DLF #7
DEEP LYING FORWARD #7
LA COPPA ITALIANA
Stadio Ferruccio Chittolina, Vado Ligure, 16 July 1922
Tendangan pemain sayap Udinese, Moretti yang melambung jauh di belakang gawang Vado menjadi peluang terakhir sebelum wasit Pasquineli meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan 90 menit di waktu normal dengan kedudukan masih imbang 0-0. Kedua tim rehat 10 menit sebelum melanjutkan ke babak tambahan yang terdiri dari 2 babak masing-masing 15 menit. Pada tanggal 16 juli 1922 berlangsung final bersejarah Coppa Italia edisi pertama mempertemukan Udinese tim yang bermain di serie-A melawan tim penuh kejutan Vado FC, tim semenjana yang berasal dari kota industri Savonna, Italia Tengah yang bermain di Terza Divizione (divisi 3). Atau dengan kata lain ini adalah pertandingan David melawan Goliat. Pertandingan final yang digelar di kandang Vado FC disaksikan lebih dari 2.000 penonton yang memadati stadion Ferruccio Chittolina. Dari awal pertandingan dimulai, Udinese sudah menggempur habis pertahanan Vado FC, tetapi Vado FC bukan tim yang hanya sekedar mengandalkan keberuntungan untuk bisa maju sampai ke final Coppa Italia.
Vado FC memiliki beberapa pemain andalan yang menjadi tulang punggung tim. Mereka mempunya tiga bersaudara Babboni, Achiles Babboni di bawah mistar gawang, Lino Babboni bermain sebagai bek tengah dan yang termuda, Giovanni Babboni seorang striker. Selain Babonni bersaudara, bahkan kapten Vado FC, Enrico Romano mempunyai julukan yang cukup mengerikan yakni “Testina D’Oro” atau “Golden Head” karena pernah dalam satu pertandingan ujicoba dia mencetak 13 gol yang kesemuanya dicetak melalui sundulan kepala !! bahkan sampai melegendanya pertandingan tersebut, sampai membuat pelatih Italia Vittorio Pozzo sangat terkesan, hanya saja sampai akhir karir sepakbolanya, Romano tidak pernah mendapat panggilan membela timnas Italia 1 kalipun.
Ketika di tahun 1922, FIGC memutuskan ingin menciptakan turnamen dengan format piala selain kompetisi liga yang disebut Coppa Italia, banyak tim besar menolak ide tersebut karena dianggap hanya mengganggu kompetisi utama. Sehingga ketika Coppa Italia edisi pertama digulirkan, yang diikuti 35 tim, tidak ada nama tim besar seperti Pro Vercelli, Inter, Juventus, Torino, Genoa, La Spezia dan Livorno yang ikut serta. Beruntung masih ada tim papan atas lain yang bersedia untuk ambil bagian di Coppa Italia edisi pertama seperti juara Scudetto Novese, Sport Club Florence, Fanfulla Lodi, Lucchese, Mantua, Parma, Trieste dan Udinese. Dan nama terakhir yang pada akhirnya berhasil melaju sampai babak final. Ketika tahu lawan Udinese di final adalah Vado FC, tim dari Terza Divizione, sontak mayoritas publik Italia menjagokan dan mendukung Udinese menjadi pemenang. Publik Italia seakan tidak rela jika juara Coppa Italia edisi pertama justru tim yang berasal dari kasta ketiga sepakbola Italia, suatu hal yang dianggap mencoreng prestise Seria-A di mata dunia persekbolaan internasional.
Selain masalah menjaga gengsi, ada hal lain yang membuat Vado FC kurang disukai publik Italia. Dan kali ini berhubungan dengan masalah politik. Hal ini bermula ketika pada perayaan hari ulang tahun negara Italia tahun 1922, yang notabene pada tahun tersebut Italia masih berada di bawah rezim fasisme Benito Mussolini, alih-alih mengibarkan bendera kebangsaan Italia, di beberapa daerah malah dengan sengaja mengibarkan bendera merah dengan lambang palu arit atau dengan kata lain lambang Komunisme. Salah satu daerah yang pro Komunis tersebut adalah Vado yang menunjukkan dengan jelas di ranah politis mana mereka berdiri. Aroma Komunisme semakin kental di tanah Italia pada periode tersebut terlebih ketika pada tahun 1921 terbentuk Partai Komunis yang berpusat di kota Livorno. Dan nampaknya publik Italia melihat spirit luar biasa yang ditunjukkan Vado FC di kompetisi Coppa Italia adalah sebagai spirit komunisme, spirit tabu yang dianggap bisa mencoreng persepakbolaa Italia yang memang sangat kental dengan aroma politis pro sayap kanan.
Kembali ke pertandingan final Coppa Italia, para pemain Udinese yang dari awal pertandingan terus bermain menyerang dengan tempo tinggi, di babak tambahan mulai merasakan kaki-kaki mereka mulai berat untuk berlari pertanda stamina mereka sudah menurun, dan perlahan komando permainan dikuasai oleh para pemain Vado FC. Hanya saja Udinese tetap menunjukkan kelasnya sebagai salah satu tim papan atas di Italia, mampu menahan serangan-serangan Vado FC melalui striker muda andalan mereka Virgilio Levratto yang sudah mecetak 5 gol selama Coppa Italia. Dan hingga babak tambahan 2x15 menit selesai skor 0-0 masih belum berubah. Setelah peluit berbunyi, tiba-tiba ketegangan terjadi karena para pemain Udinese terus berusaha mempengaruhi wasit untuk menyudahi pertandingan dan mengadakan pertandingan ulang di Stadio Friuli, Udine. Tidak adanya regulasi dan peraturan bagaimana jika 2 tim yang bertanding masih imbang setelah melalui babak tambahan membuat perdebatan semakin sengit antara kedua tim, wasit Pasquineli pada akhirnya memutuskan pertandingan tetap diteruskan dengan peraturan “tanpa batas waktu sampai salah satu tim mencetak gol.” Artinya pertandingan bisa berlangsung sampai 1 hari penuh jika belum ada tim yang mampu mencetak gol. Daya tahan dan daya juang dipertaruhkan disini.
