LPH #56
Episode 56
Scary Guy
(POV Pak Tomo)
Aku puas mendengar laporan dari Akmal, ketua OSIS sekaligus ketua panitia BIG BANG, bahwa segala sesuatunya sudah sesuai timeline yang kami buat. Mulai dari menyiapkan akomodasi para bintang tamu terutama bintang tamu dari luar negeri, semua sudah siap hingga venue yang mulai malam sudah mulai loading dan setting tempat.
“Kalau dari saya, sudah tidak ada pertanyaan lagi. Good job Mal.”
Akmal terlihat senang saat aku memujinya. Wajar jika dia mendapat pujian, karena meskipun tergambar kelelahan di wajahnya, dia tetap bersemangat dan sangat perfeksionis. Jadi aku bisa tenang, karena BIG BANG bukan pensi main-main. Meskipun begitu, aku juga merasa terbantu dengan kehadiran Elsa, guru musik yang sengaja aku rektrut sendiri, menggantikan Bu Evi yang pensiun beberapa bulan yang lalu. Elsa yang sudah kenyang dengan dunia promotor musik dan event organizer sungguh datang di saat yang tepat.
Sebenarnya Elsa sudah rutin memberikan laporan perkembangan persiapan pensi tetapi aku merasa perlu bertemu dan berbicara langsung dengan semua siswa yang menjadi panitia. Aku ingin mereka merasakan bahwa aku 100% mendukung dan mendorong mereka. Tindakan kecil namun memiliki dampak besar dalam hal psikologis para siswa.
“Bu Elsa, ada tambahan?” jika di depan siswa aku memanggil Elsa dengan tambahan Bu agar tetap sopan dan formal. Kalau hanya sedang berdua, aku memanggilnya Elsa.
“Gak ada sih Pak, semua sudah sesuai dengan penjelasan Akmal.”
Pertemuan di ruang rapat pun usai, Akmal beserta beberapa siswa yang menjadi PIC tiap Divisi pun aku minta untuk segera pulang dan istirahat. Kemudian aku dan Elsa kembali ke ruangan Guru.
“Pak Tomo baik sekali ya, diluar kesibukan sebagai kepala sekolah, Bapak masih menyempatkan diri datang ke ruang OSIS dan berinteraksi dengan mereka,” puji Elsa saat kami berdua berjalan menuju ruang para guru.
“Saya ingin menjadi kepala sekolah dimana para siswaku bisa merasa dekat dengan saya Elsa. Bukan sebagai sosok yang ditakuti dan tidak dekat dengan para siswa.”
“Dan menurut saya Pak Tomo sudah berhasil, karena saya bisa melihat dan merasakan sendiri betapa mereka para siswa, terutama para siswa yang menjadi panitia mengagumi Pak Tomo.”
“Ah saya cuman melakukan hal yang sama, yang sudah dilakukan oleh Pak Agus, Kepala Sekolah disini ketika saya dulu menjadi murid.”
Satu obrolan singkat dengan Elsa, nyaris membuatku bercerita panjang lebar tentang masa laluku. Tentang sosok Pak Agus, satu-satunya guru yang memiliki nyali besar dan berani mendekatiku secara personal. Beliau satu-satunya orang yang melihatku sebagai Tomo salah satu siswanya. Bukan sebagai Tomo The Tank, siswa bengal paling ditakuti seantero Kota XXX. Kalau bukan karena Pak Agus aku tidak mungkin mengikuti jejaknya menjadi seorang guru bahkan kepala sekolah, namun bisa jadi aku menjadi bos mafia atau malah mati muda karena terbunuh di jalanan.
Sampai di ruangan, suasana sudah lengang. Semua guru sudah pulang sepertinya, ya wajar sih udah jam 5 sore. Sementara Elsa sedang beres-beres meja kerjanya, aku mengambil gelas baru yang masih bersih di rak gelas yang ada di pojok ruangan para guru.
“Lho Pak Tomo belum mau pulang?” tanya Elsa yang sudah menenteng tas. Blazer yang tadi ia kenakan saat rapat sudah ia lepas, sehingga terlihat jelas mini dress Elsa yang sebelumnya terbungkus blazer. Penampilan Elsa terlihat seksi dengan rambut yang masih tergelung rapi, hampir tidak memiliki potongan seorang guru. Selain pernah berkarier di dunia showbiz, Elsa bercerita bahwa sesekali ia menjadi foto model. Namun semenjak serius di bidang pendidikan dan menjadi guru, Elsa mengaku tidak mengambil lagi job tersebut.
“Belum. Mau ngopi dulu sambil rokokan. Hati-hati ya.”
“Baik Pak. Yaudah, saya pulang duluan Pak Tomo, mari.”
Aku mengangguk.
Meskipun akhir-akhir ini kami banyak berdiskusi, diskusi tentang persiapan pensi tentu saja, entah kenapa aku merasa biasa saja terhadap Elsa. Dia smart, sangat bisa di andalkan. Seolah-olah Elsa menjadi assistent pribadiku. Namun aku membatasi diri dalam hal pekerjaan saja. Aku ingin menjaga hubungan ini tetap profesional. Semenjak peristiwa gadis panggilan yang aku sewa untuk bersenang-senang dengan Joni dan Gun ternyata Asha, yang menjadi muridku sendiri, membuatku malas terlibat secara emosional dengan perempuan di sekitarku.
Aku lalu masuk ke dalam ruanganku yang seolah menjadi rumah keduaku. Dalam sehari aku bisa menghabiskan 9-10 jam di sini. Baik untuk bekerja ataupun untuk bersantai memikirkan banyak hal.
17.23
Masih ada waktu untuk menyeduh kopi mandheling tanpa gula. Aku membawa kopi yang mengepul panas ke taman yang ada di balkon ruangan. Setelah satu tegukan, ku sulut sebatang rokok yang tinggal sebatang.
Cresh..
Kopi dan rokok sudah begini nikmat, kadang malah jauh lebih nikmat daripada sebuah hubungan seks.
Satu pesan muncul di ponsel. Dan aku balas dengan singkat.
"Lima menit."
Selain aku masih belum ingin pulang, aku masih ada satu agenda lagi. Tadi siang ada satu siswa yang meminta ijin untuk berbicara empat mata denganku. Setelah aku jelaskan bahwa aku baru ada waktu sore hari setelah aku meeting dengan panitia pensi, dia bilang tidak apa-apa, dia bisa menunggu, aku pun tidak ada alasan untuk tidak menerimanya. Lagipula aku cukup tertarik dengan apa yang hendak anak itu bicarakan.
Aku meminta anak tersebut menyusul di taman balkon. Dengan sopan, dia mengetuk pelan pintu sambil menyapa, “Selamat sore Pak Tomo.”
Aku mengangguk dan meminta dia duduk di bangku berhadapan denganku.
“Karena Pak Tomo hanya memberikanku waktu lima menit untuk berbicara, itupun saya sudah berterimakasih dan bersyukur karena Pak Tomo masih sudi menerima saya. Jadi saya ingin langsung masuk ke hal yang ingin saya bicarakan. Seperti yang bapak tahu, saat ini di sekolah kita, sedang ada perang dingin yang terjadi antara dua kelompok. Pertikaian yang berpotensi merusak nama baik sekolah dimana hal itu bisa mencoreng muka Bapak sebagai kepala sekolah SMA NEGERI XXX. Namun syukurlah, setelah Bapak menerapkan kebijakan yang ketat. Pertikaian berhasil di redam. Hanya saja, meredamkan pertikaian bukan berarti menyelesaikan masalah. Justru saya bisa merasakan sendiri betapa panasnya persaingan bak api dalam sekam. Terlebih lagi ketika Bapak bersikap tidak adil alias tebang pilih dalam menghukum siswa yang sudah melanggar aturan sekolah.”
