Featured Post

DLF #12

DEEP LYING FORWARD #12
ME vs BUFFON Parte II



Stadio San Vito, Settembre 16, 2000. 5 : 37 PM.

Setelah selesai kencing di toilet yang berada di dalam ruang ganti pemain khusus tim Cosenza, aku mendapati tim ruang ganti sudah kosong, kulihat jam di dinding menunjukkan waktu 17:40 atau 20 menit lagi kick-off Cosenza vs Parma akan dimulai. Sambil bersiul-siul aku mengambil sepatu bola kesayanganku di dalam loker. Sepatu hitam licin bersih mengkilat dengan hiasan 3 strip putih di sisi luar ini dan tulisan kecil berwarna putih  Copa Mundial di atasnya, terlihat masih bagus meskipun hampir setiap hari aku pakai untuk latihan maupun pertandingan. Sepatu ini kubeli 6 bulan lalu menggantikan sepatuku yang lama karena sudah terlalu sempit dan tidak nyaman lagi aku pakai.




Memandangi sepatu bola Adidas Copa Mundial berwarna hitam ini membuatku teringat ketika aku berumur 8 tahun dan suatu sore kakek mengajakku ke Cisalfa Sports, toko perlengkapan olahraga terkenal di Cosenza. Disaat aku tengah terpukau dengan sepatu-sepatu sepakbola yang terdisplay dengan rapi di jendela toko, kakek mengatakan bahwa dia sudah mendaftarkanku masuk ke akademi sepakbola Cosenza dan besok sore jam 4 aku sudah bisa mulai berlatih. Jadi hari ini kakek mengajakku kesini agar aku bisa memilih sepatu bola yang aku sukai untuk kupakai besok. Aku langsung kegirangan mendengar kakek yang akhirnya mendaftarkanku masuk ke sekolah sepakbola dan dengan penuh semangat aku kesana-kemari melihat sepatu bola. Kakek nampaknya mulai jengah karena setiap sepatu sekolahku hanya berumur tidak lebih dari 1 bulan karena kerap kali aku pakai untuk bermain bola di lapangan belakang sekolah sehabis aku pulang sekolah. Di dalam toko, aku melihat berbagai macam merk sepatu bola. Pada saat itu, semua sepatu sepakbola berwarna hitam, hanya corak tertentu di badan sepatu yang menjadi pembeda. Aku senang sekaligus bingung memilih sepatu bola mana yang paling keren.


Ada sepatu Umbro Speciali yang sering dipakai oleh para pemain sepakbola liga inggris seperti Alan Shearer,


sepatu Nike Tiempo yang menjadi sepatu andalan striker Brazil Romario dan bek Italia Paolo Maldini,



Adidas Predator Rapier yang sering dipakai oleh mantan gelandang Lazio asal Inggris Paul “Gazza” Gascogine,


Puma King yang menjadi sponsor bagi kaisar sepakbola Jerman Lothar Matthaus,

dan yang terbaru ada Cica Blades, sepatu sepakbola pertama yang memperkenalkan pull berbentuk blade. Ketenaran Cica Blades terbantu ketika salah seorang pemain muda asal Manchester dalam sebuah acara televisi beradu tendangan bebas dengan presenter, yang tentu saja dengan mudah dimenangkan oleh pemuda tersebut karena pemuda tersebut adalah David Beckham.



Ketika aku akhirnya memutuskan ingin mengambil sepatu Puma karena logonya yang keren berupa siluet seekor singa gunung, tak sengaja aku melihat 1 poster yang berukuran besar tertempel di tiang dibelakangku diapit display 2 sepatu berwarna hitam dengan 3 strip putih. Poster tersebut menampilkan quote dari Kevin Keegan, pesepakbola terkenal dari Inggris yang membuatku tertarik.

“Soccer is a game in which 10 times more time is spent running than actually kicking. That’s why I prefer a soccer shoe that gives me a traction to move fast to the right place at the right time. The Adidas  soccer shoe give me that decisive edge in traction. The shoe extremely flexible nylon sole and supple adcalf leathers uppers ensure perfect ground contact at all times. Added to this, the shoe is so light and comfortable that its almost like playing barefoot. For maximum ability and agility, there really is no alternative to ADIDAS.”



Aku yang memang sudah mengerti tentang Bahasa Inggris tidak kesulitan untuk menangkap maksud quote tersebut dan langsung menyukai quote tersebut. Meskipun bisa saja quote tersebut bukan berasal dari Kevin Keegan tetapi dari tim pemasaran Adidas, aku tetap menyukainya karena aku suka sekali berlari sambil menggiring bola dan tampaknya sepatu ini cocok sekali dengan gaya mainku.  Terlebih ketika aku memegang badan sepatu tersebut yang full kulit tersebut dan terasa kuat. Ketika aku tengah asik memegang dan mengamati sepatu ini, seorang SPG datang dan menawari agar aku mencobanya langsung. Ketika aku bersiap untuk duduk, kakak SPG tersebut menyuruhu untuk memakai kaus kaki dan shin guard yang disediakan di counter agar ketika mencoba sepatu bola bisa diketahui ukuran sepatu dan merasakannya langsung. Begitu kedua kakiku masuk ke dalam sepatu, sepatu tersebut seolah menjadi kulit kedua dan menyatu dengan kakiku. Aku langsung membayangkan saat aku berada di lapangan hijau memakai sepatu ini, aku laksana seperti seekor rusa yang dilepas ke padang rumput yang luas, begitu bebas berlari kemana saja dengan lincah.

