gimana keadaannya. Yang jelas, luka-lukanya jauh lebih parah daripada elo.”
Sialan. Bram tahu, Bram tahu siapa para penyerang kami. Kepalaku pening hingga berdenyut memikirkan apa hubungan Bram dengan LPH.
“Udah itu aja yang mau kamu omongin? Kalau udah, makasih udah nengok ke sini. Aku ada keperluan lain.” Aku berniat menyudahi obrolanku dengan Bram.
“Ya sebenarnya belum sih. Ada hal penting yang mau gue tawarin ke elo. Tenang saja, gue gak ada hubungannya dengan LPH. Gue sendiri menganggap keberadaan mereka kadang hanya cerita belaka tetapi setelah mendengar cerita dari Oscar, gue tahu kalau mereka memang beneran ada dan jadi paham gue sama duduk perkaranya. Dan gue gak mau berurusan dengan LPH, haha. Lo boleh pergi setelah lo dengar tawaran gue, gak berat kan permintaan gue.Ayolah, gue customer nih. Masak di cuekkin haha.”
Bram memang sangat pandai berkata-kata. Aku yang tadinya hendak pergi langsung duduk. Dan jujur saja aku tertarik tentang “tawaran” yang ia maksud.
“Oke, aku dengerin.”
Setelah Bram meminum es tehnya, dia kemudian mulai berbicara.
“Setelah kepergian Axel, otomatis bajingan terkuat yang ada di sekolah kita adalah Oscar. Tetapi kemenangan lu saat berhasil mengalahkan Oscar mengubah susunan hirarki, selain elo sudah menang lawan Oscar, lu juga jadi orang terakhir yang masih berdiri di aula. Kalau istilah ‘deathwish’, lo itu juara. ‘Last man Standing. The strongest one’. Kita kesampingkan dulu kejadian sesudahnya yakni Axel datang dan hajar lo tanpa ampun.”
“Sebentar-sebentar.” Aku menyela perkataaan Bram. “Perasaan kamu tidak ada di aula. Bagaimana kamu bisa tahu dengan detail apa yang terjadi disana?”
Bram hanya terkekeh. “Memangnya Cuma Pak Tomo doang yang punya banyak telinga dan mata. Gue juga punya.”
“Udah langsung ke inti pembicaraan saja. Aku lagi gak minat dengar cerita muter-muter gak jelas.”
“Hehehe. Oke, gue tahu lu belum pulih 100% dan masih perlu banyak istirahat. Intinya adalah, saat ini hingga nanti semua anak kelas 3 lulus SMA. Lu akan jadi siswa nomor 1 di SMA NEGERI XXX.”
“Kamu terima semisal aku memang punya titel seperti itu?” aku mengetes seberapa besar harga diri Bram karena itu berarti aku melangkahi semua anak kelas 2 saat ini, termasuk David, Heru, Satya, Edgar pokoknya semua pentolan bajingan dari angkatan kelas 2 yang mayoritas jadi lawan kelompok kami saat tawuran di aula.
“Gue gak ada masalah ! lu berhak ! lu menang dengan cara paling fair! Lu gak usah khawatir tentang Edgar cs. Oia, seperti yang lu tahu dan gue yakin almarhum Axel pun sudah sering memperingatkan elo tentang our arch enemy, STM XXX. Tapi percaya sama gue, mereka tidak akan macam-macam untuk sekarang ini. Mereka baru akan bergerak setelah semua anak kelas 3 lulus. Meskipun di saat yang si brengsek Anton juga lulus, tetapi dia akan lulus dengan senyum lebar karena dia sudah mempersiapkan semuanya.”
Bram lalu mendekatkan wajahnya dan berbisik. “Gue yakin Yosi udah ngasih tahu elo kalau kemungkinan besar anak-anak STM XXX yang menyerang kru CHC. Dan gue pun memiliki dugaan yang sama dengan Yosi. Yan, anak-anak STM XXX itu yang akan jadi musuh besar kita. Namun ada hal lain yang lebih penting, yang harus kita bereskan terlebih dahulu. Jujur saja, gue pun sanksi apa kita masih bisa menang lawan STM XXX. Peluangnya 50 : 50. Tetapi ada cara lain agar peluang kemenangan naik menjadi 70:30.”
Penjelasan Bram harus aku akui memantik minatku. Aku juga sudah memikirkan kemungkinan bahwa STM XXX sudah menebar psywar secara tidak langsung kepada semua sekolah tentang betapa dahsyatnya daya serang STM XXX jika sudah memutuskan untuk mengancurkan satu kelompok.
“70:30?”
Bram mengangguk. “Angka 70 jauh lebih baik dari angka 50 bukan? Dan disaat yang sama angka 70 itu memperkecil peluang lawan dari 50 menjadi 30.”
“Bagaimana caranya?”
Bram tersenyum. Dari dulu aku tidak menyukai gaya senyum Bram yang sarat dengan aura kelicikan.
“ ‘Studi Banding’. Gue yakin Axel juga sudah menceritakan tentang event tersebut ke elo. Benar kan?”
“Ya.”
Aku lupa dan tidak pernah terpikir cara menaikkan prosentase tersebut melalui ‘Studi Banding’.