Anak ini terdiam dan menatapku tepat di akhir kalimat. Dari cara ia berbicara, aku langsung tahu anak ini tahu benar apa yang ia katakan. Santai namun cermat.
Aku tahu kalimat di akhir merujuk ke insiden tiga anak kelas satu yang “mengundurkan diri” yang berhubungan dengan kelompok Yandi. Namun di saat yang sama aku ingin mengetes sejauh mana “tekanan” dari anak ini dan apa maunya.
“Pilih kasih? Coba diperjelas.”
Dengan senyum tertahan, nampak sekali kalau ia yakin bahwa aku akan terpancing dengan omongannya.
“Ketika Leo, Bembi dan Sigit dipaksa pindah oleh pihak sekolah, di lain pihak, justru sekelompok anak kelas satu yang menyebabkan mereka pindah dan juga memukuli dua nama terakhir malah melenggang bebas tidak ada hukuman sama sekali. Ini jelas tidak adil Pak. Sudah pasti ada kesepakatan di belakang antara ‘pihak sekolah’ dengan beberapa siswa yang terlibat dalam kasus ini.”
Aku santai saja mendengarnya karena aku tahu benar keputusanku tersebut bisa dibilang berat sebelah, hanya menghukum satu pihak. Aku bisa saja tetap menghukum Yandi dan teman-temannya, terlepas dari ancaman Yandi. Yandi boleh saja menganggap dia telah menekan dan mengancamku. Padahal sesungguhnya buatku itu seperti angin lalu. Sekali tunjuk, bisa aku hilangkan Yandi dan teman-temannya dengan mudah. Namun ancaman Yandi tersebut membuatku memiliki peluang untuk mengurai benang kusut perselisihan yang terjadi. Aku yakin permasalahan di sekolah ini jauh lebih rumit daripada sekedar kelompok A melawan kelompok B.
Ada tangan tak terlihat yang ikut bermain di kelompok, dalang yang memicu perselisihan besar.
Untuk menarik keluar biang keladi yang bermain dari balik layar, aku perlu memancingnya keluar.
Dan Yandi adalah umpan yang baik.
Hanya dia si provokator yang bisa “melihat” dan memprotes bahwa keputusanku mengeluarkan ketiga siswa kelas satu dari sekolah ini, sebagai keputusan yang berat sebelah, menguntungkan salah satu kelompok dan merugikan kelompok yang lain. Apalagi salah satu anak yang aku keluarkan adalah Leo, anak dari Pak Albert, kepala sekolah SMA NEGERI XXX terdahulu.
Dan benar saja, sang sutradara asli sudah menunjukkan batang hidungnya di depanku sekarang. Ternyata kamu orangnya.
Bram.
“Kamu bisa protes sepuasnya. Justru kalau ditelusuri dari awal, ketiga siswa tersebut adalah pelaku sebenarnya pengeroyokan terhadap salah satu anak kelas satu lainnya yang membuat orang tua anak itu murka. Ketiga anak tersebut salah memilih korban karena anak tersebut adalah anak tunggal dari salah satu pejabat paling berpengaruh di negara ini. Aku rasa kamu sudah cukup pintar menghubungkan peristiwa tersebut dengan di pindahnya kepsek serta wakasekmu yang gila hormat itu. Sekarang gantian Bapak yang bertanya. Keputusanku tidak bisa di ganggu gugat demi kehormatan sekolah ini, lalu apa maumu? Katakan saja terus terang, tidak usah takut. Saya tidak akan menghukum murid yang berani protes ke saya. Justru saya mesti memuji keberanianmu,” kataku balik menantang.
“Hehehe saya tidak protes pak, justru saya malah....berterimakasih karena Pak Tomo sudah menyingkirkan ketiga bocah otak kriminal tersebut. Dan saya juga setuju kalau Bapak tidak menghukum anak kelas satu yang diduga terlibat aksi main hakim sendiri. Lagipula dari ketiga siswa tersebut tidak ada yang melapor Polisi. Jadi saya rasa masalah ini sudah clear. Para pelaku penyerangan Xavi sudah mendapatkan hukuman yang menurut saya masih ringan, mereka justru harusnya berterimakasih karena kasus ini tidak dibawa ke ranah hukum oleh orang tua korban,” jawab Bram kalem.
Licin....licin sekali anak ini. Basa-basinya sedemikian berat hehe lumayan. Tujuan utamanya masih rapi disimpan. Hampir mirip dengan sifat Joni sewaktu muda. Pandai bersilat lidah. Oke, mari kita “Adu Catur”. Sudah lama aku tidak bertemu dengan anak muda seperti Bram yang penuh tipu muslihat ini. Menarik..
“Jadi kalau kamu hanya ingin berterimakasih kepada Bapak, saya ucapkan sama-sama. Kalau begitu, sudah selesai pertemuan kita kan? Jangan pulang sore-sore, nanti kamu dicari orang tuamu,” sindirku.
Bram tergelak.
“Selain berterimakasih ke Pak Tomo, saya ingin membuat satu permintaan ke Pak Tomo...”
Aku mengehembuskan asap rokok ke atas menunggu Bram melanjutkan kalimatnya.
“Basmi semua siswa bajingan di sekolah ini. Para siswa bengal yang sudah mencoba mengotori reputasi SMA NEGERI XXX dengan tindakan bar-bar. Jika diperjelas lagi, bantu saya membasmi Oscar, Budi, Axel, Feri, Jati, Deka, Darma dan beberapa siswa lain yang mengancam integritas sekolah terhormat ini. Cabut sifat sok jagoan mereka pak ! Setelah Pensi, bapak kumpulkan semua bajingan yang terlibat perseteruan, biarkan mereka baku hantam sepuasnya di sekolah ini.
Setelah mereka selesai, hukum mereka seberat-beratnya sampai rontok mental tak tersisa mental bajingan dalam diri mereka. Dengan kata lain cuci otak mereka menjadi siswa penurut, tidak usah dikeluarkan karena bisa merusak nama sekolah karena mereka siswa kelas tiga. Namun kodrat dan takdir sekolah kita sebagai sekolah yang melahirkan banyak siswa terkuat dan ditakuti di kawasan ini tidak bisa dilepaskan begitu saja. Harus ada satu siswa yang muncul sebagai pemimpin sekolah ini untuk menjaga keteraturan sekaligus penjaga jika ada sekolah lain berani macam-macam dengan sekolah kita.
Maaf lho Pak kalau saya banyak menyebut istilah ‘bajingan’. Saya yakin Pak Tomo sudah tahu makna ‘pemimpin sekolah’ yang saya sebutkan tadi. Dan menurut saya ada satu siswa yang memiliki reputasi baik, memiliki jiwa pemimpin dan yang terpenting dia sangat-sangat kuat. Dia adalah Yandi. Saya ingin Yandi menjadi pemimpin yang bukan hanya disegani di sekolah ini namun juga sekolah lain di kawasan ini. Saya rasa Pak Tomo juga setuju dengan saya tentang sosok Yandi. Jika semua siswa bajingan berhasil di jinakkan dan segan terhadap Yandi, maka sekolah kita akan menjadi lebih tenang, damai, aman dan semua murid bisa belajar dengan tenang sehingga SMA NEGERI XXX menjadi sekolah paling maju di negeri ini. Dan saya yakin bahwa Pak Tomo bisa memimpin para generasi emas siswa-siswa di sini. Pak Tomo akan menjadi legenda.
