LPH #57
Episode 57
Final Clash Conclusion
(POV Yandi)
Langit-langit berwarna hijau adalah hal pertama yang aku lihat saat aku terbangun, membuatku bertanya ada dimana aku sekarang? Aku melihat ke sekeliling. Tidak ada orang sama sekali. Yang aku lihat hanyalah deretan tempat tidur kosong di kiri kanan dan di depanku. Tempat tidurnya sangat sederhana, hanya ada bantal tipis dengan sprei putih dan tidak ada lipatan. Semuanya sangat rapi. Dari celah jendela plastik, masih nampak sinar dari luar. Bisa jadi ini siang atau sore hari.
Beberapa saat kemudian aku mengenali tempat ini. Aku sepertinya berada di dalam sebuah tenda yang besar dan memanjang. Di dalam tenda alasnya ditutup karpet berwarna hijau, senanda dengan warna tenda.
Aku mencoba untuk bangun namun rasa sakit langsung menyergap di sekujur badan. Pusing luar biasa dan badan rasanya di bebat erat. Kulihat kedua lenganku terbalut perban putih hingga pergelangan. Bahkan jarum infus terpasang di pergelangan tangan kanan. Kantung infus yang di gantung, tinggal sedikit. Rasa geli di bagian hidung dan kepala menandakan hidung dan kepala hingga keningku juga dibebat perban. Aku memasukkan tanganku di balik kaos putih polos, meraba perut dan dada. Sama juga terlilit perban. Aku mengangkat sedikit kepala untuk melihat kedua kaki. Di balik celana training warna hitam, aku merasa lilitan kencang di betis kanan.
Fyuh..
Gila..
Ini adalah luka paling parah yang pernah aku derita sepanjang aku terlibat perkelahian. Lebih tepatnya perkelahian maraton. Secara berturut-turut kemarin aku berhadapan dengan Edgar, Farid, Opet, Oscar dan......Axel. Selain tulang hidung yang patah, entah mungkin ada tulang lain yang patah. Yang jelas aku kini belum bisa leluasa bergerak, hampir sekujur badan dibebat perban seperti mumi.
Badanku boleh jadi serasa remuk redam, namun pikiranku sudah mulai jernih.
Apa yang terjadi setelah aku pingsan? Aku jelas pingsan setelah menerima pukulan telak dari Axel...
Axel...Terlepas dari perubahan sifatnya yang beringas, aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres saat momen krusial dimana kami adu uppercut. Namun aku tidak tahu dimana letak keanehannya. Mungkin lambat laun aku bisa mengetahuinya.
Sebentar, aku tadi berpikir bahwa ada perubahan sikap Axel. Jangan-jangan watak asli Axel memang seperti saat di aula. Bagaimana ia menghajarku dan juga siapapun tanpa pandang bulu, lalu menghinaku dan juga menghina mendiang kedua orang tuaku. Ia menegskan bahwa selama ini dia sudah memperalatku !
Jangan naif Yandi !
Kamu tak ubahnya seperti Yosi yang di khianati Bram !!!
Axel yang kamu kenal adalah salah satu topeng yang dikenakan Axel !!
KAMU SUDAH TERMAKAN OMONGANNYA !!! KAMU CUMA ALAT !![
AXEL YANG KAMU HADAPIN DI AULA ADALAH AXEL YANG SESUNGGUHNYA !
AXEL THE JOKER !!
Axel.. Apa yang ia lakukan setelah menghabisiku? Apakah ia menyerang siapa saja yang berani menghalanginya ? Apa yang terjadi selanjutnya? Zen ? Bagaimana kondisi dia?? Lalu kenapa aku bisa ada di sini? Sudah berapa lama aku pingsan? Mba Asih....Mba Asih apakah dia tahu apa yang terjadi?
Kedua tanganku terkepal sampai gemeteran.
Emosi menjalar ke seluruh badan. Rasa sakit sudah tidak kupedulikan ! Aku mesti balas dendam !
Setelah mencabut jarum infus secara paksa, Aku lalu memaksakan diri untuk bangun namun yang terjadi adalah dunia di sekelilingku seakan limbung, pandanganku buram akibat rasa pusing yang tiba-tiba menyerang. Kedua kakiku juga terasa lemah tak bertenaga. Aku jatuh terduduk di salah satu ranjang. Kupejamkan mata sebentar dan dalam gelap aku lihat banyak kilatan-kilatan bintang. Ini sesuatu yang biasa di alami seseorang jika dalam posisi duduk atau berbaring cukup lama kemudian tiba-tiba berdiri. Aliran darah masih belum sempurna benar.
Sudah berapa lama aku pingsan?
Setelah merasa agak mendingan, aku berdiri diam untuk beberapa saat, kemudian mulai berjalan pelan sambil tertatih dan memegangi rusuk kanan, menuju pintu tenda. Ugh, semakin banyak aku bergerak, rasa sakit menjalar semakin kuat ke seluruh badan membuat anggota tubuhku yang cedera seakan berteriak-teriak. Keringat dingin mulai membasahi perban yang melilit di kening. Jarak 5 meter serasa 5 kilometer. Hingga akhirnya aku menyibakkan penutup tenda.
Hal yang pertama aku lihat adalah padang rumpun yang sangat menyegarkan mata. Udara sejuk yang berhembus aku hisap kuat-kuat mengisi paru-paru. Belum lagi rasa dingin yang mengenai syarat di telapak kaki saat kakiku menginjak rerumputan yang basah. Sesaat aku seperti kembali ke desaku.
Tempat apa ini? Kenapa aku ada disini?
Saat aku melihat sekeliling ternyata ada 2 tenda berukuran besar yang tidak jauh dari tenda tempat aku keluar. Jadi total ada 3 tenda. Aku lalu berjalan tertarik menuju tempat duduk yang terbuat dari potongan-potongan kayu berbentuk bulat.
Ini seperti berada di tempat outbond atau perkemahan.
Di saat aku sedang berpikir kenapa aku ada di sini, 10 meter dariku melintas iring-iringan orang yang sedang berlari dengan kecepatan sedang namun teratur. Mereka semua memakai seragam baju dan celana panjang training berwarna hitam. Banyak dari mereka yang masih berbalut perban di bagian lengan dan tangan. Bahkan masih terlihat jelas bekas luka lebam menghiasi mua semua orang.
Aku mengenali mereka !