“Baguslah, jadi gue gak perlu repot-repot menjelaskan tentang ‘Studi Banding’. Namun peluang menaikkan angka 50 jadi 70 bisa jadi nol besar jika kita gagal di ‘Studi Banding’. Pilihan lu Cuma dua sekarang. Ambil kendali sepenuhnya atau kita jadi anjing mereka. Kalau lu ambil opsi pertama, seperti yang gue bilang di awal, lu gak akan sendirian. Jadi sapu bersih ‘Studi Banding’ ! Kita tunjukkan kepada mereka semua, we’re still number 1 Highschool of Bastard in this town! Semua keputusan ada di tangan elo sekarang. Suka atau tidak suka.”
Penjelasan dari Bram membuat tenggorokan terasa kering dan meminum es teh yang masih belum aku minum sedari tadi.
“Gak usah lo jawab sekarang. Gue tahu lu butuh waktu untuk memikirkan ini semua satu persatu dengan kepala jernih. Untuk sementara itu saja sih Yan. Lu istirahat gih, tar kalau lu udah masuk sekolah, nanti kita ngobrol lagi.”
Bram kemudian berdiri namun ia tiba-tiba duduk lagi.
“Anjir gue malah lupa mau bilang sesuatu yang gak kalah penting. Lu santai aja kalau udah masuk sekolah. Gue jamin gak akan ada satu bajingan pun di sekolah yang akan berani mentertawai elo.”
Kata “mentertawai” dari Bram tentu saja merujuk kepada penampilanku yang sekarang.
“Gue udah ketemu berbagai macam bentuk orang, jadi gak ada lagi penampilan dari orang yang bisa buat gue terkejut. Yan, lo pernah dengar nama Boy kan? Elu juga memiliki faktor X yang dimiliki Boy. Lo punya potensi menjadi ‘Boy’ yang baru. Namun masih ada 1 hal yang membuat jurang perbedaan lo dengan Boy sangat besar.
AMBISI.
Gue bisa ngrasain elo itu gak punya ambisi sama sekali. Perumpamaannya gini, jika Boy memegang stik bisbol dan menggunakannya tanpa ragu untuk menjadi siswa terkuat di Kota XXX, tapi jika elo yang memegang stik bisbol, stik itu hanya lo pakai untuk melindungi teman-teman lo. Stik bisbolnya sama, namun bisa memiliki tujuan yang berbeda tergantung keinginan yang memegang stik tersebut.”
Aku tertegun mendengar pernyataan Bram.
“Tanpa ambisi, lo Cuma jadi orang kuat dan tidak akan pernah jadi yang terkuat. Kalau elo bukan jadi orang yang terkuat, lo gak akan bisa melindungi teman-teman lo. Di posisi lo saat ini, lo gak bisa setengah-setengah. Itu yang ngebuat segala potensi, kemarahan dalam diri lo masih tertahan, belum maksimal. There is no place for ‘part time bastard’. Sayangnya, buat gue lu masih di kejebak di term tersebut. Tahu gak sumber kekuatan orang paling kuat?
Kalau dalam hati elo mau jawab, ’sumber kekuatan terbesarku adalah orang-orang yang aku sayangi’, pfftt..that was big nonsense ever ! kekuatan terbesar manusia itu datang kalau nyawanya terancam. Orang yang paling kuat adalah orang yang takut mati karena dengan begitu, seseorang akan melakukan apa saja untuk bertahan hidup. Dan seperti itulah prinsip yang di pegang Boy sejak hari pertama ia datang ke SMA NEGERI XXX, hasilnya? Kita semua sudah tahu. Lu harus menjadi ‘Boy’ kalau mau menang dan melindungi kami semua dari ancaman STM XXX.”
Bram menepuk pundakku lalu mendatangi Mbak Asih untuk membayar lalu ia pamit kepadanya dan juga kepadaku.
Aku segera kembali ke kamar dan memegangi kepalaku yang berdenyut-denyut! Perkataan Bram terus terngiang-ngiang di kepalaku !!
“…Tanpa ambisi, lo Cuma jadi orang kuat dan tidak akan pernah jadi yang terkuat. Kalau elo bukan jadi orang yang terkuat, lo gak akan bisa melindungi teman-teman lo…”
“….kekuatan terbesar manusia itu datang kalau nyawanya terancam..”
“…Lu harus menjadi ‘Boy’ kalau mau menang dan melindungi kami semua dari ancaman STM XXX….”
KEPALAKU RASANYA SAKITTT !!!!! MAU PECAHHHHH !!!!!! ARRRRGGGGGGGGGGGGGHHHHHHHHHHHHHHHH !!!!!!
= BERSAMBUNG =
Menuju studi banding..
ReplyDeleteBtw ada sedikit typo om panth
Scene nya mbak asih
Ktuker sama nama ny mbak wati
Hehe
okeh, tar gw edit...hanya cek2 tanda baca, blm baca ulang isinya
DeleteWkwkwk muka Yandi jadi lucu 😂😂😂
ReplyDeletekeren, berasa jadi yandi. lanjutkan master, semoga lancar sampe tamat. keep the faith. have a good time
ReplyDeleteAmbisi yandi????
ReplyDeleteMasih belum kelihatan...
Lanjuuttt om panth...
ReplyDeleteSedikit bnaknya otak yandi udah kecuci oleh omongan bram,,tapi gak semua omongannua salah sih
ReplyDelete