Di menit 127 (7 menit setelah babak tambahan) satu serangan balik mematikan yang berujung gol akan tercipta secara luar biasa dan sejarah akan mencatat dengan tinta emas untuk tim yang berhasil keluar menjadi juara Coppa Italia. Pemain Udinese yang sedang keasyikan menyerang tiba-tiba kehilangan bola, menyadari lawan mereka sudah pada kram kecapekan, Lino Babboni dan Levrato kemudian melancarkan satu serangan balik. Setelah menerima umpan daerah dari Lino, bola berhasil dikuasai Levrato dan dengan cerdik mampu melewati 2 bek Udinese yang sudah tidak mampu mengejar balik Levrato. Dan kini Levrato tinggal berhadapan dengan Lodolo kiper Udinese. Tanpa pikir panjang dan dengan sekuat sisa tenaga, Levrato melepaskan tendangan roket dari jarak 20 meter yang menembus jala gawang Udinese !!
Menembus jala gawang bukanlah makna kiasan, tetapi berdasarkan laporan salah wartawan yang menyaksikan pertandingan secara langsung, bola hasil tendangan Levrato secara luar biasa benar-benar mampu merobek pojok kiri atas jala gawang Udinese dan bahkan bola masih melayang jauh sampai mengenai tiang di salah satu pojok stadion !!! Gol emas yang fenomenal tetapi kisah Vado FC yang mampu menjuarai Coppa Italia edisi pertama menjadi kisah yang sangat melegenda sampai hari ini. Sang David benar-benar mampu mengalahkan Goliath !!
16 Juli 1922, Vado Ligura, selama 1 hari kota kecil ini seperti berada di dalam surga.
Virgilio Levrato sang pencetak gol fenomenal kemudian menjalani karir sepakbola yang gemilang baik di level klub maupun di timnas Italia. Dari Vado FC, Levratto kemudian beberapa kali berpindah klub. Mulai dari Hellas Verona, Genoa, Inter Milan, SS Lazio, Savonna dan menutup karir sepakbolanya di Cavesse yang bermain di Serie-D pada tahun 1934 dengan total catatan karir 148 pertandingan dan 84 gol. Di level timnas, Levratto berhasil mencatatkan 28 caps dengan 11 gol. Prestasi terbaik yang berhasil di raih di level timnas Italia adalah meraih medali perunggu di cabang sepakbola Olimpiade Amsterdam 1928.
Di tahun 1940, muncul 1 lagu popular di Italia yang diciptakan dan dinyanyikan oleh grup vocal yang terdiri dari 4 penyanyi yaitu Quartetto Cetra dan didedikasikan khusus untuk Virgillio Levrato yang berjudul “Che Centracco” (What a Striker ).
“Correva come un matto e saltellava come un gatto (He ran like crazy and jumping like a cat)
e tutti gli gridavano così (and all well they are shouting)
oh oh oh oh che centrattacco, oh oh oh oh tu sei un cerbiatto (oh oh oh oh that striker, oh oh oh oh you're a deer)
sei meglio di Levratto, ogni tiro va nel sacco (no one better than Levratto, each shot is in the bag)
oh oh oh che centrattacco (oh oh oh that striker)
Reff “Che Centracco”
Sejarah Coppa Italia sangat panjang dan kilas balik kisah 88 tahun yang silam, menjadi penanda bahwa Coppa Italia musim 2000/2001 sudah di depan mata.
Apakah Cosenza di bawah racikan terbaru Mutti akan menjelma menjadi Vado FC versi modern?
Perjalanan masih panjang namun yang jelas, namun partai tandang ke Pescara menjadi titik Awal Cosenza memulai petualangan di Coppa Italia
****
Pescara, 13 Juli 2000
Dari dalam bus yang menjemput kami dari bandara Abruzzo, bus menuju ke hotel yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari Stadio Adriatico, kandang Pescara. Aky yang duduk di tengah di dekat jendela bisa melihat dengan jelas ketika bus melewati jembatan Ponte Del Mare, jembatan yang menjadi icon kota Pescara. Arsitektur jembatan yang luar biasa tersebut seakan terlihat biasa di mataku karena pikiranku sedang menerawang. Ada hal yang sangat mengusik pikirannku. Padahal biasanya aku merasa antusias sekali dan bersemangat ketika akan menghadapi pertandingan, terlebih lagi namaku tercantum dalam starting line up melawan Pescara di pertandingan pertama di grup F putaran 1 Coppa Italia besok sore. Harusnya aku merasa senang.
Harusnya…
Pikirannku hari ini susah untuk berkonsentrasi ke pertandingan esok hari, beberapa hal detil yang disampaikan oleh signor Malusci tentang bagaimana kami harus menembus lini pertahanan Pescara yang bermain dengan 4 bek sejajar yang memiliki speed tidak terlalu istimewa seperti aku anggap angin lalu. Hasil kerja keras selama menjalani latihan pre-season dan terlibat dalam beberapa pertandingan ujicoba membuat beberapa kemampuan atletikku lumayan berkembang terutama dalam hal kecepatan dan ketahanan stamina. Jadi aku rasa aku bisa mengatasi mereka dan bermain bagus besok. Hanya saja saat ini tubuhku di Pecara, tetapi pikiranku serasa masih tertinggal di Calabria.
Sesuatu yang mengusikku ini bermula ketika 2 hari lalu pada sore hari, kekasihku Daniela tiba-tiba menelpon mengabari kalau dia mengakhiri liburan musim panas bersama keluarganya 2 minggu lebih cepat dan saat ini dia sudah kembali ke asramanya dan memintaku untuk segera datang menemuinya di asrama. Aku yang pada saat itu sedang libur 1 hari latihan dan sedang bersantai di rumah saja, segera bersiap-siap dan kemudian memacu motor kesayanganku MV Agusta 705S menuju ke asrama Daniela yang hanya berjarak 5 km dari rumah. 20 menit kemudian aku sudah sampai di depan asrama Daniela yang berada di belakang Universita Della Calabria. Pintu gerbang asrama hanya dibuka 1 pintu, cukup untuk 1 mobil lewat. Kupacu motorku pelan melewati gerbang depan, pos security kosong tidak ada yang menjaga. Asrama yang biasanya terlihat ramai sekarang terlihat sepi.
