Featured Post

LPH #53

Episode 53 
Yosi’s Battle : Dragunov Brother


(Pov Yosi)


"Oke, kalau kalian menganggapku sebagai teman dan pemimpin, aku akan memberikan keputusan sekarang. Namun aku yakin keputusanku ini akan membuat kalian sama sekali tidak senang. Namun keputusan ini sudah aku pikir matang-matang dan 100 % kalian mesti menyetujui dan sampaikan ke teman-teman yang lain untuk mengikutinya. Yang tidak setuju bahkan melanggar aturanku, aku tidak akan segan-segan menghajarnya dengan tanganku sendiri, termasuk menghajar kalian berdua jika kalian tidak menyetujuinya."

APA ??!! Teriak gue dalam hati mendengar keputusan Yandi. Gue gak salah dengar nih.

"Jadi keputusan dan tindakanku adalah.Jangan sentuh Leo barang sedikitpun," lanjutnya.

“Yan, apa maksud lo? Lo ngebiarin Leo gitu aja?” tukas gue antar kesal dan kecewa mendengar keputusan Yandi.

“Lo serius?” tambah Zen yang sama kagetnya dengan gue.

Yandi diam saja saat gue dan Zen protes.

“Kalian yang menganggap aku sebagai pemimpin kalian, bukan aku yang mengikrarkan diri sebagai pemimpin di depan kalian. Seperti yang aku katakan, kalian berdua mesti menyetujui keputusanku.Tetap tenang dan jangan bertindak bodoh.Kalau kalian berdua belum puas, atur aja waktu kalian mo menantangku. Aku akan menghajar kalian sampai kalian 100% mengikuti perintahku, tanpa kecuali. Bahkan jika ada yang sampai melanggar keputusanku dan menyerang Leo.Aku akan mengirimnya ke rumah sakit.”

BRAK !!!!

Gue menggebrak meja karena emosi mendengar perkataaan Yandi selanjutnya.

“Jangan ngelunjak lo Yan! Udah jelas Leo setannya! Masak kita diam saja!” hardik gue dengan nada cukup keras.Gue udah gak peduli dengan tatapan-tatapan pengunjung lainnya yang sepertinya terganggu dengan tindakan gue.

Yandi tidak bereaksi sama sekali, dia tetap tenang sambil memasukkan 2 ponsel dan sekeping DVD. Ketika ia berdiri lalu bilang. “Kalau kamu gak terima, ayo selesaikan di luar,” katanya sambil berlalu pergi.

Anjing, nantang nih! Saat gue hendak keluar untuk menjawab tantangan Yandi.Zen mencegah gue berdiri.Ia memegang pundak gue lalu menggelengkan kepala, pertanda Zen meminta gue untuk tetap tenang.

“Lo liat sendiri kan, Yandi yang sok nantang?”

“Tenang. Seperti kata Yandi tadi, secara tak langsung kita udah menganggap dia sebagai leader di kelompok kita. Dan kita sebagai pengikut, mesti ikut saja. Lagipula dari cara Yandi bicara, ia tahu benar apa yang ia sampaikan. Ia sudah memiliki rencana sendiri, yang gue yakin sudah ia pikirkan matang-matang,” tegas Zen.

Selesai berkata demikian, Zen lalu keluar.Mungkin hendak berbicara dengan Yandi.Tumben Zen mau repot-repot melerai dan mendinginkan suasana. Biasanya ia cuek saja. Mungkin karena tidak pernah menunjukkan emosi secara berlebihan, membuat Zen selalu bisa berpkir dengan jernih.

Huah kesal juga gue sih, kali ini gue kesal sama diri gue sendiri. Kok bisa gampang nyolot. Entah, ketularan moody-nya Dea kali ni ah. Gue pergi dan sengaja memilih lewat pintu yang tembus ke dalam mall.Karena gue gak mau papasan dengan Yandi dan mengira gue menantangnya.Namun ada rasa penasaran sih dalam diri gue. Kalau gue berantem sama Yandi, apa gue bakalan kalah? Gue akuin Yandi kuat.Asli gue agak gemeter liat video perkelahiannya dengan Puput.Tetapi jiwa bajingan dalam diri gue jelas tak mau kalah begitu saja sih. Anjir gue mikirin apaan sih, malah ngelantur mikir seandainya gue berantem sama Yandi.

Keluar dari café, gue jalan-jalan dulu di sekitaran mall.Cuci mata.Ketika gue mulai bosan, gue mikir mau kemana ini.Mau pulang, gak ada kerjaan.Mau ke kosan Dea, hari ini jadwal dia latihan teater. Bisa sih gue ngajak Dea jalan setelah ia selesai latihan. Namun biasanya setelah selesai latihan, ia makan bareng sama teman-temannya.

“Bagian dari memupuk chemistry dan kekompakan antar anggota.”

Begitu jawab Dea ketika gue dulu pernah mengajaknya jalan saat ia selesai latihan namun Dea menolaknya.

Akhirnya gue ingat teman gue si kunyuk Rio.

“Nyet, lo dimana?” tanya gue saat Rio mengangkat telepon.

“Di rumah Herda.Kenapa?”

“Gue lagi bosen aja, yaudah gue susul ya.”

“Eh, ketemuan di Rockspeed aja. Ini gue sama Herda mau kesana.”

“Sip.”

Rockspeed. Alamat gue ngebir lagi ini mah.Gak mungkin gue cuma pesan es teh disana.Tapi 1 bir hitam dingin enak kali buat ademin perasaaan.

Oke.


***

Karena gue masih rada emosi, maka gue melampiaskannya dengan mengebut di sepanjang perjalanan menuju Rockspeed yang berada cukup jauh dari Mall Biru.Gatel gue liat jalanan agak lengang dikit jadi bawaannya pengen “terbang” aja. Banyak mobil dan motor yang gue salip, mengklakson panjang, lantaran kaget dan mungkin tersinggung karena aksi ugal-ugalan gue. Lalu dari sekian banyak orang yang gue salip akhirnya ada juga motor yang coba ngejar gue. Gue sempat saling tatap sama seseorang yang naik CBR 125 karena setelah gue salip, ia langsung tarik gas dan tepat berada di samping kanan gue. Gue gak bisa lihat wajah si pengendara karena dia pake helm KYT full face dan hanya membuka kaca helm sehingga matanya terlihat melotot ke arah gue.

"Kenapa, gak terima?" kata gue sambil membuka kaca helm dan memelankan laju motor agar dia bisa mendengar perkataan gue.

"Hei bocah, naik motor jangan sembarangan!" hardiknya.

"Bocah? lu manggil gue bocah? terus gue mesti panggil elo apaan? Mbak atau tante yang sok gaya naik CBR. Lagian emang gue nyenggol elo? Perasaan gue sedari tadi ga ngrasa udah nyenggol Barbie," balas gue santai.

"Anjing lu bocah.Di bilangin baik-baik malah ngelunjak. Gini nih akibatnya kalau sewaktu balita , elo ditetein emak lo pake asi basi, jadinya bebal itu otak."

CIIT!!!

Gue mengerem mendadak. DIA UDAH NGEHINA ALMARHUMAH NYOKAP GUE ??!!!

"BERHENTI LO BANGSAT!!" teriak gue.

Namun dia hanya menoleh ke belakang sambil mainin gas kemudian melaju pergi.Terlihat dia sangat menyepelekan gue. Ok. Emosi gue yang sebenarnya uda mereda kini kembali terpantik akibat ucapan orang ini.

Gue langsung mengebut mencoba menyusulnya. Dan gue ngrasa tuh orang tahu kalau gue mengejarnya. Dia menekan gasnya. Jelas motor Honda Beat standar yang sedang gue pakai sekarang bukan tandingan CBR 125. Namun gue gak peduli, karena jalan tidak terlalu ramai dan jalur ini adalah jalan arteri yang lurus tidak ada belokan persimpangan, gue masih bisa mengikuti jejaknya. Gue pacu motor gue sampai kecepatan 120 km/jam. Gue merunduk agar laju motor makin kencang dan stabil. Yang ada di pikiran gue cuma fokus mengejar orang yang sudah menghina almarhumah nyokap. Gue mencelos kesal karena tepat di persimpangan pertama bertepatan dengan lampu hijau dan si brengsek itu belok ke kanan. Padahal kalau dia belok ke kiri, arahnya sesuai mengarah ke Rockspeed. Jelas gue akhirnya ikut belok ke kanan meskipun menjauh dari Rockspeed.

Urusan ke Rockspeed ntar aja, setelah gue bikin perhitungan dengan si penunggang CBR.

Sialan, saat kami lewat ke jalan Cendana, ternyata macet parah sampai gue gak bisa memacu motor karena terhenti di pinggir jalan. Beruntung gue masih bisa ngliat si pengendara CBR juga melambatkan motor. Dari yang berjalan lambat, akhirnya motor benar-benar terhenti karena macet. Gue baru ingat di ujung jalan ada pengerjaan gorong-gorong yang memakan setengah jalan. Di tambah dengan adanya lampu merah yang berdurasi 90 detik maka makin panjanglah kemacetan. Gue yang udah dikuasai emosi langsung memarkirkan motor di depan warteg pinggir jalan. Lalu berlarian di trotoar. Gue mengejar pengendara CBR yang terjebak macet dan terhenti di bahu jalan. Ketika gue uda dekat, tanpa babibu gue langsung melayangkan tendangan ke arah punggungnya. Karena tendangan gue, dia kehilangan keseimbangan lalu terjerembab ke samping. Dia tidak sepenuhnya terjatuh karena tertahan pengendara motor yang ada di samping kanannnya.

“SINI LO BANGSAT!!” tantang gue saat ia menoleh ke arah gue.

“BOCAH! CARI MATI LO!” dia langsung menstandarkan motornya, melepas helm dan mendatangi gue.

Ditilik dari mukanya, sepertinya dia anak kuliahan.Terlebih gue sempat liat ada stiker logo organisasi di suatu kampus yang ditempel di samping bodi motor.

PLAGH !

Gue terkejut karena pukulannya cepat sekali dan mengenai pipi kiri. Selain cepat, juga keras! Gue ngrasa pusing namun segera menggelengkan kepala untuk mengusir rasa sakit. Si bangsat sepertinya ga nyangka gue masih sanggup berdiri setelah terkena pukulannya sehingga sekarang giliran pukulan gue mengenai hidungnya, kepalanya tersentak ke belakang. Lalu dari hidungnya mengucurkan darah. Akibatnya, dari sorot matanya ia terlihat murka.

Namun ketika kami berdua hendak kembali saling serang, kami dilerai oleh para pengendara motor dan juga beberapa orang yang ada di sekitar tempat kami berkelahi. Gue diseret menjauh begitupun juga lawan gue.

“LEPASIN GUE ! DIA SUDAH MENGHINA ALMARHUMAH NYOKAP GUE!!” Teriak gue sambil memberontak karena ada 3 orang sekaligus yang memegangi dan menyeret gue menjauh.

“Sabar dek sabar,” ujar salah seorang yang terus memegangi gue.

“Mas, kamu cepat pergi sana. Mumpung lampu sudah hijau. Motor mas di pinggir jalan, justru makin membuat jalan jadi macet,” saran salah seorang warga yang ikut melerai.

Si bangsat itu sudah terlihat lebih tenang, ia menatap gue sejenak lalu kembali menaiki motornya kemudian pergi dari lokasi tanpa banyak kata.

Setelah dia pergi, gue berhenti memberontak dan orang-orang yang memegangi gue pun melepaskan pegangannya. Gue lalu kembali ke tempat motor gue terparkir. Gue sempat meludahkan air ludah karena mulut gue terasa asin. Sialan, dalam mulut gue berdarah karena terkena pukulan si rider bangsat. Gue memang terlihat tenang namun amarah masih bergemuruh di dalam dada gue.

Dan gue butuh pelampiasan!

Maka gue pun kembali kebut-kebutan di jalanan ! gue udah lupa tujuan gue hendak ke Rockspeed. Gue melajukan motor menuju ringroad  sehingga gue bisa mengebut dengan puas. Meskipun gue mendapat makian dan klakson panjang ketika gue berkelok-kelok di antara mobil-mobil.Ya wajar kalau mereka malah, karena kalau sampai gue tersenggol ataupun gue sendiri menyenggol salah satu mobil. Gue pasti langsung kehilangan kendali, terjatuh di antara mobil-mobil dimana 99% gue bakal tewas terlindas mobil sampai mayat gue berceceran di jalan raya, heuhue. Hanya saja, julukan Daredevil yang gue sandang, jelas bukan keren-kerenan doang. Gue tidak ugal-ugalan, jutru ini gue konsentrasi penuh. Setiap belokan, memotong jalur mobil lalu menyelip di antara 2 mobil. Semuanya sudah gue perhitungkan momentumnya.

Semakin berbahaya justru membuat gue semakin puas !!!

Saat jarum speedometer nyaris menyentuh angka 150 km/jam, gue merasa laju motor mulai tersentak. Gue lihat indicator bensin sudah tinggal 1 batang dan itupun berkedip-kedip. Artinya motor mulai kehabisan bensin. Bahaya nih kalau sampai gue sampai kehabisan bensin di tengah jalan raya. Beruntung kurang lebih 500 meter di depan, gue liat ada SPBU. Setelah melihat ada celah di samping kiri, gue lalu berbelok dan masuk ke jalur lambat untuk sepeda dan roda dua. Tepat ketika gue masuk ke dalam areal SPBU, bensin akhirnya habis sama sekali.

Gue dongkol melihat antrian di Pertamax mengular panjang, ada kali 15an motor tapi ya mau gimana lagi, bensin uda kering. Gue lihat hampir semua antrian di SPBU ini memang panjang-panjang. Mobil aja sampe mengular keluar dari SPBU. Jadi ya gue mesti sabar menunggu satu persatu. Namun panjangnya antrian membuat gue jadi tenang setelah kebut-kebutan sendirian di jalan kek setan.  Dan setelah kurang lebih manyun selama 20 menitan karena ngantri pertamax, akhirnya tiba giliran gue.

Baru juga gue naikin standar tengah motor biar ga tumpah karena mau gue isi full tank, tiba-tiba ada mobil Honda Stream kelir biru metalik dengan velg chrome, berhenti di samping kanan gue, mepet malahan. Ini goblog apah !

Setelah mobil berhenti, si pengendara keluar dan menyodorkan uang ke petugas SPBU yang gue lihat dari tag di seragamnya bernama Gani.

“Pertamax.300,” perintah si pengendara mobil.

Gani sepertinya bingung karena ini orang udah bawa mobil nyerobot antrian, masuk ke jalur khusus motor pula.

“Maaf, ini antrian buat motor. Silahkan mas antri di sebelah khusus mobil,” tegas Gani.

“Iya gue tahu tapi panjang banget antrian di sebelah. Buru-buru banget gue bang. Cepat isi deh, terus gue cabut. Gak sampai 10 menit. Kelar. Lo dapat duit, gue dapat pertamax. Semua senang. Nih uangnya 300 sama gue tambahin tips 50 rebu buart elu.”

Pengendara mobil yang tinggi kurus dengan rambut cepak menyahut tangan Gani dan menyelipkan uang bensin berikut tips.

Gani tersenyum, menggeleng dan mengembalikan uangnya.

“Maaf. Mas ini udah salah antrian dan main serobot pula. Budayakan antri.”

Gani lalu bertanya ke gue mau isi berapa. Ia sudah tidak menggubris si pengendara mobil.

“Pertamax. Isi penuh bang,”jawab gue sambil membuka tutup tangki bensin.

“Dari nol ya.”

Namun saat Gani hendak memasukkan selang ke tangki motor gue, tiba-tiba si pengemudi mobil mendorong pundak Gani dari belakang hingga nyari terjatuh dan terjengkang. Gue pun reflek menahan badan Gani, hanya saja selang bahan bakar terjatuh, membuat Pertamax mengalir tercecer terbuang di lantai. Gani lalu buru-buru mengambil selang dan memasukkan ke tangki motor gue.

“Gak apa-apa bang?”tanya gue.

“Gak apa-apa. Makasih mas, uda megangin gue tadi.”

“Baru jadi petugas SPBU uda sombong!” hardik si pengemudi mobil, nampak tidak merasa bersalah.

Orang-orang di SPBU yang melihat kejadian tersebut langsung berteriak-teriak ke arah pengemudi mobil yang arogan. Terutama pemotor yang antri di jalur pertamax. Mereka bersorak meminta dia cepat pergi. Dan tentu saja gue gak mau ketingggalan. Gue lalu mendekati ke pengemudi yang sudah masuk ke mobil. Sekilas gue melihat di dalam mobil ternyata 3 orang lain. Pintu mobil gue tahan saat mau di tutup.

“Minta maaf dulu baru lo enyah dari sini.”

Ia melotot ke arah gue.

“Eh Mau sok jagoan lo?ikut campur?” ujarnya sambil turun dari mobil.

Ini orang badannya sama kaya gue, namun dia lebih tinggi.

“ELU YANG SOK JAGOAN ANJING ! DARI AWAL LO YANG SALAH! UDA MAIN MASUK JALUR MOTOR, LO JUGA SEROBOT ANTRIAN!DAN LO MESTI MAAF DULU KE ABANG ITU SEBELUM  LO PERGI!” hardik gue keras sambil mendekatinya jadi kini gue berdiri hadap-hadapan.

Wajahnya langsung memerah, ia terlihat mengeraskan rahang. Pertanda ia sudah  terpantik emosinya.

“BACOT LU !”

Gue yang tahu dia pasti mukul duluan, langsung mendorongnya ke belakang sehingga terhempas ke pintu samping mobilnya. Dan gue tambahin bonus bogem ke wajahnya !ia merosot ke samping sambil memegangi sisi wajahnya yang gue tonjok.