Sejak saat itu, aku selalu setia memakai Adidas Copa Mundial. Aku hanya berganti sepatu ke nomer yang lebih besar ketika yang lama sudah terlalu sempit. Dan hampir 10 tahun, aku tidak pernah bermasalah dalam hal memilih sepatu bola. Berbeda dengan beberapa temannku yang setiap Adidas, Nike atau Puma mengeluarkan seri sepatu terbaru, mereka akan langsung membelinya. Aku adalah tipikal orang yang ketika aku sudah merasa nyaman dengan sesuatu, aku malas untuk berganti dengan sesuatu yang lain. Saat ini sedang ngetren sepatu bola dengan banyak warna-warni, bukan hanya di dominasi warna hitam atau putih. Mayoritas teman-temanku memakai sepatu merk Adidas  Predator Accelator warna merah, banyak juga yang memilih sepatu merk Puma King model klasik tetapi warna merah atau biru dan masih banyak merk lain seperti Lotto, Nike, Mizuno dan lainnya. Selain warna sepatu sepakbola yang semakin warna-warni, banyak pula bahan sepatu bola yang selain memakai bahan kulit dari sapi maupun tetapi juga dari bahan sintetis yang membuat sepatu sepak bola menjadi lebih ringan.

Menurutku sebagai seorang pesepakbola, faktor kenyamanan adalah faktor paling penting. Lebih penting daripada  warna sepatu bola warna-warni dan bahan sintetis yang ringan, yang menurutku hanya untuk gaya-gayaan menarik perhatian saja. Adidas Copa Mundial, sudah menjadi kaki “keduaku”. Secara desain dan teknologi, sepatu ini sama persis dengan ketika Adidas Copa Mundial pertama kali dirilis tahun 1979. Copa terbuat dari kulit kanguru super lembut yang terbukti sangat awet dipoles dengan warna hitam lalu dipadu dengan 3 strip putih ikonik khas Adidas yang menghiasi sisi luar dan untuk bagian sol bawah terdapat 6 moulded stud bahan polister berwarna putih menjadikan Adidas Copa Mundial tak lekang dimakan waktu, bahkan menjadi salah satu signature klasik Adidas . Hanya saja, bobot sepatu ini terhitung lumayan berat jika dibandingkan dengan sepatu sepakbola zaman sekarang yang terlihat ringan dan fleksibel. Tetapi buatku, bukan sepatu merk apa yang kita pakai tetapi lebih kepada orang yang memakai sepatu ini yang akan menentukan sampai sejauh mana dia melangkah dan berlari di atas lapangan hijau untuk menjadi seorang pemenang.

Setelah sepatu terikat dengan sempurna dan sudah nyaman, aku kemudian segera memakai rompi untuk para pemain cadangan yang akan duduk manis di bench. Sambil berjalan santai aku segera keluar dari kamar ganti. Setelah berbelok ke kanan ke lorong yang mengarah ke lapangan, dari sini aku bisa melihat 2 barisan pemain yang bersiap untuk memasuki lapangan. Di baris kiri aku melihat Pelicori berdiri paling belakang masih terlihat santai, sementara di seberangnya aku melihat sosok pemain dengan postur tinggi memakai jersey warna hitam dengan nomer punggung 88 dan di atasnya tertera nama BUFFON. Semoga aku bisa mendapat kesempatan bermain melawannya entah hanya 10 atau 5 menit saja, karena aku merasa sangat termotivasi terlebih mengingat kejadian tadi malam bersama Daniela yang penuh gairah.

Kutepuk punggung belakang Pelicori dan kubisikkan sebuah kata,

“Sisakan Buffon untukku.”kataku pelan.

“Hahaha ya kalau kamu di mainkan sama signor Muti,” jawab Pelicori kencang. Sontak semua rekan-rekanku yang siap bertanding menengok ke arahku.

“Ha..ha…sel..selamat bertanding..hancurkan Parma,” balasku tergagap dan ujung kalimat keluar kata-kata yang membuat para pemain Parma yang berbaris rapi tiba-tiba menengok ke arahku.
Aku menerima tatapan dingin dari mereka. Dari semua pemain Parma yang menatapku, tatapan Thuram yang paling menakutkan. Aku kemudian memalingkan muka ke arah Buffon, dia juga sedang menatapku. Tetapi Buffon tidak menatapku dengan pandangan bermusuhan malah sekilas aku melihat dia tersenyum.

“Oh bocah ini, pemain cadangan kalian ya. Aku pikir dia anak gawang, beruntung aku belum tendang pantatnya karena pertandingan mau dimulai, dia masih ada disini, celetuk Almeyda, pemain Parma asal Argentina yang terkenal “bengis” di atas lapangan.

Tahu aku sedang dalam berada tekanan psikologis, Biagioni yang berada di baris depan kemudian menghampiriku ke belakang, segera merangkulku.

Aku kira dia akan menasehatiku karena telah menebar psywar. Sambil merangkulku dan menghadap ke arah para pemain Parma yang berdiri tidak kurang dari 2 meter dari kami, kapten ku yang aneh ini kemudian berkata.

“Mateo kamu tenang saja, misi kita untuk menghancurkan dan melumat habis klub keju sampai menjadi remah-remah seperti yang kamu bilang tadi di ruang ganti, dengan senang hati akan kami wujudkan sebentar lagi,”katanya santai sambil membalas tatapan Almeyda.

Suasana macam apa ini, belum pernah aku terjebak dalam situasi panas seperti ini.

“Selamat Mateo, berkat provokasi darimu, kini semua para pemain Parma akan mengincarmu disini dan nanti di Ennio Tardini…” batinku.

Glekk.

Aku menelan ludah dengan susah payah.