Hanya ada beberapa mobil yang terparkir di luar, aku segera mengarahkan motorku ke parkiran motor. Ada 2 motor sport terparkir di situ, aku tidak tahu apa merk nya karena keduanya diselimuti mantel penutup motor. Sesaat aku baru menyadari bahwa ini masih musim liburan musim panas, pantas saja asrama ini terlihat sepi karena para penghuninya aku yakin sedang pulang kampung atau sedang menikmati liburan musim panas yang masih 2 minggu lagi. Tapi kok Daniela sudah balik ke asrama cepet banget ya? Kan pasti masih sepi ni asrama. Ah sudahlah nanti aku tanyakan kepadanya. Segera kupencet nomer hp Daniela, dan bilang aku sudah ada di bawah, masih di parkiran. Dia bilang untuk menunggu 5 menit lagi, dia mau turun. Tak lama kemudian, aku melihat Daniela muncul. Dia mengenakan celana pendek jeans yang seksi dan sweater lengan panjang berwarna hitam. Kami sama-sama tersenyum, dengan berlari kecil dia menuju ke arahku, aku pun berjalan mendekat kepadanya, setelah dekat, dia langsung meloncat memelukku.
“Sayang aku kangen bangett” bisiknya ditelinga pelan.
“Aku juga kangen kamu”kataku sambil mengeratkan pelukan.
Rasa rindu yang meliputi kami berdua membuat kami lupa bahwa kami masih di areal parkir yang terbuka, untung saja suasana sedang sepi.
“Yuk ke kamar aku. Tenang saja Marta masih belum pulang ke asrama dan begitu juga sebagian besar penghuni asrama, bahkan di lantai 2 hanya aku yang sudah pulang, jadi keadaannya sepi lhoo…” kata Daniela sambil mengerlingkan mata dengan memberikan penekanan lebih kepada kata “sepi”.
Perasaanku jadi enak nih.
Prospek untuk bisa main langsung ke kamar Daniela membuatku semangat sekaligus grogi, karena aku belum pernah diajak masuk ke kamarnya. Aku pernah beberapa kali datang ke asrama Daniela, asrama yang terdiri dari 4 lantai dengan setiap lantai memiliki 10 kamar yang dihuni 1 kamar 2 orang ini memiliki fasilitas yang lengkap. Areal parkir yang luas. Di belakang gedung utama asrama, ada 1 lapangan tenis, 1 kolam renang dan 1 lapangan futsal dan area foodcourt yang lengkap, bahkan perpustakaan disini tidak kalah lengkap dengan perpustakaan di kampus. Belum lagi tempatnya yang rimbun membuat suasana disini begitu sejuk. Asrama ini terlihat lebih seperti hotel, pikirku waktu pertama kali datang kesini.
Daniela dengan manja menggamit tanganku dan aku mengikutinya. Daniela lewat pintu samping dan kemudian menaiki tangga ke lantai 2 menuju kamarnya. Lorong asrama ini begitu sunyi karena hampir tidak ada aktivitas yang berarti mengingat mayoritas penghuni asrama masih liburan.
“Itu kamar aku yang paling ujung sayang.”kata Daniela manja sambil menggelayut manja kepadaku. Dari situ aku bisa mencium wangi Daniela. Parfume Daniela yang sekarang tercium dari tubuhnya sangat wangi dan menggairahkan. Tampaknya ini adalah wangi parfum terbaru dari Daniela yang entah semakin menambah kesan sensual di dirinya.
Damn, belum masuk kamar, aku sudah berpikiran yang macam-macam
Begitu aku masuk aku berkeliling sebentar, kamar asrama.Daniela terlihat sangat nyaman. Di ruang tamu ada sofa panjang yang aku yakin sangat empuk dan 1 TV besar. Di belakang sofa ada 1 rak yang penuh dengan buku-buku dan pernik-pernik khas cewek. Di belakang ruang tamu ada dapur yang memiliki 1 kitchen set dengan meja yang tersusun seperti di bar. Mengesankan. Daniela dan Marta ternyata memiliki masing-masing 1 kamar tidur.
“Ini sih bukan kayak seperti di asrama, tapi lebih seperti apartemen.”
“Hehehe iya konsep disini memang dibuat seperti tinggal di apartemen, nyaman banget lah disini.” Katanya sambil merebahkan dirinya di sofa.
Aku kemudian melepas jaket dan kugantungkan di tempat gantungan jaket yang berada di dekat pintu, lalu duduk di samping Daniela.
“Ya aku yakin kamu memang sangat nyaman tinggal disini sampai-sampai tidak tahan untuk cepat mengakhiri liburan musim panas ahaha”
“Bisa aja kamu, kamu mau minum apa sayang, aku punya bir kalau kamu mau.” kata Daniela segera beranjak menuju ke dapur mengambil 2 botol bir merk Rossini,
“Aku baru tahu kamu suka minum bir? Dan lagi apakah kamu sedang bercanda nawarin aku minum bir?” Tanyaku agak heran.
“Hehehe bercanda kok sayang. Aku cuma iseng aja sesekali minum bir, lagian ini bir gak keras dan ini bir punya Marta kok. Aku lagi pengin minum bir aja nih gapapa ya.”
Belum sempat aku melarangnya dia sudah meneguk langsung botol Rossini, Daniela minum seperti orang kehausan bahkan sampai menetes-netes keluar dari mulutnya.
Sore itu aku dan Daniela untuk pertama kalinya terlibat pertengkaran yang cukup menyita emosi kami berdua. Belum pernah aku melihat Daniela kacau akibat minum-minuman seperti ini. Pasti telah terjadi sesuatu..