Bagaimana presentasi singkat dari saya Pak? Menarik bukan hehe?" ujarnya sopan.
Lancang sekali ini anak secara terang-terangan memintaku menyingkirkan beberapa nama yang tadi ia sebutkan. Selain itu dia juga mendorong Yandi menjadi pemimpin di sekolah ini? Siswa yang ditakuti para bajingan? Hahaha. Kurang ajar sekali namun juga menarik minatku ! Apalagi tujuan besar Bram sama dengan visiku, yakni menjadikan SMA NEGERI XXX menjadi yang terbaik selama masa kepemimpinanku. Tentang Yandi, aku pribadi menyukai karakternya yang sama sekali tidak memiliki potongan siswa bajingan, prestasinya bagus, tidak banyak tingkah, berasal dari kampung yang masih akrab dengan sopan santun.
Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala. Memang menarik sekali anak jaman sekarang. Jack, anak didikanmu ini sungguh menonjol. Ya aku mengetahui bahwa Bram dan Jack memiliki kedekatan, bisa jadi Bram juga terpengaruh dengan gaya Jack yang pintar memanipulasi orang.
"Bagi rokokmu. Kamu punya waktu tiga puluh menit untuk menjelaskan dengan lebih detail."
Mata bocah yang ada di depanku seperti berkilatan, ketika aku tertarik dengan presentasinya. Ia lalu mengeluarkan sebungkus rokok yang masih baru. Sebelum aku bakar rokok ini. Aku ingin menegaskan satu hal.
"Sebelum kamu mulai, aku ingin katakan sesuatu. Lebih tepatnya, peringatan. Aku tahu siapa ‘orang tua’ yang ada di belakangmu. Tapi percayalah, jika ada sesuatu yang salah, dalam lima detik, dia bisa kuhancurkan semudah aku membakar rokok ini. Paham?!"
Bocah ini mengangguk khidmat.
Ah bisa sopan juga ini bocah, padahal menilik dari kelakuannya di sekolah yang membuat pening semua guru bahkan kepala sekolah terdahulu, dia terkenal siswa paling bajingan dan di saat yang sama, para guru susah untuk menghukumnya.
"Saya paham pak, bahkan sebenarnya, ini semua tidak bisa berjalan jika tidak ada dukungan dari Bapak."
“Tergantung penjelasanmu sekarang ini.”
“Tentu Pak Tomo bertanya-tanya bagaimana membuat Yandi menjadi pemimpin yang diakui dan disegani oleh semua siswa termasuk siswa senior. Satu-satunya cara adalah membuat Yandi menjadi pemenang di pertempuran nanti. Kita buat Yandi menjadi satu-satunya orang yang tetap bertahan dan mengalahkan semua para bajingan di depan semua siswa.”
“Membuat Yandi menjadi satu-satunya orang yang masih bertahan di akhir tawuran, katamu?”
Bram mengangguk.
“Pak Tomo mungkin berpikir saya sinting atau sedang mabuk karena ini berarti Yandi mesti menang melawan Axel, Oscar dan para senior lainnya belum lagi potensi kehadiran dua alumni di pihak Oscar. Membayangkan Yandi mengalahkan semua bajingan kelas kakap jelas itu fantasi, sebuah ketidakmungkinan yang absolut. Namun saya serius pak. Tidak mudah memang namun sudah saya pikirkan jalur kemenangan Yandi. Hanya saja semuanya tergantung dengan kepada Yandi, seberapa kuat dan kemauannya untuk menang.”
“Stop dulu. Seduhkan kopi lagi buat saya. Bubuk mandheling ada di lemari. Sekalian kamu panaskan air di teko selama dua menit. Kalau kamu mau buat kopi sekalian, silahkan. Ada banyak jenis kopi di dalam,” perintahku.
“Oh iya Pak,” jawab Bram sopan.
Sambil menunggu Bram, aku membayangkan jika sosok seperti Yandi menjadi katakanlah siswa paling kuat di sekolah ini. Mau tak mau dia akan meneruskan tradisi yang penuh dengan kekerasan. Memang dia akan mendapat respek dari semua siswa di sekolah ini. Namun tidak demikian dengan siswa bajingan dari sekolah lain. Tentu saja mereka akan penasaran dan ingin mengetes kemampuan Yandi. Kuncinya ada di Yandi. Jika dia bisa melewati ujian yang disiapkan Bram, dia memang pantas dan mampu memikul tanggung jawab tersebut.
Tak lama kemudian Bram datang membawa 2 gelas kopi panas.
“Ini pak,” ujar Bram sambil meletakkan gelas di meja.
“Kamu minum kopi Gayo?” aku hapal dengan aroma kafein yang sangat kuat menguar dari kepulan kopinya. Pahit dengan aroma rempah.
Bram mengangguk, “Favorit saya dikala butuh suntikan kafein dengan dosis tinggi hehe.”
Aku lalu mempersilahkan Bram untuk melanjutkan ceritanya.
“Pada dasarnya perseteruan terjadi antara Oscar dengan Axel. Keduanya memiliki histori permusuhan yang begitu panjang, terutama Oscar yang masih penasaran dengan Axel. Oscar memiliki banyak anak buah, seluruh siswa kelas 2 sekarang ini dan sebagian angkatan kelas 3. Sementara Axel, dia cuek dan tidak terlalu memikirkan cara untuk menghimpun anak buah. Namun Axel mendapat suport dari Feri,sohibnya yang menguasai sebagian angkatan kelas 3. Selain itu Axel jelas mendapat dukungan dari anak kelas satu dibawah komando Yandi. Perbedaan jumlah personil di antara kedua kelompok cukup besar sekitar 40-50 anak. Belum lagi Oscar mengajak serta Opet dan Ander.”
“Oh dua alumni itu ya. Punya nyawa lebih sepertinya mereka berdua karena berani ikut campur. Apa perlu saya singkirkan keduanya biar berimbang kekuatannya?”
“Jangan Pak. Justru saya mohon agar Bapak membiarkan keduanya tetap ikut.”
“Kenapa? Bukannnya kehadiran keduanya semakin mempersulit posisi Axel dan juga Yandi?”
“Saya orangnya jarang mengandalkan feeling maupun intuisi Pak dalam membuat maupun mengkalkulasi suatu rencana. Namun kehadiran Opet dan Ander justru bisa poin plus, jika rencana ini berhasil dan feeling saya salah satu dari keduanya besar kemungkinan terlibat konfrontasi langsung dengan Yandi. Mengingat keduanya dipermalukan Yandi ketika ia mengancam Leo tepat di hidung mereka. Yandi mesti menang melawan salah satu di antara mereka. Jika ia menang, efeknya bakalan luar biasa dan membuat gentar lawan. Bocah 16 tahun menang melawan remaja 19 tahun yang menyandang status mantan anggota geng Bloody Hell.”