Mereka anak-anak dari sekolahanku ! Ada Yosi, Xavi bahkan ada anak kelas 2 seperti David, Edgar, Heru dan lainnya. Dan yang paling membuatku kaget adalah sederet anak kelas 3 seperti Feri, Jati, Deka bahkan ada Oscar di antara mereka !! Intinya baik anak kelas satu, dua, maupun tiga yang kemarin baku hantam di aula kini malah jogging bareng. Meskipun tidak ada yang saling bicara namun sudah tidak terasa lagi tensi tinggi, mereka nampak tenang dan fokus. 300an siswa yang terakhir aku lihat begitu liar dengan emosi yang meledak-ledak kini nampak tenang ! Jogging dengan barisan yang rapi dan langkah yang kompak.
Apa yang aku lewatkan?
Aku tidak percaya mereka semua bisa damai?
Sepertinya tidak ada yang menyadari kalau aku sedang duduk mengamati mereka karena jaraknya cukup jauh.
“Udah sadar lo?” kata seseorang dari belakang.
Aku pun menengok dan melihat Budi membawa sebotol air mineral lalu duduk tidak jauh dariku. Aku lalu mengubah posisi dudukku hingga berhadapan dengan Budi. Keanehan seakan semakin menjadi karena Budi yang biasanya berangasan dan kasar, terutama kepada siswa yang di anggap lawan, kini terlihat tenang bahkan ia menyapaku. Di wajahnya masih menempel beberapa plester luka lebam. Selain itu, Budi mengenakan celana training hitam sama seperti yang lain. Bedanya ia mengenakan singlet putih. Di bahu hingga lengan kirinya ia seperti memakai sesuatu.
“Bahu gue dislokasi cukup parah. Gue mesti pakai penyangga bahu sampai sebulan. Berkat teman lo,” ujar Budi sambil meminum air yang ia bawa.
Zen !
“Bagaimana kondisi Zen?” aku sangat khawatir dengan kondisinya. Terlebih lagi Budi adalah lawan Zen ketika pecah tawuran.
“Seharusnya dia mati. Namun bajingan itu masih beruntung. Nyawanya selamat setelah di operasi selama 4 jam.”
“Jadi Zen masih tertolong? Dimana dia sekarang?” Meskipun Budi terlihat tenang namun aku masih tidak menyukai cara bicaranya.
“Entahlah. Lo tanya aja sama Pak Tomo. Dia yang membawa kita semua ke sini setelah tawuran selesai.”
“Pak Tomo yang membawa kita kesini?Dimana kita sekarang?”
Namun Budi diam saja. Setelah menghabiskan minumannya, ia lalu berdiri dan hendak pergi. Aku mencegahnya karena masih banyak hal yang ingin aku ketahui.
“Lo tanya aja ke teman-teman lo. Sebentar lagi mereka balik,” jawab Budi sambil berlalu pergi.
Meskipun aku tidak puas dengan penjelasan Budi namun mengetahui Zen masih tertolong serasa satu beban berat yang ada di pundak sedikit terangkat. Saat aku tengah melamun, tiba-tiba terdengar teriakan dari arah belakang.
“Yandii!! Guys, Yandi sudah sadaarrrr!! Yeahh!!”
Ketika aku menengok ke belakang, ternyata teman-temanku sudah mengelilingiku dan celetukan semakin banyak.
“Akhinnya sadar juga looo Yannn. Asuu bikin khawatir semua orang luuu.”
“Ya wajar lah Do, tenaga dan emosi Yandi yang paling banyak terkuras. Beda sama elo, baru 10 menit uda minggir.”
“Boss gue ini !”
“Bukan cuman bos, tapi supreme leader XYZ!!”
“Bangga banget gue ngikut XYZ !”
“Pengen peluk elu gue Yan, tapi badanmu perbanan semua.”
“Kereee looo Yaan!”
Aku mengaduh sambil meringis saat ada yang menepuk-nepun pundak kiriku.
“Bim, lu bego banget sih! Ini Yandi masih kayak mumi gini lo main tepuk sembarangan!” sembur satu suara yang sangat aku kenal.
Suara Xavi !
“Woii, lo jangan ngerumunin Yandi kek gini. Orang baru siuman, masih bingung dia. Duduk-duduk,” perintahnya.
Aku tersenyum saat sang pemilik suara menyibak di tengah kerumunan teman-teman yang mengerumuniku.
Itu suara Yosi.
Dan mereka menuruti kata-kata Yosi dengan segera mencari tempat duduk di sekitaranku.
“Halo Yan,” sapa Yosi yang duduk di sebelah kiriku. “Gimana, uda baikan?”
“Pertanyaanmu sangat jenius sekali Yos. Orang kalau pingan selama 3 hari 3 malam dengan luka segini banyak sampai mirip mumi, kek gini, masih lo tanya uda baikan atau belum,” timpal Xavi yang mengambil tempat duduk di depanku.
Ketika teman yang lain tertawa mendengar perkataan Xavi, aku malah bingung dan kaget mendengar perkataan Xavi barusan
“Hah ?! Aku pingsan selama tiga hari?”
“Iya,sekarang tanggal 3 Januari 201x” jawab Xavi singkat.
Aku kemudian menatap Yosi.
“Yos, ceritakan kepadaku dengan lengkap dan jelas apa yang terjadi setelah aku pingsan saat aku kalah adu pukul melawan Axel dan tiga hari kemudian aku terbangun di tempat ini? Katakan,apa yang terjadi? Apa yang aku lewatkan selama tiga hari ini? ”
“Gak usah buru-buru Yan. Lo baru aja siuman. Wajahmu aja masih kelihatan pucat,” ujar Yosi mencoba menenangkanku.
“Udah cukup aku istirahat. aku tidak bisa menunggu lagi, aku mesti tahu sekarang apa yang sebenarnya terjadi dan situasi terkini. Jujur saja, aku tadi merasa aneh lihat kalian semua bisa jogging bareng dengan anak kelas dua dan tiga. Aku seharusnya senang karena melihat sikap damai namun buatku itu aneh ! di aula kemarin aku lihat sendiri bagaimana kita saling benci dan saling hantam.
Dan tadi aku sempat berbincang dengan Budi. Aku bertanya tentang kondisi Zen. Dia bilang Zen masih bisa diselamatkan. Ketika aku ingin bertanya lebih detail, Budi menyuruhku agar aku bertanya kepada kalian semua. Dan kini, aku siap mendengar semua rinciannnya. SAAT INI JUGA,” tegasku sambil menatap satu-persatu temanku.
“Oke, oke Yan. Kita akan ceritakan semuanya,” jawab Yosi cepat. “Tetapi kalau lo ingin cerita aslinya, Dodo bisa ceritain semuanya karena gue kolaps setelah kena tendangan Oscar. Ketika gue siuman, gue kaget karena berada di dalam bus yang penuh dengan anak-anak sekolah kita. Dan nanti Xavi akan menambahkan apa yang dia lihat ketika dia Astra dan Wira mencoba membawa Zen secepat mungkin ke rumah sakit,” papar Yosi.
