Featured Post

DLF #10

DEEP LYING FORWARD #10
ULTRAS COSENZA, ULTRAS VIVERE PER VIVERE (ULTRAS COSENZA, LIVING ULTRAS TO LIFE )


Retro Bar, Piazza XI Settembre, Cosenza - Settembre 8, 2000, 9:25 PM


Dua orang pemuda terlihat sedang buru-buru, satu pemuda yang nampak berusia lebih tua dibanding yang satunya berjalan terlebih dahulu sambil terus melihat jam di pergelangan tangan kanannya.

“Ayo cepat David !! Jangan sampai kita terlambat, pertemuannya dimulai 5 menit lagi”

“Tenang Emilio, ini aku juga jalan cepat, kamu di depan tunjukkan saja jalannya, aku mengikutimu dari belakang.”

3 menit kemudian, mereka berdua sudah berada di dalam bar yang sudah cukup ramai, band lokal sedang memainkan 1 lagu akustik yang terasa sangat pas dinikmati sembari minum Peroni Red Beer.

“Hey Emilio, tumben kamu baru datang, biasanya jam 8 malam kamu sudah keliatan di sekitar sini. Ini minumanmu, cepatlah naik, mereka sudah mulai 10 menit lalu. Sasa sudah datang dengan orang imigran tersebut.” Kata sang bartender sambil menaruh 2 botol bir Peroni di atas meja.

“Grazie, Filipo. “ kata Emilio yang segera mengambil 2 botol bir tersebut dan segera naik ke lantai 2 bar Retro. Lantai 2 ternyata sudah penuh puluhan orang, Emilio kemudian menuju ke pojokan dimana masih ada 2 kursi yang kosong. Dia dan David segera menduduki kursi tersebut.

“Maaf Dino, aku telat, tadi ada sedikit masalah di jalan,”kata Emilio setengah berbisik kepada 1 orang yang duduk di depannya.

Orang tersebut menoleh,

“Ya santai saja, si bos juga belum mulai diskusinya. Hei, kamu datang sama siapa ?” tanya Dino kepada Emilio tentang pemuda yang duduk di sampingnya.

“Oh dia David, sepupuku yang baru pindah ke Cosenza kemarin malam. David, mendekatlah. Ini kenalkan temannku Dino, dia adalah salah satu leader di Curva Nord.”

David segera mengulurkan tangan kepada Dino dan Dino menyambutnya dengan ramah.

“Selamat datang di Cosenza, David. Emilio, pindahkan kursimu di sampingku. David nanti kita ngobrol lagi ya setelah diskusi ini selesai.” Kata Dino sambil mengangkat botol birnya di tangannya. David kemudian melakukan hal serupa.

David yang duduk di belakang Emilio dan Dino lantas mengamati suasana di sekitarnya. Meja dan kursi sudah terisi semua, beberapa orang yang baru datang yang tidak mendapat tempat duduk kemudian memilih berdiri bersandar di tembok belakang. Selain pria, David juga melihat beberapa wanita ada di ruangan ini. Meskipun penuh orang, tetapi semua orang disini bercakap-cakap dengan suara pelan. David kemudian melihat bahwa sekitar 5 meter di depannya, ada seorang pemuda yang nampaknya bukan orang Italia atau sedang duduk sendirian menghadap kearah kerumunan, sementara 1 kursi di sampingnya masih kosong.  Pemuda yang David tebak bukan orang Italia tersebut berpenampilan serba hitam, rambut cepak dan jenggotnya yang cukup lebat. Tatapan matanya tajam namun tenang. David kemudian menyadari pemuda tersebut yang menjadi pusat perhatian semua orang di ruangan ini. David kemudian melihat ada seseorang yang baru datang kemudia duduk di kursi samping pemuda itu lalu membuka percakapan.

“Buona Notte (selamata malam) kawan-kawanku semua. Terimakasih sudah menyempatkan diri untuk datang di diskusi malam ini. Dan sebelum kita mulai diskusi ini, mari angkat gelas dan bir kalian tinggi-tinggi, mari kita bersulang atas keberhasilan tim kebanggaan kita, Cosenza Calcio 1914, bisa lolos ke babak ketiga Coppa Italia, sesuatu yang diluar ekspetasi kita semua dan tentu saja juga atas kemenangan tim kita di pekan pertama liga. FORZA COSENZA CALCIO !! FORZA COSENZA ULTRAS !! ULTRAS VIVERE PER VIVERE !!


David tidak menyangka orang tersebut yang berpenampilan kasual dengan dengan kacamata menghiasi wajahnya tersebut ternyata memiliki suara yang kencang dan memiliki karisma yang kuat. David lalu melihat semua orang di ruangan termasuk sepupunya Emilio bukan hanya mengangkat botol bir tinggi-tinggi tetapi juga bangkit berdiri dan meneriakkan hal yang sama. David merasa dirinya ikut tergerak dan ikut larut dalam suasana yang baru pertama dirasakannya ini.

“Grazie mio fratello ( terimakasih saudaraku), seperti janjiku bulan lalu, bahwa saya akan menghadirkan seorang teman yang sangat special, dan malam ini teman special tersebut sudah berada di antara kita. Mari berikan tepuk tangan yang meriah kepada teman kita, Talip Al- Faruq.”

Kembali ruangan tersebut riuh dengan tepuk tangan, pemuda yang bernama khas negara Timur-Tengah tersebut mengedarkan senyum ke semua orang dengan menangkupkan kedua tangan di depan dadanya.

“Okey, biar Talip saja yang bercerita siapa dirinya, dan kenapa dia bisa ada disini. Dan satu lagi, meskipun belum genap 1 tahun berada di Italia, dia sudah mahir berbahasa Italia dengan lancar. Bravo Talip. Silahkan ceritakan lagi kisahmu kepada kami”.

“Buona note (selamat malam), kawan-kawan. Saya ucapkan banyak terimakasih kepada Sasa yang sudah mengundang saya ke sini malam hari ini. Sekali lagi, perkenalkan nama saya Talip Al-Faruq, tapi kalian cukup memanggil saya dengan Talip. Saya orang dari suku Kurdistan, yang sebelum bermigrasi ke Italia saya tinggal di sebuah desa yang masuk wilayah Turki sebelah timur. Desa tempat tinggalku bernama Howraman At-takht, sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh lembah dan pegunungan sehingga cukup terpencil. Ada 350 keluarga tinggal disana termasuk saya, kakakku, adikku dan ibuku. Ayahku sudah lama meninggal. Meskipun terpencil, kami satu desa bisa hidup dengan tenang dan bahagia mengandalkan hasil bercocok tanam. Tetapi ketenangan kami pada akhirya berubah ketika pasukan militer Turki datang ke desa kami, mencoba mengusir kami dari tanah kami sendiri. Sebagian penduduk mencoba melawan tapi kami hanyalah penduduk desa biasa melawan pasukan lengkap sehingga pada akhirnya sebagian penduduk pindah ke kawasan pegunungan yang lebih terpencil dan lebih jauh di atas pegunungan, dan sebagian lainnya tercerai berai entah kemana. Termasuk saya dan keluargaku. Ibu dan adik perempuanku masih tinggal di Diyabarkir, sebuah desa yang mayoritas dihuni oleh orang Kurdistan-Turki, sementara aku oleh otoritas Turki disana mengirimku pergi ke Eropa sebagai imigran. “


Talip berhenti sejenak lalu meminum air putih.