“Oke. Ya katakanlah Yandi menang melawan salah satu dari mereka berdua. Jika ia masih punya tenaga, besar kemungkinan ia akan head to head dengan Oscar. Namun Oscar bisa jadi sedang sibuk melayani Axel.” Kopi hitam benar-benar membuat obrolan ini semakin seru.
“Saya akan menghalangi Axel atau gampangnya saya akan membuat Axel tidak bisa datang ke acara tersebut. Sehingga Oscar akan berhadapan dengan Feri. Di mata saya, Oscar bisa mengatasi Feri. Ketika semua orang sudah tumbang, Axel tidak bisa datang, sifat sok pahlawan Yandi akan membuatnya tidak tahan membiarkan Oscar menang. Jika hanya dia yang tersisa sudah pasti dia harus melawan head to head dengan Oscar.”
“Yandi lawan Oscar? Sepertinya sesuatu yang sangat berat.”
Bram mengangguk.
“Kalau mereka sudah berhadapan, saya pun tidak tahu apa yang terjadi. Sangat kecil sekali kemungkinan Yandi bisa menang, namun dia punya modal berharga untuk menang. Yakni sifat naif, sifat yang seolah menanggung beban semua temannya seorang diri. Pokoknya tergantung dengan Yandi. Saya benar-benar bertaruh. 1 banding 10 lah Pak.”
“Haha di saat semua orang baru berani menaruh taruhan jika secara hitungan peluang untuk menangnya besar. Tetapi kamu justru bertaruh kepada sesuatu yang sangat kecil sekali peluangnya untuk menang.”
Bram tertawa.
“Hidup saya membosankan Pak jika terus menerus bermain aman. Itu bukan gaya saya. Itulah kenapa saya sempat hobi balapan liar yang menyerempet bahaya, hehe.”
“Oh iya, kamu tadi bilang akan menghalangi kedatangan Axel. Dengan cara apa?”
Tatapan mata Bram berubah.
“Saya akan mengirim orang. 10 orang mantan anggota Bloody Hell yang punya dendam terhadap Axel untuk menghabisi dia. Wow, saya tidak percaya, saya menceritakan rencana yang mengarah ke tindakan kriminal kepada Kepala Sekolahku.”
Bram tertawa terkikik di depanku. Aku agak kaget dengan keterbukaan Bram kepadaku. Dengan enteng dia menceritakan rencana busuknya. Jujur saja, aku termasuk orang yang membenci orang tipikal Bram yang dengan mudah meminta sekelompok orang untuk melakukan penyerangan kepada satu orang. Kalau saja aku bukan seorang kepala sekolah, sudah aku lempar Bram dari balkon lantai 3 sini.
“Kalau sampai orang kirimanmu benar-benar menghabisi Axel dalam artian sampai membunuhnya, kamu mesti siap jadi tersangka otak pembunuhan berencana.”
“Hehe itu bagian dari resiko permainan Pak,” jawab Bram enteng.
“Oh iya, menghilangkan Axel dari pertempuran ? Bukankah bisa menjadi boomerang dan membuat peluang kelompok Feri menang semakin mengecil dan juga memperkecil peluang Yandi,” aku berusaha mengorek sebanyak mungkin, karena aku ingin mengetahui secara detail rencana Bram.
Bram mengggeleng.
“Memang hal ini sangat beresiko namun kehadiran Axel justru memperkecil peluang Yandi berhadapan dengan Oscar. Si bule itu luar biasa kuat, mau sebringas apapun Oscar, tetap dia masih bukan tandingan Axel.”
Hohoho komplek sekali cara berpikir Bram. Sampe hal detail seperti itu ia perhitungkan.
“Kalau Axel yang menang, sama saja rencana ini akan gagal total. Tidak akan ada pergeseran kekuatan. Dan posisi sekolah akan semakin rawan jika Axel masih berkeliaran untuk satu tahun ke depan. Yandi tidak akan pernah bisa maju.”
“Kamu adu saja Yandi melawan Axel.” kataku santai sambil menyeruput kopi dan menikmat masa pergantian sore ke malam dari taman balkon.
“Enggak. Itu tidak boleh terjadi, Yandi tidak akan pernah menjadi tandingan sepadan untuk Axel.”
Lama-lama aku penasaran juga dengan Axel. Siswaku yang konon menjadi siswa SMA paling kuat dan ditakuti di Kota XXX. Jika saja aku masih muda, sudah aku tantang Axel untuk duel hahaha.
“Secara garis besar itulah rencana yang saya susun Pak. Partai utamanya adalah Yandi melawan Oscar, bukan Axel melawan Oscar. Secara teknis saya juga sudah memiliki rencana. Karena ini akan jadi tawuran yang cukup masif, sebaiknya segala sesuatunya sudah di antisipasi . Menurut saya, sebaiknya mereka dikumpulkan di aula sekolah tepat di malam tahun baru atau sehari setelah pensi. Ketika semua siswa sudah berkumpul di aula, ada penjagaan ketat di gerbang sekolah untuk menjaga kedatangan tamu tak di undang dan tentu saja Polisi yang mencium aktivitas kerusuhan di sekolah karena letak sekolah kita berdekatan dengan jalan raya. Yang namanya tawuran sudah pasti banyak jatuh korban luka, akan sangat mencurigakan jika semua ratusan siswa SMA NEGERI XXX masuk ke rumah sakit di saat yang bersamaan. Polisi akan dengan mudah mengendus telah terjadi kerusuhan. Jadi begitu tawurran selesai, semua siswa di angkut masuk ke dalam bus lalu dibawa ke Batu Biru untuk dirawat.”
“Batu Biru? Daerah outbond dan perkemahan di kaki gunung Candi sana?”
Bram mengangguk.
“Di sana nanti disiapkan kamp besar untuk merawat para siswa yang luka. Sebelum Pak Tomo bertanya, bagaimana jika keluarga tiap siswa mencari anak mereka yang menghilang. Bapak tenang saja, saya sudah memiliki skenario. Ini saya sudah siapkan undangan dengan kop sekolah kepada para wali murid. Intinya sekolah akan mengadakan kamp pelatihan khusus siswa cowok selama 10 hari di tempat yang di rahasiakan dengan tujuan untuk mendidik kedisiplinan serta memberikan kegiatan yang positif mengingat setelah ini Sekolah ada libur panjang selama 1 bulan.”
Bram menyerahkan selembar kertas yang berisi surat kegiatan dari sekolah, intinya sama seperti yang dikatakan Bram.
“Pak Tomo tinggal tanda tangan dan surat siap di kirimkan secara rahasia kepada semua wali murid. Jadi dengan surat ini, setelah 10 hari jika anak mereka pulang dengan kondisi bekas luka lebam atau cedera lainnya, para orang tua akan mengira hal itu adalah hasil dari outbond dan pelatihan di kamp bukan cedera karena sehabis tawuran. Sehingga siswa yang pulang membawa cedera yang belum sembuh benar akibat tawuran, tidak akan susah-susah berbohong karena alibinya sudah diatur sedemikian rupa. Sisi positif lainnya adalah dengan adanya kamp setelah tawuran akan menjadi momen yang tepat bagi Pak Tomo untuk menegaskan ancaman bahwa setelah ini tidak ada lagi dendam, semua clear dan di kamp akan menjadi sarana untuk mengakrabkan diri dan tentu saja memberikan peringatan keras sekaligus terakhir kepada anak kelas tiga.