Aku jadi semakin tidak sabar mendengar cerita secara keseluruhan.
“Memang gue menyaksikan semuanya, namun gue akan mulai bercerita ketika lo berantem sama Axel. Ehm, bukan berantem sih, tapi lebih tepatnya...lo dihajar habis-habisan sama Axel. Jadi ketika kalian berdua adu uppercut yang hasilnya lo roboh pingsan. Semua orang terdiam Yan. Suasana begitu hening, yang terdengar hanya nafas Axel yang terengah-engah. Menyaksikan adu uppercut yang luar biasa dimana pukulan kalian sama-sama masuk mengenai sasaran secara telak di waktu yang bersamaan, membuat semua orang yang menyaksikannya menahan nafas! Kami semua merasa ngeri melihat lo rubuh sementara Axel masih tegak berdiri.
Meskipun kami semua tahu tenaga lo benar-benar terkuras setelah berantem secara maraton melawan bajingan kelas 2 lalu disusul Opet bahkan lo head to head dengan Oscar, pukulan yang lo sarangkan ke dagu Axel penuh dengan amarah. Mengenai sasaran sampai kepala Axel tersentak ke belakang. Jelas kami ngeri karena kami menyaksikan dengan mata kepala kami sendiri sosok Axel yang benar-benar menyeramkan. Uppercut lo yang sukses merobohkan bajingan macam Nando, Jati, Opet bahkan Oscar, seolah gak ada efeknya ke dia. Rik, bagi air lo. Langsung kering tenggorokan gue kalau inget kejadian itu.”
“Nih, sama anjir. Baru kali itu gue benar-benar takut benar sama orang. Sorot mata Axel pas dia ambil stik bisbol lalu dia mengacungkan ke arah kita semua benar-benar iblis membuat nyali menciut kayak spon kena air...” sahut Riko sambil melemparkan botol minumannya kepada Dodo. Suara Riko bergetar saat mengatakannya. Pertanda bahwa ia jujur dengan perkataannya barusan.
“Lalu..lalu apa yang terjadi setelah aku pingsan?”
“Dia berniat negbunuh elo Yan. Ketika lo roboh dalam posisi tertelungkup, sambil bersiul-siul, Axel mengambil stik bisbol yang tergeletak tidak jauh darinya. Lalu ia memposisikan ujung stik bisbol ke arah belakang kepala elo, seakan ingin menandai target. Kemudian ia memegang stik dengan kedua tangan lalu ia tarik ke atas mengambil ancang-ancang. Nafas kami seakan ikut tertarik menyaksikan bagaimana poisisi Axel. Di saat nafas kami tertahan, Axel bilang sesuatu kepada kami semua.
‘Pada akhirnya, beginilah nasib seorang bocah sok pahlawan yang selalu ikut campur urusan orang lain dan merasa harus membantu teman-temannya. Namun kita lihat, ketika nyawanya di ujung tanduk, apakah ada yang berani menempuh resiko. Sebelum gue hantam belakang kepala Yandi, yang berani menghentikan gue, berdiri lalu sini maju..SEKARANG !’
Reputasi, kebringasan dan tekanan mental dari Axel membuat gue, maaf Yan, benar-benar membeku dan tidak berani menghentikan Axel. Maluu, malu bangeet gue. Seandainya Yosi, Xavi atau Zen melihatnya, gue yakin mereka akan langsung berdiri dan ngebela elo tanpa memikirkan resikonya..Tapi gue gak berani Yan, gue pengecut...”
Aku kaget melihat Dodo lalu tertunduk, tidak berani menatapku. Hal itu diikuti oleh hampir semua teman-temanku, kecuali Xavi, Yosi, Wira dan Astra yang menatap ke arah lain.
“Kami semua malu sekali Yan..” ujar Riko.
“Sama gue juga...” sahut Sakti.
Dalam hati aku kecewa, namun aku sadar, dalam kondisi mental terpuruk dan melewati malam yang penuh dengan kegilaan, saling baku hantam sampai tenaga habis dan raga nyaris remuk redam. Aku mengerti sikap teman-temanku. Terlebih lagi orang yang mengancam mereka adalah Axel. Axel yang sudah menunjukkan wajah aslinya. Kalau aku yang berada di posisi mereka, sudah pasti aku akan berusaha menghentikan Axel, apapun resikonya. Tetapi aku tidak bisa menyamaratakan sifatku tersebut dan berharap semua temanku memiliki sifat sama sepertiku. Tetapi aku lebih kaget dengan upaya Axel untuk....membunuhku.
“Sudahlah, angkat muka kalian. Kalian sudah mengerahkan segalanya dan kalian bukan pengecut. Karena jika kalian pengecut, kalian tidak akan datang ke aula. Lanjutkan ceritanya Do, karena sepertinya ada yang berani menghadapi Axel. Buktinya aku masih hidup sekarang.”
Perlahan Dodo mulai berani kembali menatapku. Namun ia malah menggelengkan kepala.
“Gak Yan, gak ada yang punya nyali sama sekali untuk menghentikan Axel. Kecuali Feri dan Jati. Mereka berdua jelas nyalinya gak padam, justru mereka terlihat yang paling murka. Mereka berdua berteriak memaki ke arah Axel. Namun mereka sudah habis, luka dan cedera mereka sudah cukup parah. Setiap mereka berusaha berdiri, saat itu juga mereka kembali jatuh terduduk. Axel hanya tertawa melihat hal tersebut. Itu adalah salah satu momen paling hopeless dalam hidup gue. Mungkin juga sama dengan yang lain.
Lalu Axel menyeringai kemudian berkata, ’Lihat baik-baik para pengecut bangsat, kalian akan jadi saksi. Bagaimana Yandi yang kalian kenal, MATI MALAM INI’,” jelas Dodo dengan suara parau.
Aku membayangkan kejadian tersebut juga ikut ngeri dan reflek meraba kepalaku di bagian belakang. Rasanya mustahil aku masih hidup jika kepalaku dihantam stik bisbol sekuat tenaga.
“Axel memang menghujamkan stik bisbolnya Yan. Ke arah kepala lo. Rasanya darah kami merosot sampai kaki saat Axel benar-benar menghantamkan stik bisbol ke arah kepala lo Yan. Gemetaran gue asli. Namun yang sebenarnya terjadi adalah, Axel bukan memukul kepala lo tapi dia memukul lantai tepat di sisi kepala lo. Suara benturan stik bisbol dengan lantai aula membahana. Antara bingung, takut, ngeri karena bayangan kami adalah melihat genangan darah akibat pukulan Axel. Membuat kami lamban bereaksi, tidak yang bersuara.