Akhirnyaaaa, gue bisa mukul orang juga hari iniiiii !!

Namun baru juga mau gue hantam lagi, 2 orang keluar dari mobil. Saat mereka hendak mengeroyok gue, langsung semua orang di SPBU melerai kami. Sementara gue dipegangin sama beberapa orang yang gue tahu ngantri di belakang motor gue, 2 orang ini di cegah oleh 3 petugas SPBU yang berbadan besar. Mereka diminta untuk segera pergi.

“Teman mas ini yang salah, mulai dari masuk ke antrian roda dua, menyerobot antrian lalu melakukan tindakan agresif dengan mendorong salah satu petugas kami hingga terjatuh dan selang bensin tercecer. Itu semua sangat berbahaya kalau sampai timbul percikan api. Dan semuanya terekam jelas di CCTV. Kalau kalian masih mau ribut disini, saya akan panggil Polisi dan memberikan rekaman CCTV. Namun kalau kalian segera pergi dari sini, masalah akan kami anggap selesai,” tegas salah seorang petugas SPBU berbaju hitam.

Karena semua orang di SPBU tahu, bahwa pengendara mobil Stream yang salah. Mereka semua kompak berteriak ke arah pengemudi dan penumpang mobil. Bahkan mau ngeroyok si pengendara mobil dan teman-temannya. Namun bisa di tenangkan oleh para petugas SPBU dan juga security. Antara terdesak dan malu, mereka bertiga lalu masuk ke dalam mobil. Orang yang tadi sempat gue pukul, pindah ke kursi belakang. Sementara ada temannya yang gantian membawa mobil, haha. Pukulan gue buat lo pusing ye.

Namun tawa gue lenyap seketika ketika mobil tersebut maju sedikit lalu kemudian dengan sengaja berjalan mundur sehingga menghantam motor Beat gue sampai terjatuh. Akibatnya bodi bagian depan penyok, spion kanan patah, kaca bagian depan pecah dan sudah pasti lecet-lecet. Orang yang tadi gue hajar membuka jendela belakang lalu mengacungkan jari tengahnya sebelum akhirnya mobil tersebut pergi dengan sembrono bahkan nyaris menyerempet mobil lain yang hendak keluar dari SPBU.

Bangsat, gue gak mungkin ngebiarin mereka pergi ! Setelah memberikan uang 50 ribu ke Gani, gue langsung mendirikan motor dan buru-buru menghidupkannya. MESTI GUE KEJAR !! Beberapa orang sempat mencegah gue menyusul mereka. Namun jelas tidak gue gubris. Gue langsung tancap gas mengejar mobil Honda Stream warna biru metalik yang tentu saja sangat mudah untuk diikuti karena nampak mencolok disbanding mobil lainnya di jalanan. Gue sengaja menjaga jarak, karena gak mungkin gue menghentikan mobil tersebut di tengah arus lalu lintas yang kini mulai padat. Gue bersabar menunggu mobil tersebut keluar dari ringroad. Sampai akhirnya sekitar 10 menit kemudian, mobil tersebut belok ke kiri menuju Jalan Gelatik yang gue cukup hapal. Jalan Gelatik ini nanti akan melewati areal GOR. Kalau weekend GOR akan ramai namun kalau hari biasa menjelang malam kayak sekarang, kondisinya cukup lengang.

Maka setelah gue berbelok di jalan Gelatik, hanya nampak mobil Stream Biru yang melaju di jalan ini. Maka gue pun langsung tancap gas dan mengejarnya. Ketika berada di bagian jalan yang lebar, gue mengeluarkan kunci rumah di yang ada di kantong saku celana kiri. Dan gue mengebut melewati mobil dari sisi kanan.

CKIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIITTTTTT!!!

Terdengar bunyi decitan panjang saat ujung kunci rumah gue sayatkan di sepanjang bodi mobil.

Lalu gue mengerem motor dan berhenti di tepi jalan. Gue lihat mobil tersebut langsung berhenti mendadak. Lalu 4 kunyuk keluar sekaligus. Si pengemudi marah karena goresan di bodinya cukup panjang, merusak dan mengelupas cat mobil. Mampus!

“ANJING !LO CARI MATI!” hardik orang yang sempat gue pukul di SPBU.

“Sini lo, gak usah ngebacot,” tantang gue sambil turun dari motor.

Akhirnya, bisa berantem juga hari ini.Gue gak peduli kalau besok gue kena hukum Pak Tomo. Namun lawan gue 4 orang. Gue gak mungkin bisa menang kalau mereka nyerang bareng. Jadi sebelum mereka menyerang, gue serang satu persatu duluan.

Orang yang mengenakan jaket Supreme warna hitam terkejut saat gue mendatanginya  dengan cepat. Satu pukulan kiri ke arah ulu hati membuatnya badannya menekuk ke depan sambil terbatuk-batuk. Gue pegang kepalanya lalu gue hantamkan mengenai ke kaca mobil bagian belakang.

1 kunyuk ambruk. 3 lagi.

Gue lalu menyerang orang yang tadi duduk di kursi depan sebelah pengemudi. Ia kaget saat satu temannya gue hajar namun ia masih sempat bereaksi. Pukulannya bisa gue elakkan, namun tidak dengan tendangannya. Ugh sakit juga pinggang gue kena tendangan. Namun tidak cukup kuat untuk menghentikan serangan gue. Gue langsung mengapit kaki kanan yang ia gunakan untuk menendang gue dan gue arahkan 2 pukulan ke arah mulut dan hidungnya.

BAM !BAM !!

Saat ia meraung kesakitan, gue sapu kaki kirinya hingga ia terjungkal jatuh ke tanah. Gue injak beberapa kali perutnya agar tidak bangkit.

UGH!

Gue sempoyongan ke depan dan nyaris jatuh saat gue merasakan tendangan di punggung.  Namun gue berpegangan di tiang listrik sehingga bisa segera berdiri. Gue menegakkan punggung karena terasa sakit di bagian tulang belakang. Anjing.

Rupanya yang menendang gue adalah orang yang sempat gue pukul di SPBU. Dan di sisinya ada temannya yang berkepala botak. Si botak ini terlihat tegang, wah sepertinya dia yang paling penakut. Sasaran empuk nih.

“Lo gak tahu siapa kami, huh?” tukas si plontos yang berlagak sok berani.

“Tahu. Elo tuyul penakut dan teman lo yang tinggi, dia sebangsa anjing kudis,” jawab gue.

Wajah keduanya langsung memerah. Keduanya langsung menyerang gue bersamaan. Mereka meloncat mengarahkan tendangan. Gue cukup menghindar ke kanan berputar sambil berpegangan tiang listrik dan menendang si botak. Si botak langsung mengaduh tersungkur di tanah sambil mengusapi kepalanya yang kena tendangan gue.

Gue lalu berlari menginjak punggungnya sebagai pijakan untuk menerjang si tinggi dengan pukulan. Namun sayang, si tinggi masih bisa berkelit. Padahal kalau kena keren banget tuh.

BUGH ! BUG!

Karena gue terlalu sok aksi, membuat gue lengah dan kena 2 pukulan ke muka .Gue lalu melayangkan pukulan untuk memotong serangannya. Si tinggi mundur selangkah untuk mengambil nafas, begitu juga dengan gue. Fiuuhh, gue mesti rajin olahraga lagi nih. Nafas uda ngos-ngosan. Wajah gue agak kebas dan nyut-nyutan karena kena 2 pukulan bersih.

“Bangsat, lo kesurupan? Sampe segininya lo ngejar kami,” katanya.

“Gak juga, pas gue lagi kesel pas datang 4 kunyuk yang sok jagoan.”

Ia tersenyum. Sesekali gue menangkap pandangan matanya yang seperti memandang jauh ke belakang gue. Gue mencium rencana busuk.

“Hehe, mampus lo bentar lagi. Pasukan kunyuk datang.”

Gue menoleh ke belakang dan melihat ada satu. Ah bukan. 2 mobil. 2 mobil tersebut melaju kencang ke arah kami. shit. Beberapa saat kemudian mobil Fortuner dan Pajero yang berwarna sama yakni hitam, berhenti di seberang jalan. Lalu dari kedua mobil muncul 7-8 orang berambut cepak. Mereka semua melihat ke arah gue. Namun ada salah seorang di antara mereka yang bertubuh paling tinggi, tampak cuek dengan keberadaan gue.

Gawat. Dari potongan rambutnya, jangan-jangan mereka dari sekolah polisi dan sejenisnya.

“Kenapa kok lo tiba-tiba pucet,” ejek si tinggi.

Gue gak mungkin bisa menang ini, apa gue panggil anak-anak Rockspeed. Fuck, kejauhan. Mereka sampai sini, gue udah babak belur. OKE, MAJU LO SEMUA! GUE GAK TAKUT! GUE PASTI KALAH TETAPI GUE AKAN BERIKAN KEMENANGAN MUDAH.

Teman-teman si tinggi menghampirinya, beberapa ada yang membantu 3 orang yang sempat gue hajar untuk berdiri.

“Lo telat nyusul karena kalian terdesak lawan 1 orang?” tanya si raksasa yang mengenakan jaket bertudung dengan posisi membelakangi gue. Posturnya gila, tinggi besar, 190 cm lebih ini.

“I-Iya,” jawab si tinggi takut-takut.Hm, sepertinya dia boss dari gerombolan ini.

PLAK !!

Si tinggi langsung terhuyung dan nyaris pingsan setelah ditampar sama itu orang. Beruntung masih ada beberapa temannya yang memeganginya dari belakang. Anjay, gak heran kalau dia nyaris pingsan kena tampol. Lha yang nampol gede banget.

Gue memasang sikap waspada saat ia membalikkan badannya. Namun saat ia menatap gue. Tiba-tiba ia membuka tudung jaketnya sehingga mukanya terlihat jelas. Si Raksasa ini bertampang keras dengan sedikit cambang dan kumis. Rambutnya model back undercut klimis disisir ke belakang.

“Loh....elo Yos?” tanyanya tiba-tiba dengan suara berat.

Lah, dia kenal sama gue? Kalau gue kaget, teman-temannya jauh lebih kaget. Terutama si tinggi yang sedang mengusap mulutnya karena berdarah setelah ditampol bossnya. Dia menjadi orang yang paling bingung.

“Siape lo?kok tahu nama gue?” tukas gue cepat tanpa menurunkan kewaspadaan.

Si raksasa ini lantas mendekati gue sambil tersenyum.

“Masak lo lupa sama abang sendiri? Bang Niko nih!”


Niko

Hah Bang Niko? Satu-satunya orang yang gue kenal bernama bang Niko adalah abang sepupu gue. Nikolas Hermawan atau biasa gue panggil bang Niko. Bang Niko anak dari tante Mirna, kakaknya bokap gue. Karena kami sama-sama anak tunggal, membuat kami sangat akrab bak saudara kandung. Jadi tentu saja gue senang banget ketemu abang gue nih ! 2 tahun ga ketemu oi, trakir ketemu saat gue kelas 2 SMP!  Dan jarang kontak-kontakan karena dia sibuk dengan kompetisinya.

Jadi wajar jika saat bang Niko memeluk gue, gue pun membalas pelukannya. Gila, perasaan terakhir gue ketemu dia 2 tahun lalu dia gak segede ini.

Bang Niko itu jebolan Diklat XXX, sekolah khusus atlet, yang lolos seleksi panggilan timnas Indonesia U-19 untuk Pra Piala Asia 20xx. Dengan postur tinggi yang sangat ideal karena posisinya sebagai seorang bek tengah, bang Niko juga sangat atletis dan tidak takut di ajak adu lari para striker lawan. Kadang gue menjuluki bang Niko sebagai  Zlatan Ibrahimovic-nya Indonesia. Kuat, cepat, atletis. Bedanya cuma di posisi. Zlatan striker, bang Niko bek tengah. Dan bang Niko yang di dapuk menjadi kapten U-19, mampu membawa Garuda Muda gemilang di Pra Piala Asia dan lolos ke putaran final Piala Asia U-19 di Jepang. Garuda Muda menggila di Jepang. Mereka melaju sampai semifinal dan hanya kalah tipis dari tuan rumah Jepang 1-0. Meskipun kalah, namun kami tetap bangga karena itu berarti Garuda Muda lolos ke Piala Dunia U-20 di Italia. Dan bang Niko menorehkan prestasi individu, dia menjadi satu-satunya pemain Indonesia yang masuk ke dalam daftar 11 pemain terbaik Piala Asia U-19.

Hanya saja, saat berlaga di Piala Dunia U-20 di Italia, Garuda Muda berada di grup neraka. Mereka satu grup dengan Jerman, Belgia dan Meksiko. 3 pertandingan di fase grup, Garuda Muda selalu kalah. Kalah 3-0 lawan Jerman dan kalah 1-0 lawan Meksiko serta Belgia. Meskipun begitu, lagi-lagi penampilan bang Niko mendapat perhatian khusus dari para pemandu bakat yang bertebaran di sepanjang turnamen. Dari beberapa berita yang gue baca, bang Niko mendapat tawaran trial dari berbagai klub Eropa mulai dari Prancis, Belgia, Belanda dan Italia. Namun pada akhirnya Bang Niko memutuskan menerima trial 1 bulan di Cagliari, tim legendaris dari Sardinia Italia yang berkompetisi di Serie-A. Saat semua skuad Garuda Muda pulang ke Indonesia,bang Niko tetap tinggal di Italia untuk meretas mimpi terbesarnya yakni bermain di kompetisi elita sepak bola di benua Eropa.

Dan gue ingat 2 tahun lalu, ketika jam 3 pagi gue dapat telepon dengan awalan +39. Gue rada bingung sih ini nomor darimana dan saat gue angkat terdengar suara.

“Yosi, abang dapat tawaran kontrak professional durasi 4 tahun di Cagliari.” ucap suara seseorang di seberang telepon dengan suara bergetar.

Itu bang Niko !

Gue jelas senang namun juga sedih karena dari percakapan dengan Bang Niko, ia hanya akan pulang 1 tahun sekali. Itupun kalau sempat karena padatnya jadwal. Artinya gue bakal kehilangan abang gue. Abang yang selama ini selalu nasehatin gue dan bisa meredam kenakalan gue yang makin menjadi saat SMP. Dan nyatanya, bang Niko belum pernah bisa pulang ke Indonesia dalam kurun waktu 2 tahun terakhir karena proses adapatasi disana. Bahkan saat dipanggil timnas U-23 untuk pemusatan latihan di Jakarta dalam rangka persiapan dan 2 laga ujicoba Asian Games, bang Niko tidak bisa datang memenuhi panggilan karena bersamaan dengan jadwal kompetisi primavera. Kalau sudah begitu, tante Mirna dan Om Chandra, bonyok bang Niko yang pergi ke Italia untuk melepas kangen. Gue pernah diajak untuk ikut mengunjungi bang Niko di Italia, namun waktunya selalu berbenturan dengan jadwal sekolah sehingga bokap tidak memberikan ijin.

“Loh kapan Bang Niko balik? Kok gak ada kabar,” tanya gue setelah melepas pelukan.

“Baru tadi siang, belom sempat kabar-kabar karena tadi malam langsung di culik anak-anak minta traktir. Eh lo gak apa-apa? Teman gue mukulin elo?“ tanya Bang Niko sambil mengalungkan tangan kanannya ke leher gue.

“Gak apa-apa bang, cuma sedikit pusing. Jadi mereka teman-teman abang?”

“Iya, mereka teman di diklat dulu. Bentar. AHMAD, GERI, ARMAN DAN LO KUBIL ! SINI LO !!” hardiknya tiba-tiba dengan suara menggelegar memanggil 4 orang temannya yang tadi terlibat perkelahian dengan gue. Dan gue menikmati saat roman wajah mereka berempat langsung pucat pasi saat dipanggil bang Niko.

“JADI LO SEMUA UDAH NGEROYOK YOSI ADIK GUE?”

“Ka...kami gak tahu...gak tahu Nik...kalau dia adik lo,” jawab si tinggi takut-takut. Wajar sih kalau dia yang paling takut, karena dialah yang menjadi awal mula perkelahian kami.

“KALIAN PILIH MINTA MAAF SAMBIL CIUM TANGAN YOSI ATAU GUE KASIH BOGEM? UDAH LAMA GUE GAK MUKULIN ORANG SELAMA DI ITALIA.”

Tanpa banyak kata, keempatnya langsung berbaris, menyalami tangan gue sambil mencium punggung tangan dan bilang minta maaf. Anjir geli banget rasanya punggung tangan kena cium.

“Eh udah-udah. Gue juga minta maaf bang, kebawa emosi gue tadi,” gue panggil mereka bang karena mereka teman sebaya bang Niko. Dan emosi gue mereda dengan sendirinya.

“Tapi sadis elo Yos, 4 teman gue lo hajar gitu aja haha. Dari dulu lo emang paling demen urusan ginian. Ikut gue nongkrong aja yuk,” ajak bang Niko setelah kesalahpahaman  gue dan teman-temannya selesai.

Gue ketawa garing sambil garuk-garuk kepala. “Nongkrong dimana bang?”

“Tadi sih gue mau ke Cudicini sama anak-anak. Italian Resto. Kampret emang, sampe ke Indonesia malah di todong minta traktir di resto Italia. Lha elo sendiri mau kemana?”

“Ke Rockspeed, bang. heeeee...”

“Buset, lo masih nongkrong disana. Gak di gampar sama Om Hendra lu?”

Om Hendra itu bokap gue. Dan bang Niko hapal banget kalau di Rockspeed itu isinya anak-anak penggemar balap liar.

“Ya selama bokap gak tahu mah aman, hahaha.”