Itulah Pak rencana saya. Rencana ini tidak akan bisa berjalan jika Pak Tomo tidak memberikan dukungan. Hanya pak Tomo yang bisa mengatur ini semua. Saya tahu lho Pak Tomo ini bukan kepala sekolah sembarangan. Koneksi bapak sungguh luar biasa luas. Hal-hal teknis seperti yang saya sebutkan di atas tentunya sangat mudah untuk Pak Tomo atur selama Pak Tomo sependapat dengan saya.
Mimpi kita sama Pak, yakni ingin menjaga kedamaian, reputasi dan nama baik SMA NEGERI XXX. Dan saya yakin jika Yandi yang menjadi pemimpin, kita akan semakin dihormati dan tidak akan ada yang berani macam-macam dengan kita, termasuk STM XXX sekalipun.”
Aku tersenyum dan kemudian menjadi gelak tawa. Itu semua hanya akal-akalan dari Bram untuk menyingkirkan dengan halus anak tiga yang menjadi penghalang terbesarnya.
"Bangsat...bangsat.....aku suka...Saya pikir kamu cuma modal otot saja. Ternyata isi otakmu menarik sekali. Oke ! Saya setuju. Anggap saja semua beres. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, saya akan menuruti permintaanmu. Dan sebaliknya, resiko di lapangan dan sesudahnya jika prediksimu meleset. Saya akan cuci tangan dari itu semua dan kamu, kamu yang akan menjadi satu-satunya tersangka."
Lagi-lagi dia mengangguk.
"Kemungkinan sukses memang hanya 5-10%. Tetapi justru ini yang ngebuat semuanya jadi menegangkan dan greget. Jika akhirnya ini semua berjalan sesuai rencana, bapak bisa tenang dan saya pun bisa ‘menghilang, mundur teratur’, pensiun saya jadi bajingan pak. Semua senang, semua menang. "
Berbahaya, anak ini berbahaya dan licik. Otaknya benar-benar otak khas mafia. Tujuan kami memang sama, namun cara yang Bram sampaikan tadi benar-benar berbahaya. Herannya, aku justru juga tertarik dan ingin mengetahui sampai sejauh mana rencana Bram ini. padahal bisa saja aku menolak mentah-mentah semua saran Bram. Hanya saja dari awal, Bram sudah mengunci kelemahanku. Perihal aturan ketat yang aku terapkan dimana sudah kusiapkan hukuman berat bagi siswa yang terlibat perkelahian, entah di dalam maupun luar lingkungan sekolah. Aku Cuma bisa meredam menghentikan sementara saja. Dendam yang berlarut-larut di antara kedua kelompok bisa menjadi bom waktu. Salah satu cara untuk menetralisir bom adalah dengan meledakkanya di tempat aman dan terkontrol. Dan permintaan Bram agar aku memfasilitasi dan menyediakan tempat di aula sekolah sebagai arena tawuran terdengar sangat masuk akal.
“Oke kalau begitu semua sudah saya sampaikan Pak. Mohon maaf jika mengganggu waktu Pak Tomo. Besok saya akan siapkan seluruh surat ‘resmi’ dari sekolah yang ditanda-tangani sama pak Tomo biar besoknya bisa segera saya kirimkan ke rumah para wali murid.”
Aku mengangguk.
Kemudian Bram pamit pergi.
Sambil menatap punggung Bram, aku tertawa dan menghabiskan kopi yang masih tersisa. Bram, tujuan kita memang sama yakni menginginkan sekolah kita terus menjadi yang terbaik dalam segala aspek termasuk dalam hal tidak ada sekolah lain yang berani macam-macan dengan kita.
Namun cara kita berbeda, entah dia sadari atau tidak, cara berpikir Bram kental sekali dengan cara berpikir seorang mafia yang bisa melakukan apa saja demi satu tujuan. Dan tujuanmu yang sebenarnya sudah terbaca nak. Kamu ingin memanfaatkan Yandi dari balik layar sekaligus menyingkirkan para penghalang dari anak kelas tiga. Hanya saja aku salut dengan kenekatan Bram. Aku yakin Bram sudah tahu kalau aku bisa dengan mudah membaca niat aslinya namun ia tetap maju.
Luar biasa mentalnya.
Keculasan Bram ternyata berhasil membangkitkan jiwa mantan bajingan dalam diriku. Harus aku akui, aku ingin tahu melihat jalannya rencana Bram dan satu hal penting lainnya adalah aku cukup penasaran dengan potensi dalam diri Yandi. Jika Bram saja berani bertaruh leher demi Yandi, sudah pasti Bram tahu benar seberapa kuat Yandi.
Di satu sisi, aku sebenarnya kasihan jika rencana Bram diluar dugaan berjalan sesuai rencana dan Yandi menjadi orang nomor di satu di kalangan bajingan di sekolah ini. Apakah dia tahu dia hendak dijadikan boneka oleh Bram?
Sayangnya aku tidak mau dan tidak ingin ikut campur. Sama halnya ketika bagaimana dulu aku tidak suka urusanku di campuri oleh para guru yang sok menasehatiku dulu.
Semuanya ada di tangan Yandi sendiri. Bagaimana dia menghadapi orang seperti Bram yang bermain halus dan jauh lebih berbahaya dibandingkan lawan yang cuma mengandalkan otot. Ini adalah bagian dari proses transformasi seorang remaja menjadi seorang laki-laki dewasa.
Khusus untuk Bram, kalau saja dia berbuat aneh-aneh yang merusak nama baik sekolah, akan aku sikat dan hilangkan dari peredaran, seperti permintaannya. Termasuk akan kusapu sekalian Jack tanpa ampun, orang yang berada di belakang Bram jika mereka berdua memiliki rencana busuk menghancurkan sekolahku. Peduli setan dengan posisi Jack yang kini menempati jabatan cukup lumayan RED LOTUS, sindikat mafia yang sejak dari remaja berulang-kali membujukku untuk bergabung dengan mereka.
Kalau saja, aku tidak memiliki hubungan baik dengan Pak Cik, antara aku dengan para Branch Manager seperti Jack sudah pasti saling bunuh.
Kukendorkan dasi yang sedari tadi terpasang erat lalu kunikmati malam yang baru dimulai dengan menyulut sebatang lagi rokok.
Generasi bajingan di suatu sekolah bagaikan satu siklus. Orangnya selalu berganti-ganti, namun akar permasalahannya selalu sama tidak berubah sedikitpun.
Ambisi menjadi yang terkuat baik dengan otak dan otot….
****
@ ASIA HOTEL
Menjelang klimaks FINAL CLASH
****
“Luar biasa…”
“Gila sekali pemuda itu.”
“Sialan, duit 200 juta gue melayang..”
“Hoho, jadi pengen muda lagi.”
“Bravoooo !! bravooo ! semangat anak itu benar-benar gila!”
Itulah komentar dari beberapa teman SMA -ku yang saat ini menatap layar besar yang menampilkan pertarungan puncak di aula sekolah.
“Siapa tadi nama anak itu?” bisik Joni.
“Yandi. Namanya Yandi,”jawabku.
Aku lihat di pojok sana Jack tengah bersulang dengan Bram. Keduanya tahu kalau aku menatap ke arah mereka berdua. Sadar aku perhatikan keduanya lalu menghampiriku.
“Rencana kita berhasil pak ! hahahahha ! Yandi my boi !!” seru Bram nampak girang karena secara luar biasa scenario rumit yang ia susun benar-benar terwujud.