Axel lalu membuang stik bisbolnya jauh-jauh. Sebelum ia pergi dari aula, ia mengucapkan sesuatu, satu pesan yang mengubah cara pandang kami semua.”
“Apa yang Axel katakan?”
“Axel memaki-maki semua orang yang ada di aula, terutama kami anak kelas satu. Semua nama hewan di kebun binatang keluar semua dari mulut Axel. Lalu ia mengatakan sesuatu yang setiap detail kata-katanya masih gue ingat benar sampai sekarang. Gak mungkin gue lupa begitu saja dengan perkataan Axel.
’Lihat Yandi ! Teman yang kalian anggap jadi pemimpin kelompok ! Yandi itu bukan pemimpin, tetapi seorang teman yang siap membela kalian tanpa peduli resiko. Kalian bajingan antek Oscar, salah pilih sasaran, kalian bukan cuma membangunkan Singa dari gunung namun kalian juga telah membangkitkan sisi inhuman dalam diri Yandi ! Dia tidak mundur selangkahpun saat berhadapan dengan Opet dan Oscar. Ini anak masih 16 tahun loh. Semakin kuat kalian menghantam Yandi, semakin kuat pula mental dalam dirinya. Saat ini Yandi adalah murid terkuat di SMA NEGERI XXX !! DAN ITU FAKTA ! Gak ada yang bisa kalahin dia dalam duel satu lawan satu yang fair.
Jika kalian para bajingan ingin sekolahan kita tetap solid, akui Yandi jadi pemimpin kalian, bukan cuma pemimpin anak kelas 1. Saat ini Anton dan anak buahnya sudah semakin dekat. Asal kalian tahu, mereka tengah mengintai kepala kalian semua anak SMA NEGERI XXX. Jika kalian masih saja berseteru, kalian akan mudah dihabisi. Generasi STM XXX sekarang ini dipenuhi bajingan-bajingan haus kekuasaan yang levelnya melebihi generasi emas Bloody Hell. Kalian bersatu dan rukun pun belum tentu bisa menang lawan mereka, apalagi jika masih ribut sesama anak SMA NEGERI XXX.’
Mungkin tidak 100% perkataan gue sama dengan yang dikatakan Axel, namun intinya adalah seperti itu.”
Dodo kemudian diam. Seakan memberiku ruang untuk mencernanya penjelasannya.
Aku benar-benar bingung. Bingung dengan sikap manusia seperti Axel !!! Aku paling benci orang yang sukar dipercaya seperti dia. Kalau hitam ya hitam, kalau putih ya putih !!!! Kepalaku berdenyut-denyut, sakit sekali. Xavi memberiku sebotol air mineral dan segera ku minum.
“Yan, untuk saat ini sepertinya itu dulu yang bisa gue ceritakan. Sebaiknya elo kembali ke tenda dan istirahat. Lo belum sembuh benar, nanti setelah makan malam, di lanjut lagi,” ujar Yosi memberikan saran. Dan teman-teman yang lain juga menyarankan hal yang sama. Cerita dari Dodo tentang sikap dan pernyataan Axel memang cukup berat untuk aku olah. Aku perlu waktu untuk memahaminya. Maka aku pun setuju untuk melanjutkan cerita nanti malam.
Aku menolak saat Yosi hendak membantuku berjalan menuju tenda. Aku tidak boleh manja, aku butuh banyak bergerak selama masa penyembuhan. Ketika sudah kembali ke dalam tenda, aku berbaring di tempat tidurku. Sambil melihat satu persatu teman-temanku hilir mudik keluar masuk tenda untuk mandi, aku memikirkan banyak hal terutama tentang sikap Axel. Tapi kepalaku berdenyut setiap kali aku paksa untuk berpikir banyak hal. Saat sedang melamun, ada seorang pria muda mungkin usia sekitar awal 20 tahunan, memakai jaket hitam, mengenakan celana loreng ala militer, sepatu bot dan berambut cepak mendekatiku. Beberapa teman nampak menyapa pria tersebut. Ia membawa nampan berisi rantang dan satu kantong plastik entah apa isinya.
“Halo Yandi. Gimana kondisi lo?Ini ada bubur, puding dan buah-buahan. Sekalian gue masu pasang infus baru,” sapanya ramah. Ia memasukkan lagi jarum selang infus ke pergelangan, mengatur tekanannya lalu menggantung kantung infus.
“Oh lo mungkin belum kenal gue. Gue Lukman, gue salah satu tim medis yang merawat lo saat datang ke sini. Tar lo coba makan ya,” kata Lukman ramah.
“Makasih Mas. Mas apa benar aku sudah pingsan selama 3 hari ?”
“Yap. Permisi, gue sekalian cek perban-perban dan suntikan obat ya,” jawab Mas Lukman sambil melihat lilitan perban yang ada di seluruh badanku.
“Oh. Lukaku seberapa parah mas?”
“Selain luka lebam, tulang hidung patah, pelipis kiri sobek cukup dalam, beberapa jari terkilir, 1 gigi geraham bawah tanggal, lecet di sekujur kedua lengan, selain itu diagnosa awal ada tulang rusuk yang patah. Besok lo mesti di menjalani CT Scan lanjutan. Kondisi lo sudah jauh lebih baik sekarang. Mesti banyak istirahat terutama penyembuhan tulang hidung. Pasca operasi, butuh 4-5 minggu untuk sembuh total.Itupun dengan catatan gak ada benturan lagi ke tulang hidung. Oke, gue selesai. Kita ketemu besok lagi,” ujar Mas Lukman sambil membereskan peralatannya.
“Mas Lukman ini…tentara ya?”aku mencoba menebak siapa Mas Lukman sebenarnya.
“Ya boleh dibilang begitulah.Yan, lo ada minat masuk ke tentara atau sekolah polisi?”
Aku jadi tentara atau polisi? Gak pernah terlintas dalam pikiranku. Mengingat betapa seringnya aku terlibat masalah. Maka aku pun menggeleng. “Enggak mas. Kenapa memangnya?”
“Lo punya daya tahan fisik yang luar biasa. Sekilas badanmu agak kurus tetapi ternyata hampir tak ada lemak. Otot dan tulangmu benar-benar kokoh. Luka dan cedera yang lo alami sekarang terhitung ringan. Bahkan lo bisa mengalami luka jauh lebih parah daripada yang sekarang ini. Berterimakasihlah kepada orangtuamu atas tubuh alami yang begitu kokoh ini. Dah ya, jangan lupa makan dan istirahat.”