“Om Hendra sebenarnya tahu kali Yos, cuma dia tahu sifat [i]rebel[/i] lo. Kalau semakin dilarang justru malah semakin berontak. Jadi ya selama lo bisa jaga diri dan pulang dalam keadaan masih utuh, Om Hendra bakalan [i]‘tutup telinga dan mata’[/i] alias pura-pura ga tahu,” ujar bang Niko pelan.

Anjir, perasaan gue langsung ser-seran. Dan langung keingat bokap. Jadi selama ini.......

Bang Niko menepuk pundak gue. “Udah yok kita makan aja dulu sambil ngobrol santai.”

Gue tersenyum.“Cudicini yang di jalan Sriwijaya kan?”

“Ga tahu di jalan mana. Banyak tempat-tempat baru Yos. Maklum 2 tahun gak pulang. Eh Cudicini di jalan Sriwijaya?” tanya bang Niko kepada teman-temannya yang sepertinya agak sengaja menjaga jarak dengan kami.

“Iya, gak jauh dari Telkom Sriwijaya,” sahut salah seorang di antara mereka.

“Lo tahu? Ah anak motor kek elo udah pasti tahu lah ya. Haha.Yaudah yok.”

“Gue naik motor aja bang kesana.”

“Mana motor lo? Motor Satria?”

Gue menggeleng. “Naik Beat. Tuh ada di sana,” kata gue sambil menunjuk motor yang mayan rusak di bagian depan, terparkir di pinggir jalan.

“Yos, itu motor lo kenapa? Sampe spion copot, lampu depan pecah, spatbor lecet-lecet?” tanya bang Niko saat ia melihat kondisi motor gue.

Baru juga gue mau jawab, tiba-tiba Kubil menukas. “Itu gue yang nabrak tadi waktu di SPBU. Yos, sini motor lo. Gue bawa ke bengkel. Lo pergi bareng Niko aja.”

“Gak usah bang. Ngrepotin. Besok aja gue bawa sendiri ke bengkel.

“Masih ada bengkel AHASS yang buka jam segini?” Bang Niko bertanya kepada Kubil.

“Masih ada. AHASS di A.Yani tutup jam 9 malam.”

“Sip.Yos kasih STNK dan kunci motornya ke Kubil biar diberesin. Bil ganti semua yang perlu di ganti, minta yang Ori. Tar gue ganti duit lo. Kalau uda kelar, lo langsung nyusul ke Cudicini.”

Kubil mengacungkan jempol. Ya akhirnya gue pun memberikan STNK dan kunci motor. Setelah Kubil pergi, gue lalu ikut rombongan bang Niko menuju Cudicini.


***

2 jam kemudian....

Kenyang gila rasanya setelah dipaksa bang Niko menghabiskan semua makanan yang ia pesan. Bukan cuma gue, namun 12 temannya sama seperti gue. Duduk bersandar di kursi sambil memegangi perut karena kekenyangan. Sementara bang Niko tertawa melihat kami semua. Ini gara-gara hampir semua menu makanan di pesan oleh bang Niko. Mulai dari Pizza ukuran large, pasta, risotto dan Panini. Sampai penuh 4 deret meja yang digabung jadi satu. Awalnya masih sisa 3 loyang besar Peperoni Pizza ukuran large dan semangkuk Pasta Smoked Beef yang belum tersentuh. Kami sudah tidak sanggup menghabiskannya namun bang Niko bilang,

“Kalau sampai masih ada makanan yang belum habis di atas meja, gue gak bakal kasih lo oleh-oleh spesial. Jersey Ori timnas Italia apparel dari Puma. 1 orang 1 jersey. Seperti yang gue pake sekarang .”

Bang Niko lalu melepas jaket yang sedari tadi ia kenakan.


Wuih, kereeeen !!

“Bang gue dapet jersey Italia juga gak kalau bantu habisin makanan?” gue bertanya dulu.

“Dapet. Gue beli 20 biji. Ada di rumah.”

Maka gue pun ikut kalap membantu menghabiskan makanan.

Dan sekarang, perut kami benar-benar full !! Ini kalau sendawa pasti lega banget perut.

“Haha tau rasa lo pada.Orang gue lagi pengen makan gudeg ceker Mbah Mintoharjo, elo malah nodong gue makan disini. Haha. Tetapi mayan juga rasanya. Gak jauh beda sama cita rasa aslinya. delizioso,” ujar bang Niko.

Tak lama kemudian datang pelayan yang memberikan 2 botol wine. Gak tahu gue itu wine jenis apa. Yang jelas, bang Niko langsung menuangkan sedikit ke gelas lalu diberikan ke gue.

“Nih dikit aja lo, red wine berkadar alkohol paling rendah.”

Gue nyengir lalu meminumnya. After taste-nya hmm, boleh juga. Bang Niko udah tahu kalau gue sejak SMP uda terbiasa ngebir. Meskipun gitu, gue masih kontrol sih. Nyicip bourbon, whisky, vodka hanya sesekali. Pokoknya jangan sampai gue jackpot .Haha. Bang Niko lalu mengajak gue minum sambil duduk di kursi kosong dekat dengan pagar.

“Gimana kabar lo? masih suka balap liar sama idola elo tuh, si...ehm...Bram...ya..Bram.”

Gue tersenyum dan memperbaiki posisi duduk. “Udah gak, terakhir gue main balap beberapa bulan lalu, masih awal-awal masuk SMA. Selebihnya udah enggak, gantung stang hehehe.”

Mata bang Niko menyipit. “Elo berhenti balapan? Gak percaya gue. Elo yang biasa naik motor ngebut kayak setan, sampai gue kapok bonceng lo, bisa berhenti?”

“Hehe. Ya maksudnya ga sepenuhnya berhenti bang. Berhenti adu cepat dengan pembalap lain lebih tepatnya. Paling riding top speed sendirian aja kalau suntuk.”

“Wuih ada story menarik nih kenapa lo bisa berhenti adu balap. Ceritain semuanya, mayan sambil nunggu gudeg ceker Mbah Minto buka jam 1 pagi haha.”

Gue rada ragu juga sih mau cerita semuanya karena mau gak mau gue juga mesti cerita tentang konflik yang gue alamain di sekolah, permusuhan dengan Bram dan tentu saja tentang even berbahaya, Deathwish. Namun karena bang Niko uda gue anggap sebagai abang kandung dan hubungan kami sangat dekat, akhirrnya gue terus terang menceritakan semuanya. Hampir sejam gue cerita A-Z ke bang Niko, hal-hal apa saja yang gue alamin beberapa bulan terakhir ini. Selama gue bercerita, bang Niko manggut-manggut, sesekali menampakkan ekspresi kaget. Saat gue cerita, sesekali gue mesti berhenti memberi jeda, kepada diri gue sendiri. Karena kadang nada suara gue bergetar menahan emosi. Ada kalanya gue berhenti bercerita, seperti ketika saat sekitar jam 10 kurang dikit, teman bang Niko pamit pulang terlebih dahulu. Karena teman-teman bang Niko mayoritas pemain muda di PS WARRIOR, klub sepakbola dari Kota XXX yang bermain di Divisi Utama Liga Indonesia, yang tinggal di mess klub. Sehingga ada penerapan jam malam bagi para pemain. Setelah teman-teman bang Niko pulang, kini tinggal kami berdua.

Ketika gue hendak kembali melanjutkan cerita, bang Niko tiba-tiba mengajak pindah tempat.

“Ke Rockspeed yuk. Belum kemalaman kan elo? Baru jam setengah sebelas nih. ?”

“Gak, besok Sabtu sih. Tidak terlalu banyak pelajaran biasanya malah pulang awal karena Senin uda mulai UTS.”

“Oh lo mau UTS, yawis lo jangan minum bir nanti disana. Lo minum es teh aja, haha.”

Akhirnya kami pindah tempat ke Rockspeed naik motor Beat gue yang sudah kembali mulus. Meskipun kasian juga sih ni motor kena timpa gorilla, haha. Sekitar jam 11 gue sampai di Rockspeed. Suasana tidak terlalu ramai karena jam ramai di sini di antara jam 1-4 pagi, Jadi ya ini masih terlalu awal. Gue sempat nyari Rio tetapi kata salah seorang teman bilang, Rio tadi keluar. Entah pulang atau kemana. Bang Niko yang sudah kembali memakai jaket langsung menaikkan tudung, karena tidak ingin dikenali orang-orang, mengajak mencari tempat duduk di teras lantai 2. Gue cuma pesan sekaleng Green Sand sementara bang Niko pesan bir Diablo. “Eh bang, gak dimarahin apa minum-minum mulu?” tanya gue.

“Kalau gak ada yang tahu gak apa-apa, haha. Lagian gue di sana jarang banget kok minum-minum. Karena peraturan klub melarang para pemain Primavera minum-minum. Apalagi kalau sampai ketahuan minum di klub malam, 1 hari sebelum pertandingan. Selain denda potong gaji 2 minggu, namanya tidak akan masuk ke dalam 18 pemain yang dibawa ke beberapa pertandingan sekaligus. Pokoknya di sana gue benar nerapin gaya hidup sehat dan menjaga pola makan. Karena bagaimanapun gue kan pemain asing yang membawa nama Indonesia. Tapi karena mumpung gue lagi di Indonesia, gue rada longgar masalah makan dan minum, haha. Malahan gue ngidam parah masakan Indonesia.Termasuk gudeg ceker nanti malam.”

“Wuih keren. Keren. Gimana bang, persaingan disana? Lancar? Maksud gue, karir abang di klub.”

“Ya, gue yakin secara garis besar lo tahu perkembangan karir gue di sana lewat berita. Berat sih Yos. Sangat berat terutama di tahun pertama. Memang pihak klub sangat baik dalam mengurusi kedatangan gue. Mereka menyediakan semuanya mulai dari apartemen, mobil dan fasilitas lainnya. Lebih dari cukup. Yang menjadi masalah adalah faktor bahasa dan cuaca yang paling krusial. Hal pertama yang gue minta ke manajer gue disana adalah gue minta dicarikan guru les privat bahasa Italia. Karena kalau gue gak cepat menguasai bahasa Italia, gue pasti kesulitan menterjemahkan kemauan pelatih saat sesi latihan. Selama 3 bulan pertama, gue setiap malam selalu les bahasa Italia. Dan syukurlah, selain memiliki guru les yang baik dan penyabar, lingkungan klub juga mendukung gue penuh. Belajar, praktek, belajar, praktek. VOILA ! Di bulan keempat, gue sudah paham 90% bahasa Italia dan mengerti percakapan mereka. Di saat yang sama gue juga mulai fasih berbicara dengan bahasa Italia. Untuk faktor cuaca, ya tinggal adaptasi ke fisik sih. Dan so far gak ada masalah berarti.

Justru masalah muncul dari negeri sendiri. Karena gue orang Indonesia pertama di era modern yang bermain di klub Italia, pemberitaan terhadap gue terlalu berlebihan. Aktifitas dan kegiatan gue selalu dijadikan berita. Di berita tersebut gue dipuja-puji terlalu tinggi sehingga menambah beban dalam diri gue. Beruntung tahun pertama di Cagliari, gue ditempatkan di skuad Primavera alias tim U-23 Cagliari, sehingga gue di anggap gagal sama pers Indonesia dan pemberitaan terhadap diri gue makin berkurang. Padahal buat gue ini jadi awal yang baik, karena jelas mental dan secara permainan gue belum siap. Wajar jika gue mesti berjuang dari Primavera.”

Memang di awal kedatangan bang Niko ke Italia, pemberitaan dia sangat masif. Bang Niko dipuji setinggi langit. Ekspetasi publik menjadi luar biasa tinggi. Dan benar kata Bang Niko, dia di anggap gagal karena tidak bisa menembus skuat utama Cagliari.

Damn media. Hello? What do u expect from 20 years old boy from Indonesia in his first year at Professional Italian Club??

Belum lagi ditambah dengan pemberitaan menyudutkan kepada bang Niko saat ia tidak pernah bisa memenuhi undangan atau panggilan membela timnas U-23 dalam 2 tahun terakhir. Bang Niko di anggap kacang lupa kulit yang tidak mau repot-repot kembali ke Indonesia, lebih mementingkan klub. Gue jelas tidak setuju dengan pemberitaan tersebut.

“Memang selama 2 tahun ini gue masih di Primavera, namun gue bermain reguler di Primavera. Signor Berti, allenatore atau pelatih Primavera tak jarang memuji performa gue, Hanya saja untuk di panggil ke skuad utama, gue masih dianggap terlalu hijau. Bahkan gue dengar-dengar kabar dari manager gue, kemungkinan di mercato ini gue bakal dipinjamkan ke klub yang bermain di Serie-B untuk, agar bisa bermain regular dan merasakan kompetisi sesungguhnya. Eh tapi lo jangan cerita-cerita lho masalah ini. Gue males kena pemberitaan berlebihan lagi.”

“Siap. Eh mercato apaan bang?”

“Bursa transfer pemain. Nanti per tanggal 2 hingga 31 Januari dibuka jendela transfer musim dingin di kompetisi Eropa,” papar bang Niko sambil sesekali meneguk birnya.

“Oh gitu.Bang, libur di Indonesia sampai kapan?”

“Paling lama 10 hari atau tanggal 3 Januari gue mesti balik. “

“Buru-buru amat bang?”

“Karena tanggal 10 Januari kompetisi Primavera dimulai lagi setelah libur musim dingin. Dah ah, jangan bahas masalah sepakbola, bosen gue. Bahas yang lain. Yos, uda dapat pacar belom lu?”

Gue nyengir dan mengangguk. “Udah bang, anak SMA SWASTA XXX.”

“Wuih mana coba liat foto cewek elo.Pengen lihat gue selera cewek elo kek gimana?”

Gue pun mengeluarkan ponsel dari saku dan menunjukkan salah satu foto Dea.

“Wuihh cantik nih !! dan toge pula hahaha. Siapa namanya?”

“Dea.”

“Udah lo apain nih? Muka-muka kayak elo gak mungkin cuma gandengan tangan dan sun pipi kalau pacaran, hayo ngaku! Hahaha,” goda bang Niko.

Asem di tembak pertanyaan macam gini membuat gue salah tingkah. Gue lalu mengeluarkan rokok. “Mau tahu atau mau tahu banget?”

“Haha. Adik gue uda jadi cowok jantan hahaha. Tapi lo mesti main aman kalau gak mau cewek lo bunting duluan. Dan kalaupun pacar lo bunting, elo mesti tanggung-jawab. Jangan lari ataupun mikir aborsi. Jangan sampai gue nanti dapat kabar lo kabur setelah hamilin anak orang. Gue bakalan amputasi titit lo sampai ke bijinya. Jadi laki mesti tanggung-jawab dalam hal apapun, apalagi itu karena perbuatannya sendiri.”

“Iya bang, iya.”

“Sini minta rokoknya.”

Gue memberikan sebungkus rokok ke bang Niko namun dia mau join rokok gue aja. Bang Niko nampak menikmati bener saat gue berikan rokok yang gue hisap. “Abisin aja bang. Nikmat bener ngrokoknya.”

Bang Niko menggeleng dan mengembalikan rokok gue. “Cukup 2-3 hisapan aja.Kalau lebih dari itu bisa keenakan. Gue minum dikit masih okelah, cuma kalau rokok gue hindarin sebisa mungkin.”

Gue ketawa lalu lanjut ngobrol banyak hal dengan bang Niko sampai tak terasa udah hampir jam 1 pagi. Kemudian kami cabut menuju ke gudeg ceker Mbah Mintoharjo yang hanya buka mulai jam 1 pagi dan jam 4 pagi udah ludes. Dan wow bang Niko benar-benar kalap. Kombinasi nasi gurih, gudeg, ayam kampung, sambel krecek, telur bacem dan cakar ayam membuat bang Niko lepas kendali. Sampai 3 kali dia nambah hhahaha, gue cuma bisa geleng-geleng. Gue yang tadinya gak lapar malah jadi ikut laper lihat kebrutalan bang Niko membantai makanannya. Ya wajar sih, makanan seperti ini aja belum tentu ada di Kota lain, apalagi di Italia sana haha.

Setelah kenyang, kami merokok dulu di luar sambil nunggu kalau kata orang nunggu makanan turun. Kali ini bang Niko minta rokok sebatang.

“Anjir baru 1 hari pulang, gue uda kalap makannya. Bisa ancur ini pola makan gue 10 hari disini haha.”

“Menurut gue nih bang, bang Niko nikmatin aja masa liburannya. Makanan-makanan yang abang pengen dan yang jelas gak ada di Eropa sono, udah bantai saja. Urusan gizi atau berat badan, nanti tinggal di bayar kontan di gym. Wahaha.”

“Hehehe bener juga lo. Kapan lagi gue bisa makan gudeg ceker, tengkleng, tongseng, bebek goreng sambal mentah, nasi liwer dan masih banyak lagi. Ah kota XXX memang warbiasa. Pantai ada, dekat gunung juga dan kulinernya juga ajib. Oke, besok gue mulai bikin list daftar makanan yang mesti gue hajar haha.”

“Gue temenin deh bang muter-muter.”

“Gak usah, lo minggu depan kan uda mulai UTS. Dan dari cerita elo, kalian semua mesti dapat nilai rata-rata tertinggi secara nasional karena 2 hal. Freepas ke pensi dan yang mungkin yang paling penting buat para siswa cowoknya adalah, kesempatan berkelahi melawan kelompok lain.”

Gue langsung terdiam saat bang Niko mengatakan hal tersebut.