Sasa yang duduk disamping Talip kemudian bertanya bagaimana dia bisa sampai di Italia.

“Kami orang Kurdistan tidak melarikan diri, tetapi dipaksa untuk menjadi imigran. Militer Turki menyiapkan segala dokumen perjalanan dan 1 buah kapal rongsokan buat kami untuk segera pergi dari desa. Kapal yang hanya muat 400 orang, tetapi dipaksakan untuk mengangkut 450 penumpang ! bayangkan betapa sesaknya kapal tersebut berlayar dari Turki melewati Laut Mediterania menuju Italia selama 15 hari. Selama perjalanan, banyak para penumpang yang entah sengaja menceburkan dirinya ke laut karena sudah putus asa, tidak tahan dengan keaadaan atau tidak sengaja tercebur ke laut. Kalaupun mereka terjatuh secara tidak sengaja, tidak ada satupun awak kapal yang peduli dan mencoba menolong. Kapal tersebut seperti ditugaskan untuk tetap menuju Italia tanpa peduli berapa banyak penumpang imigran yang pada akhirnya tersisa di kapal.”

Kami satu ruangan tercekat mendengar cerita Talip.

“Apa yang kalian lakukan ketika sudah sampai di Italia” Tanya Sasa.

“Ketika kami sampai di pelabuhan Gioa Tauro di Reggio Calabria, sudah ada perwakilan orang militer Turki yang mengantar kami ke Badolato, sebuah kota di daerah pegunungan St Nicholas, propinsi Calabria dimana disana sudah ada semacam rumah penampungan bagi kami para imigran dan setelah selesai mengantar kami, mereka meninggalkan kami begitu saja, hanya surat identitas legal yang menjadi pegangan, mereka sudah tidak peduli bagaimana dan dengan apa ke depannya kami akan akan beratahan hidup. Dengan adanya banyak imigran di Baldolato, kami para imigran dibantu dengan komunitas masyarakat lokal yang sangat baik, menerima kami dengan tangan terbuka dan peduli dengan nasib para imigran memutuskan untuk membentuk suatu yayasan untuk para imigran. Kegiatan kami pada awalnya adalah memberikan les singkat belajar bahasa Italia kepada kami para imigran yang berasal dari berbagai macam bangsa ada yang dari Kurdistan, Palestina, Afganistan dan Afrika.

Ada juga workshop yang  melibatkan industry lokal seperti kerajinan tangan, bekerja di perkebunan, peternakan yang mengajari kami bagaimana memperoleh ketrampilan. Lalu kemudian saya dan beberapa teman yang berasal dari Kurdistan kemudian diterima bekerja di sebuah perkebunan angggur lokal disana. Selain mengajari kami bahasa Italia dan memberikan pelatihan agar kami mempunyai ketrampilan yang dibutuhkan agar dapat bekerja, belakangan yayasan tersebut juga mengadakan kegiatan kesenian seperti bermusik dan teater sebagai sarana untuk menghibur. Bahkan melalui seni teater pula, kami sadar bahwa kami bisa menyampaikan perasaan kami menjadi orang buangan yang dipaksa pergi dari rumah kami sendiri dengan memainkan sejumlah pentas sederhana di panggung sederhana. Beberapa pentas teater yang sudah kami tampilkan sudah cukup banyak tetapi yang paling banyak mendapat perhatian  berjudul “Away from Kurdistan”, “Tragedy of Iraq” dan “Homeless at Rome”. Dan ternyata menarik banyak minat para penikmat teater dan salah satunya ada seorang dermawan yang kemudian menjadi sponsor utama kami sehingga kami bisa keliling di beberapa kota besar di Italia melalui pentas seni teater. “

Sasa kemudian memberikan tepuk tangan yang kemudian diikuti semua orang di ruangan ini.

“Kami ikut senang mendengar kesuksesan anda dan rekan-rekan anda, Talip. Lalu apa pendapat anda tentang gerakan PKK (Partiya Karkeren Kurdistan/ Kurdistan Workers Party) yang saat ini masih gencar melakukan perlawanan melawan otoritas pemerintah Turki?” Tanya Sasa.

“PKK adalah identitas bagi kami suku Kurdi. PKK menjadi wadah kami berpolitik, belajar dan melawan rezim penindas. Banyak pemuda-pemuda Kurdi yang tinggal di wilayah Iran, Syria yang relatif aman dari konflik, memilih meninggalkan sekolah, kuliah dan rumah mereka dan bergabung ke PKK akibat tidak tahan dan merasa terpanggil melihat penderitaan yang menimpa sesama saudara mereka. Tidak sedikit yang menjadi pejuang gerilya di pegunungan, memberikan perlawanan bersenjata kepada militer Turki yang berkuasa di sana. Tetapi bagi pemerintah Turki dan negara-negara Barat, PKK adalah organisasi teroris bersenjata yang berbahaya. Sebenarnya untuk meraih kemerdekaan bagi kami suku Kurdi, selain perjuangan melalui jalur militer, harus juga dibangun dialog dan komunikasi politis agar perang ini tidak berlarut-larut. Hanya saja, Abdullah Ocalan, pendiri PKK yang menjadi pemimpin kami, sayangnya telah ditangkap oleh pemerintah Turki dan ditahan di tempat yang dirahasiakan, memperberat opsi ini.” Tutup Talip dengan nada suara bergetar.


David dan semua orang merasa merinding mendengar penuturan cerita Talip, seorang pemuda yang terusir dari tanah mereka sendiri akibat konflik Suku Kurdi dengan pemerintah Turki yang berkepanjangan.

“Buat kawan-kawan yang kurang mengerti tentang situasi politik Kurdistan dan konflik yang terjadi disana, saya akan berikan sedikit penjelasan. Kurdistan secara geografis menempati wilayah dari daerah timur tengah, yang dijuluki "Fertile Crescent", yakni area yang berbentuk seperti bulan sabit dengan tanahnya yang subur di Timur-Tengah yang memanjang dari timur pantai Mediterania melalui lembah sungai Tigris dan Efrat ke Teluk Persia. Itu adalah pusat pengembangan Neolitik pertanian (dari 7000 SM), dan menjadi tempat kelahiran peradaban Asyur, Sumeria, dan Babilonia. Sampai hari ini, wilayah Kurdistan “memotong” wilayah di 5 negara yaitu Turki, Irak, Iran, Armenia dan Suriah. Mereka tidak memiliki agama resmi, tetapi mengikuti ajaran Zarathustra yang menganggap matahari, bumi, udara dan Air sebagai unsur yang menghasilkan kehidupan. Suku Kurdi adalah orang-orang yang selalu membenci senjata dan menjujung tinggi perdamaian.