Aku sebenarnya ingin menambahkan kalimat “mendiang” saat Mas Lukman menyebut kedua orangtuaku. Tapi hanya kubatin saja karena aku tidak mau mendapatkan simpati dari siapapun saat ini. Setelah Mas Lukman pergi aku berbaring dan merasa mengantuk. Tak butuh waktu lama aku pun terlelap. Mungkin pengaruh obat dari Mas Lukman…
****
Aku terbangun saat merasakan hawa dingin cukup menusuk tulang. Karena ternyata selimut aku tindih maka aku mesti bangun dan duduk di tepi ranjang untuk mengambil selimut. Entah ini jam berapa sekarang, yang jelas suasana remang karena ada lampu petromax yang di gantung. Samar aku bisa melihat beberapa orang sudah meringkuk dalam selimut. Hawa dingin seperti ini memang paling enak meringkuk di balik selimut. Hanya saja rasa kantukku hilang. Aku lihat di luar sana nampak bayangan api unggun meliuk-liuk. Mungkin masih ada beberapa orang yang gak bisa tidur dan menghangatkan diri dekat api. Tapi dingin benar ini suasana. Kalau tadi gak salah lihat, dekat tirai keluar ada semacam lemari loker berisi pakaian dan sebagainya. Untuk kedua kalinya, aku lepaskan jarum infus. Aku merasa badanku terasa lebih enak dan bisa berjalan tanpa sempoyongan menuju lemari loker. Di lemari ternyata benar memang tersimpan jaket warna hitam tebal, kupluk, sarung tangan, kaos kaki dan sandal jepit. Dan itu semua tersusun rapi di loker lemari berdasarkan nomor tempat tidur. Tadi sebelum aku tertidur aku sempat melihat nomor tempat tidur yang tertera di teralis ranjang. Aku lalu mengambil semua benda di loker no 27 yang bisa membuatku merasa hangat.
Ketika aku keluar dari tenda, kulihat cukup banyak orang yang duduk di atas potongan-potongan kayu yang di susun mengelilingi api unggun. Aku lalu berjalan mendekati salah satu tempat duduk kosong perlahan. aku tidak peduli ada siapa di dekatku, mau anak kelas dua maupun kelas tiga. Aku Cuma ingin menghangatkan badan.
“Lho Yan? Uda sadar lho?” sapa seseorang dari samping.
Ternyata Wira. Dan di dekat Wira ada Astra, Yosi, Riko, Dodo serta beberapa anak kelas tiga kawan dari Jati. Mereka lalu duduk menghadap ke arahku.
“Udahlah. Dingin banget di dalam. Ini kita ada dimana sih?” kataku.
“Di bumi perkemahan Batu Biru kawasan Gunung Songgolangit Kabupaten ZZZ, ketinggian 1500 dari permukaan laut,” terang Astra.
“Gila…Kenapa kita ada disini?”
“Panjang ceritanya,” sahut Astra.
“Yaudah, lanjut lagi ceritanya. Ayo Do, lanjutkan ceritamu tadi sore. Apa yang terjadi setelah Axel pergi?”
“Yan, karena ceritanya masih lama, lo mau gue ambilin apa? Teh atau kopi panas? Eh teh aja kali ya,” ujar Yosi.
“Teh tawar panas aja Yos. Trims.”
“Eh yang lain sekalian, ada yang mo nitip?”
“Kopi..kopi…Yos…lo bawa seteko kopi sekalian kesini. Bakalan panjang ini pasti cerita si Dodo. Mendetail benar kalau Dodo yang cerita,” timpal Riko.
“Njir bawa teko sekalian, asu lo pada. Yadahlah, mumpung gue lagi baik.”
Sambil menunggu Yosi, kami berbasa-basi sejenak hingga Yosi datang membawakan segelas teh panas dan satu teko berisi kopi hitam dan selanjutnya cerita dari Dodo pun mengalir.
Berdasarkan penuturan Dodo serta beberapa tambahan cerita dari Astra, Wira, Riko dan juga Yosi aku bisa mendapatkan satu gambaran kisah yang utuh dimulai setelah Axel pergi dari aula begitu saja. Setelah Axel pergi, beberapa orang memeriksa keadaanku. Di saat dari kedua kelompok sudah tidak peduli lagi siapa yang menang dan siapa yang kalah, yang masih sadar mencoba menyadarkan temannya masing-masing yang masih pingsan, mereka dikagetkan dengan kehadiran tiba-tiba pak Tomo yang menghambur masuk ke dalam aula dengan mata menyala-nyala. Dia berteriak mencari Axel. Namun saat mereka bilang Axel sudah pergi, pak Tomo menanyakan keadaanku. Setelah memeriksa keadaanku, pak Tomo menelepon seseorang. Tak sampai lima menit, puluhan orang masuk ke aula sambil menenteng kotak berisi perlengkapan medis. Dengan sigap mereka menolong semua orang yang cidera baik berat atau ringan. Anak yang masih pingsan dan dirasa mengalami cedera cukup parah sampai di tandu keluar. Di tengah suasana bingung yang dirasakan semua siswa yang terlibat tawuran, ppak Tomo memberikan instruksi agar siswa yang sudah menerima pertolongan pertama dan masih kuat berjalan untuk segera keluar dari aula.
Begitu semua orang sudah berada di luar aula, mereka di giring untuk masuk ke dalam bus besar yang entah sejak kapan sudah terparkir di halaman sekolah. Tanpa memperdulikan kawan maupun lawan secara acak semua siswa diminta masuk ke dalam bus. Dan selanjutnya total ada tujuh bus membawa semua murid yang sudah terlelap akibat didera kelelahan, rasa sakit serta kantuk, menembus jalanan yang mulai lenggang seiring dengan selesainya pesta malam tahun baru menjelang subuh. Tidak ada yang tahu bahwa bus beriringan selama 5 jam menuju bumi perkemahan Batu Biru. Siswa yang pingsan dibawa menggunakan armada mobil khusus.
Semua siswa kaget luar biasa saat mereka dibangunkan dan terperangah mendapati mereka semua berada di kamp Batu Biru. Di Batu Biru ternyata sudah disiapkan beberapa tenda raksasa yang mampu menampung seluruh siswa SMA NEGERI XXX yang malam harinya terlibat tawuran. Namun rasa lelah membuat siapapun tidak mau capek bertanya kepada pak Tomo, beliau ikut ke kamp Batu Biru, tentang alasan kenapa mereka di bawa kesini. Instruksi selanjutnya dari pak Tomo adalah meminta semua murid untuk segera istihat dan tidur sembari tetap diberikan tindakan medis. Baru sore hari setelah mayoritas semua orang sudah terbangun dan makan, pak Tomo lalu menjelaskan situasinya.