“Mau sampai kapan elo Yos terlibat urusan berantem seperti ini? gak capek apa lo berkelahi mulu sedari SMP ? Bahkan ini sampai lo SMA malah terlibat hal yang jauh lebih berbahaya. Baik di sekolah maupun saat elo meladeni tantangan si Bram. Om Hendro sering cerita sama gue, karena dia mulai capek dan malu setiap kali ia dipanggil ke sekolah karena elo berkelahi di sekolah, malak murid lain dan melanggar aturan lainnya. Tanpa Om Hendro bilang pun, gue tahu kenapa ia bercerita ke gue. Karena beliau tahu kalau elo malah lebih nurut omongan gue daripada omongan bokap lo sendiri.”

Gue cuma terdiam tidak sangggup membantah omongan bang Niko. Karena memang benar semua perkataannya. Sedari SMP gue terlibat pergaulan yang cukup parah. Mulai dari ngentot ma cewe, ngrokok, ngebir, balapan liar, perjudian, pemalakan dan tentu saja tawuran, nyerang sesama anak geng motor yang jadi rival kelompok gue dan masih banyak “kejahatan” gue lainnya. Semua dosa udah lakuin semuanya. Cuma 1 hal yang bisa gue hindarin yakni pake narkoba, jangan sampai deh gue pakai tu barang. Dan bokap gue seperti bingung menghadapi gue. Jika ia main keras sama gue, dia khawatir gue bakal minggat dari rumah dan hidup di jalanan. Dan gue secara bangsatnya memanfaatkan kekhawatirannya dengan berbuat seenaknya. Asal gue tetap rajin ke sekolah dan dapat nilai bagus, seperti yang bang Niko bilang, bokap akan tutup mata.

“Gue pernah berada di posisi elo Yos, dimana darah muda gue cepat panas. Apalagi dengan tubuh sebesar gorilla ini, membuat gue cocok jadi tokoh antagonis. Elo tahu sendiri betapa brengseknya gue dulu. Kadang gue kepikiran bahwa sifat buruk gue tersebut, bakal menjadi contoh yang kurang baik buat elo. Gue sebagai abang justru menjadi panutan yang buruk buat elo. Dan ketika gue memutuskan pergi ke Eropa, selain ninggalin bonyok yang semakin berusia senja, gue juga kepikiran sama elo. Gue rada khawatir elo bakal makin gila karena gak ada yang sanggup ngawasin elo. Dan kekhawatiran gue terbukti saat tahu-tahu elo udah baku hantam sama teman gue di jalan tadi malam. Entah gue mesti sedih atau senang saat elo sendirian mampu meladeni keempat teman gue yang berusia jauh di atas lo. Dan saat elo menceritakan semuanya dimana elo udah terlibat berbagai peristiwa yang levelnya udah makin  berbahaya. Gue jadi semakin merasa bersalah. Gue gagal jadi seorang abang yang baik buat elo.”

Rokok bang Niko yang sudah habis, ia jentikkan ke jalanan lalu ia menatap gue. Anjing gue langsung memalingkan muka karena gak sanggup menatap bang Niko.Karena apa yang dikatakan bang Niko 100% benar. Bang Niko adalah panutan gue sebenarnya. Dia sering mengajak gue main. Entah main video games, main sepedaan, main layangan, nonton sepakbola di stadion, ngajarin gue renang dan masih banyak lagi. Singkat kata, gue menduplikat apa saja yang pernah bang Niko lakukan. Seperti ketika gue kelas 5 SD dan bang Niko kelas 3 SMP, bang Niko pernah melarang gue untuk datang ke pinggir sungai namun ia tidak menjelaskan apa alasannya. Padahal gue dan teman-teman sering main ke pinggir sungai entah untuk berenang atau kejar-kejaran. Karena penasaran gue pun mengikuti bang Niko tanpa sepengetahuannya. Ketika gue bersembunyi di antara pepohonan yang terletak di daerah yang lebih tinggi, gue bisa melihat bang Niko dan 4-5 orang temannya ternyata berkelahi dengan gerombolan orang yang jumlahnya lebih banyak. Dan untuk pertama kalinya gue melihat bang Niko begitu beringas ketika berkelahi. Sejak remaja dia memang sudah tinggi besar sehingga dengan mudah ia menghajar lawan-lawannya. Ada yang dipukul hingga pingsan, di tendang sampai muntah, dibanting ke tanah bahkan ada yang di angkat badannya lalu dilemparkan ke sungai.

Sejak saat itu, gue menempatkan bang Niko sebagai superhero gue! Dia benar-benar tidak terkalahkan! Lambat laun hal itu mempengaruhi kepribadian gue. Apa-apa main pukul duluan baru tanya, doyan berkelahi dan rupanya gue cukup tangguh juga kalau berantem. Karena ada perasaan bangga gue sebagai adik bang Niko, jadi pantang buat gue kalah berantem. Kepergian bang Niko memang membuat gue lepas kendali. Apalagi saat itu gue sedang demen-demennya balapan liar bareng sama Bram. Jadi saat bang Niko pergi, gue seperti menemukan panutan baru dalam diri Bram.  Dan kehidupan gue sempat kacau saat Bram mengkhianati gue. Hingga akhirnya kami adu nyawa. Ada perasaan lega dalam hati gue saat tahu Bram tidak meninggal, namun tentu saja gue sembunyikan rapat. Karena di mata teman-teman, gue adalah orang yang paling anti dengan Bram.

Ketika gue sudah mulai bangkit berkat Yandi, Zen, Vinia, Xavi, Rio dan tentu saja Dea, tiba-tiba Bram datang lagi dan membuat kekacauan dengan bilang ke kami bahwa ada mata-mata di antara teman kami. Tentu saja kami tidak percaya dengan omongan Bram.Namun ketika pada akhirnya terungkap bahwa Sigit dan Bembi adalah mata-mata Leo, membuat kebencian gue terhadap Bram goyah.

Bram, elo teman atau lawan??!!!

“Sebenarnya gue khawatir ketika lo mulai akrab dengan Bram, karena ini anak punya historis dengan SOPHOMORE, geng motor yang paling banyak musuh di kota ini. Tetapi karena gue percaya lo bisa pilih teman dan jaga diri, jadi gue bersikap santai. Hanya saja, lambat laun berdasarkan cerita elo, sifat Bram mulai terlihat aslinya.Dia orang licik yang menaruh tangan di 2 kelompok sekaligus. Dari awal lo cerita, gue bisa tahu kegelisahan elo. Lo pasti bingung bagaimana mesti bersikap menghadapi orang bermuka dua seperti Bram, iya kan?”

Gue mengangguk.

“Iya bang. Jujur gue masih bingung mesti bagaimana  bersikap ke Bram.”

“Begini Yos, kawan itu tidak selamanya bakal jadi kawan. Bisa jadi suatu hari nanti dia jadi lawan .Begitu juga sebaliknya, lawan itu tidak selamanya bakal jadi musuh. Bisa saja suatu hari nanti dia akan jadi orang yang menolongmu. Dan Bram sangat lihai memainkan 2 peran ini sekaligus. Gue akui, otaknya memang pintar bersiasat. Jadi saran gue selanjutnya adalah. Jadilah api ketika Bram jadi air. Dan jadilah air ketika Bram jadi api.”

Gue menoleh ke arah bang Niko. “Apa maksudnya itu bang?”

Bang Niko tersenyum lalu menepuk pundak gue lalu menjelaskan maksud perkataannya tadi.

“Apapun ucapan atau informasi yang diberikan Bram kepada kelompok elo, jangan lo telan mentah-mentah. Jangan mengambil sikap apapun. Tugas elo adalah berpikir sebaliknya dari segala hal yang ia ucapkan. Jadilah anti-Bram. Jika ia bilang kanan, elo harus jadi kiri. Dan sebaliknya.Cari informasi sejelas-jelasnya sampai lo dapat bukti. Saran-saran dari elo akan sangat menentukan buat kelompok lo. Inget, elo itu masuk ke SMA NEGERI XXX. Sekolah yang sejak dulu memiliki historis keras dimana status bajingan nomor 1 adalah status prestise. Dan gue mengenal beberapa bajingan lulusan SMA NEGERI XXX yang pernah menyandang status sebagai bajingan terkuat yang pegang semua SMA, SMK dan STM di Kota XXX. Jadi singkatnya adalah, elo mesti jadi filter buat teman-teman elo agar racun yang disebar oleh Bram tidak merasuk ke otak temen-teman elo.”

Anjing….Berat banget tugas gue.

“Fiuh, gue sih siap pasang badan buat teman-teman gue kalau berurusan dengan Bram. Namun gimana gue mencari tahu kebenaran perkataannya. Koneksi Bram itu luas. Dari ujung ke ujung Kota XXX, hampir semua bajingan kenal dan berkawan baik dengan Bram. Jadi bagaimana gue mencari tahu?”

Bang Niko tertawa tergelak mendengar keluhan gue.

“Lo lupa abang lo ini adalah mantan bajingan yang pernah pegang semua sekolah di Kota XXX? Teman-teman gue jauh lebih banyak daripada teman yang dipunya oleh Bram. Bukan cuma di kota XXX aja. Intinya lo gak usah bingung, gue bakal kontak teman-teman lama gue dan gue akan mengunjungi mereka nanti, mumpung gue sedang liburan di sini. Gue akan mengenalkan elo ke mereka. Sehingga ke depannya, kalau lo butuh informasi apapun yang berhubungan dengan bajingan, lo tinggal datang ke tempat mereka. Saat itu juga, jaringan mereka akan ngebantu elo dalam hal apapun. Informasi se-underground apa pun, akan bisa dicari tahu.”

Damn! Gue benar-benar lupa kalau gue punya abang mantan bajingan.

“Serius bang?”

“Santai saja, buat masyarakat Indonesia, semua orang boleh saja mengenal gue sebagai Nikolas Hermawan, bek muda yang bermain di Eropa. Namun di kalangan bawah tanah Kota ini, mereka masih mengenal gue sebagai Dragunov. ”

Dragunov adalah alter ego bang Niko saat masih jadi remaja paling di takuti di Kota XXX 3-4 tahun lalu. Julukan Dragunov karena kegemaran bang Niko main Tekkken. Dan ketika karakter baru bernama Sergej Dragunov diperkenalkan di Tekken 5:Dark Ressurection, bang Niko jatuh cinta dengan karakter Dragunov yang diceritakan anggota Spetsnaz Rusia yang memiliki gaya bertarung unik. Sejak saat itu kalau main Tekken, bang Niko selalu pake Dragunov.  Dan tidak ada yang bisa mengalahkannya.


Sergej Dragunov - Tekken

“Gue pikir liburan gue disini akan membosankan, tapi ternyata berkat elo jadi bakal menyenangkan haha. Pokoknya urusan Bram, anggap aja mudah. Ngerti?”

“Siap bang.”

Hoho, Bram. Akhirnya gue  punya “senjata” untuk melawannya, haha.

“Fiuh kalau ngomongin masa lalu gue yang penuh kekerasan, terkadang kangen juga. Adrenalin yang meledak-ledak. Sebuah perasaaan yang hanya bisa dikalahkan ketika gue mencetak gol untuk timnas dan penonton seiisi stadion langsung bergemuruh dengan hebat. Hanya saja….”

“Hanya saja apa bang?”

“Gue masih menyimpan perasaan penasaran.”

“Penasaran apaan?”

“Penasaran pengen mentuntaskan urusan siapa yang paling kuat, gue atau Boy dari geng Bloody Hell, geng edan dari sekolah lo dulu. Ketika nama Boy semakin banyak dibicarakan orang karena berhasil mengalahkan Anton dari STM XXX, gue udah memasuki masa ‘tobat’ jadi bajingan dan fokus ke sepakbola.”

Ya, semua pelajar sebaya dan juga di atas gue 2-3 tahun di Kota XXX tahu benar kedigdayaan Boy beserta Bloody Hell. Dia membuat semua bajingan dari semua sekolah di Kota XXX tunduk di kakinya, tanpa ada yang berani mendongakkan kepala di depannya. Pamor yang seolah menegaskan betapa superior-nya SMA NEGERI XXX di banding sekolah lain di Kota XXX. Sekolah yang seolah tanpa henti “melahirkan” bajingan-bajingan gila kekuasaan yang kesemuanya memiliki ambisi yang sama, menjadi remaja bajingan nomor 1 di Kota XXX.

”Kalau gak ada sepakbola, abang lo ini udah jadi penjahat kali haha. Berkat gemblengan Coach Daniel yang luar biasa keras, tenaga yang biasa gue pakai berkelahi di jalanan bisa dialihkan menjadi energi positif yang gue keluarkan di atas lapangan,” tambah bang Niko.

Ya memang sepakbola menjadi penyelamat bagi bang Niko dan gue masih tidak percaya seorang Dragunov bisa menemukan jati dirinya melalui olahraga yang paling di gandrungi oleh umat manusia.

“Yos, abang tanya satu hal. Jawab secara spontan tanpa berpikir panjang.”

“Tanya apa bang?”

“Cita-cita lo apa?”

Fuck!!

Gue tertegun mendengar pertanyaan tak terduga dari bang Niko. Sampai beberapa saat gue diam karena gue tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Pikiran gue blank.

“5 tahun ke depan, seorang Yosi Hermawan akan menjadi apa? Mahasiswa yang kerjaannya masih berantem dan sesekali kebut-kebutan di jalan?” ujar bang Niko.

Sambil menunggu gue bisa menjawab pertanyaan tersebut, bang Niko pergi ke toilet  yang berada di SPBU tidak jauh dari warung gudeg ceker mbah Mintoharjo.

Gue terpekur, pikiran gue berat. Gue benar-benar tidak tahu mau menjadi apa nanti. Bahkan saat gue mengingat-ingat cita-cita yang sering gue lontarkan saat SD, gue sama sekali tidak ingat. Sampai bang Niko balik gue masih bingung.

“Bang, jujur aja, gue udah lupa cita-cita semasa gue kecil dulu. Namun yang jelas sebentar lagi gue akan tahu, apa cita-cita gue.”

“Dari mana keyakinan lo berasal?”

“Seperti yang gue ceritakan di Cudicini malam tadi bang, saat ini gue berada di lingkungan pergaulan yang serba positif. Gue memiliki sahabat-sahabat luar biasa yang tidak membiarkan gue terjerumus sendirian, mereka benar-benar menunjukkan ke gue apa itu arti dari sebuah persahabatan yang tulus tanpa motif mementingkan diri sendiri. Dan sahabat gue si Yandi, adalah sahabat yang benar-benar tulus dan tidak sungkan untuk turun tangan sendiri untuk membantu gue. Dan untuk pertama kalinya gue berada di sisi kelompok yang ‘benar’. Yandi ini orang nya unik. Dia terlihat polos tetapi memiliki keberanian yang entah ada batasnya atau tidak. Semakin lama mengenalnya gue jadi semakin menghargai diri gue sendiri dan orang lain. Dan gue yakin tidak lama lagi, gue akan menemukan jalan hidup gue sendiri. Jalan hidup yang kalau orang lain menyebutnya dengan  ‘cita-cita’.”

Setelah gue mengucapkan hal ini, gue jadi malu sama diri sendiri. Karena teringat kejadian sore tadi saat gue bersitegang dengan Yandi.

Bang Niko tersenyum lebar.

“Kapan-kapan lo mesti kenalin ke gue sohib-sohib lo itu, terutama ke Yandi. Balik yuk udah jam 3 nih. Biar lo ada waktu buat tidur.”

Bang Niko lalu berdiri dan mengulurkan tangan, gue raih tangan bang Niko lalu ia menarik gue bangun.

Tangan yang dulu seringkali meminta gue untuk bangkit saat terpuruk, kini sekali lagi tangan tersebut terulur untuk memberikan gue bantuan.

Gue lalu mengantar bang Niko ke rumahnya. Dan gue hendak pulang dia mengucapkan 2 hal yang cukup membekas bahkan hingga gue saat ini hendak tidur.

Hal pertama adalah.

“Belajar dan persiapkan UTS sebaik mungkin. Biar gue dapat freepass nonton pensi di sekolah elo dan tentu saja, kalian dapat ‘freepass’ dari kepala sekolah kalian yang eksentrik.”

Hal kedua adalah.

“Cita-cita lo waktu kecil gue masih ingat jelas. Sewaktu lo kecil, lo selalu berteriak pengen jadi pembalap sambil bergaya di atas motor roda 3 kesukaan elo. Cita-cita lo adalah menjadi seorang pembalap. And you know what my lil bro? Di Italia, gue bersahabat dengan Antonio Gresini rekan setim gue di Cagliari Primavera. Antonio adalah anak bungsu dari Fausto Gresini. Ketika gue bercerita bahwa gue punya adik yang jago balap, dia mengundang elo ketika nanti ke Italia, untuk main ke sirkuit yang ada di Faenza, Bologna. Lo tahu kan siapa Fauto Gressini yang gue maksud?”

ANJING !! JELAS AJA GUE TAHU SIAPA FAUSTO GRESSINI !! DIA ADALAH MANTAN JUARA DUNIA DI KELAS GP 125cc. Dan setelah ia gantung helm, ia mendirikan pabrikan Aprilia Racing Team Grasini, yang bermain di 3 kelas. MotoGP, Moto2 dan Moto3.

Hiroshi Aoyama, Toni Elias, Marco Melandri dan almarhum Super Sic alias Marco Simonceli, almarhum Daijiro Kato adalah deretan pembalap tempaan Aprilia Racing Team Grasini.

Dan kalau gue gak salah dengar, dia mempersilahkan gue menjajal sirkuit lokal di Bologna kalau gue nanti ke Italia untuk mengunjungi bang Niko.