Pada awalnya Kurdistan belum diakui sebagai sebuah negara dan memiliki hak untuk berpolitik, sampai akhirnya mendapat pengakuan di tahun  1945. Tetapi kemerdekaan Kurdistan tidak berlangsung lama, beberapa negara besar yang tidak menyukai Kurdistan sebagai entitas sebuah negara, mulai menyusun rencana untuk menyudahi Kurdistan. PKK yang didirikan oleh Abdulah Ocalan tahun 1974 bertujuan untuk melindungi hak orang-orang Kurdistan sebagai suku minoritas, tetapi pemerintah Turki yang sejak awal tidak rela sebagian wilayahnya dipatok oleh Kurdistan, menjalin kerjasama dengan Amerika Serikat dan sejumlah negara di Eropa Barat meyebarkan propaganda bahwa PKK adalah organisasi teroris yang menjadi sumber kejahatan sehingga banyak para pengikut dan anggota PKK yang wajib untuk segera ditahan. Sejak aksi penangkapan tersebut semakin meluas, banyak pengikut PKK yang akhirnya pindah dan bersembunyi di wilayah Kurdistan yang berada di Turki timur yang didominasi landskap pegunungan.


Hingga hari ini, 30 ribu lebih orang suku Kurdi yang kehilangan nyawa akibat konflik ini. Ocalan, pemimpin PKK yang sebelum tertangkap oleh otoritas Turki, sempat melarikan diri keluar negeri dan meminta suaka politik di berbagai kota di Eropa, tetapi akibat tekanan politis yang kuat, tidak ada satupun negara Eropa yang bersedia memberikan perlindungan kepada Ocalan, termasuk negara kita tercinta ini yang tak lebih dari salah satu bidak catur negara kapitalis. Ocalan akhirnya ditangkap dan diekstradisi ke Turki. Dan seperti yang Talip sampaikan sebelumnya, Ocalan ditahan di tempat rahasia yang konon berada di sebuah pulau dimana hanya Ocalan yang menjadi satu-satunya napi disana. Pemerintah Turki beranggapan jika mereka berhasil menangkap Ocalan yang menjadi symbol perlawanan suku Kurdistan, maka PKK akan lemah dan mati dengan sendirinya. Tetapi mereka salah, sampai hari ini suku Kurdistan masih berada disana, di antara pegunungan Turki tidak pernah menyerah. Suku Kurdi seperti rumput liar yang memiliki akar rumput yang menancap kuat di tanah, siapapun pihak yang mencoba memotong rumput tersebut, usaha mereka akan sia-sia karena rumput liar tersebut akan selalu tumbuh dan tidak akan mati. Salut untuk Talip dan semua Suku kurdi di seluruh dunia, mereka adalah orang-orang yang tidak pernah menundukkan kepala kepada siapapun jika menyangkut masalah harga diri. “

Talip menundukkan kepala dan bahunya bergetar, Sasa yang berada di sampingnya, menepuk-nepuk pundak Talip. Perkataan Sasa tentang suku Kurdi membuat segala kerinduan akan kampung halaman, tanah air dan perjuangan para saudara-saudaranya membuat Talip tidak kuasa menahan air mata.

Standing ovatioan dan tepuk tangan menggema di ruangan mendengar kisah Talip yang luar biasa, beberapa fans wanita bahkan ikut meneteskan air mata melihat momen mengharukan ini. Setelah Talip mulai bisa menenangkan dirinya, Sasa segera mengganti topik diskusi yang lebih ringan.

“Jadi kawan-kawan, Talip ini baru saja kembali dari Roma tetapi sebelum dia pulang ke Baldolato, dia menyempatkan dirinya untuk mampir kesini. Dan sekedar tambahan, Talip punya cerita yang menarik tentang pengalamannya bersentuhan dengan sepakbola Italia, khususnya dengan Cosenza.“ kata Sasa tersenyum.

Hehehe, sebenarnya sepakbola adalah sesuatu yang baru bagi saya. Pengalaman saya yang cukup berkesan adalah ketika tahun lalu, seorang teman di yayasan mengajak saya ikut datang ke San Vito, Cosenza untuk mendukung dan menyaksikan langsung Derby Calastici, Cosenza melawan Crotone. Bukan hanya saya, sekitar 50an teman-teman sesama imigran di Baldolato juga akhirnya ikut berangkat ke Cosenza karena kami pikir itu akan menjadi pengalaman dan perjalanan yang menarik. Ketika kami para supporter Crotone yang total berjumlah 200an orang masuk ke stadion, sambutan dari para supporter Cosenza begitu meriah dan bersahabat. Malam itu memang Cosenza berhasil mengalahkan Crotone dengan skor telak 3-0. Yang membuat saya tidak bisa melupakan malam itu adalah ketika pertandingan selesai, tiba-tiba entah darimana muncul bendera Kurdistan dan bendera Afghanistan di antara ratusan bendera -bendera Ultras Cosenza berkibar di antara curva nord dan di saat yang bersamaan muncul banner besar dengan tulisan a curve with 1000 flags for a land without bordersdi curva sud.





Jujur saja pda saat itu, bulu kuduk saya berdiri, kami begitu terharu dengan momen tersebut. Dan satu fans Cosenza yang pertama menyapa saya dengan ramah setelah keluar dari stadion adalah ramah adalah laki-laki luar biasa di samping saya ini, Salvatore Sacchi dan belakangan saya ketahui dia adalah pimpinan dari Ultras Cosenza yang beranggota ribuan orang ini. Salut !!“ kata Talip kemudian bangkit dan memeluk erat Sasa, laki-laki yang sudah dianggap saudaranya sendiri tersebut.

Sasa, sambil berdiri dan menatap semua orang yang hadir disitu,

“Kita duduk di belakang spanduk yang sama, melambaikan bendera yang sama, bukan karena kita berasal dari lingkungan yang sama, atau karena kita memiliki usia yang sama tetapi karena kita menunujukkan kepada semua orang bahwa menjadi Ultras bukan hanya tetntang symbol pendukung klub sepakbola semata tetapi kita memaknai Ultras sebagai way of life, pandangan hidup. Dan kawan-kawan juga mesti ingat pula semboyan kita, Living Ultras to Life. Bahwa dengan menjadi Ultras, kita memiliki tujuan yang sama kepentingan yang sama yang kita manifestasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Termasuk sikap bahwa semua orang mempunyai hak yang sama. Rasisme dan imperialisme adalah musuh bersama kita saat ini. Contoh nyata adalah imperialisme yang dilakukan oleh pihak Turki yang mendapat support dari negara-negara adikuasa, kepada suku Kurdistan seperti yang teman kita Talip ceritakan baru saja kepada kita semua.

Dengan hanya mengutuk rasisme dan imperialisme, itu saja tidak akan cukup. Kita harus bertindak dalam kondisi manifestasi kolektif, singkatnya, anti-rasisme tidak hanya harus menjadi filsafat dan teori, tetapi juga tindakan dan aksi nyata. Semua niat ini lahir dalam kurva, tempat segala macam orang-orang dari berbagai kelas bercampur menjadi satu dan tercipta interaksi sosial, belajar untuk mengenal satu sama lain, berbicara, tertawa bersama-sama, mencoba untuk berbagi dan untuk melihat bahwa meskipun kita datang dari beragam latar belakang seringkali kita menghadapi masalah yang sama. Tahun lalu ketika kita mendengar kabar bahwa dari sekitar 500an supporter Crotone yang akan datang langsung ke San Vito untuk menyaksikan langsung pertandingan derbi Cosenza vs Crotone , akan ada ratusan imigran yang mayoritas berasal dari Suku Kurdi dan warga Palestina ikut serta dalam rombongan pendukung Crotone, kita memutuskan untuk menampilkan sesuatu sebagai bentuk dukunagn kepada para imigran suku Kurdi dan Afghanistan. Curva dengan 1000 bendera mempunyai makna bahwa kita mendukung perjuangan PKK di Kudistan melawan rezim militer Turki dan rakyat Palestina yang tanahnya dijajajah oleh Israel di bawah rezim PM Isreal Ariel Sharon.