Kami semua saat ini yang berada di ruang Crystal Hotel Asia, yang tidak jauh dari Sekolah, melalui layar besar yang terkoneksi dengan CCTV yang dipasang di seluruh titik Aula sekolah, disuguhkan tawuran yang epic antara kedua kelompok dan puncaknya disuguhkan aksi heroik sekaligus keteguhan serta ketangguhan fisik seorang pemuda kampung bernama Yandi ketika ia berhasil membalikkan keadaan dan mengalahkan Oscar !!!
Sudah tak terhitung perkelahian yang aku saksikan namun duel Yandi vs Oscar adalah satu duel paling liar dan brutal antara dua orang remaja yang memiliki dua ambisi yang berbeda.
Yandi tidak ingin mengecewakan teman-temannya, sementara Oscar di gerakkan oleh ambisi menjadi yang terhebat. Oscar memang sangat gila, namun masih kalah nekat dengan kebulatan tekad baja Yandi. Mungkin SMS ku yang berisi ancaman bahwa dia mesti menang atau aku keluarkan dari sekolah, turut memberikan andil kenapa sampai sejauh ini Yandi masih bertahan, haha.
Kiddo, you’ve got my respect!
Kemudian aku teringat dengan salah satu teman Yandi yang kena tusuk. Aku lalu mencecar Bram tentang kondisi anak itu. Aku menarik Bram berbicara sedikit menjauh dari semua orang.
“Kondisinya kritis. Dia sudah mendapatkan perawatan di salah satu rumah sakit yang bersedia menutup mulut tentang kejadian tersebut. Dia sedang bersiap untuk menjalani operasi.”
“terus berikan kabar! Lalu bagaiman dengan anak yang sudah menusuk teman Yandi?”
“Gom? Dia sudah diamankan oleh personil yang berjaga di sekolah.”
“Bagus !! bawa dia sekalian ke Batu Biru ! biar dia kuberikan pelajaran yang tidak akan pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya !” kataku geram.
“Lima bus lengkap dengan tenaga medis sudah bersiaga pak di area sekolah. Siap untuk membawa semua orang yang ada di aula menuju Batu Biru. Tinggal menunggu perintah pak Tomo,” jelas Bram.
Aku kemudian mengamati situasi di aula dimana ratusan anak bergelimpangan menderita berbagai macam luka ada yang ringan, ada yang sampai berdarah-darah. Sementara itu ku lihat Yandi sedang merayakan kemenangan dengan teman-temannya.
Yandi, potensimu sungguh diluar dugaan. Bukan hanya mengalahkan Oscar, kamu juga sudah mengalahkan Opet dan mampu bertahan dalam berbagai situasi perkelahian. Oke, sepertinya pertunjukkan sudah usai, saatnya memberikan pertolongan medis dan membawa semua anak-anak menuju Batu Biru.
Axel.
Tiba-tiba aku teringat ketiadaan Axel. Rupanya orang kiriman Bram berhasil melumpuhkan Axel dan menghentikan kedatangannya.
“Sepertinya semua rencanamu berjalan mulus, termasuk Axel yang berhasil kamu hentikan. Sekarang, kamu telepon salah satu orangmu dan minta mereka membawa Axel menyusul ke Batu Biru.”
“Eh pak, buat apa membawa Axel kesana?”
“Gak usah banyak tanya, pokoknya bawa Axel ke kamp. Bukankah kamu ingin aku membasmi semua dedengkot bajingan generasi kelas tiga? Makanya bawa juga Axel !”
Bram sedikit ketakutan saat aku bersikap keras. Lalu ia mencoba menelepon salah satu komplotan yang ia kirim untuk menghentikan Axel. Namun ia marah sendiri karena tidak ada yang mengangkat teleponnya.
“Bangke, pada kemana sih ?” gerutunya.
Sementara aku menghabiskan vodka sembari membuka pesan di ponsel.
“Gak…gak mungkin..si bangsat….itu…” aku lihat paras wajah Bram memucat saat menatap layar.
Tangan kanannnya yang memegang ponsel di dekat kuping nampak terjulur lemah, bahkan ponsel Bram sampai meluncur jatuh ke lantai.
Aku segera mengarahkan pandangan ke arah layar dan melihat satu pemandangan yang benar-benar membingungkan.
Aku lihat Axel sedang menghajar Yandi dengan brutal dan tanpa ampun.
“Hei…hei…apa-apaan ini? apa yang sebenarnya terjadi disana?!” seruku!
Menurut pengamatanku, Yandi dan Axel cukup akrab. Beberapa kali aku bahkan melihat mereka berdua nongkrong bareng di kantin sekolah.
Jadi melihat Axel yang nampak kesetanan menghajar Yandi yang sudah tidak berdaya, benar-benar terasa surealis!
“Bram ! apa yang sebenarnya terjadi?! apa ini termasuk bagian dari rencanamu !!” aku mengangkat kerah baju Bram hingga ia terangkat kakinya tidak menjejak ke tanah.
“Saya..tidak tahu pak..sumpah…ini sudah diluar kendali saya.. percayalah, saya juga sama bingungnya dengan pak Tomo, melihat Axel justru menggila menghajar Yandi tanpa ampun. Pak, yang terpenting sekarang ini adalah menolong Yandi sebelum semuanya terlambat sekaligus menghentikan Axel.”
“Maaf pak Tomo, mengganggu. Kalau anda ingin menyelamatkan Yandi dari amukan Axel, sepertinya anda harus turun tangan. Sekarang juga, karena Yandi sepertinya sudah tidak sadarkan diri setelah kena uppercut dari Axel….” Ujar Jack menengahi.
Bangsat !!
Aku segera melepaskan cengkramanku dari Bram lalu berlari secepatnya menuju sekolah yang berjarak kurang lebih 500 meter dari hotel Asia.
Axel….kamu sudah membuatku murka !! tidak boleh ada siswaku yang mati tepat di depan hidungku selama saya masih menjabat sebagai kepala sekolah SMA NEGERI XXX !!
****
@ Depan KLS 2-D SMA NEGERI XXX
30 menit sebelum FINAL CLASH
****
(POV IDO)
“Bangsat, harusnya malam ini gue pesta barbeque sama pacar gue terus ngentot ampe pagi. Tapi gara-gara Bram gue mesti mojok di sini sama lo semua asuu,” kata gue kesal karena gak menyangka Bram memilih malam tahun baru untuk melaksanakan rencananya.
“Gue juga sama bego. Emang lo doang yang punya acara pas malam tahu baruan,” tukas Dodi salah satu teman gue.
“Bacot lo semua. Ujung-ujungnya lo semua tetap datang kesini kan,” sergah seseorang. Tadinya gue mau nimpalin. Tetapi itu suara gue kenal banget, suara si Abe. Gak ada yang berani nimpalin kata-kata termasuk gue. Karena dia yah paling garang di antara kami semua.
“Santai aja Be. Gak usah ngegas,” balas seseorang dari ujung sana.
Oh gue inget, masih ada Ijal orang yang termasuk paling vokal di antara teman-teman mantan satu tongkrongan.
“Kita semua toh tetap datang karena duitnya lumayan. Lagipula kapan lagi kita punya kesempatan nyerang tuh babi Amrik buat balas dendam.” lanjut Ijal.
“Haha bener juga. Gebukkin Axel gratisan aja gue mau, apalagi ini dibayar duit yang lumayan,” timpal Tuyul.