OH..MY…FUCKING…GOD…


****
@Backstage Pensi BIG BANG
Sesaat setelah selesai perform
****

Nafas gue masih menderu kencang, gila perasaan apa ini. Ini memang bukan kali pertama gue ngeband di sebuah event, namun yang barusan yang kami tampilkan di Big Stage benar-benar out of the world. Bukan hanya para penonton yang terbakar, kami yang main juga ikut terbakar. Emosi kami berempat ditumpahkan menjadi satu suara. Melihat reaksi penonton, gue rasa tujuan kami perform tercapai. Yakni kami XYZ siap untuk mengobarkan perlawanan melawan kelompok Oscar. Fuah, benar-puas rasanya main 4 lagu gila superkencang dan di akhiri dengan destroying act.

Namun sayang, bang Niko tidak bisa menonton perform gue hari ini. Karena kemarin dia mesti ke Jakarta untuk bertemu beberapa perwakilan dari asosiasi sepakbola di Negara ini. Meskipun acara bang Niko cukup banyak selama di Indonesia, dia ternyata masih sempat mengenalkan gue ke beberapa temannya yang tersebar di penjuru Kota XXX, beberapa waktu yang lalu.

Teman yang dikenalkan bang Niko macam-macam. Ada Trias, pemilik Distro JERK*OFF di distrik X1. Sadli, pemilik Cut&Cut Barbershop di distrik X2.Taka, tatto artist yang punya studio tato HEAD2HEAT di distrik X3 dan terakhir Sindu, pemilik Cafestoria di distrik X4.


Trias - JERK*OFF Distro


Sadli - CUT&CUT Barbershop


Taka - HEAD2HEAT Studio Tatto


 
Sindu - Cafestoria


Kesamaan mereka berempat adalah pernah menjadi rival bang Niko semasa mereka remaja yang haus akan pengakuan dan setelah lulus sekolah mereka berempat menjadi kawan dekat bang Niko. Mereka semua berasal dari berbagai SMA yang ada di Kota XXX. Bang Niko seolah membuktikan perkataannya bahwa lawanmu hari ini bisa jadi kawanmu selamanya. Saat mengunjungi mereka satu persatu, bang Niko memperkenalkan gue sebagai adiknya. Satu lagi kesamaan mereka berempat, mereka mempunyai jaringan informasi yang sangat kuat. Berita underground apapun yang menyangkut bajingan, mereka adalah orang yang patut dituju pertama kalinya.

“Mohon dibantu kalau kapan-kapan adik gue datang ke tempat kalian.Tapi kalau dia minta tolong yang aneh-aneh lo hajar aja haha.”

Begitulah cara bang Niko “memperkenalkan” gue ke mereka. Gue sebenarnya segan sih mau mengunjungi mereka kalau cuma ada maunya.Hanya saja, ketika minggu lalu Yandi mengumpulkan kami bertiga dan anak-anak XYZ, dia menyampaikan sesuatu yang menarik perhatian gue.

“Oia, terakhir. Ini gue mau kasih kabar ke kalian. Namun sayangnya ini bukan kabar baik. Melainkan kabar yang buruk. Berdasarkan informasi dari Feri dan juga pengamatan gue saat mendatangi Leo tempo hari. Oscar akan menggunakan 2 orang luar sebagai bala bantuan ketika nanti terjadi tawuran. Orang luar tersebut adalah alumni SMA NEGERI XXX yang baru lulus tahun kemarin. Mereka adalah Opet dan Ander, mantan anak buah Boy, pemimpin geng Bloody Hell. Gue bukan menakuti kalian, namun kedua orang tersebut sama kerasnya dengan Budi. Jadi bagaimana, masih berani melakukan gimmick ketika kami berempat main di pensi?”

Gue ingat ekspresi beberapa anak yang langsung pucat setelah mendengar penjelasan dari Yandi. Entah karena mendengar nama Opet dan Ander atau nama geng mereka dulu yakni Bloody Hell yang legendaris. Selain mendengar kisah kebringasan Bloody Hell dari teman dan bang Niko, gue belum pernah melihat langsung seperti apa Opet ataupun Ander apalagi Boy. Banyak orang-orang bilang sosok Boy itu misterius. Dia itu katanya pendiam dan tidak terlalu banyak menebar psywar ke lawan. Namun sekalinya beraksi, dia tidak segan menghajar orang sampai masuk rumah sakit dalam waktu yang cukup lama. Kalau Yandi bilang Opet dan Ander termasuk bukan bajingan sembarangan, berarti dia serius.

Karena gue diliputi rasa penasaran tentang Opet dan Ander, setelah selesai UTS gue main ke Cut&Cut Barber selain untuk potong rambut, sekalian mau ngobrol dengan bang Sadli karena dia adalah alumni SMA NEGERI XXX yang lulus 2 tahun yang lalu sehingga gue yakin dia tahu benar anak-anak Bloody Hell, terutama Opet dan Ander. Saat gue datang, untung tempatnya belum terlalu ramai dan bang Sadli lagi kosong jadi ia bisa turun tangan rapiin rambut gue. Bang Sadli ramah dan asyik juga sih, ia bertanya kabar beberapa para guru yang berkesan buat bang Sadli. Setelah 15 menit, rambut gue uda rapi dan terlihat ganteng. Ketika kami selesai, bang Sadli meminta gue mengikutinya ke lantai rukonya. Bang Sadli sepertinya tahu gue kesini bukan cuma sekedar potong rambut.

“Jadi apa yang bisa gue bantu Yos?” ujar bang Sadli sembari melemparkan Nescafe Capucciono kaleng dari dalam kulkas kepada gue. Dan minuman dingin tersebut gue tangkap dengan baik.

Oke sepertinya uda cukup basa-basinya. Bang Sadli duduk di sofa depan gue sambil membuka pin kaleng bir Bintang.

“Bang, kenal anak-anak Bloody Hell?” tanya gue terus terang.

Bang Sadli yang hendak meneguk minumannya, berhenti sejenak untuk menatap gue lalu meneguk minumannya dengan khidmat.

“Tahulah. Boy, pemimpin Bloody Hell kan adik kelas gue. Kenapa lo tiba-tiba nanya tentang Bloody Hell? lo mau cari info tentang Boy? Percuma.Gak ada yang tahu kabar dia. Setelah dia lulus SMA, dia pergi dari Kota XXX. Sehingga praktis Bloody Hell bubar dengan sendirinya.”

“Oh gue bukan mau nanya tentang Boy kok bang. Gue mau nanya tentang 2 orang yang kabarnya teman dekat Boy. Ander dan Opet.”

“Ander dan Opet ya? Hohoho, dua orang itu memang uda kayak pasangan homo. Kemana-mana selalu berdua. Kenapa, ada apa lo nanya tentang mereka berdua?”

Gue lalu menjelaskan dengan singkat tentang potensi konflik di sekolahan, namun tidak gue ceritakan dengan detail karena bagaimanapun bang Sadli adalah orang luar. Gue cerita bahwa ada kabar Oscar mengajak keduanya untuk ikut terlibat di konflik sekolah.

Bang Sadli cuma mengangguk-anggukan kepala sambil bersandar di sofa.

“Bisa jadi mereka memang datang kembali ke Kota ini karena ‘undangan’ Oscar, si blonde brengsek itu. Karena anak-anak sini cerita, melihat keduanya ada di Kota XXX. Gue malah salut tuh dua orang masih punya nyali nongol di Kota ini. Asal lo tahu aja Yos. Jika semua bajingan itu menaruh respek sama Boy karena kekuataannya, maka lain halnya dengan kedua teman Boy itu. Ander dan Opet itu [i]public enemy[/i] karena suka menyiksa lawannya dan kalau kalah duel, mereka akan bertindak pengecut mengeluarkan sajam andalan mereka. Satu-satunya tameng Boy dan Ander bisa seenak jidat mukulin orang entah dari sekolah sendiri atau orang lain karena ya faktor Boy. Namun ketika Opet dikeluarkan dari sekolah karena sudah menyerang siswa lain dengan pisau lalu ditambah dengan menghilangnya Boy setelah lulus, membuat Ander ikut angkat kaki dari Kota ini. Karena ia langsung di datangi beberapa orang yang menaruh dendam kepadanya.

Hanya saja, Ander tetap bukan bajingan sembarangan dan bukanlah kebetulan belaka kalau dia menjadi teman dekat Boy. Orang-orang yang coba menyerang Ander semuanya malah masuk rumah sakit lalu dia kemudian pergi dari Kota. Kabarnya dia lanjut kuliah di Kota TTT. Dia itu kuat, sangat kuat. Bahkan kalau gue bilang, Ander itu lebih sangar dibandingkan Opet. Gue bisa bilang Ander kuat karena gue pernah sekali bertukar pukulan dengan Ander karena dia bersikap belagu di depan anak kelas 3. Kami sama-sama mengalami patah tulang hidung di pukulan pertama.”

“Wuih abang pernah lawan Ander?Terus menang siapa?”

“Gak tahu karena kami langsung dilerai. Untuk pertama kalinya gue kena pukul orang dan langsung patah tulang hidung.”

Bang Sadli meletakkan minumannya di meja lalu mencondongkan badannya ke depan.

“Kalau benar, Ander dan Opet kembali lagi ke Kota dan ikut campur ke dalam masalah di sekolah. ’They break the fucking rules’,” ujar bang Sadli setengah berbisik. Dan nada suaranya seperti terdengar mengancam.

“Di jaman gue SMA dulu, semua bajingan yang sudah lulus tidak boleh ikut campur dalam urusan konflik di sekolah. Begitu mereka lulus, mereka sudah bukan bagian lagi dari konflik. Mereka sudah menjadi orang luar.”

“Apa? Siapa yang membuat peraturan seperti itu bang?”

“Ini memang bukan aturan tertulis, tetapi lebih ke ‘gentleman agreement’. Semacam etika buat para bajingan. Di jaman gue sekolah, itu aturan yang sakral. Namun sepertinya aturan tersebut sudah tidak berlaku di jaman kalian sekarang ini.”

‘gentleman agreement’…Apakah ada semacam hukuman buat alumni yang ikut campur urusan sekolahnya lagi bang?Ya dalam kasus gue nanti, hukuman buat Oscar, Ander dan Opet.”

“Mereka akan mendapat tag pengecut di jidat mereka. Dan semua bajingan di Kota XXX akan menjadikan mereka sasaran.”

“Sasaran semua bajingan di Kota? Maksudnya?”

“Kalau nanti pecah tawuran di sekolahan dan terbukti Ander, Opet ikut campur. Berita keterlibatan keduanya gue yakin akan cepat menyebar di Kota XXX. Bajingan dari semua sekolah SMA, STM, SMK akan mengincar mereka. Sudah tidak ada lagi perhitungan satu lawan satu ataupun pertarungan tangan kosong. Satu-satunya cara menghindari penghakiman seperti ini adalah segera pergi dari Kota XXX secepatnya. Khusus untuk Oscar, kalau dia memang yang sengaja mengundang orang luar, Kalaupun dia tidak pergi dari Kota XXX, dia akan dikucilkan dan tidak akan pernah mendapat respek dari semua orang. Yos, di dunia itu cuma ada dua tipe pemimpin. Pemimpin yang ditakuti dan pemimpin yang mendapat respek dari pengikutnya. Rasa takut memupuk kebencian, sementara respek menumbuhkan loyalitas.”

Luar biasa perkataan bang Sadli yang terakhir barusan.

“Ander, Opet tahu benar resikonya jika nekat ikut campur sesuatu yang sudah bukan ranah mereka lagi. Gue yakin Oscar memberikan mereka penawaran yang tidak bisa mereka berdua tolak.Yos, mereka berdua itu binatang liar. Mereka berbahaya, beringas dan tidak kenal ampun. Ini gue ngomong jujur apa-adanya.”

“Tentu saja, tidak mungkin Oscar mendatangkan bantuan yang receh. Oke, bang sepertinya apa yang perlu gue ketahui tentang Ander dan Opet sudah cukup jelas. Maaf uda ngrepotin elo bang.”

“santai saja Yos.”

Ketika gue mau mohon diri, tiba-tiba bang Sadli bertanya sesuatu.

“Teman atau pemimpin yang elo bela di dalam kelompok lo, siapa namanya? Dan dia termasuk tipe yang mana Yos?”

Gue tersenyum, karena itu bukan pertanyan yang susah. Justru ini yang paling mudah.

“Namanya Yandi. Dia adalah seorang teman yang luar biasa. Inisiatif, ketulusan, keberanian yang dia miliki membuat ia memiliki karisma sebagai pemimpin kelompok yang dihormati oleh semua teman-temannya. Dia tipe teman yang  selalu datang pertama kali untuk menawarkan bantuan ketika tahu ada temannya yang kesulitan.”

“Hoho. Nice. Oia nama kelompok elo apaan?”

“XYZ bang!” jawab gue bangga.

Bang Sadli tersenyum sambil mengangkat kaleng birnya. “XYZ. Gue akan ingat,” ucapnya sambil meneguk isi kaleng birnya.

“Sebelum lo balik, gue mau kasih saran. Mau lo pakai atau engga, terserah. Dulu sewaktu SMA, Ander baru memulai proses penggimbalan rambut. Masih pendek. Biasanya orang yang mau pakai gaya rambut gimbal atau dreadlock akan terus memanjangkan rambut. Coba nanti kalau lo ketemu, lo perhatikan Ander. Kalau dia masih setia di model dreadlock, kalau lo misal terpaksa mesti berhadapan sama dia. Lo punya kesempatan menang,” tambah bang Sadli.

“Apa…hubungannya rambut Dreadlock dengan peluang gue menang lawan Ander bang?”

“Yos, lo tahu kenapa tentara atau pasukan khusus mengharuskan anggotanya berambut cepak nyaris plontos?”

“Hmm…biar rapi mungkin.”

“Haha ngawur. Lo pikir mereka itu pekerja kantoran yang mesti tampil rapi. Tentara salah satu tugasnya yakni mesti siap bertarung dengan musuh Negara, baik adu tembak maupun adu baku hantam di medan perang. Dan sekuat apapun tentara, kalau rambutnya panjang. Dia bisa kalah konyol. Kenapa? Namanya medan perang kan urusan hidup mati. Lawan akan menggunakan segala cara untuk menang. Salah satunya dengan memanfaatkan rambut lawan yang panjang. Orang bisa tahan pukul, tetapi tidak ada yang tahan ketika rambutnya di renggut oleh orang lain. Karena kulit kepala akan tertarik sehingga menimbulkan rasa sakit yang luar biasa dan selanjutnya ia akan rentan terkena serangan fatal. Kalau sudah begitu, habis sudah riwayat tentara berambut panjang.”

“Jadi….gue mesti menjambak rambut…Ander….kalau gue berhadapan sama dia, begitu bang? Jambak-jambak rambut kek cewek berantem dong.”

Bang Sadli tersenyum. “Seperti yang gue bilang tadi diawal. Terserah elo. Mo pake cara yang keliatan pengecut seperti itu atau tetap pake cara frontal. [i]sorry to say[/i], elo bukan tandingan Ander. Lo gak akan menang kalau Cuma adu keras sama dia. Kalaupun elo nanti terdesak dan akhirnya mengincar rambut panjangnya, itu juga bukan hal yang mudah. Bajingan yang doyan berantem seperti dia, pasti tahu benar resiko memiliki rambut dreadlock dalam situasi perkelahian. Itu saja nasihat dari gue. Semoga beruntung.”

Nasihat dari bang Sadli yang terus terngiang di kepala gue hingga saat ini.

Dan ketika di akhir perform XYZ di Big Stage, kami beradu pandang dengan kelompok Oscar. Gue bisa melihat dengan jelas kehadiran 2 orang asing di dekat Oscar. 1 orang berambut kuncung pendek dengan wajah penuh codet dan satu lagi, berambut Dreadlock sebahu. Fix itu Opet dan Ander. Dan aura mereka berdua….mereka bukan orang bajingan biasa saja.

Bangsat. Dasar Oscar pengecut ! umpat gue dalam hati.

***

Beberapa jam kemudian…

Heloo State Highschool XXX!! Are you ready to rock with us? tanya Hayley William menyapa para penonton ketika lampu di Big Stage yang semula remang-remang kini menyala terang. Hayley yang kini berambut blonde yang dibiarkan tergerai, tanktop warna putih, hot pants hitam, sepatu kets nampak bersemangat menyapa kami.

Gue berada di antara ratusan orang yang berteriak. “YEEEAAHHHHHHHHH!!”

“I can’t hear you guys. Once again, answer me. ARE YOU READY TO ROCK WITH US?” tanya sang vokalis Paramore sambil mengarahkan mic nya ke arah kami para penonton. Dan Zac Farro yang berada di balik drum, menggebuk snarenya untuk memanaskan suasana. Dan tentu saja, kami berteriak sekeras-kerasnya, jauh lebih keras daripada teriakan kami yang pertama.

“YEAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHHHH!!”

Dea yang berada di depan gue juga ikut terbawa heboh sehingga ia ikut berteriak. Wow, belum juga main satu lagu, uda parah serunya.

“Haha awesome. Ok, Taylor, play your guitar. LET’S HAVE FUN !” seru Hayley kepada gitaris utama Paramore, Taylor York yang terlihat cool mengenakan kaos hitam tanpa lengan, jeans belel warna biru dan sepatu Converse. Untuk bassis, Paramore menggunakan additional player semenjak Jeremy Davis mundur dari Paramore. Begitu di bagian gitar dimana Josh Farro juga pergi dari band. Namun siapapun additional yang mereka pakai saat live, selalu keren sih.

Taylor langsung menjawab dengan memainkan intro lagu Ignorance. Ah salah satu lagu kesukaan gue jadi lagu pembuka !! Gue dan Dea larut dalam buaian musik Paramore.