Kita, Ultras Cosenza bukanlah kelompok non-profit maupun bagian dari suatu partai, kita adalah bagian dari kelompok masyarakat dunia yang mandiri dan ingin berkembang, sebisa mungkin berbuat sesuatu, kepada kelompok masyarakat yang menjadi minoritas dan mengalami ketidakadilan. Salah satunya dengan menjadi inisiator pertemuan rutin dengan sesama supporter dan organisasi kemanusiaan manapun yang juga mempunyai kepedulian yang sama tentang bagaimana melawan rasisme dan xenophobia baik itu di dalam sepakbola, bidang olahraga lain dan segala aspek kehidupan lainnya. Dengan menjalin komunikasi dan bersinergi dengan organisasi kemanusiaan yang mempunyai kedudukan hukum, membuat kita bisa menggelar serangkaian kegiatan amal dan even publik seperti mendonasikan uang dari para Ultras Cosenza untuk dibelikan parcel makanan untuk semua orang di penampungan saat hari Natal, screening film pendek untuk umum How Many We Are Who We Are di La Piazza, menggelar diskusi publik bekerjasama dengan Ya Basta (Ya Basta berasal dari bahasa Spanyol yang berarti cukup adalah cukup, adalah jaringan organisasi sayap kiri, anti kapitalis dan pro-imigran di Italia yang berdiri pada tahun 1994.

Ya Basta sangat dipengaruhi oleh kelompok separatis, kelompok pembela masyarakat minoritas Zapatista Army of National Liberation atau EZLN di Mexico dimana pemimpinnya dikenal sebagai Subcomandante Marcos yang dijuluki The New Che Guevarra ), menggelar aksi protes kepada FIGC terkait sanksi kepada Crotone & Lamezia Terme, menggelar diskusi eksternal dengan kelompok ultras Napoli, Genoa, Palermo, Cagliari dan Florence yang mempunyai kepentingan dan kepedulian yang sama dengan kita. Jadi jangan heran ketika  banner, bendera yang kita kibarkan di stadion San Vito, yel-yel yang kita kumandangkan sedikit atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan sepakbola. Kalian tenang saja, tindakan tersebut tidak mengurangi ataupun merubah identitas asli kita sebagai supporter sepakbola sejati, tetapi tindakan tersebut justru menunjukkan bahwa kita bukan sembarang Ultras yang selalu di identikkan dengan fanatic membabi buta dan lekat dengan kekerasan. Ultras Cosenza, faktanya terdiri dari sekelompok orang yang setiap tahun selalu datang mengisi curva stadion, aktif, selalu bersemangat, dan ketika Cosenza Calcio 1914 bertanding, dengan warna merah-biru dan simbol serigala, kita akan selalu berdiri dibelakang mereka dengan banner bertuliskan ULTRAS COSENZA. Buon pomeriggio, Grazie.”

“Gila, ini sih lebih dari sekedar ultras sepakbola,” pikir David setelah selesai mendengar Sasa menutup diskusi malam ini dengan penjelasaan yang sangat cerdas. Begitu Sasa selesai menutup diskusi malam ini, beberapa orang yang duduk di deretan kursi depan yang dekat dengan Talip dan Sasa segera menghampiri mereka berdua sekedar memberikan pelukan hangat. Kemudian dari arah belakang terdengar sekelompok orang yang hampir semuanya memakai celana jeans warna biru, jaket warna hitam dengan hoodie menutup kepala menyanyikan yel-yel dengan kencang yang membuat David semakin merinding,

Si,la Curva è tutta qui  (Yes, the whole curve is here)
e noi cantiamo (and we sing)
e noi tifare (and we cheers on)
perchè noi non ci arrendiamo (because we will not give up)
fino a quando non vinciamo   (until we win)
la promozione in Serie-A (promotion to Serie-A)
con le Bandiere (with flag)
con gli Striscioni (with banner)
perchè è così che salutiamo i Campioni (because that's how we salute to the champions)
Forza Cosenza,vinci per noi,oh oh (Cosenza force, win for us, oh oh) !!

Di tengah suasana ruangan yang hingar-bingar oleh suara yel-yel yang riuh, David melihat Dino meraih mic.

“Oke selamat malam kawan-kawan, mohon tenang dan saya minta perhatiannya sebentar. Saya akan memberikan informasi penting yang baru saja saya terima dari signor Sansone, bahwa lawan yang akan kita hadapi di putaran ketiga Coppa Italia sudah ada dan lawan kita adalah.. PARMA !! pertandingan leg pertama akan berlangsung tanggal 16 september dan kita bertindak sebagai tim tuan rumah. Leg kedua akan dilaksanakan tanggal 24 september di Stadio Enni Tardini. Wohoooo, lawan kita Parmaaa !!” teriak Dino sangat bersemangat yang kemudian disambut oleh siulan dan tepuk tangan yang meriah.

David malah merasa heran melihat respon orang-orang disini, Cosenza akan melawan AC Parma yang musim di 1998/1999 baru saja memenangi Piala UEFA dan tim yang masuk ke dalam “The Seven Magnificent” di Serie-A bersama dengan Juventus, AS Roma, Lazio, AC Milan, Inter dan Fiorentina atau 7 tim yang memiliki kans terbesar untuh meraih gelar Scudetto.

Hahahah jangan heran dengan reaksi orang sini yang malah girang bertemu dengan tim sebesar Parma. Pertandingan tersebut akan menjadi pertandingan yang menarik, kapan lagi Cosenza berkesempatan menjajal tim seperti Parma kalau bukan di ajang Coppa Italia. Saya yakin tiket pertandingan akan segera habis terjual. Kamu mau ikut nonton kan nanti? Tenang saja untuk kita para Ultras kita mendapat tiket khusus Ultras dengan harga special dari manajemen klub.” Kata Emilio yang seolah bisa menebak apa yang tengah oleh David.

“Kawan-kawan, saya mengingatkan kembali sehubungan dengan akan adanya pertandingan Big Match dimana kita akan bertandang melawan Torino di pekan ketiga Serie-A tanggal 20 september, maka bagi siapa saja yang ingin ikut kita memberikan dukungan langsung Cosenza vs Torino di Turin, bisa mendaftarkan dirinya ke Samanta paling lambat tanggal 17 dengan uang sebesar 100 Euro dimana 80 Euro untuk tiket kereta api pulang-pergi dan 20 Euro sisanya untuk tiket pertandingan. Tolong untuk setiap leader, menyampaikan info ini ke seluruh anggotanya. Makin banyak yang ikut makin bagus, Sekedar info saja, sampai saat ini sudah ada 200an orang yang sudah mendaftar untuk ikut tur ke Turin, jadi kawan-kawan yang belum mendaftar jangan takut, kalian tidak akan sendiri disana. Sementara untuk info Tur ke Parma akan dijelaskan lebih lanjut. Jika ada yang ditanyakan lebih lanjut bisa kontak ke saya atau Samanta. Grazie, tutup Dino padat singkat dan jelas.