“Eh kita bersepuluh udah cukup nih buat nyergap Axel? Ini yang mau kita sergap si Axel loh, satu-satunya bajingan yang membuat Big Boss masuk rumah sakit karena gegar otak parah,” sahut Udin yang gue tahu udah lumayan grogi dari tadi.
“Kalau satu lawan satu sama Axel sama aja cari penyakit. Tapi lain cerita kalau kita serang bareng-bareng,” ujar yang lain entah siapa tadi yang ngomong.
“Tapi gue pernah lihat Axel menang lawan lima sampai enam orang waktu di keroyok anak STM XXX dulu di deket terminal. Yang ngeroyok malah yang dilariin ke rumah sakit, Sementara yang dikeroyok malah santai ngerokok padahal palanya ya bocor juga tuh.”
BRAK !
Kami terlonjak kaget saat pintu kelas 2 D ditendang tiba-tiba.
“BANCI !!! YANG TAKUT CEPETAN PULANG SANA, NYUSU SAMA EMAK LO PADA! TAPI JANGAN BAWA TUH DUIT !! YANG MAU BALAS DENDAM KE AXEL TETAP DI SINI!!” Pekik Abe.
“Be, kalem napa Be. Kita gak boleh berisik. Kita kan mau nyergap. Gak lucu kalau ketahuan lokasi kita. Kalau ketahuan, repot urusannya. Kalau mau cepat, kita mesti serang Axel bareng-bareng pas dia lewat dari pintu belakang.” Ijal mencoba menenangkan Abe.
“Sepertinya tawuran sudah dimulai.....” ujar Tuyul mencoba mengalihkan topik pembicaraan dengan nada pelan.
Kami lalu terdiam dan memasang indra pendengaran baik-baik. Samar-samar kami mendengar suara gaduh dari arah aula, Gue jadi inget ketika kami anak Bloody Hell tawuran dengan anak sekolah lain dan menjadi pemenang. Di bawah Boy, pimpinan Bloody Hell yang biasa kami panggil dengan ‘Big Boss’, geng kami menjadi yang paling ditakuti se Kota XXX.
Sampai akhirnya sekolah kedatangan siswa bengal yang secara menakjubkan memporak-porandakkan Bloody Hell seorang diri.
Siapa lagi kalau bukan Axel. Semua anak Bloody Hell sudah pernah masuk rumah sakit gara-gara dia. Termasuk gue, yang mesti ke rumah sakit karena babak belur sekujur badan. Sampai kami lulus dari SMA NEGERI XXX, gue dan puluhan anak lain menyimpan dendam kepada Axel. Namun tidak ada yang cukup berani untuk menantang Axel. Singkatnya, dendam itu terpaksa kami pendam sendirian.
Hingga beberapa hari lalu tersiar kabar bahwa dua mantan Boss Bloody Hell, Opet dan Ander telah kembali ke sini dan terlibat dalam konflik sekolahan. Konflik yang tabu bagai para alumni untuk ikut campur karena ada hukuman tambahan buat siapapun yang melanggarnya. Namun kenekatan mereka rupanya membuat kami mantan Bloody Hell bangga. Demi membalas dendam ke Axel, mereka rela menempuh aturan !
Dan hal ini cukup membuat kami merasa malu berdiam diri namun kami terlalu takut untuk terlibat langsung. Namun jalan lain kemudian terbuka, jalan untuk membalas dendam.
Jalan tersebut bernama Bram.
Suatu malam Abe mengajak puluhan anak mantan Bloody Hell ketemuan sambil minum-minum. Termasuk gue juga datang. Ternyata di sana ada Bram yang memperkenalkan diri dan menyampaikan maksud serta tujuannya. Bram, gak ada yang gak kenal tuh anak. Dia anak yang licik namun tidak ada yang berani maca-macam sama dia karena punya bekingan atau kenalan orang yang konon anggota mafia.
Gue masih ingat kata-kata Bram pada saat itu.
****
Seminggu sebelum Final Clash……
“Malam ini gue mau kasih tawaran buat kalian sesuatu yang menyenangkan. Buat siapa saja yang masih menyimpan dendam kepada Axel dan tidak mau hidup menanggung malu dikalahkan bocah tengik itu tanpa ada kesempatan untuk membalas, tenang saja. Akan kuberikan kesempatan untuk membalas dendam kepada Axel. Bukan cuma kesempatan namun juga.....”
Bram merogoh sesuatu dari dalam jaket lalu di taruh di meja. Segepok uang.
“Uang. Lima juta. Cash. Uang lima juta ini untuk masing-masing orang, bukan untuk dibagi-bagi. Jadi siapa yang tertarik untuk ikut rencana gue silahkan tetap tinggal. Dan yang tidak berani, silahkan Abe..”
“Yang pengecut, cepat pergi dari sini. Yang mau duit cepat, tetap tinggal disini. Dengerin rencana Bram,” ujar Abe melanjutkan perkataan Bram.
Semua orang yang ada tempat tongkrongan lalu saling adu pandang. Dan satu-persatu teman gue memilih pergi. Termasuk kawan gue Irwan.
“Ido, ayo cabut! Gak sudi gue makan duit Bram.”
Namun gue tetap diam, gue sedang menimang-nimang pilihannya. Jujur gue lebih tertarik ke duitnya bukan ke dendam pribadi. Gue butuh duit karena gue udah janji lusa nanti nganterin Santi, pacar gue yang hamil 1 bulan buat aborsi di klinik. Aborsi butuh duit gak sedikit. Dan kini Bram nawarin duit lima juta asal gue ikut rencananya.
“Gue ikut Wan,” jawab gue tegas.
Mata Irwan terbelalak mendengar keputusan gue. Irwan kemudian mencengkeram kerah baju kemudian menarik gue sehingga berdiri.
“Mikir baik-baik ! Uda cukup kenakalan kita di SMA, Bloody Hell udah selesai ketika Boy pergi menghilang dan meninggalkan kita jadi santapan anak geng lain. Dan satu lagi, Bram meminta elo buat nyerang Axel !! Kurang puas lo jadi bajingan?!”
“Lepasin gue Wan. Lo gak tahu apa yang gue hadepin, namun gue mesti ikut,” jawab gue.
“Woi Wan ! Lepasin Ido ! Lo kalau mau jadi banci, jangan ngajak-ngajak. Sono lu pergi jadi anak kuliahan yang benar yang nurut sama perintah mama papa. !” teriak Abe.
Irwan menatap Abe. Sejak dulu Irwan paling tidak suka dengan Abe dan begitu juga sebaliknya.
“Gue udah peringatkan lo ya. Gak sudi lo suatu hari datang ngemis-ngemis ke gue minta tolong!” Irwan melepaskan cengkeraman dan mendorong gue. Kemudian ia pergi.
Dan ternyata terkumpul sepuluh orang yang setuju mengikuti rencana Bram untuk menyerang Axel. Bram lalu menjelaskan rencananya dari A-Z. Intinya kami akan diminta untuk berjaga bersembunyi di gedung kelas 3 di lantai 2 ketika hari H tiba. Dan saat Axel muncul sendirian menuju aula, itulah tanda bahwa kami mesti menyerang Axel, terserah mau nyerang dia dengan tangan kosong atau senjata, Bram tidak peduli.