Setelah Ignorance selesai, satu persatu lagu-lagu andalan Paramore dibawakan. Berturut-turut Decode yang menjadi salah satu OST film Twilight, Told You So, single kedua di album terbarunya, lagu lama That What You Get dibawakan dengan gegap gempita. Hayley seakan tidak kenal lelah bernyanyi sambil melompat dan berlarian di stage.

“Fiuh, are you still there guys?” tanya Hayley kepada kami. Ia berhenti sejenak untuk meminum air dari botol mineral .

“Yeaaahh.” Jawab kami serempak.

“It’s pretty hot in here, but you guys rock ! full of energy ! we can feel it. Thank you.”

Kami bertepuk tangan memberikan semangat kepada Paramore, cuaca memang panas malam ini. Sudah lama Kota ini tidak diguyur air hujan. Sehingga Pak Tomo sepertinya tidak perlu repot-repot menyewa pawang hujan.

Okay next song is from our fourth album. Still into You. Sing a long with me.”


Ah ini lagu cinta. Sweet banget liriknya. Gue pun mengeratkan pelukan gue kepada Dea yang sudah menyandarkan tubuhnya kepada gue. Kedua tangan gue melingkar di perutnya. Gue bisa mencium wangi rambutnya yang khas.

“Geli,” ucapnya ketika gue mencium telinga kanan yang tertutup rambutnya.

“Ah kan gak kena langsung.”

“Nakal.”

Gue mengecup rambut belakang Dea ketika lagu Still Into You sampai di bagian reff.

“Cause I don't really need to wonder at all
Yeah after all this time
I'm still into you”

Dan Dea menggenggam jemari gue. Dea, dia pacar yang..Hmm, gue baru sadar. Bahwa kami tidak ada proses jadian dimana gue menyatakan cinta Dea lalu Dea menjawabnya gue. Namun peristiwa di pantai beberapa bulan lalu, sudah lebih dari sekedar ungkapan perasaan.

Tepuk tangan dari kami berderai ketika Paramore menyelesaikan Still Into You. Selanjutnya beberapa lagu lama seperti Crushcrushcrush,Brick By Boring Brick dan Ain’t It Fun dibawakan Paramore, membuat semua penonton kegirangan. Semangat yang ditunjukkan Hayley di atas Stage, menular ke semua penonton. Padahal dari pagi mayoritas penonton sudah berdatangan dan mencapai puncaknya saat sore tadi Hantaman perform.

Keren-keren sekolah gue. Bangga.

You’re crazy...we Paramore very happy to come here dan having fun together with you guys!  TERIMAKASIH. So this is gonna be our last song.”

Teriakan Huuuuuuuuuuu panjang terdengar saat Hayley bilang sebentar lagi mereka akan memainkan 1 lagu terakhir. Hayley dan member Paramore lainnya tertawa dan bertepuk tangan. Gue lalu melihat salah satu kru memberikan gitar akustik kepada Taylor. Gue tahu mereka akan memainkan lagu apa sebagai penutup.

“De..Ini lagu buat elo,” bisik gue.

Dea menoleh ke belakang dan tersenyum.

Selanjutnya para penonton berteriak saat Taylor mulai memainkan gitar akustiknya.


Tak lama setelah lagu selesai, semua personil Paramore berdiri bersama Hayley dan melambaikan tangan kepada kami semua. Sontak gue dan ratusan penonton lain langsung serempak berteriak.

“WE WANT MORE ! WE WANT MORE ! WE WANT MORE!”

Dan lampu di Big Stage pun padam. Para penonton masih keukeuh berteriak berharap ada encore dari Paramore. Namun sampai 5 menit berlalu, tidak terjadi apa-apa.

“Yos, mundur yuk. Gue haus,” pinta Dea yang sudah berbalik badan dan memeluk gue.

“Bentar, tunggu bentar lagi. Gue yakin ada bonus 1 lagu lagi, encore.

“Udah gak ada kali, betah amat sih ngliatin paha Hayley. Seksian paha gue kali.” Dea mencubit hidung gue.

Gue lalu berbisik ke telinga Dea.

“Iya jelas, apalagi kalau paha elo ngangkang lebar depan gue.”

“Hahahaha,” Dea tertawa tergelak lebar sambil menutupi mulutnya.

“Tapi kalau elo uda capek, yaudah yuk beli minuman. Sebentar lagi ada pesta kembang api sebagai penutup.”

Dea mengangguk. Baru juga gue gandeng tangannya tiba-tiba terdengar solo drum yang powefull dari atas Big Stage. Gue lihat Zac Farro mendapat sorotan khusus dari tim lighting sementara suasana stage tetap dibiarkan gelap. Sehingga semua mata menatap ke arah Zac.

“Yeahhh !! Ada Encore!” Gue berteriak karena girang.

Para penonton yang tadinya mulai mundur kembali maju mendekati pagar pembatas. Di tengah solo drum Zac, tiba-tiba lampu kembali menyala terang dan ketiga personil Paramore berlarian ke tengah panggung. Tanpa banyak kata Hayley langsung kembali memanaskan suasana dengan lagu Misery Business.


Sekali lagi, kami berdansa dengan sangat riang! Kami terus ikut bernyanyi sepanjang lagu!

Tepuk tangan yang sangat panjang dan lamaaaaa bergemuruh saat Paramore menyelesaikan lagu penutup. Kelima personil Paramore berdiri di tepi stage dan bertepuk tangan, melambaikan tangan kepada kami.

“THANK YOUU GUYS!!!! STATE HIGH SCHOOL XXX !! YOU’RE AWESOME !!! SEE YOU NEXT TIMEEEE !! AND HAPPY NEW YEARRRR !!!!” seru Hayley.

Dan ketika semua personil Paramore sudah menghilang ke backstage, terdengar suara berdesing panjang di udara. Dari atas Big dan Bang Stage meluncur puluhan kembang api ke langit !! Desingan tersebut lalu berubah menjadi letusan kecil yang meledak di udara dan membentuk kembang api berbagai warna yang menghiasi langit malam.

YAA PESTA KEMBANG API TELAH DIMULAI !!

Ini menjadi penanda bahwa BIG BANG SMA NEGERI XXX telah usai dan luar biasa berkesan !

Tiba-tiba Dea mengalungkan tangannya ke leher gue dan mencium bibir gue.

Di antara desingan, letusan pesta kembang api di atas sana, kami berciuman dengan lembut.


****
@ Rumah Zen
2 jam sebelum malam pergantian tahun baru
****

“Pokoknya, besok siang gue telpon, elo mesti angkat. Gue gak mau tahu. Pokoknya mesti lo angkat.”

“Iya, santai aja. Gue bakalan baik-baik saja. Bahkan kalau perlu gue yang telepon elo duluan besok.”

“Janji?”

“Iya, janji. De, lo jadi pergi sama abang elo ke pantai Nibiru ?”

“Jadi. Bentar lagi jalan. Bang Dedi lagi mandi.”

“Yaudah, hati-hati. Ini gue masih di rumah Zen.”

“Gue sih pasti aman sama bang Dedi. Lo tuh yang mesti hati-hati. Yang lain malam tahun baru pada senang-senang. Elo dan kelompok lo malah mau tawuran. Dasar bajingan...”

Gue tertawa keras mendengar perkataan Dea. Ini yang gue suka dari Dea. Dia ngomong apa adanya, gak pake istilah Aku-Kamu. Dan gue juga cerita apa aja ke dia tanpa harus jaim. Mungkin karena kesamaan ini, membuat kami cocok satu sama lain. Dan tanpa gue menjelaskan panjang lebar, Dea tahu kalau gue terlibat dalam konflik di sekolahan. Dan gue gak mungkin memilih bersenang-senang dengannya di malam tahun baru sementara anak-anak XYZ tawuran sama kelompok Oscar cs. Cuma sekali bilang, Dea langsung paham posisi gue. Karena gue sibuk sendiri, Dea bilang bang Roni mengajak pergi malam tahun baruan di pantai Nibiru.

“Iya, gue bajingan. Bajingan tapi setia.”

“Setia. Setiap tikungan ada toh. Cie, lo mau gombalin gue tumben. Gak cocok elo ah bicara sok manis ke gue Yos. Gue malah aneh dengarnya hihi.”

“Besok kita jalan-jalan.”

“Iya, gampang. Yos. Umm...”

Suara Dea tiba-tiba berubah pelan.

“Apa?”

“Jaga diri. Baik-baik. Jangan paksa diri lo melebihi batas.

“Iya. Lo percaya sama gue kan?”

Dea terdiam tidak menjawab omongan gue.

“Iya gue percaya sama elo. Yadah sana, ini bang Roni uda siap-siap. Bye.”

“Bye.”

Klik.

Sambungan telepon terputus. Gue tersenyum. Meskipun terlihat cuek dan biasa saja, Dea tahu benar. Tawuran nanti malam di aula sekolah bisa benar-benar totally chaos. Ratusan bajingan berkumpul jadi 1 ruangan besar dan menumpahkan emosi yang sudah lama ditahan-tahan.  Tidak aja jaminan, kami semua masih bisa berpikir logis ketika menghantam lawan dengan kekuatan penuh. Intinya, semua orang bisa lepas kendali.

Xavi. Gue langsung ingat teman gue yang satu itu.

Gue lihat Xavi lagi ngobrol dengan Zen.

Asli, khawatir juga gue sama itu bocah, meskipun gue tahu dia sekarang bisa membela diri dan bisa menang lawan Sigit. Tetapi tawuran itu beda dengan berantem satu lawan satu. Situasi bakal pecah banget. Apalagi dia kemarin masih meringis kesakitan karena cedera di tulang rusuknya kambuh gara-gara gebuk drum kayak orang kesurupan. Gue lihat sekeliling. Beberapa anak nampak tegang wajahnya, terutama di wajah beberapa anak yang baru gabung ke XYZ.

Sementara Yandi gue lihat malah asyik baca koran sambil minum teh. Gak ada raut muka serius atau tegang. Seolah tawuran di depan mata bukan sesuatu yang pantas di khawatirkan. Tapi gue malah suka sikap Yandi yang tenang, karena sedikit banyak ketenangan Yandi merambat ke anak-anak XYZ yang sudah lama nongkrong bareng kami.

“Cuy,” kata gue menyela pembicaraan antara Zen dengan Xavi. Keduanya menatap gue.

“Udah selesai lho telpon-telponan sama bebeb?” goda Xavi.

“Kampret lo.”

“Ada apa Yos?” ujar Zen.

“Kalian sudah tahu kan yang mana Ander dan Opet?” tanya gue kepada mereka berdua.

“Tahu. Opet yang bercodet. Ander yang berambut gimbal. Penampilan keduanya sangat mencolok. Kenapa Yos?” tanya Zen.

“Nanti di aula, sebisa mungkin hindari konfrontasi dengan keduanya. Mereka berbahaya. Biar mereka berdua jadi urusan anak kelas 3.”

Xavi terdiam. Sementara Zen menjawab singkat, padat dan jelas. “Buruan utama gue cuma 1. Budi.”

“Yos, kalau misal...Misal aja lho ya. Anak kelas 3 seperti Deka, Jati dan Darma kalah duluan lawan keduanya. Dan dari anak kelas 1 tinggal gue, Yandi, Zen dan elo, gimana tuh?”  tanya Xavi.

“Kalau situasinya udah seperti itu, mau gak mau kita mesti hadapin mereka lah,” tegas gue.

Xavi lalu melamun, sementara gue lanjut ngobrol dengan Zen. Gue jelasin semua yang gue tahu tentang background Ander dan Opet. Zen menanggapi sesekali sambil mengeluarkan sebatang rokok dan menghisapnya. Kalau Zen sih, gue gak perlu khawatir.  Dia  bisa jaga diri. Justru gue malah khawatir sama Budi. Memang aneh, gue justru mengkhawatirkan Budi daripada Zen.

Tatapan mata Zen terlihat “buas” ketika ia menyebut nama Budi sebagai sasaran utamanya. Gue juga khawatir Zen akan benar-benar serius dengan ucapannya kemarin, dimana ia bilang akan membunuh Budi.

Situasi yang tadinya serius tapi santai mendadak menjadi menegangkan ketika melintas segerombolan pemotor di jalan raya dekat rumah Zen. Puluhan pengendara motor yang sepertinya konvoi, melambatkan laju kemudian ngegas-ngegas sambil menatap ke arah kami semua.

“BRUMMM !!! BRUM  !!! BRUMMM !!!!”

“TINNNN....TIIIIIINNNNNNNNNNN.......TINNNNNNNN!”

“MATIIIII KALIAN SEMUA HAHAHAHAHAHA!” teriak salah seorang di antara mereka.

Suara knalpot motor yang bising dipadu dengan suara klakson bersahut-sahutan seperti sengaja ditujukan kepada kami.

“Bangsat. Mereka anak-anak kelas 2,” terang Riko.

Saat beberapa anak mulai bereaksi dengan provokasi dari anak kelas 2 yang melintas, gue meminta mereka tetap tenang.

“Santai, kalem. Gak usah emosi, belum..belum saatnya. Gak usah kalian ladenin. Kalian cukup tandain wajah-wajah mereka. Nanti kita bayar lunas di dalam.”

Seiring dengan menghilangnya anak kelas 2 dari pandangan, anak-anak mulai tenang. Dan kemudian bonyok Zen keluar dari rumah. Mau jalan-jalan ke kota menikmati malam tahun baru dan pesta kembang api, ungkap tante Judit, nyokap Zen. Seiiring dengan kepergian bonyok Zen, kami menjadi lebih leluasa mengobrol. Setelah beberapa saat, anak-anak makin gelisah. Kepulan rokok makin banyak dan entah sudah berapa banyak puntung rokok berceceran di halaman rumah Zen. Gila, belum apa-apa uda pada ngrokok kayak uap kereta api. Bisa-bisa tenaga mereka cepat nge-drop di saat pertunjukkan utama baru dimulai. Tawuran itu capek, karena lawan bisa datang seakan gak ada habisnya. Gue mau nasehatin mereka tetapi ah udahlah.

“Woi Yan, diem aja lu dari tadi? Udah mau jam setengah 12 nih,” seru gue kepada Yandi untuk memecah kebisuan di tengah kepulan asap rokok.

“Kamu ribut amat sih Yos. Ganggu orang lagi baca Koran aja,” jawab Yandi setelah sekian lama berdiam diri. Ia melipat koran yang tadi ia baca kemudian ia taruh di atas meja.

“Jadi gini, aku mau tanya sesuatu kepada kalian semua. Dan aku harap tidak usah malu untuk menjawab jujur.......”


***

Di dalam aula….

“Oke. Eh by the way, ini pada diem-dieman, malah membuat semua orang jadi grogi,” ungkap Xavi pelan.

Langsung gue jawab. “Justru ini menjadi pertanda bahwa tawuran ini bakalan jadi tawuran yang berbahaya. Terakhir gue tawuran dimana kedua kelompok diam ga ngebacot, hasilnya epic karena emosi yang tertahan meledak sekeras-kerasnya.”

“Lalu....sampai kapan kita diem-dieman?” tanya Xavi lagi.

“Tunggu saja, momennya sebentar lagi,” gue jawab kegelisahan Xavi sembari melepas jaket dan penutup kepala. “Gerah juga lama-lama.” Gara-gara ratusan berkumpul jadi satu di aula, membuat udara jadi panas dan pengap.

“Momen apaan sih, gak ngerti gue?” tanya Xavi lagi.

Hadeh ini anak. Gue melihat jam tangan gue. 23.54. 6 menit menuju tengah malam yang sekaligus menjadi penanda Tahun yang baru telah datang dan juga era baru buat kami, XYZ !!

“Pasang telinga baik-baik, sebentar lagi,” tegas gue.

Gue melihat gerombolan Oscar yang jauh lebih banyak daripada orang yang berada di sisi yang sama dengan gue. Namun gue gak takut, justru gue bangga bisa melewatkan malam tahun baru dengan sobat-sobat gue. Gue pemanasan sedikit, merenggangkan badan ke atas dan ke samping. Kalau Zen sudah pasti mengincar Budi, kalau gue gak ada target spesifik setelah Bram mundur dari konflik. Sehingga ketiadaan Bram membuat gue cuma mentarget membantai lawan sebanyak yang gue bisa.

Akhirnyaa ! Aba-aba yang kami tunggu terdengar nyaring di luar sana. Aba-aba berupa pesta kembang api yang menjadi pertanda Tahun yang baru yang telah.

Kubu Oscar berteriak keras, kubu kami pun menjawab dengan teriakan yang lebih keras.

Teriakan itu seperti menyalakan mesin dalam diri kami semua.

FINAL CLASH IS ON !!

“Siap-siapp Sapiiiiii !! WOHOOOOOOOOO !!! AYO SERANGGGGG !!!!” teriak gue sambil menepuk pundak Xavi.

Gue berlari mendahului rekan-rekan yang lain.

Bunyi saat kedua kelompok akhirnya bergesekan dan bertabrakan membuat suasana makin gila. Anak kelas 2 yang berada di depan gue meloncat menerjang ke arah gue, berharap ingin menghabisi gue secepatnya.

Lo salah pilih lawan cuy ! Karena gue yang lebih dulu menerjang sembari memukul perutnya. Dia langsung terjatuh bergulingan dan membuat beberapa temannya yang berada di belakang tersandung. Dua orang yang tersandung kehilangan keseimbangan dan limbung ke arah depan. Tentu saja langsung gue sambut dengan ucapan selamat tahun baru, berupa dua pukulan ke arah mulut mereka.

BAM !! BAM !!

Mereka berdua kesakitan memegangi mulut namun masih berdiri. Lawan di kiri gue pukul sekali lagi dengan tinju kanan yang membuatnya ambruk. Sementara lawan di kanan, gue tendang perut sampingnya sampai ia meliuk dan roboh.

“Tetap di bawah !” hardik gue.