***

David dan Emilio pulang ke rumah sekitar jam 1 pagi, David yang merasa terkesan dengan acara yang baru saja di datanginya barusan tidak bisa segera tidur, David kemudian bertanya-tanya kepada Emilio segala sesuatu tentang Ultraz Cosenza. Emilio yang pada awalnya ingin segera tidur karena ada jadwal kuliah jam 9 pagi nanti, akhirnya tidak jadi tidur dan malah kemudian dengan semangat menceritakan segala sesuatu yang dia tahu tentang sejarah Ultras Cosenza dan perkembangannya sampai hari ini.

“Suporter Cosenza yang terorganisir pertama kali terbentuk  tahun 1978 dengan nama Commando Ultras Prima Linea, lalu kemudian di tahun 1983 muncul Nuclei Sconvolti yang terkenal ke penjuru Italia karena begitu atraktif , punya koreografi yang unik, anti terhadap polisi, sangat welcome terhadap ultras lawan yang datang ke San Vito tetapi keramahan mereka tidak berlaku ketika berjumpa dengan Ultras Catanzaro, Lecce, Reggina. Seringkali kerusuhan antar ultras pecah jika salah satu dari tim tersebut bertanding dengan Cosenza. Tetapi Nuclei Sconvolti sudah tidak aktif lagi, perlahan mereka menghilang dari San Vito karena terlibat berbagai masalah yang berhubungan dengan kekerasan.

Selain Nuclei Sconvolti, muncul banyak kelompok-kelompok Ultras Cosenza lainnya seperti Fedayn (1982), NS-Via Popilia (1983) yang berubah nama kelompok menjadi Popilia Ghetto Rebel Boys Cosenza (1983), Alkool Group Loreto (1985), New Guard (1986) , NS Amantea (1986), Brigades Rossoblu (1987), NS Rende (late 80s), NS Cosenza Vecchia (1989), NS Luzzi (1990) kemudian berubah menjadi Luzzi Klan (2000), Lost Boys (1992), Authentic (pertengahan 90an), Curva Nord Cosenza (1994), Rebel Fans (1995) dan masih banyak kelompok-kelompok baru yang bermunculan dalam 3 tahun terakhir ini seperti Road Crew, Gate 14, Mayd Boys 87100, Reform, S. Vito, horny First Lotto, Second batch, Crazy Wolves, Old ways, World Fantastic, Boot Boys, Old Style, Cosenza Loca.”





Emilio berhenti bercerita sejenak saat memperbaiki posisi bantal dengan menambah satu lagi bantal. Setelah dapat posisi yang nyaman, Emilio melanjutkan penjelasannya.

“Kelompok supporter yang terlalu banyak dan terpisah-pisah ini seringkali menimbulkan gesekan-gesekan karena seringkali berselisih paham tentang kelompok siapa yang lebih berhak menempati Curva Sud ataupun Curva Nord. Stadio San Vito seperti menyimpan bom waktu yang kapan saja bisa meledak. Ketika konflik mulai semakin panas dan dirasa akibatnya akan merugikan diri sendiri, muncul 1 orang yang dengan berani dan tegas mendatangi satu-persatu kelompok suporter Cosenza yang hampir tersebar di seluruh penjuru Cosenza. Terutama kelompok-kelompok supporter Cosenza yang memiliki anggota di atas dua ratus orang seperti Fedaayn, NS  Cosenza Vecchia, Ghetto Rebel Boys. Dia mengundang dan mengumpulkan para leader masing-masing kelompok agar duduk bersama, berdiskusi mencari solusi terbaik. Dia dengan tegas berbicara kepada para leader bahwa dia mulai gerah dan tidak suka melihat perkembangan supporter Cosenza yang tersekat-sekat, dan ajaibnya dengan berani dia memarahi para leader yang tidak berupaya mencari jalan damai dan malah terkesan masa bodoh dengan situasi seperti ini.

Usut punya usut, ternyata laki-laki tersebut adalah salah satu pendiri Nuova Sconvolti yang setelah lulus SMA dia pergi kuliah di Roma, dan ketika lulus dia pulang ke Cosenza dan mendapati adanya konflik antar kelompok supporter Cosenza. Dan di akhir pertemuan, dia membuat keputusan bahwa semua kelompok harus melebur menjadi satu, dengan nama Ultras Cosenza. Bahkan dia berani menantang berkelahi satu lawan satu kepada leader yang menolak ide penggabungan ini, dari 7 leader yang berkumpul hari itu hanya ada 1 leader yang menolak ide tersebut. Dia adalah Tobias Antonelli, leader dari Ghetto Rebel Boys. Tobias yang memang paling keras kepala menerima tantangan orang tersebut untuk berkelahi satu lawan satu. Menurut Dino yang pada saat itu ikut hadir di pertemuan tersebut sebagai leader dari NS Cosenza Vecchia, ketegasan dan keberanian dari orang tersebut membuatnya kagum dan setuju untuk mengakhiri konflik.

Dan masih menurut Dino, perkelahian Tobias dengan pria tersebut berlangsung dengan singkat, Tobias yang berandalan bisa dibuat tidak berkutik melawan orang tersebut. Untung saja Tobias dengan\n jantan mengakui kekalahannya dan pada akhirnya setuju untuk meleburkan semua kelompok supporter Cosenza menjadi satu. Aku yakin kamu sudah bisa menebak siapa laki-laki pemberani tersebut. Dia adalah Salvatore Sasa Sacchi. Di hari itu Ultras Cosenza resmi lahir dan Sasa didaulat menjadi top leader bagi Ultras Cosenza. Demi menjaga nama baik tiap kelompok dan identitas awal, Sasa tidak melarang spanduk-spanduk yang berasal dari setiap kelompok pendukung Cosenza untuk tetap dipasang di Stadio San Vito. Sasa menyatukan kami semua, dan mengajari kami bagaimana seorang Ultras itu berpikir dan bertindak. ”




“Meskipun kini Ultras Cosenza menjadi nama resmi bagi kelompok supporter Cosenza, Tetapi tetap saja ada kelompok-kelompok supporter Cosenza yang memiliki ratusan anggota sampai hari ini dan menjadi core dari Ultras Cosenza. Antara lain Fedaayn yang berdiri tahun 1982 yang berasal dari salah satu daerah kumuh Pariduzzo di Cosenza saat ini memiliki 300 an member yang terdaftar. Fedaayn diambil dari bahasa Arab yang memiliki arti pengorbanan. Ermano, salah satu pendiri Fedayn mengatakan bahwa salah satu tujuan mereka membentuk adalah sebagai bentuk perlawanan mereka terhadap stigma negative yang hinggap di kawasan ghetto/kumuh. Salah satu peristiwa yang membuat nama Fedaayn disegani di kalangan internal Ultras Cosenza adalah aksi protes yang berujung dengan dibakarnya banner Commando Ultras di San Vito karena dianggap karena dianggap memiliki haluan sayap kanan yang pro fasisme.


Sementara sejatinya Ultras Cosenza berhaluan sayap kiri dimana mereka pro sosialis, anarkis, komunis, anti-capitalis, anti-imperialias dan tentu saja anti-fasisme. Hanya saja, seiring dengan berjalannya waktu, anggota generasi pertama Fedaayn sudah mulai menghilang, hanya puluhan saja yang masih setia memakai atribut dan berdiri di belakang spanduk Fedaayn di curva nord (kurva utara) Stadio San Vito. Martin adalah pemimpin Fedaayn saat ini. Martin mempunyai tanggungjawab sebagai leader yang memantau semua spanduk, bendera, drum, penggunaan flare dan petasan di dalam Stadio San Vito pokoknya apa saja yang berhubungan dengan atribut dan simbol klub Cosenza baik saat kita menjalani pertandingan kandang maupun tandang, harus mendapat persetujuan dari Martin.