*****
PertandiNgan dimulai !! aku dan varicio yang bermain sebagai 2 penyerang dalam formasi 3-5-2 yang sudah kami latih mati-matian selama pramusim, segera melakukan pressing kepada pemain Pescara yang dalam tos-tosan memilih mendapat bola terlebih dahulu. Mereka kemudian memainkan bola dari kaki ke kaki sambil perlahan naik ke pertahanan kami. Aku diminta signor Muti untuk ikut turun ke tengah lapangan, memberikan pressing kepada lawan terdekat yang membawa bola, tetapi tidak “wajibkan” untuk memburu sampai lini pertahanan. Sementara Varicio di plot untuk tetap bergerak di antara 4 bek Pescara.
“Khusus untuk Varicio dan Mateo, jaga jarak di antara kalian 4-5 meter dimana Mateo yang akan berada agak sedikit di belakang, kalian harus pintar mencari celah. Karna kekuatan Pescara berasal dari lini belakang mereka yang kuat. 2 full back mereka tidak membantu pertahanan, rata-rata paling jauh hanya sampai garis tengah, selebihnya mereka akan berada jauh di belakang, tetap disiplin. Memang ke 4 bek tersebut sudah berusia lebih dari 31 tahun, dalam hal kecepatan mereka sudah pasti menurun, tetapi dalam ketenangan, konsentrasi dan faktor pengalaman mereka sangat unggul. Dengan 3 hal tersebut, mereka bisa menutup ruang gerak kalian, menghindari sprint-sprint dan beradu lari. Imbriani yang mempunyai speed, dribbling dan akeselerasi paling bagus di Cosenza pun bisa diredam. 2 kali pertemuan di musim lalu yang selalu berakhir imbang 0-0 menjadi bukti kekuatana lini belakang Pescara. Jadi sekali lagi, kalian berdua bermainlah dengan otak dan penuh konsentrasi hari ini, karena ini bukan hanya duel mengandalkan fisik semata tetapi duel tentang siapa yang lebih pintar dan lebih taktis.”
Otak dan konsentrasi…sialan.. itu juga 2 hal yang saat ini aku perlukan…persoalan kemarin benar-benar menguras isi otak, seharian penuh pikiranku melayang-layang menebak apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku merasakan ada perubahan dalam sikap Daniela ? aku yakin dia ada masalah sampai memutuskan untuk mengakhiri libur musim panas lebih cepat dan terlebih lagi dia juga begitu nampak agresif sekali, nyaris saja kemarin aku menjebol keperawanannya tetapi untung saja, aku yang mempunyai sifat sensitif merasakan ada yang tidak beres dengan sifatnya, segera mengurungkan niat untuk berbuat lebih jauh lagi. Kulihat raut kekecewaan yang lambat laun berubah menjadi wajah sedih yang berujung ke isak tangis…
“WOIIIII. MATEOOO, JANGAN DIAM SAJAA DI LAPANGAN, KONSENTRASI, REBUT BOLA, BERIKAN PRESSING !!” pekik signor Malusci dari bench.
Teriakan kencang signor Malusci yang begitu nyaring dari jarak 10 meter membuatku terkaget. Bersamaan dari kesadaranku yang kembali 1 orang pemain Pescara melewatiku dengan mudah sambil melihatku dengan mimic muda mencibir. Sialannnn, bisa-bisanya aku melamun di tengah pertandingan !!! aku secara reflek segera mengejar pemain Pescara bernomor punggung 8 yang masih berjarak 3 meter dan melakukan sliding tackle dari belakang. Kaki kananku berhasil mengait bola yang sedang dikuasai Verrato, hanya saja bukan hanya bola yang terkena kaitan kakiku, ternyata kakiku juga menghajar engkel kaki kanan sehingga dia jatuh terguling kehilangan keseimbangan kemudian meraung kesakitan sambil memegang engkel kanannya.
PRIIIIITTTT…. !!!!
Wasit Frosante kemudian meniup peluit dan tanpa ragu segera mencabut kartu kuning dan mengacungkannya begitu aku berdiri. Aku baru sadar ketika aku bangun, wasit ternyata berdiri tidak jauh dari situ dan melihat kejadian tersebut secara jelas.
“Wasiit!, itu tadi kena bola !! ini baru pelanggran pertama di pertandingan” protesku kepada wasit. Salah seorang pemain Pescara tiba-tiba menghampiri dan berkata ,
“Bocah dungu! Kau mau mematahkan engkel kaki rekanku ya!! Masih membela diri!! Sini biar kuhajar sampai gigi susu mu yang baru tumbuh rontok!! Katanya sambil berdiri tepat di depan wajahku sehingga membuat kami sekarang berdiri berhadap-hadapan. Aku yang terbawa emosi kemudian mengepalkan kedua tanganku, tepat sebelum kami berdua lepas kontrol, ada seseorang yang menarik kaosku dari belakang dan menyeretku menjauh, aku yang masih terbawa emosi segera berbalik badan untuk melihat siapa yang berani menyeretku dengan kasar, dan ternyata dia adalah Biagioni yang kemudian segera mencengkeram kedua kerahku dan berkata,
“Tetap tenang mateo !! kamu mau merusak karir sepakbola mu yang masih seumur jagung dengan menyulut perkelahian di tengah pertandingan, hah ??!! emosi akan merusak segala jerih payahmu, apa kamu sudah kembali bersamaku disini ?? teriaknya.
Perkataan Biagioni membuat emosiku yang meluap segera turun.
“bagus kendalikan dirimu. Sekarang kamu hampiri verrato dan minta maaf padanya, tackling kamu buruk sekali. Setelah itu ayo lanjutkan permainan, jangan lihat ke bench, wajah Malusci merah menahan marah, hahha ”katanya sambil melepas cengkraman di kerahku lalu menepuk kepala belakangku pelan.
Aku kemudian menghampiri verrato yang sudah ditandu di pinggir lapangan, kulihat dia masih
terduduk dan spray anti nyeri sedang disemprot di engkelnya,
“maaf.semoga bukan cedera parah”kataku singkat.