***

Stadio San Vito -  Cosenza, Leg 1 Terzo Tondo Coppa Italiana, Settembre 16 2000

Parma Formazione : 3-4-1-2
Allenatore        : Alberto Malesani

88 - Buffon
6 - Sensini  5 - Torrisi 17 - Cannavaro

2 - Sartor  29 - Bolano  25 – Almeyda  14 – Boghossian
8 – Lamouchi
70 – Mboma  20 – Di Vaio

--

9 - Varrichio
13 – Fred  10 – Pelicori
32 – Rukavina  8 – Biagioni  12 – Scarlatto  16 – Zappa
28 – Marcioni  2 – Pascetta  18 – Silvestri
22 – Pantanelli
Cosenza Formazione : 3-4-2-1
Allenatore                  : Bartolo Muti


Sambil bertelekan kedua tangannya ke belakang kepala, Mateo yang duduk di deret kursi paling ujung hanya bisa melihat rekan-rekannya bertanding melawan Parma. Parma meskipun sedikit melakukan rotasi pemain di pertandingan ini, mereka tetaplah Parma. Dari awal pertandingan yang lebih banyak menguasai bola dan langsung mengambil inisiatif serangan. Serangan pertama dimulai ketika memasuki menit ke 5 menit, Lamouchi dengan cerdik melakukan umpan 1-2 dengan Di Vaio membuatnya lepas dari penjagaan Biagioni, sadar mendapat ruang untuk menembak di depan kotak pinalti Cosenza, tanpa mengontrol bola Lamouchi langsung melepaskan tembakan keras dengan kaki kiri. Beruntung bola tepat mengarah ke pelukan Pantanelli.

“Sial, baru juga mulai mereka sudah panas saja.” Gerutu Mateo melihat peluang yang cukup membahayakan gawang Cosenza. Pantanelli yang melihat pemain Parma tidak melakukan pressing ke pemain belakang, lalu melempar bola ke Pascetta. Sesuai dengan instruks I dari signor Muti, ketika tim bisa menguasai bola, bermainlah dengan tempo normal passing dari kaki ke kaki, kurangi permainan individual untuk melewati lawan. Dan sebaiknya bola lebih banyak di arahkan ke area flank. Khusus pemain winger, diminta khusus untuk tidak terburu-buru melepaskan crossing dan sebaiknya jangan terlalu agresif terpancing untuk maju sampai ke touchline. Ketika bola sedang berada dalam penguasaan para winger, Pelicori akan mencari ruang di lapangan tengah dan sebagai decoy, Fred akan bermain sedikit melebar dan mendekati pemain sayap yang sedang menguasai bola. Pemain Winger akan memiliki 3 opsi jalur operan, apakah akan mengoper ke Fred yang mendekat, mengoper kembali ke Scarlato yang berada di lapangan tengah atau mengoper langsung ke Pelicori yang seharusnya sudah mendapat space di area Parma. Hanya saja, butuh nyali dan juga akurasi umpan untuk langsung mengoper ke Pelicori yang berjarak 5-6 meter. Belum lagi pressure dari lawan di area flank, sehingga peluang umpan langsung ke Pelicori akan gagal menemui sasaran cukup besar. Rukavina yang bermain di sayap kiri, biasanya bermain tenang, kali ini terlihat sedikit gugup lalu kemudian memilih opsi aman yakni back pass ke Scarlatto, gelandang bertahan Cosenza.

Mateo yang berada di pinggir lapangan merasa gregetan sekali kenapa rekan-rekannya bermain terlalu hati-hati. Bukannya mengambil inisiatif untuk menaikkan sedikit tempo dengan mencoba menusuk ke lapangan tengah, ini malah memutar-mutar bola. Iya sih itu sesuai dengan instruksi dari pelatih yang meminta kami agar bermain sabar, tetapi apakah dengan bermain sabar (terlalu sabar) kita bisa mendapat celah area pertahanan Parma? Ini sih seperti menunggu karang yang terkikis oleh hempasan gelombang air laut yang sayangnya  butuh waktu hingga 100 tahun lebih. Mateo kembali berpikir apakah pressure yang kini mereka rasakan lebih berat? Apakah nama besar Parma yang kini berada 1 lapangan dengan mereka, membuat kaki rekan-rekannya gemetar? Apalagi melihat eskpresi para pemain Parma yang masih terlihat rileks dan seperti menunggu seperti apa kehebatan tim yang dengan sesumbar akan mengirim mereka kembali ke Emilia-Romagna seperti remah-remah keju? Ah ini situasi yang menyebalkan. Yang membuat Mateo semakin kesal ketika melihat pemain incarannya Buffon malah menyender di tiang gawang, terlihat bosan, padahal pertandingan baru berjalan 15 menit.

Blakk

Imbriani, pemain sayap yang sedang duduk tenang di samping Mateo, nampak kaget ketika tiba-tiba mendengar suara dinding bench yang terbuat dari polikarbon di pukul oleh Mateo.

“Woiiy, kenapa sih?gatal kaki mu pengen main?” Tanya Imbriani sedikit kesal.

“Kamu gak kesal dengan cara main kita sekarang? Mau sampai kapan kita pakai strategi kucing-kucingan begini?aku aja kesal apalagi para penonton yang datang langsung.”gerutu Mateo.

“Psstt jangan keras-keras. Kamu mau pelatih dengar kata-katamu tadi?bisa-bisa besok kamu dikirim kembali main ke tim u-23.” sahut Imbriani sambil memukul pelan lengan kiri Mateo.

“Iya, aku juga kurang sreg dengan cara main kita sekarang, buktinya sekarang aku duduk sama kamu di kursi yang nyaman ini. Tetapi signor Muti pasti akan melihat perkembangan permainan, mungkin kita bisa diturunkan di babak ini atau nanti di babak kedua lebih tepatnya di menit ke 89. Hahaha” Lanjut Imbriani.