“Pokoknya jangan sampai Axel masuk ke dalam aula. Kalian tenang saja, di sekitar aula akan gue sterilkan, tidak akan ada saksi mata. Saran gue, kalian sembunyi dan serang Axel sembunyi-sembunyi. Kalau kalian udah buat Axel gak sadar, masukkan Axel ke dalam mobil Avanza wana hitam yang udah gue siapkan di parkiran belakang dekat kantin, Kalau sudah, tugas kalian selesai. Dan gue akan kasih tambahan 3 juta lagi.”
Gue dan teman yang lain sumringah mendengarnya. Kalau sepuluh orang bawa senjata nyerang Axel logikanya kami yang menang. Belum lagi ada duit tambahan, gue jadi makin semangat ! Ini gampang! Dendam terbayar, dibayar duit jutaan pulaa !!
Setelah memaparkan rencananya, Bram lalu mengajak kami semua datang ke sebuah klub malam dimana kami disana bersenang-senang dengan minuman, drugs dan tentu saja wanita. Di bayar 8 juta buat gebukkin satu orang dan diberikan surga dunia seperti ini, gue bersyukur gue ikut dengan Bram haha !
****
“Gue kencing dulu deh. Kamar mandi masih ada di sana kan ya?” bisik gue ke Dodi yang sama seperti teman yang lain jongkok di depan kelas 3F lantai 2 gedung kelas 3. Sementara Pujo berdiri mengawasi arah dimana kemungkinan besar Axel akan datang. Siapapun yang masuk ke aula, mesti melewati gedung kelas 3 sehingga kami berjaga disini.
“Hati-hati, toilet di ujung dekat kelas 3D masih angker. Gue juga kebelet kencing tetapi mending gue tahan. Serem kampret tengah malam kencing kesana,” ujar Dodi.
“Anjingg, lo malah nakutin gue.
“Gue gak nakutin elo nyet. Dari jaman kita sekolah tuh toilet kan memang angker, beda hawanya. Mending lo tahan deh daripada pas lu kencing tapi ditepuk kuntilanak dari belakang. Bisa masuk lagi tuh air kencing lo ke konti.”
Gue jadi inget kejadian waktu ada dua teman sekelas gue dulu, cowok dan cewek kesurupan gara-gara nekat petting di salah satu bilik toilet di dekat kelas 3D. Mereka berdua baru sembuh setelah sekolah datangin 4 ustad sekaligus. Merinding nih bulu kuduk.
“Gue udah gak tahan bego ! Ya kali gue gebukkin orang tapi celana gue basah karena ngompol.”
Dodi ketawa.
‘Yadah lo kencing di gedung kelas dua aja tuh. Tadi lumayan terang disana. Lampunya.”
“Oh bener juga. Yadah, gue pergi bentar.”
“Oia, hati-hati lo ke bawah.”
“Kenapa lagi? Lo mau bilang ada setan di sana?”
“Iya. Setan blasteran kepala item. Axel.”
“Nah, kalau itu jauh lebih seram daripada kuntilanak. Gue getok kepalanya pake ginian !” kata gue sambil mengeluarkan martil yang gue simpan di balik jaket,
Dodi ketawa lalu memamerkan pisau lipat yang diselipkan di balik kaos kakinya.
“Mayan, secelup dua celup nih pisau nancep ke paha si bangsat itu,” ujar Dodi terkekeh.
Karena sudah tidak tahan, gue lalu pergi ke kamar mandi di gedung kelas 2 yang ada di seberang dengan mengendap-endap kayak maling karena khawatir sewaktu-waktu Axel bisa muncul.
Rasanya luar biasa nikmat ketika akhirnya gue bisa pipis dengan lega. Di sini tidak terlalu seram karena kondisinya bersih dan penerangan juga baik. Di sini juga kedengaran suara riuh orang pada pawai pas malam tahun baru. Selesai buang hajat, gue lihat di jam tangan udah jam 12.44. Sepertinya bentar lagi Axel muncul.Gue pun kembali mengendap-endap melihat sekitar. Tapi anjing bulu kuduk gue kembali meremang sampai tengkuk gara-gara lihat suasana sekolah jam 1 pagi. Suara yang tadinya cukup ramai tiba-tiba sepi sekali. Suara jangkrik terdengar nyaring. Benar-benar sepinya minta ampun. Gue pun segera kembali menuju atas standby sama anak-anak.
Ketika gue sampai di depan kelas 2-D.
Nafas gue ketahan. Badan gue gemeteran. Keringat dingin langsung turun di dahi. Jaket yang gue pakai terasa panas.
Gue melihat satu pemandangan yang jauh lebih mengerikan dibanding melihat kuntilanak.
Gue lihat bayangan orang terduduk bersandar di dinding lorong kelas, beberapa ada yang terkapar. Bahkan ada yang tergolek lunglai di tepi dinding pembatas. Satu kali dorong bisa jatuh ke bawah dia. Mereka yang terkapar adalah teman-temanku ! Dan yang lebih menyeramkan adalah ada dua orang berjaket biru yang berdiri di tengah-tengah lorong.
Satu menghadap ke arahku mengenakan topeng putih menyeramkan dan yang satu lagi membelakangiku. Mereka tahu kedatanganku !
Kali ini rasanya lebih aman ketemu kuntilanak dibanding mereka berdua yang kemungkinan sudah menyerang kami !
Aku lalu balik badan karena aura mereka menyeramkan. Terlebih lagi fakta mereka berdua sudah menghabisi ke sembilan temanku ! Aku mesti lari !!!!
Namun saat aku balik badan hendak lari, aku terkesiap kaget karena ada seseorang yang juga berjaket biru dan kali ini mengenakan topeng kepala babi, muncul dari arah tangga !
“Lompat sendiri atau gue lempar?” kata orang tersebut dari balik topeng.
Anjing apa maksudnya ? ..reflek aku mengambil martil yang kuselipkan di balik jaket.
“Ah pilihan yang bagus. Sudah lama gue gak nglempar orang.”
Antara takut, marah dan sebagainya gue menyerang dengan mengayunkan ujung martil yang lancip ke orang yang ada di depan gue.
“Bangsaaattt loooooo !!”
WUSH !! WUSH !! WUSHH !!!
Di saat keheranan karean seranganku bisa di elakkan dengan mudah, satu pukulan mengenai muka sehingga martilku lepas dari genggaman. Lalu dalam gerakan yang cepat, badan gue seperti terangkat saat ada tangan memegang jaket dan celanaku. Gue terkesiap merasakan dorongan tenaga yang luar biasa yang sanggup membuatku terangkat dan terlempar.
Reflek tanganku memegang pinggiran dinding namun gue tidak bisa menjangkaunya.
GUE DILEMPAR DARI LANTAI 2 DALAM POSISI MENGHADAP KE ATAS !!!!!!
“ARRRGGHHHHHH !!!!!”
KREKKKKKKK !!!!!!!
Itulah suara derakan yang terdengar menyusul rasa sakit yang menjalar dari tulang punggung belakang, merambat hingga ke otak.
Rasa sakit teramat sangat yang membuat gue tidak bisa melihat, mendengar dan merasakan apa-apa lagi bahkan sebelum badan gue menghantam ke lantai berubin di bawah sana.
= BERSAMBUNG =
Akhir e muncul juga
ReplyDeleteEpisode ini yang lama saya cari2.. entah saya kelewatan baca atau sdh lupa... ,ðŸ¤
ReplyDeleteMantap updatenya Om Panth...
LpH.... the punishment..
ReplyDelete