Tanpa disangka Verrato yang masih meringis singkat, menganguk lalu berkata
“ya saya gapapa, untung hanya nyeri saja, jangan ulangi tackling mengerikan seperti tadi, jangan pernah.”katanya kemudian bangkit. Aku kemudian mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri dan dia menyambut uluran tanganku.
“Siapa namamu?” katanya.
“saya Mateo Rocco.”
“oke Mateo, ayo kita lanjutkan pertandingan. Jaga sikapmu di atas lapangan, jangan berbuat hal konyol lagi. Seperti yang pernah aku lakukan sewaktu aku seusiamu.”katanya misterius.
Apa maksudnya ?pikirku.
Kemudian wasit Napanto memanggilku dan pemain Pescara bernama Fantini yang nyaris berkelahi denganku dan memberikan penjelasan kepada kami berdua untuk tetap tenang, menjaga fair play dan ditutup dengan peringatan keras bahwa dia tidak akan segan mengusir kami berdua dari pertandingan jika terlibat keributan lagi. Kami berdua mengangguk dan bersalaman singkat. Kulihat di papan skor, ternyata sudah memasuki menit ke 14, berarti akibat kekonyolanku pertandingan sempat terhenti 5 menit. Dan seperti yang Biagioni bilang untuk jangan melihat kearah bench, membuatku takut melihat tatapan membunuh asisten pelatih signor Malusci yang aku yakin diarahkan kepadaku.
Seram.
Pertandingan dimulai dengan tendangan bebas oleh Pescara, dengan sangat cepat dan tiba-tiba ke pos sayap kanan dan ternyata ada pemain Pecara yang sudah meyambut dan dengan bebas berlari mendekati kotak pinalti, C11yang kalah langkah segera berlari mencoba menutup jalur crossing tetapi P11 lebih cepat dengan mengirim umpan menyusur tanah di kotak pinalti, 2 pemain belakang C11 bergerak secepat mungkin dengan memarking ketat 1 pemain Pescara yang sudah bersiap menyambut bola. Silvestri melakukan blok dengan melakukan sliding malah membuat jalur bola mengarah ke gawang dan tepat di belakang Silvestri, dengan sekali sontek kaki kiri, striker Pescara, Artico berhasil mengirim bola mencium net gawang yang dikawal Pantanelli.
Gol.
Skema serangan balik dari bola mati yang tiba-tiba berhasil memanfaatkan kelengahan para pemain Cosenza dan mengubah keadaan.Menit-16, skor 1-0 untuk Pescara memimpin
Aku tertunduk lesu, sialan. Tim kebobolan gara-gara aku.
“Woi ayo semangat !! baru juga kemasukan 1. Ayo kita balas 3 !! kata Varicio sambil menepuk pundakku.
Aku dan Varicio kemudian berada di lapangan tengah untuk memulai lagi permainan. Bola masih berada tepat di bawah kakiku. Belum aku gulirkan, wasit tidak akan meniup peluit tanda permainan dimulai kembali jika bola belum aku gulirkan. Hampir 10 detik aku terdiam dan menunduk sambil menatap bola di bawah kakiku. Aku butuh sesuatu untuk membuatku segera “bangun” dari lamunanku.
“Varicio, tolong tampar aku sekuat tenaga!” kataku mantap kepada Varicio yang berdiri di depanku, menunggu bola aku oper kepadanya.
“Oke” jawabnya singkat.
PLAKKK.
Belum sempat aku mengeraskan rahang, Varicio tanpa sungkan sudah menampar atau lebih tepatnya menggampar pipi kiriku dengan telapak tangan kananya dengan keras.
Bangsat, sakit banget, batinku sambil menatap Varicio.
Aku yakin pipiku merah sekali, tetapi aku merasa gengsi untuk meraba pipiku yang perih. Dengan gaya sok cool aku tetap tidak bergeming dari poseku.
“hahahha, sudah bangun?”ayo cepat oper dan kita serang mereka” kata Varicio sambil tertawa geli.
Suara tamparan tersebut cukup keras dan terjadi tiba-tiba membuat beberapa pemain Pescara bingung terutama wasit yang kemudian segera menghampiri kami berdua, takut bahwa kami berdua berkelahi.
“ADA APA INI?” hardik wasit kepada kami berdua.
“Tidak apa-apa signor, tadi ada nyamuk di pipinya, Mateo minta tolong untuk mengusir nyamuk bandel tersebut” jawab Varicio enteng.
“Sudah. Ayo cepat mulai lagi pertandingannnya. kalian berdua jangan buat gara-gara lagi” kata wasit kesal.
“Mateo umpan padaku cepat dan kamu segera berlari ke sayap kanan, kiper Pescara terlalu maju 10 meter dari gawang, aku akan menggiring bola secara tiba-tiba langsung ke arah kiri
dan memberi umpan kepadamu. Ayo kita mulai !” bisik Varicio.
Aku segera menangkap perkataannya dan mengoper cepat ke Varicio kemudian segera melesat ke sisi kanan Pescara yang agak sedikit longgar. Dalam beberapa detik, Varicio yang bergerak cepat membawa bola sendirian ke sisi kiri dan bisa melewati 2 pemain Pescara sekaligus dan kemudian mengirim umpan lambung yang aku perkirakan akan jatuh 1 meter di depanku. Dengan konsentrasi tinggi, aku mengunci penglihatanku ke bola tersebut, dengan 3 langkah aku mengayunkan kaki kananku sekuat tenaga, aku berhasil memperkirakan arah jatuh bola dan secara sempurna punggung kakiku menyambutnya. Bola melesat dari jarak 40 meter, bola meliuk membentuk lengkungan ke dalam dan mengarah ke gawang Pescara. Aku menahan nafas. Kiper Pescara yang sadar out position segera berlari panik mundur ke belakang dan melompat ke arah kiri sekuat tenaga, tetapi bola lebih kencang melewati sela kedua tangannya dannnnnn.
Plannkkkk.
Bola terlalu tajam menukik dan mengenai sisi kiri tiang gawang Pescara. Bola keluar.
Goal Kick untuk Pescara.