Intinya adalah pak Tomo mengumpulkan semua murid ke kamp karena ingin menghindari kecurigaan dari para orang tua jika melihat kondisi anak mereka babak belur terlebih lagi disaat yang bersamaan. Hal itu bisa menimbulkan kecurigaan. Pak Tomo ternyata secara diam-diam sudah membuat surat edaran kepada para orang tua yang menerangkan bahwa ada acara kamping dan outbond tanggal 31 Desember sampai 9 januari. Dengan dalih untuk mengisi waktu luang para siswa cowok dengan kegiatan bermanfaat untuk meningkatkan keakraban dan memupuk kerjasama. Padahal 10 hari tersebut dipergunakan untuk masa penyembuhan segala macam luka maupun cedera akibat tawuran. Kalaupun masih ada sisa cedera atau bekas luka yang belum sembuh atau nampak, kami tinggal bilang, ini luka saat outbond.
Kelar masalah.
Bangsat, kami semua memuji betapa rapinya rencana pak Tomo. Tawuran di aula sekolah seperti sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Kepala Sekolah kami benar-benar mengerikan.
Termasuk rencana jika ada satu siswa yang mengalami luka parah bahkan kritis akibat tawuran, sudah disiapkan jalur penyelamatannya. Contoh paling konkrit adalah ketika Zen kena tusuk dan mesti mendapatkan pertolongan. Astra bercerita bagaimana mereka dicegat beberapa orang berpakaian ala medis dengan masker yang langsung mengambil alih penyelamatan Zen. Zen segera dimasukkan ke dalam mobil lalu dibawa pergi. Hanya satu orang dari kami yang diperbolehkan ikut, sebagai saksi, yakni Wira. Wira bercerita bagaimana ambulan tersebut seperti dikawal sehingga tanpa kesulitan meski jalanan cukup ramai efek tahun baru, dalam hitungan seperempat jam sudah sampai rumah sakit dan lagsung menjalani operasi.
“Zen yang di operasi, gue yang mules. Apalagi pas dokternya keluar, buka masker lalu menunjukkan ekpsresi datar. Pikiran gue udah jelek banget waktu itu. Eh dia bilang gini, ’temanmu selamat’. udah gitu aja lalu pergi. Seperti udah biasa banget ngadepin operasi krusial urusan hidup-mati orang. pas gue lemas dan lega, gue lalu dibawa pergi menuju kesini.”
“Lo gak tanya bego, mau dibawa kemana gitu?” Celetuk Hasan, satu siswa anak kelas tiga, bagian dari kelompok Jati.
“Gue sepertinya kena obat tidur saat dikasih minuman sama mereka. Tak lama setelah masuk mobil, gue udah gak ingat apa-apa lagi. pas sadar ya udah disini sama lo semua.”
“Haiyah, lu gak di kasih obat tidur juga langsung ngorok kalau kena AC,” sindir Yosi.
“Cebong lo Yos.Terserah dah lo pada percaya sama gue atau enggak,” gerutu Wira.
Kami semua tertawa saja.
“Tapi Wir, lo udah jenguk atau minimal liat kondisi Zen?”
“Xavi yang kemarin jenguk Zen. Kebijakan dari pak Tomo, Cuma satu orang yang bisa jenguk Zen. Menurut keterangan Xavi, kondisi Zen mulai membaik meskipun masih belum bisa di ajak komunikasi dengan lancar.”
Mendengar kebijakan aneh tersebut, membuatku mulai tidak menyukai pak Tomo. Setingan kebohongan yang ia siapkan sungguh demikian massif. Orang kena tusuk gak mungkin bisa sembuh dalam waktu sepuluh hari. Menarik apa yang akan pak Tomo katakan kepada orang tua Zen karena menurutku mustahil menyembunyikan hal sedemikian besar.
“Eh Xavi mana?” aku bertanya kepada Yosi.
“Udah pasti tepar dia,” jawab Yosi sambil menambahkan kayu bakar ke dalam api unggun. Hawa langsung kembali terasa hangat seiiring dengan membesarnya api.
“Tapi sama aja kita dikerjain disini kalau menurut gue. Gila benar latihan fsik yang kita terima hampir tiap hari. Ini sih kita bukan di suruh liburan istirahat disini tapi berasa ikut wajib militer.”
“Eh anjir udah jam 1 nih, pantes aja makin gila dinginnya. Udahan yok ah, nanti jam 5 pagi kita mesti senam. Kalau telat bangun kesiangan bisa dibantai pak Armand” ajak Dodo.
Menurut cerita Dodo, pak Arman adalah orang yang ditugaskan pak Tomo untuk mengawasi serta memastikan semua anak yang sudah di anggap sehat, untuk ikut latihan fisik dan kegiatan outbond lainnya. Ya bisa dibilang pak Arman mejadi tangan kanan pak Tomo. Kami baru sadar bahwa tinggal kami bertujuh yang masih ada di luar, suasana benar-benar sepi dan rasanya kupluk udah basah karena berembun. Saat api unggun padam, kami semua sudah kembali ke dalam tenda. Saat semua teman sudah masuk ke dalam tenda, aku dan Dodo belakangan karena ke kamar mandi. Sesaat sebelum masuk ke dalam tenda, Dodo tiba-tiba mengatakan satu hal.
‘berhati-hatilah kalian semua, ada raja ular bersemayam di dalam sekolah kita. Dia yang sudah mengatur ini semua…’
Itu adalah pesan terakhir dari Axel sebelum pergi. Sangat multitafsir kalau gue bilang. Semoga perkataan Axel tersebut bisa menjadi petunjuk Yan. Untuk langkah ke depannya karena gue ngrasa,tawuran di aula bukanlah akhir dari perseteruan dengan Oscar cs. Justru hal itu menjadi awal dari sesuatu yang lebih besar. Oke, deh. Selamat istirahat Yan.”
Dodo menepuk pundakkku sebelum ia masuk ke dalam tenda. Rasa kantuk yang hilang, kondis fisik yang terus membaik, suasanan yang begitu hening membuat otakku mulai bekerja menyatukan kepingan-kepingan informasi biar bisa aku peroleh gambaran besarnya. Dimulai dari peristiwa yang menimpa Xavi lalu menemui klimaks di aula. Benang merah itu mulai terpintal dan terlihat. Hingga akhirya, muncul satu nama yang menurutku menjadi raja ular yang dimaksud Axel.
Brengsek ! hilang sudah rasa respekku kepada anda, Tomo !!
Banyak sekali kejanggalan di balik tawuran ini.
Secepatnya aku harus segera berbicara dengan anda!!