“HAH.. kalau aku diminta pelatih untuk masuk ke lapangan menit ke 89, aku akan pura-pura gak dengar. “

“Hahha..yakin? kamu berani pura-pura tuli di depan pelatih terutama di depan tu botak?” kata Imbriani. Yang disebut botak oleh Imbriani adalah asisten pelatih signor Malusci yang kebetulan satu-satunya orang di staf pelatih yang berkepala plontos yang terkenal galak dan keras.

Mateo terdiam lalu menatap kepala signor Malusci yang mengkilap licin, yang sedang sibuk berdiskusi dengan signor Muti.

“Ehmm..enggak berani sih, hahaha…ah kita dapettt bolaaa, tendanggg langsung Variii, ahhh sial melenceng jauh lagi.” keluh Mateo sambil berdiri lalu memegang kepalanya ketika dia melihat satu operan Pelicori langsung disambut tendangan Varicio di pinggir kotak pinalti.

“Yah beruntung satu-satunya pemain paling cerdik, Pelicori tidak kehilangan akal dan masih bisa melepas umpan manis ke Varrichio. Bagus- bagussss, ayoo semangatttt coba lagii,” kata Imbriani yang ikut berdiri sambil bertepuk tangan, mengirim semangat kepada rekan-rekannya yang sedang bertanding.

Mateo mengamini perkataan Imbriani, bahwa tim ini beruntung masih memiliki sosok fantasista di dalam diri Pelicori. Pemain yang Mateo tahu menolak banyak tawaran dari klub-klub lain bahkan ada tawaran dari salah satu klub yang berlaga di Serie – A, yang menurut berbagai macam surat kabar yang dia baca klub tersebut adalah Hellas Verona. Hanya Pelicori yang tahu alasan kenapa dia menolak pindah ke klub yang lebih besar, lebih kuat dalam hal finansial terlebih lagi mereka adalah klub yang cukup mapan di klasemen Serie-A. Yah apapun alasan rekannya yang kini sudah 4 musim berada di Cosenza, Mateo bersyukur dia masih mendapat kesempatan bermain bareng dengannya dan secara pemikiran Mateo merasa mereka berdua memiliki banyak persamaan. Pelicori adalah factor X yang dipunyai Cosenza saat ini, dan bisa menjadi pemain pembeda yang bisa mengubah alur permainan laksana aliran air sungai yang tenang lalu berubah menjadi hempasan ombak yang kuat. Catatan 8 gol dan 21 assist di musim lalu adalah bukti sahih kehebatan pemilik nomer punggung paling keramat di Italia sang No 10, La incredibile numero dieci fantasista Cosenza Calcio, Antonio Pelicori.

Antonio Pelicori

Mateo lalu fokus kembali melihat pertandingan dan melihat aura para pemain Parma sudah menunjukkan wajah serius, ketika mereka melihat apa yang bisa diperbuat oleh Pelicori jika diberikan kebebasan untuk melepaskan umpan-umpan berbahaya. Dan selanjutnya Mateo melihat Parma langsung mendominasi dan begitu berbahaya ketika menggunakan bola, ketika kehilangan bola pun mereka sanggup segera merebut kembali bola dari para pemain Cosenza.

Cosenza mencoba bermain disiplin dan ketat di belakang menyisakan Varicchio dan Pelicori di depan. Ancaman Parma mulai nyata ketika di menit-23, umpan crossing yang dilepas Boghossian dari sayap kiri berhasil di jangkau oleh striker Parma asal Kamerun yang memiliki postur tinggi dan gempal Patrick Mboma dengan sundulan, Pantanelli yang mati langkah hanya bisa melihat bola hasil sundulan Mboma mengarah ke gawangnya dan beruntung masih bisa diselamatkan oelh mistar atas gawang.

Belum habis perasaan berdebar-debar para pendukung Cosenza yang menyaksikan langsung tim kesayangannya di bombardir melalui crossing-crossing dari winger Parma dan dikombinasi dengan tusukan-tusukan dari lini tengah melalui kecepatan yang dimiliki Di Vaio memanfaatkan umpan-umpan terobosan menimbulkan kekacauan di lini pertahanan Cosenza. Mateo langsung tahu bahwa Parma adalah jenis tim yang mempunyai varian serangan yang banyak. Skenario serangan Parma disusun dari bawah dimulai dari ketiga bek mereka, terlepas dari siapapun yang mereka mainkan. 3 bek parma tersebut tetap tenang dalam mengalirkan bola ke berbagai macam sisi lapangan, pressure dari Fred, Pelicori maupun Varrichio tetap tidak bisa menggoyahkan teknik dasar mereka ketika mengumpan satu sama lain. Dengan tipe ball playing defender yang mempunyai akurasi umpan presisi, mereka tidak terpancing atau terburu-buru untuk melakukan umpan jauh ke depan atau langsung ke sisi sayap. Bola akan selalu dijemput oleh pemain berambut gondrongdengan nomer punggung 25 bernama Almeyda. Dan ketika bola sudah berada dalam penguasaan Almeyda, susah sekali rasanya pemain Cosenza untuk merebut bola. Jika 2 orang pemain Cosenza melakukan double marking, Almeyda dengan tenang bisa memainkan bola ke samping area flank atau back pass. Yang membuat situasi Cosenza semakin sulit karena ada pemain tengah Parma yang bertipe destroyer di dalam diri Jorge Bolano, pemain timnas Kolombia yang berambut panjang keriting nampaknya mendapat mandat  khusus untuk menutup dan mengawasi pergerakan Pelicori.

Ah ini gila, rasanya malu kalau mengingat perkataan Biagioni di tunnel sebelum pertandingan, batin Mateo. Rasanya hanya tinggal menunggu waktu Parma mencetak gol. Mateo melihat asisten wasit mengangkat papan waktu menunjukkan injury time babak pertama selama 2 menit.