Kemudian ada kelompok NS Cosenza Vecchia, kelompok yang satu ini dari awal terbentuk di tahun 1983 sudah mempunyai anggota lebih dari 500 orang. Ns Cosenza Vecchia sangat solid dan selalu ikut kemanapun tim bertanding, siapapun akan merasa aman jika berada di antara mereka karena sifat mereka yang ramah dan welcome baik terhadap anggota baru maupun dengan anggota kelompok Ultras Cosenza lainnya. Ns Cosenza Vecchia mereka kelompok yang tidak suka berbuat onar tetapi jika keadaan memaksa dan dalam keadaan terjepit, mereka tidak akan menyerang balik. Kalau sudah pecah keributan antar ultras dimana Ns Cosenza Vecchia terlibat, maka hanya 1 peleton polisi yang bisa menghentikan mereka.






Sampai hari ini, spanduk Ns Cosenza Vecchia masih menggantung dengan gagah di curva sud (kurva selatan) Stadio San Vito dan mewarisi gen asli pendahulu mereka yang sopan tetapi tidak kenal takut untuk maju jika pecah kerusuhan antar supporter. Dan saat ini pemimpin dari Ns Cosenza Vecchia adalah Dino. Dino mendapat tugas untuk membantu Sasa dalam menjalin komunikasi yang baik dengan pihak manajemen Cosenza termasuk di dalamnya adalah selalu melakukan lobi kepada pihak klub agar memberikan diskon untuk tiket-tiket kepada semua member supporter Cosenza yang tergabung menjadi satu di bawah nama Ultras Cosenza yang menempati Curva Sud dan Curva Nord. Selain berhubungan dengan pihak manajemen, Dino juga bertugas untuk mencarikan, menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pertandingan tandang meliputi transportasi, dan tiket untuk supporter yang ingin ikut tur partai tandang Cosenza. Samanta yang tadi Dino sebut adalah pacarnya yang bertugas sebagai ya katakanlah bendahara Ultras Cosenza. Saya sendiri juga berasal dari NS Cosenza Vecchia dan menjadi tangan kanan Dino” kata Emilio penuh rasa bangga.

Dan terakhir adalah kelompok garis keras Ultras Cosenza yakni Popilia Ghetto Rebel Boys Cosenza. Mereka adalah pecinta kekerasan, sekumpulan para preman dan berandalan. Dengan sedikit provokasi dari supporter lawan, maka sudah cukup untuk ratusan anggota Ghetto bergerak untuk selanjutnya pecah kerusuhan. Hampir mirip dengan Fedaayn yang juga berasal dari daerah kumuh, Ghetto di kalangan internal Ultras Cosenza kurang begitu disukai karena lingkungan mereka yang keras, selalu menjadi sumber masalah.  Bahkan disinyalir ada beberapa anggota Ghetto yang juga menjadi anggota salah satu mafia yang ditakuti di seantero Italia yang berasal dari Calabria yaitu Ndrangheta dimana terlibat dalam bisnis narkoba, prostitusi, pembunuhan, penyuapan dan bisnis kotor lainnya. Ciri khas anggota Ghetto adalah jaket hitam yang lengkap dengan balaclava hitam, beberapa mengenakan balaclava warna merah biru, jeans biru dan sepatu kets berwarna putih. Ghetto mempunyai Penguasa curva nord (kurva selatan). Kelompok ini bertugas sebagai yang mengakomodir, produksi merchandise klub baik dari sisi desain maupun distribusi.





Hei David, apakah kamu masih ingat dengan sekelompok orang yang menyanyikan yel-yel tadi ? ya mereka adalah anggota Ghetto. Aku minta kamu jangan terlalu dekat mereka, cukup kenal saja dengan berbagi rokok dan bir sudah cukup. Reputasi mereka sebagai provokator yang memicu kerusuhan bahkan cukup buruk bahkan untuk ukuran  kalangan kita sendiri. Pemimpin mereka bernama Verdi Antonelli, yang sudah sering keluar masuk penjara akibat sering terlibat kasus kekerasan. Kakak Verdi, Tobias Antonelli adalah salah satu pendiri Ghetto generasi pertama yang kini mendekam di penjara karena terlibat dalam aktivitas ilegall Ndrangheta. Dari 3 leader di Ultras Cosenza saat ini, Verdi hanya bersikap hormat kepada Sasa selain karena dulu Sasa pernah membuat kakaknya Tobias kalah dalam duel satu lawan satu, tetapi Sasa juga pernah menyelamatkan dirinya waktu dikeroyok 10 orang Ultras Lecce dalam suatu bentrokan selepas laga Lecce vs Cosenza beberapa tahun lalu, kalau saja saat itu Sasa tidak menyelamatkan Verdi, dia pasti sudah mampus. Sasa sudah tahu sepak terjang Ghetto di bawah komando Gerdi hanya saja, Sasa selalu saja beralasan tindakan Ghetto masih dalam taraf wajar dan Sasa selalu bilang akan menjaga Verdi agar tidak mudah terpancing provokasi, tapi ya usaha Sasa yang mencita-citakan bahwa Ultras Cosenza bukan hanya sekedar grup supporter sepakbola semata seperti menemui jalan terjal ketika seringkali harus membereskan masalah yang dtimbulkan oleh Verdi  dan gengnya,kata Emillio pelan.

“Berarti tadi sekelompok orang di belakang yang tiba-tiba meneriakkan yel-yel adalah orang-orang dari Ghetto Dari sekian orang yang meneriakkan yel-yel, Verdi adaa gak di antara mereka?” Tanya David penasaran.

 “Verdi tidak ada. Tapi sewaktu kita buru-buru naik ke lantai 2, aku melihat Verdi sedang minum birnya sendirian di pojok ”

“Hmm sendirian duduk di pojok ya. Apakah Verdi orangnya berbadar kekar, gempal, potongan rambut cepak, pakai baju biru dan lengan kanannya penuh tato?” Tanya David.




“Ya tepat sekali itu Verdi, kamu harus hati-hati dengan dia pokoknya.”

“Tapi kok sampai acara diskusinya selesai dan kita pulang, Verdi tidak ikut dan gabung dengan kita di lantai 2?”

“Dari sejak awal, Verdi paling malas datang ke pertemuan yang melibatkan orang luar. Dia memang orangnya keras dan tidak menyukai acara-acara diskusi yang menurut dia membosankan, tapi ketika ada pecah kerusuhan, Verdi paling semangat maju di barisan paling depan. Memang preman beneran dia sama kayak kakaknya Tobias. Oke kita sambung besok lagi, aku mengantuk” kata Emilio sembari menguap lebar.

David yang berbaring di ranjang yang terpisah dari Emilio, menyerap semua infromasi tersebut sambil menatap langit-langit kamar sepupuny tersebut. David tersenyum entah kenapa dia sepertinya akan betah tinggal di Cosenza. Lamunan David tentang sepak terjang Cosenza, membawanya tidur dengan lelap.