***
@ Depan Rumah Dita
1 hari setelah Yandi kembali dari kamp Batu Biru
****
“Bi, Dita ada?” aku bertanya kepada Bi Marni, pembantu di rumah Dita, dari depan pintu gerbang.
“Ehm, ada sih nak…tapi Non Dita udah pesan ke bibi kalau dia gak mau terima tamu kalau nak Yandi yang cari.”
Kesal bukan kepalang rasanya saat Dita masih saja marah kepadaku. Rasanya kesabaranku mulai habis. Apa dia gak nanya ke Mbak Asih kemanka aku pergi selama 10 hari? Kalau Dita nanya, pasti mbak Asih ceritain. Kalaupun setelah diceritakan seharunya Dita paham posisiku. Di kamp, ponsel benar-benar dilarang.
“Yaudah Bi, makasih. Bilang ke Dita, aku nyariin.”
“Iya nak, maaf bibi gak bisa bantu banyak.”
Saat aku hendak menyeberang kembali ke rumah, tiba-tiba ada mobil Mazda CX warna putih berhenti di depanku. Di saat aku kesal karena mobil ini menghalangi jalan, kaca mobil terbuka dan satu wajah yang familiar muncul.
“Hei Yan…”
Itu Vinia !
“Loh Vinia…kok kamu ada disini..bukannya seharusnya kamu masih ada jadwal konser keliling Indonesia?”
“Gue bosen, lagi take a break for a while dari show. Yan, lu ada ada acara gak? Kalau gak ada, temanin gue jalan-jalan yuk?”
“Ehm gak ada sih..”
“Yaudah ayok masuk mobil.”
“Aku ganti baju dulu ya.”
“Gak usah, udah rapi ganteng kok kamu, hihi..”
Memang aku lumayan rapi sih sekarang ini pake kemeja coklat polos dengan celana panjang jeans hitam. Niatku sih memang mau ajak Dita jalan-jalan tapi Dita masih marahh. Karena gak ada acara lain dan lagi malas kena omel dari Mbak Asih, aku mengiyakan tawaran Vinia dan segera duduk di kursi depan samping Vinia. Karena aku gak bisa nyetir maka ya Vini yang bawa mobil.
“Mau kemana ini Vin?”
“Gak tahu kita puter-puter saja dulu ya. Lo udah makan? Kalau belum tar sekalian makan kita.”
“Belum lapar aku. Kenyang makan ati.”
“haha kesal nih yee. Masih berantem lo sama non Dita?”
Vinia seakan menyindir tentang sifat manja Dita.
“Masih. Dan makin gak jelas.Di telepon gak di angkat, di WA pesan gak terkirim, mau di temuin langsung , gak mau ketemu.”
“Ahah jagoan kok kalahan ma cewek, justru di saat seperti in lo mesti gigih Yan. Kalau Dita gak mau ketemu, dan gak bisa di kontak,lo titip surat lewat bibinya saja. Lo kasih puisi kek atau apa yang romantic. Kadang cewek tu jual mahal dan pengen tahu seberapa jauh , seberapa gigih usaha tuh cowok.”
Sambil melihat ke sekeliling jalan, aku tidak tahu kemana Dita mengarahkan mobilnya. Yang jelas seperti semakin ke pinggiran kota. Namun aku memilih diam karena beranggapan Vinia memang mau putar-putar dahulu. Tetapi lamban laun aku mulai kenal daerah yang kami lewati. Dan keyakinanku semakin besar saat melihat nama tempat ini terpampang dengan jelas di gapura utama.
“Vin, kamu gak salah, malah masuk kompleks ini?”
“Sory Yan, gue lupa ada janji ketemuan dengan teman disini. Bentar aja kok.” jelas Vinia sambil menepikan mobilnya di sisi jalan dan mematikan mesin.
“Lo mau ikut atau tetap diSini?ikut aja yuk!”
Aku pun mengikuti Vinia dan turun dari mobil. Kok rasanya sepi-sepi aja sih, harusnya ramai orang. Mungkin acaranya sudah selesai dan Vinia memang sengaja datang sore hari agar lebih bebas tidak desak-desakan. Aku diam dan terus mengikuti Vinia yang berjalan meliuk di balik pohon dan juga gundukan batu. Hingga akhirnya Vinia berhenti di satu lokasi yang masih kelihatan bersih.
“Mana temanmu? Kok gak ada. Kalian ini aneh-aneh ketemuan kok di tempat seperti ini”
“Dia udah datang kok, malah dia gak pernah pergi tuh.”
Vinia menarik lenganku sehingga kini aku berdiri di dekat Vinia.
“Axel, ini Yandi datang..”
APA? AXEL?
DUAAARRRRRRR!!!!
Rasanya bagaikan disambar petir ketika aku membaca nama yang tertera di batu nisan.
AXEL SIDHARTA WILLIAM
LAHIR : 31 DESEMBER 20XX
WAFAT : 3 JANUARI 201X
“Vin…apa….apaan….ini….” aku gemetaran. Baru kali ini aku tidak ingin percaya dengan apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Kakiku lemas dan jatuh bersimpuh di dekat pusara…Axel…
“Yan..ini ada video terakhir dari Axel buat elo..ini di rekam satu hari sebelum Axel meninggal,” ujar Vinia sambil memberikan ponselnya. Dengan tangan bergetar aku menerimanya kemudian kutekan tombol PLAY.
Halo Yandi my man !! kalau lo nonton video ini berarti lo sekarang ada di depan makam gue alias gue uda mokad duluan daripada para bajingan di sekolahan kita haha..mungkin lo bingung tapi tenang aja, kalau ada hal lain yang elo belum jelas, lo bisa tanya ke Vinia.
Di kesempatan ini gue mau jelasin dua hal, gak usah banyak-banyak. Takut gue malah mampus depan kamera kan gak lucu. Satu, gue mati karena sakit kanker man, kanker paru-paru. And the fucking funny fact is, gue kena kanker bukan karena gue perokok, bukan ! melainkan secara genetic, gue memiliki gen penyebab kanker dimana kalau di tarik lurus dari akar keluarga besar gue, kakek dan paman gue juga meninggal karena kanker paru. Dimana itu hal yang sangat konyol karena menurut kesaksian keluarga, keduanya sama sekali bukan perokok ! ahahahah. Ketika gue tahu kalau gue kena kanker stadium empat beberapa bulan yang lalu karena faktor keturunan bukan karena perokok berat, jadi ya sekalian aja gue asapin niih paru bengek. Uhuukk…uhukkk….hoeeekk…
Wooiii !! jangan matiin gue dulu anjing. Gue belum kelar ngomong. Oke..oke…udah….asyik nih paru..nah ..gitu…kasih kesempatan gue ngomo.. Kedua, gue mau minta maaf. Gue minta maaf karena udah ngehina ortu lho yang sudah almarhum akibat tanah longsor. Gue udah kehabisan akal untuk ngepush potensi elo. dan cerita dari Vinia membuat gue terpaksa menggunakan kematian ortumu untuk memanti kemarahan lo di aula.