Ayo teman-teman bertahanlah, sebentar lagi injury time. Mateo berharap mereka terselamatkan sejenak dengan adanya jeda pertandingan atau kalau dalam pertandingan tinju, keadaan Cosenza saat ini seperti seorang petinju yang terpojok di ring, bertahan mati-matian menahan pukulan-pukulan lawannya yang agresif melayangkan tinju. Satu-satunya harapan petinju malang tersebut adalah bunyi bel menandakan ronde tersebut telah selesai dan dia bisa sejenak mengatur nafas, mengatur tenaga, mengumpulkan keberanian lagi dan menyusun strategi untuk ronde selanjutnya.

Seiring dengan tendangan dari Luigi Sartor yang menyamping ke kiri gawang Cosenza, signor Puglioti sang pengadil di lapangan hijau meniup peluit panjang. Babak I telah usai dan skor masih belum berimbang 0-0.

Cosenza saved by the bell !!

***

Babak kedua, Cosenza melakukan pergantian pemain. Signor Muti menarik keluar Scarlatto yang tidak bisa berkembang selama babak 1 yang mengakibatkan Biagioni seolah sendirian di lapangan tengah. Pemain yang dimasukkan adalah Imbriani, seorang pemain winger yang akan bertukar posisi dengan Fred. Fred akan kembali ke posisi aslinya sebagai gelandang bertahan, sementara Imbriani akan bermain sebagai gelandang serang yang di instruksikan khusus untuk bermain melebar dan bebas bergerak ke kiri maupun ke kanan agar tidak mudah di marking lawan. Signor Muti juga menyadari beban Pelicori sebagai kreator serangan terlalu berat untuk sendirian melawan tim sekelas Parma, sehingga para pemain lain di lapangan tengah seperti Fred, Biagioni, Rukavina dan Zappa agar berani melakukan umpan daerah langsung dan mengincar area kosong di celah trio bek Parma, agar bisa dimanfaatkan oleh Imbriani yang memiliki speed & akselerasi paling bagus di Cosenza.

Dan untuk menciptakan ruang kosong di area pertahanan Parma  akan menjadi tugas dari Varrichio. Varrichio akan berperan menjadi defensive forward yang akan aktif turun jauh sampai setengah garis lapangan dan turut serta memberikan pressure kepada Almeyda maupun Bolano ketika bola sedang menguasai bola. Jika berhasil merebut bola dari mereka, itu menjadi nilai lebih. Tetapi sebenarnya bukan itu tugas utama Varrichio, tugas utama dia adalah menarik perhatian trio bek Parma sejauh mungkin dari kotak pinalti dan tanpa lawan sadari. Karena tidak mungkin membiarkan seorang striker berdiri bebas, apalagi dia akan berada di antara lini tengah dan lini belakang dimana akan sangat berbahaya ketika dia bisa menguasai bola dan melancarkan serangan dalam situasi serangan balik. Otomatis trio bek Parma akan naik menjaga agar gap lini belakang dan lini tengah Parma tidak terlalu lebar. Dan tentu saja, mau tidak mau akan ada tercipta ruang kosong di belakang lini belakang Parma. Gap itulah yang akan diincar oleh Imbriani. Parma juga pasti tidak akan semudah itu masuk ke perangkap strategi Parma, trio bek Parma dalam komando Fabio Cannavaro pasti akan menerapkan jebakan off-side. Tetapi signor Muti mengetahui bahwa 2 rekan Cannavaro yakni Torrisi dan Sensini memiliki speed yang tidak terlalu istimewa. Bisa saja 9 dari 10 percobaan umpan terobosan akan gagal karena jebakan off-side. Tetapi signor Muti berani bertaruh pasti 1 atau 2 umpan akan berhasil lolos dari jebakan off-side. Jika Imbriani bisa lari mengejar umpan tersebut maka mari permainan sesungguhnya dimulai !!

Mateo cukup senang dengan perubahan strategi yang diusung pelatih di babak kedua, apalagi tentang instruksi khusus dari pelatih kepada Varrichio tentang peran menjadi defensive forward. Mateo menyadari betapa berat tanggung jawab yang mesti diemban oleh topskor Cosenza musim lalu tersebut. Strategi yang disiapkan oleh pelatih di babak kedua, semua akan dimulai dari Varrichio. Membayangkan peran seorangg defensive forward yang dituntut memiliki stamina kuat karena akan terus bergerak vertical naik turun ikut melakukan pressing, berani berduel dengan gelandang bertahan lawan, dan tentu saja pada akhirnya dituntut untuk bisa klinis ketika mendapat peluang. Mateo menghela nafas, sebuah tugas yang jika dibebankan kepadanya dengan kemampuan yang dimilikinya sekarang, sudah pasti akan berantakan. Karena Mateo masih kesulitan mempertahankan stamina dan menjaga konsentrasi tetap prima selama 90 menit, belum lagi ketika berduel dengan lawan Mateo masih sering terpancing emosi karena dia juga belum memiliki body balance yang stabil.

Fiuhh, masih terjal dan berat perjalanan untuk menjadi seorang striker seperti Varrichio, batin Mateo.