BLUGH ! Gue terdorong ke depan nyaris jatuh saat ada yang menendang punggung gue dari belakang. Anjir, sakit tahu !

Gue langsung seruduk perut orang yang sudah menendang gue. Kami terjatuh di lantai dalam posisi gue menindihnya.

“Bangsat lu !” pekik gue.

Gue hantam  beberapa kali wajahnya, ia mencoba menutupi mukanya. Namun ia tidak cukup kuat untuk menahan rentetan pukulan gue.

Beberapa pukulan bersih gue masuk telak! Membuat bibirnya berdarah dan wajahnya lebam. Ia lalu pingsan karena pukulan beruntun gue membuat belakang kepalanya berbenturan dengan lantai aula. Setelah dia pingsan gue lalu memburu lawan yang lain. Berikutnya tiga atau empat orang berhasil gue buat pingsan. Kulit di buku-buku tangan gue sudah memerah  terkelupas karena entah berapa banyak gue pakai untuk memukul lawan yang terus datang.

Gue berhenti bentar dan terengah-engah. Ambil nafas dulu.

“Yos.”

Gue menoleh ketika ada orang yang memanggil gue dari belakang. Namun satu pukulan telak mengenai pipi gue dan membuat gue limbung. Orang yang memanggil gue tadi yang ternyata memukul gue.

“Main sama gue yuk. Udah cukup kan elo pemanasan,” katanya.

Gue melihat jelas orang yang memukul gue barusan.


Satya, hoho. Dia salah satu teman dekat Bram.

“Boleh, eh kenapa lo pake masker mulu sih? Elo kena penyakit flu stadium 4 atau jangan-jangan gigi lo tonggos ya hahaha.”

Gue mencoba membuat Satya panas, gue sih tahu dia itu sebenarnya gak tonggos.

“Hmm, garing lu. Udah sini maju,” tantangnya sambil memasang sikap waspada dengan menaikkan kedua tangannya yang sudah terkepal.

“Oh, gue dulu nih yang nyerang, oke.  Jangan nyesel lho. Gue udah panas sedari tadi.”

Gue lalu langsung merangsek, satu dua pukulan gue berhasil Satya elakkan. Satya menyerang balik dengan meninju dada gue. Nafas gue langsung sesak karena kerasnya pukulan. Saat Satya ingin memasukkan  satu lagi pukulan ke badan, gue langsung tarik  kerah bajunya ke arah gue. Giliran Satya yang meringis kesakitan saat perutnya gue adu dengan ujung tempurung lutut kanan gue. Namun saat gue hendak menyerangnya lagi.

“Ughhh!”  

Itu bukan erangan kesakitan Satya, namun itu erangan gue. Bagaimana tidak, Satya menanduk rahang gue dari bawah.

SAAKIITTTT !! Gue sampai terhuyung ke belakang, hantaman di rahang membuat gue luar biasa pusing. Satya memanfaatkan hal tersebut dengan menyerang gue. Gue cuma bisa menangkis semampu gue, bangsat. Rasa pusing semakin menjadi, satu pukulan Satya akhir masuk mengenai hidung gue.

Sepertinya pukulan barusan justru mengembalikan kesadaran gue yang sempat nyaris hilang. Hidung gue perih, sepertinya ada darah mengucur. Untung gak patah hitung gue. Satya yang mengira gue akan rubuh, melancarkan tinju kiri.

PLAK !

Gue tersenyum sementara Satya mendelik kaget saat tinju kirinya gue tangkap dengan tangan kanan.

PLAKK!

Satya makin kaget karena tangan kanannya juga gue tangkap. Kini kedua kepalan Satya berada dalam genggaman gue. Gue langsung remas dan tekan ke bawah, membuat Satya mengerang kesakitan. Badannnya turut merespon dengan ikut merosot ke bawah.

“Arrghhhhhhh ! Sakit anjinggg! Tangan guee!” teriaknya.

“Kalau gak mau sakit, sana main kembang api di luar. Nih balesan atas tandukan lo tadi. Ayo mana yang lebih keras, muka lo atau  lutut gue!”

Gue lalu melepas kepalan tangan Satya dan memegang kedua lengannya. Karena gue melakukannya dengan cepat, membuat Satya lamban bereaksi.

“MAKAN NIH ANJING !”

Gue tarik sekuat tenaga lengan Satya hingga ia terdorong ke arah gue, di saat yang sama gue mengarahkan tempurung lutut kiri  ke mukanya.

BLAM !!!!!

Tidak usah ditanya lagi, muka vs lutut, mana yang lebih keras. Satya pingsan mengelepar di lantai. Maskernya lalu memerah. Gue mendekati Satya dan gue buka maskernya, biar dia bisa nafas dan gak mampus kesedak darah dari dalam mulutnya.

Tidur yang nyenyak njing, kata gue sambil menepuk kepalanya.

Gue melihat sekeliling, di sekitar gue masih banyak perkelahian. Sangat riuh ! Gue melihat satu pemandangan tidak enak saat Heru secara beruntun memukul Riko dan Bagas sampai keduanya tidak mampu berdiri lagi. Si brengsek Heru!! Sementara itu gue juga melihat Zen dengan Budi sedang adu pukul, gue lihat Zen mampu mengimbangi Budi ! Yeah !!  Gue melihat yang lain. Dan gue terperanjat kaget karena melihat Yandi sedang dihajar Opet. Yandi melindungi kepalanya dengan kedua lengan. Gawat, sepertinya Yandi terdesak !

ANJING !!!

LO NGAPAIN LAWAN OPET SIH YAN!! Saat gue hendak menolong Yandi, gue lihat justru Opet berdebum jatuh setelah Yandi menyapu kaki Opet. Ekspresi Yandi terlihat cool. Haha. Nice counter Bro !

Xavi !!

Tiba-tiba gue teringat Xavi. Setelah melihat dengan seksama, gue lihat Xavi tengah terpojok rapat ke dinding. Terlihat ia sudah kepayahan dengan muka lebam. Tidak jauh dari Xavi ternyata ada 3 orang anak. GAWAT MEREKA BERTIGA HENDAK MENGEROYOK XAVI !!

Tanpa pikir panjang gue langsung berlari. Satu orang gue tendang punggungnya, sisanya gue pukul. Mereka langsung merangkak pergi sembari memegangi mulutnya yang berdarah.

Raut wajah Xavi yang semula tegang langsung berseri-seri melihat gue datang menolongnya.

“Sori gue sibuk tadi di sana, gimana lo masih hidup kan?” kata gue sambil nyengir.

“Gue baik-baik saja.”

“Kalau udah gak kuat, lo jangan di situ. Rawan di serang.”

Gue mendatangi Xavi, membantunya berdiri lalu memapahnya ke samping, dekat 3 anak XYZ yang sudah babak belur.

“Yandi dan Zen, dimana mereka?” tanya Xavi setelah ia duduk bersandar.

“Entahlah, terakhir gue lihat Yandi sedang battle sama si codet, sementara Zen lagi bunuh-bunuhan sama Budi.”

“Serius Yos? Yandi lawan si codet yang dulu pernah masuk penjara anak karena menusuk Axel? Zen bunuh-bunuhan sama Budi?”

Gue mengangguk dan ia melihat sekeliling. “Eh itu David anak kelas 2, yang pingsan?”

“Iya Yos, Xavi yang ngalahin David,” papar Abas.

“Gila, bangga banget gue sama elo bro,” sambil gue tepuk pundaknya.

“Kenapa?”

“Jarang-jarang gue lihat David terkapar kalah, haha. Dan luar biasanya dia kalah sama elo.”

Xavi langsung tersenyum bangga. “David kuat sekali, ngeri.”

“Iya dia memang kuat, namun jika dibandingkan dengan kelima bajingan dari kelas 2, David itu yang yah, paling inferior.”

“Lalu siapa anak kelas 2 yang paling kuat. Bram?” tanya Xavi heran.

Gue menggeleng.

“Bram tidak datang malam ini. Dia sepertinya serius dengan ucapannya bahwa ia akan mundur dari konflik Oscar vs Axel. Setelah Bram mundur, kini anak kelas 2 yang terkuat adalah Heru dari 2A. Terakhir gue lihat, Riko sama Bagas kalah di tangan Heru. Udah lo tenang aja disini, biar gue cari si Heru.”

Gue lalu meninggalkan Xavi dan kembali menuju medan perang. Kali ini gue mendapatkan target yang jelas yakni Heru. Dan gue menemukannya tengah menghajar salah seorang anak kelas 3 yang gue tahu salah satu teman Jati.

“Her! dia sudah tidak berdaya. Sini lawan gue!”

Heru menengok ke arah gue. Ia memincingkan mata melihat gue. 



“Oh adiknya Bram nongol, ups. Bentar.”

BUGh !

Heru kembali menghajar teman Jati yang sudah terkulai lemas. Lalu Heru meregangkan tubuh, memutar-mutar lehernya.

“Udah ijin abang lo yang pengecut itu belum? Cih, mundur hanya karena persoalan sepele,” tambahnya.

Dalam hati gue tertawa mendengar perkataan Heru barusan. Dia sebenarnya sebel sama gue atau sama Bram sih? Meskipun terlihat aneh, namun gue mesti waspada melawan Heru. Nama Heru cukup disegani. Dan ya dia cukup dekat dengan Bram.

Gue lalu bersiap, menunggu Heru membuka serangan pertama. Heru tersenyum sinis.

“Hiat!” Heru merangsek ke arah gue.

Gue yang memang sengaja “bertahan” menangkis beberapa pukulannya. Saat mendapat peluang untuk memukul balik, gue tinju mukanya.

Namun ia menampik pukulan gue disertai dengan tinju yang mengenai ulu hati. Baru juga gue mau mengerang kesakitan, Heru menendang kepala gue. Keparat !

Gue terhempas ke samping akibat tendangan Heru. Gue mengerang kesakitan di bagian ulu hati dan kepala. Kuping gue berdenging, hal ini yang membuat gue pusing luar biasa. Di tengah perjuangan gue melawan rasa sakit, gue melihat Heru berlari ke arah gue. Dari ayunan kaki kanannya, sepertinya Heru ingin menyepak kepala gue laksana bola. Dengan melawan rasa sakit, gue berguling menghindar di momen yang tepat sehingga Heru hanya menendang udara kosong. Lalu gue melancarkan serangan balasan dengan menendang betis kaki kiri Heru sampai ia terjungkal karena sapuan gue cukup keras. Saat Heru berada di bawah, gue menerjang sambil mengayunkan pukulan.

BUGH !

Tepat mengenai muka Heru. Gue langsung menduduki perut Heru dan memukulinya secara membabi-buta. Entah gue berapa pukulan gue yang masuk, yang pasti gue terus memukulinya. Heru mulai terdesak !

“GAME OVER!!”

Teriak gue sambil mengambil ancang-ancang hendak melakukan pukulan pamungkas yang gue yakin bisa mengakhiri perlawanan Heru.

Namun tiba-tiba dari belakang ada yang mengalungkan lengan dan mengunci leher gue. Ia menyeret gue menjauhi Heru, anjing !!! pembokong ini berniat untuk mencekik gue! Dan ia menyerang dari belakang orang yang tengah duel satu lawan satu ! bangsat ! amarah gue menggelegak ! gue lalu menyikut kuat-kuat perut orang yang mengunci leher gue. Dua kali !

“Ugh!”

Penyerang gue kesakitan dan sedikit mengendurkan kuncian. Gue lalu memegang jempol kanannya dan gue pelintir hingga gue bisa terlepas dari sergapannya. Gue lihat orang yang menyerang gue anak kelas 2 yang gue gak tahu siapa namanya. Tapi gue gak peduli. Gue tarik rambut jabriknya ke atas dan gue hajar kuat-kuat.

Si pembokong lalu roboh kemudian pingsan.

“PENGECUT LU ANJING ! Cuh!” gue meludahi dia sambil mengusap leher gue yang kena kunciannya tadi.    

Baru juga mengambil jeda sejenak untuk mengatur nafas, gue merasakan ancaman dari arah belakang ! reflek gue meloncat dan bergulingan ke depan.

Heru menatap gue dengan penuh kebencian karena lagi-lagi ia menendang udara kosong. Gue menyeringai ke arahnya. Senang rasanya melihat wajahnya lebam cukup parah. Namun gue sendiri mulai merasakan kelelahan dan rasa sakit di sekujur tubuh, akumulasi dari banyak perkelahian yang gue alami. Rasa sakit terbesar ada di kepala bagian samping yang terkena tendangan Heru. Benjol, nyut-nyutan, nyeri luar biasa ketika gue tadi bergulingan di lantai menghindari serangan Heru dari belakang. Kalau kena hantaman lagi di bagian ini, mungkin gue bakal pingsan.

Intinya gue dan Heru udah sama-sama terluka dan hampir mencapai batas stamina. Untuk mengakhiri duel ini secepatnya, gue mesti frontal menyerang Heru alias adu keras! Sepertinya Heru juga mempunyai pikiran yang sama dengan gue. Karena kami bergerak bersamaan !!

Gue sempat menimang apakah mesti menendang atau memukul, jadi gue memutuskan untuk menunggu jenis serangan Heru. Namun resikonya besar. Kalau gue kalah cepat dan telat mengambil keputusan, gue yang akan kalah.

Resiko.. sejak kapan lo jadi takut mengambil resiko Yos? Bukankah elo itu seorang “Daredevil” ?

Monolog dari dalam pikiran gue sendiiri, membuat gue tersadar dan semakin membulatkan tekad untuk menempuh resiko  untuk menang !!

Pukulan ? tendangan ? Pukulan ? tendangan ? Pukulan ? tendangan ? Pukulan ? tendangan ?

Gue lalu melihat satu gerakan kecil di kaki kanan Heru. Lututnya sedikit menekuk dibandingkan lutut kiri.  Gerakan Heru terbaca !! ia akan meloncat dengan tumpuan kaki kanan dan hendak menendang gue dengan kaki kiri!

GOTCHA !! momentum ! momentum gue harus pas !

Ketika Heru  akhirnya meloncat dan ia berada di udara, gue langsung menerjangnya. Terjangan gue bukan sembarang terjangan. Terjangan gue ini lebih menyerupai serudukan. Tangan kiri gue memegang punggung Heru, sementara tangan kanan mengunci betis kanan Heru yang belum sempat ia rentangkan. Tubuh Heru  melayang terdorong ke belakang. Kami berdua terjatuh ke lantai dan menimbulkan suara yang cukup keras saat punggung Heru yang gue jadikan alas berdebum beradu dengan lantai.

“Arrgghh !”

Itu bukan Heru yang berteriak karena ia langsung pingsan saat kepalanya terbentur ke lantai. Itu suara gue yang berteriak karena lutut kanan gue juga menghantam lantai. Sakit sekali! Gue lalu duduk di lantai untuk meluruskan kaki barang sejenak dan melihat sekeliling. Suasana tidak se-chaos di awal tawuran. Banyak orang pingsan, nyaris pingsan bergeletakan. Beberapa ada yang meminta bantuan temannya untuk dipapah ke pinggir. Karena area di pinggir dekat dinding menjadi area aman bagi mereka yang sudah menyerah, tidak sanggup lagi untuk berkelahi. Di area tengah masih menyisakan beberapa perkelahian. Namun perkelahian yang tersaji di depan mata kami, adalah jenis perkelahian yang tidak akan bisa kami saksikan setiap hari !

Oscar vs Feri. Masih terlihat seimbang.

Ander vs Deka. Gawat, Deka beberapa kali terkena pukulan bersih. Namun entah kenapa dia masih belum roboh.

Opet vs Yandi. sama-sama bonyok, entah siapa yang lebih unggul karena Yandi dan Opet seperti tidak memiliki batas stamina !

Budi vs Zen. Gawat, kondisi Zen gawat. Sebagian wajahnya memerah darah, sepertinya pelipis Zen sobek.Sementara Budi wajahnya nampak lebam, bengkak. Mereka masih saling menatap dan berhenti sejenak untuk mengatur nafas.

Gue sampai bingung mau memperhatikan yang mana ! pemenang dari tawuran model ini adalah, siapa saja yang masih bertahan hingga akhir sampai tidak ada lagi lawan yang sanggup untuk bertarung, maka kelompoknya menjadi yang terkuat! Menilik kondisi sekarang, kelompok kami terdesak. Dedengkot anak kelas 3 seperti Jati dan Darma ternyata sudah tidak terlihat. Gue harap mereka menepi sebentar untuk memulihkan kondisi. Dan tentu saja nyali untuk menggantikan salah satu dari kami yang berada dalam kondisi tertekan.

Axel? Anjing !! gue baru sadar sedari awal gue gak melihat Axel. dimana dia? Seharusnya dia menjadi lawan sepadan buat Oscar yang kini mulai menampakkan keunggulan dibandingkan Feri. Tidak mungkin Axel tumbang terlebih dulu !!

Satu teriakan keras dari arah perkelahian Ander vs Deka menjadi tanda bahwa duel keduanya sudah usai. Ander berdiri dengan tegak sementara Deka tertelungkup tidak bisa bangkit lagi. Komplotan Oscar berteriak dan bertepuk tangan saat Ander berhasil mengalahkan Deka.

Anjing !!!

Sekarang kondisinya empat lawan tiga !! Gue lihat Ander tidak berminat untuk istirahat, ia hanya menyeka bibirnya yang berdarah lalu ia berjalan mendekati Yandi !!

Yandi yang masih adu keras dengan Opet seperti tidak menyadari ada bahaya mengintainya!