Fiuh aku menghela nafas, kurang beruntung, aku kemudian kembali ke lapangan tengah bersiap untuk bertanding dengan tingkat konsentrasi lebih baik. Terdengar dari bench pemain Cosenza tepuk tangan melihat spekulasi tendangan jarak jauhku nyaris berbuah gol, aku secara reflek menengok ke arah bench, dan melihat rekan-rekanku di pinggir lapangan bertepuk tangan, termasuk signor Malusci.
“Percobaan bagus Mateo. Game on !!!” teriaknya.
“Yeah Game on. Sekarang aku merasa lebih rileks dan siap bertanding sebaik mungkin”
batinku.
Selanjutnya alur permainan perlahan mulai dikuasai Cosenza. 2 sayap Cosenza mulai berani menekan jauh sampai di ¾ lapangan. Pescara bermain bertahan dengan garis rendah dan melakukan zonal marking. Dengan begitu area pertahanan Pescara menjadi padat. Hampir tidak ada ruang untuk melakukan umpan-umpan terobosan. Sehingga umpan-umpan crossing ke kotak pinalti yang dilepaskan dari sayap baik itu dari Mussaco di sayap kiri maupun Imbriani di sayap kanan menjadi opsi serangan. Hanya saja, bola-bola atas selalu bisa dihalau oleh para pemain belakang Pescara yang sangat disiplin. Varicio yang menjadi sasaran umpan crossing karena punya heading bagus juga ternyata seringkali kalah dalam duel udara karena dijaga ketat oleh kapten Pescara, Arturo Sansone yang meskipun berusia 33 tahun tetapi dengan tinggi 194 cm dan kondisi kebugaran yang masih terlihat prima, mudah baginya untuk memenangi duel udara melawan Varicio.
Khusus 4 bek Pescara, mereka melakukan penjagaan man to man marking kepada striker lawan. Aku sendiri baru menyadari kalau pemain Pescara bernomor punggung 17 semenjak tendangan spekulasiku yang nyaris menjadi gol fenomenal, dia selalu menempel pergerakanku. Pemain bernama Galigo tersebut juga tidak kalah tingginya dengan Sansone. Aku yang memiliki tinggi 180 cm seperti ditelan oleh Galigo yang aku taksir memiliki tinggi 10 cm di atasku. Beberapa kali bola yang diumpan ke padaku, Galigo selalu menempelku ketat. Fisik dia yang lebih besar dan tinggi membuat dia selalu bisa membuatku selalu menerima bola dalam posisi membelakangi gawang Pescara. Jangankan mengumpan ke samping atau ke depan, aku berputar dan mencoba berhadap-hadapan saja dengan Galigo aku merasa….
Takut.
Belum pernah aku mendapat pressure dari bek lawan yang sangat mengintimidasi seperti ini. Faktor pengalaman bertanding, mental dan determinasi Galigo berada di level yang berbeda.
Aku berpikir, aku tidak akan pernah bisa melewati Galigo sampai mereka mengirim kami pulang ke Calabaria dengan rasa pahit, yakni kekalahan.
Sehingga ujungnya-ujungnya bola yang aku kuasai, selalu aku back pass kembali.
Sialan.
Pertandingan yang seperti 1 arah ini berjalan sangat membosankan jika dilihat dari kacamata penonton, karena jika Pemain Pescara bisa merebut bola dari penguasaan kami, mereka tidak akan melancarkan serangan balik secara tiba-tiba. Tetapi menurunkan tempo permainan dengan memutar-mutar bola. Pusat serangan Pescara tidak memiliki bentuk, mereka akan menekan kami secara perlahan. Dan hal ini yang membuat kami frustasi dan membuat pelanggaran akibat tidak sabar dan terlalu keras ketika merebut bola. Beberapa kali peluang berbahaya yang Pescara ciptakan selalu berawal dari bola mati. Tendangan bebas dari berbagai sudut selalu bisa mereka lepaskan ke area kotak pinalti, dimana duo bek jangkung Sansone dan Galigo menjadi target man. Sepertinya Pescara mengetahui kelemahan kami dalam mengantisipasi bola-bola mati selama pre-season. Bukti 1 gol yang Pescara ciptakan juga berawal dari bola mati, semakin mempertegas bahwa taktik mereka adalah mengincar kemenangan lewat set piece sampai sejauh ini berjalan dengan baik. Beruntung Silvestri dan Pascetta selalu bisa menahan duo menara kembar Pescara. Meskipun dengan susah payah. Pescara pikir kami akan diam saja jika kelemahan kami dalam mengantisipasi set-piece tidak segera kami cari antidotnya. 1 minggu sebelum pertandingan hari ini, signor Mutti mendrill kami habis-habisan dalam mengantisipasi bola-bola mati, baik dari sepak pojok maupun tendangan bebas lawan.
“Ingat instruksi saya baik-baik, jika lawan mendapat sepak pojok, 2 pemain sayap wajib berdiri di pojok kiri-kanan gawang. 3 bek tengah melakukan penjagaan man-to-man di kotak pinalti kepada 3 lawan yang memiliki postur tinggi. Sementara yang lain lakukan positioning di kotak pinalti. Untuk 2 striker, 1 striker tetap berada di garis depan, sementara 1 striker lain turun sampai di depan kotal pinalti, bersiap melancarkan serangan balik jika mendapat bola dan situasi memungkinkan. Sementara untuk tendangan bebas di daerah yang memungkinkan lawan untuk menendang langsung ke gawang, bentuk pagar betis. 5 orang. 1 striker. 4 pemain gelandang. 1 striker tetap di depan. 4 pemain lain turun bersiap melakukan man to man di kotak pinalti. Jika jarak tendangan lawan tidak masuk akal, cukup 2 pemain yang membentuk pagar betis.”
Aku lihat di papan skor, sudah memasuki menit 40. Skor masih belum berubah.
Dan keadaan juga belum banyak berubah.
Pelicori yang menjadi jendral lapangan tengah kami juga seperti kehabisan akal. Mulai dari tembakan-tembakan langsung dari luar kotak pinalti yang jauh dari kata akurat, umpan terobosan langsung ke depan yang selalu mudah dipatahkan karena sempitnya area permainan.