Peluit kencang yang ditiup wasit, menyadarkan Mateo dari lamunannya. Keadaan masih belum berubah terlalu banyak disbanding babak pertama, hanya saja Cosenza memiliki plan baru di babak kedua ini. Perlahan tapi pasti Varrichio mulai menebar perangkap, beberapa kali Varrichio beradu fisik dengan Almeyda maupun Bolano untuk merebut bola di lapangan tengah. Sampai-sampai Varrichio di menit ke-62 mendapat kartu kuning dari wasit karena melakukan tackling yang terlambat terhadap Torrisi. Untuk menanamkan kesadaran bahwa Varricho mendapat ruang yang cukup lebar di antara lini tengah dan lini belakang Parma, maka dalam beberapa kali kesempatan Varrichio sendirian menerobos pertahanan dengan menggiring bola dan melakukan tembakan-tembakan jarak jauh. Dari beberapa kali tembakan Varrichio, ada 1 momen ketika 1 tembakan Varrichio mengenai tubuh Cannavaro dan berbelok arah. Buffon yang sudah terlanjur menjatuhkan badan untuk menepis bola yang nampaknya mengarah ke pojok, secara luar biasa mampu menggerakkan kaki kanannya dan kaki kanan tersebut bisa mementahkan bola. Seluruh penonton dan fans Parma bahkan beberapa pemain cadangan Cosenza berdiri dan bersiap melihat bola tersebut masuk, hanya bisa memegang kepala ketika Buffon dengan susah payah berhasil gawangnya tetap aman.

Akhirnya sang Superman muncul.

Parma yang tersengat, mulai menemukan ritme serangan sama seperti di babak pertama, sementara perangkap yang ditebar Varrichi mulai dimakan oleh trio bek Parma. Mereka menaikkan garis pertahanan untuk menutup gap yang bisa di eksploitasi oleh Varrichio. Untuk menyamarkan serangan balik yang cepat, setiap Cosenza bisa menguasai bola, mereka menurunkan tempo. Dan mencoba bermain di sayap. Rukavina dan Zappa mulai percaya diri untuk menekan dan melancarkan serangan. Duel di area sayap pun semakin seru ketika duo winger Parma, Sartor dan Boghossian melayani duel 1 vs 1. Ketika Parma mulai percaya bahwa Cosenza mencoba bermain sabar dan berjudi dengan mengandalkan individu, Pelicori yang bermain lebih di ke bawah menarik Bolano mengikuti dirinya. Dan ketika crossing dari Sartor yang kurang sempurna, berhasil di potong oleh Fred. Fred melancarkan counter cepat dengan mendribel bola, Almeyda yang mencoba menghadang Fred berhasil Fred lewati dengan gerakan feint, lalu mengirim umpan terobosan ke area kosong di sayap kanan yang tercipta karena Sartor yang terlambat turun menutup area kanan. Sensini yang melihat umpan terobosan tersebut mencoba menerapkan jebakan off-side. Tetapi Imbriani yang sudah menaikan kecepatan, berhasil mematahkan gerakan off-side !! Cannavaro yang melihat gerakan Imbriani segera mengejarnya, Sensini dan Torrisi segera bergegas turun ke kotak pinalti mencoba berjaga jika ada pemain Cosenza yang masuk ke dalam kotak pinalti Parma. Dengan sekali kontrol, Imbriani melesat di sayap kanan dan melakukan gerakan cut inside ke dalam kotak pinalti. Imbriani yang menyadari Cannavaro sudah bersiap menutup gerakannya dan hanya ada Varrichio yang bisa merangsek masuk ke dalam kotak pinalti sementara sudah dijaga oleh Torrisi dan Sensini mengambil keputusan untuk menendang langsung. Cannavaro yang tertinggal beberapa langkah langsung meluncur melakukan sliding tackle berharap bisa memblok tendangan Imbriani. Tendangan Imbriani yang menggunakan ujung sepatu kaki kanannya membuat bola mengarah ke pojok atas sudut kiri gawang Buffon.

PLASSSS

Tendangan screamer Imbriani di dalam kotak pinalti, menemui sasaran dan membuat jala gawang Parma tergetar.

Bahkan seorang Superman pun tidak bisa menepis bola hasil tendangan Imbriani.

Seisi stadion San Vito meledak !!!

Curva Nord dan Curva Sud bergemuruh, flare berwarna merah langsung menyala. Semua fans diliputi histeria. Imbriani berlari menuju bench dan disambut oleh semua pemain serta staf pelatih.


Mateo yang juga larut dalam kegembiraan tidak menyangka strategi mereka bisa berhasil membawa Cosenza unggul 1-0 melawan juara Piala UEFA tahun 1998 di menit ke 59. Signor Muti lalu segera meminta para pemain untuk bersiap dan fokus kembali ke pertandingan. Parma langsung merespon dengan melakukan pergantian pemain, Nestor Sensini yang kewalahan menghadapi pemain cepat digantikan oleh bek lainnya yakni Lilian Thuram. Nampaknya Cosenza harus kembali memutar otak karena dengan masuknya Thuram, level lini pertahanan Parma akan sangat berbeda. Parma segera memulai pertandingan lagi, dan mereka tidak terburu-buru untuk menaikkan tempo serangan. Memainkan bola dari kaki ke kaki, sementara Cosenza mengetatkan pertahanan dengan melakukan zonal marking bahkan Varrichio juga ikut bersiaga di garis lapangan tengah.

Parma mengejutkan Cosenza ketika Lilian Thuram yang dengan santai membawa bola lalu mengoper pendek ke Lamouchi. Lamouchi dengan sekali gocek melewati dan mengirim umpan menyusur tanah dari tengah lapangan yang membelah lini tengah Cosenza. Bola tersebut berhasil diterima dengan baik oleh Di Vaio 2 meter di depan kotak pinalti Cosenza. Di Vaio dengan cerdik memberikan umpan ke dalam kotak pinalti dimana Patrick Mboma berlari menyambut umpan tersebut. Mboma tiba-tiba berhenti mengontrol bola bergerak ke kiri, Marcioni yang mengekor Mboma tertipu dan ketika membalikkan badan, Marcioni mendapati bola sudah berada di dalam gawang Cosenza sementara Pantanelli hanya terduduk di lapangan.