***

Silvestri’s Home, Temeza, Cosenza - Settembre 9, 2000, 9:02 PM

Selesai makan malam, Silvestri segera kembali ke kamarnya. Setelah sampai di kamar, Silvestri lalu menyalakan AC kamarnya yang berada di lantai 10 di sebuah apartemen yang mempunyai lingkungan yang cukup nyaman di daerah Temeza, tidak terlalu jauh dari Stadio San Vito. Silvestri tinggal dengan kedua orangtuanya dan 1 adik perempuannya, ayahnya Tomas Silvestri adalah konsultan IT di salah satu perusahaan Telekomunikasi di Cosenza. Ibunya, Tina Silvestri adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Sedangkan adik Silvestri bernama Julia berumur 17 tahun kelas 2 SMA. Begitu AC hidup, Silvestri lalu melepas baju kaos dan celana panjangnya hingga hanya menyisakan celana boxer yang dia kenakan. Silvestri kemudian mengambil handphone yang masih berada di dalam tas. Silvestri berharap ada notifikasi pesan SMS masuk. Dan ketika layar hp Nokia 9120 Communicator yang baru saja dibelinya seminggu, ternyata ada notifikasi 3 SMS baru dan 1 email, Silvestri meloncat girang. Silvestri segera masuk ke menu Inbox, dan seketika raut gembira hilang dari wajahnya, tidak ada satupun SMS yang masuk berasal dari Ilary. 2 SMS dari manajemen tim terkait info pertandingan mendatang, 1 SMS dari Mateo dan 1 e-mail bersubjek “Jadwal lengkap Cosenza di Lega Calcio Serie-B 2000/2001”.Silvestri malas untuk sekedar membuka dan membaca lebih lanjut pesan-pesan tersebut.

Hanya 1 nama yang Silvestri tunggu. Ilary. Ya Silvestri sedang menunggu kabar dari Ilary. Terakhir Silvestri SMS-an dengan Ilary sekitar 4 hari yang lalu. Ilary bukan menghilang sih, sebelumnya Ilary bilang dalam seminggu ke depan dia akan sangat sibuk sekali karena Pontevalleceppi sedang ada even kursus kepelatihan dari FIGC. Tapi ya tetap saja Silvestri begitu merasa sudah rindu sekali walau hanya sekedar SMS-an atau telpon-telponan. Rasa rindu yang membuatnya tidak tahan dan pagi tadi sebelum berangkat latihan dia mengirim pesan singkat kepada Ilary yang berisi kalimat singkat.

“Mi manchi ( I miss you).

 Butuh keberanian lebih untuk bilang dia rindu kepadanya. Sebenarnya mereka belum resmi pacaran, tetapi Silvstri yakin bahwa Ilary juga suka kepadanya, tetapi Silvstri tidak mau ge’er duluan. Ilary memang sempat bercerita bahwa dia sedang tidak punya pacar saat ini karena sedang sibuk meintis karir menjadi seorang Chef tetapi jika ada laki-laki yang baik dan mau mengerti kesibukannya, Ilary bilang dia bisa saja membuka hatinya untuk laki-laki tersebut. Sebuah hal yang menurut Silvestri itu adalah “kode” yang ditujukan buat dirinya. Maka dari itu, sekuat mungkin Silvestri menahan diri untuk tidak menghubungi Ilary terlebih dahulu, akan tetapi pertahanannya jebol juga pagi tadi. Selama sarapan pagi bersama seluruh pemain Cosenza tadi pagi, setiap menit Silvestri melirik ke handphonenya, sudah 1 jam berlalu setelah dia kirim SMS ke Ilary dan Ilary tidak membalas SMS nya.

Kepala Silvestri mau pecah rasanya memikirkan segala kemungkinan kenapa Ilary tidak membalas SMS-nya. Mulai dari menduga-duga kemungkinan bahwa Ilary sudah membaca pesan tersebut tetapi sedang sibuk sehingga tidak sempat membalas, handphone Ilary ketinggalan di rumah atau kemungkinan yang terburuk, Ilary tidak suka mendapat SMS yang sok akrab seolah-olah dia sudah jadi pacarnya dan masih banyak lagi. Sampai sesi sarapan sudah selesai 1 jam kemudian, Ilary belum juga membalas dan para pemain mesti segera bersiap latihan yang berarti handphone mesti di tinggal loker, membuat suasana dan mood Silvestri menjadi jelek sebelum latihan. Dan akibatnya, Silvestri kehilangan fokus dan konsentrasi selama latihan. Signor Malusci yang tegas dan sangat detil dalam mengawasi latihan berulangkali marah dan berteriak-teriak kepada Silvestri yang lamban dalam bereaksi dan dalam melakukan sesuai instruksi latihan. Dengan susah payah, Silvestri menyelesaikan menu latihan hari ini. Dan ternyata setelah 12 jam dari SMS-nya belum juga mendapat balasan dari Ilary

“Sialan, ternyata seperti ini yang dulu Mateo rasakan ketika permasalahan pribadi terbawa hingga ke dalam lapangan. Semua kacau.” batin Silvesteri kesal terhadap dirinya sendiri.

Silvestri galau tingkat babak semifinal Liga Champion gara-gara SMS yang tidak kunjung jua dibalas.

Silvestri kemudian teringat sesuatu, kemudian dia segera menyalakan computer di kamarnya, 10 menit kemudian Silvestri sudah terhubung ke Friendster, kemudian membuka profile Friendster Ilary. Ia dan Ilary sudah saling add di Friendter belum lama ini. Silvestri melihat foto profile Ilary yang memakai pakaian tanktop berwarna pink, dan nampak terlihat seksi. Melihat poto profile Ilary membuat Silvestri jadi semakin gila menahan rindu. Silvestri lalu membuka wall Ilary. Terakhir dia buat status 1 bulan yang lalu, itu pun cuma 1 kata singkat.

Spirito (semangat ) !!

Sedang asyik-asyiknya Silvestri melihat-lihat wall Ilary di Friendster, tiba-tiba Silvestri mendengar teriakan adiknya di depan pintu kamarnya,

“Kakakkkk, aku masuk yaaaa, mau pinjam komputernya sebentar. Komputer di kamarku gak mau hidupp. Ada PR urgent nihh !!”

Belum sempat Silvestri bereaksi, Julia tiba-tiba membuka pintu dan langsung masuk ke kamar.

“Hayooooo, kakak sedang buka-buka situs apa tuhh kok ada foto cewek cantik. Ihh kenapa kakak gak pake baju sih cuma pake celana boxer doang.”

Silvestri yang kaget, langung menutup halaman internetnya.

“Biarin aja ini kan kamarku, aku gak pake baju celana juga terserah aku donkk dan kamuu ini, gak sopan masuk kamar orang tanpa ketuk-ketuk pintu dulu !” sembur Silvetri kesal kepada adiknya.

“Maaf kak. Jadi aku boleh pinjam ya komputernya?” kata Julia tersenyum lebar sambil berdiri di belakang Silvestri yang masih duduk di kursi depan komputernya.

“Ya pake saja, jangan ribut.Julia, itu pintu nya di tutup donk, AC jadi ga terasa dingin nih dan lampu kamarnya tolong diganti yang lampu redup, kakak mau tidur. “

“Siap bosss.!” Kata Julia membuat tanda hormat kepada Silvestri.