Dan hasilnya? Your uppercut is fucking bomb dude !! Uppercut elo adalah salah satu uppercut paling sakiiitt yang pernah gue terima. Kalau saja gak di depan anak-anak , gue udah pass-out. Tetapi pride dan tekad gue lebih kuat. Jadi selama beberapa menit gue belagak sok cool. Begitu gue keluar dari aula, gue jalan kayak orang mabukkk, fukk, kepala gue pusing. Susah payah gue akhirny sampai di mobil dan gue muntah lalu pingsan. Kalau gak percaya lo tanya vinia aj, dia yang bawa mobil nganterin gue dari rumah sakit ke sekolahan. Intinya gue cuma minta maaf di part gue hina ortumu, tapi gue gak minta maaf di part dimana gue ngehajar elo dengan kursi. Yandi…gue pengen tunjukkin ke elo satu dunia keras yang akan menanti elo, suka atau tidak suka, begitu lo berhasil ngalahin Oscar. Jadi orang jangan terlalu prinsipil. Jangan nyalahin lawan lawan elo yang pake senjta kalau berantem !! jangan lo anggap semua lawan elo itu punya prinsip yang sama dengan elo. beda ! prinsip mereka bisa jadi semua halal asal menang. Tapi asli gue bangga sama elo Sewaktu liat elo berhasil ngalahin Oscar. Gue sampai nahan diri biar gak ikut tepuk tangan. Dan saat itu gue juga sadar, generasi kami sudah usai. Elo sebagai orang nomor dua terkuat di sekolah akan menjadi pemimpin . namun lo gak akan bisa maju selama ada gue. Namun titel orang terkuat itu bukan seperti orang kasih medali. Gak gitu. Lo tetap mesti lawan gue. Karena itu cara kerja dunianya murid bajingan kayak kita.
Dan menilik sifat lo yang baik hati, kalau gak gue paksa lo gak mungkin sepenuh hati lawan gue Dan you know what? I’m so glad udah sempat baku hantam sama elo. Gila lo yah, setelah lawan opet, Oscar berturut turut lo masih simpan tenaga sebesar itu.. Makasih Yan, elo udah jadi lawan gue yang terakhir kalinya. My final clash is so damn good !! Yandi, lo nomor satu sekarang, .. lindungi mereka karena anton serius dengan rencana serangannya ke sekolah kita. Tidak lama lagi.
Satukan semua bajingan di sekolah.itu satu-satunya kesempatan elo untuk menang..SEMUANYA, TANPA KECUALI,. Uhukk,,uhukk,,,uhhukkkkkkk,…uhukkkkkk….hoekkkkkzzzzzzzzzzz..zz.. Anj..uhukkk…uhuuukkkkkkkk..arghhh.. paruugghhhtttt…gua,,hooeeekzzzxx…uhukkkkk.. Bye! Love..you…broo…jagain…vinia….uhukkkkkkksss
Di akhir video Axel yang sudah semakin payah, terlihat kuyu, pucat menyalakan rokok dan menghisap seakan mengejek kanker yang menggerogoti tubuhnya.dengan tubuh dan penyakit seperti itu, dia mampu mengeluarkan uppercut yang mengguncangkan duniaku..entah apa yang terjadi kalau dia memukulku dalam kondisi…prima.
Aku tahu !! aku tahuuu sekarang dimana letak kejanggalan Axel. Axel sebenarnya lebih dahulu bereaksi saat adu uppercut, namun ia dengan sengaja menahan tinju kirinya, memberiku sepersekian detik untuk memasukkan uppercut terlebih dahulu. Baru kemudian ia menghantamku..
“Axel…menolak menjalani…kemoterapi…atau radiotherapy..karena ia beranggapan hal itu percuma dan buang-buang waktu dan tidak akan menyelamatkannya.. setelah perform di pensi, kondisi Axel langsung drop dan hilang kesadaran. Dengan diam-diam kami melarikan Axel ke rumah sakit karena tidak ingin membuat kegaduhan, Axel tidak ingin semua orang di sekolah tahu bahwa ia sakit. Malam itu juga Axel sempat koma, semua orang mengira Axel tidak akan mampu melewati masa kritis karena sel kanker sudah menyebar. Namun ajaibnya dia masih bertahan…..di saat ia sadar..yang ia katakan adalah.. ’gue..mesti..ketemu..yandi…gue..belum..boleh..mati sekarang ’. Dan setelah Axel mengirimkan video ini ke gue, dia kolaps, koma. Dan dia menghembuskan nafas terakhirnya keesokan harinya jam 4 sore…hikkkkssss.”
Vinia yang berusaha tegar akhirnya roboh juga,
Aku bersimpuh di pusara Axel,Vinia memeluk punggungku..kami berdua menangis bersama..
Suara petir menggelegar dan hujan rintik pun mulai turun…
Kenapa….kenapa…kamu… selalu…turun…ketika..aku…berdukaaaaa…
HUJANNN….AKU…SANGAT.. MEMBENCIMU !!!!!!
= BERSAMBUNG =
putar dan dengarkan lagu ini, bayangkan lo jadi Yandi..
Putar kembali kenangan Yandi saat pertama kali ia bertemu dengan Axel di gerbang sekolah..
Bayangkan betapa kerennya Axel saat membela Yandi dan meminta semua orang pergi dari lantai dua kantin sekolah..
Ingat lagi betapa Axel sering memberikan nasihat kepada Yandi…
Axel sudah menganggap Yandi sebagai his llost brother..
GOODBYE…AXEL..
baca sambil kucek² mata, tengah malam apdetannye bikun penasaran. lanjut lagi master. keep the faith. have a good time 4 yaall
ReplyDeleteRIP AXEL SIDHARTA WILLIAM
Deletexl ...... love your way to die
ReplyDeleteWah wah subuh dah muncul aja niih update , thanks suhu ...
ReplyDeleteBajingan..ini episode yg paling emosional
ReplyDeleteBye bule gendeng
ReplyDeleteRIP Axel
ReplyDeleteSalah satu tokoh favorit gw di cerita ini
Suwun om panth
Mantap merayap
Gak ada bosannya baca episode ini berulang2 dan tetap air mata berlinang... persis ibu2 nonton film india
ReplyDeletewuuuiiihhh mangstap om.
ReplyDeletenew look.
congrats.
RiP Axel.. you the best dude..
ReplyDelete