Patrick Mboma

Kegembiraan para pemain Cosenza hanya bertahan 2 menit, dan suasana stadion yang semula riuh menyambut keunggulan tim kesayangan mereka kini seolah-olah terhenti ketika mereka melihat Parma dengan 1 kali serangan setelah kick-off langsung mampu menyamakan kedudukan melalui kaki striker Patrick Mboma.

Menit ke-62, Cosenza vs Parma 1-1.

Signor Maluci lalu meminta beberapa pemain cadangan untuk melakukan pemanasan dan bersiap jika sewaktu-waktu turun ke lapanga. 5 menit Mateo melakukan gerakan pemanasan ringan, lalu dia mendengar signor Malusci memanggil  2 orang untuk bersiap-siap dan melepas rompi. Di menit ke-70, Cosenza melakukan 2 pergantian pemain sekaligus. Pelicori digantikan oleh Colle, seorang bek tengah dan Varrichio diganti dengan Mussaco bek sayap. Mateo yang bersemangat pemanasan tiba-tiba lesu kehilangan semangat. Hari ini dia fix samasekali tidak diturunkan.

Mateo yang sudah kehilangan selera untuk melakukan pemanasan lagi, lalu memilih untuk duduk lagi di bench dan mencoba menganalisis perubahan strategi yang dilakukan oleh signor Muti. Signor Muti ingin memperkuat pertahanan dengan memasukkan 2 pemain bertahan. Kini timnya bermain dengan formasi 5-4-1. Mussaco mengisi fullback kiri dan Colle yang posisi aslinya sebagai bek tengah di geser ke fullback kanan. 2 winger Rukavina dan Zappa di dorong lebih ke atas untuk melapis pertahanan dari tengah. Sementara Imbriani di plot sebagai striker tunggal, sebuah peran yang belum pernah dia lakoni. Yah ini pilihan yang logis, dimana Parma pasti mengincar gol tandang agar di pertandingan leg ke 2, mereka bisa lebih santai. Sementara keputusan membiarkan Imbriani bermain sendirian juga keputusan yang cerdik karena dengan adanya Imbriani bergerak liar, para pemain Parma akan tetap berhati-hati ketika menyusun serangan. Sebuah tekanan psikologis mengingat kemampuan Imbriani yang memiliki gerakan eksplosif jika mendapat ruang.Nampaknya signor Muti ingin mengunci hasil pertandingan tetap imbang 1-1.

Sebuah hasil yang kurang menguntungkan sebenarnya, karena ketika nanti timnya bertandang ke Ennio Tardini, mereka minimal harus mencetak gol karena jika hasil akhir pertandingan leg 2 berakhir imbang 0-0, Parma lah yang akan melaju ke babak selanjutnya Coppa Italia karena unggul di gol tandang. Tetapi itu bukan hasil yang buruk-buruk banget, mengingat lawan mereka adalah Parma. Salah satu klub “Magnificent Seven” Serie-A saat ini. Pertandingan leg 2 akan di gelar 1 minggu lagi, jadi aku mesti berlatih lebih keras lagi agar minimal aku bisa dibawa ke sana, yah meskipun sebagai pemain cadangan. Tetapi nanti terlepas dari berapa skor akhir aku mendapat kesempatan diturunkan melawan Parma, melawan Buffon, membuktikan kepada Daniela bahwa aku bisa menaklukkan pemain favoritnya tersebut. Ya aku cuma perlu 10 menit di lapangan.10 menit untuk merasakan langsung bermain melawan level tinggi klub sebesar Parma di kandang mereka. Harusnya aku bisa selama 10 menit tersebut melepas 1 tembakan ke gawang Buffon. Tuhan, aku mohon lunakkan hati signor Muti agar beliau mendengar keinginanku ini. Aku Cuma minta 10 menit saja di pertandingan besok.
Amin.

Di menit ke 80 dan 85, berturut-turut Parma memasukkan winger lincah asal Brazil Junior menggantikan Alain Boghossian dan striker muda Simone Basso menggantikan Marco Di Vaio. Di sisa waktu pertandingan, Parma yang mulai mengendurkan tempo permainan tampaknya juga menerima hasil imbang ini dan menyimpan tenaga mengingat di tengah pekan Parma akan bermain melawan Napoli di lanjutan kompetisi Serie-A. Dan akhirnya Wasit meniup peluit tanda pertandingan leg I di putaran ketiga Coppa Italia antara tuan rumah Cosenza menjamu Parma berkesudahan dengan skor imbang 1-1.

***

Calcionews.com/Coppa-Italia /2000-09-24/Parma-Cosenza/Match-Report

PARMA MENGHANCURKAN COSENZA DENGAN SKOR TELAK  6-1 DI STADIO ENNIO TARDINI



Di leg II Parma Menurunkan pemain-pemain inti mereka, hasilnya Parma tanpa ampun menggilas telak Cosenza dengan skor 6-1 dalam pertandingan leg II putaran ketiga Coppa Italia di Stadio Ennio Tardini, Sabtu (24/9). Dengan total agregat skor 7-2, Parma melaju ke perdelapan final dimana sudah menunggu Inter Milan yang tanpa kesulitan mengalahkan Lecce.