Silvestri lalu segera beranjak dari kursi putarnya dan berbaring di ranjang. Ketika Julia sedang menutup pintu kamarnya dan mengganti lampu yang terang dengan lampu yang redup, Silvestri baru menyadari bahwa adiknya malam ini sedang memakai baju tidur yang wow. Seksi dan sangat terbuka sekali. Julia mengenakan celana hotpant warna kuning muda dan tanktop dengan model tali diikat di leher dengan bagian punggung model tali-talian yang cukup rendah di belakang sehingga punggungnya terlihat sangat terbuka dan tanktopnya yang berwarna gading membuat Julia seperti telanjang tidak memakai baju jika dilhat dari belakang.

“Kamu ini ngatain kakak karena cuma pake boxer, lha kamu juga sama aja, pake baju kurang bahan kayak gitu.”

“Lah tadi sebenarnya Julia abis mandi, uda ganti pakaian tidur eh tiba-tiba temenku Sally ingetin ada PR Matematika dari Signora Marulla harus dikumpulin besok, kan aku kaget baru inget dan belum ngerjain sama sekali. Untung saja Sally berbaik hati mau mengirimkan jawaban PR nya lewat e-mail. Eh giliran mau hidupin komputer, CPU nya ga mau nyala, karena penting jadi ya Julia langsung ke sini mau pinjam komputer kakak, mau buka e-mail. Julia yang sudah terlanjur pake baju tidur males maw ganti baju lagi. Memang kenapa kak ? risih ya dengan baju yang Julia pakai?”

“Gak kok, yawislah, lagian mana nafsu kakak sama kamu hahaha.”

Ihh yakin kakak gak napsu sama Julia? kakak belum pernah lihat Julia telanjang sih, ini tali tanktop di leher cukup sekali tarik udah lepas loh kok hahahahah”balas Julia tanpa menengok ke arah Silvestri.

“Woii, ngomong apaan sih. cepetan kerjain tu PR contekan.”

Meskipun sudah berusia 17 tahun dan hanya selisih 1 tahun dengan Silvestri, tetapi Julia memiliki perawakan yang imut, sedikit chubby dengan rambut lurus berwarna kecoklatan sebahu sehingga banyak orang yang menyangka Julia masih tingkat SMP berusia 13 tahun. Silvestri mewarisi perawakan ayahnya yang tinggi besar, sementara Julia mewarisi perawakan yang imut dari ibunya.

10 menit kemudian.

Drrttt….drttttt……drrrrtttttt

Julia melihat handphne kakaknya yang berada di atas meja komputer bergetar, Julia melihat ke layar “ILARY CALLING”. Julia lalu mengambil handphone, lalu mengoyang-goyangkan bahu kakaknya.

“Kak..kak..hp kakak bergetar nih.. ada telepon masuk nih.”

Argghh, ganggu saja, baru uda enakan mau tidur juga ini. Dari siapa sih? Kalau gak ada identitas penelponnya biarin aja.”

“Dari Ilary sih, namanya ada di phonebook handphone kakak.

Mendengar nama Ilary disebut, rasa kantuk Silvestri pergi seketika. Silvestri langsung balik badan dan mengambil handphone dari tangan adiknya. Silvestri segera bangun, membuka jendela kamarnya yang model geser lalu keluar dan duduk di sofa di balkon kamarnya. Tidak lupa Silvestri menutup kembali jendela karena tidak ingin Julia mendengar obrolannya dengan Ilary.

Silvestri gemetar, ini bukan karena udara malam yang dingin, ini lebih karena grogi tiba-tiba saja Ilary menelpon. Silvestri kemudian mengangkat panggilan tersebut.

“Ciao, buona note (hallo, selamat malam) Ilary”

“Selamat malam juga Silvestri. Belum tidur ya?” Hati Silvestri meleleh mendengar suara Ilary yang merdu.

“ohh gak, ini lagi di kamar saja, lagi baca La Gazetta” jawab Silvesrti bohong.

Maaf ya aku tidak sempat membalas SMS kamu pagi tadi, aku baca SMS-mu pas jam makan siang karena paginya kami sangat sibuk sekali mempersiapkan sajian untuk acara disini sekaligus langsung menyusun bahan untuk sajian terkahir para peserta Kursus Kepelatihan sebelum acara tersebut selesai besok siang.”

“Ya gapapa kok. Maaf ya aku ganggu kamu dengan SMS gak jelas itu.”

“Hehehe jelas banget kok SMS dari kamu. Aku juga kangen sama kamu,“

Silvestri tidak percaya apa yang baru didengarnya tersebut.

“Aaappa..kamu juga apaa?”

“Ihh kamu sudah dengar tadi, aku gak mau ngulang lagi. Huah capek sekali hari ini, ni aku baru sampai rumah, mau mandi tapi masih gerah.”

“Kamu jangan mandi kalau masih keringetan, bisa demam nanti. Keringat itu tanda suhu tubuh masih cukup panas, tunggu sampai keringatnya benar-benar kering baru mandi. Pantes aja bau kecutnya tercium sampai sini, haha”

“Ya jelas aja tercium sampai tempatmu, kan aku belum mandi hihihi. Oia, kamu jaga kondisi ya, aku ngikutin perkembangan berita Cosenza loh, terutama kabar pemain belakang Cosenza nomer 18 yang gagah berani. Selamat ya kalian bisa sampai babak ketiga Coppa Italia.”

Silvestri melayang bahagia mendengat perkataan Ilary yang ternyata perhatian dan mengikuti kabar dari dirinya.

“hehe makasih.”

“Kamu lagi ngapain sekarang?”

“Oh ini aku lagi terima telpon dari kamu di balkon kamarku yang berada di lantai 10, pemandangan dari sini bagus loh, dan aku cuma pake boxer saja karena kepanasan di kamar,”

Hehehe kasian. Sayang, udah dulu ya, aku mau mandi dulu ya terus tidur, capek banget. Besok aku mesti datang pagi-pagi ke Pontevaleceppi. Kamu juga cepat masuk kamar, istirahat jaga kondisi. Buona notte……sayang.” Tutup Ilary dengan nada suara yang manis.

“Iya,…sayang” jawab Silvestri singkat karena masih tidak percaya mereka mulai saling memanggil dengan sebutan sayang.
Setelah menutup telepon, Silvestri kemudian menatap langit malam Cosenza.

“Aku mesti segera mencari waktu di sela jadwal pertandingan dan pergi ke Perugia untuk menemui Ilary. Aku tidak sabar jika harus menunggu sampai libur Natal yang masih 3 bulan lagi.”batin Silvestri. Saat Silvestri masuk ke dalam kamar, Julia sudah tidak ada. Ia sepertinya sudah selesai memakai komputer.

Silvestri menguap, meski hatinya sedang berbunga-bunga karena Ilary, tetap tidak bisa di pungkiri, ia sangat lelah hari ini. Setelah mematikan komputer, Silvestri pun meringkuk di balik selimut dan beristirhat.

“Ilary, ti amo…” gumam Silvestri sebelum tertidur pulas.



“ANYTHING THAT GETS YOUR BLOOD RACING IS PROBABLY WORTH DOING, THAT IS PASSION”
-Hunter S. Thompson-
==========


Bersambung

Next Chapter

Deep Lying Forward #11 : Me vs Buffon

No comments for "DLF #10"