Kalau tidak ada yang membantu Yandi, ia jelas akan kalah melawan kedua monster itu. Gue harus menolong Yandi ! karena ia adalah satu-satunya harapan kami untuk membalikkan situasi. Gue melihat sekeliling ! bangsat ! dari kelompok kami sudah tidak ada yang sanggup lagi untuk bangkit melawan ! maka gue berdiri merambat ke dinding dengan susah payah. Gue gak tahu apa gue masih sanggup berlari untuk menolong Yandi, maka gue pun berteriak.

“Ander !! bajingan jago kandang yang cuma berani memukuli anak kelas 1!banci lo!” teriak gue lantang.

Ander yang semula mendekati Yandi, lalu berhenti dan menengok ke arah gue. Senyumnya sudah hilang, ia tampak murka. Oh shit, sepertinya gue langsung sukses membuat Ander murka.

Tanpa banyak kata, Ander mendatangi gue dengan cara berlari ! gue langsung gemetar juga melihatnya ! gue lalu mengurut lutut gue yang bengkak biar bisa bergerak! Kalau gue gak bisa bergerak gue bakalan dibantai Ander !

“Hiattt!!”

Ander mengeluarkan tendangan yang menghantam dinding karena gue masih bisa mengelak.

Namun Ander langsung memutar badan dan kembali melancarkan tendangan kiri. Gue yang kaget terperanjat. Reflek gue langsung memasang kedua tangan di depan muka !

BUGHHH !!!!

Tubuh gue terhempas ke dinding dengan sangat keras !!

Gue langsung terduduk sambil terbatuk-batuk, kedua lengan yang gue pakai untuk memblok tendangan Ander nampak gemetar, memerah ! kekuatan tendangannya…MONSTER !!! Ander tidak memberikan gue waktu ! ia memukuli gue yang cuma bisa meringkuk!

ARGGHHHHHH !!! sakittt !!! sakittt sekali !!! kesadaran gue mulai hilang karena rasa sakit yang teramat sangat. Di saat gue berada di ambang kesadaran, Ander memegang kerah baju gue dan gue di angkat hingga berdiri terhimpit dinding di belakang gue.

“Lu tadi sebut gue apa?” tanya Ander tepat di depan muka gue.

Pandangan mata gue uda kabur, mata gue menyipit karena bengkak di sekitaran kedua mata. Gue terbatuk, dari mulut dan hidung gue mengucur darah. Nafas gue terengah-engah.   

Gue kalah. Dan gue tidak merasa heran. Tidak sekalipun gue sempat membalas serangan Ander. Namun gue gak mau kalah begitu saja.

“Banci.. elo banci. Banci yang suka ikut campur urusan anak SMA. Gue yakin lo Cuma jadi pecundang saat lo lulus dari Sekolah ini.. CUH !!” gue meludahi wajah Ander dengan air ludah yang sudah bercampur darah.

“GUE BUNUH LU !!!”

Cengkeraman Ander semakin kuat di kerah baju dan berikutnya,tubuh gue terangkat ke atas lalu dunia di sekeliling gue terbalik, gue seakan melayang di udara. Kenapa gue bisa terbang?

sorry to say, elo bukan tandingan Ander. Lo gak akan menang kalau cuma adu keras sama dia.

Tiba-tiba terlintas di pikiran gue perkataan bang Sadli tempo hari. Gue tersenyum.

Maaf bang Niko, gue kalah tetapigue sudah berj-

Bugh.

Gue kaget dan melihat di bawah gue ada Astra yang rela menjadikan badannya sebagai alas sehingga gue tidak menghantam lantai.

“Ast, lo gak apa-apa?” gue segera bangkit dari Astra yang tertelungkup di bawah.

Astra terbatuk-batuk dan membuat tanda ia baik-baik saja.

Gak mungkin dia baik-baik saja! Gue menimpa tubuhnya cukup keras dan posisi Astra terlentang. Sepertinya ia tadi berlari dan pasang badan buat gue.

“Rik! Bantu Wira !” tubuh gue sakit semua namun amarah membuat mesin di dalam diri gue kembali memanas.

Sepertinya gue mulai mengerti dari mana sumber kekuatan terbesar Yandi. Gue menoleh saat pundak gue ada yang menepuk.

Xavi !

“Gue gak bisa diam saja melihat lo kepayahan dijadikan bulan-bulanan sama Ander,” ucapnya sembari memasang sikap siaga tanpa memandang ke arah gue. Dia menatap ke depan. Wajahnya terlihat serius.

Bahkan Xavi yang sudah kepayahan setelah berkelahi dengan David, mampu bangkit dan terjun kembali ke medan perang.

“Sombong lo, kita serang dia bersamaan. Lo serang dari kiri, gue fokus serang dari kanan. Awas Ander masih sangat bertenaga, jangan sampai kena serangan telak, sebisa mungkin menghindar atau memblok.”

“Yipi-kay-yey,” Xavi menirukan salah satu satu ucapan khas dari John McClane dalam film Die Hard ketika berhasil mengalahkan para teroris.

Gue pun mengangkat kedua tangan. Kami berdua bersiap untuk menghadapi Ander si brengsek yang jelas sangat superior. Ini pertaruhan terakhir gue dan Xavi. Kalau kami berdua tumbang lawan Ander, kemungkinan besar kelompok Oscar yang akan menjadi pemenang pertempuran malam ini. Karena tidak mungkin Yandi, Zen atau Feri bisa menghadapi Ander, Oscar, Budi dan Opet sekaligus.

Ander menyeringai kepada kami.

“Hoho, masih ada yang belum menyerah rupanya. Bersiaplah, gue akan menyerang kalian dengan frontal karena gue udah bosen nepukkin lalat !”

Gue mengeratkan kepalan tangan saat dengan gerakan cepat Ander berlari mendatangi gue dan Xavi laksana Bison yang hendak menerjang !!

“Xavi, kalau gue masih hidup setelah malam ini, gue balikin DVD JAV yang gue pinjem.”

"Bangsat, lagi kondisi kek gini lo masih sempat bahas DVD JAV. Yos, ini kita pake strategi apa nih. Asli nafas gue uda engap, badan gue babak belur. Kalau bukan elu yang kepepet, ogah gue bantuin," bisik Xavi cepat.

Gue tersenyum. Xavi yang sudah setengah mati masih nekat ngebantu. Astra juga pasang badan.

"Gue gak punya rencana apa-apa. Ander di luar kemampuan kita. Namun yang jelas, kita tidak akan pasrah. Satu-satunya yang bisa kita lakukan adalah elak, balas, elak balas ! Jangan sampai tertangkap Ander !" sahut gue sambil mengeratkan kepalan tangan.

WUSH !

Ander melayangkan pukulan dengan sudut lebar karena ia mengincar gue dan Xavi. Shit, dia ingin sekali tepuk dua lalat mampus. Gue bukan lalat ! Gue adalah lebah!

Karena kaki gue masih berat untuk bergerak, gue mengelak dengan menunduk sampe nyaris berjongkok. Saat itulah kesempatan gue muncul. Pukulan kiri gue lesakkan ke perut Ander.

Xavi ternyata masih punya tenaga untuk meloncat mundur lalu menendang lutut kiri Ander.

Dua serangan bersamaan dari kami berdua rupanya berefek kepada Ander. Ia mengaduh kesakitan. Rupanya hal ini membuat Xavi bernafsu untuk menyarangkan serangan selanjutnya. Gue hendak berteriak memperingatkan Xavi agar jangan gegabah menyerang Xavi.

Namun terlambat.

Pukulan Xavi terhenti di udara karena Ander menangkap pergelangan tangan Xavi 

Ander menyeringai, Xavi pucat.

Ini gawat.

Gue lantas menendang tubuh Ander agar dia melepas pergelangan Xavi. Namun tendangan gue sama sekali tidak di gubris Ander. Ia seperti merelakan punggungnya gue tendang. Karena hal selanjutnya yang Ander lakukan adalah menarik tangan Xavi hingga mendekat kepadanya.

"Makan nih!"

BUGH!!

Xavi terjengkang ke belakang saat ia menerima pukulan bersih dari Ander di bagian wajah. Dari mulut Xavi banyak mengeluarkan banyak darah, ia terkapar pasrah.

XAVI KNOCKOUT! 

Babik !!

Emosi gue memuncak melihat hal tersebut. Gue meloncat menerjang Ander. Tapi sial, Ander tidak roboh sama sekali. Niat gue adalah menerjang Ander hingga ia terjatuh lalu menyerangnya saat ia tertelungkup di bawah. Namun bajingan satu ini memang gila. Justru kini menangkap kedua tangan gue yang terjulur ke depan. Sehingga posisi gue kini seperti di gendong Ander karena dia memliki postur yang jauh lebih tinggi daripada gue. Kaki gue tergantung.

Alarm di dalam kepala gue seakan berbunyi keras sekali, saat kedua tangan gue yang terjulur ke depan, di pegang Ander.

Ander sepertinya punya kecenderungan menangkap serangan lawannya sebelum ia mulai membalas. Kalau gue tidak bisa segera melepaskan diri, gue bisa TAMAT !!! 

Intuisi gue memerintahkan agar gue menjejakkan kedua kaki yang masih bebas bergerak. Gue pun melakukannya. Berkat intuisi, beberapa kali nyawa gue terselamatkan saat balap liar. Gue memposisikan kedua kaki di pinggang belakang Ander, menekuk lutut ke dalam lalu gue tolakkkan kaki kuat-kuat.

Badan Ander sedikit tertekuk ke belakang ketika gue berayun di punggungnya. Lalu gue menghantamkan kedua lutut di daerah tulang ekor Ander.

Saking kerasnya hantaman gue, membuat Ander berteriak keras sekali. Badan Ander yang seolah kehilangan daya roboh ke belakang, sialan ini pasti sakit karena badan Ander yang besar menimpa gue yang berada di belakang. Sebelum punggung gue jadi alas badan Ander, gue menjepit leher Ander dan menguncinya.

BUMM !!

Kepala gue seakan berputar-putar karena terantuk depan belakang. Di belakang menghantam lantai, di depan terantuk kepala Ander. Rasa asin langsung terasa di mulut. Hidung gue kembali berdarah akibat benturan dengan kepala Ander. Rasa asin di mulut rupanya membantu gue agar tetap tersadar. Gue tetap mengunci leher Ander kuat-kuat. Membuat tubuh besar Ander meonta-ronta. Ander memukuli lengan gue yang mencengkram lehernya. Bahkan siku tangan kirinya mulai di arahkan ke rusuk gue.

Sakit sekali !!! Kesadaran Ander masih terjaga karena gue menjadi bantalnya saat kami roboh.

Gue kewalahan karena nyawa gue hanya bergantung kepada kuncian ini. Ander masih alot sekali. Sekalipun lehernya sudah gue kunci bahkan gue sudah seperti mencekik lehernya, Ander masih belum menyerah. Kalau seperti ini terus, taruhannya cuma ada 2. 

Ander mati lemas karena kuncian di leher atau.
Kuncian lengan gue terlepas karena kalah tenaga lalu selanjutnya Ander akan memberondong wajah gue dengan pukulan-pukulannya. Singkatnya gue mati di tangan Ander.

Namun kekhawatiran gue tersebut rupanya menjadi semacam petunjuk. Petunjuk untuk segera mengalahkan Ander tanpa harus membunuhnya.

Setelah berancang-ancang, gue lalu berguling ke samping tanpa melepaskan kuncian. Dan berhasil!

Kini gue berada di atas punggung Ander. Lalu selanjutnya gue melepaskan kuncian di leher Ander. Dengan menggunakan tangan kiri sebagai tumpuan badan, gue pegang rambut Ander lalu gue hantamkan wajahnya yang menghadap lantai berulang-ulang ke lantai.

BUGH !! BUGH !! BUGH !! BUGH !! BUGH !!!

Entah berapa kali gue hantamkan muka si Ander ke lantai, yang jelas sampai dia berhenti meronta. Setelah Ander sudah tidak bergerak. Gue lega luar biasa. Memang sih gue gak mencekik leher Ander sampai mati, namun tindakan gue barusan cukup brutal dan bisa saja berdampak fatal.

Ah bodo amat. Yang penting gue menang, urusan Ander belakangan saja. Gue pun berguling dan berbaring telentang menghadap ke langit-langit aula. Debaran jantung gue berdetak keras sekali. Setelah gue bisa bernafas dengan normal, gue bangkit dan mendekati  Xavi dengan tertatih-tatih. Dan nyaris roboh jika Guntur tidak segera membantu untuk memapah gue ke tepi.

"Bagaimana..keadaan...Xavi?" Gue bertanya kepada Satria yang sedang mengganjal kepala Xavi dengan sebuah jaket. Entah jaket siapa. 

"Masih pingsan. Secara keseluruhan dia babak belur namun tidak ada sesuatu yang berbahaya."

Fiuh, gue lega mendengarnya.

Saat gue hendak bertanya lagi kepada Satria. Satria justru menampakkan sikap aneh. Tangannya terjulur gemetar sambil menunjuk sesuatu. Sesuatu yang berada di belakang gue.

"Yo...Yoo...sshh..I..Itu...Di...dia...bang...kit...dia...masih..bisa..bangkit.." ucap Satria dengan bibir gemetar.

Saat gue menoleh ke belakang. Gue lihat sesuatu yang membuat Satria ketakutan dan gue akui membuat nyali gue menciut. Bagaimana tidak, karena kami melihat Ander dengan hidung dan mulut masih mengucurkan darah, dia sudah berdiri alias bangkit lagi. Ander tidak berkata apa-apa, namun sorot matanya menunjukkan betapa ia murka.Meskipun begitu, ia seperti kesusahan untuk terus berdiri, tangan kirinya seperti menahan punggung  belakangnya. 

Rupanya serangan gue memiliki dampak besar. Ya jelas saja, sekuat apapun seseorang kalau mukanya di bentur-benturka ke lantai pasti memiliki efek.

Gue kini setengah berdiri dengan kedua tangan bertumpu di lutut.

Saatnya serangan terakhir. Gue udah gak peduli, yang jelas gue sedang menghimpun sisa tenaga dan bersiap untuk beradu serangan pamungkas dengan Ander. Setelah gue akhirnya yakin sudah cukup kuat untuk bergerak, gue berlari dan berteriak sekuat-kuatnya untuk melampiaskan emosi.

Namun anehnya, Ander yang tahu gue hendak menerjangnya. Tetap diam bahkan memasang kuda-kuda pun tidak. Ia justru menyungginggkan senyum saat gue meloncat dan mengarahkan tendangan dengan kedua kaki ke arahnya.

BUGGH!!

Tubuh Ander tersungkur ke belakang sejauh 2-3 meter saat tendangan gue telak menghantam dadanya. Gue pun mengaduh kesakitan tidak mampu bergerak lagi karena gue pun sudah terkapar di lantai, kehabisan tenaga.

Gue mengangkat kepala untuk memastikan kondisi Ander. Ander telentang tidak bergerak, kepalanya tergolek lemas ke samping. Samar-samar gue masih bisa melihat nafasnya naik turun.

Fiuh. Syukurlah bajingan itu gak mampus.

GUE MENANG LAWAN ANDER !!! HAHHAHAHAA !

Di saat gue sedang menikmati kemenangan, tanpa sengaja gue menoleh ke samping dan pada saat itulah gue melihat sohib Ander, si  Opet tengah menginjak-injak lawannya sekuat tenaga seperti orang kesetanan.

Orang yang di injak-injak Opet adalah Yandi. Yandi tengah meringkuk di lantai dan melindungi kepalanya dari injakan Opet.

Gawat...  gawatt....ini gawatt !!

"Siapapun, tolong ! Bantu Yandi! " teriak gue putus asa kepada Darma, Deka dan Jati yang tengah terduduk bersandar di dinding. Kondisi ketiganya sudah babak belur cukup parah. Kedua mata Jati menyipit karena luka bengkak di seputaran mata, Deka merintih sambil memegangi bahunya, sementara Darma tertunduk dan darah terlihat mengucur dari pelipisnya.

Fuck!

Habis sudah...

"ZEN, JANGANNN !" teriakan keras dan panjang terdengar dari arah lain.

Gue menoleh ke arah sumber suara. Nyawa gue seakan turun saat melihat Zen sudah berancang-ancang dengan sebuah tongkat bisbol terangkat di atas kepalanya. Di dekat Zen gue lihat Budi sudah tergolek berlumur darah.

Demi Tuhan ! Duel macam apa yang sudah mereka lakukan sampai-sampai keduanya kini berdarah-darah?!

Teriakan tersebut ternyata teriakan Abas dan Farrel. Kedua berlari dari belakang seperti hendak mencegah Zen mengeksekusi Budi.

Sekilas gue melihat raut muka Zen yang sangat menyeramkan, ia tertawa dengan muka berlumur darah.

Namun terlambat. Zen akhirnya menghantamkan kuat-kuat stik bisbol yang terbuat dari logam ke arah Budi.

 Selanjutnya gue mendengar teriakan yang sangat keras, keras sekali. Sebuah teriakan parau yang menyiratkan rasa sakit yang luar biasa.

Lalu teriakan tersebut terhenti tiba-tiba.


= BERSAMBUNG =

11 comments for "LPH #53"

  1. Mantab,
    Terima kasih updatenya..
    Lanjut maa bro..

    ReplyDelete
  2. Terimakasih update nya om, andrenaline masih naik ini. Setelah ini pov zen ya

    ReplyDelete
  3. Loh bukannya part ini sampe ander kalah kan, kok kepotong

    ReplyDelete
    Replies
    1. ah iya, haha pantes kek ada yang kurang. sip thanks reminder nya. udah gue tambahin part tag team Xavi - Yosi vs Ander

      Delete
  4. Yeah... habis ini part ZEN

    ReplyDelete
  5. Yeay,,,,
    Dragunov's brother win
    Next,,,
    Zen the butcher coming,,
    Lanjut om Panth

    ReplyDelete

Post a Comment