Babak pertama
Parma yang bermain dihadapan pendukungnya sendiri langsung memberikan tekanan sejak awal laga. Namun, rapatnya barisan belakang Cosenza yang bermain dengan menggunakan formasi 3-6-1 membuat skuat asuhan Alberto Malesani tersebut selalu gagal mencetak gol. Pada menit ke-20 Parma hampir saja mencetak gol. Sayang, sepakan keras yang dilepaskan dari penyerang mereka Savo Milosevic, masih bisa dengan baik diantisipasi oleh penjaga gawang Cosenza Eros Pantanelli. Hingga pertengahan babak pertama Cosenza yang tampil bertahan belum punya sama sekali peluang untuk mencetak gol. Pelicori dan rekan-rekannya lebih banyak memainkan bola di lini tengah mereka, sambil menunggu celah. Parma kembali memperoleh kesempatan mencetak gol. Tetapi tendangan bebas yang dilakukan Dino Baggio di mulut gawang Cosenza hanya membentur mistar gawang. Akhirnya di menit 26 Lamouchi membuka keran gol Parma setelah menuntaskan umpan mendatar yang dilepaskan Sergio Conceicao ke tiang jauh. Bahkan di menit injury time babak I, kerjasama yang cantik antara Junior dengan Di Vaio di kotak pinalti Cosenza berakhir dengan bola bersarang di dalam gawang Cosenza. Dan skor 2-0 menutup hasil babak I.  

Babak kedua
Selepas turun minum Parma tidak menurunkan tensi serangannya. Mereka terus menggempur pertahanan I Lupi yang bermain tegang dan kesulitan mengatasi permainan sayap Parma di sepanjang babak pertama dan masih berlanjut di babak kedua ini. Keasyikan menyerang menyerang, lewat 1 momen serangan balik, bola kiriman Pelicori berhasil disambut dengan heading keras striker Cosenza De Fracesco. pada menit ke-52, peluang on target pertama Cosenza langsunng berbuah gol dan hasil ini membuat kepercayaan diri pemain Cosenza meningkat, memanfaatkan momentum ini Cosenza bermain cepat dan membuat mereka bermain sedikit terbuka. Hanya saja kenaifan Cosenza yang ingin mencetak gol kembali ke gawang Buffon dengan bermain terbuka, menjadi malapetaka. Parma mencetak gol ketiga setelah wasit memberikan penalti di menit ke-61 setelah bek Cosenza Pavone tertangkap wasit menarik kaos Di Vaio hingga terjatuh di kotak pinalti.

Milosevic yang menjadi eksekutor dari tendangan tersebut menjalankan tugasnya dengan baik, Ia berhasil mengecoh penjaga gawang Cosenza. Konsentrasi para pemain Cosenza yang semakin kacau membuat Parma kembali mendapatkan penalti pada menit ke-70, karena kiper Cosenza Pantanelli melakukan pelanggaran terhadap Amoroso. Pemain Brazil bernomor punggung sepuluh yang masuk menggantikan Di Vaio tersebut menjadi algojo pinalti, dan sukses menjebol gawang Cosenza.

Unggul 4-1 tak membuat Parma puas. Malahan pada menit ke-82 mereka kembali mencetak gol lewat pemain pengganti Johan Micoud. Cosenza yang sepertinya sudah mengibarkan bendera putih sebelum pertandingan berakhir semakin merana. Umpan chip Johan Micoud berhasil di selesaikan oleh Milosevic dengan tembakan voli mendatar. Gol kedua bagi Milosevic di pertandingan ini. Nampaknya skor 4-1 belum cukup bagi Parma. Di menit 90+1, tandukan Sensini yang tidak terkawal di dalam kotak pinalti memanfaatkan sepak pojok kiriman Diego Fuser mengakhiri derita Cosenza di Ennio Tardini malam ini.

***
Suasana bus yang mengantar kami meuju hotel, terasa sangat sunyi. Tidak terdengar suara apapun yang berasal dari dalam bus. Sepi dan hening, inilah bunyi dari suatu kekalahan. Bukan, malam ini bukanlah sekadar sebuah kekalahan. Lebih tepatnya penghancuran. Kisah malam ini, Goliat sang raksasa dengan brutal menginjak-injak David sang manusia biasa tanpa ampun.

Permohonannku kepada Tuhan agar aku mendapat kesempatan bermain melawan Parma 10 menit saja, dikabulkan oleh Tuhan. Aku tidak mendapat 10 menit, tetapi 20 menit bermain melawan Parma, melawan Buffon. Tapi 30 menit tadi adalah 20 menit terburuk yang pernah aku lewati sepanjang karirku sebagai serorang pesepakbola. 20 menit bermain, aku mendapat 1 kesempatan emas mencetak gol. Dalam sebuah momen serangan balik, aku yang berdiri bebas tanpa kawalan berhasil merangsek masuk dan meyambut umpan lambung Mussaco. Aku yang hanya berjarak 2 meter dari gawang, melompat bersiap menanduk bola.

Arah dan tenaga tandukanku dengan timing yang tepat, membuat bola mengarah ke gawang yang kosong. Aku kira kosong karena Buffon yang sebelumnya berdiri di tiang dekat, tidak akan mungkin sempat untuk berlari dan melompat ke tiang dekat. Tetapi malam itu, aku bukan berhadapan dengan seorang manusia, tapi seorang Superman.




Buffon masih sempat untuk melompat ke tiang dekat dan dengan 1 tangan kanan yang terjulur,  2 ujung jari Buffon berhasil mengenai bola meskipun terkena tipis tetapi cukup untuk membuat bola melebar ke samping.

Wasit meniup bola. Corner untuk Cosenza.

Aku tidak percaya peluang 99% gol tersebut, bisa-bisanya digagalkan oleh Buffon. Aku jatuh bertumpu pada lutut sambil memegang kepala. Dan aku melihat Buffon berdiri menjulang di depannku, tersenyum mengulurkan tangan, mencoba membantuku berdiri.

Kami kalah total.

Aku ??hanya manusia naïf yang mengira bisa mengalahkan sang manusia super.

Aku kalah telak. Sangat telak.

Hening yang menyesakkan.



“Challenges Make You Discover Things About Yourself That You Never Really Knew”
-Cicely Tyson-
======


Bersambung
Next Chapter:

Deep Lying Forward #13 Attenti Ill Lupi Ferito ( Beware To The Wounded Wolf)

No comments for "DLF #12"