Sempit ??
Aku baru meyadari bahwa memang ada yang aneh dengan lapangan di Stadio Adriatico ini. Dari pertama kami kemarin menjajal lapangan ini untuk sesi latihan, aku merasa ada yang berbeda dengan dimensi lapangan ini.
Setelah peluit dari wasit tanda 45 menit pertama berakhir dibunyikan, aku kemudian berjalan ke tengah lapangan lalu berjalan melihat sekeliling lapangan terutama di lebar dan panjang sisi lapangan. 5 menit kemudian aku tahu apa yang aneh. Stadio Adriatico yang sangat kental dengan nuansa warna biru muda, dikelilingi oleh lintasan lari atletik sehingga memiliki kesan yang lebar dan luas. Tetapi aku perkirakan lebar dan lapangan ini berbeda dengan ukuran lapangan standar. Stadion kebanggan kami, Stadio San Vitto juga memiliki trek lintasan lari di dalamnya tetapi setahu saya untuk dimensi yang dimiliki sama dan sesuai dengan standar dimensi lapangan yang biasa diterapkan tim-tim di Italia yakni lebar 90 meter x panjang sisi lapangan 110 meter.
Sementara lapangan disini memiliki kesan sempit dan lebih panjang. Aku yakin lebar lapangan ini sekitar 80-85 meter dengan panjang lapangan sampai batas maksimum yakni 115-120 meter. Sekilas tidak ada yang salah dan memiliki dimensi sama dengan stadion-stadion lain. Tetapi adanya trek lari yang luas di sekeliling lapangan mengaburkan pandangan bahwa dimensi lapangan ini sebenarnya lebih sempit dan lebih panjang daripada lapangan yang lain. Ini bukan sesuatu yang salah karena di setiap klub memiliki kebebasan untuk memilih dimensi lapangan apakah mau dengan lebar minimum, standar atau maksimum asal masih sesuai dengan aturan. Pemilihan dimensi lapangan biasanya terkait dengan gaya permainan tim itu sendiri. Karakteristik lapangan di Stadio Adriatico ini yang sempit tetapi lebih panjang, sangat cocok dengan gaya permainan defensive Pescara yang mengandalkan zona marking dan bola-bola direct.
Pantas saja, kami kesulitan mengembangkan permainan. Ciri permainan kami yang cenderung bermain melebar memanfaatkan area sayap seperti “terbentur” garis lapangan dan ternyata itu adalah lebar lapangan yang lebih sempit. Belum lagi area permainan di lapangan tengah yang sangat padat terutama di area ¾ Pescara yang penuh sesak dengan 9 pemain Pescara yang membantu pertahanan dan 7 pemain Cosenza yang mencoba masuk ke daerah lawan.
Apakah informasi ini akan berguna buat rencana kami di babak kedua?
***
Babak kedua sudah berjalan 20 menit atau sudah di menit ke 65, skor masih belum berubah 1-0. Informasi yang aku miliki entah kenapa malah tidak sempat aku utarakan karena signor Mutti terlalu sibuk meminta kami untuk tetap menekan Pescara, bermain sabar, umpan-umpan lambung untuk menguras tenaga bek Pescara dan mencari celah dengan kombinasi umpan one-two untuk menerobos gerendel pertahanan Pescara. Di akhir kalimat, pelatih meminta kami untuk tetap bermain dengan kepala dingin, menjaga konsentrasi dan hindari perbuatan-perbuatan bodoh yang merugikan tim. Meskipun tanpa menyebut nama secara eksplisit, kata-kata itu seakan ditujukan hanya kepadaku. Aku cuma bisa menunduk……
Ketika berada di lorong pemain menuju ke lapangan, aku menyampaikan kepada Pelicori perihal dimensi lapangan di sini yang agak sedikit berbeda. Pelicori yang menurut saya, adalah pemain dengan daya kreatifitas paling tinggi di antara para pemain Cosenza, mengangguk dan berkata singkat,
“Iya aku sudah tahu, kamu tenang saja aku sudah menyiapkan rencana. Kamu dan Varicio bersiaplah di depan, bermainlah saling berdekatan untuk menciptakan kombinasi umpan pendek dan jangan statis, kalian berdua harus selalu bergerak. Tapi aku salut sama kamu Mateo, kamu bisa menyadari hal seperti ini di tengah pertandingan, berarti kamu punya kemampuan untuk membaca permainan. Ayo kita bongkar secara perlahan kedua benteng raksasa di depan gawang Pescara. Oia Mateo, kamu jangan mudah terintimidasi sama Galigo. Kalau dia menatap mata kamu, jangan gentar, balas tatap mata dia. Jangan takut ajak dia adu lari. Memang badan dia besar dan cukup atletis, tetapi kuncinya adalah di first touch. Jika kamu perhatikan, Galigo hanya menjaga pergerakanmu, dia memanfaatkan ketakutan lawan dan berujung pada kesalahan-kesalahan yang kamu buat sendiri. Mengerti??”
Pantas saja Andrea Pelicori menyandang angka paling keramat dalam sepakbola Italia, si nomer 10, sang sutradara di tim Cosenza. Mendengar nasihatnya membuat semangatku menjadi berlipat-lipat.
Sampai 15 menit babak kedua berjalan, atau sudah sampai menit ke 60, skor masih 1-0 untuk Pescara. Rencana di babak kedua, belum berjalan mulus. Meskipun beberapa kali, pertahanan Pescara mulai terbuka celahnya. Bagaimana dengan diriku? Beberapa kali Galigo aku ajak duel 1 lawan 1 dengan mencoba melewatinya langsung. 1 atau 2 kali kesempatan memang aku bisa melewatinya tetapi double cover yang diterapkan Pescara usahaku sia-sia. Seperti berhasil melewati tembok besar tetapi kemudian segera dihadang oleh batu karang. Aku mulai kehabisan akal dan tenaga. Tenaga dan pikiranku seperti terkuras habis. Aku berpikir apakah memang kemampuanku hanya seperti ini atau memang lawan yang terlalu kuat.Di pinggir lapangan, aku melihat beberapa pemain cadangan sedang melakukan pemanasan. Salah satunya adalah pemain baru berposisi penyerang yakni Fabio Bazzani. Nampaknya pelatih sedang bersiap melakukakn pergantian pemain dan aku salah satu pemain yang akan diganti.
Oke, aku berencana menghabiskan sisa tenaga lewat 1 kesempatan.
Aku punya rencana.
Galigo yang seolah menjadi bodyguardku sepanjang pertandingan, secara perlahan aku ajak untuk bergerak ke lapangan tengah. Karena dari awal pertandingan, lini tengah yang padat membuatku terus bergerak melebar. Pelicori yang terus mengalirkan bola ke berbagai sisi lapangan, nampaknya menyadari pergerakanku. Sementara Imbriani di sayap kanan mulai berani naik meneror sayap kiri Pescara, sehingga memaksa fullback kiri Pescara, Tonetti sibuk menjaganya. Aku berpikir, aku bisa berbuat sesuatu lewat lapangan tengah. Akhirnya momen emas itu datang ketika, setelah menerima umpan Pelicori, dengan 1 gerak tipu aku berhasil mengecoh Galigo dengan melewatkan bola di sela kakinya yang terbuka karena berusaha menghadangku.
Aku yang lebih kecil dan lebih sigap segera bergerak memutari Galigo dan berhasil menguasai bola itu kembali. Karena aku tahu pasti ada 1 pemain gelandang Pescara yang akan menutup gerakanku, maka bola segera aku umpan kembali ke Pelicori yang semenjak dari awal bola diumpan kepadaku dia berlari ke tengah. Dengan sekali sentuhan, bola langsung diumpan kembali di area kosong 1 meter di depanku. Aku segera beradu lari dengan Galigo yang melihat pergeranku. Aku yang sedikit lebih unggul dalam kecepatan, dengan sisa tenaga berhasil mengirim umpan terobosan ke sisi kanan pertahanan Pescara sebelum terhantam badan Galigo yang nampaknya tidak terima berhasil aku pecundangi. A
ku terjungkal bagkan terguling cukup keras karena body charge yang Galigo lakukan kepadaku yang dalam posisi berlari sehingga aku tidak punya keseimbangan. Wasit yang melihat kejadian tersebut sesaat ingin meniup peluit tanda pelanggaran, tetapi bola yang aku kirim ke sisi kiri pertahanan Pescara berhasil di kejar dan dikuasi oleh Musacco yang kemudian melesat ke arah kotak pinalti. Melihat bola masih dikuasai pemain Cosenza, wasit tidak jadi meniup peluit dan kemudian memutuskan permainan terus berjalan. Aku yang masih terbaring di lapangan karena merasakan kepalaku sangat pusing karena jatuh berguling setelah terhantam Galigo, hanya bisa memejamkan mata dan mendengar deru nafasku cepat. Tidak berapa lama kemudian aku mendengar sorak sorai rekanku. Aku yang masih sadar tetapi masih belum bisa bangun tidak tahu apa yang terjadi. Yang kemudian aku lihat adalah rekanku Biagioni dan Pavone menghampiriku dan kemudian bertanya,
“Mateo kamu tidak apa-apa?” Tanya Pavone sambil membungkuk melihat keadaanku.
“Kita berhasil mencetak gol ,Mateo !! ayo bangun” teriak Biagioni di sampingku.
“Gol ya?. Aku tidak apa-apa, hanya pusing.” Jawabku lemas.
“Wajar saja kamu pusing, kamu habis di tabrak badak.” kelakar Biagioni
Kemudian aku melihat fisioterapis tim, Giuseppe Arandi ternyata sudak berjongkok disampingku.
“Kalau kamu masih pusing, jangan buru-buru bangun Mateo. Berbaring dulu.” Sambil memegang kedua kepalaku.
“gak papa, masih pusing Cuma sudah mendingan “kataku sambil berusaha bangun dan kemudian terduduk.
Aku melihat di pinggir lapangan, asisten wasit sedang mengangkat nomer 27 dengan nomer 19. 27 itu nomer punggungku, berarti aku diganti. Oke lah, aku juga sudah mengerahkan semua tenaga ku hari ini. Sambil berjalan keluar lapangan dengan dipapah oleh Giuseppe, rekan setim ku memberiku tos.
“Awas ada badak liar disana” kataku kepada Bazzani sambil memberikan toss kepadanya.
“Haha tenang saja, permainan bagus Mateo.!!” kata Bazzani yang menggantikanku masuk.
Di bench, asisten pelatih menghampiriku dan memberikanku 1 kata pujian tetapi 99 kata selanjutnya adalah rentetan omelan kenapa aku mesti kehilangan konsentrasi di awal pertandingan. Aku cuma bisa menunduk tetapi di akhir kalimat dia memegang kepalaku dan berkata
“Aku suka dengan caramu mengatasi tekanan di pertandingan. Sudahlah kamu cepat ke ruang ganti, Giuseppe aku memberikan pijatan relaksasi. Aku tidak ingin ada pemain yang cedera di pertandingan ini.”
Aku sebenarnya ingin melihat sisa 20 menit pertandingan tetapi perintah dari Malusci dan anggukan dari jauh Pelatih Mutti membuatku tidak berani membantah. Ditemani fisioterapis, kemudian aku beranjak dari bench dan menuju ruang ganti. Sambil menunggu hasil pertandingan ini.
Aku ingin pertandingan ini cepat berakhir dan segera pulang ke Calabria.
Agar aku bisa cepat-cepat bertemu dengan Daniela dan segera mengetahui masalah apa yang sebenarnya dihadapai olehnya.
Ti Amo, Daniela.
“THERE’S NO LOVE WITHOUT PAIN”
-Irving Stone-
========
Bersambung
NextChapter:
Deep Lying Forward #8 La Coppa Italia parte II
NextChapter:
Deep Lying Forward #8 La Coppa Italia parte II
No comments for "DLF #7"
Post a Comment